BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Agresivitas
1. Definisi Agresivitas Baron (2004) mengatakan yang dimaksud dengan agresif adalah tingkah laku individu yang maksudkan untuk melukai atau menyakiti individu lain yang tidak menginginkan adanya perilaku tersebut. Buss dan Perry (dalam Bryant & Smith 2001) mengungkapkan bahwa perilaku agresif individu sudah dapat terlihat sejak masa kanakkanak. Setiap manusia memiliki perilaku agresif dan hal tersebut tidak dapat dihindarkan. Contoh dari perilaku agresif yang diarahkan ke eksternal diri adalah melakukan tawuran, berlaku kasar pada orang lain, melakukan perundungan pada orang lain, dan melanggar aturan-aturan yang ada. Contoh perilaku yang diarahkan ke dalam internal diri adalah perilaku menarik diri dari lingkungan masyarakat, bersikap acuh tak acuh dan cenderung putus asa. Krahe (2005) mengungkapkan bahwa motif utama perilaku agresif adalah keinginan untuk mengekspresikan perasaan-perasaan negatif dengan menyakiti atau melukai orang lain. Perilaku agresif dapat merujuk ke tindakan agresivitas, menurut salah satu pendekatan terhadap agresivitas yaitu pendekatan belajar yang menolak keberadaan faktor-faktor bawaan yang diyakini sebagai sumber agresivitas dan menurut pendekatan ini agresi itu sebagai tingkah laku yang dipelajari atau hasil belajar yang melibatkan faktorfaktor eksternal pada proses pembentukan agresi tersebut. Dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari
12
13
agresivitas adalah tingkah laku individu yang menyakiti atau melukai seseorang untuk mempertahankan diri dari ketidakpuasan Berdasarkan teori-teori di atas, terdapat berbagai pemahaman mengenai agresivitas. Masing-masing teori memiliki pemahamannya tersendiri mengenai agresivitas, dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa definisi dari agresivitas itu sendiri adalah kecenderungan menyakiti atau melukai orang lain sebagai pertahanan diri akibat adanya rasa kekecewaan dari dalam diri. 2. Jenis-jenis Agresivitas menurut Buss dan Perry (dalam Bryant & Smith 2001) a. Agresi fisik (physical aggression) Agresi yang dilakukan untuk melukai seseorang secara fisik, seperti menyakiti orang lain secara fisik dan melukai orang lain secara fisik. Contoh tindakan tersebut adalah memukul, menendang, dan menyerang. b. Agresi verbal (verbal aggression) Agresi yang dilakukan kepada seseorang melalui cara verbal, contohnya adalah memaki orang lain, membentak, bersikap sarkatis, dan menyebarkan gosip. c. Rasa marah (anger) Perasaan tidak senang yang dirasakan oleh seseorang akibat dari reaksi fisik ataupun cedera fisik yang dialami oleh seseorang. Contohnya, perasaan benci, kesal, dan tidak mampu mengendalikan amarah. d. Permusuhan (hostility) Sikap negatif kepada orang lain yang muncul karena penilaian negatif dari diri kita sendiri.
