BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Campak 2.1.1. Pengertian Campak Campak adalah penyakit sangat menular dengan gejala prodromal atau gejala awal seperti demam, batuk, coryza/pilek, dan konjungtivitas, kemudian diikuti dengan munculnya ruam makulo papuler yang menyeluruh di seluruh tubuh (Setiawan, 2008).
2.1.2. Penyebab Penyakit campak disebabkan oleh virus campak. Virus campak termasuk di dalam famili paramyxovirus. Virus campak sangat sensitif terhadap panas, sangat mudah rusak pada suhu 370 C. Toleransi terhadap perubahan pH baik sekali. Bersifat sensitif terhadap eter, cahaya, dan trysine. Virus mempunyai jangka waktu hidup yang pendek (short survival time) yaitu kurang dari 2 jam. Apabila disimpan pada laboratorium, suhu penyimpanan yang baik adalah pada suhu-700C (Ranuh, 2008).
2.1.3. Cara dan Masa Penularan Ada beberapa cara dan masa penularan penyakit campak : 1. Penularan dari orang ke orang melalui percikan ludah dan transmisi melalui udara terutama melalui batuk, bersin atau sekresi hidung. 2. Masa penularan 4 hari sebelum bercak kemerahan/rash sampai 4 hari setelah timbul bercak kemerahan/rash, puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu 1-3 hari pertama sakit (Depkes RI, 2008).
2.1.4. Masa Inkubasi Sekitar 10-12 hari jika gejala-gejala prodromal pertama dipilih sebagai waktu mulai, atau sekitar 14 hari jika munculnya ruam yang dipilih; jarak masa inkubasi dapat sependek 6-10 hari. Kenaikan ringan pada suhu dapat terjadi 9-10 hari dari hari infeksi dan kemudian menurun selama 24 jam atau di sekitarnya (Depkes RI, 2008).
2.1.5. Gejala dan Tanda-Tanda Penyakit campak ditandai dengan munculnya beberapa gejala yaitu : 1. Panas badan biasanya ≤ 38 0C selama 3 hari atau lebih, disertai salah satu atau lebih gejala batuk, pilek, mata merah atau mata berair. 2.
Khas (Pathognomonis) ditemukan koplik’s spot atau bercak putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam (mucosa bucal).
3. Bercak kemerahan/rash yang dimulai dari belakang telinga pada tubuh berbentuk makulo papular 3 hari atau lebih, beberapa hari (4-7) ke seluruh tubuh. 4. Bercak kemerahan makulo papular setelah 1 minggu sampai 1 bulan berubah menjadi kehitaman (hiperpigmentasi) disertai kulit bersisik. Untuk kasus yang telah menunjukkan kehitaman (hiperpigmentasi)
perlu dilakukan anamnesis
dengan teliti, dan apabila pada masa akut (permulaan sakit) terdapat gejala-gejala tersebut di atas maka kasus tersebut termasuk kasus campak klinis (Depkes RI, 2008).
2.1.6. Komplikasi
Menurut Depkes RI (2008), sebagian besar penderita campak akan sembuh, komplikasi sering terjadi pada anak usia < 5 tahun dan penderita dewasa > 20 tahun. Kasus campak pada penderita malnutrisi dan defisiensi vitamin A serta human immunodeficiency virus (HIV), campak dapat menjadi lebih berat atau fatal. Komplikasi yang sering terjadi yaitu : 1. Diare 2. Bronchopneumonia 3. Malnutrisi 4. Otitis media 5. Kebutaan 6. Encephalitis 7. Measles encephalitis hanya 1/1000 penderita campak 8. Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE), hanya 1/100.000 penderita campak. 9. Ulkus mucosa mulut
2.1.7. Dosis dan Cara Pemberian Menurut Ranuh (2008), dosis dan cara pemberian imunisasi campak : 1. Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000 Tissue Culture Infectious Dose 50 (TCID50) atau sebanyak 0,5 ml. 2. Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 mungkin sudah dapat memberikan hasil yang baik. 3. Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutan walaupun demikian dapat diberikan secara intramuscular. 4. Daya proteksi vaksin campak diukur dengan berbagai macam cara. Salah satu indikator pengaruh vaksin terhadap proteksi adalah penurunan angka kejadian kasus campak sesudah pelaksanaan program imunisasi. 5. Imunisasi campak diberikan lagi pada saat masuk sekolah SD dalam program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah).
2.1.8. Bayi dan Anak Berisiko Infeksi Campak Menurut Ranuh (2008), pada populasi dengan insidens yang tinggi pada infeksi campak dini, imunisasi measles, mumps, dan rubella (MMR) dapat diberikan pada usia 9 bulan. Indikasi lain pemberian vaksin MMR adalah : 1. Anak dengan penyakit kronis seperti kistik fibrosis, kelainan jantung bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, syndrom down. 2. Anak berusia≥ 1 tahun yang berada di day care centre, family day care dan playgroups. 3. Anak yang tinggal di lembaga cacat mental
2.1.9. Pencegahan 2.1.9.1. Pencegahan Jangka Pendek Orang yang rentan terhadap penyakit campak yang mengadakan kontak dengan penderita campak dapat dilindungi dengan memberikan vaksin MMR atau vaksin chick chorioallantonik membrane (CAM-70) atau Edmonston-Zagreb. Vaksin profilaksis (pencegahan) biasanya diberikan pada bayi yang berumur lebih dari 9 bulan dalam 72 jam setelah mendapat paparan infeksi virus. Selain itu dapat juga diberikan normal human immunoglobulin (NHIG) jika sudah mengadakan kontak lebih dari 72 jam, tetapi tidak lebih dari 7 hari. Pemberian imunisasi vaksin campak dalam waktu 72 jam adalah cukup efektif, karena masa inkubasi vaksin lebih singkat (4-6 hari), sedangkan masa inkubasi virus campak tipe liar adalah 10-14 hari (Setiawan, 2008).
2.1.9.2. Pencegahan Jangka Panjang Sampai saat ini cara yang terbaik untuk mengatasi penyakit campak adalah imunisasi, dengan mencegah infeksi menggunakan vaksin gabungan (virus campak hidup/measles, gondongan/mumps, dan rubella/MMR), sehingga penyakit tidak berkembang lebih berat. Selama tiga puluh tahun terakhir, MMR sudah diyakini cukup aman dan efektif untuk mencegah penyakit pada bayi dan anak. Berdasarkan studi dari gabungan ketiga antigen ini ternyata dari masing-masing komponen dapat menimbulkan tingkat serokonversi yang sama, dan tidak ditemukan adanya peningkatan risiko reaksi pada orang-orang yang rentan terhadap ketiga antigen (Setiawan, 2008).
2.1.10. Kontra Indikasi Menurut Ranuh (2008), kontra indikasi dalam pemberian vaksin MMR terdiri dari : 1. Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas, mereka yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgbb/hari prednisolon). 2. Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit bernapas, hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin. 3. Anak dengan demam akut, pemberian MMR harus ditunda sampai penyakit ini sembuh. 4. Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk bacille calmette guerin (BCG) dan vaksin virus hidup) dalam waktu 4 minggu. 5. Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin (darah, plasma) atau transfusi darah (whole blood). 6. Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV). Sebenarnya HIV bukan kontra indikasi, tetapi pada kasus tertentu, dianjurkan untuk meminta petunjuk pada spesialis anak konsultan.
2.1.11. Tahap Pemberantasan Campak Menurut Bidansmart (2010), pemberantasan campak meliputi beberapa tahap, dengan kriteria pada tiap tahap yang berbeda-beda : 1. Tahap Reduksi Tahap reduksi campak dibagi dalam 2 tahap :
a. Tahap pengendalian campak Pada tahap ini terjadi penurunan kasus dan kematian, cakupan imunisasi > 80%, dan interval terjadinya KLB berkisar antara 4 – 8 tahun. b. Tahap pencegahan KLB Pada tahap ini cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, dan interval terjadinya KLB relatif lebih panjang 2. Tahap Eliminasi Pada tahap eliminasi, cakupan imunisasi sudah sangat tinggi (>95%), dan daerahdaerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus campak sudah jarang dan KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai tidak terlindung (susceptable) harus diselidiki dan mendapatkan imunisasi tambahan. 3. Tahap Eradikasi Cakupan imunisasi tinggi dan merata, dan kasus campak sudah tidak ditemukan. Transmisi virus sudah dapat diputuskan, dan negara-negara di dunia sudah memasuki tahap eliminasi. Reduksi campak mempunyai 5 strategi yaitu : a. Imunisasi Rutin 2 kali, pada bayi 9 -11 bulan dan anak Sekolah Dasar Kelas I (belum dilaksanakan secara nasional) dan imunisasi tambahan atau suplemen. b. Surveilans campak. c. Penyelidikan dan penanggulangan KLB. d. Manajemen kasus.
e. Pemeriksaan laboratorium. Surveilans dalam reduksi campak di Indonesia masih belum sebaik surveilens eradikasi polio. Kendala utama yang dihadapi adalah kelengkapan data/laporan rutin rumah sakit dan puskesmas yang masih rendah, beberapa KLB campak yang tidak terlaporkan, pemantauan dini (SKD-KLB) campak pada desa-desa berpotensi KLB pada umumnya belum dilakukan dengan baik terutama di puskesmas, belum semua unit pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta ikut berkontribusi melaporkan bila menemukan campak.
2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ibu Bayi dalam Pemberian Imunisasi Campak Menurut Notoatmodjo (2003), yang mengutip pendapat Green, kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Faktor perilaku ditentukan oleh 3 faktor yaitu : 1. Faktor predisposisi (Predisposing Factor) yang meliputi pengetahun, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya yang ada di masyarakat. 2. Faktor pendukung (Enabling Factor) yang meliputi lingkungan fisik (tersedia atau tidak tersedianya fasilitas), untuk menunjang seseorang bertindak atau berperilaku. 3. Faktor pendorong (Reinforcing Factor) yang meliputi dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Mengacu pada teori Green di atas maka peneliti akan memfokuskan pada beberapa variabel yang berhubungan dengan penggunaan imunisasi campak adalah sebagai berikut :
2.2.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) Menurut Notoatmodjo (2005), faktor predisposisi adalah faktor yang dapat mempermudah terjadinya perilaku atau tindakan pada diri seseorang atau masyarakat. Faktor ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu mempunyai kecenderungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda faktor ini terdiri dari :
2.2.1.1. Pendidikan Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan kesehatan yang didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan menetap, karena didasari oleh kesadaran. Kelemahan dari pendekatan pendidikan kesehatan ini adalah hasilnya lama, karena perubahan perilaku melalui proses pembelajaran pada umumnya memerlukan waktu yang lama (Notoatmodjo, 2005).
Orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan serta pemanfaatan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003),
2.2.1.2. Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebahagian besar pengetahuan manusia diperoleh manusia melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan : 1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu meteri yang telah dipelajari sebelumnya. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. 2. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, dan menyebutkan. 3. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitanya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan
kata
kerja,
seperti
dapat
menggambarkan,
membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5. Sintesis (Synthesis) Sintesis
menunjuk
kepada
suatu
kemampuan
untuk
melakukan
atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
2.2.1.3. Pekerjaan Menurut Sastrohadiwiryo (2003), pekerjaan adalah sekumpulan atau sekelompok tugas dan tanggung jawab yang akan, sedang, dan telah dikerjakan oleh tenaga kerja dalam kurun waktu tertentu. Istilah pekerjaan sangat erat hubungannya dengan tugas/kewajiban, tanggung jawab, dan pertanggungjawaban. 1. Tugas/kewajiban Tugas/kewajiban merupakan suatu bagian integral atau suatu elemen dari suatu pekerjaan. 2. Tanggung jawab Tanggung jawab adalah kewajiban tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan dengan
sebaik-baiknya
sesuai
dengan
kemampuan,
keterampilan,
dan
keahliannya. 3. Pertanggungjawaban/Tanggung gugat Pertanggungjawaban/Tanggung gugat merupakan pelaporan hasil akhir terhadap tanggung jawab yang diberikan kepadanya, baik secara tertulis maupun lisan kepada atasan yang telah memberikan/mendelegasikan wewenang/tanggung jawab sebelumnya.
2.2.1.4. Kepercayaan Menurut Fowler (1995), kepercayaan adalah proses pengenalan konstitutif, yang mendasari proses penyusunan dan pemeliharaan suatu kerangka acuan arti dan makna seseorang pribadi yang timbul dari rasa kasih sayang dan komitmen pada pusat-pusat nilai lebih tinggi yang memiliki daya untuk mempersatukan segala pengalaman dunia dengan demikian memberi arti pada seluruh hubungan, konteks, pola-pola kehidupan sehari-hari, serta pada pengalaman akan masa lampau dan mendatang. Masyarakat mulai menghubungi sarana kesehatan sesuai dengan pengalaman atau informasi yang diperoleh dari orang lain tentang tersedianya jenis-jenis pelayanan kesehatan. Pilihan terhadap sarana pelayanan kesehatan tersebut dengan sendirinya didasari atas kepercayaan atau keyakinan akan kemajuan sarana tersebut (Notoatmodjo, 2003).
2.2.2. Faktor Pendukung (Enabling factor) Menurut Notoatmodjo (2007), faktor pendukung mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat untuk berperilaku. Syafrudin (2009) mengemukakan hambatan paling besar dirasakan dalam rangka pencapaian tujuan untuk mewujudkan hidup sehat bagi masyarakat adalah faktor pendukung yang terdiri dari :
2.2.2.1 Ketersediaan Sarana Pelayanan Kesehatan Menurut Notoatmodjo (2007), sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat terdiri dari rumah sakit, puskesmas, pustu, poliklinik, posyandu, polindes, praktek dokter/bidan swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya perilaku pemberian imunisasi campak pada bayi. Ibu yang mau memberikan imunisasi campak pada bayi tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat pemberian imunisasi campak melainkan ibu tersebut dengan mudah dapat memperoleh tempat pemberian imunisasi campak. Syarifudin (2009), meskipun kesadaran dan pengetahun masyarakat sudah tinggi tentang kesehatan, namun praktek (practice) tentang kesehatan atau perilaku hidup sehat masih rendah. Setelah dilakukan pengkajian oleh organisasi kesehatan sedunia (WHO), terutama di negara-negara berkembang ternyata faktor pendukung atau sarana dan prasarana tidak mendukung untuk masyarakat berperilaku hidup sehat.
2.2.2.2. Jarak ke Sarana Pelayanan Kesehatan Jarak adalah seberapa jauh lintasan yang di tempuh responden menuju tempat pelayanan kesehatan yang meliputi rumah sakit, puskesmas, posyandu, dan lainya. Notoatmodjo (2003), seseorang yang tidak mau mengimunisasi anaknya di tempat pelayanan kesehatan dapat disebabkan karena orang tersebut tidak tau atau belum tau manfaat imunisasi bagi anak, tetapi barang kali juga karena rumahnya terlalu jauh dengan pelayanan kesehatan tempat mengimunisasi anaknya.
2.2.3. Faktor Pendorong (Reinforcing Factor) Menurut Notoatmodjo (2005), faktor pendorong adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku tetapi tidak melakukannya, hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor :
2.2.3.1. Dukungan Petugas Imunisasi Menurut Sarfino (Smet, 1994), dukungan petugas kesehatan (petugas imunisasi) merupakan dukungan sosial dalam bentuk dukungan informatif, di mana perasaan subjek bahwa lingkungan (petugas imunisasi) memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang diketahui (imunisasi campak). Santrock (2005) mengemukakan bahwa dukungan sosial merupakan informasi dan umpan balik (feedback) dari orang lain bahwa individu itu dicintai, diperhatikan, dihargai dalam hubungan komunikasi yang hebat (Smet, 1994). Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Kepmenkes RI, 2005). Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa dukungan petugas imunisasi adalah dukungan yang diberikan oleh petugas imunisasi dalam melakukan upaya kesehatan (imunisasi campak) baik itu berupa penyuluhan, saran, dan tindakan petugas imunisasi dalam memberikan pelayanan kepada ibu.
