14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Public Relations (PR) 2.1.1. Pengertian Public Relations Berbagai definisi atau pengertian tentang Public Relations (PR) telah banyak dikemukakan dan dibahas oleh para ahli dan praktisi PR yang tersebar dalam berbagai literatur. Sebagai kerangka kerja teori untuk mendukung pembahasan dalam penelitian ini, kita akan merujuk pada beberapa pengertian atau definisi kerja PR yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut: Dan Lattimore et.al (2008:4), Public relations is a leadership and management function that achieves organizational objectives, defines philosophy, and facilitates organizational change. Public relations practitioners communicate with all relevant internal and external publics to develop positive relationships and to create consistency between organizational goals and societal expectations. Public relations practitioners develop, execute, and evaluate organizational programs that promote the exchange of influence and understanding among an organization’s constituent parts and publics. 20 (Public Relations adalah fungsi manajemen dan kepemimpinan untuk mencapai tujuan organisasi, merumuskan filosofi dan memfasilitasi perubahan keorganisasian. Praktisi PR berkomunikasi dengan seluruh publik internal dan eksternal terkait untuk membangun hubungan yang positif dan untuk menciptakan konsistensi antara tujuan organisasi dan harapan masyarakat). Praktisi PR mengembangkan, melaksanakan, dan mengevaluasi program keorganisasian yang mendorong pertukaran pengaruh dan pengertian antara bagian-bagian konstituensi dan publik organisasi). Pengertian PR di atas, pada dasarnya memberikan penekanan pada fungsifungsi manajemen dan kepemimpinan untuk mengkomunikasikan berbagai hal 20
Dan Lattimore, et.al. Public Relations: The Profession and the Practice. Third Edition. McGraw-Hill Companies, New York. 2008 hal: 4
14
15
kepada semua stakeholder terkait, misalnya berkenaan dengan perubahan kebijakan keorganisasian dan sebagainya agar apa yang menjadi tujuan perusahaan selaras dengan apa yang menjadi harapan para stakeholder-nya. Dalam hal ini praktisi PR harus mampu mengembangkan, melaksanakan, sekaligus mengevaluasi berbagai program komunikasi perusahaan (organisasi) yang mendorong terciptanya saling pengertian di antara konstituen atau stakeholder perusahaan. Senada dengan uraian di atas, Scott M. Cutlip et.al (dalam Dennis L. Wilcox dkk, 1995: 6) mengemukakan “public relations is the management function that identifies, establishes, and maintains mutually beneficial relationships between an organization and the various publics on whom its success and failure depends”. 21 (Public Relations merupakan fungsi manajemen yang mengidentifikasi, menetapkan, dan memelihara hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dan berbagai publik yang memengaruhi kesuksesan atau kegagalan organisasi tersebut). Dari penjelasan di atas terlihat bahwa penekanan peran Public Relations (PR) ada pada fungsinya sebagai sebuah fungsi manajemen yang memiliki kedudukan, fungsi, peran dan status yang sama dengan fungsi -fungsi manajerial yang lain seperti manajemen sumber daya manusia, manajemen pemasaran, atau manajemen keuangan. Sebagai fungsi manajemen, Public Relations (PR) harus mampu mengidentifikasi dan memelihara hubungan yang simbiosis mutualistik antara 21
Dennis L. Wilcox., Philip H. Ault., Warren K. Agee. Public Relations: Strategies and Tactics. Fourth Edition. Harper Collins College Publishers. United States of America. 1995 hal: 6
16
perusahaan (organisasi) dengan berbagai publiknya karena keberhasilan atau kegagalan suatu perusahaan juga bergantung pada publiknya atau konstituen terkait. Oleh karena itu, kehadiran Public Relations (PR) dalam suatu perusahaan (organisasi) sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan perusahaan yang bersangkutan, baik bagi organisasi bisnis (profit) maupun organisasi nirlaba (non profit).
2.1.2. Peran dan Fungsi Public Relations Setiap perusahaan (organisasi) besar, baik organisasi profit maupun nonprofit menginginkan brand image dan brand corporate. Untuk mendapatkan semua itu dibutuhkan proses yang panjang dan biaya yang relatif mahal. Salah satu upaya untuk mencapai keinginan tersebut di atas, maka perusahaan (organisasi) perlu memiliki praktisi public relations (PR) yang handal yang memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan untuk bidang profesi PR sehingga peran dan fungsinya bisa dijalankan secara efektif. Praktisi Public Relations (PRO) atau humas mempunyai peran dan fungsi yang cukup strategis untuk menopang kehidupan dan efektifitas perusahaan (organisasi) yang sebagian perannya merupakan peran manajerial dan sebagian lagi terkait dengan pemasaran (marketing). Keberadaan Public Relations (PR) dalam sebuah perusahaan (organisasi) baik yang berupa departemen PR (in-house public relations) maupun sebagai konsultan individu, PR diharapkan bisa membantu organisasi dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang lebih strategis. Oleh sebab itu, praktisi PR sangat dibutuhkan dalam suatu perusahaan (organisasi) terlebih-lebih ketika oraganisasi mengalami krisis.
