BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kepemimpinan Winston dan Petterson (2006) mendefinisikan kepemimpinan yaitu satu
atau banyak orang yang memilih, melengkapi, melatih dan mempengaruhi satu atau banyak pengikut yang memiliki keterampilan-keterampilan, anugerahanugerah dan kemampuan-kemampuan beragam dan memfokuskan pengikut kepada misi-misi dan sasaran-sasaran organisasi sehingga pengikut tersebut rela dan secara bersemangat mengeluarkan energi fisik, emosional dan spiritualnya dalam sebuah usaha yang dikoordinasikan secara terpusat untuk mencapai misi dan sasaran-sasaran organisasi. Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi individu atau kelompok menuju pencapaian sasaran (Robbins; 2006), sedangkan menurut Siagian (2008), kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang mau melakukan kehendak pemimpin. Yuki (2007) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi orang lain untuk memahami dan menyepakati apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya dan proses membantu usaha-usaha individual dan kolektif untuk memenuhi sasaran-sasaran bersama. Sedangkan Northouse dalam Yuki (2007) mendefinisikan kepemimpinan yaitu suatu proses dimana seseorang mempengaruhi kumpulan individu-individu untuk mencapai sasaran-sasaran bersama.
15
16
Sedangkan menurut Lyne van der (2009) telah mendefinisikan kepemimpinan yaitu suatu proses mengatur atau memobilisasi orang-orang dan sumber daya dalam pengejaran atau pencarian sasaran-sasaran tertentu dalam konteks otoritas institusional, legitimasi dan kekuasaan. Mencapai sasaran-sasaran tersebut dan mengatasi masalah-masalah tindakan kolektif yang secara bersamasama menghambat pencapaian, yang umumnya menuntut bangunan koalisi formal dan informal, kepentingan baik secara vertikal maupun secara horizontal. Definisi dari Lyne van der tersebut menekankan tiga hal penting yaitu bahwa (1) kepemimpinan menekankan adanya organisasi atau mobilisasi dari orang-orang dan sumber daya (ekonomi, politik dan orang lain) dalam pencarian tujuan tertentu, (2) kepemimpinan harus selalu difahami secara kontekstual, terjadi dalam sebuah konfigurasi kekuasaan, otoritas, dan legitimasi, dan dibentuk melalui sejarah, kelembagaan, sasaran dan kultur politik dan (3) kepemimpinan secara reguler melibatkan koalisi-koalisi informal dan formal, vertikal atau horizontal, dari para pemimpin dan elit, di dalam rangka untuk memecahkan masalahmasalah tindakan kolektif pervasif yang sebagian besar dapat menentukan tantangan-tantangan pertumbuhan dan pengembangan organisasi. Berdasarkan pada definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa komponen inti mengenai kepemimpinan. Beberapa diantaranya adalah (a) kepemimpinan adalah suatu proses, (b) kepemimpinan melibatkan mempengaruhi orang-orang lain, (c) kepemimpinan terjadi dalam konteks dalam suatu kelompok, (d) kepemimpinan melibatkan pencapaian sasaran dan (e) sasaran-sasaran tersebut terbagi melalui pemimpin dan bawahannya.
17
2.1.1. Peran Kepemimpinan Nilai penting dari kepemimpinan (leadership) dalam menyelenggarakan urusan-urusan dalam organisasi sudah lama menarik perhatian para ilmuwan (scientist) dan para praktisi. Hal ini karena istilah kepemimpinan sering diasosiasikan
dengan
orang-orang
yang
dinamis
dan
kuat,
orang
mengendalikan perusahaan baik besar maupun kecil, atau orang yang menentukan arah suatu negara (Nimran, 2004). Dalam
suatu
organisasi,
tempat
ditemukannya
kegiatan-kegiatan
kelompok, faktor kepemimpinan sangat diperlukan karena dengan adanya kepemimpinan, kegiatan kelompok menjadi terarah dan pencapaian tujuan menjadi lebih mudah dan efektif. Dengan kata lain, kepemimpinan merupakan syarat bagi berlangsungnya kehidupan kelompok atau organisasi yang sehat, sesuai dengan tujuan pembentukan organisasi. Kepemimpinan mengandung asasasas pokok yang perlu berada pada diri setiap pemimpin, di organisasi apapun dan pada level manapun dia berada. Gibson (2006) menyatakan peran kepemimpinan sangat besar untuk memotivasi