2.2.3.2. Dukungan Keluarga Menurut Budi (2007), dukungan keluarga adalah bantuan yang bermanfaat secara emosional dan memberikan pengaruh positif yang berupa informasi, bantuan instrumental, emosi, maupun penilaian yang diberikan oleh anggota keluarga yang terdiri dari suami, orang tua, mertua, maupun saudara lainnya. Rodin & Salovey (Smet, 1994) mengemukakan bahwa perkawinan dan keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. Gottlieb (1983) mendefinisikan dukungan sosial sebagai info verbal/non verbal, bantuan nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku bagi pihak penerima (Smet, 1994). Menurut Sarfino (Smet, 1994), dukungan sosial dibagi ke dalam empat jenis, yaitu : 1. Dukungan emosional, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan memperhatikan dan memahami kondisi emosional. Orang yang menerima dukungan sosial semacam ini merasa tentram, aman damai yang ditujukan dengan sikap tenang dan berbahagia. Sumber dukungan ini paling sering dan umum adalah diperoleh dari pasangan hidup atau anggota keluarga, teman dekat, dan sanak saudara yang akrab dan memiliki hubungan harmonis. 2. Dukungan penghargaan, yaitu perasaan subjek bahwa dirinya diakui oleh lingkungan mampu berguna bagi orang lain dan dihargai usaha-usahanya. Sumber dukungan ini dapat bersumber dari keluarga, masyarakat atau instansi (lembaga) tempat penderita pernah bekerja.
3. Dukungan instrumental, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan sekitarnya memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan, seperti alat-alat atau uang yang dapat meringankan penderitanya. Dukungan seperti ini umumnya berasal dari keluarga. 4. Dukungan Informatif, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang harus diketahuinya. Dukungan informatif ini dapat diperoleh dari dokter, perawat dan juga tenaga kesehatan lainnya.
2.3. Kerangka Konsep Variabel Independen
Variabel Dependen
1. Faktor Predisposisi • Pendidikan • Pengetahuan • Pekerjaan • Kepercayaan 2. Faktor Pendukung • Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan • Jarak ke sarana pelayanan kesehatan
3. Faktor Pendorong • Dukungan petugas imunisasi • Dukungan keluarga
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Pemberian Imunisasi Campak
Berdasarkan kerangka konsep tersebut dapat didefinisikan konsep-konsep yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut : 1. Faktor predisposisi adalah faktor yang dapat mempermudah terjadinya perilaku atau tindakan ibu bayi (umur 9-11 bulan) dalam pemberian imunisasi campak. Dalam hal ini diukur dari pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, dan kepercayaan. 2. Faktor pendukung adalah faktor yang mendukung terjadinya perilaku atau yang memfasilitasi ibu bayi (umur 9-11 bulan) dalam pemberian imunisasi campak. Dalam hal ini diukur dari ketersediaan pelayanan kesehatan dan jarak ke sarana pelayanan kesehatan 3. Faktor pendorong adalah faktor yang mendorong ibu bayi (umur 9-11 bulan) dalam pemberian imunisasi campak. Dalam hal ini diukur dari dukungan petugas imunisasi dan dukungan keluarga. 4. Pemberian imunisasi campak adalah jumlah cakupan bayi (umur 9-11 bulan) yang mendapatkan imunisasi campak.
2.4. Hipotesis Penelitian 1. Adanya pengaruh faktor predisposisi (pendidikan, pengetahuan, pekerjaan dan kepercayaan) ibu bayi (umur 9-11 bulan) terhadap pemberian imunisasi campak di wilayah kerja Puskesmas Sawang Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2010. 2. Adanya pengaruh faktor pendukung (ketersediaan pelayanan kesehatan dan jarak ke sarana pelayanan kesehatan) ibu bayi (umur 9-11 bulan) terhadap pemberian
imunisasi campak di wilayah kerja Puskesmas Sawang Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2010. 3. Adanya pengaruh faktor pendorong (dukungan petugas imunisasi dan dukungan keluarga) ibu bayi (umur 9-11 bulan) terhadap pemberian imunisasi campak di wilayah kerja Puskesmas Sawang Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2010.