BAB II TINJAUAN 2.1. TINJAUAN UMUM 2.1.1. Tinjauan Mengenai Gereja Pengertian gereja Pengertian kata “ gereja” : adalah tubuh Kristus dan Dia adalah kepalanya. Efesus 1:22-23 berkata “Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu.”
1
Pengertian “ gereja” secara etimologi adalah sekumpulan orang percaya ( injil matius 16:17-18 ). kata gereja sendiri berasal dari bahasa - Portugis, igreja artinya kumpulan kaum - Yunani, ekklesia artinya pertemuan atau siding (jemaat); kuriakon artinya milik Tuhan Pengertian “ gereja “ secara fisik adalah gedung atau rumah tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen yang sama kepercayaann, ajaran dan tata caranya.
2
Tempat ibadah adalah bangunan yang sangat penting bagi manusia yang memiliki agama atau keyakinan tertentu. Tempat ibadah adalah gedung yang di buat manusia sebagai tempat yang sacral karena tempat ibadah adalah tempat dimana sekumpulan umat datang menghadap Tuhan. Demikian pula bagi umat Kristen, gereja sebagai tempat ibadah adalah sesuatu yang sangat penting dan sangat di hormatikarena gereja dimana tempat anak-anak Tuhan dating beribadah dan melayani Tuhan.
1 Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, 1995 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2, Balai Pustaka, 1991
14
1
Terdapat lebih dari satu jenis gereja Kristen yang ada di Indonesia, hal ini di sebabkan karena adanya visi dan misi yang berbeda yang Tuhan berikan bagi umat manusia. Adanya perbedaan visi dan misi dikarenakan Tuhan menciptakan manusia dengan banyak perbedaan, dengan perbedaan inilah Tuhan akan memakai umat-Nya untuk dapat saling melengkapi. Walaupun dapat terdapat perbedaan visi dan misi di antara umat Kristen tetapi tujuan dari semuanya adalah sama yaitu untuk kemuliaan nama Tuhan sehingga umat Kristen tetap bergandengan tangan di dalam perbadaan yang ada. Visi dan misi yang di miliki oleh sebuah gereja mengarahkan gereja tersebut kepada orientasi pelayanan yang akan menjadi jalan untuk mewujudkan visi dan misi itu sendiri. Selain mengarahkan kepada orientasi pelayanan, visi dan misi yang di miliki sebuah gereja akan menjadi identitas dari gereja tersebut. Makna sebuah gereja bagi umat Kristen, bukan bukan hanya sekedar sebuah gedung untuk tempat beribadah dan tempat melayani Tuhan, tetapi lebih kepada kesungguhan hati setiap jemaat yang hadir untuk mencari Tuhan. Tetapi hal ini bukanlah suatu penghalang untuk menciptakan sebuah gedung gereja beserta interior ruang yang mempunyai nilai estetika. Ciri gereja Kristen yang dapat dilihat jika dibandingkan dengan gereja Khatolik adalah gereja Kristen lebih sederhana, baik dalam bentuk bangunan juga dalam pengolahan interiornya sejalan dengan perkembanagn dunia arsitektur dan desain interior. Setiap gereja Kristen memiliki identitas yang berbeda sesuai dengan visi dan misi yang ada. identitas sebuah gereja sehingga dapat tercipta sebuah ciri yang berbeda. 2.1.2. Sejarah Perkembangan di Dunia Murid-murid Yesus, setelah sadar mau kemana mereka dibawa oleh Paulus, akhirnya menentang Paulus. Jacobus sampai mengatakan ajaran yang disampaikan oleh Paulus adalah ajaran sesat. Akhirnya pecah sengketa sengit antara Barnabas dengan Paulus pada kota-kota besar Antiokia itu. Inti pokok yang menyebabkan sengketa itu tidak pernah dijelaskan di dalam Kisah Rasul-Rasul. Karena sengketa sengit itu Paulus bersama Silas meninggalkan kota-besar 15
Antiokia untuk selama-lamanya (Kisah Rasul-Rasul, 15:40-41) menuju Asia Kecil dan Makedonia dan semenanjung Achaia (Grik) guna mengembangkan ajarannya dalam lingkungan orang Grik dan mereka itulah yang disebut dengan Gentile Christians (Orang kristen Asing). Sebutan itu lahir dalam dunia kristen untuk membedakan kelompok Pengikut yang Baru itu dengan Kristen Petama, Early Christians, yakni para pengikut Jesus Kristus yang mula-mula dalam lingkungan masyarakat Yahudi di Palestina, yang disebut dengan Nazarenes itu. Para pengikut yang pertama diyakini telah musnah sebagian besarnya pada masa pemberontakan total bangsa Yahudi di Palestina terhadap penindasan imperium Roma, yang berlangsung sepuluh tahun lamanya, yaitu antara tahun 65 sampai 75 masehi. Legiun X dari pihak Roma melakukan pembunuhan-pembunuhan massal (massacre) pada perkampungan-perkampungan Yahudi di seluruh Palestina, kecuali yang sempat melarikan diri ke lembah Mesopotamia dan Arabia Selatan dan berbagai wilayah lainnya. Semenjak pemberontakan total yang gagal itulah dikenal dalam sejarah bangsa Yahudi dengan Great Diaspora, yakni masa memencar tanpa tanah air. Pada masa yang sangat tragis itu diyakini kelompok-kelompok pengikut Jesus yang pertamatama (Early Christians) ikut musnah. Kecuali kelompok kecil yang sempat melarikan dirinya ke kota Pella di seberang sungai Jordan, yang pada masa belakangan dikenal dengan sekte Ebionites yang mempunyai Injil sendiri yang dikenal dalam sejarah dengan Ebionite Gospel (Injil Ebionites), yang isinya jauh berbeda dengan Injil-Injil yang menjadi pegangan dunia kristen pada masa berikutnya dan kini. Pemisahan Yahudi dengan Kristen Pemisahan antara ajaran Yahudi dan Kristen mulai nyata, dan akhirnya tidak dapat dihindari lagi. Para penganut kristen tidak lagi merayakan hari-hari besar Yahudi serta tidak lagi mempertahankan tradisi dan budaya Yahudi. Pemisahan ini diakui pada Dewan Yerussalem pada tahun 48 M. Kira-kira pada tahun-tahun awal inilah gereja sudah terbentuk. Gereja dibentuk untuk 16
mengorganisasikan gerakan pengembangan ajaran kristen dan Yerussalem adalah pusat pergerakan tersebut. Tapi Yerussalem juga pusat suci bagi Yahudi. Namun kaum Yahudi yang menguasai Yerussalem, memperlihatkan sikap permusuhan yang makin lama makin terbuka terhadap gereja dan pengikut Kristen, mendorong terjadinya pemindahan pusat pengajaran Kristen dari kota tersebut kekota-kota lain. Mulanya ke Antiokia lalu kemudian bergeser ke Roma. Pada awalnya ajaran Kristen, merupakan ajaran yang tidak diberi tempat oleh penguasa untuk berkembang. Selama 200 tahun ajaran Kristen adalah doktrin yang illegal bagi pemerintahan yang berkuasa. Agama ini berkembang sangat sulit akibat tekanan dahsyat oleh penguasa. Sejarah mencatat Kaisar Nero dan Kaisar Domitian (81-96 M) adalah penguasa Romawi yang sangat bengis kepada penganut Kristen. Pembunuan kejam dilakukan oleh Kaisar Nero pada tahun 64 M, melalui tuduhan bahwa kebakaran kota Roma disebabkan oleh orang-orang Kristen. Petrus dan Paulus, dibunuh mati pada masa-masa sulit ini. Perubahan kearah lebih baik terjadi dimasa pemerintahan Kaisar Konstantin, yang memberikan hak legal kepada oang-orang Kristen pada tahun 313 M. Selama 3 abad, dalam agama Kristen terjadi perkembangan yang bertentangan, yang makin lama makin besar. Secara umum, pengikut Kristen terbagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok yang mempercayai Paulus dengan ajaran nya yang mengatakan bahwa Yesus adalah Tuhan itu sendiri. Kepercayaan kelompok tahun demi tahun berkembang menjadi kepercayan Trinitas. Kelompok lain yang menentang Paulus dan tetap yakin dengan kepercayaan bahwa Yesus hanyalah seorang utusan Tuhan saja, tanpa embel-embel ketuhanan yang melekat pada dirinya. Pertentangan pada kedua kelompok ini makin meruncing dan dianggap oleh penguasa akan dapat membahayakan kekuakasaan Kaisar Romawi yang berkuasa waktu itu. Setelah ajaran Kristen diakui secara legal oleh penguasa Romawi, masalah pertama pertama yang harus adalah masalah Trinitas. Sehingga akhirnya atas perintah Konstantin, dilangsungkan pertemuan akbar antara kelompok-kelompok ini, di kota Nicea, pada thn 325 M.