14
3. Faktor-faktor yang memengaruhi agresivitas Menurut Koeswara (1998) faktor yang dianggap memengaruhi agresivitas pada individu adalah frustasi, stres, deindividuasi, kekuasaan dan kepatuhan, kehadiran senjata, provokasi, obat-obatan dan alkohol, dan suhu udara. a. Frustasi Frustasi adalah ketika individu gagal mendapatkan atau mencapai apa yang diinginkan atau mendapatkan hambatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Frustasi mampu mengarahkan individu kepada bertindak agresif. Dikatakan demikian karena frustasi merupakan situasi yang tidak menyenangkan dan individu pun ingin menghindari hal tersebut dengan berbagai cara, termasuk dengan perilaku agresif. b. Stres Para pakar dalam bidang fisiologis mendefinisikan stres sebagai reaksi, respon, atau adaptasi fisiologis terhadap stimulus eksternal ataupun perubahan lingkungan. Stres bisa muncul dari internal (dalam diri) maupun eksternal (luar diri) dimana stres akan menghasilkan perasaan yang tidak menyenangkan dan menuntut penyesuaian secara behavioral (dalam bentuk perilaku), tuntutan tersebut yang akan merujuk pada perilaku agresif. c. Deindividuasi Deindividuisasi atau depersonalisasi dapat mengarahkan individu pada keleluasaan dalam melakukan agresi, sehingga perilaku agresif dapat terjadi lebih intens. Definisi dari deindividuasi adalah kondisi dimana individu tidak diketahui identitasnya dan individu akan bertindak lebih anti sosial. Keadaan deindividuasi dapat membawa perilaku individu ke luar dari batasan norma d. Kekuasaan dan Kepatuhan
15
Kekuasaan apabila disalahgunakan oleh individu, akan merujuk pada agresi. Dasar pemikiran bahwa menggunakan kekuasaan dan mengubahnya menjadi kekuatan yang memaksa memiliki dampak yang langsung atau tidak langsung pada perilaku agresif. e. Efek Senjata Penyebaran senjata merupakan salah satu alasan mengapa seseorang bisa berprilaku agresif. Contohnya adalah senjata nuklir yang menimbulkan konflik antar negara. Fungsi senjata tidaklah memainkan peranan utama dalam agresi, tapi adanya efek kehadiran dari senjata tersebut yang dapat menimbulkan agresi. f. Provokasi Provokasi juga merupakan pemicu agresi. Karena provokasi dapat meningkatkan emosi seseorang. Schachter mengungkapkan bahwa kemungkinan tercetusnya agresi akan lebih besar apabila individu yang menerimaprovokasi mengalami peningkatan emosi. Hasil penelitian Zillman dan Byrant (dalam Koeswara 1998) mengatakan bahwa subjek-subjek yang taraf emosinya tinggi menunjukkan tingkat agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek-subjek yang taraf emosinya rendah ketika para subjek diberikan perlakuan provokatif. g. Alkohol dan Obat-Obatan Konsumsi alkohol yang berlebihan akan memiliki efek buruk pada perilaku seseorang. Jika alkohol dikonsumsi oleh individu yang berkepribadian labil atau memiliki masalah secara psikologis itu akan merujuk pada kemunculan dari tindakan kekerasan ataupun agresi.
h. Suhu Udara
16
Faktor ini jarang diperhatikan oleh para peneliti. Meski demikian di Amerika Serikat terjadi peningkatan tindak kekerasan pada musim panas di akhir tahun 1960 dan awal tahun 1970.
4. Dimensi Agresivitas Dalam pembentukan agresivitas, terdapat dimensi-dimensi pembentuk di dalamnya. Di bawah ini merupakan dimensi agresivitas berdasarkan Schneiders (dalam Kusumo 2007). a. Perlawanan disiplin Tindakan individu yang melanggar aturan demi untuk mencapai kesenangan pribadi. b. Superioritas Sikap individu yang menganggap bahwa dirinya sendiri lebih baik daripada orang lain. c. Egosentrisme Individu yang cenderung mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan kepentingan orang lain seperti tindakan yang menjurus ke kekuasaan dan kepemilikan. d. Keinginan untuk menyerang manusia Kecenderungan individu untuk melampiaskan dan memuaskan keinginan yang tidak nyaman maupun tidak puas akan lingkungan sekitar dengan melakukan tindakan penyerangan terhadap individu atau benda lain disekitar. Di bawah ini merupakan dimensi agresivitas dari Allport dan Adorno (dalam Koeswara, 1998). a. Survival
17
Perilaku naluri individu untuk mempertahankan diri. b. Egosentris Individu yang mengutamakan kepentingan dirinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain yang ditunjukkan dalam sikap kepatuhan dan kekuasaan. c. Otoriter Individu yang memiliki kepribadian otoriter cenderung memiliki sikap yang kaku dengan keyakinannya, memegang dengan teguh nilai-nilai yang konvensional , dan tidak mampu toleran dengan kelemahan diri maupun dari orang lain.
