BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Demam Chikungunya Chikungunya adalah penyakit yang ditandai dengan demam mendadak, nyeri pada persendian terutama sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang yang disertai ruam (kumpulan bintik-bintik kemerahan) pada kulit. Gejala lainnya yang dapat dijumpai adalah nyeri otot, sakit kepala, menggigil, kemerahan pada konjunktiva, pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher, mual, muntah dan kadang-kadang disertai dengan gatal pada ruam. Belum pernah dilaporkan adanya kematian karena penyakit ini (Suharto, 2007). Demam Chikungunya sering rancu dengan penyakit demam dengue, demam berdarah dengue, dan campak, tetapi gejala nyeri sendi merupakan gejala yang penting pada demam Chikungunya. Serangan demam Chikungunya dalam bentuk KLB (kejadian luar biasa) sudah sering terjadi, terutama karena penyebarannya oleh nyamuk. Untuk mencegah serangan demam Chikungunya, maka rumah, asrama, hotel, sekolah, pasar, terminal dan tempat-tempat lainnya, harus terbebas dari media berkembang biaknya nyamuk, termasuk 200 meter sekitarnya. Ada gelombang epidemi 20 tahunan. Mungkin terkait perubahan iklim dan cuaca. Antibodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya. Oleh karena itu, perlu waktu panjang bagi penyakit ini untuk merebak kembali (Suharto, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Etiologi dan Patogenesis Virus Chikungunya merupakan anggota genus Alphavirus dalam famili Togaviridae. Strain Asia merupakan genotipe yang berbeda dengan yang dari Afrika. Virus Chikungunya disebut juga Arbovirus A Chikungunya Type, CHIK, CK. Virions mengandung satu molekul single stranded RNA. Virus dapat menyerang manusia dan hewan. Virions dibungkus oleh lipid membran; pleomorfik; spherikal; dengan diameter 70 nm. Pada permukaan envelope didapatkan glycoprotein spikes (terdiri atas 2 virus protein membentuk heterodimer). Necleocapsids isometric; dengan diameter 40 nm (Suharto, 2007). 2.1.2. Gejala Demam Chikungunya Masa inkubasi dari demam Chikungunya 2 - 4 hari. Viremia dijumpai kebanyakan dalam 48 jam pertama dan dapat dijumpai sampai 4 hari pada beberapa pasien. Menifestasi penyakit berlangsung 3 - 10 hari. Virus ini termasuk self limiting disease alias hilang dengan sendirinya. Namun, rasa nyeri sendi mungkin masih tertinggal dalam hitungan minggu sampai bulan (Suharto, 2007). Gejala demam Chikungunya mirip dengan demam berdarah dengue yaitu demam tinggi, menggigil, sakit kepala, mual, muntah, sakit perut, nyeri sendi dan otot serta bintik – bintik merah di kulit terutama badan dan lengan. Bedanya dengan demam berdarah dengue, pada Chikungunya tidak ada perdarahan hebat, renjatan (syok) maupun kematian. Nyeri sendi ini terutama mengenai sendi lutut, pergelangan kaki serta persendian jari tangan dan kaki. Gejala utama Chikungunya adalah demam tinggi, sakit kepala, punggung, sendi yang hebat, mual, muntah, nyeri mata dan timbulnya rash/ ruam kulit. Ruam
Universitas Sumatera Utara
kulit berlangsung 2 – 3 hari, demam berlangsung 2 - 5 hari dan akan sembuh dalam waktu 1 minggu sejak pasien jatuh sakit. Sakit sendi (artralgia atau artritis; sendi tangan dan kaki) sering menjadi keluhan utama pasien. Keluhan sakit sendi kadang – kadang masih terasa dalam 1 bulan setelah demam hilang (Suharto, 2007). Kennedy dan Feyt melaporkan terjadinya acute dan chronic arthritis akibat infeksi Chikungunya. Acute arthritis bila dijumpai terasa sekali dan tidak tertahankan, dan selanjutnya keluhan nyeri sendi, kaku, dan pembengkakan, dapat bertahan 4 bulan. Dilaporkan angka 12 % yang mengalami infeksi virus Chikungunya terjadi keluhan sendi kronis. Untuk itu dicoba pemberian chloroquin phospat. Pernah dilaporkan terjadi kerusakan sendi yang dikaitkan dengan infeksi Chikungunya (Suharto, 2007). 