17
Pemisahan Gereja Barat dengan Gereja Timur Masalah politik antara Romawi Barat yang berpusat di Roma dan Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel, makin tidak dapat dibendung, sehingga akhirnya benar-benar terpisah. Hal ini menjadi salah satu terjadi pemisahan Gereja Barat dan Gereja Timur. Pemisahan Gereja Timur dengan Gereja Barat, tidak dapat dielakkan lagi, ketika Gereja Timur, menolak sahadat tambahan, yang menyatakan Roh Kudus diturunkan dari Allah Bapa dan Anak. Bagi gereja Timur, Anak tidak ikut menurunkan Roh Kudus, hanya Bapa saja. Pemisahan ini tejadi padatahun 1054. Sejak itu muncullah Gerea Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Yunani. Unsur-unsur doktrinal membuat kedua gereja ini tetap terpisah. Gereja Katolik dipimpin oleh satu tampuk pimpinan yang disebut Paus, sementara Gereja ortodoks menyerahkan kepemimpinan ketangan para Bishop atau Patriakh. Gereja Katolik tetap berperan penting hingga abad pertengan. Tetap berpusat di Roma, dan Paus tetap pemegang kekuasaan tertinggi, yang melampaui Raja dan Ratu. Namun sejak akhir abda ke-14, mulailah timbul tantangan terhadap kekuasaan Paus yang begitu besar dan otoriter dalam agama. Munculnya Gereja Protestan dan Gereja-Gereja Lain Gerakkan reformasi pertama terhadap Gereja Katolik, dimulai oleh Lollards dan Hussites, yang kemudian berubah menjadi ancaman serius terhadap supremasi Gereja Katolik, ketika pada tahun 1517, seorang Imam bernama Martin Luther menentang keras penjualan surat pengampunan dosa oleh gereja. Dia juga menolak supremasi Paus, menyangkal substantiation, serta mendorong para bangsawan Jerman untuk memisahkan kekuasaan mereka. Dan bangswan yang selama ini terkekang oleh supremasi Paus, hanya butuh sedikit dorongan saja untuk kemudian memisahkan diri dari bayangbayang kekuasaan Paus. Banyak diantara para bangsawan ini yang lalu bergabung dengan Martin Luther. Disinilah awal bedirinya Gereja Protestan, sebagai tandingan terhadap Gereja Katolik. Tindakan Luther merupakan awal dari timbulnya berbagai sekte yang didasari kepada doktrin pokok Luther
18
Dalam perkembangannya yang tidak begitu lama, Lutherpun akhirnya bertentangan dengan bekas pendukungnya menentang kekuasaan Paus, yaitu Zwingli. Zwingli mengembangkan pandangan Eukaristi. jaran Luther yang menentang Gereja yang memberikan lembaran pengampunan Dosa, yang kemudian diselewengkan dengan penualan lembaran tersebut. Ajaran Luter, kemudian diformalisasikan dalam Gereja Lutheran. Pengaruh reformasi ini segera menyebar ke seluruh Eropa. Seorang pebaharu lain, bernama John Calvin, memisahkan diri dari Gereja Katolik tahun 1533. Pandangan Calvin hampir sama dengan Lutheran , namun dia yakin bahwa ada karunia tertentu untuk kelompok tertentu. Pengikut Calvin menyebar di Jerman, Belanda, Skotlandia, Swiss dan Amerika Utara, dan cukup berpengaruh di Inggriss. Di Inggris, anjuran para pembaharu juga diikuti oleh Raja Hendry VII pada tahun 1521, dengan mengeluarkan traktat yang menyerang Luther. Hal ini sempat membuat Roma bangga , dan Paus memberinya gelar “Pembela Iman”. Namun ternyata motif Raja hendry berbeda. Sang raja ingin menikahi Puteri Anne Boleyn. Namun sbelum bisa menikahi puteri ini, dia harus menceraikan Catherine of Aagon. Sayangnya Paus tidak merestui perceraian ini dan Hendry terpaksa mengabaikan kekuasaan Paus, pada tahun 1543, lalu menyatakan dirinya sebagai Kepala Gereja Inggris. Dengan begitu dia dapat membatalkan perkawinannya dengan Catherine. Ajaran “39 Pasal” yang menyangkut hal-hal yang kontrvesial serta mengungkapkan bagaiman kedudukan Gereja Ingriss mengenai masalah perceraian, dikeluarkan tahun 1571, selama pemerintahan Ratu Elizabeth I. Gereja Ingrris mengakui kerajaan sebagai kepala gereja, bukan Paus. Juga meolak tanssubstiation, meniadakan biara dan menggantikan bahasa Latin dengan bahasa Inggris untuk dipakai di gereja. Pertentangan paling ektrim dengan Roma terjadi pada abad ke-17 M, dimana George Fox dari Leichestershire Inggris, mulai menyebarkan ajaran bahwa manusia dapat berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa perlu riual-ritual yang ditetapkan oleh Gereja Katolik. George Fox, menyatakan tidak perlu ke 7 jenis sakramen dalam Katolik. Tidak dibutuhkan
19
sakramen apapun. Awal berdirinya keyakinan baru ini, dianggap pada tahun 1652 M, pada saat terjadinya kebaktian pertama. Masih di Ingriss, kemudian berdiri Gereja Baptist, yang didirikan oleh John Smith. Mereka menentang pembaptisan bayi, karena menganggap pembaptisan bayi menentang perintah Alkitab. Menurut pendapat mereka, hanya orang dewasa yang telah mengerti makna sumpah yang telah diucapkannya yang dapat dipabtis. Di Amerika Serikat juga terjadi gejolak keagamaan. Pada tahun 1830, Mormon, atau Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Hari Terakhir, dibentuk oleh Joseph Smith (1805-1844). Joseph Smit mengklaim telah mengalami wahyu Tuhan . Pada mulanya ajaran Mormon terlarang, karena dianggap menyimpang dai ajaran kristen dan praktek-praktek poligami mereka. Tetapi ajaran ini merayap ke seluruh Amerika dan akhirnya menenatap di kota Salt Lake, tempat mabes mereka sampai kini. Advent Hari ketujuh, juga mulai muncul di Amerika, dan mendapatkan momentumna pada tahun 1860. Gereja Advent Hari Ketujuh mengembalikan hari ketujuh sebagai hari Sabbath, seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi. Hampir saa dengan Gereja Baptis, Advent Hari Ketujuh uga hanya membaptis orangorang dewasa, dan membuat pembatasan-pembatasan mengenai apa yang boleh dimakandan diminum. Masih ada kelompok lain, yaitu Christian Sciene, Saksi Jehova dan Pantekosta. Vchristian Science didirikan oleh Mrs. Marry Baker Eddy tahun 1879, yang menyatakan bahwa satu-satunya realitas adalah pikiran, sdangkan yang lainnya adalah illusi. Saksi Jehova, adalah Gereja berikutnya, yang didirikan oleh C.T.Russell. Penganut ajaran ini, percaya bahwa kedatangan yesus yang kedua kalinya akan terjadi dalam waktu yang tidak lama lagi. Hanya kelompok mereka saja yang akan diselamatkan pada kedatangan Yesus yang kedua ini. Tahun 1906, Gereja Pantekosta, mulai berkiprah, yaitu melalui missi yang disampaikan oleh W.J.Seymor. Ajaran ini mengajarkan bahwa setiap orang dapat
20
mengalami kehadiran Rohul Kudus dalam diri mereka dan menerima hadiahhadiah roh. 2.1.3. Sejarah Perkembangan Gereja Kristen di Indonesia 2.1.3.1. Perkembangan Gereja Kristen pada Masa VOC (1602 - 1799)
Seperti telah dikemukakan di atas, Kristen-Protestan hadir di Indonesia sejak akhir abad ke-16, dibawa oleh personel armada dagang Belanda yang kemudian bergabung dalam VOC. Walaupun Gereja Protestan Belanda pada masa itu – mengacu pada Pengakuan Iman Belanda tahun 1561 pasal 365 - menitipkan tugas kepada VOC untuk ikut mewartakan Injil dan ajaran Kristen-Protestan kepada masyarakat yang mereka jumpai, termasuk di Minahasa, namun kongsi dagang ini maupun para personelnya tidak banyak berminat kepada tugas itu; minat mereka lebih banyak kepada perolehan keuntungan material lewat penguasan dan monopoli perdagangan hasil bumi dan komoditi lainnya. Karena itu tidak heran bila jumlah orang Kristen pada periode ini tidak berkembang, bahkan merosot, dibandingkan dengan jumlahorang Kristen-Katolik pada masa Portugis-Spanyol abad ke-16. Jemaat-jemaat Kristen juga hanya ada di beberapa kota pelabuhan (Batavia, Semarang, Surabaya, Padang, Makassar,Ambon, dan Ternate), yang secara organisatoris diurus oleh sebuah Majelis/Pengurus Gerejayang berkedudukan di Batavia, yang pemimpin tertingginya adalah pejabat VOC. Karena jemaat-jemaat pada zaman VOC pada umumnya adalah “jemaat benteng”, yakniberada di lingkungan benteng-benteng VOC, maka hubungan mereka (baik yang Belanda maupun pribumi dan orang-orang Timur-asing: Cina dan India) dengan masyarakat beragama lain, terutama Islam, sangatlah terbatas. Lagi pula para pejabat VOC dan para pendeta yang dipekerjakan oleh VOC pada umumnya menganut pemahaman yang negatif tentang Islam. Pada awal masa VOC di Nusantara, semua orang Kristen di negeri ini adalah eks orang Katolik yang diprotestankan oleh Belanda, secara sukarela ataupun paksaan. Memasuki pertengahan hingga akhir periode VOC, ada sejumlah pribumi maupun keturunan 21
Cina yang masuk Kristen Protestan, tetapi jumlahnya sangat terbatas, sehingga jumlah orang Kristen di negeri ini pada penghujung abad ke-18 lebih sedikit dari pada sekitar 1560-an, pada masa puncak perdagangan dan kekuasaan Portugis dan Spanyol di negeri ini. Salah satu kasus yang memperlihatkan sikap negatif terhadap Islam itu adalah pembantaianterhadap penduduk beragama Islam di pulau Banda pada tanggal 8-11 Maret 1621, karena mereka tidak mau tunduk pada klaim hak monopoli (oktrooi) perdagangan cengkeh. Ds. Hulsebos, pendeta VOC pada masa itu, menyebut dan merayakan pembantaian itu sebagai “suatupenaklukan yang diberkati oleh Tuhan, yang patut kita syukuri dan mengucapkan pujian yang tak terhingga kepada Allah”, walaupun sebenarnya tindakan itu tidak didasarkan pada pertimbangan agama, yaitu menindas orang Islam dalam rangka memajukan kekristenan. Tidak selalu para pejabat VOC maupun masyarakat Kristen Protestan pada periode ini bersikap negatif terhadap umat beragama lain. Kalau hubungan dengan umat beragama lain itu, khususnya Islam, mendatangkan keuntungan dagang, mereka yang Kristen itu tidak segan segan menjalin hubungan baik dan menjadikan kalangan Islam sebagai sekutu dagangnya.
Terutama
kalangan
personel
VOC
yang
memang
kadar
kekristenannya pada umumnya cukup rendah, tidak jarang mereka justru menghambat perkembangan agama dan gereja Kristen. Di daerah-daerah yang penduduknya sebagian besar sudah beragama Islam, pemimpin VOC tidak mengizinkan pendeta ataupun penginjil untuk menyelenggarakan kegiatan gereja, apalagi sampai mendirikan gedung gereja. Peristiwa konflik bermuatan agama pada masa kekuasaan Portugis-Spanyol abad ke-16 juga dipelajari oleh kalangan VOC, dan mereka tidak mau kalau hal itu terulang, dan bila upaya pengembangan gereja/agama Kristen merugikan perdagangan. Menyimpulkan perkembangan kekristenan pada periode 1522-1799, Van den End berkata: Harus diakui bahwa usaha-usaha mengabarkan Injil dan menanamkan gereja di Indonesia selama waktu 2½ abad ini adalah mengecewakan. Ini benar kalau kita melihat hasil itu dari segi jumlah orang yang masuk Kristen – kira-kira 100.000 orang – dan membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai oleh agama Islam dalam kurun waktu yang sama. Tetapi hal yang sama juga harus dikatakan mengenai 22
kekuatan batiniah kekristenan di Indonesia pada zaman itu. Hanya di Maluku Tengah berhasil dibangun suatu kekristenan yang agak mantap sedikit. Pengaruh agamaKristen di luar lingkungan gereja adalah kecil sekali. Lebih lanjut Van den End menyimpulkan faktor-faktor penyebab keadaan itu, a.l : 1. Tenaga penginjil kurang sekali. Lagi pula, banyak di antara tenaga itu yang mati ketika baru saja mulai bekerja, sehingga pekerjaan berjalan tersendat-sendat. 2. Sebagian rohaniwan yang datang dari Eropa hanya memberi pemeliharaan rohani kepada teman-teman sebangsanya dan tidak memperhatikan orangorang Indonesia. 3. Tenaga Indonesia kurang di didik dan/atau kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat-bakatnya. 4. Injil dibawa dalam bahasa asing, dan bentuk-bentuk kehidupan gerejawi merupakan tiruan dari keadaan di Eropa. 5. Pemimpin-pemimpin jemaat tidak cukup mengenal agama/adat Indonesiaasli. 6. Orang-orang Portugis dan Belanda datang ke Indonesia dengan maksud mengabarkan Injil dan mencari kekayaan; itu berarti bahwa mereka “mengabdi sekaligus kepada Allah dan Mamon”. 7. Kelakuan buruk pendatang dari Eropa, yang merusak kesediaan masyarakat pribumi] untuk menerima agama mereka. 8. Gereja sering menyesuaikan diri dengan kemauan penguasa dan dengan keadaan masyarakat (status quo).