Di dalam penelitian ini, peneliti mengadaptasi skala agresivitas dari Buss and Perry (dalam Bryant and Smith 2001), karena dimensi tersebut dianggap komprehensif dalam menjelaskan agresivitas. Dimensi dari skala tersebut adalah sebagai berikut: a. Agresi Fisik Agresi yang dilakukan untuk melukai seseorang secara fisik, seperti menyakiti orang lain secara fisik dan melukai orang lain secara fisik. Contoh tindakan tersebut adalah memukul, menendang, dan menyerang. b. Agresi Verbal Agresi yang dilakukan kepada seseorang melalui cara verbal, contohnya adalah memaki orang lain, membentak, bersikap sarkatis, dan menyebarkan gosip. c. Rasa Marah Perasaan tidak senang yang dirasakan oleh seseorang akibat dari reaksi fisik ataupun cedera fisik yang dialami oleh seseorang. Contohnya, perasaan benci, kesal, dan tidak mampu mengendalikan amarah. d. Sikap Permusuhan
18
Sikap negatif kepada orang lain yang muncul karena penilaian negatif dari diri kita sendiri.
B. Konformitas 1. Definisi Konformitas Konformitas adalah perubahan perilaku seseorang sebagai akibat dari tekanan kelompok (Myers, 2014).
Konformitas tidak hanya sekedar bertindak sesuai dengan
tindakan yang dilakukan oleh orang lain, tetapi juga berarti dipengaruhi oleh bagaimana seseorang tersebut bertindak. Konformitas juga memiliki arti bahwa bertindak dan berpikir secara berbeda dari tindakan dan pikiran yang biasa kita lakukan jika kita sendiri. Individu akan melakukan konformitas karena adanya rasa ketakutan untuk tidak diterima oleh suatu kelompok dan menghindar dari celaan (Yuliana, 2013). Santrock (2002) mengatakan bahwa konformitas muncul ketika individu mengikuti tingkah laku dari orang lain dikarenakan tekanan dari orang lain baik yang nyata maupun yang dibayangkan. Konformitas terhadap tekanan sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negatif. Bentuk konformitas yang negatif seperti menggunakan bahasa yang kasar, mengolok-olok, dan merusak, sedangkan bentuk konformitas yang positif adalah tingkah laku remaja yang meniru gaya berpakaian teman, mengikuti kegiatan-kegiatan sosial, dan memiliki perkumpulan untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif. Berdasarkan paparan teori konformitas diatas, peneliti memutuskan untuk menggunakan teori dari Myers (2014) sebagai teori utama karena teori tersebut dianggap komprehensif dalam menjelaskan pengertian dari konformitas. Menurut Deutsch dan Gerrard (dalam Sarwono 2005) ada 2 penyebab mengapa orang melakukan konformitas, diantaranya: a. Pengaruh norma
19
Disebabkan oleh keinginan seseorang untuk memenuhi harapan orang lain sehingga dapat diterima oleh orang lain. Pengaruh norma terjadi ketika kita mengubah perilaku kita untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok atau standar kelompok agar seseorang dapat diterima secara sosial dan menghindari penolakan, pelecehan, atau ejekan (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). b. Pengaruh informasi Adanya bukti-bukti dan berbagai informasi mengenai realitas yang diberikan oleh orang lain yang dapat diterima atau tidak dapat dielakkan lagi. Tendensi untuk menyesuaikan diri berdasarkan pengaruh informasi ini bergantung pada 2 aspek situasi yaitu: seberapa besar keyakinan kita pada kelompok dan seberapa yakinkah kita pada penilaian diri kita sendiri sosial (Taylor, Peplau, & Sears,
2009).
Semakin besar kepercayaan kita kepada informasi dan opini kelompok, semakin mungkin kita menyesuaikan diri dengan kelompok tersebut. Menurut Sears, dkk (2002) terdapat 3 macam aspek konformitas, diantaranya adalah a. Peniruan Peniruan adalah keinginan individu agar sama dengan orang lain secara terbuka atau dengan adanya tekanan (nyata atau dibayangkan) yang menyebabkan konformitas b. Penyesuaian Penyesuaian adalah keinginan individu agar dapat diterima oleh orang lain yang menyebabkan individu bersifat konformitas pada orang lain. Individu biasanya melakukan penyesuaian dengan norma yang suda ada pada kelompok.
