BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Aksi Komunitas (Masyarakat) Menurut Glen (dalam Adi 2003: 105) ada beberapa ciri khas dari aksi komunitas, yaitu: 1. Tujuan Aksi Komunitas Terkait Dengan Penggalangan Kekuatan Pada Isu-Isu Yang Konkrit Glen menyatakan bahwa aksi komunitas biasanya terkait dengan suatu isu khusus yang dirasa merisaukan oleh suatu komunitas. Isu tersebut mungkin merupakan isu yang khusus bagi sekelompok orang yang berada di wilayah tertentu, atau mungkin merupakan isu yang dirasakan oleh masyarakat secara umum. Kesamaan pengalaman terhadap hal yang dianggap tidak menyenangkan tersebut dapat menjadi tenaga penggerak untuk mengorganisir kekuatan yang akan memunculkan kekuatan solidaritas kolektif. Solidaritas kolektif ini merupakan tenaga penggerak yang utama untuk munculnya suatu gerakan komunitas. Tanpa adanya solidaritas kolektif sebagai energi utama dari gerakan ini, aksi-aksi yang akan dilakukan akan menjadi lemah dan tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan. Ketika masyarakat (komunitas) ingin menggoyang suatu sistem yang sudah mapan, mereka sangat membutuhkan adanya solidaritas kolektif untuk menjamin keberhasilan gerakan mereka.
12
Universitas Sumatera Utara
2. Melakukan Pendekatan yang Menggunakan Strategi dan Teknik yang Bersifat Konflik Glen mengemukakan bahwa kelompok aksi komunitas seringkali mengorganisir diri melalui struktur organisasi yang sederhana agar mereka dapat mengambil keputusan dengan cepat. Mereka menggunakan strategi yang bersifat konflik guna memperoleh dan mempertahankan kekuasaan sebagai sumber energi mereka. Mereka memandang kelompok sasaran mereka sebagai musuh. Penseleksian taktik sangat teragntung dengan peran kelompok sasaran dan posisi nilai kelompok sasaran. (a)
Mereka akan menggunakan taktik bekerjasama seperti presentasi makalah, memberikan penjelasan, dan sebagainya, bila kelompok sasaran mereka pandang sebagai kelompok yang mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan dan mengalokasikan sumber daya, serta mereka menduga bahwa kelompok sasaran tersebut akan mau bekerjasama sesuai dengan norma yang dimiliki oleh kelompok mereka.
(b)
Mereka menggunakan taktik kampanye, seperti membuat petisi, penulisan surat terbuka untuk umum, atau pun pawai, ataupun taktik yang bersifat memaksa seperti terlibat dalam konfrontasi langsung dengan kelompok sasaran, bila kelompok sasaran mereka pandang sebagai kelompok yang mempunyai kapasitas untuk membuat suatu keputusan ataupun kebijakan tetapi tidak responsive (kurang mau menanggapi) tuntutan mereka, terutama karena adanya perbedaan sistem nilai dengan mereka.
13
Universitas Sumatera Utara
3. Community Worker Ataupun Organizer dari Gerakan Ini Biasanya Seorang Aktifis Profesional (Bukan tenaga Sukarela) Seorang aktivis yang berasal dari luar komunitas pada dasarnya adalah seseorang yang mempunyai pengalaman professional yang terkait dan mempunyai perhatian dengan isu yang akan dibahas dalam aksi kelompok. Tugas-tugas dasar dari seorang aktifis biasanya meliputi aspek pengorganisasian pergerakan, mobilisasi dan agitasi. Dilema yang dihadapi komunitas denagn menggunakan tenaga aktifis atau organizer dari luar adalah adanya kemungkinan bahwa seorang aktifis tersebut adalah seorang yang secara politis jauh lebih canggih dari komunitas yang sedang diorganisir. Bila hal ini terjadi maka organizer harus mau meluangkan waktu untuk memberikan informasi, mendidik dan mempersuasi (membujuk) masyarakat untuk mau terlibat dalam gerakan yang akan dilakukan. Sementara itu Flood (dalam Adi 2003: 134) mengemukakan bahwa ada 12 bentuk-bentuk aksi komunitas antara lain adalah sebagai berikut: 1. Pemboikotan Dalam kegiatan ini para partisipan perubahan didorong untuk tidak menggunakan produk ataupun jasa yang dikeluarkan oleh kelompok sasaran. Pemboikotan sangat bermakna dalam kaitan dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan hal yang sedang diperjuangkan oleh agen perubahan. Tetapi pemboikotan akan dapat lebih efektif bila produk ataupun jasa yang lain yang dapat dijangkau massa sebagai pengganti produk dan jasa ayng dikeluarkan oleh kelompok sasaran. Sebaliknya, bila suatu produk dan jasa yang utama hanya dimonopoli oleh suatu pengusaha tanpa ada pesaing yang lain, maka pemboikotan
14
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan agen perubahan seringkali kurang mendapat tanggapan yang positif dari massa. 2. Grafiti Merupakan aksi corat-coret pada tempat tertentu guna menarik perhatian massa. Flood (dalam Adi 1994: 34) melihat bahwa salah satu bentuk grafiti yang baik dan dapat menarik minat masyarakat adalah grafiti yang bersifat sederhana dan kocak dalam menyerang hal yang mereka protes, serta ditempatkan di tempat yang mudah dilihat masyarakat. Akan tetapi, grafiti yang dilakukan pada gedunggedung, tempat-tempat bersejarah ataupun rumah pribadi justru akan dapat menimbulkan antipati masyarakat terhadap gerakan yang sedang mereka jalankan. 3. Pengalihan Flood (dalam Adi 1994: 34) menyatakan bahwa di era 1990-an ini semakin
banyak
kelompok
penekan
yang
semakin
terampil
dalam
mengembangkan strategi yang tidak bersifat kekerasan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan penghormatan dan dukungan dari berbagai pihak terhadap gerakan yang dilakukan. 4. Teater Jalanan Flood
melihat
bahwa
teater
jalanan
dapat
dimanfatkan
untuk
menyampaikan, mengalihkan ataupun memprovokasi massa mengenai suatu isu tertentu. Teater jalanan biasanya dilaksanakan di tempat umum dan tanpa dipungut bayaran, guna menarik minat dan pemirsa yang lebih besar. Teater jalanan yang menarik dan simpatik biasanya lebih dapat menarik emosi masyarakat dibandingkan dengan teater jalanan yang lebih menonjolkan pada aspek kekasaran dan ketidakpuasan terhadap suatu struktur tertentu. Di Indonesia,
15
Universitas Sumatera Utara
beberapa aktivis partai tertentu juga memfasilitasi kelompok buruh untuk mngembangkan teater jalanan dalam upaya mengubah persepsi masyarakat dan mempengaruhi pandangan kelompok elit perusahaan. 5. Blokade dan Memacetkan Jalanan Flood
menyatakan
bahwa
memacetkan,
memperlambat
bahkan
menghentikan arus lalu lintas untuk sementara waktu dapat pula dimanfaatkan untuk menyampaikan suatu isu tertentu. Flood melihat bahwa pemblokadean suatu tempat tertentu dalam jangka waktu yang pendek mungkin belum merupakan suatu masalah yang serius dan dapat dianggap sebagai pengungkapan perasaan partisipan terhadap situasi dan kondisi yang ada. Tetapi pemblokadean dalam waktu yang relatif lama, cenderung untuk diinterpretasikan sebagai pelanggaran hukum sehingga posisi partisipan akan menjadi lebih lemah dari sebelumnya. 6. Pengambil-alihan dan Pendudukan Flood memberikan gambaran bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang berhasil mengambil alih alih tanah dan bangunan yang tidak digunakan dan memanfaatkannya menjadi taman dan bengkel kerja.pengambil-alihan ini tentunya tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi melalui proses meyakinkan pihak yng berkompeten yang terkait dengan tanah dan bangunan yang dimaksud. Untuk mendapatkan lampu hijau dari otoritas local, aktivis harus dapat meyakinkan bahwa proposal yang mereka ajukan akan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, bila dibandingkan tanah dan bangunan tersebut diterlantarkan tidak terpakai. Meskipun demikian, kadangkala pemilik tanah merasa keberatan bila tanahnya dimanfaatkan oleh pihak lain. Bila hal ini terjadi, pada beberapa
16
Universitas Sumatera Utara
negara industri, para aktivis biasanya mendemonstrasikan manfaat tempat tersebut pada hari-hari libur untuk menggerakkan hati si pemilik tanah. 7. Pemanfaatan Gedung Kosong Menurut Flood, pemanfaatan gedung ataupun gudang yang sudah tidak digunakan lagi merupakan hal yang berbeda dengan pencaplokan suatu gedung atau gudang. Perbedaan yang mendasar adalah pada tujuannya. Pencaplokan suatu gedung pada intinya adalah pengambil-alihan suatu gedung olah perorangan ataupun kelompok untuk tempat tinggal mereka. Sedangkan pemanfaatan gedung lebih mengarah pada pengambil-alihan fungsi gedung yang pada umumnya akan dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat. 8. Prosesi dan Protes Keliling Pada beberapa negara yang relatif maju seperti Australia, Inggris dan Amerika, prosesi dan protes keliling di sepanjang jalan raya pada umumnya bukanlah sesuatu hal yang bukan melanggar hukum. Hal tersebut lebih dilihat sebagai bagian dari upaya warga masyarakat untuk menyatakan ketidakpuasannya terhadap suatu isu tertentu. Meskipun hal tersebut bukanlah hal yang melanggar hukum, tetapi pelaksana arak-arakan tersebut haruslah memberitahukan secara tertulis pada pihak pemerintah daerah dan polisi mengenai rute, waktu dan tanggal arak-arakan tersebut akan dilaksanakan. Bagi masyarakat di negara industri, prosesi dan arak-arakan sudah menjadi bagian dari kehidupan demokrasi mereka. Tetapi bagi beberapa negara di Asia tindakan ini seringkali ditafsirkan sebagai tindakan politis yang hendak menentang penguasa.
17
Universitas Sumatera Utara
9. Barisan Penghalang Barisan penghalang biasanya merupakan bagian dari proses boikot dengan cara membentuk barisan yang menghalangi orang-orang untuk mengakses produk atau layanan dari kelompok sasaran. Di Australia, Flood (dalam Adi 1994: 34) menyatakan bahwa barisan penghalang ini merupakan salah satu taktik yang cukup efektif dalam pergerakan kaum buruh. Pembentukan barisan penghalang dalam perselisahan perburuhan biasanya dilakukan dengan membujuk pekerja untuk tidak bekerja dan membentuk barisan penghalang pada hari dan waktu yang sudah disepakati. Sehingga pada hari yang sudah disepakati tersebut, tidak ada pekerja yang dapat masuk ke dalam pabrik kantor karena terhalang oleh barisan pekerja yang memagari pabrik dan kantor tempat bekerja mereka. 10. Pertemuan Terbuka Pertemuan umum di tempat terbuka merupakan salah satu taktik yang biasa digunakan para aktivis untuk menyebarkan informasi, menarik simpati masyarakat dan memantapkan identitas mereka sebagai suatu kelompok. 11. Aksi Mogok Duduk Menurut Flood, di Australia, taktik ini seringkali dilaksanakan dikantorkantor departemen, pemerintah daerah, perusahaan, agen perumahan, ataupun kantor administrasi universitas guna memprotes kebijakan yang mereka terapkan. Aksi mogok duduk di kantor-kantor pemerintahan ini seringkali didefenisikan sebagai tindakan yang illegal, dan biasanya mengundang respon dari pihak kepolisian. Oleh karena itu para pemrotes harus memilih tempat untuk melakukan aksi mogok duduk secara bijak agar tujuan penyampaian pesan dan tanggapan yang muncul dapat berhasil guna. Disamping itu pelaku aksi mogok duduk juga
18
Universitas Sumatera Utara
harus menjaga diri agar tidak melakukan nal yang destruktif, seperti vandalisme (mencoret-coret dinding) yang biasanya dapat memunculkan rasa tidak simpati pada pemrotes tersebut. Di Indonesia, untuk menarik perhatian dan simpati yang lebih besar, aksi mogok duduk ini tidak jarang dikombinasikan juga dengan aksi mogok makan dan mogok bicara. 12. Aksi Simbolis Menurut Flood (dalam Adi 1994: 38) aksi simbolis ini sangat beragam. Misalnya saja, aksi ini dapat berbentuk pengembalian atau penolakan suatu penghargaan sebagai pernyataan protes. Hal ini dilakukan antara lain guna mendapat liputan media, sehingga panitia pemberi penghargaan tesebut dapat menyadari hal apa yang diprotes oleh aktivis tersebut. Bila dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Flood maka akan terlihat keragaman dari aksi komunitas yang dilakukan oleh berbagai aktivis di beberapa negara. Protes yang dilakukan kelompok masyarakat tersebut dapat dimunculkan dalam tindakan yang halus atau bahkan sampai ketingkat yang amat brutal dan destruktif, yang pada negara-negara tertentu sering didefenisikan sebagai tindakan makar. Untuk kondisi Indonesia, bentuk aksi komunitas yang paling mungkin dilakukan pada satu era tentunya berbeda dengan era yang lain. Karena pilihan aksi komunitas yang akan dilakukan sangat terkait dengan toleransi pemerintah dan pihak keamanan terhadap suatu bentuk protes yang dapat diambil pada saat itu.
19
Universitas Sumatera Utara
II.2. Gerakan Sosial Menurut Tarrow (dalam klandermans 1997: 3) yang mendasarkan diri pada tulisan Charles Tilly bahwa gerakan social adalah tantangan kolektif yang diajukan sejumlah orang yang memiliki tujuan dan solidaritas yang sama, dalam konteks interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elite, lawan dan penguasa. Tarrow melakukan elaborasi terhadap defenisi tersebut dengan menekankan bahwa gerakan-gerakan tersebut (a) menyusun aksi mengacau, (disruptive) melawan kelompok elite, penguasa, kelompok-kelompok lain, dan aturan-aturan budaya tertentu, (b) dilakukan atas nama tuntutan yang sama terhadap lawan, penguasa dan kelompok elite, (c) berakar pada rasa solidaritas atau identitas kolektif, dan (d) terus melanjutkan aksi kolektifnya sampai menjadi sebuah gerakan social. Dengan demikian, gerakan social diikuti oleh sejumlah individu yang memiliki tujuan dan identitas kolektif yang sama, yang secara bersama-sama terlibat dalam aksi kolektif yang bertujuan mengacau. Individu-individu yang semacam inilah yang menjadi pusat perhatian buku ini. Hal ini merupakan pekerjaan yang membutuhkan banyak usaha karena, meskipun periode perluasan pergolakan terjadi pada decade terdahulu, partisipasi individual di dalam gerakangerakan social bukanlah kejadian yang lumrah dijumpai. Bahkan gerakan-gerakan social yang besarpun biasanya hanya memobilisasi sejumlah kecil orang dari seluruh populasi. Hal ini bukan berarti bahwa hanya ada sedikit orang yang bersimpati terhadap gerakan tersebut, tetapi karena seperti yang akan kita lihat berpartisipasi di dalam suatu gerakan tidak sama dengan sekadar bersimpati dengannya. Bertindak menurut prinsip tertentu tidak selalu mudah dilakukan.
20
Universitas Sumatera Utara
Pada banyak kasus, partisipan gerakan akan selalu ingat rasa takut dan gemetarnya ketika ia harus tampil ke garis depan untuk pertama kalinya. Kebanyakan simpatisan tidak harus mengalami semua itu.
II.3. Kerangka Aksi Kolektif Menurut Gamson (dalam Klandermans 1997: hal 7) sebuah kerangka aksi kolektif adalah seperangkat keyakinan dan pemaknaan yang berorientasi pada tindakan, yang memberi inspirasi dan melegitimasi berbagai kegiatan dan kampanye gerakan sosial. Dengan kata lain, kerangka aksi kolektif adalah seperangkat keyakinan kolektif yang memungkinkan suatu pemikiran tercipta bahwa partisipasi dalam aksi kolektif tampak berarti. Gamson membedakan tiga komponen kerangka aksi kolektif yaitu: (1) rasa ketidakadilan, (2) elemen identitas, (3) faktor agensi. Pertama, Rasa ketidakadilan. Rasa ketidakadilan muncul dari kegusaran moral yang berhubungan dengan kekecewaan, seperti masyarakat Sei Mati yang menerima kompensasi dari para developer untuk ganti rugi terhadap rumah dan tanah yang dibebaskan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk pindah ketempat yang lain. Selain itu adanya intimidasi yang dilakukan oleh sekelompok oknum untuk menekan masyarakat agar tanahnya segera dijual kepada para developer. Kegusaran moral ini seringkali berhubunagn denagn ketidaksetaraan ayng tidak memiliki legitimasi yaitu perlakuan yang tidak seimbang tehadap individu-individu atau kelompok-kelompok yang dipersepsikan sebaagi ketidakadilan (Folger dalam Klandermans (1997: hal 7). Perasaan ketidakadilan semacam itu menjadi raison d’etre dari sebuah gerakan sosial,
21
Universitas Sumatera Utara
seperti gerakan masyarakat Medan Maimun bersatu (GM3B) yang menentang normalisasi sungai Deli. Kedua, Elemen identitas. Pengidentifikasian mereka (penguasa, kelompok elite) yang dianggap bertanggung jawab atas sebuah situasi negatif menyiratakn adanya “kita’ sebagai lawannya. Dalam menetapkan “kita” komponen identitas kerangka aksi kolektif ini adalah seperangkat keyakinan kolektif, yaitu keyakinan yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang. Oleh karena itu, ketidakpuasan yang dicakup oleh kerangka tersebut juga dirasakan bersama misalnya, adanya niat pemerintah untuk melegalkan normalisasi terhadap sungai Deli, keprihatinan tentang banjir di kelurahan Sei Mati.Sebagaiman kita ketahui bahwa komponen identitas tidak hanya menekankan kebersamaan dalam merasakan ketidakpuasan, komponen ini juga memantapkan sikap oposisi kelompok terhadap pelaku yang dianggap bertanggungjawab terhadap ketidakpuasan itu. Jadi, atribusi kausal merupakan elemen komponen identitas penting didalam kerangak aksi kolektif. Ketiga, Agensi. Agensi mengacu pada keyakinan bahwa seseorang dapat mengubah kondisi atau kebijakan melalui aksi kolektif. Rasa ketidakadilan atau rasa beridentitas mungkin merupakan kondisi yang diperlukan untuk partisipasi dalam gerakan, tetapi merasakan ketidakpuasan bersama dan menemukan penguasa yang dapat dipersalahkan semata-mata tidak cukup dapat mendorong orang untuk melibatkan diri di dalam aksi kolektif. Individu-individu harus menjadi yakin bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mengubah kondisi mereka. Keyakinan semacam itu merupakan syarat bagi kemunculan agen-agen yang memberikan kesan sangat berpengaruh secara politis, yang dibuktikan oleh kesuksesan mereka dimasa lalu atau pengaruh mereka secara potensial.
22
Universitas Sumatera Utara
II.4. Normalisasi Sungai Mengendalikan banji di daerah hilir dengan pelurusan sungai disebut dengan istilah normalisasi. Penghilanagn batuan dan tumbuhan dari daerah aliran sungai (DAS) dengan membangun dinding beton, justru akan menghilangkan fungsi kontrol aliran oleh biota dan dan material di dalamnya. Selain itu juga terjadi pendangkalan dan terputusnya daur ekosistem di DAS. Dr. Gadis Sri Harayni, dalam Seminar Nasional bertema Pengelolaan Sumber Daya Perairan Darat Secara terpadu Di Indonesia mengatakan bahwa masalah
banjir
hendaknya
tidak
diatasi
secara
simptomatik
sehingga
mengakibatkan over engineering atau terlalu berlebihan. Seharusnya dengan cara mengerti atau mencari penyebab yang paling fundamental. Pada kenyataannya berbagai sungai seperti ciliwung, cisadane, dan khususnya sungai deli telah dinormalisasi. Normalisasi ini dilaksanakan dengan melakukan pelurusan, penembokan, penimbunan, pengerasan dinding sungai, pembuatan tanggul, pengerukan, serta penghilangan tumbuhan, Lumpur, pasir dan batuan di tepi sungai. Hal ini mengakibatkan hilangnya fungsi daerah peralihan dua ekosistem; lahan kering dan basah di tepi sungai. Dampaknya adalah hilang pula kemampuan sungai mengontrol aliran energi dan nutrien yang diperlukan biota yang hidup disana. Dampak lebih lanjut adalah menurunnya keragaman hayati berbarengan karena hilangnya spesies di lahan tersebut. Ini pada akhirnya mengakibatkan perubahan ekosistem, hingga timbulnya bencana erosi dasar sungai, banjir dan pendangkalan di hilir. Memang normalisasi sungai telah dilakukan di masa lalu di seluruh dunia terutama oleh negara barat seperti Amerika Serikat, Jerman, dan
23
Universitas Sumatera Utara
Belanda. Namun dampak negatif perubahan ini terhadap ekologi sangat besar dan konsep ini pun telah ditinggalkan. Banyak negara barat telah mengembalikan kondisi sungainya pada kondisi alaminya, dengan mengembalikan aliran sungai ke alur kelokan asli, mengisi bebatuan di sungai dan menanami kembali tepian sungai dengan tuimbuhan aslinya.
II.5. Perubahan Lingkungan Sosial Budaya Saat ini dengan derasnya modernisasi dan globalisasi, hubungan antar manusia sangat dipengaruhi oleh dan diarahkan oleh kekuatan nafsu (pemenuhan kebutuhan materil) manusia. Untuk memenuhi kebutuhan itu digunakan institusi modern yang dikemas dalam bingkai modernisasi yang dikuasai (didominasi) oleh pemilik modal (kapitalis) dan penguasa (pemerintah). Kekuatan dominasi kedua institusi itu secara terencana dan sistematis mempengaruhi sikap, pola, dan gaya hidup masyarakat. Meskipun, kesejahteraan dalam artian pemenuhan ekonomi, terutama selama lebih kurang 30 tahun, mengalami perbaikan, tetapi tanpa disadari cenderung menghancurkan dan memporakporandakan tatanan lingkunan social budaya yang diikuti dengan menyurutnya kesadaran social. Pada gilirannya, sistem nilai memudar menuju kearah anomi sehingga masyarakat mengalami krisis moral. Kondisi ini diperparah dengan masuknya pengaruh kekuatan hegemoni, baik kekuatan internal, maupun eksternal (global). Menurut Gramsci (dalam Lawner, 1989: 3-55) kekuatan hegemoni tidak hanya terjadi dalam sistem ekonomi, social, politik, tetapi juga budaya. Bahkan, kekuatan hegemoni bisa menyusup ke dalam kesenian, keagamaan, dan keluarga. Hegemoni secara
24
Universitas Sumatera Utara
perlahan, tetapi pasti dapat meredusir dan mengikis habis daya kritis dan mendorong masyarakat terpuruk ke dalam situasi tidak berdaya dan pasrah. Bahkan, kekuatan hegemoni dapat membuat masyarakat tidak sadar dan tidak merasa bahwa mereka ditindas. Kehilangan kesadaran ini menyebabkan kesadaran social hilang dibarengi dengan munculnya gejala dehumanisasi. Hegemoni ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem kehidupan. Dalam lingkungan politik muncul gejala dominasi dan memaksakan kehendak sehingga hak-hak politik masyarakat hilang. Lingkungan politik kehilangan mekanisme kontrol sehingga penguasa dan elit politik yang berkuasa mengesampingkan nilai-nilai demokrasi. Kesewenang-wenangan dan penindasan manusia atas manusia terjadi dalam sistem kehidupan. Dalam lingkungan ekonomi muncul gejala monopoli dan penguasaan asset ekonomi oleh kelompok yang berkuasa. Penguasaan dan monopoli melahirkan sifat keserakahan. Segala macam cara dihalalkan, budaya malu dikesampingkan, masa bodoh denan keadilan dalam upaya menumpuk kekayaan untuk kepentingan sendiri/keluarga ditengah rakyat yang hidup dililit kemiskinan. Lingkungan ekonomi yang sepeti itu menyebabkan institusi-institusi ekonomi sebagai pendukung kelancaran ekonomi tidak berfungsi dengan baik. Lingkungan ekonomi dikelola dengan cara kolusi antara penguasa dengan pengusaha. Korupsi merajalela akibatnya aktivitas ekonomi tidak efisien. Akumulasi modal tidak terjadi seperti yang diharapkan. Keadaan diatas menyebabkan lingkungan social budaya tidak tumbuh dan muncul sifat mental semu atau sifat pura-pura atau munafik. Standar moral lemah dan longgar. Masyarakat kehilangan sikap terbuka, kemandirian, disiplin, jujur,
25
Universitas Sumatera Utara
bijaksana. Mental penjilat pada penguasa meluas. Ini yang menyebabkan muncul budaya kekerasan sebagai bentuk perlawanan pada pengusaha yang menindas. Apalagi, lingkungan hukum tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Lingkungan hukum hanya berpihak pada penguasa. Ketidakadilan hukum ini menyebabkan lingkungan ekonomi, politik, dansosial menjadi tidak berfungsi dengan baik. Kesemua ini menyebabkan tidak terjadi keseimbangan dalam sistem kehidupan dan akhirnya mengganggu lingkungan social budaya.
II.6. Kerangka Pemikiran Ada beberapa perusahaan yang melakukan normalisasi (Penimbunan, penembokan, dan rencana pelurusan) terhadap sungai Deli antara lain: PT. Eka Wijaya Kusuma, PT. Kastil Kencana, dan SPBU Katamso. Akibat dari normalisasi sungai deli, banyak rumah warga tergusur dan harus kehilangan rumah karena dipaksa untuk meninggalkannya. Normalisasi tersebut juga menyebabkan meningkatnya frekuensi banjir di sekitar bantaran sungai deli akibat adanya penimbunan dan penembokan yang dilakukan oleh para developer, ditambah lagi masyarakat juga harus kehilangan fasilitas-fasilitas umum yang ada di lingkungan mereka seperti sekolah, mesjid, dan kuburan. Selain itu normalisasi juga berdampak buruk terhadap kondisi social ekonomi masyarakat dimulai dari menurunnya pendapatan, kehilangan pekerjaan, menurunnya kondisi kesehatan dan juga memburuknya kondisi pendidikan bagi anak. Semua kerugian dan penderitaan yang dialami masyarakat akibat normalisasi sungai deli, membuktikan bahwa normalisasi tersebut tidak membawa manfaat sama sekali.
26
Universitas Sumatera Utara
Akibat dampak negatif dari normalisai sungai deli, maka masyarakat tidak tinggal diam begitu saja. Masyarakat melakukan aksi komunitas sebagai bentuk perlawanan terhadap aktivitas normalisasi sungai Deli. Masyarakat menolak dengan tegas keberadaan para developer yang melakukan normalisasi sungai, dimana dibalik proyek tersebut mereka menggerakkan kepentingan bisnis yang tidak menguntungkan sama sekali bagi masyarakat. Disamping itu masyarakat juga menuntut para developer agar segera ditindak tegas oleh aparat hukum karena mereka sudah terbukti melakukan pengrusakan terhadap lingkungan. Dalam aksi komunitasnya masyarakat Sei Mati menggunakan strategi yang bersifat konflik dengan taktik bekerjasama dan taktik kampanye. (Glen dalam Adi, 2003: 106). Taktik bekerjasama tersebut berbentuk presentasi makalah, memberikan penjelasan dan sebagainya. Sedangkan taktik kampanye berbentuk penulisan surat terbuka untuk umum, taktik yang bersifat memaksa seperti terlibat dalam konfrontasi langsung dengan kelompok sasaran ataupun demonstrasi turun ke jalan.
27
Universitas Sumatera Utara
Bagan 1 Kerangka Pemikiran
NORMALISASI SUNGAI DELI
-
-
-
Frekuensi banjir meningkat sehingga menyebabkan terendamnya rumah warga Sebahagian masyarakat kehilangan tempat tinggal akibat penggusuran Menurunnya kondisi social ekonomi
MASYARAKAT SEI MATI
Melakukan aksi komunitas untuk menentang aktivitas normalisasi sungai Deli
Strategi dan taktik yang digunakan oleh kelompok masyarakat adalah dengan menggunakan strategi yang bersifat konflik dengan taktik bekerjasama dan taktik kampanye
28
Universitas Sumatera Utara
II.7. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
II.7.1. Defenisi Konsep Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok, individu yang menjadi pusat perhatian (Singarimbun, 1989: 33). Untuk memfokuskan penelitian ini penulis memberikan batasan konsep yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu: •
Reaksi sosial yang dimaksud adalah Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat kelurahan Sei Mati sebagai perwujudan sikap yang menolak ataupun menentang adanya normalisasi sungai deli dalam bentuk perlawanan yang berupa aksi komunitas.
•
Normalisasi sungai Deli yang dimaksud adalah Penimbunan jalur hijau pinggiran daerah aliran sungai Deli di kelurahan Sei mati sepanjang kurang lebih 200 meter, dengan tinggi kurang lebih 10 meter, Penembokan bibir sungai, dan rencana pelurusan sungai deli sepanjang 500 meter yang dilakukan oleh para developer (pengembang).
II.7.2. Defenisi Operasional Defenisi operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variable (Singarimbun, 1989: 34). Yang menjad indikator-indikator dalam penelitian ini yaitu: •
Aksi Komunitas
Aksi komunitas berkaitan dengan reaksi masyarakat terhadap normalisasi sungai Deli yang meliputi: dukungan terhadap aksi masyarakat, pernah
29
Universitas Sumatera Utara
dan tidak pernahnya masyarakat mengikuti aksi dan pertemuan, dan frekuensi keterlibatan masyarakat dalam mengikuti aksi dan pertemuan tersebut. •
Persepsi masyarakat
Persepsi ini berkaitan dengan tanggapan masyarakat yang meliputi: setuju tidak setujunya masyarakat terhadap normalisasi sungai Deli, setuju tidak setujunya masyarakat terhadap kondisi sungai Deli dikembalikan seperti semula, frekuensi banjir sebelum dan sesudah adanya normalisasi sungai Deli, dan proses pembebasan lahan atau harta benda masyarakat, sampai kepada proses penetapan besarnya nilai ganti rugi
30
Universitas Sumatera Utara