17
Terkait dengan peran PR, Dozier dan Broom seperti dikutip Dan Lattimore, dkk (2008: 52) 22 menjelaskan bahwa ada dua peran besar yang secara konsisten muncul dalam public ralations (PR), yaitu: peran teknisi (technician role) dan peran manajer (managerial role). Peran teknisi merepresentasikan sisi keterampilan public relations (PR), seperti: menulis, mengedit, mengambil foto, menangani produksi komunikasi, melakukan special event, dan mengontak media yang kesemuanya merupakan implementasi strategi komunikasi manajemen secara keseluruhan. Peran PR sebagai teknisi komunikasi atau sebagai method of communication in organization, dalam menyediakan layanan teknis, PR memiliki fungsi keluar dan fungsi kedalam. Fungsi keluar yaitu berupaya memberikan informasi atau pesan-pesan sesuai dengan tujuan dan kebijakan perusahaan (organisasi) kepada masyarakat sebagai khalayak sasaran. Sedangkan fungsi kedalam adalah untuk menyerap reaksi, aspirasi atau opini khalayak tersebut yang diserasikan demi kepentingan organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Berkenaan dengan peran manajerial (managerial role), Scott M. Cutlip, Allen H. Center, and Glen M. Broom seperti disarikan oleh Dan Lattimore, dkk (2008: 52-53) 23 menjelaskan bahwa peran manajer terfokus pada kegiatankegiatan yang membantu mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah public relations (PR). Manajer PR memberikan saran (advice) kepada para manajer senior tentang kebutuhan komunikasi dan bertanggung jawab atas hasil-
22
Dan Lattimore, et.al. Public Relations: The Profession and the Practice. Third Edition.McGrawHill Companies, New York. 2008. hal: 52 23 Ibid. hal: 53
18
hasil keorganisasian yang besar. Manajer PR menjalankan tiga peran sebagai berikut: •
Expert prescriber: yaitu orang berperan sebagai konsultan yang mendefinisikan masalah, menyarankan opsi-opsi yang harus ditempuh, dan mengawasi implementasi opsi-opsi tersebut.
•
Communication Facilitator: orang yang berada di antara organisasi dan lingkungannya yang memelihara komunikasi timbal balik (komunikasi dua arah).
•
Problem solving facilitator: orang yang bermitra dengan manajemen senior untuk mengidentifkasi dan memecahkan masalah.
Untuk menjalankan ketiga peran tersebut, sangat tergantung pada pengetahuan individu yang bersangkutan. Jika manajer tersebut mampu menjalankan kedua peran tersebut di atas (yaitu peran teknisi & peran manajer), maka akan mencapai status yang lebih tinggi dalam pembuatan keputusan organisasi. Sedangkan fungsi PR menurut Cutlip et.al (dalam Ruslan, 2008: 19) 24 adalah sebagai berikut: 1. Menunjang aktivitas utama manajemen dalam mencapai tujuan bersama (fungsi melekat pada manajemen lembaga/organisasi).
24
Ibid., hal: 19
19
2. Membina hubungan yang harmonis antara badan/organisasi dengan publiknya yang merupakan khalayak sasaran. 3. Mengidentifikasi segala sesuatu yang berkaitan dengan opini, persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap organisasi yang diwakilinya, atau sebaliknya. 4. Melayani keinginan publiknya dan memberikan sumbang saran kepada pimpinan manajemen demi tujuan dan manfaat bersama. 5. Menciptakan komunikasi timbal balik, mengatur arus informasi, publikasi serta pesan dari organisasi kepada publiknya atau sebaliknya, demi tercapainya citra positif bagi kedua belah pihak.