20
c. Kepercayaan Kepercayaan individu akan semakin besar apabila informasi yang diperoleh dari orang lain terbukti kebenarannya, makan akan semakin meningkat ketepatan informasi dalam memilih untuk conform terhadap orang lain. 2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konformitas menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) a. Ukuran kelompok Konformitas akan semakin meningkat apabila ukuran kelompok meningkat. Asch (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) mengatakan bahwa
2 orang akan
menghasilkan lebih banyak tekanan ke arah konformitas dibandingkan 1 orang dan 3 orang tekanannya lebih besar daripada 2 orang, sedangkan peningkatan jumlah kelompok setelah 4 orang secara substansial tidak meningkatkan konformitas (Taylor, Peplau, & Sears, 2009) b. Keseragaman kelompok Seseorang akan berhadapan dengan mayoritas yang kompak dan cenderung untuk ikut menyesuaikan diri dengan mayoritas tersebut. Apabila kelompok tersebut tidak kompak, maka ada penurunan konformitas. Penurunan konformitas yang ekstrim akibat ketidakkompakan tampaknya disebabkan oleh faktor tingkat keyakinan pada kelompok akibat terjadinya perselisihan dan faktor keengganan untuk menonjol ( Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
c. Komitmen kepada kelompok Komitmen adalah semua kekuatan positif atau negatif yang membuat individu tetap berhubungan atau tetap dalam kelompok. kekuatan positif yang menarik individu masuk ke dalam kelompok seperti percaya bahwa kelompok memiliki tujuan yang
21
luhur, rasa suka terhadap sesama anggota kelompok, dan mengharapkan keuntungan dari kelompok. Kekuatan negatif membuat seseorang tidak mau meninggalkan kelompok seperti kelompok yang membuat anggotanya rugi. Semakin besar tekanan komitmen terhadap kelompok, semakin besar tekanan ke arah konformitas (Taylor, Peplau, & Sears 2009). d. Keinginan deindividuasi Seseorang yang memiliki skor individuasi tinggi jika menunjukkan kesediaan untuk melakukan hal-hal yang berbeda dengan orang lain, namun apabila seseorang memiliki skor individuasi rendah orang tersebut akan ragu atau enggan melakukan hal-hal yang membuatnya berbeda (Taylor, Peplau, & Sears 2009).
3. Dimensi konformitas Dalam pembentukan konformitas, terdapat dimensi-dimensi pembentuk di dalamnya. Di bawah ini merupakan dimensi konformitas menurut Sears (1999) 1. Kekompakan Kekuatan yang dimiliki kelompok yang membuat remaja tertarik dan ingin tetap menjadi bagian dari sebuah kelompok. Semakin besar rasa suka individu terhadap kelompoknya, akan semakin besar keinginan individu tersebut untuk kompak dengan kelompok dan konformitas akan menjadi tinggi (Sears, 1999). 2. Kesepakatan Pendapat kelompok merupakan acuan yang memiliki tekanan kuat, sehingga remaja harus menyesuaikan pendapat dengan kelompok (Sears, 1999).
22
3. Ketaatan Tekanan dan tuntutan dari kelompok yang membuat remaja rela untuk melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkan perilaku tersebut. Semakin remaja taat pada kelompoknya, tingkat konformitas juga semakin tinggi (Sears, 1999).
Di dalam penelitian ini, peneliti membuat skala konformitas berdasarkan dimensi yang diperoleh dari Sears (2002) a. Peniruan keinginan individu agar sama dengan orang lain secara terbuka atau dengan adanya tekanan (nyata atau dibayangkan) yang menyebabkan konformitas. b. Penyesuaian keinginan individu agar dapat diterima oleh orang lain yang menyebabkan individu bersifat konformitas pada orang lain. Individu biasanya melakukan penyesuaian dengan norma yang suda ada pada kelompok. c. Kepercayaan Kepercayaan individu akan semakin besar apabila informasi yang diperoleh dari orang lain terbukti kebenarannya, makan akan semakin meningkat ketepatan informasi dalam memilih untuk conform terhadap orang lain.
C. Kecerdasan Emosional
1. Definisi Kecerdasan Emosional Menurut Goleman (1995) kecerdasan emosional meliputi perasaan serta pikiranpikiran yang khas baik secara psikologis maupun biologis dan merupakan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Kecerdasan emosional merupakan suatu kemampuan yang
23
dimiliki oleh individu yang meliputi kemampuan untuk mempersepsikan, membangkitkan, serta memasuki emosional yang dapat membantu untuk menyadari serta mengelola emosi diri sendiri maupun orang lain, sehingga dapat mengembangkan pertumbuhan emosi dan intelektual. Selain itu kecerdasan emosional menurut Goleman (1995) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan ketika individu mengalami suatu keadaan yang membuat frustasi, mengendalikan dorongan hati serta tidak melebih-lebihkan kesenangan yang dirasakan, mengatur suasana hati dan juga menjaga agar beban stres yang ada tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, serta berdoa. Menurut McShane dan Von Glinow (dalam Wibowo, 2013) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah sekumpulan kemampuan untuk merasakan dan menyatakan emosi, mengasimilasi emosi dalam berpikir, memahami dan alasan dengan emosi, dan menghubungkan emosi dalam diri sendiri dan orang lain. Kritner dan Kinicki (dalam Wibowo, 2013), menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan mengelola dirinya sendiri dan berinteraksi dengan orang lain dengan cara dewasa dan juga konstruktif. Berdasarkan paparan teori diatas peneliti memutuskan untuk menggunakan teori dari Goleman (1995) karena dianggap komprehensif dalam menjelaskan kecerdasan emosional. 2. Dimensi Kecerdasan Emosional Dimensi kecerdasan emosional menurut Labbaf (2011) adalah sebagai berikut: a. Self awareness Kemampuan seseorang untuk memahami potensi-potensi yang ada di dalam diri seperti kekurangan dan kelebihan yang ada di dalam individu tersebut. b. Self regulation
24
Kemampuan seseorang untuk mengatur dan memahami emosi-emosi yang ada di dalam diri. c. Self motivation Kemampuan seseorang untuk memotivasi dirinya sendiri di dalam berbagai keadaan.
Di bawah ini merupakan dimensi kecerdasan emosional dari Martin (2003) a. Kesadaran diri 1) Kesadaran emosi Mampu mengenali emosi diri dan orang lain, serta memahami dampaknya pada orang lain. 2) Penilaian diri secara akurat Menyadari kekurangan dan kelebihan diri, serta mampu memahami apa yang harus diperbaiki dan dipelajari dari pengalaman sebelumnya. 3)Percaya diri Suatu rasa keberanian yang muncul karena adanya keyakinan akan kemampuan diri sendiri. b. Pengaturan diri 1) Pengendalian diri Mampu mengelolam emosi dan impuls di dalam diri. 2) Sifat dapat dipercaya Memelihara kejujuran dan integritas di dalam diri. 3) Kewaspadaan Bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan oleh diri. 4) Adaptabilitas
25
Mampu menerima adanya perubahan. 5) Inovasi Memiliki pikiran yang terbuka terkait dengan informasi yang ada saat ini. c. Motivasi 1) Dorongan berprestasi Dorongan untuk menjadi individu yang lebih baik. 2) Komitmen Sikap yang setia pada visi dan misi yang ada dilingkungan. 3) Inisiatif Kesiapan individu untuk memanfaatkan kesempatan. 4) Optimisme Kegigihan individu untuk memperjuangkan sasaran walaupun adanya rintangan. d. Empati 1) Memahami orang lain Mampu memahami perasaan orang lain dan mampu memahami kepentingan orang lain dengan tidak selalu mendahulukan kepentingan pribadi. 2) Orientasi pelayanan Mampu memahami, mengatasi, dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan orang lain. 3) Mengembangkan orang lain Mempu merasakan kebutuhan orang lain untuk berkembang dan berusaha membantu orang tersebut untuk berkembang. 4) Memanfaatkan keseragaman Mampu bergaul dengan semua orang untuk mendapatkan peluang. 5) Manajeman konflik
26
Kemampuan individu dalam negosiasi. 6) Kolaborasi dan kooperatif Kemampuan bekerja sama dengan orang lain demi tujuan yang sama. 7) Kemampuan tim Kemampuan individu untuk berjuang memperoleh tujuan yang sama dengan menciptakan sinergi kelompok. e. Keterampilan sosial 1) Pengaruh Memiliki taktik untuk melakukan persuasi. 2) Komunikasi Kemampuan individu dalam mengirimkan dan menerima pesan dengan baik. 3) Kepemimpinan Membangkitkan inspirasi dan mampu memandu orang lain. 4) Katalisator perubahan Kemampuan mengawali dan menciptakan perubahan.
