BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Basal Ganglia Basal Ganglia terdiri dari striatum (nukleus kaudatus dan putamen), globus palidus (eksterna dan interna), substansia nigra dan nukleus sub-thalamik. Nukleus pedunkulopontin tidak termasuk bagian dari basal ganglia, meskipun dia memiliki koneksi yang signifikan dengan basal ganglia. Korpus striatum terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus. Striatum dibentuk oleh nuldeus kaudatus dan putamen. Nukleus lentiformis dibentuk oleh putamen dan kedua segmen dari globus palidius. Tetapi letak anatomis perdarahan basal ganglia yang dibahas disini hanya meliputi nukleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula interna terletak diantara nuleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula intema adalah tempat relay dari traktus motorik volunter, sehingga jika ada lesi pada lokasi ini akan menyebabkan gangguan motorik seperti hemiparesis ataupun gangguan motorik lain (Tortora, 2009). Vaskularisasi yang mendarahi basal ganglia adalah cabang-cabang arteri yang berasal dari arteri serebri anterior (ACA), serebri media (MCA), choroidal anterior, posterior communicans (P-commA), serebri posterior (PCA) dan serebelar superior. Cabang dari MCA, yang disebut Lenticulostriata lateral, adalah yang terbanyak mendarahi striatum dan lateral dari pallidum. Perdarahan pada basal ganglia yang tersering adalah dikarenakan ruptur arteri lenticulostriata media. Arteri Heubner, disebut juga arteri striata media, berasal dari A2, yaitu segmen dari ACA, memperdarahi putamen dan kepala dari nukleus caudatus. Arteri choroidalis anterior memperdarahi sebagian dari globus palidus dan putamen, juga ekor dari nukleus caudatus. Arteri posterior communicans memperdarahi bagian medial dari pallidum, medial substansia nigra dan sebagian nukleus subthalamikus. Thalamo perforata dari PCA
Universitas Sumatera Utara
adalah yang terbanyak memperdarahi substansia nigra dan sebagian dan STN. Cabang dari SCA memperdarahi bagian lateral dari substatia nigra (Moore, 2005).
Gambar 2.1. Potongan axial dari serebrum. Basal ganglia adalah yang ditunjukkan oleh lingkaran berwarna merah. 2.2 Perdarahan Intraserebral Spontan Perdarahan Intraserebral Spontan adalah perdarahan pada jaringan otak yang bukan disebabkan oleh trauma kepala ataupun patologi lain seperti tumor, aneurisma, malformasi arteri vena, kavernoma dan sebagainya. Perdarahan intraserebral spontan penyebab stroke kedua tersering setelah stroke iskemik (Mohr, 1978; Broderick, 1993). Estimasi insidensi pada stroke perdarahan berkisar antara 16 sampai 33 kasus per 100.000 kasus stroke (Sacco, 2009). Lokasi tersering terjadinya PIS adalah pada basal ganglia, tepatnya pada putamen, dengan persentase 35% hingga 50%, diikuti dengan lobar sekitar 30%, thalamus (10 hingga
Universitas Sumatera Utara
15%), pons (5 hingga 12%), nukleus kaudatus (7%), dan serebelum (5%) (Fisher, 1959; Freytag, 1968; Furlan, 1979). Arteri yang sering ruptur pada perdarahan intrsebral spontan adalah arteri lentikulostriata yang merupakan cabang langsung dan arteri serebri media. Ruptur dan arteri ini akan mengakibatkan perdarahan pada basal ganglia, tepatnya putamen. Arteri Thalamoperforata yang merupakan percabangan dan arteri serebri anterior dan media juga merupakan sumber terjadinya PIS. Ruptur arteri ini akan mengakibatkan perdarahan thalamus. Arteri lain yang terlibat pada PIS adalah cabang paramedian dari arteri basilaris, yang mana akan menyebabkan perdarahan dan pons dan serebelum (Manish, 2012). Perdarahan intraventrikular (PIV) juga sering terjadi menyertai PIS pada kasus-kasus stroke hemoragik. Menjangkiti 12%-45% dengan pasien yang mengalami PIS. Tetapi PIV juga dapat terjadi tanpa disertai dengan PIS (Hallevi, 2008; Leira, 2004; Tuhrim, 1999).
Gambar 2.2. Lokasi dan perdarahan yang dapat terjadi pada PIS
Universitas Sumatera Utara
2.3 Edema Perihematoma Edema
perihematoma
ditandai
dengan
hipodensitas
disekeliling
hematoma
intraserebral pada CT scan. Edema perihematoma ini menjadi perhatian oleh beberapa praktisi untuk dijadikan sebagai target terapi. Pembentukan edema setelah terjadi perdarahan intraserebral dapat menyebabkan peningkatan tekanan intracranial, herniasi otak, dan kematian. Wagner (1996) memasukan komponen whole blood ke intraserebal untuk sebagai percobaan dan edema perihematoma terjadi 1 jam setelah pemberian whole blood. Ketika diberikan hanya komponen sel darah merah saja, edema tidak terjadi bahkan pada 72 jam pasca pemberian. Hal ini menandakan bahwa edema yang terjadi pada fase awal disebabkan oleh faktor-faktor yang terdapat dalam serum dan bukan yang terkandung dalam sel darah merah, atau terjadi kebocoran cairan akibat cedera pada sawar darah otak (blood brain barrier). Edema yang terjadi setelah 72 jam diakibatkan oleh lisis sel darah merah atau kerusakan sawar darah otak. Penelitian berikutnya melaporkan bahwa edema perihematoma dapat terjadi dengan menggunakan faktor pembekuan. Elemen kaskade pembekuan yang dapat menimbulkan edema adalah thrombin dan fibrinogen (Lee, 1996). Fenomena ini telah dikonfirmasi oleh kelompok peneliti yang berbeda yang melaporkan bahwa darah yang telah diberikan heparin yang disuntikkan kedalam otak, menimbulkan edema perihematoma yang minimal dibandingkan dengan darah yang tidak diberikan heparin. Dikarenakan pada otak yang tidak disuntikkan heparin, edema terbentuk sangat cepat (Xi, 1998). Pada penelitian yang dilakukan dengan subyek manusia, Gebel (1998) melaporkan bahwa kebanyakan perdarahan yang disebabkan oleh terapi trombolitik memiliki karakteristik volume perdarahan yang besar dengan edema perihematoma yang minimal. Hal ini konsisten
Universitas Sumatera Utara
dengan temuan bahwa aktivitas faktor pembekuan berhubungan dengan pembentukan edema perihematoma pada fase awal.