anggota
organisasi
dalam
memperbesar
energi
untuk
berperilaku dalam upaya mencapai tujuan kelompok. Tyson & Jackson (2001) menambahkan bahwa meskipun kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai pengaruh yang meliputi transaksi terus menerus antara pemimpin dan pengikut, beberapa ahli menganggap bahwa minimal ada tiga kondisi yang perlu dipuaskan jika kepemimpinan terjadi, yaitu (1) pemimpin harus menunjukkan penyebab terjadinya sesuatu; (2) hubungan antara perilaku pemimpin dan pengaruhnya
18
harus dapat diamati; serta (3) harus ada perubahan-perubahan yang riil dalam perilaku anggota organisasi dan dalam hasil akhir yang berikutnya sebagai konsekuensi tindakan pemimpin. Dalam kaitannya dengan prestasi yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin (Wexley & Yukl, 2003) menyatakan prestasi merupakan salah satu motif yang pasti dimiliki oleh seorang pemimpin. Para pemimpin yang mencetak prestasi biasanya memperoleh kepuasan bila berhasil menyelesaikan tugas yang menantang, bila meraih standar kinerja terbaik dan bila mengembangkan caracara yang lebih baik dalam melakukan sesuatu. Seorang individu yang ingin memimpin tetapi tidak punya kegairahan dalam meraihnya tidak mungkin sukses, baik dalam menciptakan maupun mengimplementasikan sebuah visi. Hampir semua literatur sepakat bahwa para pemimpin harus memiliki keinginan yang tinggi untuk meraih prestasi (Locke & Associates, 1997). Untuk bekerja dengan baik, seorang pemimpin harus terus menerus bekerja demi mencapai kesuksesan dan perbaikan karirnya. Pemimpin harus pula mempunyai ambisi yang kuat dalam meraih kemajuan karirnya dengan membuat divisi atau perusahaannya berkembang dan memperoleh keuntungan yang besar. Untuk menaikkan peringkatnya, para pemimpin umumnya mengambil langkah aktif dalam menunjukkan tekad serta keteguhannya. Gadot (2007) menambahkan dengan menyatakan ambisi memaksa pemimpin dalam menancapkan sasaran-sasaran yang berat dan menantang untuk dirinya sendiri maupun organisasi, serta mereka biasanya amat ambisius dalam kerja dan karir mereka.
19
Seorang pemimpin memerlukan ambisi untuk mencapai sasaran yang dihadapi, dan juga memerlukan sifat ambisius dalam bekerja. Hal ini ditambahkan Bass (1990) yang menyatakan para pemimpin memerlukan energi ekstra dalam mempertahankan tekadnya untuk meraih prestasi tinggi dan mampu mempengaruhi perilaku bawahannya dengan baik sehingga mendapatkan kemajuan dalam organisasinya. Masing-masing individu pemimpin harus mempunyai tingkat vitalitas fisik, mental dan emosional yang di atas rata-rata. Selain itu pemimpin harus memiliki keteguhan (tenacity), terus fokus pada sasaran ketika sedang mengalami berbagai rintangan. Para pemimpin tidak boleh lelah dalam segala aktivitasnya, terutama dalam menyampaikan visi mereka kepada bawahan agar bawahan bisa mengikuti perintah atau arahannya, karena jika sampai visi tidak dipahami dengan baik oleh bawahan, maka tujuan organisasi akan sulit untuk dicapai. Hal ini dipertegas lagi oleh Bass (1990) bahwa para pemimpin harus lebih tangguh dalam menghadapi rintangan dibandingkan bawahan, dan mereka harus mempunyai kapasitas untuk bekerja dengan sasaran yang jauh ke depan serta memiliki tingkat kemauan atau keteguhan hati dalam bekerja. Sikap tegar merupakan salah satu cara untuk meraih visi, untuk meraih sasaran bersama yang diinginkan . Studi dari Ghiselli (1964) dan Davis & Johnson (1987) paling banyak dipakai sebagai acuan untuk menelaah dari pendekatan sifat. Ghiseli memaparkan bahwa ada 6 aspek kepemimpinan, yaitu (1) kemampuan sebagai penyelia, (b) kebutuhan prestasi dalam pekerjaan, (3) kecerdasan, (4) ketegasan, (5) kepercayaan diri, dan (6) inisiatif. Sedangkan Davis dalam Reksohadiprodjo &
20
Handoko, (1997) merinci adanya 4 ciri/sifat yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi, yaitu (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keleluasaan hubungan sosial, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap hubungan manusiawi.
2.1.2. Pendekatan Teori Kepemimpinan Rivai (2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa teori yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji efektifitas kepemimpinan, yaitu: 1) Pendekatan Teori Sifat Teori sifat berusaha untuk mengidentifikasi karakteristik khas (fisik, mental/intelegensi, kepribadian) yang dimiliki seorang pemimpin dikaitkan dengan keberhasilan kepemimpinannya. Teori ini menekankan pada atributatribut pribadi dari pemimpin. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa beberapa orang merupakan pemimpin alamiah dan dianugerahi beberapa ciri yang tidak dipunyai orang lain seperti semangat dan energi yang tinggi, intuisi yang mendalam, pandangan masa depan yang baik dan memiliki kekuatan persuasif. Teori kepemimpinan ini menyatakan bahwa keberhasilan manajerial disebabkan karena memiliki kemampuan luar biasa dari seorang pemimpin. 2) Pendekatan Teori Perilaku Teori ini menekankan bahwa perilaku seseorang dapat menentukan keefektifan kepemimpinannya. Beberapa studi dilakukan oleh pendukung teori ini menemukan bahwa sifat-sifat pemimpin berpengaruh terhadap prestasi dan kepuasan dari pengikut-pengikutnya. Menurut Nawawi (2003) perilaku kepemimpinan nampak dari cara pengambilan keputusan, cara memerintah
21
(memberi instruksi), cara membimbing dan mengarahkan, cara menegakkan disiplin, cara mengendalikan dan mengawasi pekerjaan, cara memimpin rapat, cara menegur dan memberi hukuman. Model Grid manajerial yang dikembangkan oleh Blake dan Mounton (2001) mengidentifikasikan variasi gaya kombinasi antara orientasi hasil dengan orientasi orang, yang menghasilkan empat macam gaya, yaitu: (1) gaya kurang efektif yang ditandai dengan rendahnya hubungan dengan orang dan hasil, (2) gaya moderat yang ditandai dengan memperhatikan keseimbangan terhadap orientasi hubungan dengan orang dan hasil- hasil kerja pada tingkat yang cukup memuaskan, (3) gaya yang menekankan hasil kerja dengan mengorbankan orientasi pada hubungan orang, (4) gaya berorientasi tinggi terhadap pencapaian hasil kerja dan gaya yang tinggi terhadap hubungan sesama orang. Tannenbaum dan Schmidt (dalam Thoha, 2010) menyatakan ada dua bidang pengaruh yang ekstrem dalam hal perilaku kepimpinan seseorang yaitu bidang pengaruh pimpinan dan bidang kebebasan bawahan. Pada bidang pertama pemimpin menggunakan otoritasnya dalam gaya kepemimpinannya, sedangkan pada bidang kedua pemimpin menunjukkan gaya yang demokratis. 3) Pendekatan Situasional (Kontingensi) Pendekatan kontingensi atau disebut juga pendekatan situasional mengemukakan bagaimana gaya dan tindakan pimpinan dalam menghadapi situasi atau kondisi tertentu. Pendekatan situasional menekankan faktor konstektual yang mempengaruhi proses kepemimpinan. Variabel situasional yang penting seperti karakeristik bawahan, sifat pekerjaan pemimpin, jenis organisasi,
22
dan sifat lingkungan eksternal. Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang cocok dengan semua situasi, dan berusaha mencari jalan tengah antara pandangan yang mengatakan adanya asas-asas organisasi dan manajemen yang bersifat universal dengan pandangan yang berpendapat bahwa tiap organisasi adalah unik dan memiliki situasi yang berbedabeda sehingga harus dihadapi dengan gaya kepemimpinan tertentu. a. Teori Kontingensi Fidler. Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses dimana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan tingkat gaya kepemimpinan, kepribadian dan pendekatan pemimpin yang sesuai dengan kelompoknya. Model atau teori kontingensi Fiedler melihat bahwa kelompok efektif tergantung pada kecocokan antara gaya pemimpin yang berinteraksi dengan anggotanya, dengan kata lain bahwa tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi dari pemimpin dan bagaimana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu. Fiedler mengatakan bahwa ada 2 (dua) tipe variabel kepemimpinan, yaitu: Leader Orientation dan Situation Favorability. Leader Orientation diketahui dari skala semantik diferensial dari rekan yang paling tidak disenangi dalam organisasi (Least Preffered Co-worker disingkat LPC). LPC tinggi apabila pemimpin tidak menyenangi rekan kerja, sedangkan LPC rendah menunjukkan pemimpin yang siap menerima rekan kerja untuk bekerja sama. Skor LPC yang
23
tinggi menujukkan bahwa pemimpin berorientasi pada relationship, sebaliknya skor LPC yang rendah menunjukkan bahwa pemimpin berorientasi pada tugas. Hubungan antara LPC pemimpin dan efektivitas kepemimpinan tergantung pada sebuah variabel situasional yang rumit disebut “keuntungan situasional” atau “situational favorability”. Situation favorability adalah tolak ukur sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan situasi yang ditentukan oleh 3 (tiga) variabel situasi, yaitu: 1) Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi-hubungan (relational concept) pimpinan-anggota. Derajat baik buruknya hubungan antara pemimpin dan bawahan. 2) Kepemimpinan merupakan suatu proses struktur tugas. Derajat tinggi rendahnya strukturisasi, standarisasi dan rincian tugas pekerjaan. 3) Kepemimpinan merupakan kekuasaan jabatan untuk harus membujuk orang-orang lain untuk mengambil suatu tindakan. Derajat kuat/lemahnya kewenangan dan pengaruh pemimpin atas variabel-variabel kekuasaan seperti pemberian punish dan reward. b. Teori Situasional Hersey-Blanchard.
Model kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh HerseyBlanchard
menekankan
bahwa
pemimpin
harus
mengetahui
tingkat
kematangan pengikutnya dan menggunakan kepemimpinan yang sesuai dengan tingkatan tersebut. Kematangan atau maturity adalah bukan kematangan secara psikologis melainkan menggambarkan kemauan dan kemampuan anggota dalam melaksanakan tugas masing- masing termasuk
24
tanggung jawan dalam melaksanakan tugas tersebut juga kemauan dan kemampuan mengarahkan diri sendiri. Menurut Hersey dan Blanchard (1992) kepemimpinan situasional adalah didasarkan pada saling berhubungannya di antara hal-hal berikut: jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan, jumlah dukungan sosio-emosional yang diberikan oleh pimpinan, dan tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukan dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi atau tujuan tertentu. Untuk berperilaku efektif, selain harus mampu mengdiagnosis dan mengidentifikasi isyarat-isyarat yang terjadi di lingkungannya, seorang pemimpin juga harus mampu untuk melakukan adaptasi kepemimpinan terhadap tuntutan lingkungan dimana dia memperagakan kepemimpinannya. Kebutuhan yang berbeda pada anak buah membuatnya harus diperlakukan secara berbeda pula. c. Teori Jalur Tujuan (Path-Goal Theory). Model kepemimpinan jalur tujuan berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Teori kepemimpinan jalur sasaran (path-goal theory) ini dikembangkan oleh Robert House. Teori jalur sasaran menyatakan bahwa tugas pemimpin adalah mendampingi pengikut dalam meraih sasaran mereka dan memberikan pengarahan dan atau dukungan yang perlu untuk menjamin sasaran mereka selaras dengan sasaran keseluruhan kelompok atau organisasi. Namun efektivitas perilaku pemimpin jalur sasaran ditentukan oleh dua faktor situasional yaitu: 1) faktor kontingensi
25
bawahan meliputi aspek: lokus kendali (locus of control), pengalaman dan persepsi kemampuan, serta 2) faktor kontingensi lingkungan meliputi aspek: tugas, sistim otoritas, dan kelompok kerja. Robert House menggabungkan empat tipe atau gaya kepemimpinan yang utama yaitu: (1) kepemimpinan direktif yaitu pemimpin memberikan pengarahan yang spesifik, tidak ada partisipasi dari bawahan, (2) kepemimpinan suportif yaitu pemimpin memiliki sifat ramah, mudah didekati dan menunjukkan perhatian tulus untuk bawahan, (3) kepemimpinan partisipatif yaitu pemimpin meminta dan menggunakan saran dari bawahan, tetapi masih membuat keputusan, dan (4) kepemimpinan berorientasi pada prestasi yaitu pemimpin mengatur tujuan yang menentang bawahan untuk menunjukkan kepercayaan diri mereka akan mencapai tujuan dan memilki kinerja yang lebih baik. 2.1.3
Indikator Kepemimpinan Kepemimpinan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan teori sifat/
kepribadian seorang pemimpin yaitu teori Primal Leadership dari Goleman (2004) dengan indikator-indikator yaitu: kesadaran diri, kesadaran sosial dan pengelolaan diri, dengan penjelasan sebagai berikut : 1) Kesadaran diri, berarti kemampuan seorang pemimpin untuk mengelola
emosi diri yang mendalam, kekuatan dan keterbatasan diri, serta nilai-nilai dan motif-motif diri; 2) Pengelolaan diri, merupakan kemampuan yang dibutuhkan seorang
pemimpin untuk fokus dalam mencapai tujuan;
26
3) Kesadaran sosial merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk
berempati. (merasa peduli dengan bawahan). Pemilihan indikator kepemimpinan menggunakan pendekatan teori sifat dengan pertimbangan bahwa pemimpin dalam pembangunan di era globalisasi dituntut untuk senantiasa memiliki tingkat kepekaan yang tinggi, mampu menciptakan pembaharuan dalam segala aspek kehidupan organisasi. Seorang pemimpin
harus
memiliki
keterampilan
untuk
mempengaruhi
atau
menggerakkan perilaku orang lain mampu bekerja secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi. Seorang pemimpin dituntut untuk memahami perilaku-perilaku para pegawai yang menjadi wewenang dan menggerakkan sesuai dengan visi dan misi organisasi. Pemilihan indikator ini juga sesuai dengan situasi organisasi sektor publik yang dapat mewakili sifat atau kepribadian seorang pemimpin. 2.2.
Perilaku Kerja Perilaku kerja merupakan bagian yang berperan sangat penting dalam
kehidupan bekerja. Perilaku kerja merupakan tindakan dan sikap yang ditunjukkan oleh orang-orang yang bekerja. Menurut Prawirosentono (1999) perilaku adalah suatu karakteristik penting dari pribadi untuk melakukan kegiatan. Perilaku merupakan hasil gabungan dari berbagai faktor psikologis. Faktor-faktor psikologis tersebut merupakan hasil kombinasi dari faktor fisik, biologis, dan kondisi sosial yang mempengaruhi lingkungan kehidupan seseorang. Perilaku kerja menyangkut aktivitas individu pada suatu organisasi dalam mencapai tujuan organisasi. Hersey & Blanchard (1992) menyatakan perilaku pada dasarnya
27
berorientasi tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam suatu perencanaan yang mengikutkan seluruh komponen dalam organisasi atau paling tidak para pengambil keputusan yang ada dalam organisasi tersebut. Kast & Rosenzweig (2007) berpendapat perilaku adalah menunjukkan tingkah laku seseorang. Hal itu berarti perilaku adalah merupakan semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, baik untuk kepentingan dirinya maupun kelompoknya. Menurut Thoha (2002) perilaku adalah suatu fungsi dari interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Ini berarti bahwa seseorang individu dengan lingkungannya menentukan perilaku keduanya secara langsung. Pendapat berbeda dikemukakan oleh Schein (2004) yang menyatakan bahwa perilaku manusia adalah hasil yang kompleks dari maksud dan persepsi mengenai situasi yang ada sekarang dan asumsi-asumsi atau kepercayaan tentang situasi serta orang-orang yang berada dalam situasi itu. Pada gilirannya asumsi-asumsi itu didasarkan atas pengalaman di masa lampau, norma-norma kebudayaan dan apa yang diharapkan menurut ajaran orang lain. Perbedaan yang dikemukakan oleh Schein (2004) itu terletak pada perilaku yang dipengaruhi oleh faktor luar manusia, bukan oleh faktor yang inheren pada diri seseorang. Sementara Gibson, (2006) menyatakan perilaku adalah semua yang dilakukan oleh seseorang, sebagaimana sesuai dengan pendapat Robbins (2006) yaitu perilaku adalah tindakan tersebut yang cenderung dapat diamati dan diukur. Sigmund Freud (dalam Hersey & Blanchard, 1992) percaya bahwa tidak selamanya individu menyadari hal-hal yang diinginkannya, dan oleh sebab
28
itu kebanyakan perilaku individu tersebut dipengaruhi oleh motif atau kebutuhan bawah sadar. Davis & Newstrom (2000) menyatakan perilaku manusia dalam organisasi tidak dapat diperkirakan seperti yang dibayangkan, karena timbul dari kebutuhan dan sistem nilai yang terkandung dalam diri manusia. Perilaku bersifat rumit dan unik, namun melalui pemahaman perilaku manusia justru merupakan pangkal tolak untuk dapat memahami bagaimana suatu organisasi berfungsi. Oleh karena itu perlu dimengerti terlebih dahulu bagaimana fungsi pegawai dalam organisasi (Schein, 2004). Manajer yang efektif mensyaratkan untuk mengenali perbedaan perilaku individu bawahannya, kemudian mengelolanya ke arah perilaku kerja yang positif demi pencapaian tujuan secara efektif dan efisien. Perilaku anggota organisasi dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu perilaku positif dan perilaku negatif. Perilaku positif adalah perilaku yang mendorong tercapainya tujuan dan berbagai sasaran organisasi dengan tingkat efisiensi, efektifitas serta produktivitas yang tinggi. Sedangkan perilaku yang negatif berangkat dari pengutamaan beberapa kepentingan egoistik, bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingan kelompok atau kepentingan organisasi secara keseluruhan. Mengingat perilaku individu bersifat rumit dan unik, seringkali seorang manajer mengalami kesulitan untuk memahami dan mengerti perilaku pegawainya. Guna memudahkan memahami perilaku pegawai, dapat dilakukan melalui pendekatan kesisteman (Indrawijaya, 2003). Berdasarkan pendekatan kesisteman, perilaku manusia ditentukan oleh proses input dan output, artinya
29
manusia adalah suatu sistem yang terbuka, bukan sesuatu yang terisolasi, dan manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia
memperoleh
stimulus sebagai input dari lingkungannya, kemudian melakukan proses transformasi atau penyaringan. Hasil dari proses ini berupa tindakan atau perilaku tertentu. Tindakan atau perilaku tersebut diarahkan pada suatu tujuan, selanjutnya akan menjadi masukan bagi lingkungannya (Kast & Rosenzweig, 2007 ).
2.2.1. Faktor Pembentuk Perilaku Kerja Sebagai anggota suatu organisasi, seseorang seharusnya tidak kehilangan identitasnya yang khas, karena hal itu merupakan kekhususan atau kebanggaan tersendiri yang dimiliki orang tersebut. Orang yang mampu mempertahankan identitasnya akan mempunyai harga diri yang tinggi yang pada gilirannya akan muncul dalam bentuk keinginan untuk dihormati dan diperlakukan secara manusiawi oleh pimpinannya. Siagian (2008) menyatakan bahwa di dalam diri seorang manusia terdapat perilaku atau behavior yang berasal dari oleh dalam diri seseorang tersebut yang nantinya akan mempengaruhi perilaku bekerja di sebuah perusahaan ataupun organisasi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku kerja seseorang seperti: 1) Faktor genetik, yang dimaksud faktor genetik dalam hal ini adalah sifat-sifat yang dibawa sejak lahir dan merupakan turunan atau bawaan dari kedua orang tuanya seperti kecerdasan, sifat pemarah atau penyabar dan sebagainya 2) Faktor lingkungan, yaitu situasi dan kondisi lingkungan pergaulan yang dihadapi seseorang pada masa hidupnya baik di dalam rumah atau lingkungan
30
di luar rumah juga dapat membentuk pola pikir dan kerja seseorang, termasuk lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat yang dijumpai sehari-hari. 3) Faktor pendidikan, yaitu pendidikan baik formal maupun non-formal juga memiliki pengaruh penting terhadap perilaku karena di dalam pendidikan ada usaha secara sadar dan sistematis dalam rangka mengalihkan pengetahuan dari seorang kepada orang lain. 4) Faktor pengalaman, pengalaman seseorang sejak kecil turut membentuk perilaku dalam kehidupan organisasionalnya. Pengalaman dapat membentuk sifat apatis, keras kepala, tidak toleran, mudah putus asa, dan sebagainya. 1.2.2
Indikator Perilaku Kerja Perilaku kerja sangat penting untuk mencapai suatu keberhasilan tingkat
pribadi, organisasional maupun sosial. Perilaku kerja merupakan kemampuan dan perilaku pekerja menunjukkan tindakan dalam melaksanakan tugas. Menurut Gibson (2000) terdapat beberapa indikator perilaku kerja yang dapat mengukur sejauh mana perilaku kerja dapat berperan di tempat kerja, yaitu: 1) Semangat dan kegairahan kerja, adalah semangat dan kegairahan dalam
melaksanakan pekerjaan; 2) Daya inisiatif kerja, adalah melaksanakan pekerjaan dengan berinisiatif
sendiri; 3) Keterlibatan kerja, adalah sejauh mana keterlibatan seorang pegawai dalam
suatu pekerjaan; 4) Keterkaitan terhadap organisasi, adalah sejauh mana seorang pegawai
keterikatannya dalam suatu instansi.
31
2.3.
Kinerja Pegawai Kinerja merupakan tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas
tertentu (Wibowo, 2007). Kinerja merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya manusia organisasi untuk mencapai tujuan organisasi (Rivai, 2009). Berdasarkan keseluruhan kegiatan dilakukan oleh organisasi atau perusahaan, kinerja terdiri atas: kinerja organisasi, kinerja individu, pegawai, kinerja kelompok. Kinerja pegawai sebagai prestasi akhir dari seorang pegawai dan mengandung beberapa hal, seperti adanya target tertentu yang dicapai, memiliki jangka waktu dalam pencapaian target dan terwujudnya efisiensi dan efektivitas. Gibson (2006) berpendapat bahwa kinerja pegawai adalah hasil kerja yang dicapai oleh pegawai sesuai posisinya dalam organisasi. Sedangkan Kast & Rosenzweig (2007) menyatakan kinerja meliputi seluruh tujuan usaha organisasi. Bagi manajer tingkat bawah, kinerja adalah sasaran yang membantu pencapaian keseluruhan misi. Untuk setiap unit organisasi tugas manajemen adalah mencapai kinerja yang diukur dengan kriteria yang relevan. Kesimpulannya bahwa kinerja adalah prestasi akhir dari suatu organisasi dan mengandung beberapa hal, seperti adanya target tertentu yang dicapai, memiliki jangka waktu dalam pencapaian target dan terwujudnya efisiensi dan efektivitas. Blumberg & Pringle (1982) menyatakan bahwa penentu kinerja adalah: (a) kapasitas, seperti pengetahuan, keterampilan dan pendidikan; (b) kesempatan, seperti prosedur organisasi, kepemimpinan dan kebijakan organisasi; dan (c) kemauan seperti motivasi, kepuasan kerja dan status pekerjaan.
32
Penilaian terhadap kinerja pegawai dalam suatu organisasi dapat dikenakan beberapa aspek (Wibowo, 2007), yaitu: 1) Kuantitas, dinyatakan dalam bentuk jumlah output atau pekerjaan, atau persentase antara output yang aktual dengan output yang menjadi target. 2) Kualitas, dinyatakan bentuk pengawasan kualitas pekerjaan dalam batas yang dipertimbangkan untuk dapat ditoleransi. 3) Waktu, dinyatakan dalam pencapaian batas waktu penyelesaian pekerjaan, jumlah unit pekerjaan yang dapat diselesaikan tepat waktu. Teori atribusi menyatakan faktor penentu kinerja pegawai dapat dikenali dengan menggambarkan atribusi hubungan perilaku seseorang atau individu dengan menghubungkan penyebab keberhasilan atau dari kinerja pegawai secara akurat (Timpe, 1999). Faktor penentu kinerja pegawai dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan teori atribusi yang menyatakan terdapat dua kategori dasar atribusi yang melekat pada diri seseorang pegawai yang akan menentukan kinerjanya, yaitu atribusi yang bersifat internal atau disposisional (dihubungkan dengan sifat-sifat orang), dan yang bersifat eksternal atau situasional
yang
dapat
dihubungkan
dengan
lingkungan
seseorang
(Maurice, 1999). Teori atribusi kausal didasarkan pada asumsi bahwa orang cenderung tidak merasa puas dengan hanya mengetahui apa yang dikerjakan tetapi juga suka mencari-cari penyebab seseorang melakukan pekerjaan tersebut. Menurut teori atribusi kausal ini bahwa dengan mengidentifikasi secara akurat penyebab kinerja seseorang dapat dilakukan melalui perbaikan kinerja individu.
33
2.3.1
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai Kinerja pegawai ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan
eksternal pegawai. Faktor internal seperti bakat, kemampuan, kemauan dan upaya. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas lingkungan kerja, rekan kerja dan pimpinan. Oleh karena itu, agar individu yang ada dalam organisasi berkinerja tinggi, maka organisasi harus memperhatikan secara tepat dengan menghargai bakat
dan
kemampuan
pegawai
serta
membimbingnya
secara
tepat
(Simamora, 2006). Ada tiga variabel yang mempengaruhi kinerja pegawai yaitu; variabel individu/pegawai, variabel organisasi dan variabel psikologis. (Gibson, 2006). Menurut Gibson ketiga variabel tersebut dapat dikelompokkan pada masingmasing sub variabel, yaitu: 1) Variabel individu dikelompokan pada sub variabel: kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografis. Sub variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama dalam mempengaruhi kinerja pegawai. Sedangkan demografis memberikan pengaruh tidak langsung. 2) Variabel
organisasi
dikelompokkan
dalam
subvariabel:
sumberdaya,
kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Kelompok sub variabel ini memberikan efek tidak langsung terhadap kinerja individu. 3) Variabel psikologis terdiri atas subvariabel: persepsi, sikap, kepribadian, belajar, usia, etnis dan budaya. Gibson
(2006) menyatakan
bahwa variabel
psikologis banyak
dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, dan pengalaman kerja sebelumnya serta
34
demografis. Harus dipahami bahwa seseorang masuk bekerja dan bergabung dalam organisasi kerja tentunya memiliki usia, etnis, latar belakang budaya serta pengetahuan dan keterampilan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sehingga model teori kinerja yang dikembangkan oleh Gibson ini dapat dikatakan bahwa perlu penegasan secara khusus pentingnya variabel kepemimpinan, budaya organisasi, komitmen kerja, dan perilaku kerja. Model teori kinerja pegawai yang dikembangkan oleh Gibson (2006) menjadi fokus penekanan dalam membangun model dasar konsep penelitian ini. Variabel penentu kinerja pegawai pada penelitian ini terdiri atas: kepemimpinan dan perilaku kerja berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai sesuai dengan penelitian Gibson (2006) dalam Wibowo (2007), Rowe dan Boulgarides (1992), Nadler dan Lowler (1991) serta merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Robbins (2006). Kekuatan setiap organisasi adalah terletak pada pegawai, sehingga prestasi suatu organisasi tidak terlepas dari prestasi setiap individu yang terlibat didalamnya (Rao, 1996). Agar individu dapat berkinerja tinggi manajemen harus memperhatikan secara tepat dengan menghargai bakat-bakat yang ada pada setiap individu dan mengembangkan kemampuan mereka serta menggunakannya secara tepat sehingga organisasi akan menjadi lebih dinamis. 2.3.2. Tujuan Penilaian Kinerja Pengukuran kinerja merupakan bagian penting dari proses pengendalian manajemen, baik organisasi publik maupun swasta. Namun karena sifat dan karakteristik organisasi sektor publik berbeda dengan sektor swasta, penekanan
35
dan orientasi pengukuran kinerjanya pun terdapat perbedaan. Tujuan dilakukan penilaian kinerja di sektor publik adalah: (1) mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi, (2) menyediakan sarana pembelajaran pegawai, (3) memperbaiki kinerja periode berikutnya, (4), memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan pemberian reward dan punishment, (5) memotivasi pegawai, (6) menciptakan akuntabilitas publik (Mahmudi, 2010).
2.3.3. Indikator Pengukuran Kinerja Secara umum ada tiga perangkat kriteria yang populer dalam mengevaluasi kinerja pegawai yaitu: (1) hasil tugas individu, (2) perilaku kerja, dan (3) ciri individu (Robbins, 2008). Untuk mengukur hasil tugas individual, maka yang dapat dilakukan evaluasi adalah hasil tugas dari orang atau produk apa yang dihasilkan, bukan bagaimana caranya mencapai hasil tersebut. Hasil kerja pegawai dapat dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu: data atau informasi, jasa dan benda (Sujak, 1990), sedangkan evaluasi pengukuran hasil kerja, pada umumnya dilihat dari kuantitas dan kualitas item produk yang dihasilkan, serta banyaknya kesalahan atau tingkat kerusakan (Simamora, 2006). Benardin & Russel (1998) menjelaskan bahwa produktivitas pegawai adalah hasil keluaran yang diperoleh pada aktivitas kerja tertentu selama periode waktu tertentu. Produktivitas organisasi, beberapa konsep dan petunjuk mengenai penerapan produktivitas bertujuan untuk mengarahkan pemikiran bahwa di dalam organisasi terdapat variabel-variabel determinan berupa pola tingkah laku kerja, pelaksanaan tugas dan efektivitas yang dapat dimodifikasi dan dikembangkan. Modifikasi yang dilakukan hendaknya mampu mengadaptasi
36
perubahan, baik dilingkungan internal organisasi maupun eksternal organisasi (Muljono, 2008). Pengukuran kinerja individual dengan penilaian diri sendiri ( Self Appraisal) adalah penilaian yang dilakukan oleh pegawai itu sendiri dengan harapan pegawai tersebut dapat lebih mengenal kekuatan-kekuatan dan kelemahan dirinya sehingga mampu mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki di masa datang. Salah satu kebaikan dalam metode ini adalah dapat mencegah terjadinya perilaku yang selalu membenarkan diri (defensive behavior), metode ini disebut dengan pendekatan masa depan sebab pegawai akan memperbaiki diri dalam rangka melakukan tugas-tugas yang akan datang dengan lebih baik. Menurut Rivai et al (2011), ada beberapa alasan untuk penggunaan penilaian diri sendiri (self appraisal): 1) dapat berpartisipasi dalam proses penilaian; 2) dapat meningkatkan motivasi kerja pegawai yang dinilai sehingga mampu mengikuti kompetisi yang sehat diantara pegawai dan selain itu dapat mengurangi penolakan saat dinilai; 3) dapat memperbaiki diri sendiri; 4) dapat menentukan tujuan-tujuan yang akan datang secara mandiri; 5) melatih diri pegawai untuk menentukan dan merencanakan sendiri kariernya. Dari beberapa dimensi pengukuran kinerja yang telah diuraikan di atas, kinerja berupa produktivitas pelayanan merupakan hasil yang dicapai organisasi dalam kurun waktu tertentu sebagai dampak pelayanan yang telah ditawarkan.
37
Penelitian ini menggunakan pendekatan konsep pengukuran kinerja yang dikembangkan oleh Wibowo (2007) yang terdiri dari kuantitas, kualitas, dan waktu. Pertimbangan menggunakan indikator ini karena konsep pengukuran kinerja ini memuat elemen-elemen penting dalam pelaksanaan penilaian kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengacu pada kadar pencapaian tugas-tugas yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan organisasi.