2.1.3. Diagnosis Pasti dan Pengobatan Diagnosis pasti pada penyakit Chikungunya bila terdapat salah satu hal berikut, yaitu : 1. Pemeriksaan Titer antibodi naik 4 kali lipat 2. Isolasi virus 3. Deteksi virus dengan PCR. Tidak ada vaksin maupun obat khusus untuk Chikungunya. Dianjurkan istirahat untuk mengurangi keluhan akut. Exercise berat dapat mengkambuhkan gejala sendi. Belum ada obat spesifik untuk membunuh virus penyebab penyakit; pasien yang merasa sakit Chikungunya dapat minum penghilang sakit (analgetika), misalnya parasetamol, namun hindari pemakaian aspirin. Pasien perlu istirahat, minum banyak air, dan memeriksa diri ke dokter (Suharto, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Prognosis Penyakit ini bersifat self limiting disease, tidak pernah dilaporkan kejadian kematian. Keluhan sendi mungkin berlangsung lama. Brighton meneliti pada 107 kasus infeksi virus Chikungunya, 87,9% sembuh sempurna; 3,7% mengalami kekakuan sendi atau mild discomfort; 2,8 % mempunyai persisten residual joint stiffness, tetapi tidak nyeri; dan 5,6 % mempunyai keluhan sendi yang persisten, kaku dan sering mengalami efusi sendi (Suharto, 2007). 2.2. Nyamuk Penular Demam Chikungunya
Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti (Sumber: Depkes RI, 1996/1997) Vektor penular penyakit demam Chikungunya adalah Nyamuk A. aegypti dan A. africanus. A. aegypti yang paling berperan dalam penularan penyakit demam Chikungunya karena hidup dalam dan sekitar tempat tinggal manusia sehingga banyak kontak dengan manusia. A. aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan sub tropis (Suharto, 2007).
Nyamuk ini berkembang biak di dalam air bersih dan tempat - tempat gelap yang lembab, baik di dalam maupun di dekat rumah. Tempat yang sering dijadikan sarang untuk bertelur adalah drum, batok kelapa, kaleng-kaleng bekas, pot bunga, ember, vas bunga, tangki air tempat penampungan air pada lemari es, ban-ban bekas dan botol-botol kosong serta salah satu yang lain adalah talang atap rumah yang tergenang sisa air hujan (Depkes RI, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Nyamuk A. aegypti berukuran kecil dibanding nyamuk lain. Ukuran badan 3-4 mm, berwarna hitam, dengan hiasan bintik – bintik putih di badannya; dan pada kakinya warna putih melingkar. Nyamuk dapat hidup berbulan – bulan. Nyamuk jantan tidak menggigit manusia, ia makan buah. Hanya nyamuk betina yang menggigit; yang diperlukan untuk membuat telur. Telur nyamuk Aedes diletakkan induknya menyebar; berbeda dengan telur nyamuk lain yang dikeluarkan berkelompok. Nyamuk bertelur di air bersih. Telur menjadi pupa beberapa minggu. Nyamuk Aedes bila terbang hampir tidak berbunyi, sehingga manusia yang diserang tidak mengetahui kehadirannya; menyerang dari bawah atau dari belakang; terbang sangat cepat. Telur nyamuk Aedes dapat bertahan lama dalam kekeringan (dapat > 1 tahun). Virus dapat masuk dari nyamuk ke telur; nyamuk dapat bertahan dalam air yang chlorinated (Widoyono, 2008). Nyamuk A. aegypti merupakan vektor Chikungunya (CHIK) virus (alphavirus). Beberapa nyamuk resisten terhadap CHIK virus namun sebahagian susceptibility. Ternyata susceptibility gene berada di kromosom 3. Vektor Chikungunya di Asia adalah A. aegypti, A. albopictus. Di Africa A. furcifer dan A. africanus (Suharto, 2007). 2.3. Bionomik Vektor Bionomik vektor sangat penting diketahui karena berhubungan dengan tindakan–tindakan dalam pencegahan dan pemberantasannya yang berhubungan dengan tempat perindukan, kebiasaan mengigit, tempat istirahat, jarak terbang dan siklus hidup.