Gambar 2.3. Potongan axial dan gambaran MRI Brain yang menggunakan teknik FLAIR yang diambil pada penderita perdarahan intraserebral spontan 48 jam dan onset serangan (A dan B) dan pada hari ke 7 (C). Tampak perdarahan putaminal dengan edema perihematoma (Venkatasubramanian, 2011). Sebagai kesimpulan, aktivasi kaskade pembekuan darah merupakan hal penting dalam fase awal pembentukan edema perihematoma. Perdarahan intraserebral yang disebabkan oleh terapi trombolitik atau koagulopati memiliki edema perihematoma yang lebih sedikit dibandingkan dengan perdarahan intraserebral spontan. 2.4 Manifestasi Klinis PIS Beberapa inisial gejala klinis pada PIS meliputi nyeri kepala, hemiparesis, perubahan status mental, dan juga penurunan kesadaran. Juga disertai dengan simtom susulan seperti mual, muntah, gangguan visus, dan diplopia. Beberapa simtom berbeda pada PIS, tergantung dari lokasi lesi. Pada perdarahan supra tentorial terutama pada perdarahan basal ganglia akan menampilkan hemiparesis pada kontralateral lesi. Pada perdarahan infra tentorial akan menimbulkan efek cepat ke batang otak seperti koma, intranuclear ophthalmoplegy, reflex pupil yang abnormal, quadriparesis, dan postur dekortikasi (Nyquist, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Gambaran anatomis pembuluh darah basal ganglia. A) Lenticulo striata merupakan cabang dan Ml yang memperdarahi basal ganglia dan kapsula interna. B) Ruptur arteri Lenticulo Striata menyebabkan infark pada kapsula interna yang menyebabkan hemiparesis. Muntah terjadi pada perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid (51% dan 47%) dibandingkan pada stroke iskemik (4%-10% kasus). Tujuh puluh delapan persen penderita dengan perdarahan subarachnoid mengalami nyeri kepala pada onset serangan, sedangkan pada sepertiga pasien yang mengalami perdarahan intraserebral spontan mengalami nyeri kepala, dibandingkan dengan hanya 3% hingga 12% pasien stroke iskemik yang mengalami nyeri kepala. 24% pasien perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral spontan mengalami koma, dibandingkan hanya 5% saja pada penderita stroke iskemik. Onset serangan yang gradual terjadi pada 63% penderita perdarahan intraserebral spontan dan hanya 34% pasien yang mengalami onset yang mendadak. Sedangkan pada stroke iskemik hanya 5% sampai 20% pasien saja yang mengalami onset yang gradual, sedangkan pada perdarahan subarachnoid onset gradual hanya terjadi pada 14% pasien.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Faktor Risiko PIS Hipertensi merupakan faktor predisposisi tersering pada PIS. Baik tekanan sistolik maupun diastolik merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Hipertensi merupakan presentasi klinis tersering pada kasus stroke terutama pada PIS. Pada pasien dengan perdarahan intraserebral spontan memiliki tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 100mHg meliputi 91% pada saat terjadinya stroke dan 72% memiliki riwayat hipertensi sebelumnya (Mohr, 1990). Merokok juga merupakan faktor risiko terjadinya stroke, dengan nilai risiko relatif 1,5-2,2 (Abbort, 1986; Colditz, 1988; Shinteon, 1989). Faktor risiko yang lain adalah kadar kolesterol darah, rendahnya kadar kolesterol darah merupakan faktor risiko dan terjadinya perdarahan intraserebral spontan. Iso (1989) menyatakan dalam penelitiannya bahwa risiko terjadinya PIS tiga kali lipat lebih tinggi pada pasien dengan kadar kolesterol rendah dibandingkan yang tinggi. Tetapi hiperkolesterolemia berhubungan dengan stroke non hemoragik. Salah satu mekanisme terjadinya stroke akibat rendahnya kadar kolesterol darah adalah dikarenakan kadar kolesterol darah berhubungan dengan konsentrasi asam arakidonat pada membran sel. Asam arakidonat adalah komponen struktural yang penting dan membran sel pada endotel pembuluh darah. Dan metabolit dari asam arakidonat berperan dalam tonus pembuluh darah dan perbaikan dan dinding endotel pembuluh darah. Maka kekurangan kolesterol akan meningkatkan risiko terjadinya stroke (Golfetto, 2001). Tingginya konsumsi alkohol juga merupakan faktor risiko terjadinya PIS. Meskipun demikian konsumsi alkohol yang sedang tidak memberikan efek dan bahkan dapat mencegah terjadinya PIS (Biller, 1998). Pemakaian antiplatelet merupakan faktor risiko lain terjadinya PIS. Pemakaian
Universitas Sumatera Utara
