BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka 2.1.1.Penelitian Terdahulu Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan studi dan analisis terhadap penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan tema dan topik yang sama, yaitu peran Ombudsman dengan good governance, yang menjadi referensi bagi tesis yang peneliti
tulis saat ini.
Penelitian yang berkaitan dengan Ombudsman dan good governance telah banyak dilakukan, tetapi penelitian-penelitian sebelumnya memiliki perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Beberapa penelitian sebelumnya yang dianalisis oleh penulis dideskripsikan dibawah ini: Penelitian
mengenai
peran
Ombudsman
dalam
mendorong
atau
mewujudkan good governance pernah dilakukan oleh Agus Widjayanto Nugroho, tahun 2004 dengan judul: Peran Lembaga Ombudsman Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Mewujudkan Good Governance. Dalam tulisan ini, Widjayanto melakukan penelitian terhadap good governance di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Indonesia pada tahun 2004, penelitiannya bersifat deskriptif dengan berfokus pada persoalan kondisi bangsa Indonesia dimana saat itu menguatnya gejala public distrust. Muncul indikator partisipasi masyarakat yang tidak optimal (angka golput sekitar 30-40 % dari jumlah pemilih) dalam memilih beberapa aparatur pemerintah (birokrasi) idealnya dalam menjalankan tugas menjadi pelayan masyarakat.
Widjayanto, mengemukakan di Indonesia saat itu sebagian besar masyarakat beranggapan yang bukan rahasia lagi bahwa apabila berurusan dengan birokrasi pasti merepotkan, berbelit belit, dan terkadang mengeluarkan biaya ekstra, belum lagi praktik kolusi, korupsi dan nepotisme di tubuh pemerintahan yang setiap hari menjadi pokok bahasan wajib di media massa. Atas gejala public distrust tersebut, Good governance muncul di Indonesia di era reformasi, karena tuntutan terhadap tidak berfungsi dengan baiknya lembaga negara pengawasan lainnya, serta tersumbatnya saluran partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial terhadap pemerintah. Akibatnya para pejabat publik di Indonesia saat itu sebagai pelayan masyarakat banyak melakukan tindakan koruptif, terhadap uang hasil pembayaran pajak oleh masyarakat terhadap negara. Tulisan Widjyanto, lebih menekankan kepada eksplorasi pemerintah dalam berusaha untuk mewujudkan good governance di Indonesia dengan cara mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang berpihak pada masyarakat, sektor swasta dan pemerintah daerah. Fokus penelitian Widjayanto lebih mengkaji pada Peran Lembaga Ombudsman Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang diharapkan dapat mampu memberikan solusi bagi perbaikan penyelenggaraan pemerintahan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lembaga Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta juga dirancang sebagai lembaga publik yang dapat memberi akses dan kontrol masyarakat dalam partisipasi pengawasan kinerja pelayanan publik
dan/atau dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan persoalan dengan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Keberadaan Lembaga Ombudsman Daerah Provinsi DIY adalah sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaran pemerintahan yang baik, terutama memberikan pengawasan kepada aparatur pemerintah untuk menjamin pemberian pelayanan sebaik-baiknya dan juga perlindungan terhadap hak-hak setiap anggota masyarakat. Dalam tulisan Widjayanto, hanya mengkaji tentang peran fungsi, tugas dan wewenang Lembaga Ombudsman Daerah Yogyakarta (ODY), dalam mengawasi pemerintah dalam pemberian pelayanan publik kepada masyarakat, tanpa memberikan analisis yang mendalam mengenai upaya Ombudsman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta seperti apa dalam mewujudkan good governance di Propinsi Yogyakarta, di era reformasi saat itu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perlu dilakukan proses perumusan peran Ombudsman dalam mewujudkan good governance di Daerah Istimewa Yogyakarta yang jelas, terutama dalam tindakan pemberantasan dan pencegahan atas kasus-kasus konkrit mal-administrasi dalam pelayanan publik untuk mewujudkan pemerintahan yang baik di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian
terdahulu
yang
penulis
pelajari
selanjutnya
Governance, Good Governance and Global Governance: Conceptual
berjudul and
Actual Chalenges yang di tulis olehThomas G. Weiss, dan diterbitkan pada Jurnal Third World Quartely Vo.21 No. 5 Oktober 2000 ini membahas tentang
governance sebagai konsep baru yang menarik namun ternyata telah dikenal sepanjang sejarah manusia. Tulisan ini lebih berfokus kepada perdebatan intelektual yang terjadi pada tahun 1980 dan 1990-an, terutama setelah istilah governance menyebar luas seiring dengan pengiatan pembangunan dan menjadi istilah populer dalam kamus kebijakan publik. Dimana banyak akademisi dan praktik
internasional
menginterpretasikan
governance
dalam
konotasi
sekumpulan struktur dan proses baik secara privat maupun publik. Sementara penulis lain kebanyakan mengunakan istilah ini sebagai sinonim dari goverment. Dimana istilah governance kemudian secara umum merujuk pada mereformasi pemerintahan di suatu negara serta memperbaiki sistem administrasi publik pemerintahan secara nasional. Tulisan ini melihat secara mendalam proposisi terhadap dampak dari baik buruknya implementasi governance di suatu negara. Konsep governance ini melihat peran dari kebijakan dan naskah akademik, Jhon Mayer Keyness tahun 1936 menulis mengenai ide ekonomi dan filosofi politik keduanya kadang bisa salah bisa benar, hal tersebut lebih banyak diperbincangkan dibandingkan kesepahaman mengenai kedua ide tersebut. Tulisan ini mencari fakta bahwa ide baik dalam ekonomi maupun bidang lainnya telah diabaikan oleh para penstudi hubungan internasional. Dalam menganalisa munculnya governance, good governance dan global governance tidak dapat dilepaskan dari peran Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam prosesnya.
Analisa hasil tulisan secara lansung melihat peran yang dilakukan oleh lembaga internasional dalam mendorong good governance di suatu negara. Selain itu kajian yang dilakukan terlalu luas yaitu pada tataran ide dan konsep serta seluruh lembaga internasional yang berperan dalam mempromosikan governance, good governance dan global governance seperti World Bank, UNDP, OECD, IMF dan lain-lain. Penelitian terdahulu yang dipelajari penulis kemudian berjudul: Peran Ombudsman Dalam Mewujudkan Good Governance Di Indonesia, di tulis oleh Antonius Sujata, (Mantan Ketua Ombudsman Nasional Republik Indonesia periode 2005-2008), dalam bentuk buku kompilasi, editor C. F. G Sunaryati Hartono, diterbitkan oleh Komisi Ombudsman Nasional Indonesia tahun 2005. Dalam tulisan ini, Antonius Sujata, lebih menkaji pada kredibilitas aparat negara/pemerintahan di Indonesia pada era reformasi dewasa ini, dimana pemerintah dinilai tidak lagi dipercaya oleh masyarakat, karena perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dampaknya pelayanan umum di Indonesia menjadi barang langkah, mahal dan susah di akses masyarakat luas. Artinya penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia belum terselenggaranya dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, yang membawah kerugian baik secara materil maupun immateril kepada masyarakat. Sujata, mengemukakan kondisi reformasi yang bergulir di Indonesia dewasa ini, cukup banyak komisi pengawasan bermunculan, tetapi tidak memperdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol terhdapa jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Dampaknya banyak yang disorot di Indonesia
saat ini adalah pemerintahan yang baik dan bersih. Dengan sorotan demikian, maka kinerja Ombudsman lebih berfokus pada tujuan pertama yaitu pemerintahan yang baik, maka pembentukan Ombudsman Nasional Indonesia dilatarbelakangi landasan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, memperoleh pelayanan yang sama adil oleh penyelenggara negara, melakukan pengawasan terhadap penyimpangan juga untuk mencegah penyimpangan pemerintahan. Menurut Sujata, dalam mewujudkan pemerintahan yang baik di Indonesia, Ombudsman Nasional berperan aktif dalam melakukan tugas pengawasan terhadap pelayanan publik, pemberantasan dan pencegahan KKN di Indonesia. Ombudsman Republik Indonesia telah dilandasi dengan UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, bahkan diperkuat dengan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ombudsman Nasional Indonesia diperlukan untuk menghadapi penyalahgunaan kewenangan oleh aparatur pemerintah
dan
sekaligus
membantu
aparatur
negara
melaksanakan
penyelenggaraan negara secara efisien dan adil. Hasil analisa dalam tulisan Sujata, lebih berfokus pada Peran Komisi Ombudsman Nasional Indonesia melalui tugas dan kewenangannya untuk menyelesaikan
kasus-kasus penyalahgunaan wewenang dan mal-administrasi
yang dilaporkan masyarakat. Untuk proses penanganan dan penyelesaiannya Ombudsman melakukan tindakan penuntutan investigasi dan monitoring maladministrasi pemerintahan, juga melakakukan tindakan mediasi dan konsiliasi terhadap
kasus-kasus
mal-administrasi,
melakukan
pelatihan-pelatihan
pencegahan mal-administrasi. Hasil kajian Sujata, menunjukan bahwa peran,
fungsi dan tugas Lembaga Nasional Ombudsman Republik Indonesia, ditujukan untuk mengawasi pelayanan publik di Indonesia,
hampir mirip dengan
Ombudsman Timor Leste, namun dalam praktik berbeda dengan Ombudsman Timor Leste, karena Ombudsman Timor Leste diberi kekuatan untuk melindungi hak asasi manusia dan penegakkan pemerintahan yang baik di Timor Leste.
2.2.
Kerangka Konseptual Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa konsep
yang berfungsi sebagai acuan untuk melakukan analisis terhadap fenomena yang sedang diteliti. Beberapa konsep yang digunakan demikian yaitu:
2.2.2.1 Good Governance 2.2.2.1. Konsep Governance
Lahirnya konsep governance dipecuh oleh krisis Afrika pada tahun 1989 hingga
1990-an. Krisis Afrika, Bank Dunia menilai sebagai kegagalan
pembangunan akibat pemerintahan yang buruk atau kemiskinaan pemerintahan bad governance atau poor governance. (World Bank, 2002: 40). Berkaitan dengan kegagalan konsep institutional capacity building serta bantuan pembangunan yang lainnya di Negara-Negara Sub Sahara: Afrika Selatan dan Afrika Barat, 1989, maka baru pada tahun 1990-an konsep ini mengalami revitalisasi menjadi rubrik Governance for development, yaitu untuk mendorong reformasi ekonomi dan demokratisasi politik yang diarahkan pada pemerintahan yang baik.
Atas rubrik tersebut, Bank Dunia mempopulerkan istilah Governance pertama kali melaui publikasi hasil penelitiannya yang
di terbitkan tahun 1992 berjudul
governance and development, (Sedermayanti, 2007: 3). Yang secara rasional konsep governance dimunculkan untuk menguat karakter pemerintah di negara negara
penerima
pemerintahan
bantuan (recipient)
dan
sektor
publik
untuk bagi
melakukan
penghapusan
reformasi korupsi dan
mempraktikan pemerintahan yang baik. Konsep kepemerintahan ( governance) merupakan isu sentral yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi umum pemerintahan dewasa ini. Menurut Sedarmayanti, hal ini dikarenakan adanya tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
baik
adalah sejalan
dengan meningkatnya
tingkat
pengetahuan dan pendidikan masyarakat, selain adanya pengaruh globalisasi. Melalui hasil penelitian Bank Dunia, memberikan pengaruh yang kuat dalam kehidupan global sehingga memunculkan pemikiran baru yang mengarah pada perubahan paradigma dalam pola penyelenggaraan pemerintahan, yaitu dari paradigma konvensional/tradisional
menjadi
paradigma
baru
dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah dengan swasta dan masyarakat.
