BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Stigma 1. Definisi Stigma adalah atribut yang sangat luas yang dapat membuat individu kehilangan kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan (Goffman dalam Major & O’Brien, 2005). Menurut Kamus Psikologi stigma adalah satu tanda atau ciri pada tubuh (Chaplin, 2009). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, stigma didefinisikan sebagai ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Stigma dapat juga didefinisikan sebagai suatu fenomena yang dapat memengaruhi diri individu secara keseluruhan (Crocker dkk., Jones dkk., Link & Phelan dalam Major & O’Brien, 2005). Menurut Goffman (dalam Scheid & Brown, 2010) menyatakan bahwa “stigma concept identifies an attribute or a mark residing in the person as something the person possesses” artinya bahwa konsep stigma mengidentifikasi atribut atau tanda yang berada pada seseorang sebagai sesuatu yang dimiliki. Stigma juga berarti sebuah fenomena yang terjadi ketika seseorang diberikan labeling, stereotip, separation, dan mengalami diskriminasi (Link Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Menurut Surgeon General Satcher’s (dalam Teresa, 2010) menyatakan stigma adalah kejadian atau fenomena yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan perhatian, mengurangi seseorang untuk memperoleh peluang dan interaksi sosial. Link dan Phelan (dalam Teresa, 2010) juga menjelaskan bahwa stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah. Dari beberapa definisi dari stigma tersebut, maka peneliti menyimpulkan definisi stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah serta fenomena yang terjadi
16
17
ketika individu memperoleh labeling, stereotip, separation dan mengalami diskriminasi sehingga memengaruhi diri individu secara keseluruhan.
2. Mekanisme Stigma Mekanisme stigma terbagi menjadi empat menurut Major & O’Brien (2005), yaitu : a. Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung Mekanisme stigma yang pertama yaitu adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung yang artinya terdapat pembatasan pada akses kehidupan dan diskriminasi secara langsung sehingga berdampak pada status sosial, psychological well-being dan kesehatan fisik. Stigma dapat terjadi dibeberapa tempat seperti di sebuah toko, tempat kerja, setting pendidikan, pelayanan kesehatan dan sistem peradilan pidana (Eshieman, dalam Major & O’Brien, 2005). b. Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfilling prophecy Stigma menjadi sebuah proses melalui konfirmasi harapan atau self fullfilling prophecy (Jussim dkk., dalam Major & O’Brien, 2005). Persepsi negatif, stereotipe dan harapan bisa mengarahkan individu untuk berperilaku sesuai dengan stigma yang diberikan sehingga berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku individu tersebut. c. Munculnya stereotip secara otomatis Stigma dapat menjadi sebuah proses melalui aktivasi stereotip otomatis secara negatif pada suatu kelompok. d. Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu
18
3. Tipe Stigma Menurut Goffman (dalam Scheid & Brown, 2010) mendefinisikan 3 tipe stigma sebagai berikut : a. Stigma yang berhubungan dengan cacat tubuh yang dimiliki oleh seseorang b. Stigma yang berhubungan dengan karakter individu yang umum diketahui seperti bekas narapidana, pasien rumah sakit jiwa dan lain sebagainya c. Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama. Stigma semacam ini ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui keluarga.
4. Dimensi Stigma Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma mengacu pada pemikiran Goffman (1961), komponen-komponen dari stigma sebagai berikut : a. Labeling Labeling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat tersebut (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Sebagian besar perbedaan individu tidak dianggap relevan secara sosial, namun beberapa perbedaan yang diberikan dapat menonjol secara sosial. Pemilihan karakteristik yang menonjol dan penciptaan label bagi individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi sosial yang perlu dipahami sebagai komponen penting dari stigma. Berdasarkan pemaparan di atas, labeling adalah penamaan berdasarkan perbedaan yang dimiliki kelompok tertentu. b. Stereotip Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu
19
(Judd, Ryan & Parke dalam Baron & Byrne, 2003). Menurut Rahman (2013) stereotip merupakan keyakinan mengenai karakteristik tertentu dari anggota kelompok tertentu. Stereotip adalah komponen kognitif yang merupakan keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan, stereotip adalah komponen kognitif dari individu yang merupakan keyakinan tentang atribut personal atau karakteristik yang dimiliki oleh individu dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu. c. Separation Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak memiliki stigma atau pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang mendapatkan stigma). Hubungan label dengan atribut negatif akan menjadi suatu pembenaran ketika individu yang dilabel percaya bahwa dirinya memang berbeda sehingga hal tersebut dapat dikatakan bahwa proses pemberian stereotip berhasil (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Berdasarkan pemaparan di atas, separation artinya pemisahan yang dilakukan antara kelompok yang mendapatkan stigma dengan kelompok yang tidak mendapatkan stigma. d. Diskriminasi Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena keanggotaannya dalam suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) diskriminasi adalah komponen behavioral yang merupakan perilaku negatif terhadap individu karena individu tersebut adalah anggota dari kelompok tertentu.
20
Berdasarkan pemaparan tersebut, diskriminasi adalah komponen behavioral yang merendahkan individu karena individu tersebut adalah anggota kelompok tertentu. Menurut Jones (dalam Link, Yang, Phelan & Collins, 2001) mengidentifikasi dimensi dari stigma yang tediri dari enam dimensi, yaitu : a. Concealability, menunjukkan atau melakukan deteksi tentang karakteristik dari individu lain. Concealability bervariasi tergantung pada sifat stigma tersebut. Individu yang mampu menyembunyikan kondisinya, biasanya sering melakukan stigma tersebut. b. Course, menunjukkan kondisi stigma reversibel atau ireversibel. Individu yang mengalami kondisi ireversibel maka cenderung untuk memperoleh sikap yang lebih negatif dari orang lain. c. Disruptiveness, menunjukkan tanda-tanda yang diberikan oleh orang lain kepada individu
yang
mengakibatkan
ketegangan
atau
menghalangi
interaksi
interpersonal. d. Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang terkait dengan hal yang menarik atau menyenangkan. e. Origin, merujuk kepada bagaimana munculnya kondisi yang menyebabkan stigma. f. Peril, merujuk pada perasaan bahaya atau ancaman yang dialami orang lain. Ancaman dalam pengertian ini dapat mengacu pada bahaya fisik atau perasaan yang tidak nyaman. Berdasarakan pemaparan sebelumnya, dimensi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) yang juga
21
berpedoman pada pemikiran Goffman (1961) yaitu Labeling, Stereotip, Separation dan Diskriminasi.
5. Proses Stigma Menurut Crocker, dkk. (dalam Major & O’Brien, 2005) stigma terjadi karena individu memiliki beberapa atribut dan karakter dari identitas sosialnya namun akhirnya terjadi devaluasi pada konteks tertentu. Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma terjadi ketika muncul beberapa komponen yang saling berkaitan. Adapun komponen-komponen tersebut, yaitu : a. Komponen pertama adalah individu membedakan dan memberikan label atas perbedaan yang dimiliki oleh individu tersebut b. Komponen kedua adalah munculnya keyakinan dari budaya yang dimiliki individu terhadap karakteristik individu atau kelompok lain dan menimbulkan stereotip. c. Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang telah diberikan label pada individu atau kelompok dalam kategori yang berbeda sehingga terjadi separation. d. Komponen keempat adalah individu yang telah diberikan label mengalami diskriminasi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa stigma terjadi dalam jangka waktu tertentu yang merupakan suatu proses yang terdiri dari empat dimensi yaitu terjadinya labeling dilanjutkan dengan munculnya stereotip, separation dan diskriminasi.
22
B. Self Esteem 1. Definisi Menurut Santrock (2007) self esteem adalah persepsi dan penilaian yang menyeluruh terhadap diri. Self esteem juga sering disebut self worth atau self image. Coopersmith (1967) dalam karya klasiknya The Antecendent of Self-Esteem, mendefinisikan self esteem, sebagai berikut : “Self esteem refer to the evaluation that individual makes and customarily maintains with regard to himsef : it express an attitude of aproval or disapproval and indicates the extent to which the individual believe himself to be capable, significant, successful, and worthy”. Dalam hal ini berarti self esteem mengacu pada evaluasi yang dibuat oleh individu dan upaya untuk menjaga sesuatu yang ada pada dirinya artinya self esteem adalah sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan kemampuan individu untuk percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan layak. Self esteem merupakan evaluasi tentang diri sendiri yang artinya individu tidak hanya menilai seperti apa dirinya tetapi juga menilai kualitas-kualitas dirinya (Taylor, Peplau & Seers, 2009). Self esteem adalah sikap tentang diri dan berhubungan dengan keyakinan pribadi tentang keterampilan, kemampuan, hubungan sosial, dan masa depan. Self esteem adalah respon emosional yang dialami ketika individu merenungkan dan mengevaluasi hal-hal yang berbeda tentang diri mereka sendiri. (Heatherton & Wyland, 2003). Menurut Santrock (2007), individu yang memiliki self esteem positif akan menerima dan menghargai dirinya sendiri sebagaimana adanya serta tidak cepat-cepat menyalahkan dirinya atas kekurangan atau ketidaksempurnaan dirinya. Individu yang memiliki self esteem yang positif selalu merasa puas dan bangga dengan hasil karyanya sendiri dan selalu percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan. Sebaliknya, individu yang memiliki self esteem negatif akan merasa dirinya tidak
23
berguna, tidak berharga dan selalu menyalahkan dirinya atas ketidaksempurnaan dirinya. Individu yang memiliki self esteem negatif cenderung tidak percaya diri dalam melakukan setiap tugas dan tidak yakin dengan ide-ide yang dimilikinya. Jadi, dapat disimpulkan self esteem merupakan evaluasi atau penilaian yang dilakukan oleh individu terhadap dirinya baik secara positif maupun negatif tentang keterampilan, kemampuan, hubungan sosial, dan masa depan sehingga apabila individu memiliki self esteem yang tinggi maka individu akan merasa puas, bangga dengan hasil karya dan selalu percaya diri dalam menghadapi tantangan sedangkan individu yang memiliki self esteem rendah maka individu cenderung tidak percaya diri dalam melakukan tugas dan tidak memiliki keyakinan terhadap ide-ide yang dimilikinya.
2. Tipe Self Esteem Self esteem terbagi menjadi empat tipe pengertian (Wells dan Marwell dalam Rahman, 2013), yaitu: 1. Self esteem dipandang sebagai sikap Self esteem menunjuk pada suatu objek tertentu yang melibatkan reaksi kognitif, emosi dan perilaku, baik secara positif maupun negatif. 2. Self esteem dipandang sebagai perbandingan antara ideal self dan real self Individu akan memiliki self esteem yang tinggi, jika real self mendekati ideal self
dan begitu sebaliknya bahwa individu akan memiliki self esteem
yang
rendah, jika real self jauh dari ideal self. 3. Self esteem dianggap sebagai respon psikologis seseorang terhadap dirinya sendiri, lebih dari sekedar sikap.
24
4. Self esteem dipahami sebagai komponen dari kepribadian atau self system seseorang.
3. Dimensi Self Esteem Self esteem terbagi menjadi tiga dimensi utama (Heatherton & Wyland, 2003), yaitu: a. Performance self esteem Performance self esteem mengacu pada perasaan individu terhadap kemampuan diri secara umum dan termasuk juga kemampuan intelektual, performa di sekolah, kapasitas regulasi diri, kepercayaan diri, keyakinan, dan agency (perantara). Individu yang memiliki performance self esteem yang tinggi percaya bahwa dirinya pintar dan kompeten. b. Social self esteem Social self esteem mengacu pada bagaimana seseorang meyakini dirinya diterima oleh orang lain. Hal ini merupakan persepsi dari kenyataan yang sesungguhnya. Seseorang yang percaya bahwa orang lain, terutama significant others, menganggap dirinya bernilai dan menghormatinya, maka individu tersebut akan memiliki self esteem yang tinggi. Hal ini dapat tetap berlangsung bahkan ketika orang lain sesungguhnya sedang merendahkannya. Individu yang memiliki self esteem yang rendah akan sering mengalami kecemasan sosial ketika berada di area publik. Individu yang memiliki self esteem yang rendah akan sangat memerhatikan penampilan dan sangat mencemaskan bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya.
25
c. Physical self esteem Physical self esteem mengacu pada bagaimana individu melihat keadaan fisiknya, termasuk kemampuan fisik, seberapa menarik dirinya, body image, gambaran fisik dan perasaan terhadap ras dan etnisnya. Felker (dalam Retno, 2006) mengutarakan tentang beberapa aspek dari self esteem, yaitu: a.
Perasaan diterima (Felling of Belonging) artinya perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa kelompok teman sebaya atau kelompok lainnya. Individu akan memiliki penilain yang positif tentang dirinya apabila individu tersebut diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Namun individu akan memiliki penilaian yang negatif terhadap dirinya apabila individu tersebut tidak diterima dalam kelompoknya.
b.
Perasan mampu (Felling of Competence) artinya perasaan dan keyakinan individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu hasil yang diharapkan.
c.
Perasaan berharga (Felling of Worth) yaitu perasaan dimana individu merasa dirinya berharga atau tidak. Perasaan yang dimiliki individu yang seringkali ditampilkna berasal dari pernyataan-pernyataan tentang dirinya seperti baik, pintar, bodoh dan lain sebagainya.
Aspek self esteem yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek yang diungkapkan oleh Heatherton (2003), yaitu : a) Performance self esteem, b) Social self esteem, c) Physical self esteem.
26
4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Self Esteem Menurut
Coopersmith
(1967),
terdapat
beberapa
faktor
utama
yang
memengaruhi self esteem pada masing-masing individu, yaitu: a.
Banyaknya jumlah penghargaan, penerimaan, dan perhatian yang diterima seseorang dari significant others dalam kehidupannya.
b.
Pengalaman kesuksesan dan status atau posisi yang memberi arti bagi seseorang. Kesuksesan yang diperoleh umumnya dapat membawa individu mengenali status di lingkungannya. Ukuran pengalaman kesuksesan memiliki makna yang berbeda bagi setiap individu.
c.
Nilai dan aspirasi Individu mempertimbangkan pengalaman kesuksesan dan kegagalan berdasarkan nilai yang disertakan. Individu yang mengalami kegagalan dalam bidang yang dianggap tidak terlalu penting bagi dirinya, maka kegagalan tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap self esteem individu, sebaliknya jika individu mendapatkan kesuksesan dalam bidang yang dianggapnya penting maka individu, akan menganggap kesuksesan dalam bidang lainnya tidak terlalu penting. Penilaian ini didasarkan pada kemampuan individu dalam bidang tersebut atau adanya kepentingan pribadi. Penilaian diri mengandung perbandingan antara penampilan nyata dan kapasitas dengan standar dan aspirasi diri. Apabila standar telah dicapai, khususnya pada bidang yang dianggap penting maka individu akan membuat kesimpulan bahwa dirinya berharga. Sebaliknya, apabila yang diperoleh berada di bawah standar maka individu akan merasa kecewa.
27
d.
Kemampuan bertahan Bertahan merupakan kemampuan individu untuk menghadapi kegagalan dan ketidakpastian yang dialaminya. Cara ini dilakukan untuk tujuan mengurangi kecemasan, yang menyebabkan munculnya perasaan tidak berdaya, tidak mampu melakukan sesuatu, dan kurang mampu menerima kenyataan. Terdapat faktor lain yang mepengaruhi self esteem yaitu menurut penelitian yang
dilakukan Gufron & Risnawita (2010), faktor-faktor yang memengaruhi self esteem dapat dibedakan menjadi dua yaitu internal dan eksternal. Faktor internal yang memengaruhi antara lain jenis kelamin, intelegensi, kondisi fisik sedangkan faktor eksternal antara lain lingkungan keluarga, sosial dan sekolah. Adapun penjelasan dari masing-masing faktor, sebagai berikut : a.
Faktor Jenis Kelamin Berdasarkan faktor jenis kelamin, disebutkan bahwa wanita selalu merasa self esteemnya lebih rendah daripada pria seperti perasaan kurang mampu, kepercayaan diri yang kurang. Hal ini mengkin terjadi karena peran orang tua dan harapan-harapan masyarakat yang berbeda pada pria dan wanita.
b.
Faktor Intelegensi Individu dengan self esteem yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi daripada individu dengan self esteem yang rendah. Individu self esteem tinggi memiliki skor intelegensi yang lebih baik, taraf aspirasi yang lebih baik dan selalu berusaha keras.
c.
Faktor Kondisi Fisik Individu dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki self esteem yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik.
28
d.
Faktor Lingkungan Keluarga Peran keluarga juga sangat menentukan perkembangan self esteem anak. Keluarga harus menemukan kondisi untuk mencapai perkembangan self esteem yang baik. Perlakukan yang adil, pemberian kesempatan untuk aktif, mendidik secara demokratis akan membuat anak memiliki self esteem yang tinggi. Orangtua yang sering memberi hukuman dan larangan tanpa alasan menyebabkan anak merasa tidak berharga.
e.
Faktor Lingkungan Sosial Self esteem merupakan hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan dan perlakukan orang lain kepadanya. Perubahan self esteem dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi dan mekanisme pertahanan diri. Kesuksesan tersebut dapat timbul melalui pengalaman dalam lingkungan atau bidang tertentu, kompetisi dan nilai kebaikan.
5. Klasifikiasi Self Esteem Menurut Murk (dalam Rahman, 2013) terdapat tiga klasifikasi dari self esteem, yaitu : a. Self esteem dipandang sebagai suatu kompetensi (self esteem as competence) Dalam hal ini, self esteem dihubungkan dengan kesuksesan, kemampuan dan kompetensi. Self esteem akan sangat ditentukan oleh kemampuan dan kesuksesan objektif yang dimiliki individu. b. Self esteem dipandang sebagai perasaan berharga (self esteem as worthiniss) c. Self esteem dipandang sebagai suatu kompetensi dan perasaan berharga
29
6. Karakteristik Individu Berdasarkan Tingkatan Self Esteem Coopersmith (dalam Henggaryadi & Fakhrurrozi, 2008) membagi tingkatan self esteem menjadi tiga, yaitu self esteem tinggi, menengah dan rendah. Adapun karakteristik individu berdasarkan tingkatan self esteem tersebut yaitu : a. Self Esteem Tinggi Seseorang dengan self esteem tinggi akan memiliki ciri-ciri penuh percaya diri, mandiri, aktif dalam kegiatan fisik dan sosial, ambisius tetapi realistis terhadap kemampuannya, ekspresif, kreatif dan memilii skor tinggi dalam intelegensi. b. Self Esteem Menengah atau Sedang Seseorang dengan self esteem menengah menilai lebih baik dari seseorang dengan self esteem rendah namun kurang baik dibandingkan seseorang dengan self esteem tinggi. Pada dasarnya penilaian mereka cenderung seperti kelompok dengan taraf self esteem tinggi yaitu memiliki rasa percaya diri, mandiri dan aktif. Seseorang dengan self esteem sedang, tingkat kepercayaan diri, kemandirian dan keaktifan lebih rendah dibandingkan self esteem tinggi dan lebih tinggi dibandingkan dengan self esteem rendah. c. Sef Esteem Rendah Individu dengan self esteem rendah, memiliki ciri-ciri tidak percaya diri, tidak menghargai diri sendiri, gampang putus asa, kurang berusaha dan adanya kecenderungan berorientasi pada kegagalan.
30
C. Remaja Perempuan yang Mengikuti Ekstrakurikuler Tari Bali 1. Definisi a. Remaja Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik secara biologis, kognitif dan sosioemosional (Santrock, 2007). Banyak para ahli memiliki rentang usia yang berbeda mengenai remaja. Papalia, Olds dan Feldman (2009) menyebutkan remaja berada antara usia 10 atau 11 tahun sampai awal usia 20 tahun, Santrock (2007) menyatakan remaja berada antara usia 10-12 tahun dan 18-22 tahun sedangkan Hall (dalam Santock, 2007) menyatakan remaja berada pada rentang usia 12-23 tahun. Berbeda halnya dengan Menurut WHO (dalam Sarwono, 2013) membedakan masa remaja antara remaja wanita dan pria. Remaja wanita didasarkan pada usia kesuburan (fertilisasi) sedangkan batasan untuk remaja pria dibagi menjadi 2 bagian yaitu remaja awal yang berusia 10-14 tahun dan remaja akhir yang berusia 15-20 tahun (Sarwono, 2013). Di Indonesia, remaja sering disebut sebagai pemuda yang memiliki usia 15-21 tahun (Sarwono, 2013). Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan definisi remaja adalah periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik secara biologis, kognitif dan sosioemosional yang berada pada rentang usia 10 - 23 tahun. b. Ekstakurikuler Ektrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat melalui kegiatan yang secara khusus
31
diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga pendidik yang memiliki kemampuan dan wewenang di sekolah (Prihatin, 2011). Ekstrakurikuler dimaksudkan untuk mengembangkan salah satu bidang pelajaran yang diminati oleh sekelompk siswa yang diselenggarakan di sekolah di luar pelajaran biasa (Suryosubroto,
2009).
Menurut
Suharsimi
(dalam
Suryobroto,
2009)
ektrakurikuler adalah kegiatan tambahan, di luar struktur program yang pada umumnya merupakan kegiatan pilihan. Menurut Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan (dalam Suryobroto, 2009) ektrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap muka, dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah agar lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran dalam kurikulum. Berdasarkan pemaparan beberapa ahli sehingga peneliti menyimpukan ektrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran atau kegiatan tambahan yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. c. Tari Bali Tari adalah gerakan-gerakan luar yang ritmik dan lama kelamaan mengarah kepada bentuk tertentu (Chattopadhyaya dalam Rusliana, 1986). Menurut Soedarsono (dalam Rusliana, 1986) tari juga dapat didefinisikan sebagai ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak ritmis yang indah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tari Bali adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak ritmis dan mengarah pada bentuk tertentu yang berasal dari Bali.
32
c. Remaja perempuan yang mengikuti ektrakulikuler tari Bali Remaja adalah periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik secara biologis, kognitif dan sosioemosional yang berada pada rentang usia 10 22 tahun. Ektrakurikuler tari Bali adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran atau kegiatan tambahan yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan remaja perempuan yang mengikuti ektrakurikuler tari Bali adalah individu yang berjenis kelamin perempuan dengan periode transisi perkembangan yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan baik secara biologis, kognitif dan sosioemosional yang berada pada rentang usia 10 22 tahun yang mengikuti kegiatan dengan menunjukkan ekspresi jiwa manusia melalui gerak ritmis dan mengarah pada bentuk tertentu yang berasal dari Bali yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga pendidik yang memiliki kemampuan dan wewenang di sekolah.
D. Perkembangan Pemahaman Diri dan Self Esteem pada Remaja Remaja memiliki penghayatan mengenai siapakah mereka dan apa yang membedakan dirinya dari orang lain. Dimasa remaja seorang individu menjadi lebih
33
introspektif dan pemahaman dirinya tidak sepenuhnya bersifat internal namun merupakan sebuah konstruksi sosial kognitif (Santrock, 2007). Pada masa remaja, individu membentuk pemahaman diri dan self esteem. Pemahaman diri adalah representatif kognitif remaja mengenai diri, substansi dan isi dari konsep diri remaja. Pemahaman diri seorang remaja didasarkan pada berbagai peran dan jenis keanggotaan yang mereka ikuti, sehingga inilah yang berperan dalam mendefinisikan dirinya (Harter dalam Santrock, 2007). Self esteem mencerminkan persepsi yang tidak selalu sesuai dengan realitas (Baumster dalam Santrock, 2007). Self esteem seringkali mengalami transisi dari sekolah dasar menuju sekolah menengah (Hawkons & Berndt dalam Santrock, 2007). Self esteem cenderung menurun dimasa remaja, meningkat diusia 20-an, mendatar diusia 30-an dan meningkat di usia 50-an dan 60-an, kemudian menurun di usia 70-an dan 80-an. Sebagian besar usia, umumnya laki-laki memperlihatkan harga diri yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (Santrock, 2007). Menurunya self esteem perempuan di masa remaja awal adalah karena memiliki citra tubuh yang lebih negatif selama mengalami masa pubertas, dibandingkan dengan laki-laki (Harter dalam Santrock, 2007). Selain itu menurunnya self esteem juga disebabkan oleh kegagalan masyarakat untuk menghargai minat remaja dalam relasi sosial (Santrock, 2007). Remaja perempuan memiliki self esteem yang lebih rendah dibandingkan lakilaki. Sebuah studi berskala besar meminta lebih dari 300.000 individu untuk menilai sejauh mana tingkat self esteem mereka dalam skala 5. Dalam studi tersebut angka 5 berarti “Sangat sesuai” dan 1 berarti “Tidak sesuai”. Hasil studi tersebut menunjuukan bahwa self esteem cenderung menurun dimasa remaja dan masa dewasa. Apabila dibedakan berdasarkan gender, self esteem perempuan lebih rendah dibandingkan self esteem laki-laki dihampir sepanjang masa hidup (Santrock, 2007).
34
Self esteem laki-laki berhubungan dengan usaha untuk meraih pencapaian individual sedangkan self esteem perempuan lebih bergantung pada hubungan dengan orang lain (Thorne & Michaeliu, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Analisis terhadap
ratusan
penelitian
yang
melibatkan
hampir
150.000
responden
menyimpulkan bahwa walaupun anak laki-laki memiiki self esteem yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, terutama akhir masa remaja namun perbedaannya kecil. Kebalikan dari penelusuran terdahulu baik laki-laki dan perempuan mencapai self esteem yang lebih baik seiring bertambahnya usia. (Kling, Hyde, Showers dan Buswell dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009).
E. Hubungan Antar Variabel Stigma adalah suatu fenomena atau kejadian yang dapat memengaruhi diri individu secara keseluruhan. Link dan Phelan (dalam Teresa, 2010) menjelaskan bahwa stigma adalah pikiran dan kepercayaan yang salah. Menurut Crocker, dkk. (dalam Major & O’Brien, 2005) stigma terjadi karena individu memiliki beberapa atribut dan karakter dari identitas sosialnya. Stigma terjadi sebagai suatu proses yang berkelanjutan yaitu individu diberikan label (labeling) atas perbedaan yang dimiliki dengan individu lain oleh masyarakat. Labeling adalah pembedaan dan penamaan berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki individu atau kelompok tertentu dalam masyarakat (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Pada saat labeling dilakukan maka akan muncul keyakinan dari budaya yang dimiliki individu terhadap karakteristik individu atau kelomopok lain sehingga menimbulkan stereotip. Stereotip adalah komponen kognitif dari individu yang merupakan keyakinan tentang atribut personal atau karakteristik yang dimiliki oleh individu dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu. Individu yang telah diberikan label ditempatkan pada kategori yang berbeda sehingga terjadi separation
35
(pemisahan) antara yang memberikan label dengan individu yang diberikan label. Separation adalah pemisahan antara pihak yang tidak memiliki stigma atau dalam hal ini pihak yang memberikan stigma dengan kelompok atau pihak yang mendapatkan stigma (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Akhirnya individu yang telah diberikan label mengalami diskriminasi. Diskriminasi adalah komponen behavioral yang merendahkan individu karena individu tersebut adalah anggota kelompok tertentu. Stigma terdiri dari empat komponen, jika seluruh komponen stigma ditujukan kepada individu atau kelompok maka individu atau kelompok tersebut akan merasa tidak nyaman dengan proses interaksi sosial yang dilakukan sehingga hal tersebut berdampak membatasi jaringan sosial individu dengan orang lain, menyebabkan simptom depresi, pengangguran, berkurangnya pendapatan dan juga membuat rendahnya self esteem (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Self esteem merupakan evaluasi atau penilaian yang dilakukan oleh individu terhadap dirinya yang berkisar dari rendah, sedang dan tinggi tentang keterampilan, kemampuan, hubungan sosial dan masa depan sehingga apabila individu memiliki self esteem yang tinggi maka individu akan merasa puas, bangga dengan hasil karya dan selalu percaya diri dalam menghadapi tantangan sedangkan individu yang memiliki self esteem rendah maka individu cenderung tidak percaya diri dalam melakukan tugas dan tidak memiliki keyakinan terhadap ide-ide yang dimilikinya. Self esteem terbagi menjadi tiga dimensi yaitu performance self esteem, social self esteem dan phisical self esteem (Heatherton & Wyland, 2003) Performance self esteem adalah perasaan individu terhadap kemampuan dirinya secara umum dan termasuk juga kemampuan intelektual, performa di sekolah, kapasitas regulasi diri, kepercayaan diri, keyakinan dan agency (perantara). Social self esteem mengacu pada bagaimana seseorang meyakini dirinya diterima oleh orang lain. Physical self esteem mengacu pada bagaimana
36
individu melihat keadaan fisiknya termasuk kemampuan fisik, seberapa menarik dirinya, body image, gambaran fisik dan perasaan terhadap ras dan etnisnya. Secara psikososial, menurut Erikson (dalam
Papalia, Olds & Feldman, 2009)
remaja menghadapi krisis dari identitas (identity) versus kekacauan identitas (identity confusion) sehingga remaja harus mengembangkan self esteem yang merupakan kebutuhan psikologis yang memiliki peran penting bagi kehidupannya. Self esteem sangat dibutuhkan oleh remaja karena self esteem memainkan peran penting dalam memprediksi penyesuaian terhadap masa depan sehingga disaat individu mengalami hal-hal baik dalam hidupnya, maka dapat dikatakan bahwa self esteemnya tinggi. Individu yang memiliki self esteem tinggi cenderung memiliki pencapaian akademik yang tinggi artinya bahwa individu yang telah memiliki pencapaian akademik yang tinggi pasti memiliki self esteem yang tinggi (Liu, Kaplan & Risser dalam Rice & Dolgin, 2002). Self esteem dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu banyaknya jumlah penghargaan, penerimaan, dan perhatian yang diterima seseorang, pengalaman kesuksesan dan status atau posisi yang memberi arti bagi seseorang, nilai dan aspirasi serta kemampuan individu untuk menghadapi kegagalan dan ketidakpastian yang dialaminya. Hal tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Corringan & Watson (dalam Major & O'Brien, 2005) yang menyatakan bahwa individu yang mendapatkan stigma akan waspada terhadap lingkungan sekitar sehingga dampaknya adalah respon yang diberikan lingkungan menjadi terinternalisasi dan menyebabkan individu memiliki self esteem yang rendah. Remaja yang menerima stigma, akan mengalami pengurangan jumlah penghargaan, penerimaan dan perhatian serta akan mengalami kehilangan status atau posisi dan mengalami ketidakpastian sehingga dampaknya pada self esteem individu tersebut.
37
Lingkungan sekitar remaja memiliki peranan yang penting dalam pembentukan self esteem pada remaja. Stigma yang didapatkan dari lingkungan sekitar dapat menurunkan self esteem. Stigma terjadi karena masyarakat gagal untuk menghargai minat remaja. Menurut Santrock (2007) menurunnya self esteem juga disebabkan oleh kegagalan masyarakat untuk menghargai minat remaja dalam relasi sosial. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka peneliti menyatakan ada pengaruh stigma terhadap self esteem pada remaja perempuan yang mengikuti ekstrakurikuler Tari Bali.
38
Jumlah penghargaan, penerimaan dan perhatian Pengalaman kesuksesan dan status Nilai dan aspirasi Kemampuan individu menghadapi kegagalan ketidakpastian Performance Self Esteem
Self Esteem
Stigma
Social Self Esteem Physical Self Esteem
Tingkatan Self Esteem :
Bentuk Stigma:
Labeling Stereotip Separation Diskriminasi
Tinggi Sedang Rendah
Gambar 1. Pengaruh Stigma terhadap Self Esteem
Keterangan: : garis pengaruh yang diteliti : faktor yang memengaruhi : komponen dari variabel bebas (stigma) : dimensi dari variabel tergantung (self esteem) : kategori tingkatan variabel tergantung (self esteem) : variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti
39
F. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah: 1.
Hipotesis alternatif (Ha) : Ada pengaruh antara stigma dengan self esteem pada remaja yang mengikuti ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar.
2.
Hipotesis Minor a. Ada pengaruh antara stigma positif dengan self esteem pada remaja yang mengikuti ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar. b. Ada pengaruh antara stigma negatif dengan self esteem pada remaja yang mengikuti ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar.
3.
Hipotesis nol (Ho) : Tidak ada pengaruh antara stigma dengan self esteem pada remaja yang mengikuti ekstrakurikuler Tari Bali di SMA Negeri 2 Denpasar.