warfarin sering menyebabkan terjadinya PIS dengan hematoma yang besar. Meskipun demikian pemakaian antiplatelet pada kadar tertentu dapat menurunkan risiko stroke, tetapi dosis optimal belum diketahui. Dosis aspirin yang dapat diterima adalah 30-1300 mg/hari, dan dosis yang direkomendasikan 325 mg/hari (American Heart Association: Guidelines for the management of transient ischemic attacks, 1994). 2.6 Etiologi Beberapa etiologi telah dikemukakan dalam beberapa penelitian, seperti hipertensi, Cerebral Amyloid Angiopathy (CAA), pemakaian anti koagulan, pemakaian beberapa obat dan alkohol, aneurisma, dan AVM. Tetapi secara garis besar etiologi terjadinya PIS terbagi menjadi primer dan sekunder. PIS primer disebabkan oleh karena gangguan pada pembuluh darah yang disebabkan hipertensi kronis atau CAA, ini merupakan penyebab tersering dari PIS, meliputi 80% dan seluruh kasus PIS. PIS sekunder berhubungan dengan malformasi vaskular, tumor atau gangguan koagulasi. 2.6.1 Hipertensi Hipertensi diduga kuat merupakan penyebab utama terjadinya PIS. Hipertensi kronis menyebabkan degenerasi dan dinding pembuluh darah kecil yang berasal dan arteri serebri anterior, media dan posterior. Perubahan ini dapat mengurangi compliance, sehingga pembuluh darah mudah ruptur. Tekanan darah normal adalah 120 mmHg untuk sistolik dan 80 mmHg untuk diastolik. Hipertensi terbagi kedalam empat tingkat, yaitu: prehipertensi untuk tekanan darah sistolik/diastolik 120-139/80-89 mmHg, hipertensi tingkat 1 untuk tekanan darah 140-159/90-99 mmHg, tingkat 2 untuk tekanan 160-179/100-109 mmHg, dan tingkat 3 untuk tekanan darah >190/>110 mmHg. Risiko terjadinya PIS bervariasi pada beberapa penelitian tentang hubungan tingginya risiko PIS dengan tingkat hipertensi. Tingkat rekurensi PIS dikarenakan hipertensi kronis adalah 2%, tetapi dapat diturunkan dengan
Universitas Sumatera Utara
pemakaian obat-obatan anti hipertensi secara teratur (Furlan, 1979). 2.6.2 Cerebral amyloid angiopathy (CAA) CAA merupakan penyebab utama perdarahan lobar pada kelompok lanjut usia (Okazaki, 1983; Vinters, 1987). Gambaran patologi dari CAA ini berupa deposisi protein amiloid pada tunika media dan tunika adventisia dari arteri leptomeningeal, arteriol, kapiler, dan yang jarang terjadi, pada vena (Vonsattel, 1991; Mandybur, 1978; Maruyama, 1990). Destruksi elemen pembuluh darah yang normal oleh deposisi amiloid pada tunika media dan adventisia dapat menyebabkan perdarahan intraserebral. Pembuluh darah yang sudah mengalami gangguan ini rentan untuk mengalami ruptur oleh trauma ataupun perubahan tekanan darah yang mendadak (Ueda, 1988). CAA juga berperan pada kelainan transient neurologic symptoms dan demensia akibat leukoencephalopathy (Greenberg, 1993).
Gambar 2.5. Gambaran skematis manifestasi iskemik dan hemoragik yang diakibatkan oteh sporadic CAA yang tampak pada MRI. (Charidimou, 2012)
CAA hampir selalu terjadi di daerah lobar. Deposisi amiloid di dalam pembuluh darah kortikal semakin meningkat seiring pertambahan usia. Pada individu berusia 60 hingga 69 tahun, hanya 5% sampai 8% yang memiliki amyloid angiopathy dibandingkan dengan 57%
Universitas Sumatera Utara
sampai 58% pada individu yang berusia diatas 90 tahun. Deposisi ini lebih sering dijumpai di daerah parietal dan occipital, dan jarang terjadi di daerah basal ganglia, batang otak, atau serebelum. Okazaki dan Whisnant (1983) melaporkan bahwa amyloid angiopathy terjadi pada 5 dari 17 individu yang berusia 65 tahun ke atas yang mengalami perdarahan intraserebral, dan Drudy dan kawan-kawan melaporkan bahwa separuh dari perdarahan intraserebral yang dialami oleh individu yang berusia 65 tahun ke atas memiliki perdarahan lobar. Sifat rekurensi dan multifokal yang dimiliki oleh CAA ini menjadi ciri khusus yang membedakan jenis perdarahan ini dengan perdarahan yang disebabkan oleh hipertensi, yang jarang sekali terjadi berulang. Hill (2000) melaporkan pasien dengan perdarahan lobar memiliki 4 kali mengalami perdarahan berulang di lokasi lobar. 2.6.3 Apolipoprotein E dan CAA Beberapa penelitian menyebutkan peranan genotip apolipoprotein Eε2 (ApoE2) (setidaknya satu alel ApoE2) dan genotip apolipoprotein Eε4 (ApoE4) pada perdarahan intraserebral yang berkaitan dengan CAA. Greenberg melaporkan bahwa dan 45 kasus perdarahan lobar yang dikumpulkan di Massachusetts dibandingkan dengan 1899 population based controls dari Iowa, kasus perdarahan lobar memiliki prevalensi dua kali lipat memiliki ApoE4 dibandingkan kontrol tersebut. Individu yang memiliki carrier alel ApoE4 memiliki kecenderungan untuk mengalami serangan perdarahan pertama kali 5 tahun lebih awal dibandingkan individu yang non-carrier. Nicoll et al melaporkan bahwa diantara 36 pasien yang telah dikonfirmasi atau probable memiliki CAA secara patologi, ApoE4 memiliki faktor risiko mengalami penyakit Alzheimer, tetapi bukan merupakan faktor risiko independen untuk perdarahan yang disebabkan oleh CAA. Para peneliti ini melaporkan 42% kasus CAA
Universitas Sumatera Utara
memiliki ale ApoE2. Skema patofisiologi peranan genotip apolipoprotein E yang berkaitan dengan CAA menyebabkan terjadinya PIS, dapat dilihat pada gambar 2.6.
