BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Biji Mahoni Tanaman mahoni (Swietenia mahagoni) merupakan salah satu tanaman
yang dianjurkan dalam pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mahoni dalam klasifikasinya termasuk famili Meliaceae. Mahoni dapat ditemukan tumbuh liar di hutan jati dan tempat-tempat lain yang dekat dengan pantai atau ditanam ditepi jalan sebagai pohon pelindung (Qodri et al., 2014), bentuk pohon dan biji mahoni dapat dilihat pada Gambar 2.1. Klasifikasi dari tanaman mahoni adalah (Plantamor, 2012): Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Devisi
: Spermatophyta (Menghasilkan Biji)
Devisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua/ dikotil)
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Sapindales
Famili
: Meliaceae
Genus
: Swietenia
Species
: Swietenia mahagoni (L.) Jacq.
6
7
A
B Gambar 2.1
Tanaman Mahoni (A) Pohon mahoni (B) Biji mahoni (Adminboro, 2014) Pada tahun 70-an, mahoni banyak dicari orang sebagai obat. Orang-orang mengonsumsi biji mahoni hanya dengan menelan bijinya setelah membuang bagian yang pipih. Penelitian Genus Swietenia (mahoni) sekarang ini semakin berkembang. Dadang dan Ohsawa (2000) melaporkan ekstrak biji Swietenia mahagoni pada konsentrasi 5% dapat memberi penghambatan makan 100% larva P. xylostella. Menurut Prijono (1998) ekstrak biji mahoni pada konsentrasi 0.25% dapat menyebabkan kematian larva C. pavonana 10.4% (Siregar et al., 2006). Kandungan kimia mahoni dipengaruhi oleh iklim dan cuaca serta habitat masing-masing mahoni. Biji mahagoni afrika Khaya segenalensis yang diekstraksi dengan etanol, dan dipartisi dengan etil asetat mengandung senyawa tetranortriterpenoid. Ekstrak biji S. macrophylla mengandung triterpenoid yaitu swietenin dan swietenolida tiglat, serta flavonoid dan tanin. Esktrak etanol dari biji Swietenia sp mengandung alkaloid, terpenoid, dan flavonoid (Sianturi, 2001).
8
Biji
mahoni
memiliki
efek
farmakologis
antipiretik,
antijamur,
menurunkan tekanan darah tinggi (hipertensi), kencing manis (diabetes mellitus), kurang nafsu makan, demam, masuk angin, dan rematik. Hasil penelitian yang sering dipublikasi adalah ekstrak biji mahoni untuk menurunkan kadar glukosa darah pada tikus Wistar. Kabar yang terbaru bahwa ekstrak biji mahoni termasuk salah satu obat tradisional yang dapat menghambat pertumbuhan HIV AIDS dalam laboratorium. Penelitian ekstrak mahoni sebagai antibiotik juga telah dilaporkan, bahkan penelitinya menganjurkan agar diteliti lebih jauh, karena potensial untuk digunakan sebagai antibiotik baru terutama untuk bakteri yang resistan terhadap antibiotik yang ada (Rasyad, 2012). 2.2
Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol yang terbesar di alam.
Senyawa flavonoid ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi, tetapi tidak dalam mikroorganisme. Dalam tumbuhan flavonoid memiliki fungsi pengatur dalam proses fotosintesis, kerja antimikroba, dan antivirus. Berbagai jenis senyawa, kandungan dan aktivitas antioksidatif flavonoid sebagai salah satu kelompok antioksidan alami yang terdapat pada sereal, sayur-sayuran biji-biji buah, telah banyak dipublikasikan. Flavonoid berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya mengkelat logam, berada dalam bentuk glukosida (mengandung rantai samping glukosa). Flavon, flavonol, dan antosianidin adalah jenis yang banyak ditemukan di alam sehingga sering disebut sebagai flavonoid utama. Banyaknya senyawa flavonoid ini
9
disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi atau glikosilasi dari struktur tersebut (Redha, 2010). Umumnya flavonoid larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, aseton, dan air. Adanya gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air (Markham, 1998). Flavonoid dapat memberikan warna yang khas terhadap pereaksi pendeteksi flavonoid, seperti : NaOH 10 %, asam sulfat pekat, bubuk magnesium-asam klorida pekat, dan natrium amalgam-asam klorida pekat (Harborne, 1987). Senyawa flavonoid tersusun atas 15 atom karbon pada inti dasarnya dengan konfigurasi C6-C3-C6 yaitu dua cincin aromatik dan dihubungkan oleh atom karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (Indradewi, 2011). Struktur dasar flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.2.