Peneliti memutuskan untuk menggunakan aspek Goleman sebagai dimensi untuk membuat alat ukur. Goleman (2001) membagi kecerdasan emosional ke dalam beberapa aspek yang akan dijabarkan sebagai berikut: a. Mengenali Emosi Diri Mengenali emosi diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional. Kemampuan mengenali emosi dibimbing oleh dua kemampuan, yaitu kemampuan menyadari apa yang dipikirkan dan mengenali apa yang dirasakan. Inti dari mengenali emosi diri adalah mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi atau timbul.
27
Mengenali emosi diri sama dengan kesadaran diri, yaitu mengetahui apa yang seseorang rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki acuan yang realistis atas kemampuan diri dan memiliki kepercayaan diri yang kuat. Penggunaan istilah kesadaran diri mengacu pada perhatian seseorang yang introspektif dan bercermin pada diri akan pengalamannya. Menurut Goleman (1995) beberapa hal penting yang berkaitan dengan mengenali emosi diri yaitu : 1) Mengenali dan merasakan emosinya sendiri, sungguh-sungguh menyadari emosi apa yang terjadi dalam diri, dan dengan penuh kesadaran merasakan emosi yang terjadi. 2) Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul dan tahu apa atau siapa yang menyebabkan suatu perasaan muncul. 3) Mengenali perbedaan antara perasaan dan tindakan. Seseorang harus mampu membedakan bahwa perasaan adalah sesuatu yang terjadi di dalam diri, sedangkan tindakan lebih pada perwujudan ke luar dari pikiran dan perasaan. Pada akhirnya dapat diketahui bahwa mengungkapkan perasaan itu dalam bentuk tindakan atau perilaku yang ditampakkan. b. Mengelola Emosi Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat. Kecakapan mengelola emosi ini merupakan kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri yang meliputi kemampuan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan. Orang yang memiliki kecakapan ini mampu bangkit kembali, sedangkan orang yang kemampuannya di bidang ini buruk maka akan terus bertarung melawan perasaannya.
28
Goleman (2001) menyatakan hal-hal penting dalam mengelola emosi yaitu : 1) Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah. 2) Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat 3) Berkurangnya prilaku agresif 4) Perasaan positif tentang diri sendiri 5) Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa c. Memotivasi Diri Sendiri Memotivasi diri merupakan kemampuan untuk menata emosi. Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya untuk memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan berkreasi. Memotivasi diri juga bisa diartikan menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, serta bertahan untuk menghadapi kegagalan dan frustasi. Memotivasi diri sendiri dapat diartikan bahwa orang mampu bangkit dan terdorong untuk berubah. Orang yang memiliki kecakapan ini tidak tercampak dalam suatu kegagalan dan mudah puas dengan pekerjaannya, melainkan terus berusaha untuk memperbaiki dirinya. Kendali diri atau menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati menjadi landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Goleman (2001) menyatakan bahwa hal-hal penting dalam memotivasi diri sendiri yaitu : 1) Lebih bertanggungjawab, hal ini berarti bahwa orang mampu bertanggungjawab atas apa yang ia lakukan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. 2) Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan .
29
3) Lebih menguasai diri d. Mengenali Emosi Orang Lain Mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. Empati juga mencakup kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif remaja tersebut, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai watak orang. Menurut Goleman (2001) hal-hal penting dalam mengenali emosi orang lain yaitu: 1) Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain 2) Empati dan peka terhadap perasaan orang lain. 3) Lebih baik dalam mendengarkan orang lain e. Membina Hubungan Seni membina hubungan berarti kecakapan untuk berinteraksi dengan orang lain,
kemampuan
untuk
menjalin
hubungan
dan
bagaimana
seseorang
menempatkan dirinya dalam suatu kelompok. Kemampuan untuk mengungkapkan diri dan perasaan merupakan dasar dalam kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Menurut Goleman (2001) beberapa hal penting yang berkaitan dengan membina hubungan yaitu : 1) Kemampuan menganalisis dan membina hubungan 2) Lebih baik dalam menyelesaikan pertikaian dan merundingkan perselisihan 3) Lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan 4) Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi
30
5) Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa 6) Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok 7) Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama dan suka menolong 8) Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain
D. Remaja Madya
Menurut Hall (dalam Hurlock 2003) remaja atau yang sering disebut dengan adolescence adalah masa antara usia 12 sampai 23 yang penuh dengan topan dan tekanan. Topan dan tekanan (storm-and-stres) adalah konsep Hall tentang remaja sebagai masa goncangan yang ditandai dengan konflik dan perubahan suasana hati. Akan tetapi meskipun kebanyakan remaja mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang lebih positif dibandingkan dengan yang digambarkan oleh orang dewasa dan media, banyak remaja yang sekarang ini tidak memperoleh cukup kesempatan dan dukungan untuk menjadi orang dewasa yang kompeten (Santrock, 2003). Masa remaja dibagi menjadi tiga masa oleh Gunarsa dan Gunarsa (2012) yang akan diuraikan sebagai berikut: a. Masa remaja awal : 11 – 15 tahun b. Masa remaja madya : 15 – 18 tahun c. Masa remaja akhir : 18 – 21 tahun Menurut Santrock (2003) remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional yang berhubungan dengan minat pada karir, pacaran, dan eksploitasi identitas. Rice (2001) menyatakan bahwa remaja adalah periode tumbuhnya antara anakanak dan dewasa. Remaja biasanya dibagi menjadi dua yaitu early adolescence (umur 11-
31
14 tahun) dan middle or late adolescence (15-19 tahun). Ada berbagai pendekatan pada pembelajaran mengenai remaja seperti pendekatan biologis, pendekatan kognitif, pendekatan psikoseksual dan pendekatan sosial. Masa remaja (adolescence) merupakan peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun bahkan bisa lebih awal sampai masa remaja akhir atau usia dua puluhan awal (Papalia, 2009). Perkembangan pada masa remaja ini meliputi perubahan besar yang terjadi dalam aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan satu sama lain. Perubahan bentuk fisik pada remaja ditunjukkan dengan bekerjanya organ-organ reproduksi sedangkan perubahan bentuk fisik semakin menyerupai orang dewasa. Perubahan dari sisi kognitif dapat terlihat dari semakin responsifnya remaja terhadap lingkungannya, mengkritisi segala sesuatu yang di hadapinya dan mulai mampu merangkai cita-cita untuk masa depannya (Steinberg, 1993). Masa remaja dianggap sebagai usia yang bermasalah. Ada 2 alasan terkait dengan pernyataan tersebut, diantaranya adalah masalah pada waktu masa anak-anak diselesaikan oleh orang tua atau guru sehingga remaja tersebut tidak memiliki pengalaman untuk menyelesaikan masalahnya, alasan lainnya adalah remaja yang ingin mandiri sehingga di dalam penyelesaian masalahnya, tidak ingin dibantu oleh orang lain dan akibatnya adalah penyelesaian masalah tersebut tidak sesuai dengan harapan remaja tersebut (Hurlock ,2003). Usia anak yang rawan akan perilaku agresif berada dalam rentang usia 13-18 tahun karena terkait dengan emosi remaja yang fluktuatif (Rice, 2001). Remaja berumur 15-18 tahun disebut dengan remaja madya, pada usia ini remaja membutuhkan teman-teman dan membutuhkan pengakuan (Hurlock, 2003).
