BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia dan kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein. Penyakit ini disebabkan karena adanya gangguan pada sekresi
insulin, penurunan sensitivitas reseptor insulin atau keduanya (Triplitt et al., 2008). Penelitian epidemiologi menunjukkan kecenderungan peningkatan angka kejadian dan prevalensi DM di berbagai penjuru dunia. Penderita DM di Indonesia diprediksi WHO meningkat dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF) tahun 2009 juga memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM Indonesia dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Kedua laporan tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Badan Pusat Statistik Indonesia memperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2030 terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah perkotaan dan 8,1 juta di daerah pedesaan (Perkeni, 2011). Salah satu tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dan India secara tradisional untuk mengobati DM adalah lenglengan. Tumbuhan ini juga telah dimanfaatkan untuk mengobati batuk, demam, hilangnya selera makan, penyakit kulit, pusing, gigitan ular dan sengatan kalajengking. Berbagai penelitian in vivo menggunakan berbagai ekstrak herba lenglengan membuktikan bahwa 1
2
tumbuhan ini memiliki khasiat sebagai hepatoprotektif, hipoglikemik, antipiretik, antidiare, antitusif, penyembuh luka dan antimikroba. Kandungan senyawa aktif dalam tumbuhan lenglengan yang telah berhasil diidentifikasi adalah acacetin, chrysoeriol, linifolioside, lupeol, taraxerone dan chrysoeriol-6”(OAc)-4’-βglucoside (Makhija et al., 2011). Penelitian Saha et al. (1997) menyebutkan bahwa ekstrak metanol herba lenglengan 400 mg/KgBB mampu menurunkan kadar glukosa tikus yang diinduksi streptozotosin (STZ) sebesar 29,8%. Penelitian serupa menggunakan ekstrak kloroform bunga segar lenglengan dosis 250 mg/KgBB yang dilaporkan oleh Chandrashekar dan Prasanna (2009) mampu menurunkan kadar glukosa darah dan nilai HbA1C tikus diabetes yang diinduksi dengan aloksan. Bhoja (2009) membuktikan bahwa ekstrak etanol daun lenglengan 252 mg/KgBB memiliki efek hipoglikemik sebesar 45,89% pada tikus jantan galur Wistar yang dibebani glukosa berlebih. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan mengenai penemuan agen antidiabetes dari ekstrak etanol daun lenglengan, terutama untuk terapi DM tipe-2. Proses fraksinasi dengan pelarut yang sesuai akan menyari senyawa spesifik dari daun lenglengan. Kloroform mampu menarik senyawa semipolar seperti flavonoid dan alkaloid seperti yang dilakukan oleh Akah (2011) terhadap ekstrak metanol Gongronema latifolium (Asclepidaceae). Beberapa senyawa alkaloid telah terbukti memiliki aktivitas antidiabetes melalui beberapa mekanisme, misalnya sebagai penghambat α-glukosidase dan penghambat aldosa reduktase (Singab et al., 2014). Senyawa alkaloid
3
vindolicine III yang berhasil diisolasi dari Chataranthus roseus (L.) G. Don menunjukkan aktivitas hipoglikemik dan antioksidan (Tiong et al., 2013). Chandrashekar et al. (2006) berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa glikosida flavonoid, chrysoeriol-6”(OAc)-4’-β-glucoside dari herba lenglengan. Senyawa flavonoid sebelumnya telah diketahui dapat bersifat sebagai agen antidiabetes melalui beberapa mekanisme, yaitu menghambat enzim aldosa reduktase, meningkatkan sekresi insulin, memicu regenerasi sel pankreas dan meningkatkan uptake ion Ca2+ (Mohan dan Nandhakumar, 2014). Proses fraksinasi bertingkat menggunakan pelarut n-heksan dan kloroform bertujuan untuk memperoleh senyawa semipolar seperti alkaloid dan flavonoid (Jones dan Kinghorn, 2006). Ekstrak etanol daun lenglengan pada penelitian ini difraksinasi dengan pelarut n-heksan sehingga diperoleh fraksi n-heksan dan fase air. Fase air tersebut kemudian difraksinasi kembali dengan pelarut kloroform sehingga diperoleh fraksi kloroform ekstrak etanol daun lenglengan (FKDL). Fraksi kloroform yang diperoleh digunakan sebagai sediaan uji dalam uji aktivitas antidiabetes. Metode neonatal streptozotocin-induced rat digunakan untuk memperoleh tikus Neonatal Streptozotocin-Induced Type-2 Diabetes Mellitus (N2-STZ-induced type-2 DM). Penelitian oleh Dzeufiet
et al. (2007)
menyimpulkan bahwa pemberian STZ 90 µg/gBB pada tikus neonatal mampu menginduksi terjadinya DM tipe-2 setelah 12 minggu pemejanan. Uji aktivitas antidiabetes FKDL terhadap tikus N2-STZ-induced type-2 DM dilakukan dengan melihat hasil pengukuran kadar glukosa darah pre-prandial dan post-prandial. Penelitian ini ingin membuktikan aktivitas antidiabetes dari fraksi kloroform ekstrak etanol daun lenglengan pada keadaan pre-prandial dan
4
post-prandial. Kadar glukosa darah pre-prandial menggambarkan tingkat glukosa darah dalam keadaan puasa. Kadar glukosa post-prandial menunjukkan kondisi tubuh ketika mendapat asupan glukosa berlebih dari luar. Kadar glukosa darah sebaiknya tetap berada pada level yang optimal untuk mendukung kinerja organ tubuh. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah maupun tinggi akan menyebabkan terganggunya metabolisme di dalam sel yang akhirnya akan menyebabkan kegagalan fungsi organ.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Berdasarkan data kadar glukosa darah pre-prandial, apakah fraksi kloroform ekstrak etanol daun lenglengan (FKDL) mempunyai aktivitas antidiabetes pada tikus N2-STZ-induced type-2 DM ? 2. Berdasarkan data kadar glukosa darah post-prandial, apakah FKDL mempunyai aktivitas antidiabetes pada tikus N2-STZ-induced type-2 DM ? 3. Berapakah potensi (ED50) FKDL sebagai antidiabetes pada tikus N2-STZinduced type-2 DM?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Membuktikan aktivitas antidiabetes fraksi kloroform ekstrak etanol daun lenglengan (FKDL) pada tikus N2-STZ-induced type-2 DM berdasarkan data kadar glukosa darah pre-prandial.
5
2. Membuktikan aktivitas antidiabetes FKDL pada tikus N2-STZ-induced type-2 DM berdasarkan data kadar glukosa darah post-prandial. 3. Menetapkan potensi (ED50) FKDL sebagai antidiabetes pada tikus N2-STZinduced type-2 DM.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini sangat penting dilakukan karena dapat memberikan kontribusi berupa: 1. Bukti ilmiah tentang aktivitas FKDL sebagai antidiabetes sehingga merupakan langkah awal dalam penemuan senyawa penuntun yang berkhasiat sebagai antidiabetes. 2. Sumber informasi dalam pengembangan metode uji aktivitas antidiabetes pada hewan percobaan DM tipe-2.
E. Tinjauan Pustaka 1. Diabetes Mellitus (DM) Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu penyakit gangguan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia. Penyakit ini terkait dengan kelainan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein serta dapat menyebabkan komplikasi kronis, termasuk komplikasi mikrovaskuler, makrovaskuler dan gangguan neuropatik. DM menjadi penyebab utama kebutaan orang dewasa berusia 20 sampai 74 tahun dan menjadi kontributor utama perkembangan penyakit ginjal stadium akhir. DM juga berkontribusi besar sebagai penyebab 82.000 amputasi ekstremitas bawah setiap tahunnya. Komplikasi penyakit kardiovaskular
6
bertanggung jawab atas kematian dari dua pertiga individu dengan DM tipe-2 (Triplitt et al., 2008). Diabetes melitus dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori yakni: diabetes melitus tipe-1 (DM tipe-1) disebabkan oleh defisiensi insulin absolut, diabetes melitus tipe-2 (DM tipe-2) akibat terjadinya resistensi insulin dengan kompensasi sekresi insulin yang tidak memadai. Wanita yang menderita diabetes karena stres kehamilan diklasifikasikan memiliki diabetes gestasional. Selain itu, penyebab lain dari penyakit diabetes (jarang terjadi) adalah infeksi, obat-obatan, endocrinopathies, kerusakan pankreas dan cacat genetik diklasifikasikan secara terpisah (Triplitt et al., 2008). Penelitian epidemiologi yang telah dilakukan menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka kejadian dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. Kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia yang telah diprediksi WHO dari 8,4 juta pada tahun 2000, dan akan meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF) juga memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia, yaitu dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030. Kedua laporan tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011). American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan penggunaan uji glukosa puasa sebagai alat utama diagnosis DM pada orang dewasa tidak hamil dan kategori baru glikemia yakni glukosa puasa terganggu atau Impaired Fasting Glucose (IFG). Seseorang dikatakan mengalami glukosa puasa terganggu apabila nilai glukosa plasma yang terdeteksi paling sedikit 100 mg/dL, akan tetapi
7
kadar glukosa puasa tersebut kurang dari 126 mg/dL. Gangguan toleransi glukosa atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) didefinisikan sebagai nilai glukosa ≥ 140 mg/dL, tetapi kurang dari 200 mg/dL dua jam setelah melalui uji toleransi glukosa oral. Pasien yang memiliki kriteria sesuai dengan nilai IFG atau IGT sering disebut "pradiabetes" karena risiko terkena diabetes pada masa yang akan datang lebih tinggi. Sementara itu, penentuan nilai HbA1C (Hemoglobin glikosilat) digunakan untuk memantau kontrol glikemik pasien yang telah diketahui menderita diabetes dalam jangka waktu yang cukup lama (Triplitt et al., 2008). Terapi diabetes meliputi terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis yang dapat dilakukan berupa pengaturan makan, latihan jasmani,
pengendalian
berat
badan dan menghindari stress.
Intervensi
farmakologis baru dilakukan ketika penatalaksanaan DM menggunakan pendekatan non farmakologis tak membuahkan hasil. Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (Nolte dan Karam, 2012). Obat-obat diabetik oral yang digunakan untuk mengatur kadar gula darah pasien DM tipe-2 dapat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu insulin secretagogue (sulfonilurea, nateglinid), biguanida (metformin), tiazolidinedion (pioglitazon, rosiglitazon), inhibitor α-glukosidase (akarbosa, miglitol), analog amilin (pramlintide), incretin mimetics dan incretin enhancer (exenatid, sitaglipton) (Ripsin et al., 2009).
2. Glibenklamid Glibenklamid merupakan obat antidiabetes dari golongan sulfonilurea. Sulfonilurea berikatan dengan reseptor sulfonilurea yang berhubungan dengan
8
kanal ion kalium satu arah yang sensitif terhadap ATP pada sel β pankreas bagian dalam. Akibatnya, terjadi hambatan efluks ion kalium melalui kanal ion tersebut dan menimbulkan depolarisasi. Kanal ion kalsium akan terbuka bila terjadi perubahan tegangan. Akibat dari depolarisasi tersebut adalah terbukanya kanal ion natrium dan memicu influks kalsium ke dalam sel β pankreas sehingga terjadi pelepasan insulin (Nolte dan Karam, 2012). Penggunaan sulfonilurea dalam jangka panjang pada penderita DM tipe-2 dapat menyebabkan penurunan kadar glukagon serum yang dapat berperan menimbulkan efek hipoglikemik. Mekanisme penurunan kadar glukagon ini kemungkinan terjadi karena inhibisi tidak langsung akibat peningkatan pelepasan insulin dan somatostatin yang menghambat sekresi glukagon dari sel α pankreas (Nolte dan Karam, 2012). Golongan sulfonilurea dibagi menjadi generasi pertama dan kedua yang berbeda dalam hal potensi dan efek sampingnya. Sulfonilurea generasi pertama terdiri dari tolbutamid, klorpropamid dan tolazamid. Selain lebih poten, efek samping sulfonilurea generasi kedua lebih jarang terjadi dan tidak banyak berinteraksi dengan obat-obat lain. Glibenklamid, glipizid dan glimepirid merupakan contoh sulfonilurea generasi kedua (Nolte dan Karam, 2012). Glibenklamid dimetabolisme di hati menjadi produk dengan aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah. Dosis awal yang biasa diberikan adalah 2,5 mg/hari atau lebih kecil. Dosis pemeliharaan obat ini adalah 5-10 mg/hari, biasanya diberikan sebagai dosis tunggal di pagi hari. Walaupun efek samping yang ditimbulkan relatif sedikit, glibenklamid dikontraindikasikan bagi penderita gangguan hati dan insufisiensi ginjal (Nolte dan Karam, 2012).
9
3. Tumbuhan Lenglengan (Leucas lavandulifolia Smith) Lenglengan merupakan tumbuhan semusim yang tumbuh di tanah kering berpasir dan berbatu dan kadang ditanam sebagai tanamam obat di pekarangan rumah. Tumbuhan dengan genus Leucas (Lamiaceae) terdistribusi luas di benua Asia dan Afrika. Lenglengan (gambar 1) termasuk semak yang mampu tumbuh setinggi 20-60 cm dengan batang berkayu lunak, berbuku–buku, percabangan monodial, berbentuk segi empat, memiliki rambut halus dan berwarna hijau. Helaian daun tunggal berbentuk lanset, terletak berhadapan, memiliki ujung dan pangkal daun berbentuk runcing, tepi bergerigi dan berwarna hijau (Depkes RI, 2001).
Gambar 1. Tumbuhan Lenglengan (Leucas lavandulifolia Smith) Sumber : dokumentasi pribadi yang telah diidentifikasi di laboratorium Ekologi dan Biosistematik UNDIP
Kedudukan tumbuhan
lenglengan dalam
sebagai berikut (Depkes RI, 2001): Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Solanales
Familia
: Leucas
Jenis
: Leucas lavandulifolia Smith
sistematika tanaman adalah
10
Sifat organoleptis serbuk daun lenglengan adalah berwarna hijau, bau agak tajam, mula–mula tidak berasa lama–kelamaan menggigit. Daun dan akar tumbuhan lenglengan diketahui mengandung senyawa aktif berupa saponin, flavonoid serta tanin selain itu minyak atsiri juga banyak terkonsentrasi dalam daun lenglengan (Depkes RI, 2001). Kandungan senyawa aktif yang telah diidentifikasi dari ekstrak etanol daun lenglengan adalah acacetin, chrysoeriol, linifoliside, linifoliol, chrysoeriol6”(Oac)-4’-β-glucoside, lupeol dan taraxerone. Berdasarkan penelitian in-vivo, tumbuhan lenglengan dilaporkan memiliki khasiat sebagai hepatoprotektif, hipoglikemik, antipiretik, antidiare, antitusif, menyembuhkan luka, memiliki efek psikofarmakologi sebagai sedatif dan antimikroba (Makhija et al., 2011). 4. Senyawa Golongan Alkaloid dan Flavonoid Istilah alkaloid diperkenalkan pertama kali pada tahun 1819 oleh seorang kimiawan Jerman bernama Carl F.W. Meissner. Senyawa golongan alkaloid memiliki lebih dari 12.000 macam struktur nitrogen siklik yang dapat ditemukan pada lebih dari 20% tumbuhan. Senyawa alkaloid umumnya ditemukan pada tumbuhan berbunga. Nama alkaloid tersebut mengandung akhiran “idine”, “anine”, “aline”, “inine”, dan lain sebagainya (Makheswari dan Sudarsanam, 2012). Contoh struktur kimia senyawa golongan alkaloid dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Senyawa alkaloid protoberberin quarterner (Makheswari dan Sudarsanam, 2012)
11
Kebanyakan tumbuhan mengandung beberapa macam senyawa alkaloid. Prekursor biologis dari sebagian besar alkaloid adalah asam amino seperti ornitin, lisin, fenilalanin, tirosin, triptofan, histidin, asam aspartat dan asam antranilat. Alkaloid
yang
menunjukkan efek
antidiabetetes
antara
lain
aconitine,
anisodamine, charantine, leurosine dan berberin. Senyawa berberin merupakan garam ammonium kuarterner dari golongan protoberberine yang lolos penelitian eksperimental diabetes mellitus pada manusia. Berberin dapat ditemukan pada tumbuhan Berberis seperti Berberis aquifolium dan Berberis vulgaris. Senyawa berberin memiliki efektivitas yang mirip dengan metformin dalam menurunkan kadar gula darah. Mekanisme aksi senyawa ini adalah menghambat reduktase aldosa termasuk glikolisis, mencegah resistensi insulin dengan cara meningkatkan ekspresi protein dalam sintesis reseptor insulin (Makheswari dan Sudarsanam, 2012).
Gambar 3. Kerangka senyawa golongan flavonoid (Briellmann et al., 2006)
Flavonoid digambarkan sebagai senyawa bahan alam yang memiliki dua cincin benzen yang dipisahkan oleh unit propana (gambar 3). Senyawa flavonoid berasal dari flavon dan umumnya larut dalam air. Flavonoid terkonjugasi umumnya ditemukan pada tumbuhan sebagai glikosida sehingga mempersulit penentuan struktur. Pengelompokkan flavonoid dibedakan atas tambahan oksigen dan gugus hidroksil yang terdapat pada cincin heterosiklik, contohnya yaitu
12
chalcones, flavon, flavonol, flavanon, anthocyanin, isoflavon, auron, xanton dan tannin terkondensasi (Briellmann et al., 2006). Fitokonstituen seperti senyawa flavonoid mampu menekan kadar glukosa, mengurangi kolesterol dan trigliserida plasma secara signifikan dan meningkatkan aktivitas enzim glukokinase hati. Kemampuan flavonoid tersebut kemungkinan disebabkan oleh peningkatan pelepasan insulin dari sel islet pankreas (Patel et al., 2012). Senyawa flavonoid yang berhasil diisolasi dari tumbuhan Cynanchum acutum
L.
yaitu
quercetin
7-O-β-glucopyranoside,
tamarixtin
3-O-β-
galacturonopyranoside dan kaempferol 3-O-β-galacturonopyranoside terbukti memiliki aktivitas antidiabetes yang signifikan (Fawzy et al., 2008). 5. Ekstraksi Ekstraksi didefinisikan sebagai proses pemisahan bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut yang umumnya berupa cairan. Pelarut atau yang disebut juga cairan penyari harus dapat mengekstraksi senyawa yang diinginkan tanpa melarutkan material yang lain (Bintang, 2010). Tumbuhan merupakan matriks kompleks yang memproduksi sejumlah metabolit sekunder dengan gugus fungsi dan polaritas yang berbeda-beda. Perbedaan struktur kimia metabolit sekunder yang akan diekstraksi dapat mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman (Depkes RI, 1986). Dalam ekstraksi padat-cair, cairan penyari harus dapat berdifusi masuk ke dalam sel untuk melarutkan metabolit, kemudian cairan penyari yang mengandung metabolit juga harus dapat berdifusi keluar dari sel. Secara umum, ekstraksi dapat ditingkatkan dengan memperkecil/memperhalus ukuran simplisia
13
dan menggunakan suhu yang lebih tinggi dari suhu ruangan (untuk meningkatkan kelarutan senyawa aktif) (Seidel, 2005). Prosedur ekstraksi yang ideal harus mampu menarik metabolit sebanyak yang diinginkan atau sebanyak mungkin. Prosesnya harus cepat, sederhana, dan reproducible jika harus dilakukan berulang kali. Pemilihan metode ekstraksi yang cocok sangat tergantung dengan tujuan ekstraksi dan apakah metabolit yang akan diambil sudah diketahui atau tidak (Seidel, 2005). Cairan penyari yang dipilih harus memiliki potensi pembentukan artefak yang rendah, potensi toksisitas rendah, potensi mudah terbakar rendah dan risiko ledakan rendah. Selain itu, cairan penyari harus ekonomis dan mudah didaur ulang oleh penguapan. Pemilihan cairan penyari yang paling tepat didasarkan pada selektivitas cairan penyari terhadap senyawa aktif yang akan diekstraksi (Seidel, 2005). Proses ekstraksi akan berjalan selektif terhadap senyawa aktif dalam bahan tumbuhan apabila menggunakan cairan penyari yang memiliki tingkat polaritas yang sesuai dengan senyawa aktif tersebut mengikuti prinsip ''like dissolve like''. Cairan penyari nonpolar sangat cocok digunakan untuk melarutkan sebagian besar senyawa lipofilik (misalnya, alkana, asam lemak, pigmen, lilin, sterol, beberapa terpenoid, alkaloid dan kumarin). Cairan penyari semi polar digunakan untuk mengekstrak senyawa aktif dengan polaritas menengah (misalnya, beberapa alkaloid, flavonoid), sedangkan cairan penyari polar lebih banyak digunakan untuk menarik senyawa aktif lebih polar (misalnya, glikosida flavonoid, tanin, dan
14
beberapa alkaloid). Air sering tidak digunakan sebagai cairan penyari awal, bahkan jika tujuannya untuk mengekstrak senyawa aktif yang larut air (misalnya, glikosida, alkaloid kuaterner, tanin). Cairan penyari organik polar (misalnya, etanol, metanol, atau campuran alkohol-air) sering digunakan dalam mengekstrak senyawa sebanyak mungkin. Hal ini didasarkan pada kemampuan alkohol untuk meningkatkan permeabilitas dinding sel, memfasilitasi ekstraksi secara efisien pada sejumlah besar senyawa aktif polar, semipolar dan non polar (Seidel, 2005). 6. Ekstraksi Cair – Cair Ekstraksi cair–cair merupakan proses pemisahan senyawa aktif terlarut dalam dua macam pelarut yang tidak saling campur. Definisi lain ekstraksi caircair adalah perbandingan konsentrasi zat terlarut dalam pelarut organik dan air. Sifat suatu senyawa yang dapat terlarut dalam air dan juga dapat terlarut dalam pelarut organik menjadi dasar dilakukannya ekstraksi cair-cair. Perbedaan jumlah senyawa aktif terlarut yang dapat ditransfer ke dalam dua pelarut yang tidak saling campur menjadi batasan metode ini (Khopkar, 1990). Distribusi Nerst atau dikenal dengan hukum partisi menyatakan bahwa pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, suatu senyawa akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang tidak saling campur. Perbandingan konsentrasi zat terlarut pada keadaan setimbang di dalam dua fase pelarut yang tidak saling campur dikenal dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi. Pelarut organik untuk ekstraksi cair–cair dipilih yang kelarutannya rendah dalam air, mudah menguap dan memiliki kemurnian yang tinggi untuk meminimalisasi adanya kontaminasi (Ganjar dan Rohman, 2010).
15
7. Model Hewan Percobaan DM Tipe-2 Sebagian besar model hewan percobaan DM yang tersedia menggunakan hewan pengerat (tikus) didasarkan pada beberapa alasan seperti ukurannya yang kecil, jarak antar generasi singkat, mudah tersedia dan ekonomis. Sejumlah besar model hewan percobaan telah dikembangkan dengan berbagai sifat dan karakter yang berbeda. Oleh karena itu, pemilihan model hewan percobaan yang tepat sangat diperlukan agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran data dan menghindari penarikan kesimpulan yang salah (Javia et al., 2012). Model hewan percobaan DM yang pertama adalah dengan memberi muatan glukosa (1-2,5 gram/kgBB) secara oral, kemudian kadar glukosa darah diukur selama periode waktu tertentu. Metode ini mengacu pada induksi fisiologis DM karena kadar glukosa darah akan meningkat tanpa merusak pankreas. Pada kondisi klinis, metode ini dikenal dengan tes toleransi glukosa yang biasa dipakai untuk mendiagnosa DM (Etuk, 2010). Model hewan percobaan DM ada juga yang menggunakan tikus sehat, disebut normoglycemic animal model. Hewan percobaan tidak mendapat induksi DM selama perlakuan. Tujuan penggunaan model ini adalah untuk melihat efek sediaan uji pada hewan percobaan dengan fungsi pankreas yang masih normal. Setelah hewan uji memperoleh perlakuan sediaan uji, kadar glukosa darahnya diukur dengan rentang waktu 1, 2, 3, 4, 5, 48, dan 72 jam (Etuk, 2010). Senyawa diabetogenik sering pula digunakan untuk menginduksi terjadinya DM pada hewan percobaan. Senyawa diabetogenik bekerja dengan cara menyebabkan kerusakan sel β pankreas, menghambat produksi/sekresi insulin
16
sementara waktu dan mengurangi efikasi metabolisme insulin di jaringan target. Contoh senyawa diabetogenik antara lain aloksan, goldthioglucose, streptozotosin, dan dithiozone (Javia et al., 2012). Metode pembedahan untuk menyingkirkan pankreas juga bisa digunakan untuk menginduksi terjadinya DM. Caranya adalah dengan mengambil 70-90% pankreas (pancreatectomy sebagian) untuk menginduksi terjadinya DM tipe-2 pada hewan percobaan. Semakin banyak pankreas hewan uji yang diambil maka semakin cepat pula terjadinya DM (Javia et al., 2012). Deksametason
juga
dapat
menyebabkan
diabetes
dengan
cara
menimbulkan reaksi autoimun pada pulau Langerhans. Induksi deksametason 2-5 mg/kg BB secara i.p. dua kali sehari selama beberapa hari mampu menyebabkan terjadinya DM tipe-2 (Javia et al., 2012). Hewan uji yang terinduksi DM tipe-2 karena adanya mutasi genetik juga bisa juga digunakan. Mutasi genetik yang terjadi akan diturunkan dari generasi ke generasi. Contoh hewan uji DM tipe-2 karena mutasi genetik adalah tikus Zucker Diabetic Fatty (ZDF), tikus db/db, mencit Kuo Kondo (KK) dan mencit Tsumara Suzuki Obese Diabetes (TSOD) (Javia et al., 2012). 8. Streptozotosin Streptozotosin
(STZ) (2-deoksi-2-({[metil (nitroso) amino] karbonil}
amino)-β-D-glukopiranosa) (BM = 265 g/mol) adalah senyawa alami yang diproduksi oleh bakteri Streptomyces achromogenes yang berfungsi sebagai antibakteri spektrum luas. Streptozotosin adalah campuran stereoisomer α dan β, berupa serbuk kristal kuning pucat atau putih. Streptozotosin (gambar 4) sangat larut dalam air, keton, alkohol encer dan hanya sedikit larut dalam pelarut organik
17
polar. Struktur molekul terdiri dari nitrosourea dengan bagian gugus metil yang melekat pada salah satu ujung dan molekul glukosa di ujung lain (Sharma, 2010). Streptozotosin adalah senyawa kimia beracun spesifik pada sel β pankreas. Senyawa ini masuk ke dalam sel β pankreas dengan bantuan transporter glukosa 2 (GLUT-2). Apabila STZ disuntikkan pada tikus dewasa akan menyebabkan DM tipe-1 dengan kadar glukosa darah yang sangat tinggi. Namun, ketika STZ diberikan kepada tikus neonatal (baru lahir), anak tikus tersebut akan mengalami hiperglikemia akut dalam beberapa hari pertama setelah penyuntikan dan glukosa darah secara bertahap akan turun ke level normal (Takada et al., 2007 cit. Kulkarni et al., 2012).