Sementara itu, Bertrand R. Canfield (dalam Onong, 2009: 137) 25 mengemukakan tiga fungsi PR sebagai berikut: 1. Mengabdi pada kepentingan umum (It should serve the public’s interest) 2. Memelihara komunikasi yang baik (maintain good communication) 3. Menitik beratkan pada moral dan tingkah laku yang baik (stress good morals and manner)
25
Onong Uchjana Effendi. Human Ralations & Public Relations. Penerbit CV. Mandar Maju Bandung. 2009 hal : 137-138
20
2.1.3 Komponen–Komponen Public Relations Dennis L. Wicox, dkk (1995: 10-11) 26 menjelaskan bahwa komponenkomponen dasar PR menurut sebuah monograf yang dikeluarkan oleh lembaga Public Relations Society of America (PRSA), adalah sebagai berikut: •
Counseling: memberikan saran pada manajemen terkait dengan kebijakan-kebijakan, hubungan, dan komunikasi
•
Research: menentukan sikap dan perilaku publik dalam rangka merencanakan strategi-strategi PR. Riset dapat digunakan untuk (1) menciptakan saling pengertian, (2) memengaruhi dan mempersuasi publik
•
Mdia Relations: bekerja dengan media massa untuk mendapatkan publisitas, atau merespon kepentingan media pada organisasi
•
Publicity: menyebarluaskan pesan-pesan yang telah direncanakan melalui media yang telah ditentukan untuk mengembangkan kepentingan organisasi
•
Employee/member
relations:
untuk
merespon
masalah,
menginformasikan dan memotivasi karyawan perusahaan •
Community relations: merencanakan kegiatan dengan suatu komunitas untuk memelihara lingkungan yang bisa bermanfaat bagi komunitas dan perusahaan (organisasi)
26
Dennis L. Wilcox; Philip H. Ault; and Warren K. Agee. Public Relations: Strategies and Tactics. Fourth edition. Harper Collins College Publishers. 1995 hal: 10-11.
21
•
Public affairs: mengembangkan keterlibatan yang efektif dalam kebijakan publik, dan membantu organisasi untuk memahami harapan publik.
•
Government affairs: berhubungan dengan badan legislasi dan regulator atas nama organisasi. Lobi bisa menjadi bagian dari program “government affairs”
•
Issues management: mengidentifikasi dan menangani isu-isu publik yang bisa memengaruhi organisasi, termasuk urusan lingkungan
•
Finacial relations: menciptakan dan memelihara kepercayaan investor, dan membangun hubungan baik dengan komunitas keuangan. In juga dikenal sebagai investor relations atau shareholder relations.
•
Industry relations: berhubungan dengan perusahaan lain dalam industry suatu organisasi dan dengan asosiasi perdagangan
•
Fund raising: menunjukan kebutuhan untuk, dan mendorong public untuk mendukung organisasi, utamanya melalui kontribusi financial
•
Minority relations: berhubungan dengan individu atau kelompokkelompok minoritas atau kelompok budaya
•
Special events: menstimulasi minat pada seseorang, produk, atau organisasi melalui sebuah peristiwa yang memberikan perhatian, dan juga kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk berinteraksi dengan publik dan mendengarkan mereka.
22
•
Marketing communications: kombinasi dari kegiatan yang dirancang untuk menjual produk, jasa, atau gagasan, termasuk periklanan, jaminan
material,
publisitas,
promosi,
direct
mail,
pameran
perdagangan, dan special event.
2.1.4. Tugas Public Relations Officer (PRO) Seorang PRO atau spesialis PR sesuai dengan peran dan fungsinya, maka dia harus menjalankan sederet tugas-tugas dalam rangka mendukung kemajuan organisasi yang diwakilinya. Terkait dengan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh seorang PRO, Cutlip et.al 27 (2009: 40) meringkaskannya kedalam sepuluh kategori sebagai berikut: 1. Menulis dan mengedit: menyusun rilis berita dalam bentuk cetak atau siaran, cerita feature, newsletter, untuk karyawan dan stakeholder eksternal, korespondensi, pesan website, dan pesan media online lainnya, laporan tahunan dan shareholder, pidato, brosur, film, dan skrip slide show, artikel publikasi perdagangan, iklan institusional, dan materi-materi pendukung teknis lainnya. 2. Hubungan media dan penempatan media: mengontak media koran, majalah, suplemen mingguan, penulis freelance, dan publikasi perdagangan agar mereka memublikasikan atau menyiarkan berita dan feature tentang organisasi yang ditulis oleh organisasi itu sendri
27
Scott M. Cutlip, Allen H. Center, and Glen M. Broom. Effective Public Relations. Edisi kesembilan. Kencana Prenada Media Group Jakarta. 2009 hal: 40-41
23
atau orang lain. Merespon permintaan informasi oleh media, memverifikasi berita, dan membuka akses ke sumber otoritatif. 3. Riset: mengumpulkan informasi tentang opini publik, tren, isu yang sedang muncul, iklim politik dan peraturan perundangan, liputan media, opini kelompok kepentingan, dan pandangan-pandangan lain berkenaan dengan stakeholder organisasi. Mencari data base di internet, jasa online, dan data pemerintah elektronik, mendesain riset program, melakukan survey, dan menyewa perushaan riset. 4. Manajemen dan organisasi: pemrograman dan perencanaan dengan bekerja sama dengan manajer lain; menentukan kebutuhan, menentukan prioritas, mendefinisikan publik, seting dan tujuan, dan mengembangkan strategi dan taktik. Menata personel, anggaran, dan jadwal program. 5. Konseling: memberi saran pada manajemen, dalam masalah sosial, politik, dan peraturan; berkonsultasi dengan tim manajemen, mengenai cara menghindari dan merespon krisis; dan bekerja bersama pembuat keputusan kunci untuk menyususn strategi untuk mengelola atau merespon isu-isu yang sensitif dan kritis. 6. Acara spesial (special event): mengatur dan mengelola konfrensi pers, lomba lari maraton, konvensi, open house, pemotongan pita dan grand opening, perayaan ulang tahun, acara pengumpulan dana, mengunjungi tokoh terkemuka, mengadakan kontes, program penghargaan, dan kegiatan khusus lainnya.