32
E. Hubungan antar Variabel Remaja merupakan fase peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa (Hurlock, 2003). Pada masa ini remaja mulai menduduki bangku di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), remaja yang sedang duduk di bangku SMA berusia 15-18 tahun yang dapat disebut sebagai remaja madya (Gunarsa & Gunarsa, 2012). Remaja adalah generasi muda yang merupakan harapan untuk menjadi penerus bangsa, sehingga membimbing remaja menjadi individu yang berkualitas merupakan tugas bersama yang tidak mudah dan memiliki banyak risiko (Buwono, 2007) Lingkungan sekitar harus mendukung proses pembinaan tersebut dengan memberikan contoh atau teladan yang baik kepada remaja. Lingkungan sekolah merupakan tempat dimana remaja paling banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman. Interaksi remaja dengan orang lain memunculkan suatu kebutuhan untuk diterima dan diakui oleh orang lain atau yang disebut dengan pengaruh norma, selain itu terdapat juga tendensi untuk memperoleh informasi dari kelompok. Informasi akan diterima dan dipercaya tergantung dari seberapa besar remaja mempercayai kelompok (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Remaja di dalam tahapan perkembangan psikosial akan banyak melakukan interaksi dengan individu, masyarakat maupun dengan organsasu, oleh karena itu remaja akan mendapat pengaruh dari individu maupun masyarakat yang diajak melakukan interaksi. Pengaruh tersebut adalah pengaruh normatif dan pengaruh informasional. Pengaruh normatif merupakan individu yang akan menyesuaikan diri dengan norma kelompoknya, sedangkan pengaruh informasional adalah individu yang akan mempercayai seluruh informasi yang diberikan oleh kelompok Deutsch & Gerrard (dalam Sarwono 2005). Kedua pengaruh tersebut
merupakan alasan mengapa orang melakukan
konformitas. Konformitas adalah individu yang melakukan suatu perilaku karena melihat
33
orang lain menampilkan perilaku tersebut (Sears, 1999). Konformitas dapat berdampak positif dan negatif, contoh dari konformitas positif adalah mematuhi peraturan di masyarakat dan contoh dari konformitas negatif seperti ikut tergabung di dalam geng motor, merokok, membolos, dan tawuran dapat merujuk ke tindak agresivitas pada remaja. Penelitian Yuliana (2012) menyatakan bahwa adanya hubungan yang signifikan dan positif antara konformitas dengan perilaku agresif. Hal tersebut terkait dengan perilaku siswa yang cenderung ikut-ikutan dengan perilaku teman sebaya seperti mengikuti kebiasaan merokok, mengikuti kebiasaan memaki-maki dengan menggunakan kata-kata kasar. Konformitas yang negatif menyebabkan munculnya tindak agresivitas pada remaja karena terkait dengan pengaruh sosial yang memiliki sisi negatif dan positif (Sarwono, 2009). Pengaruh sosial dapat berupa interaksi yang dilakukan oleh remaja dengan teman sebaya karena tidak semua interaksi yang dilakukan bersifat positif, melainkan ada juga yang negatif seperti perkelahian, tawuran dan lain sebagainya yang merujuk tindak agresivitas yang merupakan akar dari kekerasan (Prawira, 2014). Agresivitas yang terjadi pada remaja berhubungan dengan naik turunnya emosi yang dirasakan oleh remaja tersebut, karena remaja mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi (Hurlock, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan agresivitas. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa remaja yang mampu mengolah kecerdasan emosional dengan baik, memiliki tendensi agresivitas yang rendah dan remaja yang tidak mampu mengolah kecerdasan emosional yang baik cenderung memiliki tendensi agresivitas yang lebih tinggi. Setiap individu memiliki kecerdasan emosional yang berbeda-beda. Berdasarkan tinjauan dinamika antar variabel yang telah diuraikan diatas,
34
dapat diasumsikannya bahwa terdapat hubungan yang signifikan konformitas dan kecerdasan emosional terhadap agresivitas pada remaja madya di SMAN 7 Denpasar.
Gambar 1. Skema Hubungan antar Variabel Keterangan: : garis pengaruh yang akan diteliti : garis yang mempengaruhi variabel, tidak diteliti : variabel yang akan diteliti : variabel yang tidak akan diteliti
F. Hipotesis Penelitian Hipotesis mayor Konformitas dan kecerdasan emosional memiliki hubungan terhadap agresivitas pada remaja madya di SMAN 7 Denpasar.
35
Hipotesis minor 1. Ada korelasi positif antara konformitas dengan agresivitas pada remaja madya di SMAN 7 Denpasar. 2. Ada korelasi negatif antara kecerdasan emosional dengan agresivitas pada remaja madya di SMAN 7 Denpasar.