Gambar 2.6. Peranan produksi Amyloid-β(Aβ) dan ApoE dalam kejadian PIS (Charidimou A, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan diagram diatas ditemukan bahwa sumber utama dari Aβ berasal dart sel neuron. Produksi Aβ diawali dengan pelepasan protein prekursor amiloid (APP) oleh sekretase β- dan γ sesuai dengan proporsi aktivitas neuron. Aβ dieliminasi oleh otak melalui Empat jalur utama: (a) degradasi proteolitik oleh endopeptidase (seperti neprilysin dan insulin degrading enzyme (IDE)); (b) pembersihan yang dimediasi oleh reseptor di sel pada parenkim otak (microglia, astrosit dan sebagian kecil oleh neuron); (c) transport aktif kedalam darah melalui sawar darah otak; (d) eliminasi di sepanjang jalur perivaskuler dimana cairan interstisial mengalir ke otak. Carrier khusus (seperti ApoE) dan/ atau mekanisme transport reseptor (seperti low density lipoprotein receptor (LDLR) dan LDLR related protein (LRP1)) terlibat pada seluruh jalur pembersihan selular utama. Deposisi vaskular difasilitasi oleh faktor-faktor yang meningkatkan rasio Aβ40:Aβ42 (peningkatan Aβ42 menyebabkan oligomerisasi dan pembentukan plak amiloid). Apabila proses pembersihan ini gagal karena misalnya faktor usia, Aβ akan terjebak dan tidak terdrainase di jalur perivaskuler ke dalam membrane basalis kapiler atau arteriol otak yang menyebabkan terjadinya CM. Alel ApoE memiliki efek yang berbeda pada proses selular dan molecular pembentukan AO. (8) Peranan dari alel ApoE yang berbeda pada berbagai jalur di otak yang berperan pada pathogenesis terjadinya CM (Charidimou A, 2012). 2.6.4
Koagulopati
dan
perdarahan
intraserebral
pasta
terapi
trombolitik Koagulopati baik disebabkan oleh kelainan kongenital maupun akibat efek samping pengobatan,
berhubungan
dengan
terjadinya
perdarahan
intraserebral.
Penggunaan
antikoagulan Coumadin memiliki peningkatan risiko 6 hingga 11 kali lipat terjadinya perdarahan intraserebral spontan. Petty et al melaporkan bahwa risiko terjadinya perdarahan intraserebral meningkat dan waktu ke waktu dari 1% pada 6 bulan, menjadi 7% pada 2 hingga
Universitas Sumatera Utara
3 tahun pengobatan. Meskipun dosis obat yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan risiko perdarahan, kebanyakan kasus perdarahan terjadi pada rentang dosis standar. Riwayat stroke atau trauma kepala sebelumnya tidak jelas berhubungan dengan perdarahan akibat koagulopati. Perdarahan intraserebral akibat terapi trombolitik 20% terjadi di luar distribusi vaskular yang terlibat stroke iskemik. Gebel melaporkan bahwa 77% perdarahan intraserebral akibat terapi trombilitik terjadi di daerah lobar. Perdarahan akibat terapi trombolitik terjadi soliter pada 66% kasus, konfluens pada 80% kasus, dan menunjukan gambaran blood-fluid level pada 82% kasus. Pfleger (1994) melaporkan bahwa gambaran blood-fluid level 98% spesifik untuk adanya PT atau APTT yang tidak normal. 2.6.5 Perdarahan akibat infark serebri Infark serebri memiliki risiko terjadi perdarahan intraserebral sebesar 5 hingga 22 kali lipat. Hubungan yang erat antara infark dengan perdarahan intraserebral tidak mengherankan, karena kedua kelainan ini memiliki faktor risiko yang sama, yakni hipertensi. Pada penelitian di Greater Cinninati, 15% pasien yang mengalami perdarahan intraserebral memiliki riwayat stroke sebelumnya. Woo (2002) juga melaporkan bahwa 13% dari seluruh perdarahan intraserebral disertai faktor risiko stroke iskemik. 2.6.6 Hipokolesterolemia Hipokolesterolemia merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan intraserebral dibandingkan individu yang memiliki kadar kolesterol yang normal. Analisis multivariat yang dilaporkan oleh (Giroud, 1995) di Dijon, Perancis, faktor risiko yang signifikan pada perdarahan intraserebral adalah hipertensi dan kadar kolesterol yang rendah. (Okumura, 1999) juga melaporkan bahwa kadar kolesterol yang rendah juga merupakan faktor risiko yang signifikan pada pria, dan tidak signifikan secara statistik pada wanita. (Segal, 1999)
Universitas Sumatera Utara
melaporkan bahwa 47% kasus perdarahan intraserebral yang letaknya dalam memiliki kadar kolesterol yang rendah dibandingkan dengan 27% pada kasus perdarahan lobar. 2.6.7 Konsumsi alkohol Beberapa penelitian melaporkan bahwa konsumsi alkohol yang berlebihan merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya perdarahan intraserebral (Caicoya, 1999) melaporkan bahwa mengkonsumsi alkohol lebih dari 140g per hari memiliki OR 6.2 (CI:1.324.0) terhadap terjadinya perdarahan intraserebral. Monforte melaporkan hubungan ini paling signifikan terjadi pada perdarahan lobar. Pada penelitian Greater Cincinnati, multivariate OR untuk konsumsi alkohol yang berlebihan (>2 gelas per hari) terhadap terjadinya perdarahan lobar adalah 5.3 (CI: 1.4-20). Woo et al melaporkan bahwa 8% seluruh perdarahan lobar disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan. 2.7 Morbiditas dan Mortalitas Beberapa penelitian terakhir menunjukkan angka mortalitas yang lebih rendah dari penelitian sebelumnya, yaitu dengan mortalitas 30 hari sebesar 18%. Pada penelitian sebelumnya berkisar antara 23%-58% (Wijdicks, 2004; Qureshi, 2001; Lisk, 1994; Broderick, 1993; Mayer, 2008; Naidech, 2009; Becker, 2001). PIS score adalah skala yang valid dalam menentukan prognosis dari suatu PIS. Dikarenakan skala ini menggabungkan antara besar hematoma, GCS, ada atau tidak PIV dan usia pasien. Becker mengatakan bahwa variabel terpenting untuk menentukan outcome dan suatu PIS adalah tingkat dari dukungan medis yang disediakan. Persepsi dari kegagalan terapi agresif mengarah pada pemberhentian awal dukungan medis, yang mana PIS nya sedikit menyerupai PIS pada pasien yang ditangani secara pembedahan (Becker, 2001), Ini mungkin menjadi penelitian yang bernilai apabila PIS pasien mempunyai hasil akhir yang lebih baik pada volume tinggi yang sering kali diterapi dengan medis dan pembedahan, suatu fenomena yang ditunjukkan pada penanganan