2.1.3.2. Perkembangan Gereja Kristen pada Masa Hindia-Belanda (1800 – 1942)
Periode ini dapat disebut sebagai masa puncak perkembangan Kristen (baik Katolik maupun - dan terutama - Protestan) di Indonesia. Sebenarnya – 23
sebagai dampak dari semangat Aufklärung (Enlightenment, Pencerahan) yang berlangsung di sepanjang abad ke-18 di Eropa – pemerintah Hindia-Belanda (perpanjangan tangan pemerintah Belanda, yang menggantikan VOC sejak 1800) menganut azas netralitas dalam hal agama, setidak-tidaknya secara teoritis. Dengan kata lain, pemerintah H-B di atas kertas tidak memihak kepada salah satu agama mana pun, termasuk Kristen. Tetapi karena sebagian besar pejabat pemerintah H-B itu – paling tidak secara formal – beragama Kristen, tak dapat disangkal bahwa ada dari antara mereka yang memperlihatkan dukungan terhadap perkembangan gereja/kekristenan. Tetapi faktor utama yang menyebabkan perkembangan Kristen sangat dahsyat pada masa ini adalah perkembangan di kalangan Kristen sendiri, bermula di Eropa lalu meluas ke Amerika. Sebagai reaksi terhadap munculnya Rasionalisme dan Pencerahan, sejak awal abad ke-18 dan memuncak pada abad ke-19, di kalangan Kristen muncullah gerakan dan semangat Pietisme (kesalehan) dan Revival (kebangunan rohani). Kedua semangat ini, ketika bergabung, mendorong banyak orang Kristen – mula-mula di luar gereja-gereja resmi, belakangan juga di dalamnya – untuk melakukan penginjilan (baca: pengkristenan; mentobatkan orang yang bukan Kristen) kepada masyarakat pribumi maupun pendatang (terutama kalangan Tionghoa). Sejak awal abad ke-19 puluhan (bahkan mungkin ratusan) badan/lembaga penginjilan – dari kalangan Katolik maupun Protestan – yang datang dari Eropa dan Amerika, dan bekerja di Indonesia. Mereka mengirimkan ribuan tenaga penginjil, baik penginjil-langsung (verbal) maupun penginjil-tidak-langsung, yakni yang bekerja di berbagai sarana pelayanan: pendidikan/ persekolahan, kesehatan/rumahsakit, pertanian, pertukangan, bahasa, media komunikasi, dsb. Mereka diizinkan pemerintah H-B bekerja dan menyebar di seluruh wilayah Nusantara, kecuali di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam ( Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, sebagian besar Jawa, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan sebagian besar Sulawesi Selatan + Tenggara) maupun Hindu (yaitu Bali). Belakangan, lewat perjuangan yang gigih, para penginjil itu diizinkan juga oleh pemerintah HB untuk bekerja di daerah-daerah tersebut, kendati dengan pembatasan yang sangat ketat. Di daerah24
daerah yang sebagian besar penduduknya masih beragama suku, lembagalembaga penginjilan (zending, mission) Protestan berhasil membentuk jemaat-jemaat (gereja lokal) Kristen, bahkan mendirikan organisasi-organisasi gereja (di kalangan Protestan sering disebut Sinode) yang menghimpun dan membawahi jemaat-jemaat lokal. Di antara organisasi gereja/sinode itu ada yang bertumbuh menjadi besar dan kuat, a.l. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Gereja Protestan Maluku (GPM), Gereja Masehi Injili Timor (GMIT), Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Gereja Kristen Pasundan (GKP), Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), Gereja Toraja, Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH), Gereja Masehi Injili Sangir-Talaud (GMIST), Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI Papua), Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Methodist Indonesia (GMI), Gereja Kristen Muria Indonesia, (GKMI), dan Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB). Gereja-gereja ini kelak (sejak 1950) bergabung dalam Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI, sejak 1984 menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, PGI). Walaupun lembaga-lembaga penginjilan itu datang dari lingkungan gereja yang berbedabeda dalam hal ajaran dan tradisi (termasuk tata organisasi dan jabatan gereja), tetapi ketika mereka berhasil membentuk jemaat-jemaat lokal dan organisasi gereja pada aras Sinode, sebagian besar dari mereka tidak terlalu menekankan kekhasan dari gereja-asal masingmasing. Mereka memberi peluang dan ruang, walaupun tidak sangat luas, kepada masing-masing gereja untuk bertumbuh dan berkembang sesuai dengan konteks sosial-budayanya. Karena itulah gereja-gereja tersebut di atas (kecuali GMI dan GKMI) lebih bercorak etnisregional (kesukuan dan kedaerahan) ketimbang konfesional-denominasional (dogma dan tradisi gereja asal), kendati corak dan identitas konfesional di sanasini diperlihatkan juga (misalnya HKBP dan BNKP mengaku beraliran Lutheran; GMIM, GPM, GMIT, GKJ, GKJW, GKS, GBKP, dan GMIH mengaku Calvinis; GKMI beraliran Mennonit, dst.). Lembaga-lembaga penginjilan dari Barat itu, dan pada gilirannya gereja-gereja yang ditumbuhkannya, tidak hanya berupaya 25
mempertobatkan orang-orang beragama suku (dan beragama lain) menjadi Kristen, dalam rangka menambah jumlah warga. Mereka – seperti sudah disebut di atas - juga bergiat di berbagai bidang pelayanan sosial-kemanusiaan. Bidangbidang ini bisa saja dilihat sebagai bidang-penunjang (hulpdienst) terhadap bidang utama (hoofddienst) yaitu penginjilan dalam rangka pengkristenan. Tetapi gereja-gereja dan lembagalembaga pelayanan yang didirikannya tidak memaksa orang-orang yang mereka layani untuk menjadi Kristen. Karena itu sejak dulu hingga sekarang kita dengan mudah melihat siswa/mahasiswa dan pasien beragama non-Kristen di sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit Kristen. Bagi pihak
penyelenggara,
yang
terpenting
adalah
bahwa
masyarakat
luas
sedikitbanyak mengenal nilai-nilai kristiani melalui pelayanan yang mereka terima. Karena lembaga-lembaga penginjilan dan gereja-gereja yang dibentuknya itu banyak berkiprah di masa H-B ini tingkat sosial-ekonomis warga masyarakat Indonesia yang beragama Kristen pada umumnya lebih tinggi dari warga masyarakat beragama lain. Dalam hal tingkat kemajuan di bidang pendidikan, misalnya, peringkat tertinggi diduduki Minahasa, disusul oleh Tanah Batak, Maluku, dan NTT. Sementara itu Jawa dan daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan Hindu berada pada peringkat yang lebih rendah. Karena itu tidak heran bila orang Kristen doyan menjadi birokrat, dan pegawai/pejabat pemerintah (termasuk tentara) dari kalangan pribumi sebagian besar adalah orang Kristen. Di satu sisi hal ini cukup serinG menimbulkan sikap arogan di kalangan Kristen, sedangkan di kalangan non-Kristen, terutama Islam, hal ini menimbulkan kemarahan. Abdul Muis, salah seorang tokoh Sarekat Islam yang duduk di dalam Volksraad (Dewan Rakyat), misalnya, pada tahun 1920-an mengajukan keberatan terhadap pemerintah H-B, karena menurut pengamatannya pemerintah memberikansangat banyak subsidi kepada badan-badan zending bagi usaha mereka di bidang pendidikan dan kesehatan, sedangkan dana subsidi itu sebagian besar berasal dari belasting (pajak) yang dibayar oleh warga masyarakat beragama Islam. Baik pemerintah H-B maupun kalangan zending dan gereja Kristen bisa saja berargumen bahwa subsidi itu bersifat simbiosa mutualistis: di satu sisi beban kerja pemerintah diringankan dan biaya penyelenggaraan 26
pendidikan & kesehatan menjadi lebih murah bila dikerjakan kalangan Kristen, dan di sisi lain kalangan Kristen mendapat peluang meluaskan pelayanannya kepada masyarakat, termasuk yang bukan Kristen. Lagi pula lembaga-lembaga pendidikan/persekolahan dan kesehatan yang dapat mengikuti standar atau aturan yang ditetapkan pemerintah H-B (mengacu pada sistem pendidikan dan kesehatan Barat modern) adalah yang diselenggarakan kalangan Kristen. Hal ini tidak mengherankan, karena di kalangan pekerja zending dan gereja Kristen itu terdapat guru, dokter, insinyur dan tenaga profesional lain yang bersal dari Barat. Bagaimana pun juga, di kalangan masyarakat bukan Kristen fakta itu membuat mereka merasa diperlakukan tidak adil. Karena itulah perlawanan terhadap penjajahan Belanda, terutama hingga awal abad ke-20, kebanyakan datang dari kalangan Islam. Kemarahan – atau minimal rasa terganggu dan terlecehkan – di kalangan Islam menjadi semakin kuat karena kalangan zending Barat itu pada umumnya memperlihatkan sikap dan penilaian negatif terhadap Islam. Sebagian dari hal itu merupakan warisan Perang-perang Salib yang berlangsung abad ke-11 hingga ke-13 (bahkan di kawasan tertentu di Eropa hingga abad ke-16). Pada gilirannya sikap dan penilaian negatif itu diwariskan kepada gereja-gereja dan umat Kristen hasil penginjilan dan pembinaan mereka. Sangat banyak contoh tentang hal ini, dan karena itu tidak heran bila pada periode ini di sana-sini terjadi konflik berdarah di antara umat Kristen dan Islam. Kalaupun tidak sampai berdarah secara fisik, minimal menimbulkan luka batin (dan dendam berkepanjangan), terutama bila ada tulisan-tulisan yang beredar di kalangan Kristen, yang bernada menghina atau melecehkan agama dan umat Islam. Syukurlah bahwa tidak semua orang Kristen pada periode ini memperlihatkan sikap dan pandangan negatif itu. Kita bisa mencatat beberapa tokoh yang sangat menghargai agama dan umat beragama lain, khususnya Islam, dan berusaha megungkapkan iman Kristennya dengan cara dan gaya yang akrab bagi masyarakat Islam. Misalnya C.L. Coolen dan Paulus Tosari di Jawa Timur, serta Ibrahim Tunggul Wulung dan Kyai Sadrach di Jawa Tengah (dan Jawa Barat). Pihak Islam sendiri juga tidak semua memperlihatkan reaksi negatif terhadap sepakterjang kalangan Kristen. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri 27
Muhammadiyah, misalnya, menjalin hubungan yang akrab dengan kalangan zending di Yogyakarta, walaupun menurut Alwi Shihab Muhammadiyah didirikan dalam rangka membendung penetrasi misi Kristen. 2.1.3.3. Perkembangan Gereja Kristen pada Masa Pendudukan Jepang dan Revolusi (1942-1949)
Ketika Jepang menduduki Indonesia sejak Februari/Maret 1942, salah satu pihak yang banyak menjadi korban (penyiksaan hingga pembunuhan) adalah kalangan Kristen (Katolik maupun Protestan), terutama para misionaris Barat, tetapi juga pengerja/pejabat gereja dari kalangan pribumi (pendeta, guru, dsb.), bahkan tak sedikit warga gereja biasa. Pribumi Kristen itu ikut menjadi korban karena mereka didakwa sebagai kakitangan atau pendukung kekuasaan Barat yang menjadi musuh Jepang pada Perang Dunia II itu. Kalangan Islam pada awalnya menyambut hangat kedatangan tentara-pendudukan Jepang, dan memandang mereka itu sebagai saudara tua yang membebaskan rakyat dari penjajahan Belanda. Apalagi jauh hari sebelum pendudukan itu pihak Jepang telah membuat sejumlah kebijakan dan langkah untuk menarik simpati umat Islam Indonesia (a.l. kongres Islam se-dunia di Tokyo dan Osaka 1939). Belakangan kalangan Islam kian menyadari bahwa Jepang juga menindas mereka (termasuk memperlakukan banyak kaum wanita mereka sebagai jugun ianfu, wanita penghibur). Kendati banyak gereja dan orang Kristen menjadi korban penindasan Jepang (termasuk menjadi romusha dan jugun ianfu), tetapi ada juga yang bersikap mendukung (untuk tidak mengatakan menjilat) Jepang. Sejumlah tulisan dari kalangan Kristen pribumi memuji-muji Jepang sebagai pembebas, penolong, pelindung, dsb. Syukurlah, yang seperti itu tidak banyak, kendati yang bersikap kritis dan mengungkapkannya secara terbuka juga tidak banyak. Di antara mereka yang bersikap kritis itu adalah Amir Sjarifuddin [Harahap] dan Sam (G.S.S.J.) Ratulangie. Karena Jepang mengetahui bahwa tokoh-tokoh seperti mereka ini cukup berpengaruh di kalangan masayarakat (bukan hanya yang Kristen) maka kepada mereka ditawarkan juga jabatan tertentu di lingkungan pemerintahpendudukan itu. Dalam hal organisasi, pemerintah-pendudukan Jepang di Indonesia juga memprakarsai pembentukan wadah kesatuan mereka dengan 28
maksud untuk memudahkan pengendalian atas mereka. Itu sejalan dengan tindakan pemerintah Jepang di negerinya, yaitu membentuk Nippon Kirisuto Kyodan (Gereja Kristus di Jepang). Wadah kesatuan gereja bentukan Jepang yang pertama di Indonesia adalah Ambon-syu Kiristokyo Rengokai (Pergabungan Gerejagereja Masehi di Ambon), yang selanjutnya meluas ke Sulawesi dan Kalimantan. Wadah seperti ini, kendati merupakan hasil rekayasa penjajah Jepang, ada juga manfaatnya bagi kalangan gereja/orang Kristen pribumi; mereka kian saling mengenal dan menyadari nasib yang sama. Karena itulah wadah ini menjadi salah satu cikal-bakal wadah oikumenis (kesatuan gereja) yang setelah kemerdekaan Indonesia lebih dikembangkan (a.l. dalam wujud DGI/PGI). Peranan orang Kristen yang tak kurang pentingnya pada zaman Jepang adalah dalam proses perumusan Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sejumlah tokoh Kristen (a.l. Johannes Latuharhary, yang kelak menjadi gubernur Maluku yang pertama) berjuang dengan sangat gigih - bersama kaum nasionalis-sekuler – agar dasar negara Indonesia bukan agama atau hukum Islam. Karena itu, walaupun - pada waktu penetapan Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar pada tanggal 18 Agustus 1945 – sebagian besar isi Piagam Djakarta 22 Juni 1945 dijadikan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (yang di dalamnya terdapat rumusan Dasar Negara yaitu Pancasila), tetapi tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemelukpemeluknya” dicoret dari sila pertama dan diganti dengan “Yang Maha Esa”.15 Karena orang Kristen (Katolik maupun Protestan) terbukti ikut berjuang melawan penjajah dan mempertahankan RI dari niat Belanda dan sekutunya untuk kembali menjajah Indonesia, maka di sepanjang masa Revolusi Fisik (1945-1949) hubungan umat Kristen dengan umat beragama lain, khususnya Islam, relatif cukup baik. Kalangan Kristen juga ikut menduduki jabatan-jabatan penting di dalam pemerintahan. Tak sedikit yang diangkat menjadi menteri di dalam kabinet-kabinet yang cukup sering jatuh-bangun di masa itu. Bahkan Amir Sjarifuddin dua kali menjabat Perdana Menteri, kendati akhir hidupnya cukup tragis dan ironis. Pada masa itu juga dibentuk sebuah partai politik bagi kalangan Kristen [-Protestan], yaitu Partai Kristen Nsional (PKN) (selanjutnya menjadi 29
Partai Kristen Indonesia, Parkindo), 11 November 1945. Gereja-gereja menjalin hubungan baik dengan partai ini, dan sebagian cukup besar umat Kristen [Protestan] menyalurkan aspirasi politik mereka melalui partai ini. 2.1.3.4. Perkembangan Gereja Kristen pada Masa Orde Lama (1950 – 1965)
Salah satu perkembangan penting di kalangan Kristen [-Protestan] pada awal periode Orde Lama ini adalah pembentukan DGI, 25 Mei 1950, oleh 22 organisasi gereja. Tujuan utama pembentukan wadah oikumenis ini – sebagaimana dikemukakan pada Anggaran Dasarnya – adalah “pembentukan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia”. Rumusan ini di satu sisi merupakan rumusan teologis, mengacu pada cita-cita keesaan Gereja yang sudah tercantum di dalam Kitab Suci (Alkitab), a.l. dalam doa Yesus Kristus di taman Getsemani sebelum kematian-Nya (Yohanes 17:21). Di sisi lain rumusan ini mengandung muatan politis, yakni mendukung citacita kesatuan negara dan bangsa Indonesia dalam wujud NKRI. Dengan kata lain, sebagian besar dari gereja-gereja dan umat Kristen di Indonesia pada waktu itu menyadari pentingnya kesatuan bangsa, yang juga harus didukung oleh kesatuan (keesaan) Gereja. Karena itulah DGI mendukung kembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan (sebagaimana dicanangkan pada 17 Agustus 1950), setelah sebelumnya negara ini berbentuk federal (RIS). Pada periode ini jumlah organisasi gereja Protestan di Indonesia bertambah dengan cukup pesat. Hingga 1950 baru ada sekitar 40-an (20-an di antaranya bergabung dalam DGI, dan dapat disebut sebagai gereja-gereja arus utama dan merupakan gereja-gereja terbesar dalam hal jumlah anggota, dari Sumatera Utara hingga Maluku, menyusul Irian Barat/Papua pada tahun 1956). Tetapi pada akhir periode ini sudah menjadi sekitar 80-an, termasuk gereja-gereja Pentakosta (penginjilnya sudah hadir sejak 1920-an, tetapi organisasinya baru sejak 1930-an), gereja-gereja Baptis (hadir dalam wujud badan/kegiatan misi sejak awal abad ke-19, tetapi baru terbentuk sebagai organisasi gereja sejak 1950an), dan gereja-gereja Injili (sebagai badan/kegiatan misi sejak 1950-an, sebagai organisasi gereja sejak akhir 1960-an). Di bidang politik peranan kalangan Protestan cukup menonjol. Di dalam sekian banyak kabinet yang terbentuk dan 30
jatuh-bangun di sepanjang periode ini, tidak pernah tidak ada wakil dari kalangan Protestan, baik dari Parkindo maupun dari kalangan nasionalis-sekuler. Salah satu tokoh yang cukup menonjol adalah dr. Johannes Leimena, yang menjadi Wakil Perdana Menteri II (bahkan beberapa kali menjadi Presiden ad interim ketika Soekarno mengadakan perjalanan ke luar negeri). Soekarno sendiri terkenal dekat dengan kalangan Kristen (baik Protestan maupun Katolik), a.l. karena pengalaman dan pergaulannya pada masa penjajahan hingga pada waktu ia menjadi Presiden. Cukup sering Soekarno menghadiri upacara atau peristiwa penting di kalangan Kristen, a.l. dalam Sidang Lengkap DGI tahun 1956 dan 1964, sidang pembentukan East Asia Christian Conference (EACC) 1957, dan Yubileum 100 Tahun HKBP 1961. Karena itu tidak heran bila kalangan Kristen (lewat Parkindo) ikut mendukung pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup pada tahun 1963. Dan tidak heran pula bila kalangan tertentu menilai gereja dan orang Kristen di Indonesia pada masa Orde Lama ini terlalu dekat (untuk tidak mengatakan menjilat) kepada penguasa. Kendati demikian, tidak semua orang Kristen mendukung Soekarno di setiap waktu serta dalam semua kebijakan dan tindakannya. Pada masa Orde Lama ini terdapat sejumlah gerakan separatis atau pemberontakan; selain DI/TII, yang penting dicatat adalah PRRI dan Permesta. Di dalam kedua kelompok ini (apalagi di kalangan Permesta) terdapat banyak orang Kristen, sipil maupun militer. Bahkan di dalamnya ada “seksi/bagian kerohanian”, yang didukung oleh gereja. Dan menarik juga untuk dicatat bahwa di dalam PRRI kalangan Islam dan Kristen dapat bekerjasama dengan erat dan membangun hubungan persahabatan. Tidak semua orang Kristen yang menentang Soekarno melibatkan diri dalam gerakan separatis seperti itu. Jenderal Mayor (kemudian Letjen) Tahi Bonar Sumatupang, misalnya, kendati menentang kebijakan Soekarno (sehingga dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang RI pada tahun 1952 dan berhenti dari dinas militer 195916), dalam hal tertentu mendukung pemikiran Soekarno, walaupun secara kritis dan berusaha menggali dasar teologisnya. Ketika Soekarno sejak awal 1960-an banyak berbicara tentang “Revolusi Kita”, Simatupang - yang sejak 1959 mulai melibatkan diri dalam kegiatan gereja pada aras nasional (DGI) dan internasional (EACC/CCA dan 31
WCC) - menerjemahkan atau menerapkan gagasan itu ke dalam lingkungan gereja.17 Karena itu tidak heran bila pada akhir masa Orde Lama ini kalangan Kristen di Indonesia, termasuk DGI, banyak juga menyerukan revolusi. Bahkan atas nama revolusi orang Kristen juga ikut-ikutan menyerukan “ganyang Malaysia”. Di dalam tulisan-tulisannya pada periode ini hingga 1980-an kita sering menemukan ‘tetra kata’ yang dirumuskan Simatupang sebagai sikap orang Kristen: konstruktif (belakangan menjadi positif), kreatif, realistis, dan kritis. 2.1.3.5. Perkembangan Gereja Kristen pada Masa Orde Baru (1966 – 1998)
Parohan pertama masa Orde Baru (1966-1982) dalam arti tertentu dapat disebut sebagai‘masa keemasan’ kekristenan di Indonesia. Beberapa faktor penyebab dan indikatornya a.l.: (1) Pertambahan jumlah orang Kristen secara signifikan: Setelah kegagalan G30S/PKI, banyak orang memilih menjadi Kristen, karena takut dituduh PKI dan karena pemerintah tidak memberi tempat (hak hidup) di negeri ini bagi orang yang tidak beragama. Cukup banyak dari mereka yang lebih suka memilih masuk Kristen, karena organisasi-organisasi Islam sangat giat pada waktu penumpasan PKI, sehingga mendatangkan rasa jeri pada mereka.18 (2) Sehubungan dengan adanya ‘kebangunan rohani’ ataupun ‘peluang emas’ pasca G30S itu, semakin banyak badan penginjilan (misi) dari luar negeri yang berkiprah di Indonesia, terutama dari kalangan Evangelical (Injili) dan Pentakostal-Kharismatik. Sejalan dengan itu berdirilah puluhan organisasi gereja baru, baik yang disponsori oleh badan-badan misi itu maupun hasil ‘pembiakan’ (perpecahan) dari gereja-gereja yang sudah ada sebelumnya. (3) Banyak pejabat tinggi negara (menteri dsb.) dari kalangan Kristen (Protestan maupun Katolik). Kita misalnya masih mengingat trio RMS (Radius, Maraden [atau Murdani] dan Sumarlin). Karena gereja-gereja/orang Kristen merasa dekat dengan penguasa, mereka merasa mendapat kebebasan untuk mengembangkan diri di berbagai bidang kehidupan, dan sedikit-banyak hal itu mendatangkan sikap arogan di kalangan Kristen tertentu. 32
Dalam situasi seperti itu tidak heran bila [sebagian dari] kalangan Islam merasa terganggu bahkan terancam. Mulailah ditiupkan isu kristenisasi, dan semakin banyak polemik terjadi di antara kalangan Kristen dan Islam mengenai hal itu. Salah satu di antaranya adalah menjelang, pada waktu, dan sesudah Musyawarah Antar-Agama 30 November 1967.19 Pada waktu itu beberapa tokoh Islam (a.l. H.M. Rasjidi dan M. Natsir) mengusulkan agar pemerintah membuat peraturan yang pada intinya melarang penyiaran agama lain kepada orang yang sudah beragama tertentu. Kalangan Kristen (a.l. T.B. Simatupang) menentang usul itu, karena menurut mereka hal itu bertentangan dengan sifat-dasar agama Kristen sebagai agama misioner, maupun dengan kebebasan beragama (termasuk beralih agama) yang dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (HAM) maupun Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah tidak begitu saja mengikuti kemauan pihak Kristen. Sejak akhir 1960-an mulai dikeluarkan sejumlah ketentuan yang bertujuan menjaga kerukunan maupun membatasi atau mengendalikan kebebasan menyiarkan agama, termasuk mendirikan rumah ibadah dan menerima bantuan dari luar negeri (baik tenaga maupun dana) untuk urusan penyiaran agama, Ma.l. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no 1/1969 serta SK Menteri Agama no. 70 dan 77/1978. Semua itu bukan membuat hubungan di antara umat beragama – khususnya Kristen dan Islam – menjadi lebih baik, melainkan sebaliknya. Salah satu faktor yang mendorong pemerintah menyelenggarakan musyawarah itu adalah Peristiwa Makassar 1 Oktober 1967, yang mengakibatkan banyak kerugian di kalangan Kristen. Uraian agak rinci tentang Peristiwa Makassar maupun Musyawarah AntarAgama itu. Ketegangan hubungan itu semakin meningkat, juga karena kalangan Injili dan Pentakostal- Kharismatik sangat gencar menyiarkan ajaran mereka (yang biasa mereka sebut memberitakan Injil dan memenangkan jiwajiwa). Bahkan tidak sedikit dari mereka ‘menggarap’ sesame Kristen atau warga gereja lain. Agresivitas penyiaran agama itu, bertolak dari pamahaman dan keyakinan bahwa agama (ajaran gereja)nyalah yang paling benar, serta penganut agama (ajaran gereja)nyalah yang paling terjamin selamat di dunia 33
maupun di akhirat. Karena itu tidak heran bila pada masa ini sangat banyak polemik di antara kalangan Kristen dan Islam, yang a.l. tertuang dalam banyak tulisan (baik buku maupun artikel di media-media massa). Sebenarnya kirakira berbarengan dengan semakin tingginya tingkat ketegangan hubungan di antara penganut kedua agama ini, sudah dimulai juga rangkaian musyawarah atau dialog antar umat beragama, baik di luar maupun di dalam negeri.20 Kegiatan ini semakin banyak diadakan berbarengan dengan semakin berkembangnya wacana dan wawasan pluralisme. Di sepanjang masa Orde Baru, dan berlanjut hingga ‘Era Reformasi’ sekarang ini, tak terbilang banyaknya kegiatan yang bersifat antar-agama/interfaith (dengan berbagai istilah), baik berupa musyawarah atau dialog yang berlangsung beberapa jam atau beberapa hari, maupun studi yang lebih serius dan mendalam, dan berlangsung dalam jangka waktu lebih lama. Seiring dengan itu dibentuk juga berbagai forum ataupun organisasi lintas-agama. 2.1.3.6. Perkembangan Gereja Kristen pada ‘Era Reformasi’ (1998 – 2007)
Memasuki ‘Era Reformasi’ terlihat perkembangan yang terkesan paradoksal. Di satu sisi, konflik dan kerusuhan bermuatan agama yang masih terus berlangsung, bahkan bobotnya meningkat secara sangat signifikan, seperti yang a.l. terjadi di Jakarta (November 1998), Poso (1998-2003/2006), dan Ambon/Maluku (1999-2002), mendatangkan pukulan berat terhadap gereja dan umat Kristen di negeri ini. Tetapi di sisi lain, terutama sejak Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden (1999-2001), terasa juga sedikit angin segar, yaitu iklim dan suasana demokratis, yang a.l. ditandai kebebasan yang lebih besar untuk bersuara dan berserikat. Di bidang politik, misalnya, sejak menjelang Pemilu 1999 hingga menjelang Pemilu 2004 telah terbentuk [kembali] belasan partai politik berlabel Kristen (walaupun sebagian tidak sangat eksplisit, misalnya Partai Demokrasi Kasih Bangsa/PDKB dan Partai Damai Sejahtera/ PDS). Ketika kita sekarang mulai pasang kuda-kuda dan bersiap diri menuju Pemilu 2009, jumlah partai politik Kristen lebih ‘gila’ lagi, sudah lebih dari 20 buah. Walaupun perolehan suara dari partai-partai berlabel Kristen itu pada Pemilu 1999 dan 2004 34
tidak cukup memadai, karena sebagian besar orang Kristen masih menyalurkan aspirasi politiknya melalui partaipartai yang bercorak nasionalis-sekuler (terutama Golkar, PDIP dan Partai Demokrat)23, tetapi masih ada, bahkan kian banyak saja, orang Kristen yang berminat membentuk partai politik berlabel Kristen. Yang tak kalah menarik, kalangan Injili dan Pentakostal-Kharismatik pun terlihat semakin doyan berpolitik, hal yang kurang terlihat hingga akhir masa Orde Baru. Dalam hal jumlah organisasi gereja, pada periode ini di kalangan Protestan (lebih tepat: non-Katolik) masih terus saja terjadi pertambahan, sehingga sampai akhir 2004 jumlahnya sudah mencapai 323.24 Sebagian besar dari organisasi gereja yang baru itu merupakan sempalanN dari gereja-gereja yang sudah ada, sehingga sebenarnya jumlah orang Kristen di negeri ini Gambaran agak rinci tentang berbagai peristwa itu s/d 2003 a.l. terdapat dalam Aritonang, Sejarah Perjumpaan, h. 532-575
dan sejumlah literatur yang diacu di dalamnya. Peristiwa terakhir di Poso
adalah tertembak-matinya Pdt. Irianto Kongkoli, Sekretaris Umum GKST, 16 Oktober 2006. Kajian tentang hal ini a.l. saya sajikan pada artikel berjudul “Partisipasi dan Inklinasi Kristen Indonesia di dalam Pemilihan Umum”, dalam Jan S. Aritonang, Pertambahan itu secara mencolok terjadi ketika Dr. (HC) P. Siahaan STh menjadi Dirjen Bimas (Kristen) Protestan, terutama menjelang akhir masa jabatannya (a.l. terbentuk Gereja Bethany Indonesia, Gereja Tiberias Indonesia, Gereja Kristus Yesus, dan Gereja Kemah Abraham). Ketika Dr. Jason Lase MSi menjadi Dirjen (sejak akhir 2004), ia mencanangkan ‘zero griowth’ alias tidak mengizinkan pertambahan jumlah organisasi gereja. Apakah kebijakan itu dapat ia pertahankan hingga akhir masa jabatannya, kita nantikanlah dengan hati berdebar. praktis tidak bertambah, hanya ‘pindah kandang’ atau ‘pindah aquarium’ saja. Karena itu patut diragukan kebenaran klaim dari kalangan Kristen tertentu bahwa orang Kristen di negeri ini sudah mencapai 15-20 % dari seluruh penduduk. Yang dapat ditengarai adalah: banyak orang Kristen yang terdaftar sebagai anggota di dua, tiga, atau empat organisasi gereja, sehingga kalau ditotal jumlah keseluruhan lebih dari 10 % dari penduduk Indonesia. Bagaimana pun juga,isu peningkatan jumlah yang ‘spektakuler’ ini menimbulkan keresahan di kalangan Islam. Adanya kegemaran di kalangan Kristen tertentu untuk melakukan 35
mark up atas jumlah orang Kristen di negeri ini didasarkan dan didorong oleh berbagai alasan atau faktor, a.l.: (1) Keinginan untuk memperlihatkan keberhasilan mereka melakukan apa yang mereka pahami sebagai ‘pekabaran Injil’ (seakan-akan sukses pekabaran Injil diukur dengan pertambahan jumlah orang Kristen); (2) Memberi gambaran kepada dunia (khususnya kepada mitra-luar negeri dari para ‘penginjil’ di Indonesia) bahwa peluang untuk ‘mengabarkan Injil’ (baca: menambah jumlah orang Kristen) masih tetap terbuka lebar, sehingga dana pendukung diharapkan akan mengalir terus; (3) Keyakinan bahwa kebenaran dan keselamatan hanya ada di dalam agama/gereja Kristen (agama/gereja Kristen diidentikkan dengan Yesus Kristus). Di tengah-tengah semua perkembangan itu, ada beberapa isu aktual yang sedang merebak, yang membuat umat Kristen (Katolik maupun nonKatolik) di Indonesia harus memikirkan atau menata-ulang kehadiran dan kiprahnya di negeri ini, antara lain: (1) Pendidikan Agama di sekolah-sekolah: Menurut UU Sisdiknas no. 20/2003, pelajaran Agama di sekolah (dari TK hingga Perguruan Tinggi) harus sesuai dengan agama dari siswa ybs., dan diberikan oleh guru agama ybs. Itu berarti bahwa di sekolah-sekolah Kristen pelajaran Agama Kristen tidak boleh diberikan kepada siswa yang bukan Kristen. (2) Pengaturan/pengendalian pengadaan rumah ibadah: Setelah terbitnya Peraturan BersamaDua Menteri (PB2M), yakni Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 9 & 8/2006 ttgl. 21 Maret 2006, sebagai pengganti SKB no. 1/1969, di satu sisi kalangan Kristen merasa bahwa pembangunan rumah ibadah kini kian dipersulit, karena syarat-syarat yang berat dan karena ada kesan bahwa PB2M itu tidak diberlakukan kepada penganut agama lain (terutama Islam). Tetapi di sisi lain kasus pengrusakan/pembakaran/pelarangan
pembangunan
rumah
ibadah 36
(khususnya terhadap kalangan Kristen) semakin berkurang, walaupun insiden-insiden semacam itu masih terus terjadi hingga tahun 2007 ini.26 (3) Maraknya Peraturan Daerah (Perda): Sejak diberlakukannya UU Otonomi Daerah
no.22/1999,
banyak
daerah
menyusun
Perda
yang
bernuansa/bermuatan agama (d.h.i. Syariat Islam), sementara kita pahami bahwa semua ketentuan perundang-undangan berlaku bagi seluruh warga negara. Belakangan ada daerah tertentu yang mengklaim diri sebagai daerah Kristen, lalu menyusun RUU bermuatan ‘Injil’, dan hal ini mengundang kehebohan. Di dalam Alkitab (a.l. Yohanes 14:6) memang Yesus menyatakan, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Tentu orang Kristen boleh (bahkan harus) meyakini pernyataan ini. Tetapi itu tidak identik dengan pernyataan: kebenaran yanya ada di dalam gereja Kristen karena gereja Kristen adalah persekutuan yang terdiri dari orangorang berdosa juga. Dari uraian di atas terlihat bahwa agama dan umat Kristen Protestan telah hadir dan berkembang di negeri ini selama lebih dari empat abad. Kalangan Kristen Protestan bersama Katolik telah berkiprah di berbagai bidang kehidupan, baik dalam penyiaran agama maupun pelayanan sosialekonomi-budaya (bahkan juga politik) dan pengembangan masyarakat. Yang pada awalnya sangat menonjol adalah di bidang pendidikan dan kesehatan. Belakangan kiprahnya meluas ke bidang hukum dalamr angka penegakan keadilan dan HAM, kesetaraan jender, serta pengembangan sosial-ekonomi masyarakat dan daerah miskin dan tertinggal. Masyarakat dan pemerintah negeri ini patut mengakui dan menghargai banyak hal baik yang sudah dan akan terus diupayakan kalangan Kristen di negeri ini. Tanpa mengabaikan banyak hal yang baik itu, dari uraian di atas juga terlihat bahwa ada juga hal yang salah yang dilakukan oleh gereja/orang Kristen Protestan. Salah satu yang paling mencolok adalah kegemaran untuk mendukung dan mendekat kepada penguasa. Sebenarnya hal ini tidak selalu 37
salah, terutama kalau pemerintah itu menjalankan kekuasaan sesuai dengan kehendak Tuhan (mendatangkan damai sejahtera, keadilan dan kemakmuran bagi rakyat). Tetapi kalau pemerintah yang zalim dan korup juga didukung, soalnya menjadi lain. Pada zaman VOC dan Hindia-Belanda, misalnya, gereja tidak pernah mengecam penjajahan. Karena itu tidak selalu salah kalau ada dari umat beragama lain yang mendakwa gereja/orang Kristen sebagai kakitangan atau antek penguasa, pada masa penjajahan maupun di masa merdeka. Karena itu pula, berbicara tentang tantangan dan peluang, salah satu tantangan paling mendasar yang harus dijawab gereja/orang Kristen bukanlah pembatasan ataupun tekanan-tekanan yang datang dari pemerintah ataupun umat beragama lain, melainkan mengubah mindset dan paradigmanya, dalam hal ajaran maupun praksis. Sudah bukan zamannya lagi mempertahankan pemahaman extra ecclesiam nulla salus (dalam hal ini Gereja Katolik sudah jauh lebih maju). Juga bukan zamannya lagi untuk terus-menerus menempel pada penguasa. Bila hal itu dilakukan maka peluangnya untuk tetap berkiprah dan membawa manfaat (menjadi berkat) bagi bangsa dan negeri ini tetap besar. Untuk itu gereja/umat Kristen perlu terus didorong untuk menjalin hubungan penuh persahabatan dengan umat beragama lain, tanpa harus kehilangan jatidiri dan sikap kritisnya, dan tanpa harus tunduk begitu saja terhadap kemauan pihak lain (misalnya menjadikan agama atau hukum agama tertentu sebagai dasar negara ini). Bahkan juga perlu didorong untuk kian giat mempelajari seluk-beluk agama/keyakinan lain, bukan dalam rangka polemikapologetik, melainkan mengembangkan theologia religionum bersama-sama dengan umat beragama lain. Selain menjalin hubungan dan kerjasama yang baik dengan umat beragama lain yang resmi (Islam, Hindu, Buddha, dan Konghucu) kalangan Kristen juga perlu memberi perhatian dan penghargaan kepada agama-agama lokal (dengan demikian juga kepada kearifan lokal). Dengan demikian kalangan Kristen – semoga juga umat beragama lain mengembangkan religiositas (keberagamaan) dan teologi yang lebih kontekstual. Itu bukan berarti menyerap keyakinan agama lokal itu secara sinkretistis, melainkan belajar dari mereka tentang tatacara mengungkapkan 38
keberagamaan yang sesuai dengan citarasa dan pola berteologi masyarakat Indonesia yang sebagian ebsar masih hidup di desa-desa. Beberapa contoh memperlihatkan bahwa penghargaan seperti itu menciptakan harmoni dan kedamaian. 2.1.4. Kegunaan/Fungsi Gereja 1. Gereja sebagai Tempat Ibadah ( The House of Worship)
Pengaruh Taurat begitu kuat bagi orang Israel, sehingga dimana berkumpul komunitas Yahudi disitu tentu akan didirikan Sinagoge (tempat Ibadah orang Yahudi). Sinagoge bukan hanya sebagai tempat mengajar dan belajar Taurat, tetapi secara khusus tempat komunitas Yahudi beribadah kepada Yehova. Dalam Perjanjian Baru terdapat banyak Sinagoge yang telah berubah fungsi menjadi tempat ibadah Kristen; liturgi ibadah gereja mula-mula / tata cara ibadah gereja juga teradopsi dari Sinagoge. Pergi ke Sinagoge beribadah ataupun duduk-duduk saja untuk berunding, sharing, belajar agama, bagi komunitas Yahudi merupakan suatu berkat. Di samping itu orang Yahudi tiap hari tiga waktu mereka beribadah/berdoa kepada Yehova. Dalam Daniel 6:11,14 firman Tuhan berkata bahwa Daniel satu hari tiga kali berdoa, sedangkan orang Yahudi pada umumnya mereka beribadah di Bait Allah pada pagi dan petang. Sehingga tempat ibadah sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu Gereja mula-mula sangat dipengaruhi oleh sikap hidup ibadah orang Yahudi, baik pagi atau pada petang hari jemaat menyempatkan diri ke Bait Allah untuk beribadah, dan biasanya di pagi dan petang hari mereka mengatur korban persembahan. (Lih. II Taw 2:4; 13:11; Ezra 3:3;9:4; Maz 5:4) Orang Yahudi mengerti bahwa berziarah ke Bait Allah bukan saja mereka boleh menaikan doa tetapi boleh beribadah kepada Yehova (lih Maz 120-134 adalah Mazmur Ziarah yang dinyanyikan ketika menuju ke Bait Allah). Beribadah mendatangkan hati yang penuh sukacita, suasana ini selalu dialami oleh karena itu sekalipun harus berjalan jauh bahkan sepanjang hari harus berdiri mendengarkan Firman Tuhan jemaat tetap setia (Sumber; Neh. 8:4,6-9; 9:2,3) tidak ada yang mengeluh 39
capek atau ngomel. Orang Yahudi jika sudah berkumpul pasti mereka berbicara tentang hukum Taurat/firman Tuhan. Paulus sering dalam perjalanan pekabaran Injilnya diminta agar berbicara mengenai kebenaran yang dialaminya. (Sumber; Kis 13:42;17:16-34; 18:4).
2. Gereja sebagai Tempat Berdoa ( The House of Prayer) Orang Yahudi suka berdoa, dari Abraham hingga Tuhan Yesus, bahkan sampai rasul-rasul banyak tokoh Alkitab yang memberikan teladan kepada kita tentang bagaimana harus berdoa. Dapat kita lihat para Bapak-bapak bangsa, baik Abraham, Ishak, Yakub dan para Nabi-nabi dalam Perjanjian Lama, ada masalah mereka berdoa, bahkan dalam ancaman sekalipun Ezra dan Nehemiah tetap berusaha berdoa. Sebab dengan doa itulah datangnya kemampuan untuk menyelesaikan tugas panggilan Allah pada mereka. Dalam kitab Mazmur dapat kita belajar bagaimana umat Israel berdoa dalam Kemah Pertemuan atau Bait Allah. Dalam Perjanjian Baru kita dapat belajar dari Doa Tuhan Yesus: “Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Dari doa Tuhan Yesus ini kita tahu bahwa Tuhan Yesus berpengharapan agar pada para pengikut-Nya dapat menaikan doa seperti yang Dia ajarkan, tetapi juga dapat mempraktekkannya dalam kehidupan mereka setiap harinya. Tentunya sebagai orang Kristen kita juga meyakini bahwa ada Roh Kudus Tuhan yang selalu menolong kita, seperti yang dialami oleh Rasul Palus. Roma 8 :26. Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan. Selain gereja sebagai tempat persekutuan antar jemaat, gereja juga adalah tempat di mana jemaat datang untuk berdoa, hal ini sudah sejak gereja purba ada para Rasul memakai Bait Allah untuk berdoa. Satu hari tiga kali mereka naik ke Bait Allah untuk memanjatkan doa. Dalam perumpamaan Tuhan Yesus kita juga dapat melihat doa orang Farisi dan pemungut cukai di dalam Bait Allah. Menjadi 40
orang Kristen berarti realitas surga mempengaruhi setiap aspek kehidupannya dan ini bererti dalam kehidupan nyata ini kita berhenti melawan satu dengan yang lainnya, ini dilakukan dengan tujuan agar mendapatkan hikmat untuk bekerja sama satu dengan yang lainnya dalam keharmonisan dan kepercayaan. 3. Gereja sebagai Tempat Belajar Firman Tuhan ( The House of Bible Study ). Jemaat gereja purba selalu mendapatkan pengajaran di Bait Allah dan biasanya mereka yang diperantauan memakai Sinagoge untuk belajar firman Tuhan, selain itu mereka berkumpul untuk mendapatkan berita-berita aktual dari saudara-saudara yang datang dari Yerusalem. Dalam Kisah 2:41-47 menceritakan kepada kita bagaimana jemaat mula-mula bertekun dalam pengajaran rasul-rasul. Karena mereka bertekun maka Tuhan terus menambah bilangan orang yang bertobat, bertambah orang yang mendapatkan berkat kesembuhan, banyaknya mujizat dan tanda heran. Berita yang terpenting dalam bagian ini adalah bahwa kehidupan jemaat diubah oleh Tuhan, ay 47, mereka disukai semua orang, hidup yang sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan inilah yang dipraktekan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Orang Israel sudah lama hidup dalam ajaran-ajaran palsu dari para Ahli Taurat, orang Farisi atau Imam-imam, bd Matius 23. Dapat dikatakan sebelum Tuhan Yesus lahir hingga kenaikanNya, kehidupan Israel tidak pernah mengalami perubahan yang drastis seperti yang diceritakan dalam kitab Kisah Para Rasul. Umat Israel tidak memiliki orang yang bisa menjadi teladan, tidak ada figur, tidak ada yang bisa jadi panutan untuk kehidupan mereka, karena itu dalam Matius 23, Tuhan Yesus mengecam para pemimpin rohani waktu itu. Ini sangat berbeda dengan para Rasul yang mengajar di Bait Allah ataupun di Sinagoge. Apa yang dikatakan rasul itulah yang mereka lihat dalam kelakuan Rasul. Ucapan sama juga dengan kelakuan, kelakuan sama juga dengan ucapan, ada sinkronnisasi. Hari ini banyak jemaat yang tidak mau ke gereja belajar Firman Tuhan, ada yang baru belajar satu fasal Alkitab sudah berlagak pintar seperti maha guru, semua pendeta di kritiknya habis-habisan. Seharusnya belajar Firman Tuhan bertambah berhikmat dan rendah hati, bukan bertambah sombong rohani.
41
4. Gereja sebagai Tempat Pekabaran Injil ( The House of Preach the Word ).
Karena Gereja atau Sinagoge adalah tempat berkumpulnya umat Yahudi baik yang sudah percaya Tuhan Yesus atau yang belum, maka para Rasul atau murid-murid rasul selalu memanfaatkan Sinagoge atau tempat ibadat untuk mengabarkan injil Yesus Kristus kepada mereka yang belum percaya. Dalam Kisah Rasul kita dapat membaca bahwa Rasul paulus sering melakukan penginjilan dalam rumah ibadah Kis Ras 13:5 Setiba di Salamis mereka memberitakan firman Allah di dalam rumah-rumah ibadat orang Yahudi. Dan Yohanes menyertai mereka sebagai pembantu mereka. Lih. Kis Ras 9:20; 17:2; 18:4; 19:8.
Orang Israel berkumpul dalam Bait Allah atau Sinagoge untuk beribadah,
berdoa, atau berdiskusi, bagi para rasul inilah kesempatan yang terbaik untuk mengabarkan Injil bagi mereka. Karena itu di awal gereja berdiri, sering Bait Allah atau Sinagoge dipakai sebagai tempat mengabarkan Injil Tuhan, berita sukacita dari Penebusan Tuhan Yesus. Rasul tahu bagaimana memanfaatkan kesempatan untuk memberitakan injil keselamatan bagi jiwa-jiwa yang siap dituai, dia tahu di mana mereka selalu berkumpul. Ketika tiba di Efesus Paulus berusaha meyakinkan mereka tentang Kerajaan Allah. Bahkan dia berdiam di Efesus selama tiga bulan lamanya untuk mengabarkan injil Kerajaan Allah. Hal ini dapat kita baca di Kisah rasul 19:8. Selama tiga bulan Paulus mengunjungi rumah ibadat di situ dan mengajar dengan berani. Oleh pemberitaannya ia berusaha meyakinkan mereka tentang Kerajaan Allah. Rumah
ibadat
kemudian
hari
berubah
fungsi
menjadi
tempat
sembahyangnya orang Kristen dan dari situlah injil keselamatan mulai diberitakan, dari rumah ibadat lalu menyebar keseluruh daerah sekitarnya, bahkan seluruh Negara. Itulah tradisi pemberitaan injil, bahkan kemudian hari rumah-rumah ibadat menjadi pusat pekabaran injil dan pusat pengutusan misionari keluar negeri. Dengan berkembangnya pekerjaan Tuhan, injil telah 42
didengar oleh lebih banyak orang maka secara praktis dalam pelayanan pekabaran injil para penatua mulai memikirkan perluasan ruang ibadah. Tidak hanya di sinagoge saja tetapi di rumah-rumah jemaat yang telah percaya, kemudian hari mulailah membangun gedung ibadat yang lebih besar untuk menampung jiwa-jiwa yang datang beribadah. Jika para penatua hanya memikirkan urusan dalam gereja belum selesai, dan terus menerus konsili/ sidang sinode tanpa memikirkan injil harus diberitakan lagi, maka percayalah gereja tidak akan mengalami kemajuan lagi. Injil mandeg menjadi bahan perdebatan bukan untuk di kabarkan. Jiwa-jiwa yang sedang menuju kebinasaan menjerit meminta tolong tidak ada yang mendengarnya lagi. Sama halnya dengan abad ini, zaman berubah begitu rupa, namun injil terasa sudah berhenti dalam gedung gereja yang megah, masing-masing majelis jemaat hanya mengurus urusan dalam gedung saja, sudah lupa mengabarkan injil. Fungsi gereja berubah menjadi tempat berhimpunnya harta benda dunia yang kemudian diperebutkan. 2.1.5. Jenis-Jenis Gereja di Indonesia Di Indonesia ini banyak sekali terdapat jenis gereja Kristen, hal ini di karenakan adanya perbedaan dari berbagai macam hal seperti contohnya adalah ; karena adanya perbedaan suku, paham/prinsip, karena adanya perbedaan pendiri dan sebagainya. Tetapi hal ini di usahakan untuk tetap menjadi satu kesatuan yang utuh walaupun memiliki perbedaan tersebut. Beberapa contoh gereja-gereja yang ada di Indonesia : Gereja Kesukuan : Gereja yang menggunakan prinsip adat kesukuan sebagai tata cara ibadah, tetapi tanpa keluar dari dogma yang diajarkan di Alkitab, dan jemaat yang yang mengikuti ibadah tersebut adalah jemaat yang memiliki kesukuan yang sama.
Gereja Kristen Jawa - GKJ o
Gereja Kristen di Sumatera Bagian Selatan – GKSBS
Greja Kristen Jawi Wetan – GKJW 43
Gereja Masehi Injili di Minahasa – GMIM
Huria Kristen Batak Protestan - HKBP o
Gereja Batak Karo Protestan - GBKP
o
Gereja Kristen Protestan Simalungun – GKPS
Huria Kristen Indonesia – HKI
Banua Niha Keriso Protestan – BNKP
Orahua Niha Keriso Protestan – ONKP
Gereja Kristen Kalam Kudus – GKKK
Gereja Kebangunan Kalam Allah – GKKA
Gereja Kristen Pasundan – GKP
dll.
Gereja Menurut Denominasi: Gereja yang memiliki satu kesatuan baik visi dan misi dengan tata cara ibadah yang sama walaupun memiliki perbedaan nama gereja tersebut, biasanya gereja ini adalah gereja beraliran protestan. Gereja Kalvinis
Gereja Protestan di Indonesia - GPI dengan dua belas Gereja Bagian Mandiri (GBM) dalam lingkup GPI: o Gereja Masehi Injili di Minahasa - GMIM o Gereja Protestan di Maluku - GPM o Gereja Masehi Injili di Timor o Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat - GPIB o Gereja Protestan Indonesia di Donggala - GPID o Gereja Protestan Indonesia di Buol Toli-Toli - GPIBT o Gereja Protestan Indonesia di Gorontalo - GPIG o Gereja Kristen Luwuk Banggai - GKLB o Gereja Protestan Indonesia di Papua - GPI Papua o Gereja Protestan Indonesia Banggai Kepulauan GPIBK o Indonesian Ecumenical Christian Church - IECC 44
o Gereja Masehi Injili di Talaud - GERMITA Gereja Lutheran
Gereja Huria Kristen Batak Protestan - Gereja HKBP
Huria Kristen Indonesia - HKI o
Gereja Kristen Protestan Indonesia - GKPI
Gereja Kristen Protestan Simalungun - GKPS
Banua Niha Keriso Protestan - BNKP
dll.
Gereja Reform
Gereja Reformed Injili Indonesia - GRII
dll.
Gereja-gereja Pentakosta – karismatik: Gereja yang memiliki aliran Karismatik dengan mengandalkan kuasa Roh Kudus dalam setiap ibadahnya, sehingga jemaat karismatik ini sering mengalami mujizatmujizat ajaib.
Gereja Pantekosta di Indonesia - GPdI
Gereja Bethel Injil Sepenuh - GBIS
Gereja Bethel Indonesia - GBI / Bethel
Gereja Bethany Indonesia - Bethany
Gereja Berita Injil
Gereja Tiberias Indonesia - GTI / Tiberias
Gereja Mawar Sharon - GMS
Gereja Bethel Tabernakel - GBT
Gereja Duta Injil
Gereja Bukit Zaitun - GBZ
Gereja Rumah Doa Segala Bangsa - Gereja RDSB
Gereja Yesus Kristus Tuhan (Abbalove Ministries)
Gereja Sidang-Sidang Jemaat Allah (Assemblies of God)
Charismatic Worship Service - CWS
Gereja Injili Sepenuh Indonesia - IFGF GISI 45
dll.
Gereja non-denominasi: Gereja yang memiliki aliran independen atau gereja utuh yang tidak menganut denominasi manapun, tetapi memiliki tata cara ibadah yang sama.
Gereja Yesus Sejati
dll.
Lain-lain
Gereja Kristen Indonesia - GKI
Gereja Kristen Pasundan - GKP
Gereja Kristus
Gereja Kristus Yesus - GKY
Gereja Advent
Gereja Methodist Indonesia
Gereja Baptis Indonesia
Gereja Isa Almasih
Gereja Bala Keselamatan
dll.
Gereja Ortodoks Gereja Ortodoks adalah pendatang yang paling mutakhir di Indonesia. Menurut penelitian sejarah dan arkeologi, sebetulnya Gereja ini justru adalah yang pertama hadir di Indonesia melalui kehadiran Gereja Nestorian di daerah Pancur, Sumatra. Namun tanpa diketahui sebab-sebabnya, Gereja yang kehadirannya diketahui lewat prasasti dari tahun 600-an M ini kemudian hilang dan baru muncul kembali di Indonesia sekitar akhir tahun 1960-an. Di negara-negara Eropa Timur, Timur Tengah, dan India Gereja ini telah hadir selama berabad-abad, bahkan sebagian telah hadir sejak abad pertama ketika kali pertama Gereja Kristen terbentuk oleh para murid Yesus. Kini di Indonesia telah 46
hadir Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Ortodoks Syria, dan Gereja Ortodoks Rusia. 2.1.6 Persyaratan Mendirikan Gereja di Indonesia Agama Kristiani di Indonesia adalah agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia secara mutlak, oleh sebab itu dalam pendirian gereja di Indonesia harus memenuhi berbagai persyaratan yang harus selesaikan agar bangunan gereja yang secara independen dapat berdiri utuh. Di bawah ini adalah persyaratan utama dalam mendirikan gereja di Indonesia : 1. Daftar nama dan KTP minimal 90 orang yang di sahkan oleh pejabat setempat. 2. Dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang yang disahkan oleh kepala desa atau lurah. 3. Rekomendasi tertulis dari kantor Departemen Keagamaan. 4. Rekomendasi tertulis dari FKUB ( Forum Kerjasama Umat Beragama ) 5. IMB dari Bupati atau walikota
2.2. TINJAUAN KHUSUS 2.2.1. Gereja Bethel Indonesia Sejarah pendirian Pada 6 Oktober 1970, di Sukabumi, Jawa Barat, Pdt. H.L. Senduk (yang juga dikenal sebagai Oom Ho) dan rekan-rekannya membentuk sebuah organisasi gereja baru bernama Gereja Bethel Indonesia (GBI). Gereja ini diakui oleh Pemerintah secara resmi melalui Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 41 tanggal 9 Desember 1972. Pada tahun 1922, Pendeta W.H. Offiler dari Bethel Pentecostal Temple Inc., Seattle, Washington, Amerika Serikat, mengutus dua orang misionarisnya ke Indonesia, yaitu Pdt. Van Klaveren dan Groesbeek, orang Amerika keturunan Belanda.
