7 BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Sistem Polder Sistem polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan kelengkapan bangunan sarana fisik, yang meliputi saluran drainase, kolam retensi, pompa air, yang dikendalikan sebagai satu kesatuan pengelolaan. Dengan sistem polder, maka lokasi rawan banjir akan dibatasi dengan jelas, sehingga elevasi muka air, debit dan volume air yang harus dikeluarkan dari sistem dapat dikendalikan. Oleh karena itu, sistem polder disebut juga sebagai sistem drainase yang terkendali. Sistem ini dipakai untuk daerah-daerah rendah dan daerah yang berupa cekungan, ketika air tidak dapat mengalir secara gravitasi. Agar daerah ini tidak tergenang, maka dibuat saluran yang mengelilingi cekungan. Air yang tertangkap dalam daerah cekungan itu sendiri ditampung di dalam suatu waduk, dan selanjutnya dipompa ke kolam tampungan.
Sumber: Laporan Akhir Pengendalian Polder Pantai Indah Kapuk, Puslitbang SDA 2005
Gambar 2.1 Sketsa tipikal sistem polder
8 2.2 Karakteristik Sistem Polder Polder adalah suatu kawasan yang didesain sedemikian rupa dan dibatasi dengan tanggul sehingga limpasan air yang berasal dari luar kawasan tidak dapat masuk. Dengan demikian hanya aliran permukaan atau kelebihan air yang berasal dari kawasan itu sendiri yang akan dikelola oleh sistem polder. Di dalam polder tidak ada aliran permukaan bebas seperti pada daerah tangkapan air alamiah, akan tetapi dilengkapi dengan bangunan pengendali pada pembuangannya dengan penguras atau pompa yang berfungsi mengendalikan kelebihan air. Muka air di dalam sistem polder tidak bergantung pada permukaan air di daerah sekitarnya karena polder mempergunakan tanggul dalam operasionalnya sehingga air dari luar kawasan tidak dapat masuk ke dalam sistem polder.
2.3 Fungsi Polder Pada awalnya polder dibuat untuk kepentingan pertanian. Tetapi beberapa dekade belakangan ini sistem polder juga diterapkan untuk kepentingan pengembangan industri, permukiman, fasilitas umum serta untuk kepentingan lainnya dengan alasan keamanan. Fungsi utama polder adalah sebagai pengendali muka air di dalam sistem polder tersebut. Untuk kepentingan permukiman, muka air di dalam Sistem dikendalikan supaya tidak terjadi banjir/genangan. Air di dalam sistem dikendalikan sedemikian rupa sehingga jika terdapat kelebihan air yang dapat menyebabkan banjir, maka kelebihan air itu dipompa keluar sistem polder.
9 2.4
Elemen-elemen Sistem Polder Sistem polder terdiri dari jaringan drainase, tanggul, kolam retensi dan badan
pompa. Keempat elemen sistem polder harus direncanakan secara integral, sehingga dapat bekerja secara optimal. 2.4.1 Jaringan Drainase Drainase adalah istilah yang digunakan untuk sistem penanganan kelebihan air. Khusus istilah drainase perkotaan, kelebihan air yang dimaksud adalah air yang berasal dari air hujan. Kelebihan air hujan pada suatu daerah, dapat menimbulkan masalah yaitu banjir atau genangan air, sehingga diperlukan adanya saluran drainase yang berfungsi menampung air hujan dan kemudian mengalirkan air hujan tersebut menuju kolam penampungan. Dari kolam penampungan tersebut, untuk mengendalikan elevasi muka air, kelebihan air tersebut harus dibuang melalui pemompaan. Pada suatu sistem drainase perkotaan terdapat jaringan saluran drainase yang merupakan sarana drainase lateral berupa pipa, saluran tertutup dan saluran terbuka. Berdasarkan cara kerjanya saluran drainase terbagi dalam beberapa jenis, yaitu saluran pemotong, saluran pengumpul dan asaluran pembawa. a.
Saluran Pemotong (interceptor) adalah saluran yang berfungsi sebagai pencegah
terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya. Saluran ini biasanya dibangun dan diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan bangunan kontur. b.
Saluran Pengumpul (collector) adalah saluran yang berfungsi sebagai pengumpul
debit yang diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke saluran pembawa. Letak saluran pembawa ini di bagian terendah lembah ini suatu
10 daerah sehingga secara efektif dapat berfungsi sebagai pengumpul dari anak cabang saluran yang ada. c.
Saluran Pembawa (conveyor). adalah saluran yang berfungsi sebagai pembawa
air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa membahayakan daerah yang dilalui. Sebagai contoh adalah saluran banjir kanal atau sudetan-sudetan atau saluran by pass yang bekerja khusus hanya mengalirkan air secara cepat sampai ke lokasi pembuangan. Untuk menjamin berfungsinya saluran drainase secara baik, diperlukan bangunanbangunan pelengkap di tempat-tempat tertentu. Jenis bangunan pelengkap itu adalah : a. Bangunan Silang; misalnya gorong-gorong atau siphon b. Bangunan Pintu Air ; misalnya pintu geser atau pintu otomatis c. Bangunan peresap (infiltrasi ) misalnya sumur resapan Semua bangunan yang disebutkan di atas tidak selalu harus ada pada setiap jaringan drainase. Keberadaannya tergantung pada kebutuhan setempat yang biasanya dipengaruhi oleh fungsi saluran, tuntutan akan kesempurnaan jaringannya, dan kondisi lingkungan. Gambar ilustrasi mengenai jaringan drainase dalam sistem polder dapat dilihat pada Gambar 2.2.
(Basic concepts of polders, Prof.dr.E.Schultz) Gambar 2.2 Skema jaringan drainase pada sistem polder
11 2.4.2
Tanggul Tanggul merupakan suatu batas yang mengelilingi suatu badan air atau
daerah/wilayah tertentu dengan elevasi yang lebih tinggi daripada elevasi di sekitar kawasan tersebut, yang bertujuan untuk melindungi kawasan tersebut dari limpasan air yang berasal dari luar kawasan. Dalam bidang perairan, laut dan badan air merupakan daerah yang memerlukan tanggul sebagai pelindung di sekitarnya. Jenis – jenis tanggul, antara lain : tanggul alamiah, tanggul timbunan, tanggul beton dan tanggul infrastruktur. Tanggul alamiah yaitu tanggul yang sudah terbentuk secara alamiah dari bentukan tanah dengan sendirinya. Contohnya bantaran sungai di pinggiran sungai secara memanjang. Tanggul timbunan adalah tanggul yang sengaja dibuat dengan menimbun tanah atau material lainnya, di pinggiran wilayah. Contohnya tanggul timbunan batuan di sepanjang pinggiran laut. Tanggul beton merupakan tanggul yang sengaja dibangun dari campuran perkerasan beton agar berdiri dengan kokoh dan kuat. Contohnya tanggul bendung, dinding penahan tanah ( DPT ). Tanggul infrastruktur merupakan sebuah struktur yang didesain dan dibangun secara kuat dalam periode waktu yang lama dengan perbaikan dan pemeliharaan secara terus menerus, sehingga seringkali dapat difungsikan sebagai sebuah tanggul, misal jalan raya.
2.4.3
Kolam Retensi Kolam retensi merupakan suatu cekungan atau kolam yang dapat menampung
atau meresapkan air didalamnya, tergantung dari jenis bahan pelapis dinding dan dasar kolam. Kolam retensi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu kolam alami dan kolam non alami.
12 Kolam alami yaitu kolam retensi yang berupa cekungan atau lahan resapan yang sudah terdapat secara alami dan dapat dimanfaatkan baik pada kondisi aslinya atau dilakukan penyesuaian. Pada umumnya perencanaan kolam jenis ini memadukan fungsi sebagai kolam penyimpanan air dan penggunaan oleh masyarakat dan kondisi lingkungan sekitarnya. Kolam jenis alami ini selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan, juga dapat meresapkan pada lahan atau kolam yang pervious, misalnya lapangan sepak bola ( yang tertutup oleh rumput ), danau alami, seperti yang terdapat di taman rekreasi dan kolam rawa Kolam non alami yaitu kolam retensi yang dibuat sengaja didesain dengan bentuk dan kapasitas tertentu pada lokasi yang telah direncanakan sebelumnya dengan lapisan bahan material yang kaku, seperti beton. Pada kolam jenis ini air yang masuk ke dalam inlet harus dapat menampung air sesuai dengan kapasitas yang telah direncanakan sehingga dapat mengurangi debit banjir puncak (peak flow) pada saat over flow, sehingga kolam berfungsi sebagai tempat mengurangi debit banjir dikarenakan adanya penambahan waktu kosentrasi air untuk mengalir dipermukaan. Kapasitas kolam retensi yang dapat menampung volume air pada saat debit banjir puncak, dihitung dengan persamaan umum seperti di bawah ini : t
V=
∫
(Q in – Q out) dt
0
Dengan : V
= volume kolam
t
= waktu awal air masuk ke dalam inlet
t0
= waktu air keluar dari outflow
Qin
= debit inflow
Qout
= debit outflow
(2.1)
13 2.4.4
Stasiun Pompa Di dalam stasiun pompa terdapat pompa yang digunakan untuk mengeluarkan air
yang sudah terkumpul dalam kolam retensi atau junction jaringan drainase ke luar cakupan area. Prinsip dasar kerja pompa adalah menghisap air dengan menggunakan sumber tenaga, baik itu listrik atau diesel/solar. Air dapat dibuang langsung ke laut atau sungai/banjir kanal yang bagian hilirnya akan bermuara di laut. Biasanya pompa digunakan pada suatu daerah dengan dataran rendah atau keadaan topografi atau kontur yang cukup datar, sehingga saluran-saluran yang ada tidak mampu mengalir secara gravitasi. Jumlah dan kapasitas pompa yang disediakan di dalam stasiun pompa harus disesuaikan dengan volume layanan air yang harus dikeluarkan. Pompa yang menggunakan tenaga listrik, disebut dengan pompa jenis sentrifugal, sedangkan pompa yang menggunakan tenaga diesel dengan bahan bakar solar adalah pompa submersible.
2.5
Drainase Perkotaan Dalam bidang teknik sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai
suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan atau lahan, sehingga fungsi kawasan tersebut tidak terganggu. Drainase sering diabaikan dan seringkali direncanakan seolah-olah bukan pekerjaan yang penting. Pekerjaan drainase merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks. Memerlukan biaya, tenaga, dan waktu yang lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan pengendalian banjir. Saat ini drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yan sangat penting. Kualitas manajemen suatu kota dapat dilihat dari kualitas sistem drainase yang ada. Sistem drainase yang baik dapat membebaskan kota dari genangan air. Genangan
14 air yang menyebabkan lingkungan yang tidak sehat. Menjadi sarang nyamuk, sumber penyakit, sehingga menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat.
2.5.1
Drainase Jalan Raya Salah satu aspek terpenting dalam perencanaan jalan raya adalah melindungi
jalan dari air permukaan tanah dan air tanah. Genangan air di permukaan jalan memperlambat kendaraan dan memberikan andil terjadinya kecelakaan akibat terganggunya pandangan oleh cipratan dan semprotan air. Jika air memasuki struktur jalan, perkerasan dan tanah dasar menjadi lemah, dan hal ini akan mengakibatkan konstruksi jalan lebih peka terhadap kerusakan akibat lalu lintas. Sampai saat ini, faktor drainase jalan belum mendapatkan perhatian yang cukup dari para ahli jalan. Terdapat kesalahan persepsi bahwa sistem drainase jalan yang baik tidak diperlukan lagi jika ketebalan didesain berdasarkan kondisi jenuh. Dengan semakin meningkatnya beban yang diterima oleh jalan. Air dapat menyebabkan kerusakan pada perkerasan jalan. Berdasarkan fungsinya, drainase jalan dibedakan menjadi drainase permukaan dan drainase bawah permukaan. Drainase permukaan ditunjukkan untuk menghilangkan air hujan dari permukaan jalan sehingga lalu lintas dapat melaju dengan aman dan efisien. Drainase bawah permukaan berfungsi untuk mencegah masuknya air kedalam struktur jalan atau menangkap dan mengeluarkan air dari struktur jalan.
15 ¾
Drainase Permukaan Sistem drainase permukaan pada jalan raya mempunyai tiga fungsi utama, yaitu: 1.
Membawa air hujan dari permukaan jalan ke pembuangan air.
2.
Menampung air tanah dan air permukaan yang mengalir menuju lahan.
3.
Membawa air melewati alignment jalan secara terkendali. Dua fungsi pertama dikendalikan oleh komponen drainase memanjang,
sementara fungsi ketiga memerlukan bangunan drainase melintang, seperti culvert, gorong-gorong, dan jembatan. ¾
Drainase Bawah Permukan Drainase bawah permukaan terutama berfungsi untuk menampung dan membuang air yang masuk ke dalam struktur jalan, sehingga tidak sampai menimbulkan kerusakan pada jalan. Pencegahan masuknya air ke dalam struktur perkerasan memerlukan penangkap air tanah (interceptor) dan penutup permukaan kekerasan. Pengaruh daya merusak air tanah telah mendapat perhatian yang memadai dari para ahli jalan dengan membuat penangkap air tanah, sedangkan pengaruh penutup permukaan untuk mencegah infiltrasi air hujan kurang mendapatkan perhatian. Akibatnya adalah banyaknya air yang memasuki struktur perkerasan.Untuk meminimalkan infiltrasi air permukaan ke dalam perkerasan, diperlukan sistem drainase permukaan yang baik.
2.5.2
Drainase Pemukiman Pada pembukaan suatu lahan pemukiman perlu disediakan tempat untuk sarana drainase. Ketinggian tanah untuk perumahan harus cukup tinggi, untuk
16 mengantisipasi bila terjadi penurunan tanah pada rumah dan agar aliran drainase dapat mengalir menjauhi rumah. Kemiringan lahan di daerah pemukiman harus mempunyai kemiringan minimum 2%. Untuk mengurangi resiko terjadinya genangan dan untuk mempertahankan tinggi muka air tanah, di daerah perumahan diperlukan adanya sumur-sumur resapan. Beberapa hal yang perlu dihindari pada waktu membuat sumur resapan adalah: ¾ Sumur resapan hanya menampung air hujan saja. ¾ Tidak membangun sumur resapan di dekan septic tank atau daerah bekas timbunan sampah. ¾ Tidak mengganggu kestabilan bangunan yang ada. ¾ Tidak membangun di daerah yang tanahnya tidak stabil atau mudah longsor.
2.6
Perencanaan Drainase Perkotaan
2.6.1 Tahapan Perencanaan Drainase Perkotaan Dalam penanganan suatu proyek drainase diperlukan prosedur pengembangan. Prosedur pengembangan proyek drainase perkotaan berbeda untuk setiap proyek, bergantung pada besar kecilnya skala proyek. Namun secara garis besar tahapan siklus proyek masih sama, yaitu: 1. Tahap Survei – Inventarisasi Data 2. Tahap Perencanaan Tata Letak Sistem Drainase 3. Tahap Perancangan Teknis 4. Tahap Pelaksanaan / Implementasi Konstruksi 5.
Tahap Operasi dan Pemeliharaan
17 Perbedaan antara perencanaan dan perancangan di sini adalah jika perencanaan menghasilkan kerangka sistem atau konsep jaringan, sedangkan perancangan menghasilkan desain detail. Dalam tahap perencanaan terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan yaitu : 1. Survei Lapangan dan Pengumpulan Data Pada tahapan survei ini dilakukan pengukuran-pengukuran, pencatatan situasi baik jaringan beserta fasilitasnya maupun daerah-daerah genangan dan akibatnya. Inventarisasi jaringan drainase dan fasilitasnya serta kondisi pada saat itu harus pula dilakukan. Sebagai penunjang yang diperlukan dalam proses perencanaan saluran drainase memerlukan data peta-peta topografi, tataguna lahan, kemampuan tanah, luas tanah, situasi dan layout pengembangan, data dan peta sistem drainase yang ada secara mikro dan makro, data dan peta daerah genangan, data kependudukan sosial ekonomi, batas administrasi, data peraturan dan kewenangan, data hidrologi dan data lain. 2. Sistem Drainase yang Ada Secara Makro dan Mikro Studi sistem drainase yang ada secara makro dan mikro dilakukan untuk mendapatkan konfigurasi sistem yang ada pada saat itu yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk rencana yang baru. Secara makro dilakukan supaya rencana mikro tidak terlepas dari rencana keseluruhan. Jika terpisah mungkin hasil rencana tidak optimal seperti tinggi muka air drainase pembawa lebih rendah dari tinggi muka air dan badan sungai yang mengakibatkan air tidak dapat dialirkan. 3. Perumusan Masalah dan Penyelesaiannya Masalah-masalah yang ada dirumuskan secara rinci dan dibuat prioritas yang paling mendesak untuk segera ditangani. Beberapa alternatif penanganan
18 dirumuskan dan disusun sesuai dengan penyelesaian urutan prioritas masalah yang mendesak untuk segera ditangani. 4. Penentuan Batasan Layanan Drainase Batas layanan ditentukan berdasarkan kondisi lapangan, tata guna lahan, peta situasi dengan mempertimbangkan prospek pengembangan, keadaan kontur tanah, badan air, perlengkapan drainase yang telah ada, dinding tutupan dan sarana jalan yang ada. 5. Identifikasi Daerah Layanan Dalam upaya perencanaan sistem drainase ada tiga hal yang perlu diidentifikasikan berkaitan dengan daerah layanan. Ketiga hal tersebut adalah karakteristik daerah layanan, tata guna lahan, dan prospek pengembangan lahan. 6. Penentuan Tata Letak dan Pembagian Daerah Layanan Pembagian daerah layanan sangat menentukan dimensi saluran dan fasilitasnya. Di daerah perkotaan yang telah tertata dengan baik, pembagian daerah layanan tidak mengalami kesulitan. Biasanya batas daerah berdasarkan jalan. Di kanan kiri jalan biasanya ada saluran untuk mengalirkan air yang jatuh di jalan, Hal ini dimaksudkan agar jalan dapat lebih tahan lama dari kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh hujan. Dengan penataan tata ruang yang baik pembagian daerah layanan dapat digolongkan menurut jenisnya: - Daerah pemukiman - Daerah perdagangan dan industri - Daerah persawahan - Daerah rawa dan hutan bakau
19 Jika daerah tidak tertata rapi, pembagian berdasarkan lokasi yang berdekatan, dengan luas area hampir sama satu sama lain tergantung kondisi lapangan. Tata letak jaringan dilakukan setelah daerah layanan terbagi dengan baik. Pada tahap ini dikategorikan jenis salurannya yaitu: - Drainase lokal dari blok-blok yang sudah dibagi sebelumnya - Drainase pengumpul, menerima pembuangan dari beberapa drainase pengumpul - Drainase pembawa, yang membawa air dari big collector drain ke badan air Dalam penentuan tata letak ini juga direncanakan fasilitas drainasenya, misalnya layout melewati saluran lain dapat digunakan talang atau sifon, dan jika melewati jalan dapat digunakan gorong-gorong.
2.6.2
Kriteria Desain Dalam mendesain saluran pada sistem jaringan drainase harus memenuhi
beberapa kriteria yaitu antara lain : 1.
Kecepatan aliran Hal yang dipertimbangkan dalam penentuan kecepatan aliran yang diijinkan pada suatu saluran adalah faktor sedimentasi dan erosi/gerusan pada saluran. Kecepatan aliran yang sangat lambat akan menyebabkan sedimen yang terapung di air akan mengendap dan mendorong pertumbuhan tanaman air dan ganggang. Sedangkan kecepatan aliran yang besar dan membawa sedimen abrasif akan mengakibatkan penggerusan pada saluran, namun hal ini tergantung pula pada bahan saluran tersebut. Umumnya batas kecepatan minimum dan maksimum yang diijinkan adalah :
20 ¾ Vmin = 0,3 m/d ¾ Vmax = 1,5 m/d
2.
Ambang Bebas (tinggi jagaan) Ambang bebas adalah jarak antara permukaan tertinggi saluran dengan permukaan air pada saluran. Ambang bebas harus disediakan sebagai kewaspadaan untuk menghadapi penimbunan sedimen, sampah dan gerakan ombak pada saluran. Tinggi ambang bebas yang ditentukan, yaitu:
2.6.3
¾
ambang bebas = 0,5 m untuk 1,0 < Q = 2,0 m3/s
¾
ambang bebas = 0,7 m untuk 6,0 < Q = 10,0 m3/s
¾
ambang bebas = 0,9 m untuk 15,0 < Q = 50,0 m3/s
¾
ambang bebas = 1,2 m untuk 50,0 < Q = 150,0 m3/s
¾
ambang bebas = 1,5 m untuk Q = 150,0 m3/s
Kriteria Desain Standar Debit Banjir Rencana Upaya pengendalian banjir dengan wujud fisik dan non fisik harus mampu
melewatkan debit banjir yang besarnya lebih kecil atau sama dengan debit banjir rencana dengan aman. Besarnya debit banjir rencana umumnya didefinisikan sebagai besarnya debit dengan periode ulang tertentu. Prosedur standar untuk memilih debit banjir rencana merupakan kriteria utama yang sangat dibutuhkan oleh perencana dan teknisi sistem pengendalian banjir dalam merencanakan bangunan pengendali banjir. Pemilihan debit banjir rencana dapat dilakukan dengan 2 metode. Metode pertama dengan menggunakan standar debit banjir rencana yang berlaku umum di seluruh wilayah Indonesia, yaitu debit banjir rencana dengan periode ulang minimum. Sedangkan metode kedua, yaitu dengan menggunakan debit banjir rencana optimum
21 yang didapat dari hasil analisa kelayakan ekonomi yang sangat tergantung pada kondisi sosial dan ekonomi suatu daerah. Periode ulang minimum untuk menentukan besarnya debit banjir rencana pengendalian banjir, drainase perkotaan dan drainase di dataran banjir dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Rekomendasi periode ulang minimum banjir rencana untuk proyek pengendalian banjir Sistem Saluran
Berdasarkan: Tipe proyek pengendalian banjir
Tahap Awal
Tahap Akhir
5 10
10 25
25
50
25 2
100 5
5
10
5
10
10 1
25 2
2
5
2
5
5 1
10 2
Jumlah penduduk Sungai
Sistem saluran drainase utama (luas DPS > 500 ha)
Sistem saluran drainase sekunder (luas DPS < 500 ha)
Sistem saluran drainase tersier (luas DPS < 10 ha)
-Proyek mendesak -Proyek baru Proyek peningkatan -Untuk daerah pedesaan atau perkotaan dengan Jumlah penduduk kurang dari 2 juta jiwa -Untuk perkotaan dengan Jumlah penduduk lebih dari 2 juta jiwa -Pedesaan -Perkotaan dengan jumlah penduduk kurang dari 500 ribu jiwa -Perkotaan dengan jumlah penduduk antara 500 ribu s/d 2 juta jiwa -Perkotaan dengan jumlah penduduk lebih besar dari 2 juta jiwa -Pedesaan -Perkotaan dengan jumlah penduduk kurang dari 500 ribu jiwa -Perkotaan dengan jumlah penduduk antara 500 ribu s/d 2 juta jiwa -Perkotaan dengan jumlah penduduk lebih besar dari 2 juta jiwa pedesaan dan perkotaan
Sumber: Kriteria Desain Bangunan Pengendali Banjir, Puslitbang Sumber Daya Air
2.7
Program XP-SWMM XP-SWMM merupakan suatu paket program model simulasi yang mampu mengkombinasikan GIS (arcview), Auto Cad, dengan Storm Water Management Model (SWMM), yang dapat mensimulasikan kualitas dan
22 kuantitas air, aliran permukaan air, aliran bawah permukaan dan penelusuran aliran di saluran serta analisis masalah-masalah yang berhubungan dengan hidrologi dan hidrolika sekaligus. GIS (Geography Information System) dan Auto Cad digunakan untuk mempermudah proses pemasukan data dengan digitasi peta berikut informasinya. Setelah itu digunakan simulasi dilanjutkan dengan menggunakan paket program SWMM. Pertama kali program ini dibuat pada tahun 1971 dan sudah mengalami perkembangan dan modifikasi, sampai memiliki beberapa versi. SWMM memiliki peran yang besar untuk menjadi sebuah paket program analisis hidrologi dan hidrolika sekaligus yang paling relevan dalam aplikasi praktek dalam dunia hidroteknik sekarang ini. Program XP SWMM ini mempunyai kapasitas
dengan
tujuan
untuk
mendesain
saluran,
perencanaan
dan
penggambaran masalah drainase dan masalah – masalah yang berhubungan dengan perairan lainnya.
23
Gambar 2.3 Pemakaian Background Layer dalam XP SWMM
2.7.1 ¾
Metode Perhitungan Blok Runoff Simpanan Cekungan Simpanan cekungan dipergunakan untuk asumsi bahwa tidak ada aliran permukaan yang terjadi sebelum seluruh cekungan penuh. Secara otomatis, 25 % daerah kedap air (kecuali dinyatakan oleh pemakai) dinyatakan mempunyai simpanan cekungan nol, untuk menstimulasikan limpasan segera. Air pada simpanan cekungan di daerah tidak kedap, dapat habis oleh infiltrasi. Nilai simpanan cekungan yang berbeda dapat diberikan untuk daerah kedap pada setiap sub daerah layanan, sama halnya dengan nilai presentase kedap air dengan simpanan cekungan no. l.
24 ¾
Aliran Permukaan (Overland Flow) Aliran permukaan didefinisikan sebagai pergerakan air melalui permukaan tanah sebelum dan sesudah mencapai saluran. Meskipun berada di dalam daerah tangkapan di daerah pedalaman/pedesaan, volume limpasan dipengaruhi oleh curah hujan – infiltrasi – proses aliran permukaan. Untuk lebih memahami proses konversi kejadian hujan menjadi limpasan permukaan pada blok runoff, rumus limpasan permukaan yang digunakan dapat dijabarkan secara singkat sebagai berikut. Rainfall – ( infiltrasi + evaporasi ) = overland
(2.2)
Besarnya debit aliran permukaan pada pemodelan SWMM Blok Runoff dihitung dengan konsep nonlinear reservoir. Teknik nonlinier reservoir ini merupakan gabungan persamaan Continuity Lumped dengan persamaan Manning untuk aliran permukaan. Beberapa parameter yang diperlukan dapat dilihat pada Gambar 2.3 di dalam sebuah daerah tangkapan “reservoir” dengan memperlihatkan hubungan antara aliran yang masuk (inflow) dan aliran yang keluar (outflow), atau kehilangan.
( Wayne C.Huber, October 1992)
Gambar 2.4 Konsep Nonlinear dari Subcatchment Blok Runoff
25 ¾
Infiltrasi Persamaan Green-Ampt telah dikembangkan untuk meresapkan kelebihan air
pada permukaan. Persamaan yang digunakan adalah: Untuk F < Fs Untuk i > Ks, f = i dan tidak ada perhitungan untuk i ≤ Ks
Fs =
S .IMD i −1 Ks
(2.13)
Untuk F ≥ Fs f = fp
(2.14)
⎛ S .IMD ⎞ f p = K s ⎜1 + ⎟ F ⎠ ⎝
(2.15)
Dengan : f
= laju infiltrasi (ft/detik)
fp
= kapasitas infiltrasi (ft/s)
i
= intensitas hujan (ft/s)
F
= volume infiltrasi kumulatif yang terjadi (ft)
Fs
= volume infiltrasi kumulatif yang dibutuhkan agar permukaan jenuh (ft)
S
= isapan kapiler rata-rata (ft)
IMD = kekurangan kelembaban awal yang terjadi (ft/ft) Ks
= konduktifitas hidraulik tanah jenuh (ft/s)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa volume hujan yang dibutuhkan agar permukaan jenuh tergantung pada nilai intensitas hujan yang terjadi. Untuk i> Ks, nilai
26 fs dihitung dan dibandingkan dengan volume hujan yang diresapkan untuk kejadian ini. Hanya jika F ≥ Fs kondisi ini dihitung lagi dengan menggunakan persamaan kedua. Ketika hujan yang terjadi intensitasnya kurang dan sama dengan Ks , semua curah hujan diresapkan dan digunakan hanya untuk memperbaiki kekurangan kelembaban awal, IMD. Kumulatif infiltrasi tidak dirubah untuk intensitas hujan yang rendah seperti ini. (relatif terhadap konduktivitas hidraulik tanah jenuh, Ks). Persamaan menunjukkan bahwa kapasitas infiltrasi setelah permukaan jenuh tergantung pada volume yang diinfiltrasikan, tergantung pada laju infiltrasi pada langkah sebelumnya. Untuk menghindari kesalahan numerik selama tahapan waktu, persamaan Green-Ampt diintegralkan, dengan fp diganti menjadi dF/dt:
Ks (t 2 − t1) = F 2 − C. ln( F 2 + C ) − F1 + C. ln( F1 + C )
(2.16)
Dengan : C = IMD . S (ft) T = waktu (second) 1,2 = notasi awal dan akhir interval waktu
Volume infiltrasi selama tahapan waktu (t2 - t1) adalah (t2 – t1) x i jika permukaan belum jenuh dan (F2 – F1) jika kejenuhan telah terjadi sebelumnya dan ketersediaan air di permukaan cukup. Ketika hujan berhenti (dibawah kapasitas infiltrasi) maka sejumlah air yang tertampung di permukaan diizinkan untuk meresap dan menambah volume komulatif infiltrasi. Untuk menghitung besarnya infiltrasi ini dibutuhkan 3 (tiga) parameter sebagai masukan data, yaitu:
27 1. Suct, atau tinggi penyerapan kapiler rata-rata. 2. Hydcon, atau konduktivitas hidraulik tanah jenuh. 3. SMDMAX, atau kekurangan kelembaban awal tanah. Tabel 2.4 Parameter Infiltrasi Green-Ampt
Nilai IMD
Nilai Suct
Konduktivitas Hidrolik K
tanah
(cm)
(cm/jam)
Pasir
0,34
10,16
11,78
Lanau pasiran
0,33
20,32
2,99
Pasiran lanau
0,32
30,48
1,09
Lanau
0,31
20,32
0,34
pasiran
0,26
-
0,15
Lempung lanauan
0,24
25,4
0,1
Lempung
0,21
17,78
0,03
Jenis tanah
Lempung lanau
Sumber : EPA, SWMM Windows Interface User's Manual, 1998
Gambar 2.5 Pemakaian Metode Runoff pada Program XP SWM
28 2.7.2
Metode Perhitungan Blok Hidrolik
¾
Penelusuran Aliran
Elemen aliran pada saluran mencakup gorong-gorong dan pipa, termasuk selokan dalam daerah tangkapan drainase perkotaan. Ketika dan setelah terjadinya hujan, aliran tidak tunak terjadi pada elemen ini. Terdapat dua jenis pendekatan yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan masalah saluran aliran tak tunak, yaitu pendekatan dari segi hidrolika. Bentukan ini berdasarkan pada konsep kolam penyimpanan atau reservoir. Salah satu hal penerapan pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penelusuran aliran, yaitu sebuah prosedur analisis untuk mengetahui jejak aliran air pada suatu sistem hidrologi, dengan beberapa kejadian hujan sebagai input. Untuk hydrologic routing input I (t), output Q(t), dan tampungan (storage) S (t) berhubungan dengan persamaan kontinuitas:
ds = I(t) − Q(t) dt
(2.3)
Dari konsep nonlinier reservoir yang merupakan penggabungan dari persamaan kontinuitas dengan Manning , maka ditetapkan rumus kontinuitas dapat ditulis untuk sebuah area adalah :
∂d ∂v = A = A× i* − Q ∂t ∂t Dengan : V
= A . d = volume air pada daerah layanan (m3) d = tinggi air (m)
(2.4)
29 t = waktu (second) A = luas daerah layanan ( m2 ) i*= curah hujan bersih = intensitas hujan dikurangi evaporasi, infiltrasi, (m/s) Q = debit aliran di saluran (m3/s) Volume aliran permukaan per meter lebar sub daerah layanan diperhitungkan berdasarkan persamaan Manning sebagai berikut : q=
Dengan : q
1 2 3 12 y s n
(2.5)
= debit aliran permukaan per meter lebar (m3/s/m)
n
= koefisien kekasaran Manning
y
= kedalaman aliran (m) = d - dp
s
= kemiringan lahan (mm/mm )
Debit aliran permukaan ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Q = w×q
P W
Q
Gambar 2.6 Sketsa Konversi Aliran permukaan
30 maka debit aliran dirumuskan sebagai berikut :
1 Q = W ( ) (d − dp) 2/3 S 1/2 n Dengan :
(2.6)
Q = debit aliran permukaan (m3/s) q = debit aliran permukaan per meter lebar (m3/s/m) W = Lebar daerah layanan (m) dp = tinggi depression storage (m) s = kemiringan daerah tangkapan (m/m)
Sedangkan rumus gelombang kinematik mengasumsikan bahwa limpasan persatuan lebar dari daerah tangkapan adalah sebagai berikut : Persamaan Kinematic Wave :
dQ dA + =q dx dt Ql = a × Am
Dengan: QL A
(2.7) (2.8)
= Aliran per satuan lebar daerah tangkapan (m3/s) = Kedalaman air (m)
a, m = parameter gelombang kinematik Dengan mensubstitusi persamaan 2.7 dan 2.8 maka di dapat
dA dA + (a.m A m - 1) + =q dt dx
(2.9)
Mendapatkan nilai koefisien n dapat dihitung dengan persamaan : n = (n0 + n1 + n2 + n3 + n4)m5
(2.10)
31
Gambar 2.7 Pemakaian Metode Kinematic Wave Tabel 2.3 Nilai Koefisien Kekasaran Manning (n) untuk Saluran Keadaan Saluran Bahan Tanah Pembentuk Batu pecah Kerikil halus Kerikil kasar Derajat Sangat kecil ketidakaturan Sedikit Sedang Besar Variasi Betahap Kadang-kadang Penampang berganti melintang saluran Sering berganti Efek relatif dari Dapat diabaikan hambatan Kecil Cukup Besar Tetumbuhan Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Derajat kelokan Kecil Cukup Besar
Nilai n0 0,020 0,025 0,024 0,028 n1 0,000 0,005 0,010 0,020 n2 0,000 0,005 0,010-0,015 n3 0,000 0,010-0,015 0,020-0,030 0,040-0,060 n4 0,005-0,010 0,010-0,025 0,025-0,050 0,050-0,100 m5 1,000 1,150 1,300
Sumber : Hidrolika Saluran Terbuka, 1997 Ven Te Chow
32 ¾
Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh air untuk bergerak dari titik terjauh mencapai titik tertentu di hilir. Waktu konsentrasi pada aliran permukaan adalah sebagai berikut : Tc = (
L )1-m
(2.11)
a x i*(m-1)
Dengan : Tc = waktu konsentrasi L = panjang daerah tangkapan i* = intensitas hujan a, m = parameter gelombang kinematik Nilai a dan m tergantung dari perhitungan aliran seragam pada aliran normal. a = 1,49 x S1/2 n m = 5/3
(2.12)