BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum 1.
Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbutan dan sebagainya)
memperlindungi (Kamus besar bahasa Indonesia).4 Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan atau pihak lainya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.5 Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.6 Menurut Daliyo hukum adalah peraturan tingkah laku manusia, yang diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang bersifat memaksa, harus dipatuhi, dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar peraturan tersebut (sanksi itu pasti dan dapat dirasakan nyata bagi yang bersangkutan).7 4
Balai Pustaka. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta. 5 UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 6 PP No 2 Tahun 2002 Tentang tata cara perlindungan korban dan saksi 7 Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 30
5
Hukum objektif adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara sesama anggota masyarakat. Dari sini berkembang pengertian hubungan hukum yaitu hubungan antar sesama anggota masyarakat yang diatur oleh hukum, dan subjek hukum yaitu masing-masing anggota masyarakat yang saling mengadakan hubungan hukum.8 Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.9 2. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana, peristiwa pidana dan perbuatan pidana merupakan beberapa istilah dari penerjemahan istilah “strafbaar feit” kedalam bahasa Indonesia. Dari segi harfiah, istilah strafbaar feit terdiri dari straf berarti hukuman (pidana), baar berarti dapat (boleh), dan feit berarti peristiwa (perbuatan). Jadi, istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Hal ini sedah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dipidana itu
8 9
Ibid. Hlm 21 Object.
6
sebenarnya manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, peristiwa atau perbuatannya.10 Berikut ini adalah beberapa pengertian strafbaar feit dari para ahli: a) Menurut Hazewinkel Suringa Menyatakan strafbaar feit adalah suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan saranasarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalam UndangUndang”.11 b) Pompe memberikan batasan pengertian strafbaar feit adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku. Dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.12 c) Simons menyatakan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan dengan suatu tindakan yang dapat dihukum”.13
10
P.A.P. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Hlm. 181 Hazewinkel-surianga, Inleiding, Hlm. 25. 12 P.A.P. Lamintang, Loc. It. 13 Simons, Leerboek I; Ibid, Loc. It. Hlm. 186 11
7
d) Sedangkan Vos Mengartikan strafbaar feit yaitu suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang oleh Undang-Undang diancam dengan pidana”.14 e) R. Tresna menjelaskan serta memberikan batasan bahwa Pengertian peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau perundangundangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan pemidanaan”.15 f)
Rusli Effendy dalam memberi batasan dengan mempergunakan istilah peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dapat dikenakan pidana oleh hukum pidana, memakai kata hukum pidana tertulis dan ada hukum pidana yang tidak tertulis (hukum pidana adat)”.16
g) Kemudian A. Zainal Abidin Farid menyatakan dengan mendasari pendapatnya dari para ahli hukum pidana Belanda yang memberi pengertian strafbaar feit, yakni Bahwa strafbaar feit terjemahan peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan
kesalahan
(schuld)
seseorang
yang
mampu
bertanggungjawab”.17 Sedangkan istilah tindak pidana itu sendiri adalah pelanggaran normanorma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum
14
Ibid. Hlm. 182 Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Hlm. 5 16 Effendy, Rusli. 1986. Azas-azas Hukum Pidana. Makassar : LEPPEN-UMI. 17 Zainal Abidin. Hukum Pidana 1; Lamintang, 1997. Dasar-dasar Hukum PidanaIndonesia. Bandung. 15
8
ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintahan yang oleh pembentuk Undang-Undang ditanggapi sebagai hukum pidana. Sedangkan istilah tindak pidana itu sendiri adalah pelanggaran normanorma dalam tiga bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintahan yang oleh pembentuk Undang-Undang ditanggapi sebagai hukum pidana.18 Pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela dan ada pula asas hukum yang tidak tertulis ”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”. Kiranya dapat pula disamakan dengan istilah Inggris criminal act dengan alas an Bahwa criminal act ini juga berarti kelakuan dan akibat, atau dengan kata lain sebagai akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum. Dan juga karena criminal act juga dapat dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau responsibility juga untuk dapat dipidananya seseorang selain daripada melakukan perbuatan pidana orang itu harus mempunyai kesalahan (guilt).19 Beda halnya dengan istilah perbuatan pidana yang bersifat lebih abstrak dibandingkan dengan istilah peristiwa pidana yaitu bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu. Disini larangan
18 19
Wirjono Prodjodikoro, 1989. Asas-asas Hukum Pidana: Bandung. Hlm 13 Andi Hamzah, 1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana : Jakarta
9
dijatuhkan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan erat, oleh karena itu antar kejadian dan orang yang menimbulkan tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Dan untuk menyatakan hubungan yang erat itu maka digunakanlah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian tersebut.20 2.2 Syarat Pemidanaan Tindak Pidana 1.