Universitas Sumatera Utara
pembedahan aneurisma yang belum pecah (Barker, 2003). Dilaporkan mortalitas 30 hari tertinggi pada PIS adalah yang berlokasi pada basal ganglia, yaitu sekitar 50%. Kemudian disusul oleh perdarahan thalamus sekitar 23%. Perdarahan serebellum 16% dan perdarahan lobar dan pons adalah PIS yang memiliki angka mortalitas terendah yaitu 13%, dan outcome jangka panjang yang baik (Cheung, 2003) (Salvati, 2001). Salah satu yang diperdebatkan dalam manajemen post PIS jangka panjang ialah mengenai penggunaan antikoagulan. Pada suatu penelitian, data epidemiologis dari literatur medis digunakan untuk mendapatkan model Markov-state transition decision. Keberhasilan terapi diukur dengan kualitas angka harapan hidup (Eckman, 2003). Peneliti menemukan bahwa pada pasien dengan lobar PIS sebelumnya menunda penggunaan antikoagulan akan menghasilkan outcome lebih baik bagi kualitas angka harapan hidup sebanyak 1,9 kali. Sebaliknya, pada pasien dengan deep interhemispheric PIS, dikarenakan rendahnya risiko recurrent PlS akibat ketiadaan amyloid angiopathy, sebaiknya tidak diberikan antikoagulan untuk keadaan fibrilasi atrium non katup, namun antikoagulan disertai aspirin tetap diberikan apabila terdapat risiko moderat-tinggi kejadian trombo-emboli dan ditambah coumadin bila risiko tersebut sangat tinggi. ASA Stroke Council (Broderick, 2007) dan EUSI guidelines (Steiner, 2006) merekomendasikan antikoagulan warfarin bagi pasien yang memiliki katup jantung buatan selama 7-14 hari setelah onset PIS (Butler, 1998). Angka rekurensi PIS diperkirakan 2,4% per tahun, dan 3,8 kali lipat lebih tinggi setelah lobar PlS cerebral amyloid angiopathy dibandingkan dengan hypertensive deep PIS (Hill, 2000). Faktor yang berperan sebagai prediktor positif perdarahan berulang yaitu usia diatas 65 tahun dan jenis kelamin pria (Vermeer, 2002). Volume perdarahan juga memegang peranan terhadap prognosis pasien dengan PIS secara signifikan. Meskipun demikian, volume perdarahan pada PIS pada daerah yang dalam dan pada lobar memiliki prognosis yang berbeda, dikarenakan perdarahan pada bagian dalam
Universitas Sumatera Utara
lebih tidak dapat menolerir adanya perdarahan yang luas. Hematoma dibagi menjadi perdarahan kecil (≤30cm3), sedang (30-60 cm3), dan luas (≥ 60 cm3). Mortalitas 30 hari pada hematoma yang kecil, sedang dan luas adalah 23%, 60%, dan 71% untuk perdarahan lobar, dibandingkan dengan 7%, 64%, dan 93% untuk hematoma pada daerah otak yang dalam (Broderick, 1993). Secara keseluruhan mortalitas 30 hari untuk lobar hematoma adalah 39% dan 48% untuk hematoma yang dalam. Volume perdarahan juga berhubungan dengan terjadinya perdarahan ulang. Pada salah satu penelitian retrospektif menyebutkan bahwa perdarahan ulang pada PIS dengan volume <25 cm3adalah 39% dibandingkan dengan volume perdarahan >25 cm3 yaitu 23% (Kazui S, 1997). 2.8 Diagnosis Meskipun diagnosis dari stroke dapat ditentukan dengan berdasarkan gejala klinis dan faktor risiko, diagnosis pasti haruslah melalui radio imejing. Dengan radio imejing dapat ditentukan ada tidaknya perdarahan, luas perdarahan dan lokasi perdarahan, dan bahkan dapat memprediksikan penyebab terjadinya perdarahan. CT scan adalah modalitas pertama untuk diagnostik dari PIS. Dikarenakan CT dapat mudah diulangi dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Pada CT scan akan ditemukan PIS berupa lesi hiperdense (putih) pada intrakranial jika perdarahan masih pada fase akut. Seiring waktu clot akan lisis dan akan memberikan gambaran yang lebih gelap dari fase akut. Pada fase kronis perdarahan akan memberikan gambaran hipodense yang mirip seperti CSF. Selain untuk melihat perdarahan intraserebral CT juga dapat menampilkan perdarahan intraventrikular dan ada atau tidaknya hidrosefalus. Jika terdapat lesi lain, tindakan bedah akan menjadi berbeda. Beberapa teknik dapat digunakan untuk mengukur volume dari hematom. Salah satunya dengan metode computed planimetric measurement. Yaitu dengan menggunakan alat bantu komputer yang dilengkapi dengan neuronavigasi (BrainLab®). Data gambar CT scan
Universitas Sumatera Utara
diubah formatnya dengan menggunakan software khusus untuk perencanaan navigasi (Iplan® Cranial software). Hematoma didelineasi pada setiap potongan dengan menggunakan software yang dapat melakukan brush atau smart brush. Kemudian volume perdarahan akan dikalkulasi oleh software tersebut dan disajikan dalam cm3. Tetapi pada keadaan emergensi, hal ini sulit untuk dilakukan. Volume perdarahan juga dapat diukur dengan menggunakan rumus volume elipsoid yang dimodifikasi, yaitu (A x B x C)/2. A dan B adalah merupakan diameter hematoma terbesar yang saling tegak lurus, dan C adalah jumlah dari slice yang terdapat hematoma dikalikan dengan ketebalan slice (Kothari, 1996). Pada penelitian Kothari didapati bahwa volume PIS dapat diestimasi dengan menggunakan rumus (AxBxC)/2 secara akurat, dengan mengkorelasikannya terhadap computed planimetric measurement. Penting untuk mengetahui volume perdarahan, dikarenakan volume perdarahan berhubungan dengan prognosis dari suatu