Universitas Sumatera Utara
2.3.1. Tempat Perindukan (Breeding Place) Tempat perindukan utama adalah tempat-tempat penampungan air di dalam dan di luar sekitar rumah. Nyamuk A. aegypti tidak berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Jenis-jenis tempat perindukan nyamuk A. aegypti dapat dikelompokan sebagai berikut: 1. Tempat penampungan air (TPA), untuk keperlakuan sehari-hari seperti drum, tengki reservoir, tempayan, bak mandi, WC, ember dan lain- lain. 2. Tempat penampungan bukan keperluan sehari-hari seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut, barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain). a) Tempat minum hewan piaraan Tempat minum hewan piaraan yang dimaksud adalah tempat–tempat minum hewan piaraan yang dimiliki oleh responden yang berada di lingkungan sekitar rumah baik di dalam rumah maupun di luar rumah, misalnya: tempat minum burung, tempat minum ayam, dan hewan piaraan yang lain. b) Barang – barang bekas Barang–barang bekas yang dimaksud adalah barang–barang yang sudah tidak terpakai yang dapat menampung air, yang berada di dalam maupun di luar rumah responden. Barang – barang tersebut antara lain: kaleng, ban bekas, botol, pecahan gelas, dll.
Universitas Sumatera Utara
c) Vas bunga Vas bunga yang dimaksud adalah vas bunga yang berisi air yang terletak di dalam rumah responden
yang
memungkinkan nyamuk A. aegypti
berkembangbiak di dalam vas bunga tersebut. d) Perangkap semut Perangkap semut yang dimaksud adalah tempat perangkap semut yang berisi air yang biasanya diletakkan dibawah kaki meja untuk mencegah semut–semut naik keatas meja yang berisi makanan yang
terletak di
dalam rumah responden. e) Penampungan air dispenser Penampungan
air
dispenser
yang
dimaksud
adalah
tempat
penampungan air yang menyatu dengan dispenser yang terletak dibawah alat yang digunakan untuk mengalirkan air di dalam wadah/galon dispenser, letaknya di dalam rumah responden. f) Pot tanaman air Pot tanaman air yang dimaksud adalah pot – pot berisi air yang digunakan sebagai media tanaman air untuk hidup, yang terletak di dalam maupun di luar rumah responden. 3. Tempat penampungan air ilmiah seperti lubang pohon, pelepah daun, tempurung kelapa, talang penampungan air hujan (Suroso, 2000 dan Soedarmo, 1988).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Kebiasaan Mengigit (Feeding Habit) Nyamuk A. aegypti lebih menyukai darah manusia dari pada binatang (antropofilik). Darahnya diperlukan untuk mematangkan telur jika dibuahi oleh nyamuk jantan sehingga menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut satu siklus gonotropik (Suroso, 2000 dan Soedarmo, 1988). Nyamuk ini aktif pada siang hari dan mengigit di dalam dan diluar rumah. Mempunyai dua puncak aktifitas dalam mencari mangsa yaitu mulai pagi hari dan petang hari yaitu antara pukul 09.00 – 10.00 WIB dan 16.00 - 17.00 WIB. 2.3.3. Tempat Istirahat (Resting Place) Tempat yang disayangi nyamuk untuk beristirahat selama menunggu bertelur adalah tempat yang gelap, lembab dan sedikit angin. Nyamuk A. aegypti biasanya hinggap di dalam rumah pada benda-benda yang bergantungan seperti pakaian, kelambu (Suroso, 2000 dan Soedarmo, 1988). 2.3.4. Jarak Terbang (Flight Habit) Pergerakan nyamuk A. aegypti dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk A. aegypti betina adalah rata-rata 40-100 meter. Namun secara pasif karena angin dapat terbang sejauh 2 km (Depkes RI, 1992). 2.4. Siklus Hidup Nyamuk Siklus hidup nyamuk A. aegypti mengalami metamorfosa sempurna dengan tahap telur, larva, pupa dan dewasa.
Universitas Sumatera Utara
2.4.1. Telur Nyamuk A. aegypti betina suka bertelur diatas permukaan air pada dinding vertikal bagian dalam tempat-tempat yang berisi air jernih dan terlindung dari cahaya matahari langsung. Tempat air yang dipilih adalah tempat air di dalam rumah dan dekat. Telur A. aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon (Soedarmo, 1988). Telur diletakkan satu persatu di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah dan bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil, maupun dapur. Perkembangan embrio biasanya selesai dalam 48 jam di lingkungan yang hangat dan lembab. Begitu poses emberionasi selesai, telur akan menjalani masa pengeringan yang lama (lebih dari satu tahun). Telur akan menetas pada waktu yang sama. Kapasitas telur untuk menjalani masa pengeringan akan membantu mempertahankan kelangsungan spesies selama kondisi iklim buruk (Suroso, 2003). 2.4.2. Larva Telur yang tidak menetas karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai membentuk larva yang dilapisi kista dapat bertahan lebih dari setahun berbentuk oval dan berwarna putih. Larva A. aegypti menempel di permukaan dinding vartikel sampai pada waktu menetas (Suroso, 2003). Perkembangan larva tergantung pada suhu, ketersediaan makanan dan kepadatan larva pada sarang. Pada kondisi yang optimum, waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan nyamuk dewasa akan berlangsung sedikitnya selama 7 hari termasuk dua hari untuk masa menjadi pupa, sedangkan pada suhu yang rendah membutuhkan beberapa minggu untuk kemunculan nyamuk dewasa. Habitat alami larva jarang ditemukan, tetapi dapat ditemukan di lubang
Universitas Sumatera Utara
pohon, pangkal daun dan tampurung kelapa. Selain di tempat alami larva dapat juga ditemukan pada kendi air, kaleng, pot bunga, botol, tempat penampung air terbuat dari logam dan kayu, ban (Suroso, 2003). Pada daerah yang panas dan kering, tangki air diatas, tangki penyimpanan air di tanah dan septic tank bisa menjadi tempat habitat larva yang utama dan pada wilayah yang persediaan airnya tidak teratur, penghuni menyimpan air untuk kegunaan rumah tangga sehingga memperbanyak jumlah habitat yang ada untuk larva (Suroso, 2003). 2.4.3. Pupa Pupa nyamuk A. aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala dada lebih besar dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca ”koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat pernapasan seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu pada ruas perut tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air (Soegeng, 2006). 2.4.4. Nyamuk Dewasa Nyamuk Aedes larva dan nyamuk dewasa banyak ditemukan disepanjang tahun di semua kota di Indonesia sesaat setelah menjadi dewasa akan kawin dengan nyamuk betina yang sudah dibuahi dan akan menghisap darah dalam waktu 24-36 jam. Darah merupakan sumber protein yang esensial untuk mematangkan telur (Depkes RI, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.5. Ekologi Vektor Ekologi vektor adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara vektor dan lingkungannya. Menurut John Gordon terjangkitnya suatu penyakit disebabkan oleh lebih dari satu faktor (multiple causal). Faktor – faktor tersebut adalah agent, pejamu (host), lingkungan (environment) (Soedarmo, 1988). Berdasarkan keterangan di atas dapat dikatakan bahwa terjangkitnya suatu insiden Chikungunya disebabkan oleh faktor – faktor di bawah ini : 2.5.1. Faktor Agent Adalah penyebab utama untuk terjadinya suatu penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent dalam penyebaran penyakit Chikungunya adalah virus chik. 2.5.2. Faktor Pejamu Adalah manusia yang kemungkinan terpapar terhadap penyakit Chikungunya. Dalam penularan penyakit Chikungunya faktor manusia erat kaitannya dengan perilaku seperti peran serta dalam kegiatan pemberantasan vektor di masyarakat dan mobilitas penduduk yang tinggi memudahkan penyebarluasan Chikungunya dari suatu tempat ke tempat lain. 2.5.3. Faktor Lingkungan Adalah segala sesuatu yang berada di luar agent dan pejamu antara lain lingkungan fisik dan lingkungan biologi. Lingkungan biologi yang mempengaruhi penularan Chikungunya terutama adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan yang mempengaruhi pencahayaan dan kelembaban di dalam rumah. Kelembaban yang tinggi dan kurangnya pencahayaan dalam rumah merupakan
Universitas Sumatera Utara
tempat yang disenangi oleh nyamuk untuk istirahat. Lingkungan fisik yaitu seperti ketinggian tempat, curah hujan, temperatur dan kelembaban. 2.5.3.1. Variasi Musiman Pola berjangkit virus Chikungunya tidak jauh beda dengan virus dengue yaitu dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda di setiap tempat. Pada musim hujan tempat perkembangbiakan A. aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi, mulai terisi air. Telur – telur yang belum sempat menetas pada waktu singkat akan menetas. Selain itu pada musim hujan semakin banyak tempat – tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan yang dapat digunakan sebagai tempat perkembangan nyamuk ini. Karena itu pada musim penghujan popolasi nyamuk A. aegypti meningkat. Dengan bertambahnya populasi nyamuk merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan virus Chikungunya. Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus Chikungunya sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak adanya kotrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis dan peningkatan sarana transportasi (Depkes RI, 2004). 2.5.3.2. Ketinggian Tempat Ketinggian tempat berpengaruh terhadap perkembangan nyamuk. Wilayah dengan ketinggian diatas 1000 meter dari permukaan laut tidak ditemukan nyamuk A.
Universitas Sumatera Utara
aegypti karena ketinggian tersebut suhu terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk (Soedarmo, 1988). 2.5.3.3. Curah Hujan Hujan akan menambah genangan air sebagai tempat perindukan dan menambah kelembaban udara. Temperatur dan kelembaban selama musim hujan sangat kondusif untuk kelangsungan hidup nyamuk yang terinfeksi (Suroso, 2003). 2.5.3.4. Temperatur Virus Chikungunya hampir sama dengan virus dengue yaitu hanya endemik di daerah tropis dimana suhu memungkinkan untuk perkembangbiakan nyamuk. Suhu optimum pertumbuhan nyamuk adalah 25°C – 27°C. Pertumbuhan akan terhenti sama sekali bila suhu kering dari 10º C atau lebih dari 40ºC (Suroso, 2003). 2.6. Keberadaan Jentik 2.6.1. Survei Jentik Pada Survei Entomologi DBD ada 5 Kegiatan Pokok, yaitu : pengumpulan data terkait, survei telur, survei jentik atau larva, survei nyamuk, dan survei lain-lain (Depkes RI, 2002). Yang mengamati perilaku dari berbagai lingkungan, vektor, cara-cara pemberantasan vektor dan cara-cara menilai hasil pemberantasan vektor. Survei jentik dapat dilakukan dengan cara :
Universitas Sumatera Utara