Unsur Perbuatan (Feit) Unsur perbuatan merupakan unsur pembentuk dari tindak pidana. Pada
dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Perbuatan atau feit tidak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten). Pengertian yang sebenarnnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (Pasal 362 KUHP) atau merusak (Pasal 406 KUHP). Sementara itu, perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk
20
Moeljatno, 2002. Asas-asas Hukum pidana. Jakarta : Hlm.54
10
perbuatan fisik apa pun yang oleh karenanya seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (Pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (Pasal 304 KUHP). Dengan demikian aturan, mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut. Adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. 2.
Unsur Pembuat (Dader) Unsur pembuat (dader) adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku tindak pidana, dan termasuk didalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Unsur pembuat merupakan salah satu syarat pemidanaan bagi pelaku tindak pidana yang melakukan kesalahan baik itu kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Telah dikatakan bahwa pertanggungjawaban tindak pidana tidaklah mungkin terjadi tanpa sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana. Dengan demikian pertanggungjawaban pidana selalu tertuju pada pembuat tindak pidana tersebut. Dalam hal ini pembuat tidak dapat dipersamakan dengan pelaku materil (pleger) tetapi pembuat (dader). Oleh karena itu,
11
apakah pertanggungjawaban pidana itu ditujukan terhadap orang yang melakukan tindak pidana (pelaku), atau orang-orang lain yang ada kaitan dengannya (pembuat selain pelaku), merupakan persoalan penetapan tindak pidana (kriminalisasi) dan bukan persoalan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya subjek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. Tidaklah mungkin orang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana tanpa sebelumnya yang bersangkutan melakukan tindak pidana. Sebaliknya, sangat mungkin memasukkkan dalam larangan yang disertai ancaman pidana (merumuskan sebagai tindak pidana) “hubungan tertentu” seseorang dengan orang lain yang melakukan tindak pidana. Dipidananya menyuruh melakukan (doenpleger) dan penganjur (uitlokker) tindak pidana, sebagaimana dimaksud, Cuma karena mempunyai “hubungan tertentu” dengan pelaku materil (pleger).21 Pemidanaan terhadap mereka yang menyuruh melakukan ataupun mereka yang menganjurkan hanya
dapat
terjadi
melalui
penetapan
undang-undang.
Baik
penyuruhlakukan maupun penganjur, keduanya tidak melakukan tindak pidana yang dilakukan pelaku, tetapi dipandang melakukan tindak pidana jika karena suruhan dan anjurannya seseorang melakukan tindak pidana. Mereka semua dipandang sebagai melakukan tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidananya ditujukan terhadap perbuatannya itu.22
21 22
Pasal 55 KUHP Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta. Hlm. 24
12
2.3 Tindak Pidana Perkosaan Sebagai Delik Kesusilaan 1.
Pengertian Tindak Pidana Pemerkosaan Tindak pidana pemerkosaan dalam KUHP diatur pada Buku II Bab XIV
tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Secara singkat dan sederhana, delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesusilaan diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan adab dan sopan santun; perilaku susila. Namun untuk menentukan seberapa jauh ruang lingkupnya tidaklah mudah, karena pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Pengertian perkosaan dilihat dari etiologi/asal kata yang dapat diuraikan sebagai berikut: Perkosa : gagah; paksa; kekerasan; perkasa. Memperkosa: 1) Menundukkan dan sebagainya dengan kekerasan: 2) Melanggar (menyerang dsb) dengan kekerasan. Perkosaan : 1) perbuatan memperkosa; penggagahan; paksaan; 2) pelanggaran dengan kekerasan.23 Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa perkosaan adalah: “Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu”.24
23
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, PN Balai Pustaka, 1984), hal.741. 24 Wirdjono Prodjodikoro, 1986, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung, Eresco,), Hlm. 117.
13
Menurut Roeslan Saleh penentuan delik-delik kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang termasuk dalam penguasaan norma-norma kepatutan bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat, misalnya meninggalkan orang yang perlu ditolong, penghinaan dan membuka rahasia.25 Sementara jika diamati berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsi masyarakat tentang arti kesusilaan lebih condong kepada kelakuan yang benar atau salah, khususnya dalam hubungan tindak pidana pemerkosaan termasuk salah satu kejahatan terhadap kesusilaan yang dijelaskan: “Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan pemerkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.26 Ketentuan Pasal diatas terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana pemerkosaan, unsur-unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut : a)
Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya sampai orang itu jadi pingsan atau tidak berdaya.
25 26
Roeslan Saleh 1981. Stelsel Pidana Indonesia: Jakarta. Hlm. 54 Pasal 285 KUHP
14
b) Memaksa seorang wanita. Memaksa seorang wanita, artinya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia. c)
Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku). Bersetubuh di luar perkawinan, artinya peraduan antara kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kelamin laki-laki harus masuk ke anggota kelamin perempuan, sehingga mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan istrinya.27
Sementara tindak pidana pemerkosaan menurut RUU KUHP diatur dalam Bab XVI Tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian berbunyi: “Dipidana karena melakukan tindak pidana pemerkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama tahun: 1) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuantersebut; 2) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan diluar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut; 3) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuantersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai.
27
Soesilo, R. 1986. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politea.
15
4) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan,dengan persetujuan perempuan
tersebut karena perempuantersebut percaya
bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah; 5) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 (empat belas) tahun, denganpersetujuannya; atau; 6) Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaanpingsan atau tidak berdaya”.28 2.
Pengertian Korban Mengenai pengertian korban itu sendiri ditegaskan bahwa korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/ atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.29 Sebagai objek kajian viktimologi maka pengertian dan ruang lingkup korban kejahatan perlu dibahas dalam rangka mendapatkan pemahaman yang menyeluruh. Dalam beberapa literatur telah banyak dibahas mengenai pengertian korban kejahatan adalah: “Seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat dari suatu kejahatan dan atau keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan”.30
28
R. Soesilo, 1986. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politea. 29 Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 30 Muladi. 1997. Perlindungan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana: Sebagaimana dimuat dalam Kumpulan Karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro . Hlm 78
16
Sebagai korban kejahatan, kerugian yang diderita dapat berupa kerugian materiil dan inmateril misalnya pada tindak pidana psikotropika umumnya selain korban mengalami gangguan fisik juga gangguan mental dan tidak jarang pula terjadi korban lain seperti gangguan terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya bahkan masyarakat yang ada di sekelilingnya, lebih luas lagi dampaknya pada stabilitas kelangsungan bernegara. Menurut Arif Gosita bahwa korban kejahatan adalah mereka yang menderita fisik, mental, sosial sebagai akibat tindakan jahat mereka yang memenuhi kepentingan diri sendiri atau pihak yang menderita.31 Yang dimaksud dengan mereka adalah korban yang perorangan atau korban individual (viktimisasi primer) dan korban bukan orang perorangan, misalnya suatu badan komersial kolektif (viktimisasi sekunder).32 Barda Nawawi, menyatakan bahwa : “Korban ialah orang-orang baik secara individual maupun kolektif yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan”.33 Dari berbagai pengertian yang telah diberikan, jelas bahwa korban adalah orang yang mengalami sesuatu hal. Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak-hak tersebut diantaranya termuat dalam Undang-undang 31
Arif Gosita. 2004. Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung, PT. Eresco. Hlm: 101 Object. act 33 Arief Badar Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan PengembanganHukum Pidana, Citra Aditya Bakti. Hlm: 54. 32
17
Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menegaskan bahwa korban berhak untuk : 1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; 2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanan; 3) Memberikan keterangan tanpa tekanan ; 4) Mendapat penerjemah; 5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat; 6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; 7) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; 8) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; 9) Mendapat identitas baru; 10) Mendapatkan tempat kediaman baru; 11) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; 12) Mendapat nasihat; dan/atau 13) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.34
34
Pasal 5, Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
18
2.4 Pengertian dan Jenis-jenis Korban Perkosaan 1. Pengertian Korban Perkosaan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.35 Sedangkan, korban adalah (orang) yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dsb) sendiri atau orang lain.36 Dalam studi kriminologi, korban dibagi dalam 2 (dua) pengertian, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Korban dalam arti sempit adalah korban kejahatan, sedangkan dalam arti luas meliputi pula korban dalam berbagai bidang seperti korban pencemaran, korban kesewenang-wenangan dan lain sebagainya.37 Menurut Arif Gosita, korban pemerkosaan adalah seorang wanita, yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut: 1) Korban pemerkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek) sedangkan ada juga laki-laki yang diperkosa oleh wanita.
35
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan korban 36 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN Balai Pustaka, 1984. Loc. It 37 I.S. Susanto, Kriminologi, (Semarang, Fakultas Hukum UNDIP, 1995), hal. 89
19
2) Korban harus mengalami kekerasan atau ancamankekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan pelaku.38 2.
Jenis-jenis Korban Perkosaan Perkosaan dapat digolongkan sebagai berikut: a.
Sadistic Rape. Perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
b.
Anger Rape. Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah yang tertahan. Tubuh korban disini seakan-akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
c.
Domination Rape. Yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.
d.
Seductive Rape. Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban
38
Arif Gosita, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), (Jakarta, IND.HILL-CO, 1987), hal. 12
20
memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tidak mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks. e.
Victim Precipitated Rape. Yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.
f.
Exploitation Rape Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan
yang bergantung padanya secara ekonomis dan sosial.
Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.Namun
demikian
dilihat
dari
perspektsif
kriminologi,
kekerasan ini menunjuk kepada tingkalaku yang berbeda-beda baik mengenai motif maupun mengenai tindakannya, seperti perkosaan dan pembunuhan, kedua macam kejahatan ini diikuti dengan kekerasan.39 Sedangkan Menurut Arief Gosita dalam tulisannya menjabarkan, Jenisjenis korban perkosaan, sebagai berikut: a)
Korban Murni, terdiri atas: (1) Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan;
39
Romli Atmasasmita, 1992., Teori Kapitaselekta Kriminologi, PT Eresco Bandung, Hlm. 55-56
21
(2) Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum perkosaan. b) Korban Ganda, yaitu Korban perkosaan yang selain mengalami penderitaan selama diperkosa, juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial, misalnya: mengalami ancama-ancaman yang mengganggu jiwa, mendapat pelayanan yang tidak baik selama pemeriksaan Pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian, mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat khusus, dan lain-lain. c)
Korban Semu, adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku. Ia berlagak diperkosa dengan tujuan mendapat sesuatu dari pelaku yang menimbulkan beberapa kemungkinan, sebagai berikut: (1) Ada kemungkinan ia berbuat demikian karena kehendaknya sendiri; (2) Ada kemungkinan ia berbuat karena disuruh, dipaksa untuk berbuat demikian demi kepentingan yang menyuruh. Dalam pengertian tertentu, pelaku menjadi korban tindak kejahatan lain.40
2.5 Tujuan Hukum Pidana Indonesia Dan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan. 1. Tujuan Hukum Pidana Indonesia Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri
40
dari
lembaga-lembaga
kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan
dan
Arif Gosita, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), Loc Cit
22
pemasyarakatan terpidana.41 Tujuan dari sistem peradilan pidana tersebut adalah sebagai berikut: a.
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b.
Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c.
Mengusahakan agara mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengungkapkan 4 (empat) komponen sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan membentuk suatu Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan dalam bekerja tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat 3 (tiga) kerugian, yaitu: a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masingmasing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama. b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok pada setiap instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana). c. Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi, maka
setiap
instansi
tidak
terlalu
memperhatikan
efektivitas
menyeluruh dari sistem peradilan pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana (integrated criminal justice system) merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum
41
Mardjono Reksodipoetro. 1993 Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat pada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi (Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada FH-UI, Jakarta,1993), hal. 2
23
pidana.42 Sistem Peradilan Pidana pada hakikatnya merupakan “sistem penegakan hukum pidana” atau “sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana”. Dalam Sistem Peradilan Pidana yang dibutuhkan untuk Penegakan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, merupakan sistem terpadu yang menunjukka proses keterkaitan antar instansi atau pihak yang berwenang dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan asas pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi perempuan korban kekerasan dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan yang bertitik tekan pada perspektif korban yang mensyaratkan korban menjadi atau diletakkan pada pusat berjalannya
sistem
peradilan.
Sebagai
subyek
ia
berhak
didengar
keterangannya, mendapat informasi atas upaya-upaya hukum yang berjalan, dipetimbangkan rasa keadilan yang ingin diperolehnya dan dipulihkan situasi dirinya atas perampasan hak- hak dan kekerasan yang dialaminya.43 Menurut Aliran Klasik, tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Ia memperjuangkan hukum pidana yang lebih adil, objektif dengan penjatuhan pidana yang lebih menghormati individu. Dalam aliran modern, tujuan hukum pidana adalah mengembangkan penyelidikan, asal-usul, cara pencegahan, hukum pidana yang
42
43
Badar Nawawi Arief. Bahan Bacaan Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), hal: 7. Theo Van Boven, Mereka Yang Menjadi Korban: Hak Korban untuk Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi, (Jakarta, ELSAM, 2000), Hlm: 44
24
bermanfaat agar masyarakat terlindung dari kejahatan.44 Berbagai pandangan yang berkaitan dengan tujuan hukum pidana Indonesia itu terkait dengan ketiadaan (kevakuman) rumusan konkrit dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Baru kemudian, dijelaskan mengenai tujuan pemidanaan sebagai berikut : a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan , dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.45 Berbagai tujuan hukum pidana baik yang dipaparkan oleh para ahli hukum pidana maupun yang dirumuskan dalam RUU- KUHP lebih mendeskripsikan mengenai
tujuan
yang
bersifat
pengayoman
pada
masyarakat
dan
mengembalikan (menyembuhkan) pelaku (pelanggar atau penjahat) pada jalan yang benar (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku). Artinya, tujuan hukum pidana Indonesia juga melindungi korban suatu tindak kejahatan seperti kejahatan perkosaan, terutama dalam bentuk pemidanaan terhadap pihak yang dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Penghukuman yang dijatuhkan pada pelaku ini merupakan salah satu hak yang dituntut oleh pihak 44
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Jakarta, Sinar Grafika, 1996), hal. 13-14 45 Buku Kesatu Bab III Bagian Kesatu Tentang Pemidanaan Paragraf 1 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP)
25
korban. Korban yang sudah dirugikan secara fisik dan psikologis menuntut para penegak hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku. 2.
Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Hukum Pidana Di Indonesia a)
Perlindungan Korban Kejahatan Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian
bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) atau Lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.46 b) Perlindungan Korban dapat dilihat dari 2 (dua) makna: (1) Diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan (berarti perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) atau kepentingan hukum seseorang). (2) Diartikan
sebagai
perlindungan
untuk
memperoleh
jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang menjadi korban (identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik/rehabilitasi, pemulihan keseimbangan batin antara lain dengan pemaafan, pemberian
ganti
rugi
seperti
restitusi,
kompensasi,
jaminan/santunan kesejahteraan sosial dan sebagainya.47
46
47
Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Sanksi Dan Korban Barda Nawawi Arief. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan
26
Adapun tujuan dari perlindungan korban adalah sebagai berkut: (a) Memberikan rasa aman kepada korban, khususnya pada saat memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.48 (b) Memberikan dorongan dan motivasi kepada korban agar tidak takut dalam menjalani proses peradilan pidana; (c) Memulihkan rasa percaya diri korban dalam hidup bermasyarakat; (d) Memenuhi rasa keadilan, bukan hanya kepada korban dan keluarga korban, tapi juga kepada masyarakat (e) Memastikan perempuan bebas dari segala bentuk kekerasan; (f) Menempatkan kekerasan berbasis jender sebagai bentuk kejahatan yang serius dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia; (g) Mewujudkan sikap yang tidak mentolerir kekerasan berbasis jender; (h) Penegakan hukum yang adil terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan (perkosaan). c) Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Hukum Pidana Di Indonesia Selama ini pengaturan perlindungan korban khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia belum menampakkan pola yang jelas. Menurut Barda Nawawi Arief dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau
48
Kejahatan. Bandung, Citra Aditya Bakti, Hlm. 56. Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
27
“perlindungan tidak langsung”.49 Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban. Pada sistem peradilan pidana, kepentingan korban diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum maupun masyarakat luas. Selain itu, kerugian korban dapat bersifat materiil yang dapat dinilai dengan uang, dan immateriil yakni perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psikis dan lain sebagainya.50 Perlindungan korban berupa penggantian kerugian materiil dapat dituntut langsung kepada si pelaku kejahatan. Akan tetapi terhadap penggantian kerugian immateriil , di beberapa negara (apabila pelaku orang yang tidak mampu) dibebankan kepada negara. 1) Kondisi kebijakan legislatif mengenai perlindungan korban menurut hukum pidana positif saat ini adalah sebagai berikut: a) Hukum pidana positif saat ini lebih menekankan pada perlindungan korban “in abstracto” dan secara “tidak langsung”. b) Perlindungan secara langsung masih terbatas dalam bentuk pemberian ganti rugi oleh si pelaku tindak pidana. Belum ada ketentuan ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada korban
49 50
Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana, Loc Cit. Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung, PT Alumni, 1992), hal. 78
28
tindak pidana. Ganti rugi oleh negara hanya terbatas pada korban sebagai tersangka, terdakwa atau terpidana. c) Ada 4 (empat) kemungkinan pemberian ganti rugi kepada korban dalam perkara pidana, yaitu: (1) Pemberian ganti rugi sebagai “syarat khusus” dalam pidana bersyarat (KUHP); (2) Memperbaiki akibat-akibat dalam tindak pidana ekonomi, sebagai “tindakan tata tertib” (Undang- Undang nomor 7 Drt. 1955); (3) Pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi, sebagai pidana tambahan (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997); (4) Penggantian biaya yang telah dikeluarkan, dalam proses penggabungan gugatan ganti rugi (perdata) dalam perkara pidana (KUHAP).51 2) Konkretnya, perlindungan terhadap korban kejahatan dirasakan perlu dan imperatif sifatnya. Pada dasarnya ada 2 (dua) model perlindungan, yaitu: Pertama, model hak-hak procedural (the procedural rights model). Secara singkat, model ini menekankan dimungkinkan berperan-aktifnya korban dalam proses peradilan pidana seperti membantu jaksa penuntut umum, dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara,
51
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Loc. Cit, Hlm. 58.
29
3) wajib didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat, dan lain sebagainya. Kedua, model pelayanan (the services model) yang menekankan
pada
pemberian
ganti
kerugian
dalam
bentuk
kompensasi, restitusi dan upaya pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan tertekan akibat kejahatan.52
52
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Loc. Cit, Hlm. 81
30