PIS seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Perdarahan intraventrikular dapat terlihat dengan adanya gambaran hiperdens di dalam sistem ventrikel. Perdarahan ini bisa meliputi salah satu ventrikel ataupun seluruh sistem ventrikel. Jika ventrikel tidak terisi penuh oleh darah, dapat dilihat gambaran fluid level dari hematom. Hal ini penting diperhatikan untuk membedakan perdarahan dari kalsifikasi plexus choroid, dikarenakan keduanya menampilkan gambaran hiperdens pada intraventrikular. Hidrosefalus dapat dilihat dari CT scan dengan menampilkan gambaran dilatasi dari sistem ventrikel (ventrikulomegali). Ventrikulomegali ditentukan dengan menggunakan ratio evans. Ratio evans adalah perbandingan jarak kedua frontal horn ventrikel lateral dengan jarak biparietal terjauh. Dikatakan ventrikulomegali jika ratio evans lebih dari 30%. MRI lebih sensitif dari CT untuk melihat keadaan intrakranial, tetapi memerlukan waktu yang lebih lama sehingga sulit untuk melakukannya berulang-ulang. MRI tidak
Universitas Sumatera Utara
dianjurkan untuk tindakan screening. Dan juga biayanya relatif lebih mahal dan CT scan. Tetapi dengan MRI dapat melihat etiologi yang menyebabkan terjadinya PIS. Seperti ditemukannya gambaran tumor, malformasi serebrovaskular dan aneurisma. Tetapi MRI tetap merupakan pilihan diagnostik sekunder setelah CT. Serebral angiogarafi diperlukan untuk lesi yang disangkakan akibat gangguan vascular, seperti AVM atau aneurisma. Dengan ditemukannya CT-angiografi dan MRA, penemuan lesi vaskular tanpa terpapar risiko angiografi dapat dihindari. Dan MRA maupun CTA dapat dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi lesi bilamana diperlukan operasi emergensi. 2.9 Penatalaksanaan Perdarahan Intraserebral Spontan 2.9.1 Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan terbaik untuk perdarahan intraserebral spontan masih menjadi perdebatan. Terapi medikamentosa, tindakan bedah ataupun kombinasi dari keduanya masing masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tetapi inti penatalaksanaan PIS adalah untuk memperbaiki fungsi neurologis, dengan menyelamatkan penumbra di sekitar PIS. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa penumbra yang mengelilingi suatu hematoma mengandung sel saraf yang hampir rusak dan kadang masih reversibel. Pada PIS jaringan otak akan ditekan oleh hematoma yang keluar dari pembuluh darah. Pada penelitian Bullock dkk. (1984) terhadap hewan percobaan menyebutkan penekanan tersebut akan menyebabkan terjadinya edema, iskemik, dan nekrosis pada batas dari clot. Bahkan volume dan penumbra ini dapat melebihi dan volume perdarahan. Sehingga kemungkinan defisit neurologis yang disebabkan oleh adanya penumbra akan bersifat reversibel jika penumbra berhasil diselamatkan. Studi SPECT dapat menampilkan gambaran jaringan penumbra menunjukkan iskemia reversibel.
Universitas Sumatera Utara
Seluruh pasien PIS dirawat di ICU neurologi. Infus terpasang dan tekanan darah sistolis dipertahankan antara 100-140 mmHg menggunakan obat antihipertensi intra vena Selain itu, pasien juga diberikan manitol dan obat antiepileptik, pemasangan EVD, serta untuk proteksi penumbra dilakukan kontrol gula darah, suhu, dan pemberian obat hemostatik untuk mencegah perdarahan ulang. Dikarenakan beberapa kasus kegagalan manitol menurunkan ICP dan efek rebound, maka dikembangkan agen osmolar baru berupa larutan garam hipertonis 23,4% , yang dapat diberikan secara bolus 30 cc. Efek penurunan ICP bertahan hingga 15 jam. Studi random masih diperlukan untuk obat altematif ini. EVD dipasang pada kasus PIS yang disertai dengan PIV yang berujung pada hidrosefalus obstruktif. Untuk mencegah clot diberikan 5 mg tPA 2 kali/hari i.v sesuai dengan penelitian sebelumnya (Goh, 1998). Setelahnya EVD ditutup selama 30 menit jika ICP tidak naik, untuk mencegah tPA keluar dan ventrikel. PIS sering diikuti oleh kejang, sekitar 5-10% pada perdarahan supratentorial (Passero,2002). Dikarenakan kejang dapat meningkatkan tekanan intrkranial, maka pemberian obat antiepileptik profilaksis dianjurkan (Broderick , 1999).Demam sering terjadi pada PIS, ditemukan 90% pada perdarahan supratentorial. Dan semakin sering dan parah pada perdarahan intrventrikular. Demam dapat menyababkan outcome jangka panjang yang buruk. Untuk itu, demam harus diturunkan secara agresif dengan menggunakan asetaminofen ataupun kompres dingin hingga temperatur ≤ 37,50C (Schwarz, 2000). Pada perdarahan intraserebral dapat terjadi hiperglikemia baik pada pasien nondiabetik maupun dengan penyakit diabetes. Dan hiperglikemia juga merupakan predictor outcome yang buruk bagi pasien diabetik maupun nondiabetik (Passero, 2003). Untuk mengontrol kadar gula darah diberikan insulin intravena dengan menggunakan syringe pump hingga kadar
Universitas Sumatera Utara
gula darah dipertahankan 80-110 mg/d1. Pada penelitian Van den Berghe G dkk. (2006) mengemukakan bahwa dengan pengontrolan kadar gula darah yang ketat dapat mengurangi angka mortalitas terutama yang disebabkan sepsis dan kegagalan beberapa organ. Terapi hemostasis dapat diberikan untuk mencegah terjadinya pertambahan perdarahan ataupun perdarahan ulang beberapa jam setelah serangan. Pada pasien dengan koagulopati diberikan FFP, prothrombin complex concentrate dan faktor IX. Terapi pengganti faktor VIII dan IX diberikan pada pasien dengan hemofilia A dan B. Cryoprecipitate diberikan pada pasien dengan hipofibrinogenemia. Dan Desmopressin Diacetate Arginine Vasopressin (ddAVP) diberikan pada pasien gangguan trombosit. Pada PIS juga dapat diberikan neuroprotektor, yang berguna untuk melindungi penumbra disekitar hematoma. Neuroprotektor yang telah terbukti secara klinis adalah GABA antagonist
muscimol
dan
NMDA
receptor
antagonists
MK801
dan
D-(E)-4-(3-
phodphonoprop- 2-enyl)-piperazine-2-carboxylic acid (D-CPP-ene). Obat-obatan ini telah terbukti mengurangi edema dan melindungi white matter pada hewan percobaan (Mendelow, 1993). 2.9.2 Tindakan Pembedahan pada Perdarahan Intraserebral Spontan Terdapat beberapa bukti eksperimental yang menyatakan bahwa evakuasi hematoma yang dilakukan segera dapat memperbaiki cerebral blood flow (CBF), perubahan histologis, edema serebri, iskemia, dan outcome. Lia kematian pada perdarahan intraserebral terjadidalam 48 jam setelah onset dan pertambahan volume atau rebleeding terjadi maksimal dalam 3 hingga 4 jam dan terus berlangsung hingga 24 jam setelahnya. Oleh sebab itu, tindakan operasi dapat meningkatkan outcome. Beberapa bukti klinis juga mendukung tindakan operasi yang segera. Salah satu cabang dan arteri lentikulostriata yang ruptur dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan hematoma hipertensif yang bermakna. Tindakan
Universitas Sumatera Utara
koagulasi pada pembuluh darah tersebut yang dilakukan dengan segera dapat menguntungkan. Eksaserbasi terjadi tiba-tiba dan kebanyakan terjadi pada 4 hingga 6 jam setelah onset perdarahan, evakuasi sebelum periode waktu tersebut dapat mencegah terjadinya perburukan klinis. Oleh karena perubahan sekunder seperti edema otak terjadi dalam 7 hingga 8 jam setelah perdarahan, maka tindakan evakuasi sebelum periode waktu tersebut dapat mencegah terjadinya perubahan sekunder tersebut. Kaneko dan kawan-kawan melakukan pengamatan pada 100 perdarahan putaminal yang dilakukan operasi dalam 7 jam setelah onset. Seluruh pasien mengalami hemiplegia, dengan skor GCS berkisar antara 6 hingga 12 dan volume hematoma diatas 20 hingga 30 cm3. Mortalitas mencapai 7% dan useful recovery dalam 6 bulan mencapai 83%. Dua pasien meninggal akibat eksaserbasi yang terjadi sangat cepat sebelum tindakan operasi dilakukan, dan dua pasien yang lain meninggal akibat reakumulasi hematoma. Hasil penelitian ini menunjukan hasil yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan kasus serial yang dilaporkan oleh Yukawa dan Kanaya, yang tidak menekankan tindakan operasi segera pada perdarahan intraserebral (28.6% angka mortalitas dan 62.8% angka useful recovery). Pasienpasien dalam kelompok penelitian Kaneko dan kawan-kawan menunjukan nilai neurologis preoperatif yang lebih baik, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan operasi yang segera ini dapat menghentikan proses perburukan lebih lanjut. Dalam penelitian tersebut tidak dimasukkan pasien-pasien dengan skor GCS 13 dan volume hematoma antara 20 cm3 hingga 30 cm3. Hasil penelitian tersebut diatas juga didukung oleh analisis retrospektif pada kelompok pasien dengan hematoma putaminal yang berukuran sedang. Pada penelitian prospektif yang dilakukan oleh Juvela dan kawan-kawan, 52 pasien dengan skor GCS antara 7 hingga 10 tidak memperoleh keuntungan dari tindakan operasi yang dilakukan setelah 24 jam. Tindakan operasi dapat memperbaiki angka mortalitas apabila dilakukan dalam 13 jam.
Universitas Sumatera Utara
Medical Research Council dan Stroke Association mendanai proyek penelitian Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage (STPIS) yang dilakukan pada tahun 1998. Penelitian tersebut merupakan penelitian prospektif dan randomized yang membandingkan tindakan operatif yang segera dengan pengobatan konservatif pada penderita perdarahan intraserebral spontan. Tindakan operasi yang dilakukan dalam 24 jam dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Analisis didasari oleh intention-to-treat basis. Pada 6 bulan, 468 pasien diacak untuk dilakukan tindakan operasi segera, dan 122 (26%) menunjukkan favorable outcome dibandingkan dengan 118 (24%) dari 496 pasien yang diacak memperoleh pengobatan konservatif (OR, 0.89 [95% CI, 0.66 hingga 1.19]; p= ,414). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa tidak dijumpai overall benefit dari tindakan operasi yang dilakukan segera dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Tetapi setelah dilakukan analisis yang seksama pada CT scan kelompok pasien yang dimasukan dalam penelitian STPIS ini, ada 42% pasien yang memiliki perdarahan intraventrikular. Telah diketahui bahwa pasien yang memiliki perdarahan intraventrikel baik mengalami hidrosefalus atau tidak, memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang hanya memiliki perdarahan intraserebral saja. Apabila kelompok pasien ini dikeluarkan dari penelitian ini dan menambahkan kelompok pasien dengan hematoma yang letaknya di superfisial menunjukan manfaat yang lebih baik pada tindakan operasi. Apabila penilaian prognosis yang digunakan adalah Rankin score pada subgroup pasien tersebut, maka menunjukkan hasil yang lebih baik pada kelompok yang memperoleh tindakan operasi (p=013). Analisis yang dilakukan lebih lanjut oleh Auer dan kawan-kawan dan Teemstra dan kawan-kawan mendukung hipotesis bahwa subgroup pasien dengan perdarahan lobar memperoleh manfaat yang lebih baik apabila dilakukan tindakan operatif yang segera. Perdarahan yang terjadi di serebelum atau di dekat batang otak, dianjurkan untuk dievakuasi apabila diameternya diatas 3 cm. Perdarahan serebelum cenderung berkembang
Universitas Sumatera Utara