24
7. Pidato: tampil di depan kelompok, melatih orang untuk memberi kata sambutan dan mengelola biro juru bicara untuk menjelaskan platform organisasi di depan audience penting. 8. Produksi: membuat saluran komunikasi dengan menggunakan keahlian dan pengetahuan multimedia, termasuk seni, tipografi, fotografi, tata letak, dan comuputer desktop publishing, perekaman, videao dan audio, editing; dan menyiapkan presentasi audiovisual. 9. Training: mempersiapkan eksekutif dan juru bicara lain untuk menghadapi media dan tampil di hadapan publik. Memberi petunjuk pada orang lain di dalam organisasi untuk meningkatkan keahlian menulis dan berkomunikasi. Membantu memperkenalkan perubahan kultur, kebijakan, struktur, dan proses organisasional. 10. Kontak: bertugas sebagai penghubung (liaison) dengan media, komunitas, dan kelompok internal dan eksternal, lainnya. Sebagai mediator antara organisasi dengan stakeholder penting dengan bertugas
untuk
mendengarkan
pandangan,
menegosiasikan,
mengelola konflik, dan menjalin kesepakatan. Sebagai tuan rumah dengan melakukan pertemuan dan jamuan untuk tamu dan pengunjung.
25
2.2. Stereotip Perempuan dalam Dunia PR 2.2.1. Pengertian Stereotip Perempuan Sebelum membahas istilah ‘stereotip perempuan’ dan istilah lain yang berhubungan seperti stereotip (stereotype), jender (gender), seks (sex), dan ‘stereotip jender’, baik secara lexical (yaitu pengertian menurut penulis kamus) maupun secara terminologis (menurut para ahli psikologi dan sosiologi), terlebih dahulu kita akan membahas tentang perbedaan makna kata ‘perempuan’ dan ‘wanita’, serta implikasi dari penggunaan kedua kata tersebut. Menurut sebuah artikel yang dimuat ‘Kompasiana.com’28, kata ‘wanita’ secara etimologis diserap dari bahasa Jawa yang pada awalnya merupakan ‘eufimisme’ dari kata perempuan untuk meninggikan derajat perempuan. Namun, di balik kata ‘wanita’ tersirat makna yang justru mengkerdilkan ruang gerak perempuan. Dalam konteks keraton misalnya, kewanitaan identik dengan kelembutan,
kehalusan,
kesopanan,
kepatuhan,
dan
lain-lain.
Kesan memimpin, menuntut, atau melawan menjadi tidak ada, karena bertentangan dengan kesan ‘kewanitaan’ itu sendiri. Pada akhirnya, hal ini menjadi sebuah opini publik, dimana seorang wanita tidaklah pantas memimpin, memprotes ataupun melawan. Selain itu, kata wanita sudah menjadi jargon dan diibaratkan sebagai barang, bukan sebagai manusia. Wanita sering disandingkan dengan salah satu dari empat barang pemuas kaum laki-laki yang sering disingkat dengan ‘empat
28
Sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/26/perempuan-dan-wanita-part-2/ , (diakses pada tanggal 26 April 2011)
26
TA’ yaitu: harta, senjata, wanita, dan tahta. Dengan demikian, wanita hanya disejajarkan dengan barang yang dipakai untuk memuaskan laki-laki. Sementara itu, kata ‘perempuan’ yang secara etimologis berasal dari kata empu yang berarti ‘tuan’, ‘orang yang mahir/berkuasa’, atau pun ‘kepala’, ‘hulu’, atau ‘yang paling besar’. Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu ’sokong’, ‘memerintah’, ‘penyangga’, ‘penjaga keselamatan’, bahkan ‘wali’; kata mengampu artinya ‘menahan agar tak jatuh’ atau ‘menyokong agar tidak runtuh’. Selain itu, kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya ‘sapaan hormat pada perempuan’, sebagai pasangan kata tuan ’sapaan hormat pada lelaki’. Kata ‘perempuanpun’ secara formal telah digunakan oleh pemerintah seperti untuk penamaan salah satu kabinet Indonesia yaitu ‘Mentri Pemberdayaan Perempuan’. Karena perbedaan makna yang cukup mendasar dari kata ‘wanita’ dan ‘perempuan’ tersebut, serta implikasi dari penggunaan kata ‘wanita’ yang cenderung merendahkan perempuan, maka dalam konteks penelitian ini kata ‘perempuan’ lebih tepat digunakan ketimbang kata ‘wanita’ seperti judul penelitian ini yaitu ‘Perspektif PRO perempuan mengenai profesi public relations (PR)’. Selajutnya, pengertian istilah stereotip (stereotype) menurut ‘Meriam Webster’s Learner’s Dictionary’ 29 adalah “to believe unfairly that all people or things with a particular characteristic are the same”. (Mempercayai secara tidak fair bahwa semua orang atau hal-hal dengan karakteristik tertentu adalah sama). 29
Merriam Webster, dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/gender, diakses pada tanggal 1 Juli 2011, jam 7: 05 WIB
27
Sementara itu, “Cambridge Advanced Leaner’s Dictionary” 30 menguraikan pengertian stereotype sebagai “a fixed idea that people have about what someone or something is like, especially an idea that is wrong” (suatu pemikiran/ide tetap yang dimiliki orang tentang seperti apa seseorang atau sesuatu, khususnya suatu pemikiran yang salah). Secara terminologis, Sunarto (2004: 152) 31 menjelaskan stereotip (stereotype) sebagai suatu konsep yang erat kaitannya dengan konsep prasangka: orang yang menganut stereotip mengenai kelompok lain cenderung berprasangka terhadap kelompok tersebut. Kemudian, menurut J. Macionis - Sosiolog di ‘Kenyon College-Ohio’ (2008: 364) 32 “stereotype is a simplified description applied to every person in some category”. (Stereotip adalah suatu deskripsi sederhana yang diterapkan kepada setiap orang dalam beberapa kategori yang sama). Sementara dalam kajian Psikologi sosial, “stereotype is a fixed way of thinking about people that puts them into categories and does not allow for individual variation”. (Stereotip adalah cara tetap berpikir tentang orang-orang yang menempatkan mereka ke dalam kategori-kategori dan tidak memungkinkan untuk variasi individu). 33 Senada dengan penjelasan di atas, Baumeister dan
30
Cambridge Advanced Learner’s Dictionary Third Edition (online) diakses pada tanggal 29 November 2011 dari: http://dictionary.cambridge.org/dictionary/british/stereotype_1?q=stereotype 31 Kamanto Sunarto. Loc. Cit. 32 John J. Macionis. Sociology. Twelfth Edition. Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, New Jersey. 2008 hal: 364 33 Sari Monik Agustin, dkk. Konsep Diri Perempuan Lajang di Perkotaan: Studi Interaksionisme Simbolik terhadap Stereotip Perawan Tua di Jakarta. Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Volume VII/No. 1 Januari – April 2008.
28
Bushman (2008: 403) 34 mengemukakan “Stereotypes are beliefs that associate groups of people with certain traits. Stereotypes refer to what we believe or think about various groups. They can be good or bad”. (Stereotip adalah keyakinankeyakinan yang mengasosiasikan kelompok orang dengan sifat-sifat tertentu. Stereotip merujuk pada apa yang kita yakini atau pikirkan tentang berbagai kelompok yang bisa baik atau buruk). Pada intinya (1) stereotip adalah sebuah proses mengkategorisasikan; (2) stereotip dilakukan dengan cara menekankan ciri yang mudah dikenali dari anggota suatu kelompok menjadi ciri kelompok secara keseluruhan. Biasanya hal ini terjadi sebagai hasil dari proses pengamatan jangka panjang yang dilanggengkan oleh pengulangan, jangkauan media, gurauan dan lain-lain yang kemudian menjadi penyebab atas posisi sebuah kelompok dalam masyarakat; (3) berdasarkan sejarah kelompok yang ditekan memiliki kecenderungan paling besar untuk distereotipkan; dan terakhir (4) stereotip sering dilihat sebagai suatu hal yang bersifat absolut, mengindahkan keberadaan perbedaan dan wacana.35 Selanjutnya, istilah gender secara lexical, menurut”Merriam Webster Dictionary” adalah”the behavioral, cultural, or psychological traits typically associated with one sex”. 36 (Ciri-ciri perilaku, budaya, atau psikologis yang biasanya dikaitkan dengan satu jenis kelamin).
34
Roy F. Baumeister & Brand J. Bushman. Social Psychology: Human Nature. Thomson Wadswort, Inc. USA. 2008 hal: 403 35 Sari Monik Agustin, Op. Cit 36 Merriam Webster (online), dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/gender, diakses pada tanggal 1 Juli 2011, jam 7: 05 WIB
29
Stanford Encyclopedia of Philosophy37 menjelaskan sex dan gender sebagai berikut “sex denotes human females and males depending on biological features (chromosomes, sex organs, hormones and other physical features); gender denotes women and men depending on social factors (social role, position, behavior or identity”. (Seks menunjukkan manusia perempuan dan laki-laki tergantung pada fitur biologis (kromosom, organ seks, hormon dan fitur fisik lainnya); gender menunjukkan perempuan dan laki-laki tergantung pada faktorfaktor sosial (peran sosial, posisi, perilaku atau identitas). Dalam Encyclopedia of Feminism 38 dikatakan untuk sex dan gender bahwa: Gender is a term for the socially imposed devision between the sexes. Whereas sex refers to biological, anatomical differences between male and female. Gender refers to the emotional and psychological attributes which a given culture expects to coincide with physical maleness or femaleness. (Gender adalah suatu istilah yang menunjukkan pembagian peran sosial antara laki-laki dan perempuan dan ini mengacu kepada pemberian ciri emosional dan psikologis yang diharapkan oleh budaya tertentu yang disesuaikan dengan fisik laki-laki dan perempuan. Adapun istilah seks mengacu pada perbedaan secara biologis dan anatomis antara laki-laki dan perempuan). Secara terminologis, Hilary M. Lips 39 (2008: 5) menjelaskan”…gender was used to refer to non-physiological aspect of being female or male—the cultural expectation for femininity and masculinity”. (Gender digunakan untuk merujuk pada aspek non-fisiologis menjadi perempuan atau laki-laki harapan 37
Stanford Encyclopedia of Philosophy, dari http://plato.stanford.edu/entries/feminism-gender/ , diakses pada tanggal 01 July 2011, jam 11: 13 WIB 38 Tim Penulis Pusat Studi Wanita. Pengantar Kajian Gender. Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2003 hal: 54 39 Hilary M. Lips. Sex and Gender. An Introduction. Sixth Edition. McGraw-Hill Higher Education, 2008 hal: 5
30
budaya untuk femininitas dan maskulinitas). Giddens (1989) seperti dikutip Sunarto (2004: 110) 40 mengemukakan bahwa konsep gender menyangkut “the psychological, social and cultural differences between male and female”. (Perbedaan psikologis sosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan). Pengertian lain dikemukakan oleh Rakow (1992) (dalam Toth, 2007: 404) 41 sebagai berikut “gender as an organizing principle used to classify and differentiate humans and to offer guidelines for how to interact with others”. (Gender sebagai suatu prinsip pengorganisasian yang digunakan untuk mengklasifikasikan dan membedakan manusia dan untuk memberikan panduan bagaimana berinteraksi dengan orang lain). Sementara Wood42 (2007: 20) mengemukakan”…Whereas gender is socially and psychologically constructed”. (…sedangkan gender dikonstruksi secara sosial dan psikologis). Wood selanjutnya menjelaskan bahwa pada sebagian besar kasus; hampir semua laki-laki utamanya adalah maskulin, dan sebagian besar perempuan adalah feminin. 43 Senada dengan penjelasan Wood di atas, Andersen (1993: 31) 44 mengungkapkan bahwa “gender refers to the socially learned behaviors and expectations that are associated with the two sexes”. (Gender mengacu pada perilaku-perilaku sosial yang dipelajari dan harapan yang berkaitan dengan dua jenis kelamin). 40
Kamanto Sunarto. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004 hal: 110 41 Elizabeth L. Toth. The Future of Excellence in Public Relations and Communication Management: Challenges for the Next Generation. Lawrence Erlbaum Associates, Publishers Mahwah New Jersey. 2007 hal: 404 42 Julia T. Wood. Gender Lives: Communication, Gender, and Culture, Seventh edition Thomson Wadsworth. 2007 hal: 20 43 Ibid. 44 Margaret L. Andersen. Thinking About Women: Sosiological Perspectives on Sex and Gender. Third Edition. Macmillan Publishing Company New York. 1993 hal: 31
31
Secara ringkas, perbedaan antara gender dan sex bisa dilihat pada tabel di bawah ini: Gender
Sex/Jenis kelamin
•
Bisa berubah
• Tidak bisa berubah
•
Dapat dipertukarkan
• Tidak dapat dipertukarkan
•
Tergantung musim
• Berlaku sepanjang masa
•
Tergantung budaya masing-masing
• Berlaku di mana saja
•
Bukan kodrat
• Kodrat
(menstruasi,
melahirkan,
menyusui, hamil)
(Sumber: PJJ-PUG, Modul 2 BKKB, 2008: hal: 7) Berdasarkan uraian yang dikemukakan para ahli di atas, gender merupakan suatu konsepsi yang lebih kompleks daripada konsepsi sex. Gender tidak bersifat kodrati atau bawaan yang diturunkan secara genetika, tetapi gender diperoleh melalui proses interaksi sosial yang bisa berubah dari waktu ke waktu dan bisa berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Gender dipelajari melalui proses sosialisasi yang dilakukan oleh agen-agen sosialisasi seperti keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media massa (Kamanto Sunarto, 2004: 111). 45 Hal senada juga dikemukakan oleh Andersen bahwa “gender socialization is the process through which gender expectations in the society are learned—by both women and men”. 46 (Sosialisasi gender adalah proses melalui mana harapanharapan gender dalam masyarakat dipelajari—oleh perempuan dan laki-laki). Agen-agen sosialisasi tersebut yang mendorong kita agar menerima atau 45
Kamanto Sunarto. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004 hal: 152 46 Andersen, Op. Cit, hal: 51
32
menyesuaikan dengan gender yang diinginkan dalam konteks sosial dan budaya dimana kita hidup dan berinteraksi. Sedangkan sex (jenis kelamin) bersifat kodrati yang secara genetika diturunkan yang sifatnya permanen dan universal. Sex bisa diidentifikasi dari perbedaan anatomi biologis yang ditandai oleh perbedaan alat kelamin. Sebagai contoh, hanya perempuanlah yang mengalami menstruasi dan bisa melahirkan, dan hanya laki-laki yang bisa membuahi. Untuk istilah ‘stereotip gender’, Koalisi Perempuan Indonesia47 untuk keadilan menjelaskan istilah tersebut sebagai citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empirik yang ada. Pemikiran stereotip tentang ciri-ciri laki-laki dan perempuan biasanya dikaitkan dengan peran gender mereka. Citra baku yang ada pada laki-laki adalah kecakapan, keberanian, pantang menangis, agresif, dan sebagainya yang berkaitan dengan peran gender mereka yaitu sebagai pencari nafkah utama dan pemimpin keluarga. Citra baku yang ada pada perempuan adalah memiliki rasa kasih sayang, kemampuan mengasuh, kehangatan, lembut, pemalu, cengeng. Dalam kenyataan empirik, citra tersebut tidak sesuai. Perempuan juga memiliki kecakapan, keberanian, pantang menangis, agresif, dan sebagainya. Sebaliknya laki-laki juga cengeng, lembut, kasih sayang, pemalu, mampu melakukan pengasuhan dan sebagainya. ‘Stereotip gender’ terdiri dari jaringan asosiasi yang melibatkan karakter kepribadian, peran sosial, perilaku, dan karakteristik fisik. Stereotip gender 47
Dikut ip dari: http://www.koalisiperempuan.or.id/stereotip-gender/, diakses pada tanggal 07 Juli 2011, jam 10: 53 WIB
33
memiliki perspektif serta fungsi deskriptif. Stereotip memberikan informasi kepada orang tentang perilaku apa yang seharusnya 48. Stereotip gender 49 mengacu pada ciri-ciri psikologis dan perilaku yang diyakini terjadi dengan frekuensi diferensial dalam dua kelompok gender (misalnya, pria lebih ‘agresif’, wanita lebih ’emosional’). Stereotip sering digunakan sebagai dukungan untuk peran seks tradisional (misalnya, perempuan adalah perawat, pria adalah pekerja konstruksi) dan bisa berfungsi sebagai model sosialisasi bagi anak-anak. Sedangkan istilah ‘stereotip perempuan’ menurut Jamil dan Lubis 50 adalah pelabelan yang dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin tertentu (perempuan) dan pelabelan tersebut akan menimbulkan kesan negatif atas sifat-sifat yang diharuskan disandang oleh perempuan. Citra baku yang ada pada perempuan adalah memiliki rasa kasih sayang, kemampuan mengasuh, kehangatan, lembut, pemalu, cengeng. Dalam kenyataan empirik, citra tersebut tidak sesuai. Perempuan juga memiliki kecakapan, keberanian, pantang menangis, agresif, dan sebagainya. Sebaliknya laki-laki juga cengeng, lembut, kasih sayang, pemalu, mampu melakukan pengasuhan dan sebagainya.
2.2.2. Stereotip PRO Perempuan Bidang profesi PR masih sering dianggap sebagai bidang profesi perempuan. Studi tentang praktisi perempuan dalam dunia PR telah banyak
48
Mary Crawford & Rhoda Unger. Women and Gender. A Feminist Psychology. Fourth Edition. Mc Graw Hill Companies, Inc., New York. 2004 hal: 57 49 Deborah L. Best. Encyclopedia of Sex and Gender: Men and Women in the Wolrd’s Culture. 2003 hal: 11 50 Asrianti Jamil & Amany Lubis. Pengantar Kajian Gender. Penerbit Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2003
34
dilakukan di negara-negara maju (Hon, Grunig, dan Dozier, 1992). Di Amerika Serikat ada kecenderungan meningkatnya praktisi perempuan melebihi proporsi laki-laki, tetapi status mereka masih di bawah sub-ordinasi laki-laki (Dozier, 1988). 51 Kurnia dan Putra mengutip hasil penelitian Dozier mengemukakan bahwa dari sisi peran, jumlah praktisi PR yang menjalankan peran sebagai teknisi meningkat 14% dari 38% menjadi 52% dari tahun 1979 sampai dengan 1985. Sedangkan peran sebagai manajer komunikasi hanya meningkat 1% dari 18% menjadi 19%. Dengan demikian terdapat penurunan status bersamaan dengan peningkatan pengalaman praktisi perempuan. Adanya dominasi perempuan dalam profesi public relations telah memunculkan ‘stereotip gender’ terhadap profesi tersebut. Selain adanya perspektif gender dalam perusahaan, industri, serta khalayak sasaran dalam rekrutmen petugas PR, adanya bias gender atau terjadinya salah persepsi mengenai peran dan fungsi PR juga telah menyebabkan pembentukan stereotip (pelabelan) profesi public relations. Berkaitan dengan ‘stereotip gender’ dalam profesi PR, Grunig, Toth, dan Hon (2001) seperti dikutip Simorangkir 52 menyimpulkan bahwa wanita tertarik dengan public relations karena hambatan yang tidak terlalu sulit dan mereka dapat mencapai status profesional. Remunerasi yang lebih baik ketimbang karir lain yang dipilih oleh perempuan, terutama pada posisi entry-level. Public relations
51
Novi Kurnia dan I Gusti Ngurah Putra. Perempuan Dalam Dunia Public Relations. Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik. Vol. 7 , No. 3, Maret 2004 52 Deborah Simorangkir. The Impact of Feminization of PR Industry in Indoensia. Disertasi. Universitas Pelita Harapan. Hal 5
35
juga menarik karena keterampilan tradisional feminin dalam komunikasi-empati, networking, dan multi tasking - didorong dan dihargai. Hasil penelitian lain tentang ’stereotip gender’ dalam profesi PR di Indonesia menyebutkan bahwa stereotip PRO perempuan adalah: multi-tasking, attention to details, sabar, fleksibel, tekun (persistence), sensitif, lebih emosional, dan taktis (tactical). Sedangkan stereotip laki-laki adalah lebih analitis, lebih fokus, lebih logis dan rasional, visioner, strategic, dan lebih bisa memimpin. 53 Selain stereotip PRO perempuan di atas, Grunig, Toth, dan Hon (2001) seperti dikutip Simorangkir dalam disertasinya tentang “Dampak feminisasi dalam industri PR di Indonesia” menegaskan bahwa wanita muda dianggap menarik oleh majikan karena mereka lebih murah, lebih fleksibel, dan kurang ambisius, dibandingkan dengan pria muda yang lebih percaya diri dan ambisius. 54
53
Sumber: http://digilib.ui.ac.id/helper/viewKoleksi.jsp?id=134021&lokasi=lokal&template=abstrak.detail. template , diakses pada tanggal 22 Agustus 2011 Jam: 2: 11 WIB 54 Deborah, Op. Cit.