7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mata Air Mata air merupakan air tanah yang keluar dengan sendirinya ke permukaan tanah. Mata air yang berasal dari dalam tanah hampir tidak terpengaruh oleh musim dan kualitasnya sama dengan air tanah dalam. Berdasarkan keluarnya (muncul kepermukaan tanah) mata air, dapat dibedakan menjadi: mata air rembesan, yaitu mata air yang keluar dari lereng-lereng dan mata air umbul, yaitu mata air keluar dari suatu daratan (Sutrisno dan Suciastuti, 2002). Kualitas air dari mata air akan sangat tergantung dari lapisan mineral tanah yang dilaluinya. Hal ini menunjukkan karakter-karakter khusus dari mata air tersebut. Kebanyakan air yang bersumber dari mata air kualitasnya baik sehingga umumnya digunakan sebagai sumber air minum oleh masyarakat sekitarnya. Sebagai sumber air minum masyarakat, maka harus memenuhi beberapa aspek yang meliputi kuantitas, kualitas dan kontinuitas (Arthana, 2007). Berdasarkan sumber mata air ada dua macam yaitu: gravity springs yaitu mata air yang muncul kepermukaan tanah karena gaya gravitasi dan artisien springs yaitu mata air muncul kepermukaan tanah karena artesis/tekanan (Sanropie, 1984). 2.2 Perlindungan Mata Air (PMA) Menurut Sanropie, (1984) salah satu air tanah yang mempunyai debit air yang cukup baik dalam jumlah dan kualitas adalah mata air. Sesuai dengan kondisi mata
8 air ini yang muncul di permukaan tanah, maka akan mudah mengalami kontaminasi yang berasal dari luar. Bahwa munculnya mata air ini dari dalam tanah sangat bervariasi untuk itu dalam membuat perlindungan mata air perlu disesuaikan dengan munculnya mata air tersebut. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan perlindungan mata air antara lain: a) Peningkatan baik jumlah maupun mutu air yang ada setelah diadakan perlindungan . b) Mencegah pengotoran yang mungkin timbul yang berasal dari luar. Sebelum mata air dikaptering/ditangkap, hendaknya diadakan penyelidikan yang luas terlebih dahulu yang meliputi: 1) Asal air Mata air di tebing setelah diselidiki ternyata mendapatkan airnya dari air rembesan berasal dari sawah sebelah atas. Apabila sawahnya ditiadakan untuk bangunan-bangunan industri, mata air tidak mengeluarkan air. Mata air demikian disebut mata air palsu. 2) Debit mata air, baik dimusim hujan maupun di musim kemarau konstan. 3) Kualitas air, pengambilan sampel untuk pemeriksaan kualitas air. 4) Keadaan topografi sekelilingnya.
9 5) Keadaan vegetasi disekitar mata air, sebab tumbuh-tumbuhan dapat merupakan penahan air yang jatuh dan mempengaruhi debit, seringkali terdapat pohon-pohon besar yang bertugas dalam rangka water conservation. 6) Kemungkinan–kemungkinan pengotoran oleh air dari permukaan atau dari kegiatan masyarakat. Dalam perencanaan bangunan perlindungan mata air perlu diperhatikan: 1) Segi fungsional, bahwa bangunan captering/penangkap akan memberikan debit yang cukup dan berfungsi sebagaimana mestinya. 2) Segi konstruksi, bangunan captering/penangkap: kuat, awet bagian–bagian yang memerlukan rapat air dan sebagainya. 3) Segi hygienis, harus bebas dari kemungkinan-kemungkinan pengotoran, untuk itu perlu diperhartikan hal-hal sebagai berikut : a) Letak dan perencanaan bangunan kaptering harus dibuat sedimikan rupa sehingga air permukaan harus melewati tanah setelah paling sedikit 3 meter sebelum mencapai air tanah. b) Sekeliling atas bangunan dibuat selokan pengeringan (drainage) untuk mencegah masuknya air permukaan ke daerah bangunan. c) Sekeliling bangunan harus dibuat pagar agar binatang–binatang tidak dapat masuk ke daerah ini, demikian pula orang-orang yang tidak berkepentingan.