cepat menyebabkan perburukan neurologis atau kematian karena letaknya dekat dengan batang otak. Pada penderita dengan GCS 13 atau kurang dengan perdarahan 4 ml atau lebih perlu dilakukan evakuasi. Beberapa penulis lain lebih menekankan beberapa sindroma serebelar dan saraf kranial sebagai dasar untuk pengambilan keputusan operasi di samping kriteria radiologis diatas. 2.9.3 Teknik operasi pada perdarahan intraserebral spontan Meskipun Chushing merupakan manusia yang sukses pertama kali melakukan craniotomy untuk mengevakuasi hematoma intraserebral, beberapa ahli bedah setelahnya secara sporadis juga berhasil dalam operasi intraserebral hematoma, bahkan meliputi perdarahan intrakranial akibat trauma maupun spontan (Penfield,1933) (Bagley,1932) (Doughty, 1938). Pada tahun 1932, Bagley pertama kali mendeskripsikan indikasi evakuasi berdasarkan lokasi hematoma. Pada tahun 1961, McKissock dan kawan-kawan mempublikasikan sikap pesimistik terhadap tindakan operasi pada perdarahan intraserebral spontan. Mereka melaporkan angka mortalitas sebesar 51% pada 244 pasien yang dilakukan operasi dan mortalitas 100% pada pasien yang koma. Mortalitas setelah tindakan operasi dilaporkan bervariasi pada penelitianpenelitian berikutnya berkisar antara 20% hingga 90% pada penderita koma dengan perdarahan ganglionik dan thalamik yang lokasinya dalam. Berdasarkan hasil penelitian yang saling kontroversial tersebut, kemudian muncul beberapa teknik minimal invasive seperti tindakan aspirasi sederhana, aspirasi menggunakan stereotaktik, pengobatan menggunakan fibrinolitik, aspirasi mekanik, dan endoskopi. Kraniektomi dekompresi tanpa melakukan evakuasi clot juga dapat memberikan hasil klinis yang baik pada perdarahan basal ganglia. Heuts dkk. (2013) melakukan penelitian
Universitas Sumatera Utara
terhadap pasien dengan basal ganglia yang dilakukan hemikraniektomi dekompresi tanpa evakuasi clot dan didapati mortalitas 6 bulan sebesar 20%. (Simon G. 2013) Secara keseluruhan teknik operasi yang dipakai pada penatalaksanaan tindakan bedah pada perdarahan spontan basal ganglia meliputi: evakuasi clot dengan open surgery dan endoscopy atau hanya kraniektomi dekompresi tanpa evakuasi clot. 2.10 Modified Intracerebral Hemorrhage Score Modified Intracerebral Hemorrhage Score (MICH Score) merupakan skala modifikasi dari ICH score hemphill yang dibuat oleh Cho dkk. (2008). MICH score ini dipakai sebagai skala pengambilan keputusan tindakan untuk perdarahan spontan basal ganglia, apakah perlu dilakukan tindakan operasi atau hanya terapi konservatif. MICH score ini berbeda dengan ICH score, dikarenakan ICH score hanya untuk menentukan prognosis tetapi tidak untuk pilihan terapi. MICH score terdiri dari beberapa komponen, meliputi GCS, volume perdarahan dan ada atau tidak terdapat PIV atau hidrosefalus. Setiap komponen akan diberikan nilai. Akumulasi dari seluruh nilai komponen inilah yang disebut MICH score. Komponen GCS pada MICH score terbagi kedalam 3 kelompok nilai. GCS 15 - 13 bernilai 0, GCS 12 - 5 bernilai 1, dan GCS 4 - 3 bernilai 2. Pembagian kelompok GCS ini dibuat berdasarkan keriteria GCS PIS score hemphill. Volume perdarahan dibagi kedalam 3 kelompok, yaitu kelompok dengan volume perdarahan 20 ml, volume perdarahan 21 - 50 ml, dan volume perdarahan ≥ 51 ml. Kelompok ini juga dibuat berdasarkan penelitian Hemphill. Volume perdarahan dihitung dengan menggunakan rumus AxBxC/2 seperti yang disebutkan sebelumnya. Nilai dari setiap
Universitas Sumatera Utara
kelompok secara berurutan adalah: volume perdarahan ≥ 20 ml bernilai 0, volume perdarahan 21 - 50 ml bernilai 1,dan volume perdarahan ≥ 51 ml bernilai 2. Komponen terahir adalah ada atau tidaknya PIV atau hidrosefalus. Jika terdapat PIV atau hidrosefalus bernilai 1, dan jika tidak terdapat PIV atau hidrosefalus bernilai 0. Tabel 2.1 MICH score. Komponen GCS • 15-13 • 12-5 • 4-3 Volume PIS • < 20 ml • 21-50 ml • > 51 ml PIV / Hidrosefalus • Ada • Tidak ada Total MICH score
Nilai 0 1 2 0 1 2 0 1 0-5
Cho dkk. meneliti 226 pasien dengan perdarahan basal ganglia. Kemudian pasien dibagi kedalam 2 kelompok, kelompok yang diterapi dengan terapi bedah dan kelompok yang diterapi dengan konservatif. Mereka meneliti hasil akhir klinis pada kedua kelompok dengan melihat GOS dan Barthel index selama satu tahun. Penelitian ini dianalisis dengan chi-square test dan Student's t-tests. Cut-off MICH score dikalkulasi dengan menggunakan youden index. Hasil penelitian menunjukkan terapi konservatif menunjukkan angka barthel index yang lebih baik pada MICH score 0 dan 1 dibandingkan dengan terapi bedah. Pada MICH score 2 tindakan bedah menunjukkan hasil akhir klinis yang lebih baik dari tindakan konservatif. Dan pada MICH score 3 dan 4 menunjukkan bahwa terapi bedah menurunkan tingkat mortalitas yang signifikan. Tetapi pada MICH score 5 pasien yang mendapat terapi konservatif maupun terapi bedah semuanya meninggal. Hasil penelitian ditunjukkan seperti pada grafik dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7. Grafik mortalitas pasien kelompok konservatif dibandingkan dengan kelompok pembedahan (Chou, 2008). 2.11 KERANGKA TEORI Hipertensi Merokok Hiperkolesterolemia Konsumsi alkohol Pemakaian Anti Koagulan
Perdarahan Intraserebral Spontan (PIS)
Edema Perihematoma
Komorbid: • • • • •
Usia DM Koagulopati Uremia Sirosis Hati
Perdarahan intraventrikular (PIV)
Vol darah
Peningkatan TIK
Herniasi Otak
GCS
Hidrosefalus
MICH Score
Operatif Konservatif
Mortalitas
Gambar 2.8. Diagram Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara