BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Belanja Modal
Belanja modal termasuk jenis belanja langsung dan digunakan untuk pengeluaran
yang
dilakukan
dalam
rangka
pembelian/pengadaan
atau
pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya (Permendagri No. 13 Tahun 2006) Menurut PP No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi antara lain belanja untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, aset tak berwujud. Menurut Halim (2004), belanja modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebih satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja modal dapat juga disimpulkan sebagai pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris . Manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya
Universitas Sumatera Utara
pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Belanja modal menurut Permendagri No.64 Tahun 2013 dibagi menjadi: 1.
Belanja tanah Adalah seluruh pengeluaran untuk pengadaan, pembelian, pembebasan,
penyelesaian, balik nama, pengosongan, penimbunan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah serta pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administratif sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan atau pembayaran ganti rugi sampai tanah tersebut siap digunakan atau dipakai. 2.
Belanja peralatan dan mesin Adalah pengeluaran untuk pengadaan peralatan dan mesin yang digunakan
dalam pelaksanaan kegiatan, antara lain biaya pembelian, biaya pengangkutan, biaya instalasi, serta biaya langsung lainnya untuk memperoleh dan mempersiapkan sampai peralatan dan mesin tersebut sampai digunakan. 3.
Belanja gedung dan bangunan Adalah pengeluaran untuk memperoleh gedung dan bangunan secara kontraktual
sampai dengan gedung dan bangunan siap digunakan, yang meliputi biaya pembelian atau biaya konstruksi, termasuk biaya pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), notaris, dan pajak (kontraktual). Belanja ini termasuk biaya untuk perencanaan dan pengawasan yang terkait dengan perolehan gedung dan bangunan. 4.
Belanja jalan, irigasi, dan jaringan Adalah
pengeluaran
yang
digunakan
untuk
pengadaan/penambahan/
penggantian/peningkatan/pembangunan serta perawatan yang menambah kapasitas jalan, irigasi, dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap digunakan.
Universitas Sumatera Utara
5.
Belanja aset tetap lainnya Adalah pengeluaran yang diperlukan dalam kegiatan pembentukan modal
untuk pengadaan/pembangunan belanja modal lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan (kanal, irigasi dan lain-lain). Termasuk dalam belanja modal ini adalah belanja modal non fisik yang besaran jumlahnya dapat teridentifikasi dan terukur, seperti kontrak sewa beli (leasehold), pengadaan atau pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang untuk museum, serta hewan ternak, buku-buku dan jurnal ilmiah sepanjang tidak dimaksudkan untuk dijual dan diserahkan kepada masyarakat. Secara spesifik, sumber pendanaan untuk belanja modal belum ditentukan aturannya. Namun, seluruh jenis sumber-sumber penerimaan daerah dapat dialokasikan untuk mendanai belanja daerah diantaranya belanja modal. Sumbersumber penerimaan daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004) yang dapat digunakan sebagai sumber pendanaan belanja daerah berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari: a. PAD, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. b. Dana Perimbangan, yaitu: dana bagi hasil (DBH), DAU, dan DAK. c. Lain-lain pendapatan yang sah, yaitu: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentul lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan pembiayaan daerah bersumber dari: sisa lebih pembiayaan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Alokasi dana yang bersumber dari pendapatan dan pembiayaan daerah kepada belanja daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah sendiri atas kebutuhan belanja daerahnya. Pada umumnya sumber dana yang bersumber dari PAD lebih banyak dialokasikan untuk belanja operasional daerah dan sisanya dialokasikan untuk belanja daerah lainnya diantaranya belanja modal. DAU lebih banyak dialokasikan kepada belanja pegawai, dan sisanya dialokasikan untuk belanja-belanja daerah termasuk belanja modal. Abdullah (2008) juga menjelaskan bahwa belanja modal pada umumnya berasal dari dana bantuan (fund). Menurut Yustikasari dan Darwanto (2007), faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi
keputusan
dalam
pengalokasian
belanja daerah,
termasuk
pengalokasian belanja modal dibagi menjadi 2 variabel, yakni variabel-non keuangan dan variabel keuangan. Variabel non-keuangan meliputi kebijakan pemerintahan dan kondisi makroekonomi, sedangkan variabel keuangan meliputi ukuran-ukuran atau jenis-jenis penerimaan pemerintah daerah lainnya. Variabel non-keuangan yang digunakan adalah pertumbuhan ekonomi sebagai cerminan kondisi makroekonomi daerah yang diteliti, sedangkan variabel keuangan yang digunakan adalah beberapa ukuran atau jenis penerimaan daerah meliputi PAD dan DAU. Menurut Verawaty, Meriana, dan Sari (2015) faktor penentu pengalokasian belanja modal terdiri dari kinerja keungan daerah yang diukur dengan rasio kemandirian keuangan daerah dan sumber pendapatan daerah yang terdiri dari PAD dan DBH.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Organisasi sektor publik (pemerintah) merupakan organisasi yang bertujuan
memberikan pelayanan kepada masyarakat (publik) secara optimal, misalnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, penegakan hukum, transportasi dan sebagainya. Pelayanan publik diberikan karena masyarakat merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban organisasi sektor publik sehingga pemerintah tidak hanya menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat saja, tetapi juga kepada masyarakat luas. Untuk itu diperlukan sistem pengukuran kinerja yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemampuan suatu daerah untuk menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat, dan pembangunan daerahnya dengan tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas yang ditentukan peraturan perundang-undangan (Syamsi, 1986 dalam Susantih dan Saftiana, 2009). Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur pertanggungjawaban kepala daerah berupa perhitungan APBD (Patriati,
Universitas Sumatera Utara
2010). Menurut Sularso dan Restianto (2011), kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Karena menggunakan indikator keuangan, alat analisis yang tepat untuk mengukur kinerja keuangan adalah analisis keuangan. Menurut Mardiasmo (2012), pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah dilakukan untuk memenuhi 3 tujuan yaitu : 1.
Memperbaiki kinerja pemerintah.
2.
Membantu mengalokasikan sumber daya dan pembuatan keputusan.
3.
Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Ketentuan Umumnya, menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut. Kemampuan pemda dalam mengelola keuangan dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, pembangunan, dan pelayanan sosial masyarakat. Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya
Universitas Sumatera Utara
untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2007). Hasil analisis rasio keuangan ini digunakan sebagai tolok ukur dalam: 1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah. 2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah. 3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya. 4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah. 5. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan (Mardiasmo, 2002). Menurut Mahmudi, (2011) beberapa rasio keuangan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah, terdiri dari: Derajat Desetnraslisasi, Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah, asio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Efektivitas PAD,
Universitas Sumatera Utara
Rasio Efisiensi PAD, Rasio Efektivitas Pajak, Rasio Efisiensi Pajak, Derajat Kontribusi BUMD. Selain itu terdapat juga rasio aktivitas untuk organisasi pemerintah berupa Rasio Keserasian Belanja. Beberapa rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah daerah yang dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD adalah Rasio Kemandirian (otonomi fiskal), Rasio efektivitas dan efisiensi, Debt Service Coverage Ratio (Halim, 2007)
2.1.2.1 Rasio Kemandirian Keuangan Rasio kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian keuangan daerah menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian keuangan daerah diukur dengan formula sebagai berikut (DJPK : 2011) Kemandirian Keuangan =
PAD
Total Pendapatan
x 100%
Bila rasio kemandirian daerah semakin tinggi, hal ini berarti pemda semakin baik dalam mengelola sumber pendanaannya dengan memaksimalkan PAD . Ada asumsi
bahwa pengelolaan
sumber pendanaan
daerah
yang baik
akan
mempengaruhi jumlah alokasi belanja modal. Suatu daerah yang dikatakan mandiri dapat meningkatkan jumlah belanja modal untuk pelayanan publik (Ardhini, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.2 Rasio Efektivitas PAD Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan, dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal sebesar satu atau 100%. Namun demikian, semakin tinggi rasio efektivitas, maka kemampuan pemerintah daerah pun semakin baik. Pengertian efektivitas berhubungan dengan derajat keberhasilan suatu operasi pada sektor publik, sehingga suatu kegiatan dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Rasio efektifitas dapat dihitung dengan formula sebagai berikut (Halim, 2007) : Efektivitas PAD =
Realisasi PAD Target PAD
x 100%
Menurut Mahsun (2009,) kriteria rasio efektivitas PAD, adalah: 1.
Jika diperoleh nilai kurang dari 100% (x < 100%), berarti tidak efektif
2.
Jika diperoleh nilai sama dengan 100 (x = 100%), berarti efektivitas berimbang
3.
Jika diperoleh lebih dari 100% (x > 100%) berarti efektif. Suatu daerah dapat dikatakan efektif dalam mengelola potensi keuangan daerah
apabila dapat merealisasikan PAD lebih tinggi daripada target. Semakin besar realisasi penerimaan PAD dibanding target penerimaan PAD, dapat dikatakan semakin efektif, begitu pula sebaliknya. Ardhini (2011) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa efektivitas keuangan daerah tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya karena ada indikasi bila suatu keuangan daerah dikatakan efektif maka timbul asumsi daerah
Universitas Sumatera Utara
tersebut merealisasikan jumlah anggaran belanja modal cukup tinggi khususnya untuk kepentingan publik.
2.1.2.3 Rasio Efisiensi Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara output dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Semakin kecil rasio ini, maka semakin efisien, begitu pula sebaliknya dengan mengasumsikan bahwa pengeluaran yang dibelanjakan sesuai dengan peruntukkannya dan memenuhi apa yang direncanakan. Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil (output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan. Rasio efisiensi diukur dengan: Rasio Efisiensi =
Realisasi Pengeluaran Realisasi Penerimaan
x 100%
Semakin kecil nilai rasio efisiensi ini, maka semakin baik kinerja pemerintah dalam melakukan pemungutan pendapatan (Gerungan, 2013). Secara umum, nilai rasio efisiensi pendapatan dapat dikategorikan sebagai berikut: Sangat efisien
< 60%
Efisien
60% - 80%
Cukup efisien
80% - 90%
Kurang efisien
90% - 100%
Tidak efisien
> 100%
Sumber : Halim (2007) Pemerintah daerah dapat mengkaji kemampuannya dalam memaksimalkan penerimaan daerah dengan menggunakan analisis rasio efisiensi. Bila jumlah
Universitas Sumatera Utara
penerimaan meningkat, maka alokasi untuk belanja modal dalam struktur belanja daerah dapat ditingkatkan.
2.1.2.4 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 disebutkan bahwa SiLPA merupakan selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lainlain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan. SiLPA merupakan sumber pembiayaan yang digunakan apabila daerah mengalami defisit APBD dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat selama tahun berjalan. Presiden Republik Indonesia dalam penyerahan DIPA 2012 di Istana Negara menyampaikan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia belum memuaskan dan menghendaki agar sisa anggaran tidak digunakan untuk keperluan yang tidak jelas, namun dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur (Kusnandar dan Siswantoro, 2012). SiLPA dapat menjadi sumber pendanaan pemerintah daerah yang dapat dialokasikan untuk belanja modal.
2.1.3
DAK
Menurut UU No 33 tahun 2004, DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Universitas Sumatera Utara
Dalam UU No 33 Tahun 2004 juga dijelaskan tujuan pemberian DAK yaitu untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana/ prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah. Tujuan DAK untuk mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang harus ditanggung oleh pemerinntah daerah. Pemanfaatan DAK diarahkan kepada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan, perbaikan sarana/ prasarana fisik pelayanan publik dengan umur ekonomis panjang. Diarahkannya pemanfaatan DAK untuk kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan dalam belanja modal (Verawaty, Merina, dan Sari, 2015). Jumlah DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN berdasarkan masing-masing bidang pengeluaran yang disesuaikan dengan kebutuhan. DAK yang dialokasikan kepada
daerah
tertentu
berdasarkan
usulan
kegiatan
dan
sumber-sumber
pembiayaannya yang diajukan kepada menteri teknis oleh daerah tersebut. Bila kegiatan yang diusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan, daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagian daerah dari PBB, bagian daerah dari BPHTB, bagian daerah dari penerimaan Sumber Daya Alam (SDA), DAU, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah, yang penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oleh daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2002). DAK bersifat special grant, dimana peruntukanya untuk pembangunan yang sudah ditentukan dari pusat, yang lebih diprioritaskan untuk belanja modal
Universitas Sumatera Utara
(Verawaty, Meriana dan Sari, 2015). Pembiayaan kebutuhan khusus memerlukan dana pendamping dari penerimaan umum APBD sekurang-kurangnya 10% sebagai komitmen dan tanggungjawab daerah dalam pembiayaan program-program yang merupakan kebutuhan khusus tersebut. Jika usulan kegiatan belanja modal daerah seluruhnya diterima menteri teknis, maka sumber pembiayaan belanja modal daerah juga dapat berasal dari DAK. Tentunya dengan adanya alokasi DAK dari pusat, pemerintah daerah dapat semakin memperbesar alokasi dana untuk kegiatan belanja modal daerah.
2.2.
Reviu Penelitian Terdahulu Adapun Penelitian terdahulu ataupun jurnal yang telah dipublikasikan yang
menjadi refrensi penelitian ini akan dibahas sebagai berikut : 1.
Martini dan Dwirandra (2015) telah meneliti tentang pengaruh kinerja keuangan daerah terhadap alokasi belanja modal. Kinerja keuangan daerah sebagai variabel independen diukur dengan rasio ketergantungan keuangan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio ruang fiskal, rasio efisiensi, rasio kontribusi BUMD dan tingkat pembiayaan SiLPA. Populasi penelitian ini adalah 9 kabupaten/kota di Provinsi Bali. Hasil penelitian menunjukkan rasio ketergantungan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal, rasio efektivitas PAD berpengaruh positif namun tidak signifikan pada alokasi belanja modal, rasio tingkat pembiayaan SiLPA berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal, rasio efisiensi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal, dan rasio kontribusi BUMD berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap alokasi belanja modal.
Universitas Sumatera Utara
2.
Sularso dan Restianto (2011) telah meneliti pengaruh pengaruh kinerja keuangan terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Populasi penelitian ini adalah 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Metode analisis data menggunakan Moment Structure Equation Modeling (SEM) dengan bantuan program Analysis of Moment Structure (AMOS). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa alokasi belanja modal dipengaruhi oleh kinerja keuangan.dan alokasi belanja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi serta pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung dipengaruhi oleh kinerja keuangan daerah.
3.
Arsa (2015) telah meneliti pengaruh kinerja keuangan terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi pemerintah kabupaten/kota se-Provinsi Bali pada Tahun 2006 s.d. 2013. Populasi penelitian ini adalah 9 kabupaten/kota di Provinsi Bali. Hasil penelitian menunjukan bahwa derajat desentralisasi dan efektivitas PAD berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal, ketergantungan keuangan berpengaruh negatif signifikan terhadap belanja modal. Kemandirian keuangan dan kontribusi BUMD tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap alokasi belanja modal. Alokasi belanja modal berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pemerintah kabupaten/kota se-Provinsi Bali.
4.
Gerungan, Saerang, dan Pontoh (2013) telah meneliti pengaruh keuangan kabupaten/kota terhadap alokasi belanja modal di Provinsi Sulawesi Utara. Populasi penelitian ini adalah 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
kemandirian
keuangan
daerah,
ketergantungan keuangan daerah, efektivitas PAD, efisiensi keuangan daerah,
Universitas Sumatera Utara
keserasian belanja berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. Sedangkan efektivitas belanja modal tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. 5.
Ardhini (2011) telah meneliti pengaruh rasio keuangan daerah terhadap belanja modal untuk pelayanan publik dalam perspektif teori keagenan (studi pada kabupaten dan kota di Jawa tengah). Variabel independen adalah rasio keuangan yang terdiri rasio kemandirian keuangan daaerah, rasio tingkat efektivitas, rasio efisiensi, SiLPA. Populasi penelitian ini adalah 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, sementara variabel dependennya adalah alokasi belanja modal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, tingkat efektivitas berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal, efisiensi berpengaruh negatif namun signifikan terhadap belanja modal, SiLPA berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal. Belanja Modal berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
yang
diproksikan dengan Rasio Gini. 6.
Verawaty, Merina, dan Sari (2015) telah meneliti determinan (faktor penentu) pengalokasian belanja modal dengan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel moderating pada pemerintah provinsi di Indonesia. Variabel independen penelitian ini terdiri dari : rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas keuangan daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, DAU, DAK, DBH, dan PAD, sedangkan variabel dependen adalah alokasi belanja modal serta pertumbuhan ekonomi sebagai variabel moderating. Populasi penelitian adalah seluruh pemerintah provinsi pada tahun 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa rasio kemandirian keuangan daerah berpengaruh signifikan negatif terhadap aloaksi belanja modal sedangkan rasio efektivitas keuangan daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, DAU, DAK, pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh positif terhadap pengalokasian belanja modal. PAD dan DBH memiliki hubungan signifikan positif terhadap pengalokasian belanja modal. Variabel moderating pertumbuhan ekonomi, menyatakan bahwa PAD dan DAU tidak memiliki pengaruh signifikan positif terhadap pengalokasian belanja modal. 7.
Hafidh (2013) telah melakukan penelitian dengan judul analisis rasio keuangan daerah dalam mempengaruhi belanja modal publik bagi pertumbuhan ekonomi. Variabel independen adalah kinerja keuangan daerah yang diproksikan dengan rasio kemandirian daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio efektivitas keuangan daerah, sedangkan variabel dependen adalah rasio belanja modal dan pertumbuhan ekonomi Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Populasi penelitian adalah pemerintah kabupaten /kota di DIY terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota. Hasil penelitian menunjukan bahwa kinerja keuangan yang diukur dengan tingkat kemandirian, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio efektivitas keuangan daerah mempengaruhi belanja modal secara positif dan signifikan.
8.
Fitri (2013) telah meneliti pengaruh rasio keuangan daerah PAD, DAU terhadap alokasi belanja modal pada kabupaten/kota di Provinsi Riau tahan 2009-2012. Variabel independen dalam penelitian ini adalah rasio keuangan daerah yaitu rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas keuangan daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, PAD serta DAU. Sedangkan variabel
Universitas Sumatera Utara
dependen adalah alokasi belanja modal. Hasil penelitian menunjukkan hanya PAD yang memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal sedangkan 4 variabel lain yaitu rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektvitas, keuangan daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, dan DAU tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal. 9.
Siswantoro (2012) telah melakukan penelitian pengaruh DAU, PAD, SiLPA, dan luas wilayah terhadap belanja modal. Populasi penelitian adalah pemerintah kaupaten/kota seluruh Indonesia. Variabel independen penelitian adalah DAU, PAD, SiLPA dan luas wilayah, sedangkan variabel dependen adalah belanja modal. Hasil penelitian membuktikan bahwa besarnya alokasi belanja modal dipengaruhi oleh DAU, PAD, SiLPA dan luas wilayah. Secara parsial DAU tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal sedangkan PAD, SiLPA dan luas wilayah berpengaruh terhadap alokasi belanja modal.
10.
Felix (2012) telah melakukan penelitian tentang Effectiveness of Capital Expenditure Budgeting in the local government system of Ondo State, Nigeria. Populasi penelitian adalah 18 pemerintah daerah di Negara bagian Ondo. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara penganggaran belanja modal dan pencapaian belanja modal. Impilikasinya peningkatan belanja modal yang dianggarkan akan meningkatkan realisasi belanja modal untuk infrastruktur. Keseluruhan penelitian diatas dapat disajikan secara ringkas sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Reviu Penelitian Terdahulu
No
1.
Tahun/ Nama Peneliti Martini dan.Dwirandr a (2015)
Topik Pengaruh Kinerja Keuangan daerah pada Alokasi belanja Modal di Provinsi Bali
Variabel Yang Digunakan Independen: a. Rasio ketergantungan keuangan daerah (X1) b. Rasio Efektifitas PAD (X2) c. Tingkat pembiayaan SiLPA (X3) d. Rasio Efisiensi (X4) e. Rasio kontribusi BUMD (X5) f. Rasio ruang fiskal (X6) Dependen : a. Alokasi Belanja Modal (Y)
Hasil 1. Rasio ketergantungan keuangan berpengaruh negatif dan signifikan pada alokasi belanja modal 2. Rasio Efektifitas PAD berpengaruh positif namun tidak signifikan pada alokasi belaja modal 3. Rasio tingkat pembiayaan SiLPA berpengaruh negatif dan signifikan pada alokasi belanja modal 4. Rasio efisiensi berpengaruh negatif dan signifikan pada alokasi belanja modal 5. Rasio kontribusi BUMD berpengaruh positif namun tidak signifikan pada alokasi belanja modal
2.
Sularso dan Restianto (2011)
Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap alokasi belanja modal dan pertumbuhan ekonomi di kabupaten/Kota di Jawa Tengah
Independen: a. Derajat Desentralisasi (X1) b. Ketergantungan Keuangan (X2) c. Kemandirian Keuangan (X3) d. Efektivitas PAD ( X4) e. Derajat kontribusi BUMD ( X5)
6. Rasio ruang fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. 1. Pengalokasian belanja modal dipengauhi kinerja keuangan 2. Alokasi belanja Modal memberikan pegaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi 3. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung adalah kinerja kinerja keuangan daerah.
Dependen : Pertumbuhan Ekonommi (Y1) Alokasi belanja Modal (Y2) 3.
Arsa (2015)
Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah kabupaten/Kota se-Provinsi Bali Tahun 2006 s.d 2013
Independen: a. Derajat Desentralisasi (X1) b. Ketergantungan Keuangan (X2) c. Kemandirian Keuangan (X3) d. Efektivitas PAD ( X4) e. Derajat kontribusi BUMD ( X5)
Dependen : a. Alokasi Belanja Modal (Y1) b. Pertumbuhan Ekonomi (Y2)
1. Derajat desentralisasi dan efektivitas PAD berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal 2. ketergantungankeuangan be rpengaruh negatif signifikan terhadap alokasi belanja modal 3. kemadirian keuangan dan kontribusi BUMD tidak berpengaruh pada alokasi belanja modal 4. Alokasi belanja modal berpengaruh positif signifikan terhadappertumbuhan ekonomi 5. Derajat desentralisasi keuangan dan efektivitas PAD, secara tidak langsung
Universitas Sumatera Utara
No
Tahun/ Nama Peneliti
Topik
Variabel Yang Digunakan
Hasil berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui alokasi belanja modal dan ketergantungan keuangan, secara tidak langsung berpengaruh negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui belanja modal, sedangkan kemandirian keuangan dan kontribusi BUMD secara tidak langsung tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui alokasi belanja modal
4
Gerungan, Saerang, dan Pontoh (2013)
Pengaruh Kinerja Keuangan Kabupaten/Kot a Terhadap Alokasi belanja Modal di Provini Sulawesi Utara
Independen: a. Kemandirian Keuangan Daerah (X1) b. Ketergantungan Keuangan (X2) c. Efektivitas Pendapatan ( X3) d.
Efektivitas Belanja Modal BM ( X4) e. Efisiensi Keuangan Daerah (X5) f. Keserasian Belanja (X6)
Dependen : a. Alokasi Belanja Modal (Y)
5.
Ardhini (2011)
Pengaruh Rasio keuangan daerah terhadap alokasi Belanja modal untuk pelayanan
Independen: a. Kemandirian Keuangan Daerah (X1) b. Efektivitas Keuangan Daerah ( X2)
1. Kemandirian Keuangan Daera berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Modal 2 Keuangan Daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Modal 3. Efektivitas PAD berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Modal 4. Efektivitas Belanja Modal tidak berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Modal 5. Efisiensi Keuangan Daerah berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Modal 6. Keserasian Belanja berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Modal 7. Kemandirian Keuangan Daerah,Ketergantungan Keuangan Daerah, Efektivitas PAD, Efektivitas Belanja Modal, Efisiensi, dan Keserasian Belanja secara serempak berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Modal 1. Tingkat kemandirian keuangan daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. 2. Tingkat efektivitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Universitas Sumatera Utara
No
Tahun/ Nama Peneliti
Topik publik dalam perspektif teori keagenan (studi pada kabupaten dan kota di jawa tengah)
Variabel Yang Digunakan c.
Efesiensi Keuangan Daerah (X3) d. SiLpa ( X4) e. DAK (X5) Luas Wilayah (X6)
Dependen : a. Belanja Modal untuk Pelayanan Publik (Y) 6
Verawaty, Merina, dan Sari (2016)
Determinan Pengalokasian Belanja Modal dengan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel moderating pada pemerintah provinsi di Indonesia
Independen: a. Rasio kemandirian keuangan (X1) b. Rasio Efektivitas PAD (X2) c. Rasio Efisiensi Keuangan Daerah (X3) d. PAD (X4) e. DBH (X5) f. DAU (X6) g. DAK (X7) Dependen : a. Alokasi Belanja Modal (Y) Moderating a. Pertumbuhan ekonomi
7
Hafidh (2013)
Analisis Rasio keuangan Daerah dalam mempengaruhi Belanja Modal Publik bagi pertumbuhan Ekonomi
Hasil belanja modal 3. Efisiensi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap belanja modal 4. SiLPA berpengaruh positif terhadap Belanja Modal 5. Belanja Modal berpengaruh negatif signifikan terhadap Pertumbuhan ekonomi.
1. Rasio kemandirian keuangan daerah berpengaruh signifikan negatif terhadap aloaksi belanja modal 2. Rasio efektivitas, rasio efisiensi, DAU, DAK, pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh positif terhadap pengalokasian belanja modal 3. PAD, DBH memiliki hubungan signifikan positif terhadap pengalokasian belanja modal 4. Variabel moderating pertumbuhan ekonomi, menyatakan bahwa PAD dan DAU tidak memiliki pengaruh signifikan positif terhadap pengalokasian belanja modal.
Independen : a. Rasio kemandirian daerah (X1) b. Rasio efisiensi keuangan daerah (X2) c. Rasio Efektifitas keuangan daerah (X3) Dependen :
Rasio Kemandirian daerah, Rasio efisiensi keuangan Daerah, rasio efektifitas keuangan daerah mempengaruhi belanja modal publik secara positif dan signifikan.
a. Belanja Modal (Y) 8
9
Fitri (2014)
Kusnanda r dan Siswantor o (2012)
Pengaruh Rasio keuangan daerah,Pendapa tan Asli Daerah (PAD), dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Alokasi Belanja Modal pada Kabupaten/Kot a Provinsi Riau tahun 20092012 Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah,
Independen: a. Rasio Kemandirian keuangan daerah (X1) b. Rasio efektivitas keuangan daerah (X2) c. Rasio Efisiensi keuangan daerah (X3) d. Pendapatan asli daerah (X4) e. Dana Alokasi Umum (DAU) (X5) Dependen : a. Alokasi Belanja Modal (Y) Independen: a. DAU (X1) b. PAD (X2) c. SiLPA (X3)
1.
2.
1.
2.
PAD memiliki pengaruh signifikasi terhadap alokasi belanja modal Rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektifitas keuangan daerah, rasio efisiensi keuangan aerah dan DAU tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal
DAU, secara parsial tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal PAD, Luas wilayah, SiLPA
Universitas Sumatera Utara
No
10
Tahun/ Nama Peneliti
Felix (2012)
Topik Sisa lebih Pembiayaan anggaran dan luas Wilayah Terhadap Belanja Modal Analysis of the effectiveness of capital expenditure budgeting in the local government system of Ondo state, Nigeria
Variabel Yang Digunakan d.
Luas wilayah (X4)
Hasil berpengaruh positif terhaddap Belanja Modal.
Dependen : a. Belanja Modal (Y)
a. b.
Penganggaran modal belanja modal
belanja
Terdapat hubungan positif dan signifikan antara penganggran belanja modal dan pencapaian belanja modal.Impilikasinya , peningkatan belanja modal yang dianggarkan akan menigkatkan realisasi belanja modal untuk infrastruktur
Universitas Sumatera Utara