10 d) Bangunan–bangunan pengumpul air harus dibuat sedemikian rupa sehingga sinar matahari tidak dapat masuk, sehingga pertumbuhan algae dapat dihindari. e) Pipa peluap harus terletak sedemikian rupa sehingga air permukaan tidak dapat masuk, pada waktu musim hujan. f) Lubang pemeriksaan (manhole) yang ada harus ditutup rapat. g) Permukaan tembok bagian dalam desinfeksi terlebih dahulu dengan mencucinya dengan air yang mengandung khlor sebelum bangunan digunakan. h) Ada tidaknya
perlakuan fisik yang dilakukan yang mampu memperbaiki
kualitas air seperti penambahan kaporit/tawas dan sebagainya. 2.3 Pencemaran Perairan Istilah pencemaran air atau polusi air cenderung semakin mengemuka sekarang ini dan mungkin di masa-masa mendatang, mengingat masalah penurunan kualitas air semakin nampak dan dirasakan pengaruhnya oleh banyak orang, masyarakat pada umumnya. Masalah memburuknya kualitas air semakin dirasakan pada saat musim kemarau, ketika kuantitas air atau debit air berkurang. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (PP No. 20/1990) pencemaran air didefinisikan pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen
11 lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Pasal 1, Angka 2). 2.4 Sumber Pencemar air Menurut Ryadi (1984), sumber–sumber pencemaran air dapat berasal dari: 1) Sumber Domestik (rumah tangga): perkampungan, kota pasar, jalan, dan sebagainya. 2) Sumber non-domestik (non rumah tangga): industri (pabrik), pertanian, peternakan, perikanan, serta sumber-sumber lainnya yang banyak memasuki badan air. Secara langsung maupun tidak langsung pencemar tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air, baik untuk keperluan air minum, air industri maupun keperluan lainnya. Berbagai cara dan usaha telah banyak dilakukan agar kehadiran pencemaran terhadap air dapat dihindari, dikurangi ataupun dapat dikendalikan. 2.5 Akibat Pencemaran air Akibat semakin tingginya buangan domestik memasuki badan air di negara yang sedang berkembang, maka tidak mengherankan kalau berbagai jenis penyakit, secara epidemik ataupun endemik berjangkit dan merupakan masalah rutin yang ada di mana-mana. Di Indonesia misalnya, setiap tahun lebih dari 3500.000 anak-anak dibawah umur (3 tahun) diserang oleh berbagai jenis penyakit perut dengan jumlah kematian sekitar 105.000 orang/tahun. Jumlah tersebut akan meningkat lebih banyak pada daerah/tempat yang keadaan sanitasi lingkungannya berada pada tingkat yang
12 rendah. Ini misalnya dapat ditemukan pada daerah perkampungan padat dengan keadaan selokan, pekarangan, dan MCK-nya (mandi, cuci kakus) yang tidak teratur dan tidak terpelihara sebagaimana mestinya (Suriawiria, 1996). 2.6 Pencemaran Air tanah Pergerakan air yang lambat di tanah menyisakan kontak dengan tanah dan batuan, untuk waktu yang lama. Oleh karena itu berbagai unsur-unsur larut dari tanah dan batuan yang menyertai menyebabkan peningkatan mineral pada air (Lerr, dkk, 1980). Contoh air mengalir pada batu kapur air jadi sadah, ketika ion magnesium dan kalsium terlarut tetapi jika batuan terdiri dari tanah liat dan endapan lumpur sodium dan potassium dilepaskan, sebagian besar batuan dan berakibat besar pada air tanah, mengandung bahan campuran besi yang mana memberi rasa seperti logam dan warna mengkarat pada air. Unsur-unsur ini adalah pencemar/pollutan alami. Sangat jelas bahwa air tanah dapat dicemari oleh peristiwa alami tapi tetap mineralisasi dapat menimbulkan sifat-sifat yang merugikan, pada kasus-kasus yang langka air menjadi racun atau merugikan kesehatan. Mungkin perubahan kualitas mata air dipengaruhi aktivitas manusia seperti petanian dengan pupuk, pestisida yang menjadi residu. 2.7 Sifat Fisika Perairan 2.7.1 Suhu Suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen (Satrawijaya, 2002). Suhu pada air mempengaruhi secara langsung toksisitas (bahan kimia pencemar), pertumbuah mikroorganisme dan virus tertentu. Secara umum,