Perubahan tersebut
lebih
dikenal
dengan pergeseran paradigma dari
pemerintah (government) menjadi tata pemerintahan (governence) sebagai wujud dari interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam
menghadapi berbagai permasalahan kontemporer yang demikian kompleks, dinamis serta beraneka ragam. Seiring dengan perubahan paradigma government ke governance, muncul gerakan
baru yang dinamakan” gerakan masyarakat sipil”. Inti dari gerakan ini
adalah bagaimana membuat masyarakat lebih mampu dan mandiri untuk memenuhi
sebagian
kepentingannya
berkembangannya masyarakat
sipil
sendiri.
Konsekuensi
logis
dari
adalah semakin rampingnya bangunan
birokrasi, karena sebagian besar pekerjaan pemerintah dapat dijalankan sendiri oleh
masyarakat maupun dilaksanakan melalui pola kemitraan dalam rangka
privatisasi.
Didalam praktik
perubahan besar yang diharapkan terjadi dalam
hubungan antara pemerintah dan warga negara ternyata tidak terjadi secara signifikan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari sifat dan pengertian pemerintah (government) yang harus memerintah. Dengan memerintah maka akan terjadi suatu hubungan yang bersifat hierarkis (atas bawah) menjadi heteraksi (kesetaraan), maka diperlukan perubahan filosofis dan konsep berpikir, termasuk penciptaan istilah baru yang tepat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Word Bank maupun United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 1997 mengembangkan istilah baru yaitu “governance” sebagai pendamping kata “government”. Kata Governance kemudian diterjemahkan dalam berbagai literatur bahasa Indonesia sebagai “tata pemerintahan” dan ada pula sebagai “kepemerintahan”.
Menurut Word Bank, kata governence diartikan sebagai cara, yakni cara bagaimana
kekuasaan
negara
digunakan
untuk
mengelola
sumberdaya-
sumberdaya ekonomi dan sosial guna pembangunan masyarakat. United
Nations
Development
Programme
(UNDP:1997:12)
mendefinsikan“governance “sebagai kepemerintahan, dimana hal ini diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk memanage urusan-urusan bangsa. Lebih lanjut UNDP (1999) menegaskan bahwa kepemerintahan adalah suatu institusi, mekanisme, proses dan hubungan yang komplek melalui warga negara (citizens) dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya, melaksanakan hak dan kewajibanya dan menengahi atau menfasilitasi perbedaan di antara mereka. Ganie Rochman (2000:23), menyebutkan bahwa konsep “governance” lebih inklusif dari pada “government”. Konsep“government” menunjuk pada suatu organisasi pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi (negara dan pemerintah). Sedangkan konsep governance melibatkan tidak sekedar pemerintah dan negara tapi juga peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara, sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas. Lebih lanjut dikemukakan bahwa Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh. Sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif. Sedangkan Lembaga Admnistrasi Negara (LAN, 2007:22) mengartikan governance
sebagai
proses
penyelenggaraan
kekuasaan
negara
dalam
menyediakan public good dan service. Lebih lanjut LAN menegaskan dilihat dari
functional aspect, governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan atau sebaliknya.
2.2.1.2 Pengertian Good Governance Pengunaan istilah governance sebagai konsep yang berbeda dengan government, mulai dipopulerkan oleh Bank Dunia sejak tahun 1992. Bank Dunia menyebutkan bahwa, good governance merupakan gabungan dua istilah “good” dan “governance”. Dimana keduanya tidak dapat dipisahkan. Good dalam kepemerintahan yang baik (Good Govermance) mengandung pengertian: 1. Nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial. 2. Aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif, efisien dalam pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, (LAN, 2007:5). Jadi, kepemerintahan yang baik berorientasi pada dua hal penting diantaranya: Pertama, Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan bernegara; orientasi ideal negara mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan komponen konstituen/pemilihnya seperti: legitimasi, apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan rakyat; akuntabilitas (kewajiban memberi pertanggungjawaban/menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan organisasi kepada pihak yang memiliki hak/kewenangan untuk meminta keterangan/pertanggung jawaban). Kedua, Pemerintah berfungsi ideal: secara efektif, efisien melakukan upaya pencapaian tujuan bernegara.
Sedangkan kata governance Bank Dunia mengartikan sebagai”the manner in which power is exercised in management of a country‟s social and economic resources for development of society”. (Pemerintahan adalah cara mengunakan kekuasaan untuk mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat). Jelas sekali, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya di mana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasiorganisasi komersial dan civil society. Bank Dunia membatasi pengertian good governance sebagai: “Penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.” Pada pengertian tersebut, penulis berpendapat bahwa good governance adalah suatu proses pengelolaan berbagai bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi) di suatu negara atau daerah dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam penggunaan sumber daya (alam, manusia dan keuangan) dengan cara yang sesuai dengan prinsip keadilan, efisiensi, partisipasi, transparansi, predictability, akuntabilitas publik dan hak-hak asasi manusia. Dalam konsep good governance pemerintahan harus bertanggung jawab dalam mengalokasikan dana investasi bagi pengifisienkan pasar, menjalankan disiplin anggaran serta
menciptakan kerangka politik dan hukum bagi
pencegahan korupsi dan memungkinkan partisipasi berbagai pihak yang berkepentingan
dalam kegiatan-kegiatan pemerintah sesuai prinsip-prinsip
demokrasi. Menurut konsep good governance pemerintahan harus dijalankan dengan partisipasi berbagai pihak yang berkepentingan, bukan dengan memaksakan pelaksanaan peraturan yang berlaku secara kaku, hal ini akan lebih terasa dalam masyarakat yang heterogen karena adanya berbagai perbedaan. Pengertian governance menurut United Nations Development Programme (UNDP, 1997: 57) adalah: “Governance is the exercise of economic, political, and administrative authority to manage acountry‟s affairs at all levels an means by which states promote social cohesion, integration, and ensure the well being of their population”. (Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaan dibidang ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat). Good governance dimaknai sebagai praktik penerapan pengelolaan berbagai urusan penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan adminstratif di semua tingkatan. Dalam pengertian ini terdapat
tiga model atau pilar
governance yang penting yaitu: 1.
Political
governance/kepemerintahan
politik,
mengacu
pada
proses
pembuatan berbagai keputusan dan perumusan kebijakan. 2.
Economic governance/kepemerintahan ekonomi, mengacu pada proses pembuatan keputusan yang menfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Kepemerintahan ekonomi memiliki implikasi, terhadap masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup.
3.
Administrative governance/kepemerintahan administratif, mengacu pada sistem implementasi kebijakan. United Nations Developmen Programme (UNDP, 1997:18), membatasi
pengertian good governance sebagai: “Sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Good governance merupakan sebuah dialog yang melibatkan seluruh partisipan, sehingga setiap orang merasa terlibat dalam urusan pemerintahan. Tanpa kesepakatan yang dilahirkan dari dialog ini kesejahteraan tidak akan tercapai karena aspirasi politik maupun ekonomi rakyat tersumbat.” Dari definisi di atas, penulis berpendapat bahwa good governance merupakan suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha/swasta, dan masyarakat sehingga terjadi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat yang makmur, sejahtera dan mandiri. Pengertian Good Governance menurut Mardiasmo (1999:18) adalah: “suatu konsep pendekatan yang berorientasi kepada pembangunan sektor publik oleh pemerintahan yang baik.”. Lebih lanjut, United Nation (UN) dalam B.C, Smith (2007:4), mendefinisikan good governance sebagai: “ as policies for sustainable human development (encluding anabling the private sector to createemployment); and government that is democritic, decentralized, empowering, and accountable (with properly functioning legislature, legal and judicial system to protec the rule of low and human right.” (good governance sebagai kebijakan-kebijakan yang menyokong perkembangan masyarakat (termasuk mengembangkan kemampuan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja), penyelenggaraan kepemerintahan yang berdemokrasi, desentralisasi, konsensus dan akuntablitas (dengan menfungsikan badan pembuat undang undang, dan
yudicial sistem yang pantas untuk peneggakan hukum dan perlidungan hak asasi manusia) Pada kedua definisi di atas, good governance lebih menekankan pada reformasi pemerintahan, yakni pemerintah dalam pengelolaan sektor publik diharuskan berdasarkan pada kepemerintahan yang baik. Yakni pemerintah diharuskan merumuskan kebijakan undang-undang dan peneggakan hukum yang demokratis, desentralisasi, pemberdayan dan akuntabel bagi pengembangan masyarakat, dan sektor swasta, agar sektor swasta bisa berupaya menciptakan lapangan kerja yang pantas bagi pertumbuhan masyarakat sebagai penhormatan atas hak asasi manusia. Dengan demikian, ada tiga pilar utama yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: 1.
Negara/pemerintah: konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat beradab.
2.
Sektor swasta: pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti: industri pengolahan perdagangan, perbankan dan koperasi, termasuk kegiatan sektor informal.
3.
Masyarakat (civil society) kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada di antara atau di tengah-tengah antara pemerintah dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi. Ketiga unsur tersebut, yaitu pemerintah, dunia usaha swasta dan
masyarakat harus secara bersama-sama/mengadakan hubungan kemitraan
berupaya
mewujudkan
terlaksananya
Good
Governance.
Prioritas
pembangunan/pengembangan sumber daya aparatur diarahkan pada penciptaan Good governance dengan kebijakan yang mengarah kepada penerapan prinsipprinsip Good Governance, yakni profesionalitas, efektif dan efisien, transparansi, akuntablitas, konsensus, demokratis, penegakkan hukum, persamaan hak, partisipatoris, pemerataan dan keadilan. Dari uraian tersebut di atas, dapat diformulasikan tata pemerintahan yang baik (good governance) meliputi aspek-aspek sebagai berikut : 1.
Mengikutsertakan masyarakat.
2.
Transparan dan bertanggung jawab.
3.
Efektif dan adil.
4.
Menjamin adanya supremasi hukum.
5.
Menjamin prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat.
6.
Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan, termasuk menyangkut alokasi sumber daya pembangunan. Menurut Bank Dunia (World Bank, 2005:8), istilah Governance
didefinisikan sebagai ”the manner in which power is exercised in management of a country‟s social and economic resources for development of society” .(Pemerintahan adalah cara mengunakan kekuasaan untuk mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat). Bank Dunia membatasi pengertian good governance sebagai:
“Penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.” Pada pengertian tersebut, penulis berpendapat bahwa good governance adalah suatu proses pengelolaan berbagai bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi) di suatu negara atau daerah dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam penggunaan sumber daya (alam, manusia dan keuangan) dengan cara yang sesuai dengan prinsip keadilan, efisiensi, partisipasi, transparansi, predictability, akuntabilitas publik dan hak-hak asasi manusia. Dalam konsep good governance pemerintahan harus bertanggung jawab dalam mengalokasikan dana investasi bagi pengifisienkan pasar, menjalankan disiplin anggaran serta
menciptakan kerangka politik dan hukum bagi
pencegahan korupsi dan memungkinkan partisipasi berbagai pihak yang berkepentingan
dalam kegiatan kegiatan pemerintah sesuai prinsip-prinsip
demokrasi. Pengertian governance menurut United Nations Development Programme (UNDP, 1997: 57) adalah: “Governance is the exercise of economic, political, and administrative authority to manage acountry‟s affairs at all levels an means by which states promote social cohesion, integration, and ensure the well being of their population”. (Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaan dibidang ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat).
Good governance dimaknai sebagai praktik penerapan pengelolaan berbagai urusan penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan adminstratif di semua tingkatan. Dalam pengertian ini terdapat
tiga model atau pilar
governance yang penting yaitu: 4.
Political
governance/kepemerintahan
politik,
mengacu
pada
proses
pembuatan berbagai keputusan dan perumusan kebijakan. 5.
Economic governance/kepemerintahan ekonomi, mengacu pada proses pembuatan keputusan yang menfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara penyelenggara ekonomi. Kepemerintahan ekonomi memiliki implikasi, terhadap masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup.
6.
Administrative governance/kepemerintahan administratif, mengacu pada sistem implementasi kebijakan. Pengertian good governance yang lainnya menurut B. C. Smith (2007:7),
adalah: “good governance implies goverment that is democratically organized within a democratic political culture and with efficient administrative organization, plus the rigth policies, particularly in the economic sphere”. (Good governance menunjukan pada sebuah organisasi pemerintah yang berbudaya politik demokratisasi, mengefisiensikan administratif, juga memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan kebijakan peraturan khususnya di bidang ekonomi) Sedangkan,
Robert
Charlic,
dalam
Pandji
Santosa
(2009:130)
mengartikan: Good governance sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan/atau kebijakan yang absah demi
untuk mempromosikan nilai nilai kemasyarakatan. Berdasarkan kedua pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa good governance diartikan sebagai: 1.
Sebuah organisasi pemerintah yang berbudaya politik demokratisasi.
2.
Pengunaan kewenangan otoritas politik untuk membuat kebijakan kebijakan dibidan ekonomi, sosial dan politik serta
administratif, untuk mengelola
sumber daya bagi pembangunan sebagai jaminan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. 3.
Pengelolaan segala macam urusan publik sesuai nilai-nilai demokratis bagi kepentingan masyarakat dari berbagai tingkat. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap
pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita berbangsa dan bernegara. Dalam rangka itu diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat dan jelas, sehingga penyelenggaraan pemerintahan berlansung secara bersih dan bertanggungjawab, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) salah satunya ditunjukan pada pengembangan aparatur penyelenggara negara dan birokrat pemerintahan sebagai pemprosesan administrasi publik negara, peneggakan hukum, demokrasi, transparansi dan akuntablitas, seperti yang diungkapkan Bagir Manan (2004: 102), yaitu: “Bagi rakyat banyak penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan berbagai perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-sewenang, baik atas diri sendiri, hak maupun atas harta bendanya. Dalam kaitan pelayanan dan perlindungan, ada dua cabang
pemerintahan yang berhubungan lansung dengan rakyat yaitu birokrasi dan penegakkan hukum.” Jadi tata pemerintahan yang baik (good governance) ditandai pemerintah berdasarkan pada penegak hukum sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang baik dan wajar, efisien, demokrasi, transparan dan menhormati hak asasi manusia, serta mengutamakan pelayanan kepada masyarakat dengan mengedepankan prinsip-prinsip tatanan kepemerintahan yang baik (good governance).
2.2.1. 3.
Prinsip-prinsip Good Governance Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip di dalamnya. Prinsip-prinsip good governance berkaitan dengan pengawasan
dan pengendalian, yakni pengendalian suatu pemerintahan yang
baik, agar cara dan penggunaan cara sungguh-sugguh mencapai hasil yang dikehendaki stakeholders. Penerapan Good Governance kepada pemerintah adalah ibarat masyarakt memastikan mandat, wewenang, hak dan kewajibannya dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Disini dapat dilihat bahwa arah kedepan dari Good Governance adalah membangun pemerintah yang pofesional. Dalam arti pemerintahan dikelola oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang mempunyai kualifikasi professional, beretika dan moralitas tinggi
yang ada
dalam organisasi pemerintahan sehingga dalam peyelenggaraan good governance didasarkan pada kinerja pemerintah, yakni responsibilitas (Responsibility), dan akuntabilitas (Accountability). Responsivitas adalah kemampuan pemerintah untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan prinsip-prinsip tersebut akan dapat dilihat
kinerja suatu
pemerintahan. Apabila kinerja suatu pemerintahan berjalan dengan baik apabila telah bersinggungan dengan semua prinsip-prinsip good governance. Prinsipprinsip Good Governance lebih
cenderung kepada suatu organisasi publik
pemerintahan, dalam skala negara prinsip-prinsip good governance lebih luas. Menurut UNDP tahun 1997, dalam Sedarmayanti (2007:13) menyebutkan bahwa adanya hubungan sinergis konstruktif di antara negara/pemerintah, sektor swasta atau privat dan masyarakat yang disusun dalam sembilan pokok prinsip-prinsip good governance, diantaranya adalah: 1.Participation (Partisipasi), 2.Rule of Low (Kepastian Hukum), 3.Transparancy (Transparansi), 4.Responsiveness(tanggungjawab), 5.Consensus Oreintation (Berorientasi pada kesepakatan), 6. Equity (Keadilan), 7.Effectiveness and Efficiency (Efektifitas dan Efisiensi), 8. Accontability (Akuntabilitas), 9. Strategic Vision (Visi Strategik) Kesembilan Prinsip-Prinsip Good Governance yang tersebutkan di atas, dapat dikembangkan sebagai berikut: 1.
2.
3.
Partisipasi Masyarakat (Participation) Prinsip ini menunjukkan adanya pemahaman penyelenggara negara tentang proses/metode partisipatif serta adanya pengambilan keputusan yang didasarkan atas konsensus bersama. Supremasi Hukum (Rule of Law) Untuk melancarkan pelaksanaan good governance, pemerintah harus menjamin adanya kepastian dan penegakan hukum, adanya penindakan terhadap setiap pelanggar hukum, serta adanya pemahaman mengenai pentingnya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan Transparansi (Transparancy) Untuk melancarkan pelaksanaan good governance, pemerintah harus memastikan bahwa tersedianya informasi yang memadai pada setiap proses penyusunan dan implementasi kebijakan publik, serta adanya akses pada informasi yang siap, mudah dijangkau, bebas diperoleh, dan tepat waktu.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Responsif (Responsiveness) Keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi pemerintah dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik, maka kinerja organisasi tersebut akan semakin baik. Dalam melaksanakan kegiatannya, pemerintah harus memastikan adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar prosedur pelaksanaan serta adanya sanksi yang ditetapkan atas kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan kegiatan. Konsensus (Consensus Oriented) Jika ada perbedaan kepentingan yang mendasar di dalam masyarakat, penyelesaian harus mengutamakan cara dialog atau musyawarah mencapai konsensus. Keadilan (Fairness) Kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Pemerintah harus memberikan kesempatan pelayanan dan perlakuan yang sama dalam koridor kejujuran dan keadilan. Keefisienan dan Keefektifan (Effectiveness and Efficiency) Dalam melaksanakan kegiatannya, pemerintah harus menjamin terlaksananya administrasi penyelenggaraan negara yang berkualitas dan tepat sasaran dengan penggunaan sumberdaya yang optimal, adanya perbaikan berkelanjutan, dan berkurangnya tumpang tindih penyelenggaraan fungsi. Tanggung Jawab (Accountability) Dalam melaksanakan kegiatannya, pemerintah harus memastikan adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar prosedur pelaksanaan serta adanya sanksi yang ditetapkan atas kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan kegiatan. Wawasan ke Depan (Vision) Dalam melaksanakan kegiatannya, pemerintah harus memiliki visi dan strategi yang jelas dan mapan dengan menjaga kepastian hukum, adanya kejelasan setiap tujuan kebijakan dan program, serta adanya dukungan dari pelaku untuk mewujudkan visi. Adapun ciri-ciri pemerintahan yang baik (good governance), menurut
International Monetering Found (IMF: 1999: 62) ada empat yaitu: 1. 2. 3. 4.
Keterlibatan dan tanggung jawab pemerintah harus jelas Informasi tentang aktifitas pemerintah harus terbuka bagi publik (masyarakat luas) Persiapan anggaran, keputusannya dan laporannya harus dilakukan secara terbuka Informasi fiskal harus menjamin kejujuran dan bersifat independen.
Tidak jauh berbeda, Ganie Rachman, menyebutkan ada empat unsur utama yaitu accountability, adanya kerangka hukum (rule of law), informasi dan
transparansi. Sebuah pendekatan terbalik dilakukan oleh Kenneth Thomson, sebagaimana dikutip oleh Riswanda Imawan, menyebutkan ciri good governance, dia lebih menyebutkan ciri bad governance. Kebalikan dari ciri bad governance inilah yang layak disebut sebagai good governance. Menurut Thomson (1997) ciri bad governace adalah: a. Tidak adanya pemisahan yang jelas antara kekayaan dan sumber milik rakyat dan milik pribadi. b. Tidak ada aturan hukum yang jelas dan sikap pemerintah yang tidak kondusif dalam pembangunan. c. Adanya regulasi yang berlebihan sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. d. Prioritas pembangunan yang tidak konsisten. e. Tidak ada transparansi dalam pengambilan keputusan.
2.2.2.2
Ombudsman
2.2.2.1 Mengenal Ombudsman Ombudsman secara hara-fiah berarti ”wakil yang sah” adalah salah satu alternatif yang dipilih untuk meningkatkan akuntabilitas pegawai atau lembaga pemerintah. Ombudsman sebagai institusi pertama kali lahir di Swedia melalui keputusan Raja Charles XII tahun 1700-an, dengan nama Office of The King‟s Highest Ombudsman. Ombudsman dibentuk dengan undang-undang dan dipimpin oleh pejabat tinggi pemerintah yang independen. Tujuan pembentukan lembaga Ombudsman ini adalah untuk mengawasi pelaksanaan kekuasaan absolutisme raja dan pejabat negara saat itu agar tidak
terjadi kesewenang-wenangan (tirani). (Ayeni, 1987:97). Ombudsman dapat melakukan penyidikan atas inisiatif sendiri (Ayeni 1987), memiliki kewenangan untuk menyilidiki pengaduan masyarakat dan jika terbukti pengaduan masyarakat tersebut benar maka Komisi Ombudsman memberi rekomendasi secara hirarkis, ke parlemen ke media massa dan bersifat menekan. (Corbett, 1992, dikutip oleh Ayeni 1987:102). Tahun 1809 Swedia resmi mencantumkan Parliamentary Ombudsman di dalam konstitusinya sebagai tempat dimana publik mendapatkan ruang publik untuk menhadapi pelayanan yang buruk. (Masthuri, 2005:57). Popularitas Parliamentary Ombudsman Swedia ini semakin berkembang di tahun 1809, maka komisi-komisi serupa Ombudsman Swedia marak didirikan di pelbagai negara terutama di negara-negara Eropa dalam tahun 1809. Kebutuhan akan lembaga pengawas yang independen dan mandiri terus berlanjut di berbagai negara terutama pasca peran dunia ke-II (1960), sehingga penggunaan kata „Ombudsman‟ sebagai sebuah lembaga pengawas akhirnya berlaku diluar negaranegara Eropa pada tahun 1962. Memasuki abad ke-21 (1989) hingga dewasa ini, banyak negara yang sedang mengalami transisi menuju sistem pemerintahan yang demokratis, penhormatan kebebasan individu mulai ditegakkan untuk melawan ketidakadilan dan penyalahgunaan kewenangan birokrasi publik, maka terdoronglah banyak negara didunia menginisiasi pembentukan Ombudsman dalam bentuk komisikomisi independen yang keberadaannya baik di regional.
tingkat nasional maupun di
Dengan demikian, dewasa ini, Ombudsman telah berkembang menjadi salah satu pilar penting dalam sistem demokrasi dan negara hukum modern. Lebih dari 130 negara di dunia memiliki lembaga Ombudsman dengan nama yang bervariatif, bahkan lebih dari 50 negara mencantumkannya dalam konstitusi. Lembaga Ombudsman saat ini telah menjadi simbol/identitas negara yang: a. Bertekad menciptakan asas-asas pemerintahan yang baik (good governance) b. Ingin menegakkan demokrasi dengan memberi pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. c. Melindungi Hak Asasi Manusia. d. Memberantas Korupsi. ( Antonius Sujata, 2002: 69-72) Efektifitas atau kinerja lembaga Ombudsman bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Lembaga Ombudsman umumnya dihubungi oleh masyarakat setelah merasa dirugikan oleh pegawai atau lembaga pemerintah. Lembaga Ombudsman bertanggung jawab kepada parlemen dan berfungsi menerima pengaduan masyarakat terhadap ketidakadilan atau kesewenang-wenangan, ketidaknyamanan,
atau
kesalahan
administratif
(maladministration)
yang
dilakukan oleh pegawai atau lembaga pemerintah. Institusi Ombudsman selanjutnya
menyampaikan pengaduan masyarakat yang ditanganinya kepada
lembaga pemerintah yang diadukan untuk kemudian mencari solusi atas masalahannya. Di sisi lain institusi Ombudsman juga dapat melakukan penyilidikan atas inisiatif sendiri. Ayeni (1987: 21)
2.2.2.2. Definisi Ombudsman
Ombudsman dikenal sebagai sebuah pengalaman baik (best practice) yang dikembangkan menjadi sebuah konsep dalam teori-teori Ilmu Hukum dan Ilmu Pemerintahan. Meskipun kepustakaan disiplin kedua ilmu tersebut secara kontemporer belum membahas tentang Ombudsman, namun untuk memahami konsep Ombudsman dari asal, teori dan praktiknya, Ombudsman didefinisi menurut
Kamus
pemerintah untuk
Oxford
(1989: 472),
menyilidiki
keluhan
sebagai pejabat yang ditunjuk publik
terhadap
otoritas
pelayanan publik dan melaporkannya. Sedangkan, Kamus Pratical English-Indonesia (1990:209), mendefinisikan Ombudsman sebagai sebuah badan independen dan profesional yang menyilidiki keluhan dan pengaduan berkenaan dengan pelayanan agen properti/solisitor. Berdasarkan kedua definisi tersebut penulis menyimpulkan bahwa Ombudsman
merupakan
seseorang
di
dalam
suatu lembaga yang dapat
menyalurkan keluhan-keluhan atau menjelaskan permasalahan yang berkaitan dengan program atau kebijakan dari lembaga pemerintah sebagai agen pelayanan masyarakat, yang
memberikan
layanan
yang tidak adil, tidak terbuka, dan
tidak bertanggungjawab, serta melakukan tindakan-tindakan penyelewengan atas properti dll. Selanjutnya, definisi Ombudsman menurut Rosenbloom dan Kravcuk (2002: 496-7), yakni Ombudsman adalah: Lembaga bentukan legislatif yang bersifat independen, yang diberikan wewenang untuk menyilidiki keluhan-keluhan yang bersifat khusus dari individu warga masyarakat berkenan dengan tindak mal-administrasi yang dilakukan pemerintah.
Pope (2003, 158) mengemukakan bahwa Ombudsman adalah sebuah jabatan yang secara independen menampung dan memeriksa pengaduan mengenai pelayanan administrasi publik yang buruk (mal-admnistrasi). Sedangkan Ferlie dkk (2007) dikutip oleh Budi Masthuri (2005) bahwa the Ombudsman is an agent of legislative control of the bureaucracy which identically relates to the administrative law regimes. Mc Cubbins and Scwartz (1984) mengemukakan bahwa Ombudsman is bureacucracy “police patrol” (dikutip Ferlie dkk, dalam Masthuri 2005). Berdasarkan pendapat dari ketiga ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ombudsman pada dasarnya adalah: 1. Lembaga bentukan legislatif (parlemen) bersifat independen untuk melakukan pengawasan/kontrol terhadap agensi-agensi pemerintahan yang bertugas dalam menyelenggarakan administrasi publik pemerintahan. 2. Lembaga negara
yang diberikan kewenangan
dari parlemen secara
konstitusional untuk menyilidiki pengaduan-pengaduan masyarakat mengenai mal-administrasi (pemerintahan yang buruk). 3. Lembaga negara yang bersifat sebagai patroli polisi terhadap birokrasi pemerintahan. Ombudsman secara umum difahami sebagai lembaga censorate atau pengawas kepada pemerintah. Berkenaan dengan pemahaman Ombdusman sebagai lembaga censorate, menurut Hucker (1959) dalam Gilling (1998), terdapat dua kelompok pemahaman teori censorate di dalam Ombudsman, yaitu, teori yang mengemukakan bahwa:
1. Pemerintah harus taat kepada undang-undang. Pemahaman ini dikenal di Inggris sebagai ultra vires dan di Jerman dalam istilah echtstaats prinzip. 2. Pemahaman dari doktrin konfusianis yang berkenaan dengan adanya ruang bagi masyarakat untuk tidak setuju (disagreement) dengan pemerintah atau penguasa, dengan dua opsi (1) jika kebijakan penguasa buruk dan tidak ada yang berani mengemukakan hal tersebut, maka akan terbentuk kebisuan yang akan merusak keberadaan negara tersebut. 3. Jika ada seseorang yang berada dekat dengan puncak kekuasaan, tetapi tidak mau melakukan koreksi semata-mata karena ingin mendapatkan manfaat pribadi. Pengawas atau censorate dapat berupa sebuah “complaint drum” yang diletakkan di depan istana agar raja tahu apa yang dikeluhkan rakyatnya. Model ini dapat ditemukan pada Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan Timor Leste, di mana Ombudsman memperkenalkan konsep “Kaixa Keixa” atau kotak pengaduan, di pasang di depan 13 Instansi Administratif Pemerintahan Distrik dan Sub Distrik di seluruh teritori nasional, jika rakyat yang merasa diperlakukan dengan sewenang-wenang diperkenankan menuntut atau memprotes pejabatnya dengan cara menjatuhkan pengaduannya kedalam Kaixa keixa,
kemudian
Ombudsman
akan
memproseskannya
dengan
cara
menhubungkan keluhan rakyat/masyarakat dengan institusi Terlapor. Selanjutnya,
Commonwealth
Ombudsman
Australia
(1990:37),
mendefinisikan Ombudsman sebagai: Sebuah badan yang berfungsi melindungi publik dalam berhubungan dengan Pemerintah, di mana untuk tingkat nasional. Ombudsman juga sebagai hakim (adjudicator) yang independen dan tidak memihak (imparsial) berkenaan dengan keluhan tentang mal-administrasi pada lembaga pemerintah, utamanya berkenan dengan pelayanan publik. Berdasarkan definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa Ombudsman merupakan perwakilan publik yang berfungsi sebagai ajudikatur yang independen, yang ditunjuk untuk menyelesaikaan keluhan warga masyarakat berkenan dengan
pemerintahan setempat dan program-programnya yang melanggar hak-hak individual dari warga masyarakat. Atau sebagai pejabat pemerintah yang ditunjuk oleh pemerintah atau parlemen, yang bertanggungjawab mewakili kepentingan publik dengan cara menyilidiki keluhan-keluhan individu anggota masyarakat dan menyampaikannya kepada publik. Definisi Ombudsman secara kontemporer yang cukup relevan dengan perkembangan Ombudsman modern pada masa sekarang ini,
seperti: Haller
(1988: 22) dan Hill (1976:12), dalam Gothere (2000), mengemukakan Ombudsman adalah: The Ombudsman an organ can use its „extensive powers of investigation in performing a post-decision administrative audit‟, that the findings are reported publicly but it cannot change administrative decisions. (Ombudsman sebagai lembaga yang dapat mengunakan kekuasaan yang luas untuk penyilidikan atau melakukan audit pasca keputusan administratif bahwa temuannya yang didapati, dilaporkan ke publik tetapi tidak dapat mengubah keputusan administratif) Selain itu, Heede (2000: 18) menyatakan Ombudsmn ialah: “A reliable person who for the purposes of legal protection of individuals as well as parliamentary control supervises almost all administrative bodies and civil servants. (Ombudsman ialah seseorang yang dapat diandalkan untuk tujuan perlindungan hukum terhadap individu serta kontrol parlemen, mengawasi hampir semua badan administratif dan pegawai negeri sipil). Berdasarkan pendapat ketiga ahli tersebut, dapat diberi pengertian bahwa Ombudsman adalah sebuah lembaga independen yang dibentuk oleh negara dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan penyelewengan para pejabat/aparatur negara dan pemerintahan. Mengunakan kewenangannya yang luas dan bebas dari pengaruh manapun untuk melakukan penyilidikan terhadap
pengaduan-pengaduan masyarakat mengenai tindakan-tindakan para birokrat atau pegawai negeri yang memproseskan administrasi pemerintah yang tidak sesuai dengan kebijakan-kebijakan peraturan perungang undangan. Selajutnya, Denice Pearce (1979:102)
Commonwealth Ombudsman
Australia (1990), memberi pengertian Ombudsman adalah: “The Ombudsman is undoubtedly the most valuable institution from the viewpoint of both citizen and bureaucrat that has envolved during the century. The office of Ombudsman is quick by comparison with other review bodies, informal and terefore more accesible to complainants, cheap for both complainant and decision maker or not as threatening as other review mechanisme”. (Ombudsman tanpa ragu ragu merupakan lembaga yang paling berharga dan berkembang di abad ini, baik dari sudut pandangan warga negara, maupun dari sudut pandang birokrasi. Lembaga Ombudsman adalah cepat pelayanannya dibandingkan lain-lain lembaga pengawasan, informal dan karena itu lebih muda terjangkau oleh pelapor, murah untuk pelapor maupun Terlapor dan tidak mengancam mengambil keputusan/aparat negara, atau tidak begitu mengancam dibanding dengan lain-lain mekanisme pengawasan). Selanjutnya, The American Bar Association (1997:59) mendefinisikan Ombudsman sebagai berikut: “Ombudsman is an independent official who receives complaints against the government (and government-related agencies) and/or its officials from aggrieved persons, who investigates, and who, if the complaints are justified, makes recommendations to remedy the complaints.” (Ombudsman sebagai seorang pejabat yang independen yang menerima keluhan terhadap pemerintah (dan pemerintah-instansi terkait) dan/atau para pejabatnya dari orang-orang yang dirugikan, melakukan investigasiinvestigasi terhadap siapa saja yang dikeluhkan, jika keluhan dibenarkan, maka membuat rekomendasi untuk memperbaiki keluhan tersebut) Sir Guy Powles, Ketua Ombudsman pertama Selandia Baru, mengatakan bahwa Ombudsman dinilai rakyat berguna untuk menghadapi mesin kekuasaan (dikutip Pope, 1999: 167).
Sedangkan, Pope (2003, 158) mengemukakan bahwa Ombudsman adalah sebuah jabatan yang secara independen menampung dan memeriksa pengaduan mengenai pelayanan administrasi publik yang buruk. Beradsarkan ketiga teori di atas, dikemukakan bahwa Ombudsman merupakan sebuah institusi independen yang memiliki kewenangan untuk: 1. Membatasi kekuasaan mesin pemerintahan (penguasa negara maupun birokrasi
pemerintahan) yang buruk.
2. Pembela publik yang tak berdaya (masyarakat kecil, meneggah dan miskin) yang mencari keadilan. Dean Gottehrer (1998), berpendapat bahwa alasan atau tujuan pembentukan Ombudsman adalah untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan terhadap perorangan (dikutip Sujata, 2002: 53). Senada dengan yang dikemukakan Dean Gutthere, alasan negara-negara di dunia membentuk Ombudsman, menurut Antonius Sujata (2005: 15), tergantung pada 6 hal utama, yakni: 1. Secara institusional bersifat independen baik struktural, fungsional maupun personal. Sifat independen ini akan sangat mempengaruhi efektifitasnya karena dalam bertindaknya akan bersikap secara objektif, adil, tidak berpihak. 2. Sasaran pengawasan adalah pemberian pelayanan, artinya dalam bertindak seharusnya aparat menjadi pelayan sehingga warga masyarakat diperlakukan sebagai subjek pelayanan dan bukan objek/korban pelayanan. 3. Keberhasilan suatu pengawasan sangat ditentukan oleh prosedur ataupun mekanisme yang digunakan, apabila proses pengawasan berbelit-belit melalui liku-liku yang panjang maka pelaksanaan pengawasan akan beralih dari masalah substansional ke masalah prosedural. 4. Masalah pelayanan yang menjadi sasaran pengawasan Ombudsman dalam praktik lebih banyak menimpa masyarakat secara individual, meskipun
juga tidak jarang berkaitan dengan suatu sistem atas kebijakan sehingga melibatkan “mengorbankan” kepentingan individu-individu dalam jumlah yang lebih banyak. Biasanya anggota masyarakat kurang peka terhadap pemberlakuan sistem/kebijakan yang merugikan karena merasa lemah berhadapan dengan kekuasaan. Dengan demikian ia membutuhkan bantuan, membutuhkan dukungan dan membutuhkan pihak lain untuk menyelesaikan masalah tanpa harus menanggung resiko munculnya masalah baru. 5. Pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat akan memberi nilai positif dalam menciptakan dukungan terhadap kinerja pemerintah. Apabila aparat pemerintah melalui bentuk-bentuk pelayanannya mampu menciptakan suasana yang kondusif dengan masyarakat maka kondisi semacam itu dapat dikatagorikan sebagai keadaan yang mengarah pada terselenggaranya asas-asas pemerintahan yang baik (Good Governance). Asas pemerintahan yang baik dalam implementasinya diwujudkan melalui ketaatan hukum, tidak memihak, bersikap adil, keseimbangan bertindak, cermat, saling percaya dan lain-lain. 6. Masyarakat kecil ataupun korban pelayanan secara mayoritas adalah kelompok ekonomi lemah karena itu mereka menjadi ragu untuk memperjuangkan keluhannya karena keterbatasan masalah keuangan. Institusi Ombudsman dengan tegas dan terbuka mengatakan bahwa pengawasan yang dilakukan ataupun laporan yang disampaikan kepada Ombudsman tidak dipungut biaya. Ketentuan bebas biaya ini merupakan salah satu prinsip Ombudsman yang bersifat universal yang sekaligus sebagai implementasi integritasnya. Dari kedua pendapat ini, dapat dikemukakan bahwa lembaga Ombudsman dapat bentuk oleh negara-negara di seluruh dunia dikarenakan merupakan lembaga pengawasan yang disebabkan:
1. Secara institusional bersifat independen baik struktur, fungsi maupun personal. Sifat independensi ini akan sangat mempengaruhi efektivitasnya karena dalam bertindaknya akan bersikap obyektif, adil dan tidak memihak. 2. Lebih cepat menyelesaikan keluhan-keluhan masyarakat dari pada investigasi yang dilakukan oleh lembaga lainnya yang ada. 3. Cara penanganan pengaduan masyarakat tidak berbelit-belit, tidak terlalu formal dan lebih mudah dicapai/didatangi oleh para pelapor.
4. Murah, gratis baik bagi pelapor maupun pengambil keputusan. 5. Tidak mengancam, tetapi menhimbau (merekomendasikan) kepada aparat negara/pemerintah,
sehingga
aparat
tidak
merasakan
campur
tangan
Ombudsman sebagai ancaman, tetapi justru sebagai bantuan bagi birokrasi untuk memperbaiki kinerja para penyelenggara negara dan pemerintahan. 6. Mencegah ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan terhadap perorangan dan kelompok untuk menciptakan asas atau prinsip-prinsip tatanan pengelolaan kepemerintahan yang baik (good governance).
2.2.2.2.3.Ombudsman Dan Good Governance Good governance dapat diartikan sebagai prinsip dalam mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publik publiknya efisien, sistem pengadilan yang bisa di andalkan dan administrasinya bertanggungjawab pada publik. (Mas‟oed 2003: 150-151, dalam Pandji Santosa, 2009:55). Menurut Pinto (1994, 97) dalam LAN (2007:27), governance mengandung arti: “Praktik penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan membangun ekonomi pada khususnya, karena good governance adalah masalah perimbangan antara negara, swasta dan masyarakat” Dalam terminologi good governance, pemerintah hanyalah salah satu pilar dari beberapa penyelenggara fungsi pemerintahan, disamping private sector (dunia usaha) dan civil society (masyarakat sipil). Negara berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, swasta mendorong terciptanya lapangan pekerjaan dan pendapatn masyarakat, dan masyarakat (civil society) untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik, sedangan
pemerintah (government) hanya mengacuh pada mekanisme suatu pengelolaan berdasarkan kewenangan tertinggi (Hardijanto: 2000, dalam Pandji Santosa, 2009:56).
Ada sembilan asas umum pemerintahan yang baik (good governance principles), yaitu: 1. Participation (Partisipasi), 2. Rule of Low (Kepastian Hukum), 3.Transparancy (Transparansi) 4.Responsiveness (tanggungjawab), 5.Consensus Oreintation (Berorientasi pada kesepakatan), 6. Equity (Keadilan) 7.Effectiveness and Efficiency (Efektifitas dan Efisiensi), 8.Accontability (Akuntabilitas) 9.Strategic Vision (Visi Strategik). Secara umum,
kesembilan
asas
tersebut
dalam konteks good
governance dapat disarikan menjadi tiga hal, yaitu akuntabilitas publik, kepastian hukum dan transparansi publik (Masthuri: 2001) Akuntabilitas publik mensyaratkan bahwa setiap perilaku dan tindakan pejabat publik, baik
dalam membuat kebijakan, mengatur dan membelanjkan
keuangan negara maupun melaksanakan penegakkan hukum haruslah teratur dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Transparansi publik mensyaratkan
bahwa setiap pejabat publik
berkewajiban ruang partisipasi kepada masyarakat dalam
proses pembuatan
kebijakan publik, khususnya menyangkut dengan sumber daya publik dengan membuka akses dan memberikan informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif, baik diminta maupun tidak diminta oleh masyarakat.
Kepastian hukum, setiap pejabat publik bersedia memberikan jaminan bahwa dalam berurusan dengan penyelenggara negara dan pemerintahan, setiap masyarakat akan memperoleh kejelasan tentang tenggan waktu, hak dan kewajiban dan lain-lain, sehingga adanya jaminan bagi masyarakat dalam memperoleh rasa keadilan, khususnya berhadapan dengan penyelenggara negara atau pemerintahan, sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan. Dengan demikian, dalam kerangka good governance, setiap pejabat publik atau pemerintahan berkewajiban memberikan perlakukan yang sama bagi setiap warga masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi sebagai pelayanan kepada warga masyarakat. Pemerintah akan mampu melaksanakan fungsinya secara efektif dalam kerangka prinsip-prinsip good governance, bila lembaga pengawasan eksternal, seperti
Ombudsman,
yang
berfungsi dalam membangun relasinya dengan
kesembilan prinsip dasar good governance tersebut. Sebagai bagian
dari
lembaga
pengawasan
eksternal independen,
Ombudsman memiliki beberapa “harapan” dalam mewujudkan good governance, yaitu, Ombudsman memposisikan masyarakat sebagai aktor dalam tata kelola pemerintahan (governance). Dapat dilihat pada praktik pemerintahan dimanapun masyarakat diposisikan sebagai objek tata kelola pemerintahan. Pola interaksi pemerintah dan masyarakat nyaris
tak terbangun dan menghasilkan pola
pemerintahan yang tak aspiratif dan sulit dikontrol masyarakat. Ombudsman dapat menembus dinding tersebut dengan membangun partnership (kemitraan)
dengan pemerintah. Disinilah akan terbangun checks and balances
antara
keduanya dalam bentuk yang elegan. (Antonius Sujata, 2004: 97). Ombudsman sebagai lembaga pengawasan eksternal independen yang menggunakan masyarakat mutakhir
sebagai kekuatan utamanya menjadi harapan paling
ditengah mandeknya
berbagai sistem,
mekanisme dan lembaga
pengawasan yang ada saat ini. Harapan itu muncul, sebab lembaga pengawasan yang ada di suatu
negara belum satupun yang dapat menggunakan kekuatan
masyarakat secara otonom untuk mengontrol jalannya tata kelola pemerintahan (good governance). Kekuatan
masyarakat yang
otonom
sebagai lembaga
pengawasan sangat relevan untuk diwujudkan pemerintahan yang baik, seiring dengan
semakin
menguatnya kekuatan masyarakat sipil pro-demokrasi dewasa
ini. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa Ombudsman menjalankan tugas dan fungsinya didasarkan pada pemberdayaan masyarakat, untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan dari pejabat publik atau lembagalembaga pemerintahan,
sedangkan good governance beserta prinsi-prinsipnya
didasarkan pada kebijakan pemerintah untuk menerapkannya dalam sistem penyelenggaraan bangsa
dan
bersifat internal
pemerintahan, negara.
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat,
Dari segi fokus dan cakupannya, good governance
(diterapkan
dalam
institusi-institusi
sedangkan Ombudsman lebih bersifat eksternal, yaitu
pemerintahan),
melalui pemberdayaan
masyarakat untuk melakukan pengawasan/ pengontrolan dari luar terhadap
pemerintah dalam rangka
penerapan
prinsip-prinsip good governance
bagi
terwujudnya pemerintahan yang baik, bersih dan efektif. Dengan demikian, Good Governance akan dapat terlaksana sepenuhnya apabila ada keinginan kuat (political will) penyelenggara negara untuk berpegang teguh pada mendasar
peraturan
yaitu
perundangan dan kepatutan. Namun yang juga sangat
adanya
kerelaan para
penyelenggara pemerintahan serta
penyelenggara negara untuk bersedia dikontrol dan diawasi, baik secara internal maupun eksternal. Terkait dengan pengawasan eksternal tersebut, maka kehadiran Ombudsman guna terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance). Untuk dapat menuju pada penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), P. de Haan, T. G. Drupsteen dan R. Fernhout dalam Panduan Investigasi Ombudsman Untuk Indonesia (2003: 3), mengemukakan bahwa, dalam rangka mencapai negara hukum yang berkeadilan sosial atau (sociale rechtsstaat) baik pihak
eksekutif maupun legislatif
serta peradilan wajib
berpegang teguh pada asas-asas atau prinsip-prinsip hukum good governance, diantaranya adalah: efektif dan efisien, transparansi, akuntabilitas, keadilan, responsif dan kepastian hukum. Semua asas-asas good governance tersebut di atas menjadi landasan kerja Ombudsman
dalam melaksanakan
investigasi untuk
menganalisa kasus-kasus yang dilaporkan kepadanya. Apabila salah satu asas tidak diterapkan oleh institusi pemerintahan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara dan pelayanan publik, niscaya institusi/instansi tersebut telah bersalah melakukan salah satu perbuatan/tindakan mal-administrasi, maka Ombudsman tampil untuk memberantas dan mencegahnya.
Dengan
demikian,
Ombudsman
terikat
pada
asas-asas
umum
penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), pada saat menjalankan tugasnya maupun dalam hal mengadakan investigasi terhadap keluhan dan/atau laporan yang masuk mengenai perilaku yang tidak baik/terpuji atau
bahkan
perilaku
yang melawan
hukum
(mal-administrasi)
aparat
pemerintahan atau peradilan, atau bahkan lembaga legislatif. (Sunaryati Hartono, dkk, dalam Panduan Investigasi Ombudsman Untuk Indonesia, 2003:4)
2.2.2.2.4. Peran Ombudsman Kata peran (role) mempunyai arti yang berhubungan dengan aspek dinamis seseorang atau kelembagaan, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soedjono Soekanto (1990:268)
yaitu, “apabila seseorang atau lembaga
melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peran”. Berger dan Luckman mengemukakan (dalam Ndraha, 1987:111), “Peran mewakili tata institusional (institutional order) suatu lembaga (dalam hal ini adalah Ombudsman).
Selanjutnya
Hoofsteede (1991:112) memberikan
pengertian bahwa: “ peran adalah sekumpulan tindakan-tindakan yang diharapkan lingkungan dilakukan seseorang yang karena kedudukannya dapat memberikan pengaruh terhadap lingkungan itu”. Dalam teorinya Biddle dan Thomas dalam Syani Abdul mereka membagi peristilahan teori peran ke dalam 4 golongan, yaitu: 1) Expectation (harapan) 2) Norm (norma) 3) Performance (wujud perilaku)
(1994:19),
4) Evaluation (penilaian) dan sanction (sanksi). Keempat teori peran tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1.
Harapan Tentang Peran Yaitu harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilakuperilaku yang pantas, yang seyogyanya ditunjukkan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu. Misalnya masyarakat umum sebagai individu mempunyai harapan tertentu tentang prilaku yang pantas dari Ombudsman untuk mewujudkan pemerintahan yang baik. 2. Norma Merupakan salah satu bentuk “harapan”. Diantaranya adalah: a.Harapan yang bersifat meramalkan (anticipatory): yaitu harapan tentang suatu perilaku yang akan terjadi, Predicter role expectation. b.Harapan normatif (prescribed role expectation) adalah keharusankeharusan yang menyertai suatu peran. Harapan jenis ini dinamai tuntutan peran (role demand). Tuntutan peran melalui proses internalisasi dapat menjadi norma bagi peran yang bersangkutan. 3. Wujud Perilaku dalam Peran Peran diwujudkan dalam perilaku oleh aktor. Berbeda dari norma, wujud perilaku ini adalah nyata, bukan sekedar harapan. Jadi wujud perilaku peran dapat digolongkan hasil kerja dan sebagainya. 4. Penilaian dan Sanksi Sanksi adalah usaha orang untuk mempertahankan suatu nilai positif atau agar perwujudan peran diubah sedemikian rupa sehingga yang tadinya dinilai negatif bisa menjadi positif. Penilaian maupun sanksi dapat datang dari orang lain (eksternal) maupun dari dalam diri sendiri (internal). Misalnya: seorang pejabat publik pemerintahan yang dinilai tidak berprilaku baik karena melakukan tindakan koruptif oleh masyarakat, Ombudsman akan memberi sanksi berupa teguran atau peringatan agar ia lebih baik lagi menjalankan perannya. Dikaitkan dengan lembaga Ombudsman, maka peran Ombudsman adalah melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya sesuai dengan kedudukannya dan aktifitas-aktifitas yang diharapkan dapat berpengaruh dan sesuai dengan keinginan, harapan dan tuntutan masyarakat maka ia melaksanakan perannya. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Antonius Sujata (2002:69-72), bahwa Ombudsman pada umumnya lembaga Ombudsman berperan sebagai: 1). Menciptakan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance)
2). Menegakkan demokrasi dengan memberi pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat 3). Melindungi Hak Asasi Manusia, dan 4). Memberantas Korupsi Sedangkan
Teten Masduki dalam Buku Pernan Ombudsman Dalam
Mewujudkan Good Governance (2005:49-57), mengemukakan bahwa peran Ombudsman yaitu: Harapan yang dapat memperbaiki dan meningkatkan kinerja administrasi pemerintahan, mendorong lebih terbukanya pemerintah dan dapat membantu pemerintah dalam akuntabilitas dengan birokrasinya agar lebih akuntabel terhadap masyarakat luas. Jika diperhatikaan
pada beberapa pendapat di atas, maka kebanyakan
peran Ombudsman dimanapun adalah: a. Mendorong prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance). b. Melindungi masyarakat baik secara individu maupun kelompok dari korban mal-administrasi pemerintahan c. Meningkatkan kualitas kinerja administrasi pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel bagi masyarakat luas. d. Memberdayakan
masyarakat
untuk
terhadap penyelenggaran pemerintahan,
melakukan tugas pengontrolan sosial agar terciptanya penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawah serta bebas dari KKN. Dalam mengimplementasikan terhadap peran Ombudsman, maka setiap Lembaga
Ombudsman
didunia
berorientasi
pada
fungsi,
tugas
dan
kewenangannya, sebagai landasan hukum untuk melakukan operasionalisasi terhadap perannya secara tersendiri dan tidak bergantung pada lembaga lain.
Dalam studi Ombudsman di dunia terdapat banyak model fungsi, tugas dan kewenangan encyclopedia
serta
pemberian
sanksi
Ombudsman.
Britanica (1986: 960-961), Menyebutkan
Menurut Article
The Ombudsman‟s
Institutions has four principal functions: Receives, investigates and resolves complaints about the administrative decision making and practices of the public sector, local government and universities. b. Improves public administration for the benefit of all through own motion investigations and education and liaison programs with agencies. c. Reviews certain domestic violence fatalities. and d. Undertakes a range of additional functions that fit within the broad category of integrity oversight, including inspections of telecommunications intercepts and investigation of public interest disclosures. a.
Larry Hill (1988:13), dikutip Linda C. Reif (1999: 43), mengemukakan Ombudsman functions is: a. b. c. d. e. f.
To right individual wrongs (Untuk membenarkan kesalahan-kesalahan perseorangan atau oknum) To make bureaucracy more humane. (Membuat birokrasi pemerintahan yang manusiawi) To lessen popular alienation from government. (untuk mengurangi alinasi dari pemerintah yang bersifat umum) To prevent abuses by acting as a bureaucratic watchdog. (Untuk mencegah aksi perbuatan birokrasi pemerintahan sebagai penjaga anjin) To vindicate civil servants when unjustly accused, (Untuk membersihkan pegawai negeri dari ketidakadilan ketika mereka digugat) To introduce administrative reform (Untuk memperkenalkan reformasi administrasi/pemerintah). Selanjutnya syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam implementasi fungsi
lembaga Ombudsman tersebut berlandaskan pada tugas pokoknya. Sebagaimana Ferlie dkk (2007) dikutip oleh Budi Masthuri, mengemukakan tugas Ombudsman adalah “mengangkat perilaku yang buruk dari suatu kantor pemerintah atau
pejabat pemerintah sehingga menjadi perhatian publik, agar mendorong suatu perubahan menuju pemerintahan yang baik”. Pengertian tugas Ombudsman yang lainnya, dalam Ombudsprudensi Republik Indonesia (2009:51), menyebutkan: “Ombudsman dimanapun pada umumnya melakukan tugas atas laporan masyarakat mengenai adanya dugaan mal-administrasi dalam penyelenggaraan layanan publik serta melakukan upaya pencegahan terhadap mal-administrasi tersebut” Dalam menjalankan fungsi
dan tugas sebagaimana di sebutkan di atas,
Ombudsman juga diberi kewenangan secara khusus dan luas oleh konstitusi atau undang-undang pembetukannya untuk melakukan tugas pengawasan masyarakat. Mengenai kewenangan Ombudsman ini, Azis Syamsudin (dalam Ombudsprudensi Republik Indonesia (2009:41), menyatakan: “Agar kinerjanya Ombudsman lebih efektif Ombudsman juga diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap para pejabat negara/pemerintahan, pemeriksaan lapangan ke obyek pelayanan publik yang dilaporkan masyarakat tanpa pemberitahuan terdahulu” Selanjutnya, kewenanangan Ombudsman
dalam Ombudsprudensi
Republik Indonesia (2009: 41-42), menyebutkan kewenangan Ombudsman adalah: “Melakukan pemangilan paksa (subpoena power), yaitu Ombudsman dapat meminta bantuan kepolisian guna menhadirkan secara paksa bagi mereka yang tanpa alasan yang sah tiga kali berturut-turut tidak memenuhi pangilan Ombudsman”. Berdasarkan pada beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, maka dalam mengimplementasikan peran Ombudsman tersebut, Ombudsman dapat
dioperasionalisasikan melalui fungsi, tugas dan kewenangannya sendiri. Dengan demikian fungsi, tugas dan kewenangan Ombudsman, dapat disimpulkan sebagai berikut: I. Fungsi Ombudsman: 1) Mengakomodasi
partisipasi
masyarakat
dalam upaya
memperoleh
pelayanan yang berkualitas dan efisien, adil, tidak memihak dan jujur dari pemerintah. 2) Memperbaiki kinerja
pemerintah
dari kesalahan-kesalahan mengurus
urusan publik, membangun pemerintahan yang dapat dipercaya oleh masyarakat
secara
penyelenggaraan
manusiawi,
negara
dan
membatasi
sikap
pemerintahan
yang
dan
tindakan
penyalahgunaan
kekuasaan ataupun melakukan mal-administrasi dalam layanan kepada masyarakat. 3) Meningkatkan perlindungan perorangan dalam memperoleh pelayanan publik, keadilan dan kesejahteraan, serta mempertahankan hak-haknya terhadap kejanggalan tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power), keterlambatan yang berlarut-larut (undue delay), serta diskresi yang tidak layak dari aparat negara/pemerintahan sebagai pengelola administrasi publik. II. Tugas Ombudsman: 1.
Melakukan tindakan penuntutan investigasi atau monitoring terhadap sikap
dan perilaku koruptif
(penyalahgunaan wewenang dan mal-administrasi)
yang dilakukan oleh pejabat negara/pemerintahan yang menjadi perhatian serta pengadukan atau dilaporkan warga masyarakat. 2.
Melakukan
tindakan
prefententif/pencegahan
terhadap
praktik
mal-
administrasi dalam pelayanan publik, sebagai salah satu wujud untuk mendorong pemerintahan yang baik. II. Kewenangan Ombudsman: 1. Melakukan pemangilan terhadap siapapun yang telah menjadi
Terlapornya
masyarakat untuk hadir didepan Ombudsman tanpa mem andangpada posisi/kedudukan dan pangkatnya. 2. Melakukan tindakan penuntutan terhadap kasus ketiga (causative) atas perbuatan perilaku koruptif (penyalahgunaan wewenang, mal-administrasi dalam pemberian layanan publik maupun korupsi, kolusi dan nepotisme) 3. Pemeriksaan mendadak terhadap objek (tempat-tempat) tertentu yang diduga adaya bertentengan dengan aturan-aturan tertentu 4. Berakses bebas
permintaan informasi
dan dokumen terhadap kejangalan
tindakan penyalahgunaan wewenang dan mal-administrasi dalam layanan publik. Secara umum lembaga Ombudsman difahami bukan sebagai lembaga yang memberikan keputusan yang mengikat secara hukum (legaly binding), melainkan lembaga yang memberikan rekomendasi-rekomendasi yang kuat. Rekomendasi dari Ombudsman tidak mempunyai kekuatan mengikat. Seperti dikemukakan Andrea Molitor (1998:15), dalam Britanica (1986:679), karena rekomendasi-
rekomendasi Ombudsman tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, lembaga ini merupakan Magistrature of Influence atau Mahkamah Pemberi Pengaruh dan bukan Magistrature of Sanctionsatau Mahkamah Pemberi Sanksi. Dengan demikian, efisiensinya sangat tergantung kepada kemampuannya dalam melakukan persuasi, kewenangan yang diberikan kepadanya, bobot dan kualitas rekomendasinya. (Sujata dkk, 2002: 53).
2.2.2.2.5. Hubungan Ombudsman Dengan Lembaga Lain Konsep lembaga dibahas oleh berbagai ahli dalam disiplin ilmu hukum, politik, pemerintahan, sosiologi dan antropologi, yang bervariatif. Namun dalam tulisan ini, penulis memberikan pengertian arti lembaga menurut Uphoff Norman (1986:107), yaitu:
Lembaga adalah merupakan suatu wadah atau tempat orang-orang berkumpul, bekerja sama secara berencana terorganisasi, terkendali, terpimpin dengan memanfaatkan sumber daya untuk satu tujuan yang sudah ditetapkan. Lembaga terdiri dari dua aspek, yaitu aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian, dalam aspek kelembagaan lebih menekankan pada tatanan nilai-nilai moral dan peraturan-peraturan yang berada dalam masyarakat. Sedangkan dalam sudut pandang organisasi lebih menekankan pada aspek struktural dan mekanismenya dalam mencapai tujuan. Selanjutnya Kartodiharjo dkkl, 1992, dalam Syahyuti (1998:75), mengartikan lembaga sebagai: Instrument yang mengatur hubungan antar individu, lembaga juga berarti seperankat ketentuan yang mengatur masyarakat yang telah mendefinisikan bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak istimewa yang telah diberikan serta tanggungjawab yang harus dilakukan.
Sedangkan merupakan
menurut
sekumpulan
Schmidt
(1986:108),
lembaga atau institusi
orang yang memiliki hubungan yang teratur dengan
memberikan definisi pada hak, kewajiban, kepentingan, dan tanggungjawab bersama. Berdasarkan pada ketiga pendapat di atas, dikaitkan dengan Ombudsman, maka Ombudsman adanya
merupakan
lembaga
pengawasan
independen, dengan
sekumpulan orang yang saling bekerja sama dibawah hierarki struktur
organisasi
permanen
yang jelas dengan
mekanisme administrasi yang
tersistematis, memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang kuat, untuk melakukan suatu usaha bagi tercapainya tujuan tertentu. Dengan demikian, lembaga Ombudsman sendiri berada di tengah lembaga-lembaga pemberdaya publik yang lain, baik yang didirikan oleh negara/pemerintah maupun yang dibentuk secara mandiri oleh masyarakat (civil society), maka
dengan sendirinya Ombudsman menjalin hubungan kerja sama
dengan lembaga-lembaga tersebut untuk vis-a-vis menindak, memberantas dan mencegah
mal-administrasi pemerintahan, bagi terwujud penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik (good governance). Mengenai hubungan kerja sama Ombudsman dengan lembaga lain, dalam naska Rancangan Undang-Undang (RUU) Ombudsman Republik Indonesia atas Usul Inisiatif DPR RI (awal tahun 2003), menyebutkan bahwa: Lembaga Ombudsman tidak berdiri sendirian sebagai lembaga pembela kepentingan publik melainkan menjalin relasi dengan lembaga pemberdaya masyarakat yang lainnya, yang dibentuk dan/atau yang ada di lingkungan pemerintahan negara, dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau pemerintahan yang baik.
Hubungan kerja sama Ombudsman dengan lembaga lain, dalam undangundang lembaga Ombudsman di lingkungan pemerintahan negara manapun mencantumkannya, dan ini merupakan kewajiban yang diharuskan dilaksanakan Ombudsman untuk perlindungan publik. Walaupun setiap Ombudsman di dunia mengadopsi adanya sistem hubungan kerja sama antar lembaga untuk maksud dan tujuan tertentu, namun dalam praktiknya setiap negara tentu saja berbeda dan tidak sama, tergantung pada sistem pemerintahan negara yang dianut maupun yang pencetusan oleh undang-undang pembentukannya. Dalam konteks Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan Timor Leste, mengenai hubungan kerja sama Ombudsman dengan lembaga lainnya diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 (Kewajiban bekerja sama dengan entitas/lembaga lain), Artigo 33 Lei No. 7/2004 (Dever de Cooperação com outras entidades). Sesuai pengaturan Pasal
33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004,
Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan diwajibkan hanya melakukan hubungan
kerja
sama
(ligação)
dengan
entitas/kesatuan
atau
lembaga
(instituições): Kejaksaan Agung (Procuradoria Geral da República) RDTL. Hubungan kerja sama Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan dengan Kejaksaan Agung (Procuradoria–Geral da República) ini, menyangkut: a). Permintaan
Ombudsman
kepada Parlemen
Nasional untuk melakukan
investigasi atas tindakan suatu kejahatan. b). Apabila Ombudsman
telah
menerima sebuah informasi dimana terbukti
adanya perbuatan suatu kejahatan, dapat mengajukannya dalam bentuk kasus
ke Kejaksaan Agung, diserta dapat
membantu
dalam
dengan informasi
yang akurat,
untuk
menemukan suatu kebenaran (descoverta da
verdade) Juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, Ayat (6), memberi jalan bagi Ombudsman untuk membangun kerja sama dengan organ atau lembaga lain yang relevan dengan perlindungan hak asasi manusia dan/atau pemerintahan yang baik (good governance). Atas dasar
ayat inilah, untuk memperkuat
kedudukan dan kewenangan Ombudsman dalam perlindungan masyarakat dari korban mal-administrasi (pemerintahan yang buruk), Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan melakukan kerjasama dengan beberapa lembaga/institusi negara/pemerintahan serta lembaga swadaya yang lainnya, diantaranya sebagai berikut: 1. Kepolisian Nasional Republik Demokratik Timor Leste.
Menurut Pasal 48 UU No. 7 Tahun 2004, Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan tidak dapat dilakukan sendiri dalam hal pemanggilan paksa Terlapor. Untuk itulah Ombudsman membutuhkan bantuan Polisi dalam mengatasi masalah ini. Dalam hubungan kerja sama ini, menyangkut koordinasi
dalam penanganan laporan pengaduan dari masyarakat yang
dialami korban tindakan kesewenang-wenangan yang telah dilakukan aparat pemerintah, penyelenggara negara, Badang Usaha Milik Negara, Badang Usaha Milik Daerah, dan siapapun yang menyelenggarakan misi pelayanan publik. Jika pejabat dari instansi Terlapor yang dipanggil Ombudsman tidak mengindahkan panggilan itu dalam tiga kali berturut-turut maka Ombudsman
bersama Polisi Nasional, memanggil paksa, untuk menhadiri memberikan jawaban
sekaligus
atas pertanyaan-pertanyaan Ombudsman mengenai
investigasi atas sebuah kasus yang telah maupun sedang dilakukannya. 2. Komisi Anti Korupsi Dengan menitik beratkan penyelenggaraan negara bebas korupsi dan penyelenggaraan negara bebas mal-administrasi, maka kerjasama antara Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan dengan Komisi Anti korupsi terbatas pada aspek-aspek seperti pertanggungjawaban atas fungsi, tugas dan kewenangan masing-masing. Apabila masyarakat kurang memahami akan lingkup kerjanya Ombudsman, kemudian mengajukan laporan tentang tindakan pidana korupsi ke Ombudsman, maka Ombudsman memproseskannya melalui prosedur dan mekanisme kerjanya dijadikan sebagai kasus korupsi, kemudian diajukan ke lembaga Komisi Anti Korupsi, untuk ditindak lanjuti, sebaliknya Komisis Anti Korupsipun demikian.
2.2.2.2.6. Perbandingan Ombudsman Antar Negara Pada konteks dewasa ini, Ombudsman menjadi bagian penting dari setiap negara demokrasi didunia untuk melaksanakan check and balance, menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik, memberantas korupsi dan lainlain. Dalam
hal
pelaksanaan tugas, fungsi, kewenangan Ombudsman di atas,
sistem Ombudsman indepeden,
di
setiap negara sama, yaitu sebagai lembaga pengawas
keberadaannya
ada
perundang-undangan. Namun,
yang
diatur secara konstitusional maupun
dalam hal praktik, Ombudsman di setiap negara
secara institusional tidak sama atau berbeda, baik nama institusi, struktur organisasi, yurisdiksi, status,
persyaratan referensi, model/gaya kerjanya dan
lain sebagainya. Gregory & Giddings (1992) dalam Budi Masthuri (1999:105).
Menyangkut perbedaan praktik Ombudsman di setiap negara tidak sama, maka pada bagian ini penulis, memaparkan sejumlah perbedaan Ombudsman antar negara didunia, akan tetapi tidak semua Ombudsman dunia dibandingan dengan Ombudsman Timor Leste. Hanya sebagian Ombudsman di negara lain yang dipilih dan diambil sebagai perbandingan dengan Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan Timor Leste, karena dilihat dari model dan gaya kerjanya hampir
mirip
dengan Ombudsman Timor Leste. Dengan demikian, berikut
ini akan diberikan perbandingan Ombudsman antar negara dengan Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan Timor Leste, sebagai berikut: 1. Ombudsman Finlandia tahun 1919 Ombudsman Finlandia ditunjuk oleh Parlemen dengan tugas memastikan pemerintah berjalan mengikuti hukum. Lingkup kerja Ombudsman di Finlandia sangat luas, termasuk mengawasi dan mengusut lembaga-lembaga negara. Ombudsman mempunyai akses ke semua fasilitas pemerintah, dokumen, sistem informasi, bahkan dapat memerintah Polisi untuk melalukan penyidikan. Jika Ombudsman menetapkan bahwa pejabat pemerintah bertindak tidak sesuai dengan hukum, Ombudsman dapat merekomendasikan yang bersangkutan
untuk diproses secara hukum. Keberadaan Ombudsman ini sangat dihormati oleh sistem hukum, sehingga setiap rekomendasinya akan ditindaklanjuti oleh institusi penegak hukum atau peradilan. Di Finlandia juga dibentuk Ombudsman-Ombudsman khusus, misalnya Ombudsman kesetaraan gender, Ombudsman minoritas,
perlindungan
Ombudsman
anak,
Ombudsman
perlindungan
data,
perlindungan
Ombudsman
kelompok
perlindungan
konsumen, dan Ombudsman hak pasien. Ombudsman-Ombudsman tersebut bekerja di bawah berbagai kementerian yang menangani
masalah-masalah
tersebut. 2. Ombudsman Selandia Baru (The Ombudsman of New Zeland) 1962 Selandia Baru adalah negara berbahasa Inggris yang pertama memperkenalkan Ombudsman. Kantor Ombudsman Selandia Baru didirikan tahun 1962 dengan fungsi menyelenggarakan investigasi terhadap keluhan yang disampaikan publik berkenaan dengan pelayanan pemerintah. Ombudsman dibentuk berdasarkan rekomendasi parlemen, anggotanya tidak boleh merangkap jabatan. Masa jabatannya sama dengan masa jabatan parlemen dan hanya dapat dicopot oleh Gubernur Jenderal. Investigasi yang dilakukan Ombudsman di Selandia Baru
mencakup
segala
hal
yang
berkaitan
dengan
tindakan
menyimpang/melalaikan kewajiban dari aparat pemerintah. Di luar itu, Selandia Baru juga mempunyai tiga Ombudsman lain, yaitu Ombudsman Perbankan, Ombudsman Simpanan dan Asuransi, dan Komisi Pengaduan Listrik dan BBM. 3. Ombudsman India 1968
Pemerintah India mengembangkan Ombudsman sebagai lembaga yang menangani pengaduan dan keluhan masyarakat. Dalam bahasa India, Ombudsman disebut sebagai Lokpal atau Lokayukta. Ombudsman India bermula pada tahun 1966 ketika dibentuk Komisi Reformasi Pemerintahan (Administrative Reforms Commission , ARC) di bawah pimpinan Shri Morarji Desai. Lembaga ini ditata dalam bentuk aransemen dua jenjang (two-tier machinery) yang disebut sebagai Lokpal yang berkedudukan di Pusat, dan Lokayukta yang berkedudukan di setiap negara bagian untuk mereformasi pemerintahan. 4. Ombudsman Persemakmuran Australia 1972 Ombudsman Australia dibentuk tahun 1976. Ombudsman Australia bertugas mengusut keluhan-keluhan publik atas tindakan, keputusan, dan pelayanan buruk dari lembaga pelayanan publik Pemerintah Australia, pelayanan subkontraktor Pemerintah Australia, dan memeriksa keluhan atas suatu proses penyidikan yang berlebihan dari Polisi Federal Australia. Ombudsman juga berhak mengusut keluhan keterlambatan permintaan informasi atau Freedom of Information Request (FOI) dan biaya yang dibebankan atas permintaan informasi tersebut. Ombudsman di tingkat negara atau persemakmuran (Commonwealth) menangani permasalahan Ombudsman yang terkait dengan kemiliteran (Defence Force), imigrasi, pos, pajak, peradilan, dan permasalahan Ombudsman antar negara bagian. Di tingkat negara federal terdapat berbagai Ombudsman dengan tugas yang sama dengan batas yurisdiksi sesuai dengan batasan
negara
(commonwealth).
federal,
dengan
mengecualikan
otoritas
negara
5. Ombudsman Portugal (Provedor de Justiça) 1975 Di Portugal, Ombudsman disebut sebagai Pembawa Hukum (Justice Provider) atau dalam bahasa Portugis Provedor de Justiça, dengan tugas melaksanakan pasal 23 Konstitusi Portugal, yaitu menjadi lembaga yang efektif di mana publik dapat menyampaikan keluhan dan pengaduan terhadap otoritas yang tidak adil. Di Portugal Ombudsman bersifat independen, meski diangkat oleh Parlemen. Di samping melaksanakan tugas “tradisi”, Ombudsman Portugal juga melaksanakan fungsi perlindungan anak dan warganegara lanjut usia. 6. Ombudsman Spanyol 1981 Di Spanyol, kantor Ombudsman disebut sebagai defensor del pueblo atau Pelindung Masyarakat (People‟s defender). Defensor de Pueblo terdapat di tingkat nasional. Di tingkat daerah terdapat Ombudsman dengan berbagai nama yang berbeda-beda. Di Galicia disebut Valedor do Pobo. Di Basque disebut Arateko. Di Aragon disebut Justicia de Aragón. Di Valencia disebut Sindic de Greuges. Di Andalusia disebut Defensor del Pueblo Andaluz. Di Castile-Leon disebut Procurador del Común. Di Navarre disebut Defensor del Pueblo de Navarra/Nafarroako Ararteko. Di Canary Island disebut Diputado del Común. 7. Ombudsman Yunani 1983 Di Yunani, Ombudsman diberi nama sebagai Pelindung Warga (Citizen‟s Advocate) dan sebagai sebuah otoritas yang indepenen. Ombudsman Yunani pada saat ini adalah Profesor Georgios Kaminis. Ia disebut sebagai “The Citizen‟s Advocate”. Sebagai Advocate ia didampingi oleh lima asisten yang menangani lima isu yang berbeda, yaitu:
1. hak-hak sipil, 2. perlindungan sosial, 3. kualitas hidup, 4. hubungan negarawarganegara dan hak anak 8. Ombudsman Rusia 1990 Di Rusia, Ombusman dikenal sebagai Komisioner Hak Asasi Manusia (human rights commissioner). Komisi ini dipimpin oleh Vladimir Lukin, yang bertanggung jawab dalam perlindungan hak asasi manusia. 9. Ombudsman Siprus 1991 Di Siprus Ombudsman dikenal sebagai Komisi Pemerintahan (Commissioner for Administration) sebuah otoritas independen yang didirikan 15 Maret 1991. Ombudsman
Siprus
saat
ini adalah Eliana Nicolaou. Tugas khususnya
adalah memantau tugas penyelenggaraan pemerintahan negara sehari-harinya.
10. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) 2000
Di Indonesia, Ombudsman bermula dari dibentuknya "Komisi Ombudsman Nasional" pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden Abdul Rahman Wahid Nomor 44 Tahun 2000. Kebersamaan dengan amandemen UUD 45 tahun 2004, atas lembaga-lembaga negara di Indonesia, maka selanjutnya tahun 2008, diterbitkanlah Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (parlemen), yang menjadi dasar hukum bagi pembentukan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Dari penerbitan undangg-undang ini mengubah eksistensi Ombudsman di Indonesia dari Ombudsman eksekutif menjadi Ombudsman legislatif.
Ombudsman Republik Indonesia
dibentuk dengan tujuan untuk
meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara serta untuk menjamin
perlindungan
hak-hak
masyarakat.
Secara
khusus
tujuan
Ombudsman Nasional Indonesia adalah mengajak peran serta masyarakat membantu memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme, dan meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih baik. Ombudsman Nasional Republik Indonesia dipimpin oleh seorang Ketua dan dibantu oleh seorang Wakil Ketua, serta anggota sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang, yang terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas pokok Ombudsman.
11. Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan (Provedoria Dos Direitos Humanos E Justiça) Timor Leste 2005 Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan Timor Leste dibentuk oleh negara pada tanggal 20 Mei
2005, berdasarkan pada penerbitan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004, tentang Estatuto Pembentukan Ombudsman Hak Asasi Manusiaa Dan Keadilan, oleh Parlemen Nasional tanggal 26 Mei 2004. Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan memiliki kewenangan yang sangat luas, untuk melakukan perlindungan hak asasi manusia dan peneggakan pemerintahan yang baik. Dapat menhadiri di depan sebuah pengadilan, memeriksa aparat negara dan pemerintah, menginvestigasi fungsi administratif lembaga legislatif, peradilan dan militer.
Landasan hukum Ombudsman Timor Hak Asasi Manusia Dan Keadilan Timor Leste adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, dengan sasaran kerja utama perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat sipil terhadap kejanggalan tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan kesalahan administratif pemerintahan dalam layanan publik yang tidak adil atau tidak layak. Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan saat ini dipimpin oleh seorang
Ketua Ombudsman yang bernama Sr. Sebastião Dias Ximenes dan
didampingi oleh dua orang wakil Ketua, diantaranya Sr. Silverio Pinto Baptista yang menangani isu area Hak Asasi Manusia dan Sr. Rui Pereira dos Santos pada area isu Good Governance periode tahun 2010-2014. Anggota Ombudsman (ketua dan wakil ketua) dipilih dan diangkat oleh Parlemen Nasional untuk tugas 4 (empata) tahun.
2.2.3.
Kerangka Pemikiran Telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa pada hakekatnya,
penyelenggaraan pemerintahan negara dimanapun, ditunjukan pada terwujudnya pemerintahan yang baik. Tentang konsep pemerintahan yang baik ini, sebagaimana dikemukakan oleh Bank Dunia (1997), dalam LAN-BPKP (1999: 79), yaitu, sebagai cara kekuasaan digunakan dalam memgelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (The way state power is used in managing economic and social resources for development of society).
Dikatakan lebih lanjut oleh United Nation Development Programe (UNDP, 1997), bahwa, governance dimaknai sebagai praktik penerapan kewenangan pengelolaan urusan politik, ekonomi, dan administratif di semua tingkat. Keterkaitan antara kepemerintahan yang baik dengan penyelenggaraan negara, sebagaimana dikemukakan oleh UNDP (1997), dalam LAN (2007: 26), governance digambarkan dengan tiga kaki , yaitu: 1) Economic goverernance (pemerintah sebagai fasilitator ekonomi, terhadap equity, poverty, and quality of life) 2) Political Governance, (prosespembuatan keputusan untuk formulasi peraturan perundang-undangan) 3) Administrative governance, ( sistem implementasi kebijakan) Berdasarkan pada ketiga konsep di atas, governance meliputi tiga domain utama, yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing, yaitu: 1). State /negara atau pemerintahan (menciptakan iklim politik dan hukum yang kondusif) 2). Private
Sector/ Sektor
swasta
(menciptakan
lapangan
pekerjaan dan
pendapatan) 3). Society/ masyarakat (berperan aktif dan posetif dalam interaksi sosial, melalui lembaga-lembaga
swadaya
masyarakat, organisasi profesi dan mengajak
anggota masyarakat untuk berpartisipasi) Hal ini sejalan dengan pendapat Pinto (19994) dalam LAN (2007:27), bahwa: “Istilah governance mengandung arti praktik penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya, karena
governance adalah masalah perimbangan antara: negara, swasta dan masyarakat” Berdasarkan pendapat di atas, governance dijalankan oleh ketiga domain, yang
diharuskan
masuk
dalam
kategori
yang
baik
(good).
Ketiga
domain/komponen di atas lebih berkaitan dengan kinerja pemerintah, yaitu pemerintah yang berkewajiban melakukan penerapannya sistem demokrasi, rule of low dan hak asasi manusia. Di sisi lain penyelenggaraan pemerintahan ditujukan kepada terciptanya fungsi layanan publik yang baik dan efektif serta bebas dari praktik-praktik koruptif (penyalahgunaan wewenang dan maladministrasi). Untuk mendukung terciptanya pemerintahan yang baik dan efektif, transparan, akuntabel responsif dan demokrasi, maka perlu dibentuk suatu lembaga yang dapat mengakomodir
berbagai kepentingan
dan aspirasi
masyarakat, yaitu lembaga yang bernama Ombudsman. Lembaga Ombudsman inilah yang menampung aspirasi maupun kepentingan masyarakat dan memperjuangkannya agar mendapat respons
dari pemerintah, terutama
mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan atau keputusan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat serta mewujudkan pelayanan yang baik
dan
maksimal kepada masyarakat. Lembaga Ombudsman dimanapun berperan penting dalam pemberian saran dan usulan atau masukan-masukan (rekomendasi) bagi perbaikan kinerja pemerintah, terutama penyelenggaraan administrasi publik, pemerintahan dalam ayanan publik yang lebih efektif, demokratis, berkeadilan, transparan, akuntabel, responsif dan lain sebagainya.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, tujuan pembentukan lembaga Ombudsman Timor Leste sesuai dengan Undang Undang No. 7 Tahun 2004, adalah untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Agar good governance tersebut dapat terwujud di Timor Leste, maka Ombudsman Timor Leste diharuskan berperan aktif dalam mendorongnya, sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. Peran Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan dalam mendorong good governance di Timor Leste, mencakup bagaiman Ombudsman menerima pengaduan dari masyarakat mengenai sikap dan tindakan pemerintahan yang buruk. Melakukan fungsi pencegahan melalui pencarian penyelesaian atas ketidak adilan, memberikan saran dan usul (rekomendasi) sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan bagaimana menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya. Berdasarkan pada uraian konsep di atas, penulis merumuskan Peran Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan Dalam Mendorong good governance di Timor Leste dilakukan melalui tiga aktivitas kerja yang penting yaitu: Investigasi Mal-administrasi Publik, Monitoring dan Pendidikan Umum Anti Mal-administrasi Publik. Pelaksanaan atas ketiga aktivitas kerja tersebut, merupakan peran strategik Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan yang dilakukan untuk tindakan penuntutan dan/atau merubah perilaku para pejabat publik dari perbuatan kesalahan-kesalahan mal-administrasi dan juga memperbaiki prosedur layanan publik pemerintahan yang sesuai dengan prinsip prinsip good governance.
Berdasarkan tinjauan pustaka, dan uraian kerangka pemikiran di atas, maka keseluruhan kerangka pemikran Peran Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan dalam mendorong good governance di Timur Leste dapat digambarkan dalam bentuk Bagan Kerangka Pemikiran sebagai berikut: Gambar: 1 Bagan Kerangka Pemikiran
PERAN OMBUDSMAN HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN
GOOD GOVERNANCE DI TIMOR LESTE
1. Investigasi Maladministrasi Publik
MENDORONG
2. Monitoring Maladministrasi Publik 3. Pendidikan Umum Anti Mal-administrasi Publik
1Partisipasi 2.Kepastian hukun 3. Transparansi 4.Responsif 5. Konsensus 6. Keadilan 7. Efektivitas & Efisiensi 8. Tanggunjawab 9.Wawasan ke depan
Feedback
Dari kerangka pemikiran di atas, penulis memusatkan penilitian dalam penulisan tesis ini; pada proses pembahasan berfokus pada tiga lingkup kerja utama sebagai peran Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan dalam mendorong terwujudnya good governance di Timor Leste. 2.2.3. Hipotesis Kerja Berdasarkan
kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis kerja penelitian ini sebagai berikut: 1. Peran Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan melalui investigasi, dan monitoring mal-administrasi publik serta pendidikan umum anti mal-
administrasi publik dapat mendorong good governance di Republik Demokratik Timor Leste 2.
Ombudsman Hak Asasi Manusia Dan Keadilan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam mendorong good governance di Timor Leste dilakukan sesuai dengan 9 prinsip good governance, yaitu: 1.Partisipasi 2.Kepastian hukun 3. Transparansi 4.Responsif 5. Konsensus 6. Keadilan 7. Efektivitas & Efisiensi 8. Tanggunjawab 9.Wawasan ke depan