B A
C
Gambar 2.2 Struktur dasar flavonoid (Robinson, 1991)
Berdasarkan struktur dasarnya maka dapat dikenal beberapa golongan flavonoid
diantaranya:
khalkon,
auron,
flavanon,
isoflavon,
flavon,
10
dihidroflavonol,
flavonol,
antosianidin,
katekin,
(flavan
3-ol),
dan
proantosiainidin yang tertera pada Gambar 2.3.
3' 2'
4'
8 O
7
O
5'
2
O
6' 3
6
OH
4
5
OH
O
O
Flavon
O
Dihdroflavonon
Flavonol 3
3' 2'
3'
2
4' 3'
8
O
7
5'
2
5
4'
2'
O
7
3 4
5
Khalkon
Flavan 3,4-diol
3'
3'
2'
4'
7
7
2'
O
6 O
OH
OH
O
8
5'
2
6 6'
Antosianidin
4'
6'
5'
3 4
5
8
6
6' 6
2'
4
5'
2
4' 5'
CH
6'
5
6' 4
6
3 4
5
OH
O
Katekin
Auron
3' 3' 2' 8 7
O
8 2
3' 2'
6
5'
4 O
8 O
5'
2
7
6
3 5
4
4' 5'
2 6'
6
OH
3 5
6'
Isoflavon
O
6'
4'
3 5
7
2' 4'
n
Proantosianidin
4 O
Flavanon
Gambar 2.3 Struktur dasar beberapa golongan senyawa flavonoid (Indradewi, 2011)
11
2.3
Hewan Uji Hewan Uji yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih berjenis
Rattus novergicus galur Wistar (Gambar 2.4) dikembangkan di Institut Wistar pada tahun 1906 untuk digunakan dalam biologi dan penelitian medis.
Gambar 2.4 Tikus Wistar (Dokterternak, 2010) Tikus putih atau dikenal tikus Wistar merupakan tikus yang paling sering digunakan sebagai hewan uji dalam laboratorium. Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus lainnya yaitu penanganan dan pemeliharaannya yang mudah karena tubuhya kecil, bersih, dan kemampuan reproduksi tinggi (Pribadi, 2008). Selama bertahun-tahun, tikus telah digunakan dalam banyak eksperimen, yang telah menambah pemahaman kita tentang genetika, penyakit, pengaruh obatobatan, dan topik lain dalam kesehatan dan kedokteran. Laboratorium tikus juga terbukti berharga dalam studi psikologis belajar dan proses mental lainnya. Pentingnya sejarah spesies ini untuk riset ilmiah tercermin dengan jumlah literatur tentang itu, sekitar 50% lebih dari itu pada tikus. Konversi usia manusia ke tikus adalah usia 10 tahun pada manusia sama dengan 1 bulan pada tikus wistar
12
(Umami, 2012). Konversi dosis pada manusia dengan berat badan 70 kg ke tikus wistar dengan berat badan 200 gram adalah 0,018 (Indrapraja, 2009). 2.4
Etanol Konsumsi etanol adalah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat
yang dapat mengakibatkan masalah sosial. Etanol dapat mengubah respon terhadap obat yang diberikan bersamaan. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara etanol dan obat. Mekanisme interaksi farmakokinetik meliputi: absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Etanol yang dikonsumsi diabsorbsi di usus halus sebesar 80%. Kecepatan absorbsi tergantung pada jumlah dan konsentrasi etanol dalam minuman yang mengisi lambung dan usus. Etanol dalam lambung yang kosong kadarnya dalam darah terdeteksi pada 30-90 menit setelah mengkonsumsi (Gugule et al., 2013). Distribusi etanol berjalan cepat, dalam jaringan mendekati kadar di dalam darah. Volume distribusi dari etanol mendekati volume cairan tubuh total (0,5-0,7 L/kg). Sekitar 90-98% etanol yang diabsorbsi dalam tubuh akan mengalami oksidasi. Metabolisme etanol terjadi di dalam hati. Etanol yang masuk ke dalam tubuh akan cepat diabsorpsi dalam lambung dan usus halus. Etanol diabsorpsi langsung secara difusi dan akan didistribusikan secara bebas dalam jaringan dan cairan tubuh. Volume distribusi etanol berkisar antara 0,58-0,70 L/kg berat badan. Kadar etanol dalam otak dicapai setelah absorpsi sempurna dalam darah. Faktorfaktor yang mempengaruhi absorpsi etanol adalah volume, pengenceran, kecepatan pencernaan, dan makanan yang ada di dalam lambung. Di dalam hati, etanol akan dioksidasi oleh alkohol dehidrogenase menjadi asetaldehid.
13
Asetaldehid akan dioksidasi oleh aldehid dehidrogenase menjadi asam asetat atau asetil ko-enzim A. Asam asetat yang dihasilkan dari oksidasi asetaldehid akan masuk ke dalam siklus kreb, sehingga terbentuk karbon dioksida dan air. Asetaldehid merupakan metabolit pertama dari etanol yang pada pasien alkoholis terjadi proses metabolisme yang lambat sehingga mengakibatkan toksisitas jaringan dan ketergantungan etanol (Wardjowinoto, 1998). Skema metabolisme etanol dapat dilihat pada Gambar 2.5. Etanol
Asam Asetat
Asetaldehida Alkohol dehidrogenase
Aldehid dehidrogenase
Gambar 2.5 Metabolisme Etanol (Wardjowinoto, 1998) 2.5
Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu
atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Molekul ini dapat bereaksi dengan molekul lain yang akan menimbulkan reaksi rantai yang sangat dekstruktif. Pengertian radikal bebas dan oksidan sering dianggap sama karena keduanya memiliki kemiripan sifat, serta memiliki aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama, meskipun melalui proses yang berbeda (Hardianty, 2011). 2.5.1
Struktur radikal bebas Atom terdiri atas inti (proton dan neutron) dan elektron. Jumlah proton
(bermuatan
positif) dalam inti menentukan jumlah dari elektron (bermuatan
negatif) yang mengelilingi atom tersebut. Elektron mengelilingi suatu atom dalam
14
satu lapisan bahkan lebih. Jika satu lapisan penuh, elektron akan mengisi lapisan kedua. Lapisan kedua akan penuh jika telah memiliki 8 elektron, dan begitu seterusnya. Atom sering kali melengkapi lapisan luarnya dengan cara membagi elektron-elektron bersama atom yang lain. Dengan membagi elektron, atom-atom tersebut bergabung bersama dan mencapai kondisi stabilitas maksimum untuk membentuk molekul. Oleh karena radikal bebas sangat reaktif, maka mempunyai spesifitas
kimia yang rendah, sehingga
dapat
bereaksi
dengan
berbagai
molekul lain, seperti protein, lemak, karbohidrat, dan DNA (Arief, 2012). 2.5.2
Sifat-sifat radikal bebas Radikal bebas memiliki reaktifitas tinggi, karena adanya satu atau lebih
elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya yang menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan dengan cara menyerang atau menarik elektron molekul yang berada di sekitarnya. Hal ini mengakibatkan terbentuknya senyawa radikal baru, dengan kata lain radikal bebas dapat mengubah suatu molekul atau senyawa menjadi suatu radikal bebas baru, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi rantai. Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan terletak pada kecenderungannya untuk menarik elektron (Hardianty, 2011). 2.5.3
Tahap pembentukan radikal bebas Tahap pembentukan Radikal Bebas terjadi melalui 3 tahap, yaitu;
1. Tahap Inisiasi, yaitu tahap pembentukan awal radikal bebas, dan menjadikan senyawa yang non radikal menjadi radikal bebas. Contohnya: Fe++ + H2O2
Fe+++ + OH- + •OH
15
2. Tahap propagasi, yaitu tahap pemanjangan rantai radikal, radikal bebas diperluas sehingga membentuk beberapa radikal bebas yang baru. Contohnya: R2-H + R1•
R2 • + R1-H
R3-H + R2 •
R3 • + R2-H Keterangan: R= rantai alkil
3. Tahap terminasi, yaitu tahap pembentukan non radikal dari radikal bebas, bereaksinya senyawa radikal dengan radikal yang lain sehingga propagansinya menjadi rendah. Contohnya: R1 • +
R1 •
R1-R1
R2 • +
R2 •
R2-R2
R3 • +
R3•
R3-R3 (Hardianty, 2011).
Radikal bebas dapat terjadi melalui proses fisiologis normal dalam tubuh atau karena pengaruh spesies eksogen. Spesies eksogen tersebut dapat berbentuk senyawa yang muncul secara alami dalam biosfer (misalnya ozon, NO2, etanol, atau tetradecanoyl phorbol acetate / TPA), senyawa kimia industri (seperti karbon tetraklorida). Radikal yang sering muncul dalam proses biologis adalah superoksida (O2-1) yang selanjutnya mengalami dismutasi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) atau mengalami protonasi menjadi radikal hidroperoksil. Pembentukan hidrogen peroksida, menjadi sarana untuk mendeteksi
adanya
proses yang melibatkan superoksida di dalam tubuh. Radikal superoksida dapat ditemukan di semua sel yang mengalami metabolisme aerobik (Sholihah dan Widodo, 2008).
16
Radikal bebas, yang sering disebut Reactive Oxygen Species, dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Senyawa oksigen reaktif juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres oksidatif, pembentukan senyawa oksigen reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya yang mengakibatkan sistem pertahanan tubuh terpacu untuk bekerja lebih keras untuk memusnahkan senyawa oksigen reaktif. Salah satu sistem pertahanan tubuh itu adalah sistem antioksidan enzimatis dan non enzimatis, yang bekerja menekan senyawa oksigen reaktif yang berlebihan. Sebagai akibatnya adalah gangguan metabolik yang mengakibatkan stres oksidatif (Hardianty, 2011). 2.6
Stres Oksidatif Stres oksidatif adalah suatu keadaan tingkat Reactive oxygen species yang
toksik melebihi pertahanan antioksidan. Keadaan ini mengakibatkan kelebihan radikal bebas, yang akan bereaksi dengan lemak, protein, asam nukleat seluler, sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ tertentu (Arief, 2012). Stres oksidatif pada susunan saraf pusat sangat mematikan, sebab otak manusia terutama memakai metabolisme oksidatif. Meskipun berat otak hanya 2% dari berat tubuh, otak menggunakan sekitar 50% dari seluruh oksigen tubuh. Faktor stress oksidatif lain yang sangat berbahaya pada otak dengan adanya kandungan PUFA (polyunsaturated fatty acid) yang tinggi, hampir 50% dari struktur jaringan otak. Jaringan otak mengandung asam askorbat 100 kali lipat dibanding di pembuluh darah perifer, tetapi mempunyai katalase, gluthation
17
peroksidase lebih rendah daripada jaringan lain yang juga meningkatkan risiko terjadinya stres oksidatif. Radikal bebas merusak sel dan bereaksi dengan makromolekuler sel melalui proses peroksidasi lipid, oksidasi DNA dan protein (Siswonoto, 2008). 2.7
Senyawa 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin (8-OHdG) Senyawa 8-OHdG merupakan salah satu penanda stres oksidatif yang
merupakan hasil oksidasi basa guanin oleh ROS. 8-OHdG dapat dideteksi pada sampel jaringan tubuh dan darah manusia. 8-OHdG dapat terdeteksi pada sampel urin dikarenakan hasil dari nukleotida dan basa merupakan senyawa yang larut air dan dieksresikan pada urin. Senyawa 8-OHdG dalam urin dijadikan biomarker penting stres oksidatif dalam sel. Faktanya tingkat 8-OHdG dalam urin sering kali digunakan dalam mengukur kerusakan oksidatif pada DNA. Struktur 8-Hidroksi2’-deoksiguanosin dan struktur 2’-deoksiguanosin dapat dilihat pada Gambar 2.6 (Nakajima et al., 2012). O
N
NH
OH N
N
NH2
HO O H
H
OH
H
H
H
Gambar 2.6 Struktur 8-Hidroksi-2’-deoksiguanosin (Nakajima et al., 2012).
18
2.8
Isolasi Komponen Aktif Tanaman Isolasi senyawa bioaktif yang berasal dari tumbuhan memegang peranan
yang sangat penting di dalam pencarian tumbuhan yang mempunyai aktivitas biologi tertentu berkaitan dengan usaha untuk mengisolasi senyawa bioaktif. Tahapan yang harus dilakukan adalah penyiapan sampel, ekstraksi, dan pemisahan. 2.8.1
Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan senyawa kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut. Senywa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Hasil yang diperoleh dari ekstraksi disebut ekstrak. Ekstrak bisa dalam bentuk sediaan kering, kental, dan cair (Raja, 2008). 2.8.2
Pemisahan dan pemurnian Pemisahan dan pemurnian komponen atau senyawa kimia yang terdapat
dalam bahan tumbuhan umumnya dilakukan dengan teknik kromatografi. Teknik kromatografi dipergunakan dalam pemisahan dan pemurnian suatu bahan alam. Untuk pemisahan dan pemurnian umumnya menggunakan 2 jenis kromatografi yaitu kromatografi lapis tipis dan kromatografi kolom. Sebelum dilakukan
19
pemurnian, terlebih dahulu dilakukan pemisahan awal dengan menggunakan metode partisi (Indradewi, 2011). 2.8.2.1 Partisi Metode partisi bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa kimia dalam ekstrak kasar berdasarkan kepolarannya. Awalnya partisi dimulai dengan pelarut non polar seperti n-heksan untuk menarik senyawa-senyawa non polar. Selanjutnya digunakan pelarut semi polar seperti kloroform, etil asetat atau aseton untuk menarik senyawa-senyawa semi polar. Terakhir digunakan pelarut polar seperti metanol atau n-butanol untuk menarik senyawa polar. Dalam metode partisi digunakan teknik yang umum digunakan yaitu dengan corong pemisah dengan menggunakan dua pelarut yang tidak saling tercampur. Untuk pemisahan senyawa yang berwarna, partisi dihentikan bila ekstrak terakhir sudah tidak berwarna sedangkan untuk senyawa yang tidak berwarna, dihentikan setelah 3 sampai 4 kali penggantian pelarut (Indradewi, 2011).
2.9
Karakterisasi Karakterisasi suatu senyawa hasil isolasi dilakukan dengan cara kualitatif
dan kuantitatif. Dengan cara kualitatif, dilakukan dengan uji fitokimia untuk mengetahui golongan senyawa dengan menggunakan pereaksi. Sedangkan dengan uji kuantitatif, dilakukan dengan alat spektrofotometer UV-Visible untuk mengukur nilai absrobansi dari sampel dan standar yang dapat digunakan untuk menghitung kadar total flavonoid pada sampel.
20
2.9.1 Uji fitokimia flavonoid Metode identifikasi ini dilakukan berdasarkan pada metode penapisan fitokimia (phytochemical screening) terhadap golongan senyawa kimia tertentu seperti flavonoid degan menggunakan pereaksi warna atau secara kualitatif (Indradewi, 2011). Uji senyawa flavonoid dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi pendeteksi senyawa flavonoid, antara lain pereaksi NaOH 10%, pereaksi H2SO4, dan pereaksi Mg-HCl pekat. 2.9.2
Spektrofotometer ultraviolet Spektrofotometri
UV-Vis
merupakan
salah
satu
teknik
analisis
spektroskopi yang memakai sumber radiasi eleltromagnetik ultraviolet dekat (190380) dan sinar tampak (380 - 780) dengan memakai instrumen spektrofotometer. Radiasi ultraviolet diabsorpsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron- terkonyugasi dan atau atom yang mengandung elektron, menyebabkan transisi elektron di orbital terluarnya dari tingkat energi elektron tingkat dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya serapan radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi sehingga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Williams dan Fleming, 2008). 2.10
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 oleh Engval
dan Perlman. Teknik ini dapat digunakan untuk mendeteksi zat antibodi atau antigen. Prinsip dari uji ELISA adalah reaksi kompleks antigen-antibodi dengan
21
melibatkan peran enzim konjugasi anti spesien imunoglobulin dan substrat sebagai indikator dalam reaksi (Racmawati et al., 2004). ELISA
kit
untuk
penanda
kerusakan
DNA
teroksidasi
adalah
pengembangan immunoassay berdasarkan enzim kompetitif untuk mendeteksi dan kuantisasi 8-OHdG dalam urin, serum, dan sel atau jaringan sampel DNA secara cepat. Sejumlah sampel 8-OHdG ditentukan dengan membandingkan absorbansi sampel dengan kurva standar. ELISA kit 8-OHdG memiliki batas deteksi antara 100 pg/mL hingga 20 ng/mL. Setiap kit terdapat reagen untuk analisis hingga 96 well termasuk kurva standar dan sampel (Cell Biolabs, Inc). Prinsipnya, sejumlah sampel yang mengandung 8-OHdG atau standar pertama kali ditambahkan pada 8-OHdG/BSA konjugat yang sebelumnya telah ada dalam microplate. Kemudian setelah dilakukan inkubasi awal, antibodi 8-OHdG monoklonal ditambahkan, selanjutnya ditambahkan HRP sebagai antibodi kedua. Senyawa 8-OHdG yang terdapat dalam sampel ditentukan dengan membandingkannya dengan kurva standar 8-OHdG (Cell Biolabs, Inc).