Gambar 4. Struktur molekul streptozotosin (Sharma, 2010)
Enam hingga lima belas minggu setelah pemberian streptozotosin dosis tunggal pada tikus neonatal, STZ akan merusak sel β pankreas. Selanjutnya, regenerasi sel β yang terbatas akan terjadi diikuti dengan normalisasi glikemia jangka pendek. Pada usia tiga bulan, tingkat pengaturan glukosa akan menjadi terganggu dan terjadi disfungsi sekretori sel β yang signifikan (DM tipe-2). Tikus neonatal yang disuntik dengan STZ menunjukkan penurunan massa sel β pankreas dan mengembangkan fitur (hiperglikemia, polifagia, polidipsia, poliuria, resistensi insulin dan toleransi glukosa abnormal) di masa dewasa yang mirip dengan pasien DM tipe-2. Oleh karena itu, model N-STZ menyediakan metode yang ideal untuk
18
uji regenerasi sel-β dan evaluasi obat antidiabetes terhadap DM progresif (Takada et al., 2007 cit. Kulkarni et al., 2012). 9. Metode Pengukuran Kadar Glukosa Darah Pengukuran kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan menggunakan dua macam metode, yaitu pengukuran secara kimia dan enzimatis. a. Pengukuran secara kimia Kemampuan glukosa berperan sebagai pereduksi berguna untuk mendeteksi dan mengukur kadarnya dalam cairan tubuh. Glukosa mampu mengubah ion kupri dalam larutan basa menjadi ion kupro. Larutan tersebut akan kehilangan warna biru gelap dan membentuk endapan merah kupro oksida. Reagen Benedict dan Fehling mengandung ion kupri dalam larutan basa yang terstabilisasi oleh sitrat dan tartrat. Reagen Benedict dan Fehling ini telah lama digunakan untuk mendeteksi senyawa pereduksi dalam urin dan cairan tubuh lainnya. Proses kondensasi glukosa dengan amin aromatik dan asam asetat glasial pada temperatur yang lebih tinggi dibanding suhu ruang akan membentuk senyawa berwarna hijau yang dapat diukur secara fotometri. Proses tersebut merupakan prinsip pemeriksaan kadar glukosa dalam darah secara kimia (Freeman, 2013). b. Pengukuran secara enzimatis Pengukuran kadar glukosa umumnya menggunakan metode enzimatis seperti metode glukosa oksidase dan hexokinase. Kelebihan metode enzimatis diantaranya adalah sederhana, cepat, spesifik untuk glukosa dan dapat diadaptasi dalam berbagai alat pengukur glukosa (Estridge et al., 2000).
19
1) Metode Glukosa Oksidase Prinsip penetapan kadar gula darah dengan metode glukosa oksidase adalah penggunaan enzim glucose oxidase (GOD) untuk mengkatalisis reaksi oksidasi glukosa menjadi asam glukoronat dan hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida yang terbentuk akan bereaksi dengan fenol dan 4-aminophenazon. Dengan bantuan enzim peroksidase (POD), reaksi ini akan menghasilkan senyawa kuinonimin yang berwarna merah muda dan dapat diukur dengan spektrofotometer. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: a) Glukosa + H2O + O2
GOD
asam glukoronat + H2O2
b) 2H2O2 + 4-aminophenazon + fenol
POD
kuinonimin + 4 H2O
Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan kadar glukosa darah yang terdapat dalam sampel (Estridge et al., 2000). 2) Metode Heksokinase Prinsip metode heksokinase dalam penetapan kadar gula darah adalah enzim hexokinase akan mengkatalisis reaksi fosforilasi glukosa dengan ATP
membentuk
glukosa-6-fosfat
dan
ADP.
Glukosa-6-fosfat
dehidrogenase, sebagai enzim kedua akan mengkatalisis reaksi oksidasi glukosa-6-fosfat dengan nicotinamide adenine dinocleotide phosphate (NADP+). Reaksi kimia dari metode heksokinase ditunjukkan di bawah ini: a) Glukosa + ATP
Heksokinase
G6P + ADP
20
b) G6P + NADP
G6PD
6PG + NADPH
Senyawa NADPH diketahui memiliki gugus kromofor (dapat menyerap sinar UV dan sinar tampak) sehingga dapat diukur pada panjang gelombang 334 nm. Jumlah NADPH yang terbentuk setara dengan jumlah glukosa (Estridge et al., 2000). 3) Metode enzimatis pada alat glukometer Salah satu alat yang menerapkan metode enzimatis GOD-PAP adalah glukometer One Touch Ultra®. Cara pengukuran kadar gula darah dengan alat ini cukup dengan mengaplikasikan sejumlah sampel darah (1-2 μL) pada strip. Layar glukometer akan menampilkan hasil pengukuran setelah beberapa detik sampel diteteskan pada strip. Pada strip One Touch Ultra®, terdapat enzim glukosa dehidrogenase yang akan merubah glukosa dalam sampel darah menjadi glukonolakton. Reaksi ini akan membebaskan elektron yang kemudian bereaksi dengan reseptor elektron Co-enzim sehingga ion perantara (mediator) yaitu Heksasianoferat (III) akan tereduksi menjadi ion Heksasianoferat (II). Enzim tersebut akan menyampaikan
elektron
ke
elektroda
untuk
pengukuran
secara
elektrokimia (Hones et al., 2008).
Gambar 5. Skema reaksi umum yang terjadi pada strip glukometer (Hones et al., 2008)
21
F. LANDASAN TEORI Salah satu jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia untuk mengobati diabetes mellitus (DM) adalah lenglengan. Hasil penelitian Saha et al., (1997) menyebutkan bahwa ekstrak metanol herba lenglengan memiliki efek sebagai agen antidiabetes. Bhoja (2009) dalam penelitiannya membuktikan bahwa ekstrak etanol daun lenglengan memiliki aktivitas hipoglikemik. Chandrashekar dan Prasanna (2009) juga melaporkan bahwa ekstrak kloroform bunga segar lenglengan dapat menurunkan kadar glukosa darah dan HbA1C secara signifikan pada tikus diabetes yang diinduksi aloksan. Proses fraksinasi diharapkan mampu menyari senyawa spesifik dari daun lenglengan. Pelarut kloroform akan menarik senyawa-senyawa golongan alkaloid, flavonoid, asam lemak dan komponen minyak atsiri tertentu (Depkes RI, 1987). Sebagian metabolit sekunder golongan alkaloid dan flavonoid telah terbukti memiliki efek antidiabetes (Singab et al., 2014). Aktivitas antidiabetes senyawa alkaloid melalui beberapa mekanisme, misalnya sebagai penghambat αglukosidase dan penghambat aldosa reduktase (Singab et al., 2014). Senyawa flavonoid sebagai agen antidiabetes melalui beberapa mekanisme, yaitu menghambat enzim aldosa reduktase, meningkatkan sekresi insulin, memicu regenerasi sel pankreas dan meningkatkan uptake ion Ca2+ (Mohan dan Nandhakumar, 2014). Metode neonatal STZ akan menghasilkan tikus yang memiliki penurunan massa sel β pankreas dan saat dewasa akan mengalami hiperglikemia, polifagia, polidipsia, poliuria yang mirip dengan pasien DM tipe-2. Metode N2-STZ-induced type-2 DM dianggap paling baik untuk menggambarkan pasien DM tipe-2.
22
G. HIPOTESIS Fraksi
kloroform dari ekstrak
etanol daun
lenglengan (Leucas
lavandulifolia Smith) memiliki aktivitas antidiabetes pada tikus N2-STZ-induced type-2 DM.