A. Metode Single Larva Pada setiap kontainer yang ditemukan ada jentik, maka satu ekor jentik akan diambil dengan cidukan (gayung plastik) atau menggunakan pipet panjang jentik sebagai sampel untuk pemeriksaan spesies jentik dan identifikasi lebih lanjut jenis jentiknya. Jentik yang diambil ditempatkan dalam botol kecil/vial bottle dan diberi label sesuai dengan nomor tim survei, nomor lembar formulir berdasarkan 1 nomor rumah yang di survei dan nomor kontainer dalam formulir. B. Metode Visual Hanya dilihat dan dicatat ada tidaknya jentik didalam kontainer tidak dilakukan pengambilan dan pemeriksaan spesies jentik. Survei ini dilakukan pada survei lanjutan untuk memonitor indek-indek jentik atau menilai PSN yang dilakukan (Depkes RI, 2002). Tiga indeks yang biasa dipakai untuk memantau tingkat gangguan A. aegypti, yaitu: 1. House Index (HI) yaitu persentase rumah yang terjangkit larva/ jentik. HI =
Jumlah rumah yang terjangkit
x 100
Jumlah rumah yang diperiksa
2. Container index (CI) yaitu persentase penampungan air yang terjangkit larva atau jentik. CI =
Jumlah penampung yang positif x 100 Jumlah penampung yang diperiksa
Universitas Sumatera Utara
3. Breteau index (BI) yaitu jumlah penampung air yang positif per 100 rumah yang diperiksa. BI =
Jumlah Penampung yang positif x 100 Jumlah rumah yang diperiksa
2.6.2. Vektor Nyamuk Aedes aegypti Virus chik ditularkan dari orang sakit ke orang sehat melalui gigitan nyamuk aedes dari sub genus stegomyia.Di Indonesia ada 3 jenis nyamuk aedes yang bisa menularkan virus chik yaitu: A. aegypti, A. albopictus dan A. scutellaris (Depkes RI, 2002). Dari ketiga jenis nyamuk tersebut A. aegypti lebih berperan dalam penularan penyakit Chikungunya. Nyamuk ini banyak ditemukan di dalam rumah atau bangunan dan tempat perindukanya juga lebih banyak terdapat di dalam rumah. Keberadaan jentik berhubungan dengan keberadaan vektor nyamuk A. aegypti juga, oleh karena itu untuk mengetahui kepadatan populasi nyamuk A. aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan beberapa survei di rumah yang dipilih secara acak. Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk umpan orang di dalam dan di luar rumah, masing – masing selama 20 menit per rumah dan penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator. Indek – indek nyamuk yang di gunakan adalah:
1. Biting /Landing Rate =
2. Re sting/ rumah =
Jumlah A.aegypti betina yang tertangkap umpan orang Jumlah penangkapan x jumlah jam penangkapan
Jumlah A.aegypti betina pada penangkapan nyamuk hinggap Jumlah rumah yang dilakukan penangkapan
Universitas Sumatera Utara
2.7. Paradigma Kesehatan Lingkungan Hubungan interaktif antara manusia serta perilakunya dengan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit juga dikenal sebagai proses kejadian penyakit. Proses kejadian satu penyakit dapat pula disebut sebagai patogenesis penyakit. Tiap penyakit memiliki patogenesis sendiri-sendiri. Dengan mempelajari patogenesis penyakit, kita dapat menentukan pada titik mana atau di simpul mana kita bisa melakukan pencegahan. Tanpa memahami patogenesis atau proses kejadian penyakit, kita tidak dapat melakukan pencegahan (Achmadi, 2008). Dinamika perubahan-perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat dapat digambarkan mulai dari sumber perubahan (munculnya komponen dengan memiliki potensi bahaya tersebut), dinamika dan kinetika komponen tersebut dalam lingkungan disekitar manusia (ambient), interaksi manusia proses fisiologis dan patologis, hingga komponen tersebut tidak lagi menimbulkan bahaya kesehatan masyarakat (Achmadi, 2008). Adapun Teori Simpul dari timbulnya demam Chikungunya tersebut sebagai berikut :
Penderita Demam Chikungunya
Vektor yaitu nyamuk A.aegypti
Adanya virus Chik dalam darah penderita.
Sakit / sehat
Variabel lain yang berpengaruh Gambar 2. Diagram Skematik Patogenesis Penyakit
Universitas Sumatera Utara
Dengan mengacu pada gambaran skematik tersebut di atas, maka patogenesis dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yakni : a. Simpul 1, kita sebut sebagai sumber penyakit. Dan dalam hal ini sumber penyakit yaitu orang yang menderita demam Chikungunya. b. Simpul 2, yaitu komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit yang dapat memindahkan agent penyakit. Dalam hal ini yang memindahkan agent yaitu nyamuk A. Aegypti sebagai vektor penular. c. Simpul 3, penduduk yang dalam darahnya terdapat virus Chik karena telah tertular dari orang lain melalui vektor yaitu nyamuk. d. Simpul 4, penduduk yang dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami interaksi dengan komponen lingkungan tersebut yang telah mengandung agent penyakit (Achmadi, 2008). 2.8. Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Chikungunya Pemberantasan nyamuk demam Chikungunya seperti penyakit menular lainnya, didasarkan atas pemutusan rantai penularan. Beberapa cara untuk memutuskan rantai penularan penyakit demam Chikungunya yaitu: a. Melenyapkan virus dengan cara mengobati semua penderita dengan obat anti virus. b. Solusi penderita agar tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain c. Mencegah gigitan nyamuk/vektor. d. Immunisasi terhadap orang sehat. e. Membasmi/ memberantas sarang nyamuk. Cara yang biasa dipakai adalah memberantas sumber nyamuk, penyehatan lingkungan ataupun chemical control. Penyehatan lingkungan merupakan cara terbaik.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mencapai tujuan ini di perlukan usaha yang terus - menerus secara berkesinambungan. Hasil yang diharapkan memang tidak tampak dengan segera. a. Pemberantasan Nyamuk Dewasa Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara pengasapan (fogging) dengan insektisida. Hal ini dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk yang hinggap di benda-benda tergantung karena itu tidak dilakukan penyemprotan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular penyakit demam Chikungunya (Depkes RI, 2002). Insektisida yang digunakan adalah insektisida golongan organophospat misalnya malathion dan feritrothion, pyrectic syntetic misalnya lamda sihalotrin dan parmietrin, dan karbamat. Alat yang digunakan untuk menyemprot ialah mesin fog atau mesin ultra low volume(ULV), karena penyemprotan dilakukan dengan cara pengasapan, maka tidak mempunyai efek residu (Suroso, 2003). Penyemprotan insektisida dilakukan interval 1 minggu untuk membatasi penularan virus Chikungunya. Penyemprotan siklus pertama semua nyamuk mengandung virus Chikungunya (nyamuk inaktif) dan nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Penyemprotan insektisida ini dalam waktu singkat dapat membatasi penularan akan tetapi tindakan ini perlu diikuti dengan pemberantasan jentik agar populasi nyamuk dapat ditekan serendah-rendahnya (Suroso, 2003). b. Pemberantasan Larva (Jentik) Pemberantasan Pemberantasan
terhadap
jentik
A.
Aegypti
dikenal
Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan dengan tiga
dengan
istilah
cara yaitu kimia,
biologi dan fisik.
Universitas Sumatera Utara
1. Cara kimia Cara pemberantasan jentik A. Aegypti secara kimia dengan menggunakan insektisida
pembasmi jentik (larva) atau dikenal dengan abatisasi. Larvasida yang
biasanya digunakan adalah temephos. Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (lebih kurang atau satu sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Bentuk fisik temephos yang digunakan ialah granula (sand granula). Abatisasi dengan temephos ini mempunyai efek residu tiga bulan (Depkes RI, 2004 dan Soedarmo, 1988). 2. Cara Biologi Pemberantasan cara biologi dengan memanfaatkan predator alami seperti memelihara ikan pemakan jentik misalnya ikan kepala timah, ikan gufi, ikan nila merah dan ikan lega. Selain itu dapat pula dengan golongan serangga yang dapat mengendalikan pertumbuhan larva (Depkes RI, 2004). 3. Cara Fisik Pemberantasan cara fisik melalui kegiatan 3 M + 1 T yaitu mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat terisinya air hujan, menguras tempat penampungan air minimal 1 kali seminggu, menutup tempat penampungan air, dan menelungkupkan barang – barang yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk A. aegypti (Depkes RI, 2004). Keberhasilan pemberantasan sarang nyamuk hanya dapat diperoleh dengan peran serta masyarakat untuk melaksanakannya. Oleh karena itu dilakukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara kontinu dalam waktu lama, sebab keberadaan jentik nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat (Depkes RI, 1992).
Universitas Sumatera Utara
2.8.1. Jenis Kegiatan Pemberantasan Nyamuk Jenis kegiatan pemberantasan nyamuk penular demam Chikungunya meliputi: 1. Penyemprotan massal Desa/kelurahan rawan dapat merupakan sumber penyebarluasan penyakit ke wilayah lain. Kejadian luar biasa/wabah demam Chikungunya sering kali dimulai dari peningkatan jumlah kasus demam Chikungunya di wilayah lain. Biasanya di desa/kelurahan ini, pada tahun-tahun berikutnya akan terjadi kasus demam Chikungunya. Oleh karena itu penularan penyakit di wilayah ini deperlukan segera dibatasi dengan penyemprotan insektisida dan diikuti PSN oleh masyarakat untuk membasmi jentik-jentik penular demam Chikungunya. Penyemprotan ini dilaksanakan sebelum musim penularan penyakit demam Chikungunya di desa rawan agar sebelum terjadi puncak penularan virus Chikungunya, populasi nyamuk penular dapat ditekan serendah-rendahnya sehingga KLB dapat dicegah (Depkes RI, 2004). 2. Pemantauan Jentik Berkala (PJB) Pemantauan jentik berkala adalah pemeriksaan tempat penampungan air dan tempat perkembangbiakan nyamuk A. aegypti untuk mengetahui adanya jentik nyamuk yang dilakukan di rumah dan di tempat umum secara teratur sekurang-kurangnya tiap 3 bulan untuk mengetahui keadaan populasi jentik nyamuk penular penyakit demam Chikungunya.
Universitas Sumatera Utara
3. Pemberantasan Sarang Nyamuk Pencegahan yang dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan di tempat tempat umum dengan melaksanakan PSN meliputi: a.
Menguras tempat penampungan air sekurang kurangnya seminggu sekali atau menutupnya rapat-rapat.
b. Mengubur barang bekas yang dapat menampung air. c. Menaburkan racun pembasmi jentik (abatisasi). d. Memelihara ikan dan cara-cara lain untuk membasmi jentik (Soedarmo, 1988). 2.9. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka dan latar belakang maka peneliti membuat suatu kerangka konsep penelitian seperti gambar di bawah ini. Karakteristik Penduduk Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan
Faktor Lingkungan Fisik a. Pencahayaan b.
Kelembaban
c.
Suhu
d.
Tempat perindukan nyamuk
e.
Tempat istirahat nyamuk
f.
Keberadaan jentik
Angka Kejadian Chikungunya
Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
2.10. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : 2.10.1. Hipotesis Mayor Ho : Ada hubungan antara karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan) dan faktor lingkungan fisik (pencahayaan, kelembaban, suhu, tempat perindukan nyamuk, tempat istirahat nyamuk, keberadaan jentik) dengan angka kejadian demam Chikungunya di desa Tanah Raja Kec. Sei Rampah Kab. Serdang Bedagai tahun 2009. Ha : Tidak ada hubungan antara karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan) dan faktor lingkungan fisik (pencahayaan, kelembaban, suhu, tempat perindukan nyamuk, tempat istirahat nyamuk, keberadaan jentik) dengan angka kejadian demam Chikungunya di desa Tanah Raja Kec. Sei Rampah Kab. Serdang Bedagai tahun 2009. 2.10.2. Hipotesis Minor 2.10.2.1. Ada hubungan antara karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan) dengan angka kejadian demam Chikungunya di desa Tanah Raja Kec. Sei Rampah tahun 2009. 2.10.2.2. Ada hubungan antara pencahayaan dengan angka kejadian demam Chikungunya di desa Tanah Raja Kec. Sei Rampah tahun 2009. 2.10.2.3. Ada hubungan antara kelembaban dengan angka kejadian demam Chikungunya di desa Tanah Raja Kec. Sei Rampah tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara
2.10.2.4. Ada hubungan antara suhu dengan angka kejadian demam Chikungunya di desa Tanah Raja Kec. Sei Rampah tahun 2009. 2.10.2.5. Ada hubungan antara tempat perindukan nyamuk dengan angka kejadian demam Chikungunya di desa Tanah Raja Kec. Sei Rampah tahun 2009. 2.10.2.6. Ada hubungan antara tempat istirahat nyamuk dengan angka kejadian demam Chikungunya di desa Tanah Raja Kec. Sei Rampah tahun 2009. 2.10.2.7. Ada hubungan antara keberadaan jentik dengan angka kejadian demam Chikungunya di desa Tanah Raja Kec. Sei Rampah tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara