BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode (Anonim. 2008b). 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. 2. Periode setelah perang kemerdekaan Sampai dengan tahun 1958. Pada periode ini jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai bertambah jumlah yang relatif lebih besar. Pada tahun 1950 di Jakarta dibuka sekolah asisten apoteker negeri (Republik) yang pertama, dengan jangka waktu pendidikan selama dua tahun. Jumlah apoteker juga mengalami peningkatan, baik yang berasal dari pendidikan di luar negeri maupun lulusan dari dalam negeri. 3. Periode tahun 1958 sampai dengan 1967. Pada periode ini meskipun untuk memproduksi obat telah banyak dirintis, dalam kenyataannya industriindustri farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang dapat bertahan hanya industri yang memperoleh bagian jatah atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Sekitar tahun 1960-1965, beberapa peraturan perundang-undangan yang penting
Universitas Sumatera Utara
dan berkaitan dengan kefarmasian yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain : a. Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan. b. Undang-undang Nomor 10 tahun 1961 tentang Barang. c. Undang-undang Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi. d. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek. Pada periode ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian di Indonesia, yakni berakhirnya apotek dokter dan apotek darurat. 4. Periode tahun 1980 sampai sekarang a. Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 tentang perubahan atas PP No. 26 tentang apotek. b. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. 2.2 Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009 Pembangunan
bidang
kesehatan
pada
dasarnya
ditujukan
untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Universitas Sumatera Utara
Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error). Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal, kepentingan Pemerintah, dan belum memberdayakan Organisasi Profesi dan Pemerintah Daerah sejalan dengan era otonomi. Sementara itu berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan dan tenaga kefarmasian sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi dirasakan masih belum memadai karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum. Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
dan teknologi, maka perlu mengatur pekerjaan kefarmasian dalam suatu peraturan pemerintah (Pemerintah RI, 2009).
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur: 1. Asas dan Tujuan Pekerjaan Kefarmasian 2. Penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan, Produksi, Distribusi, atau Penyaluran dan Pelayanan Sediaan Farmasi 3. Tenaga Kefarmasian 4. Disiplin Tenaga Kefarmasian, serta 5. Pembinaan dan Pengawasan Tujuan pengaturan ini sebagaimana ditegaskan pada pasal 4 adalah untuk: 1. Memberikan
perlindungan
kepada
pasien
dan
masyarakat
dalam
memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian. 2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan; dan 3. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian berupa :
Universitas Sumatera Utara
a. Apotek b. Instalasi Farmasi Rumah Sakit c. Puskesmas d. Klinik e. Toko Obat; atau f. Praktek Bersama 2.3 Apotek Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Menteri Kesehatan RI, 2004). Beberapa pokok-pokok ketentuan terkait Apotek dalam PP 51 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: i.
Pasal 1, Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan Sumpah Jabatan Apoteker.
ii.
Pasal 20, Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
iii.
Pasal 21 a. Ayat 1, Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, Apoteker harus menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian.
Universitas Sumatera Utara
b. Ayat 2, Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
iv.
Pasal 23 a. Ayat 1, Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, Apoteker sebagaimana
dimaksud
harus menetapkan
Standar Prosedur
Operasional. b. Ayat 2, Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan. v.
Pasal 31 a. Ayat 1, Setiap Tenaga Kefarmasian dalam melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian wajib menyelenggarakan program kendali mutu dan kendali biaya. b. Ayat 2, Pelaksanaan kegiatan kendali mutu dan kendali biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui audit kefarmasian.
vi.
Pasal 37 ayat 1, Apoteker yang menjalankan pekerjaan kefarmasian harus memiliki Sertifikat Kompetensi Profesi.
vii.
Pasal 51 ayat 1, Pelayanan kefarmasian di apotek hanya dapat dilakukan oleh Apoteker. Dalam Permenkes RI No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, pengolahan suatu
apotek meliputi:
Universitas Sumatera Utara
1.
Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, pengubahan bentuk dan penyerahan obat atau bahan obat.
2.
Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya.
3.
Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi: a. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat. b. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau suatu obat dan perbekalan farmasi lainnya.
2.4 Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) Pelayanan kefarmasian
merupakan
suatu
pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Pemerintah RI, 2009). Asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah suatu bentuk layanan langsung seorang apoteker kepada konsumen obat (pasien) dalam menetapkan, menerapkan dan memantau pemanfaatan obat agar menghasilkan therapeutic outcome yang spesifik antara lain tepat pasien, tepat dosis, tepat khasiat (Dhanutirto, 2008). Therapeutic outcome yang efektif dari suatu obat berkorelasi dengan proses penyembuhan penyakit, pengurangan gejala penyakit, perlambatan pengembangan penyakit dan pencegahan penyakit. Selain itu therapeutic outcome yang efektif juga
Universitas Sumatera Utara
menjamin tidak adanya komplikasi atau gangguan lain yang dimunculkan oleh penyakit, menghindarkan atau meminimalkan efek samping obat, biaya yang efisien dan mampu memelihara kualitas hidup pasien. Bila seorang apoteker ingin melaksanakan asuhan kefarmasian, ia harus memiliki 3C, Competency, Commitment, dan Care (Dhanutirto, 2008). 2.4.1 Standar pelayanan kefarmasian Pelayanan Kefarmasian di apotek saat ini telah mempunyai standar dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Tujuan diterbitkannya Surat Keputusan ini adalah sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi, melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam praktek kefarmasian di apotek sehingga
diharapkan
pelayanan
kefarmasian
yang
diselenggarakan
dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien (Menteri Kesehatan RI, 2004). 2.4.2 Sumber daya manusia 2.4.2.1 Apoteker Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Pemerintah RI, 2009). Apoteker harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pemimpin dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola sumber daya (manusia, fisik dan anggaran) secara efektif,
Universitas Sumatera Utara
selalu belajar sepanjang karir dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Menkes RI, 2004). 2.4.2.2 Pemilik modal apotek Pemilik Modal Apotek adalah orang yang menyediakan dana/modal berupa uang untuk mendirikan apotek dengan harapan mendapatkan keuntungan. Kewajiban Pemilik Modal adalah menyediakan bangunan perlengkapan Apotik dan perbekalan kesehatan di bidang farmasi, dan kewajiban Apoteker adalah menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin. 2.4.2.3 Asisten apoteker Asisten apoteker memiliki tugas dan fungsi dalam pengelolaan apotek, yaitu (Umar, 2005) : 1. Fungsi pengembalian meliputi: mendata kebutuhan barang, mendata pemasok, merencanakan dan melakukan pembelian sesuai dengan yang dibutuhkan, kecuali ketentuan lain dari APA dan memeriksa harga. 2.
Fungsi gudang meliputi: menerima dan mengeluarkan berdasarkan fisik barang, menata, merawat dan menjaga keamanan barang.
3. Fungsi pelayanan meliputi: melakukan penjualan dengan harga yang telah ditetapkan, menjaga kenyamanan ruang tunggu, melayani konsumen dengan ramah dan membina hubungan baik dengan pelanggan.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kompetensi Profesi Seorang apoteker diharuskan untuk mengikuti perkembangan dalam praktik farmasi dan ilmu-ilmu farmasi, persyaratan standar kompetensi apoteker, hukum yang mengatur tentang pekerjaan kefarmasian dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan penggunaan obat-obatan yang cukup pesat. Ini hanya dapat dicapai dengan komitmen seorang apoteker dalam mempertahankan profesionalismenya sehingga informasi dan ilmu pengetahuan yang diterima berkembang sesuai dengan tantangan dan masalah yang dihadapi dan diharapkan mampu meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian pada masa yang akan datang. Secara mendasar kompetensi apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian harus meliputi hal-hal sebagai berikut (Ahaditomo, 2002): a. Asuhan Kefarmasian b. Regulasi Kefarmasian c. Manajemen Praktik Farmasi d. Akuntabilitas Praktik Farmasi e. Komunikasi Kefarmasian f. Pendidikan dan Pelatihan Kefarmasian g. Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian 2.6 Standar Prosedur Operasional Standar Prosedur Operasional adalah prosedur langkah-demi-langkah yang ditulis untuk kegiatan yang dilakukan di suatu organisasi (komunitas farmasi). Apoteker di apotek yang memiliki wewenang dalam pembuatan SPO dan dapat di periksa dan disetujui oleh apoteker senior/berpengalaman di apotek.
Universitas Sumatera Utara
Standar Prosedur Operasional (SPO) merupakan prosedur tertulis berupa petunjuk operasional tentang pekerjaan kefarmasian. Keharusan membuat dan memperbaharui Standar Prosedur Operasional dimaksudkan agar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik (Pemerintah RI, 2009). Adapun manfaat dari SPO adalah : 1. SPO memberikan kejelasan kepada petugas apotek, untuk mengikuti langkah-langkah / prosedur secara sistematis dan seragam. 2. SPO membantu petugas farmasi dalam melakukan tugas dan tanggung jawab di apotek, sehingga menghindari kebingungan, dan fungsi tumpang tindih. 3. SPO membantu untuk memastikan bahwa pelayanan kefarmasian yang baik dapat diikuti dan dicapai setiap saat. 4. SPO adalah alat yang berguna untuk pelatihan anggota baru staf. 5. SPO membantu untuk menjamin kualitas dan konsistensi pelayanan, sehingga akan meminimalkan efek yang membahayakan pasien. Apoteker harus membuat SPO yang mencangkup berbagai aspek/fungsi yang dilakukan di apotek dan prosedur hukum dan etika yang harus selalu diingat ketika menulis dan mengikuti SPO. Isi SPO harus jelas dan mudah dipahami oleh petugas farmasi (Anonim, 2008c). 2.7 Pelayanan Resep Pelayanan resep adalah suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dan dokter hewan kepada Apoteker untuk menyediakan dan
Universitas Sumatera Utara
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Dalam PP No. 51 Pasal 21 ayat 2 berbunyi “Penyerahan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker”. Peraturan ini jelas bahwa yang boleh melayani pemberian obat berdasarkan resep adalah apoteker. Secara tidak langsung tersirat bahwa apoteker harus selalu berada di apotek untuk melakukan asuhan kefarmasian (Pemerintah RI, 2009). Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, dikenal dengan swamedikasi. Swamedikasi sendiri bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan secara tepat, aman, dan rasional. Oleh sebab itu peran apoteker di apotek dalam pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi Obat Wajib Apotek (OWA), Obat Bebas Terbatas (OBT) dan Obat Bebas (OB) (Wirasuta, 2010). Dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24, dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung pada pasal ini dijelaskan seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras dengan resep dokter. Swamedikasi obat keras non OWA di apotek dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hukum PP 51 tahun 2009 (Wirasuta, 2010). Pelanggaran hukum yang dilakukan tidak hanya sebatas pada PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, tetapi juga terhadap Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Praktek swamedikasi obat keras akan bertentangan dengan hukum di atas, jika tidak dilakukan oleh apoteker di apotek yang dibenarkan oleh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia hanya swamedikasi obat keras yang termasuk Obat Wajib Apotek (Wirasuta, 2010).
Universitas Sumatera Utara