13 kelarutan bahan-bahan padat dalam air akan meningkat, dengan meningkatnya suhu (Sutrisno dan Suciastuti, 2002). Suhu badan air dipengaruhi oleh musim, letak lintang (latitude), ketinggian tempat dari permukaan laut (attitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman air. 2.7.2 Padatan Terlarut dan Tersuspensi Secara teoritis muatan padatan tersuspensi adalah semua bahan yang masih tetap tinggal sebagai penguapan dan pemanasan pada suhu (103–105)oC. Sedangkan muatan padatan terlarut adalah seluruh kandungan partikel baik berupa bahan organik maupun anorganik yang telarut dalam air. Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika berlebihan dapat meningkatkan kekeruhan selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya akan berpengaruh terhadap proses fotosíntesis di perairan (Effendi, 2003). Semakin besar nilai kandungan muatan padatan tersuspensi dan terlarut di dalam air akan mengakibatkan semakin terhalangnya berbagai proses fisik dan kimia perarian. 2.8 Sifat Kimia Perairan 2.8.1 Derajat Keasaman (pH) Air normal yang memenuhi syarat untuk kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5–7,5. Air dapat bersifat asam atau basa, tergantung pada besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen dalam air. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal (pH=7) akan bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai pH lebih besar dari normal akan bersifat basa. Dalam air murni pada suhu 25º C harga (H+) =1,0 x 10.-7 mol/liter sehingga pH = 7. Jika keasamannya bertambah nilai (H+)
14 membesar, dan harga pH pun turun dibawah 7. Sebaliknya jika basa harga pH naik diatas 7 (Arsyad, 2001). 2.8.2 DO (Dissolved Oxygen) atau Oksigen Terlarut. DO digunakan untuk mengoksidasi bahan–bahan organik di dalam air. Air dengan DO yang tinggi akan memiliki kemampuan mengoksidasi yang baik. Air dengan DO rendah biasanya akibat air dengan kandungan pencemar (bahan organik) tinggi. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian tempat serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Effendi, 2003). Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air. Kelarutan DO dalam air ikut berpengaruh terhadap BOD dan COD. Menurut Sastrawijaya (2002), kandungan oksigen (O2) merupakan hal yang penting bagi kelangsungan hidup organisme perairan, sehingga penentuan kadar O2 terlarut dalam air dapat dijadikan ukuran untuk menentukan mutu air. Analisis Oksigen terlarut merupakan kunci yang dapat menentukan tingkat pencemaran suatu perairan. 2.8.3 BOD (Biological Oxygen Demand) Kebutuhan Oksigen Biologik (BOD) merupakan ukuran banyaknya oksigen yang diperlukan oleh jasad pengurai untuk merombak bahan organik yang ada dalam perairan dalam volume air tertentu. Secara umum BOD diukur dalam jangka waktu
15 lima hari, sehingga dikenal sebagai BOD5, artinya banyaknya oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik baik yang terlarut maupun yang tersuspensi paling tinggi dalam waktu lima hari pada suhu konstan 20 oC (Alaerts dan Santika, 1987). Peningkatan nilai BOD5 merupakan petunjuk adanya penurunan kandungan oksigen terlarut yang disebabkan oleh peningkatan jumlah populasi organisme dan meningkatnya laju penguraian. Perairan yang memiliki nilai BOD tinggi dan tidak mempunyai kemampuan meningkatkan kandungan oksigen terlarutnya akan sangat berbahaya bagi kehidupan biota akuatik yang ada, karena bila BOD semakin tinggi dapat menyebabkan kematian. Menurut Sundra (2006), tingginya kandungan BOD pada ke 6 stasiun penelitan (Tanjung Benoa, Nusa Dua, Kuta, Legian, Canggu dan Petitenget) pada musim hujan (4,94–7,59 mg/l) maupun musim kemarau (5,02–7,49) mg/l) karena lokasi-lokasi tersebut sarat dengan aktivitas bidang perikanan, restoran, perhotelan yang semuanya sangat berpotensi menimbulkan limbah organik. Limbah organik ini akan mudah terakumulasi kedalam air sumur karena topografi tanah yang datar dan tanah-tanah di kawasan pesisir yang bersifat porous (tekstur berpasir). Disamping limbah cair yang berasal dari aktivitas perhotelan, restaurant, perikanan yang berpotensi menghasilkan bahan organik, juga berasal dari sampah yang berupa dedaunan.
16 2.8.4 Besi Adanya unsur besi (Fe) yang berlebih menimbulkan noda-noda pada peralatan dan bahan yang berwarna putih. Unsur Fe dapat menimbulkan bau, warna dan koloid pada air minum. Sumber unsur Fe dalam air yaitu sumber alamiah yaitu berada di dalam lapisan tanah dan di dalam air tanah, sumber buatan yaitu limbah industri seperti pertambangan, tekstil, kimia dan kilang minyak. Senyawa Fe dalam lapisan tanah : ferri oxide, pyrite dan siderite. Secara kimiawi bentuk Fe yaitu ferri dan ferro dan sifatnya ferri sukar larut dalam air dan Ferro larut dalam air. Perubahan ferro menjadi ferri melalui proses oksidasi, proses aerasi dan aktivitas mikroba bakteri besi (Leptorix, Crenothric, Galionella, Sphaerotilus dan Siderocapsa). Sedangkan ferri (Fe3+) dapat diubah menjadi ferro (Fe2+) melalui proses reduksi (Purwanto, 1997). 2.8.5 Nitrat (NO3- N) Menurut Margono (1991), NO3 dalam air adalah berkaitan dengan siklus Nitrogen dari alam. Nitrat yang berlebihan dari yang ditimbulkan oleh kehidupan tanaman terbawa oleh air yang merembes malalui tanah, sebab tanah tidak mempunyai kemampuan untuk menahannya. Ini mengakibatkan konsentrasi nitrat yang relatif tinggi pada air tanah. Air sumur atau mata air dengan konsentrasi nitrat (mg/l) dalam air merupakan peringatan agar hati-hati dalam penggunaaan air tersebut untuk campuran makanan/minuman untuk bayi. Nitrat (NO3) dalam usus cendrung untuk berubah menjadi nitrit (NO2) karena suasana pH lambung, dengan pH 1,5–2,5, sebagai pembentukan HCl lambung, yang kemudian dapat beraksi dengan haemoglobine dalam darah membentuk methamoglobine yang dapat menghalangi
17 transportasi oksigen di dalam tubuh. Hal ini menyebabkan kondisi yang dikenal dengan methomoglobinemia, pada bayi disebut penyakit biru (blue baby diseases). 2.8.6 Timbal (Pb) Timbal merupakan logam berat yang bersifat akumulatif dalam tubuh. Timbal dan persenyawannya banyak digunakan dalam indutri-industri (baterai, cat). Timbal dan persenyawaannya adalah beracun (Margono, 1991). Timbal cendrung untuk terakumulasi dalam tubuh dan mempengaruhi sistem syaraf pusat (otak dan ginjal), serta kemunduran mental pada anak yang sedang tumbuh (Effendi, 2003). 2.9 Sifat Mikrobiologi Di bidang mikrbiologi air, beberapa jasad tertentu khususnya dan mikroalga, kehadirannya dapat digunakan sebagai jasad-parameter/indikator alami terhadap kehadiran pencemar organik. Misal bakteri Spaerotilus, kehadirannya dapat menjadi petunjuk terhadap kandungan senyawa organik tinggi di dalam badan air. Juga mikroalge Anabaena dan Mycrocystis dapat menjadi petunjuk untuk kehadiran senyawa fosfat tinggi di dalam badan air. Sedangkan mikroalge-kresik (Diatome) lebih cendrung menjadi petunjuk terhadap kehadiran senyawa kimia yang bersifat toksik yang terdapat di dalam badan air. Kehadiran bakteri faecal (dari tinja) di dalam air dapat diketahui dengan adanya kelompok bakteri coli. Di dalam penentuan kualitas air secara mikrobiologik kehadiran bakteri tersbut ditentukan berdasarkan tes tertentu dengan perhitungan tabel MPN (Most Probable Number)(Suriawiria, 1996).
18 Bakteri faecal adalah bakteri yang berasal dari faeces sebagai substrat utama. Bakteri ini di dalam air minum tidak diharapkan baik ditinjau dari segi esteika, sanitasi maupun terjadinya infeksi yang berbahaya. Jika di dalam 100 ml contoh air didapatkan 500 sel bakteri coli memungkinkan terjadinya gastroenteritis yang segera diikuti oleh demam thypus. Esherichia coli salah satu bakteri patogen. E.coli sebagai salah satu contoh jenis coli, pada keadaan tertentu dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh , sehingga dapat tinggal di dalam blader (cystitis) dan pelvis (pyelitis) ginjal dan hati, dan sangat mengkhawatirkan. Juga bakteri tersebut dapat menyebabkan diarhea, septimia, peri tonitas, meningistis dan infeksi lainnya (Suwiawirya, 1996). Dari sejumlah tinja yang setiap hari dihasilkan oleh manusia antara 100–150 gram, ternyata di dalamnya terkandung sekitar 3 x 10
11
(atau 300 milyar) sel bakteri
coli. Sehingga kehadiran bakteri coli di dalam badan air dipararelkan dengan telah terjadinya kontaminasi faecal, yaitu lebih tinggi kandungan bakteri coli, lebih kotor dan tidak memenuhi syarat untuk kepentingan manusia, khususnya air minum. Analisis mikrobiologis berdasarkan pendekatan ekologis perlu untuk dilaksanakan mengingat kepentingan dari hasil untuk pengelolaan lingkungan, baik yang berhubungan dengan masalah sanitasi, kebersihan, kesehatan dan estetika ataupun kepentingan bidang industri (air pendingin, air proses, pengelolan buangan). Menurut Trisnawulan (2007), tingginya kandungan bakteri coli terjadi karena pada lokasi Sanur Kaja merupakan daerah padat penduduk sehingga jarak sumur
19 dengan pembuangan limbah domestik dan septic tank dekat. Sedangkan pada lokasi Sanur Kauh hampir semua penduduk di lokasi penelitian membuang limbah domestik dan septic tank-nya dengan meresapkan ke dalam tanah sehingga air tanah mudah terkontaminasi oleh kelompok bakteri coliform. 2.10 Baku Mutu Air Penetapan kualitas air didasarkan pada Baku Mutu Air yang berlaku. Untuk kriteria kualitas air minum ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran Air. Khusus untuk Propinsi Bali telah dikeluarkannya Keputusan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2007, tanggal 1 Pebruari 2007 Tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup dan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 114 tahun 2003 Tentang Pedoman Pengkajian Untuk menetapkan Kelas Air, tanggal 10 Juli 2003 serta Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 Tentang Pedoman Status Mutu Air, tanggal 10 Juli 2003. Parameter yang dianalisis dan ditetapkan berdasarkan air Kelas I yang mengacu pada Peraturan Gubernur Bali No.8 tahun 2007 seperti Lampiran 12.