47
Pada mulanya mereka memberitakan Injil di Bali, tetapi kemudian pindah ke Cepu, Jawa Tengah. Di sini mereka bertemu dengan F.G. Van Gessel, seorang Kristen Injili yang bekerja pada Perusahaan Minyak Belanda Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Van Gessel pada tahun sebelumnya telah bertobat dan menerima hidup baru dalam kebaktian Vrije Evangelisatie Bond yang dipimpin oleh Pdt. C.H. Hoekendijk (ayah dari Karel Hoekendjik). Groosbeek kemudian menetap di Cepu dan mengadakan kebaktian bersama-sama dengan Van Gessel. Sementara itu, Van Klaveren pindah ke Lawang, Jawa Timur. Januari 1923, Nyonya Van Gessel sebagai wanita yang pertama di Indonesia menerima Baptisan Roh Kudus dan demikian pula dengan suaminya beberapa bulan setelahnya. Tanggal 30 Maret 1923, pada hari raya Jumat Agung, Groesbeek mengundang Pdt. J. Thiessen dan Weenink Van Loon dari Bandung dalam rangka pelayanan baptisan air pertama kalinya di Jemaat Cepu ini. Pada hari itu, lima belas jiwa baru dibaptiskan. Dalam kebaktian-kebaktian berikutnya, bertambah-tambah lagi jemaat yang menerima Baptisan Roh Kudus, banyak orang sakit mengalami kesembuhan secara mujizat. Karunia-karunia Roh Kudus dinyatakan dengan ajaib di tengahtengah jemaat itu. Inilah permulaan dari gerakan Pentakosta di Indonesia. Berempat, Van Klaveren, Groesbeek, Van Gessel, dan Pdt. J. Thiessen, berempat merupakan pionir dari "Gerakan Pentakosta" di Indonesia. Kemudian Groesbeek pindah ke Surabaya, dan Van Gessel telah menjadi Evangelis yang meneruskan memimpin Jemaat Cepu. April 1926, Groesbeek dan Van Klaveren berpindah lagi ke Batavia (Jakarta). Sementara Van Gessel meletakkan jabatannya sebagai Pegawai Tinggi di BPM dan pindah ke Surabaya untuk memimpin Jemaat Surabaya. Jemaat yang dipimpin Van Gessel itu bertumbuh dan berkembang pesat dengan membuka cabang-cabang di mana-mana, sehingga mendapat pengakuan Pemerintah Hindia Belanda dengan nama “De Pinksterkerk in Indonesia” (sekarang Gereja Pantekosta di Indonesia). Pada 1932, Jemaat di Surabaya ini membangun gedung Gereja dengan kapasitas 1.000 tempat duduk (gereja yang terbesar di Surabaya pada waktu itu). Tahun 1935, Van Gessel mulai meluaskan pelajaran Alkitab yang disebutnya “Studi Tabernakel”. Gereja Bethel Pentecostal Temple, Seattle, kemudian mengurus 48
beberapa misionaris lagi. Satu di antaranya yaitu, W.W. Patterson membuka Sekolah Akitab di Surabaya (NIBI: Netherlands Indies Bible Institute). Sesudah Perang Dunia II, para misionaris itu membuka Sekolah Alkitab di berbagai tempat. Sesudah pecah perang, maka pimpinan gereja harus diserahkan kepada orang Indonesia. H.N. Rungkat terpilih sebagai ketua Gereja Pentakosta di Indonesia untuk menggantikan Van Gessel. Jemaat gereja yang seharusnya menjaga jarak dari sikap politik yang terpecah belah terjebak dalam nasionalisme yang tengah berkobar-kobar pada saat itu. Akibatnya roh nasionalisme meliputi suasana kebaktian dalam gerejagereja Pentakosta. Van Gessel menyadari bahwa ia tidak bisa lagi bertindak sebagai pemimpin. Kondisi rohani Gereja Pentakosta di saat itu menyebabkan ketidakpuasan di sebagian kalangan pendeta-pendeta Gereja tersebut. Ketidakpuasan ini juga ditambah lagi dengan kekuasaan otoriter dari Pengurus Pusat Gereja. Akibatnya, sekelompok pendeta yang terdiri dari 22 orang, memisahkan diri dari Organisasi Gereja Pentakosta, di antaranya adalah Pdt. H.L. Senduk. Pada tanggal 21 Januari 1952, di kota Surabaya, mereka kemudian membentuk suatu organisasi gereja baru yang bernama Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS). Van Gessel dipilih menjadi “Pemimpin Rohani” dan H.L Senduk ditunjuk menjadi “Pemimpin Organisasi” (Ketua Badan Penghubung). Senduk berperan sebagai Pendeta dari jemaatnya di Jakarta, sedangkan Van Gessel memimpin jemaatnya di Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 1954, Van Gessel meninggalkan Indonesia dan pindah ke Irian Jaya (waktu itu di bawah Pemerintahan Belanda). Jemaat Surabaya diserahkannya kepada menantunya, Pdt. C. Totays. Di Hollandia (sekarang Jayapura). Van Gessel membentuk suatu organisasi baru yang bernama Bethel Pinkesterkerk (sekarang Bethel Pentakosta). Van Gessel kemudian meninggal dunia pada tahun 1957 dan kepemimpinan Jemaat Bethel Pinkesterkerk diteruskan oleh Pdt. C. Totays. Tahun 1962, sesudah Irian Jaya diserahkan kembali kepada Pemerintah Indonesia, maka semua warga negara Kerajaan Belanda harus kembali ke negerinya. Jemaat berbahasa Belanda di Hollandia ditutup, tetapi jemaat-jemaat berbahasa Indonesia berjalan terus di bawah pimpinan Pendeta-pendeta Indonesia. Roda sejarah berputar terus, dan GBIS di bawah pimpinan H.L. Senduk berkembang 49
dengan pesat. Bermacam-macam kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi organisasi ini. Namun semakin besarnya organisasi, begitu banyak kepentingan yang harus diakomodasi. Pada 1968-1969, kepemimpinan Senduk di GBIS diambil alih oleh pihakpihak lain yang disokong suatu keputusan Menteri Agama. Senduk dan pendukungnya memisahkan diri dari organisasi GBIS. 6 Oktober 1970, H.L. Senduk dan rekan-rekannya membentuk sebuah organisasi Gereja baru bernama Gereja Bethel Indonesia (GBI) dan diakui pemerintah secara sah pada tahun 1972 sebagai suatu Kerkgenootschap yang berhak hidup dan berkembang di bumi Indonesia. Pdt H.L. Senduk melayani GBI Jemaat Petamburan dibantu oleh istrinya Pdt Helen Theska Senduk, Pdt Thio Tjong Koan, dan Pdt Harun Sutanto. Pada tahun 1972, Pdt H.L. Senduk memanggil anak rohaninya, Pdt S.J. Mesach dan Pdt Olly Mesach untuk membantu pelayanan di GBI Jemaat Petamburan. Saat itu, Pdt S.J. Mesach telah menjadi Gembala Sidang GBI Jemaat Sukabumi, yang telah dilayaninya sejak tahun 1963. Pdt HL Senduk berpulang ke Rumah Bapa pada tanggal 26 Februari 2008, setelah lebih dahulu ditinggal istrinya tercinta. Ia meninggalkan visi 10000 gereja GBI bagi generasi berikutnya. Pengakuan Iman Gereja Bethel Indonesia Aku percaya bahwa: Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah yang diilhamkan oleh Roh Kudus. Allah yang Maha Esa itulah Allah Tritunggal yaitu Bapa, Anak dan Roh Kudus, tiga Pribadi di dalam satu. Yesus Kristus adalah anak Allah yang tunggal dilahirkan oleh perawan Maria yang dinaungi oleh Roh Kudus, bahwa Yesus telah disalibkan, mati, dikuburkan dan dibangkitkan pada hari yang ketiga dari antara orang mati, bahwa Ia telah naik ke Surga dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa sebagai Tuhan, Juru Selamat dan Pengatara kita. Semua manusia sudah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah sehingga harus bertobat dan berpaling kepada Allah untuk menerima pengampunan dosa. Pembenaran dan kelahiran baru terjadi karena iman di dalam darah Yesus Kristus yang dikerjakan oleh Roh Kudus. 50
Setiap orang yang bertobat harus dibaptis secara selam dalam Nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, yaitu dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Penyucian hidup adalah buah kelahiran baru karena percaya dalam darah Yesus Kristus yang dikerjakan oleh kuasa Firman Allah dan Roh Kudus, karena itu kesucian adalah asas dan prinsip hidup umat Kristen. Baptisan Roh Kudus adalah karunia Tuhan untuk semua orang yang telah disucikan hatinya; tanda awal baptisan Roh Kudus adalah berkata-kata dengan bahasa roh sebagaimana diilhamkan oleh Roh Kudus. yang kedua dan menerima hukuman selama-lamanya.3
3 Sejarahgbi, www.google.com
Badan Pekerja Sinode Kegiatan sehari-hari Sinode dipimpin oleh "Badan Pekerja Harian" (BPH) yang terdiri atas Ketua Umum dan beberapa ketua, Sekretaris Umum dan beberapa sekretaris. Bendahara Umum dan beberapa bendahara, serta Ketua-Ketua Departemen. Ketua Umum Sinode GBI untuk periode kerja 2004-2012 adalah Pdt. DR. Jacob Nahuway, MA. Sekretaris Umum dijabat oleh Pdt. H. Ferry Haurissa Kakiay, STh., dan Bendahara Umum dijabat oleh Pdt. Arjiwanto Tjokro. Departemen-departemen yang membantu dalam BPH adalah Departemen Theologia, Departemen Pendidikan, Departemen Wanita, Departemen Pemuda dan Anak, Departemen Media dan Litbang, Departemen Pekabaran Injil, Departemen Misi, Departemen Pelayanan Masyarakat, Departemen Hukum dan Advokasi, Departemen Gereja dan Masyarakat, Departemen Usaha dan Dana, dan Departemen Hubungan Luar Negeri.
51
Sekolah Teologi Untuk melengkapi pemahaman akan Firman Tuhan, maka Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI mempunyai Lembaga Pendidikan Theologi yang berada di Jakarta dengan nama Seminari Bethel. Seminari Bethel Jakarta terletak di Jl. Petamburan IV/5 Tanah Abang, Jakarta Pusat 10260, Indonesia. Seminari Bethel Jakarta menaungi beberapa unit pendidikan, yaitu: 1. Sekolah Penginjil (SP). Program Sertifikat, dengan lama studi 1 tahun) 2. Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK). Pendidikan yang setara dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). SMTK telah mendapatkan status akreditasi dengan predikat A-Unggul dari Departemen Agama.
3.
Institut
Theologia
dan
Keguruan
Indonesia
(ITKI).
ITKI
menyelenggarakan beberapa program pendidikan dari Strata 1 (S1) sampai Strata 3 (S3). Program S1 menyelenggarakan program studi: Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Misi. Program S2 menyelenggarakan program: Master of Arts in Church Ministry (MACM) dan Magister Theologi (M.Th) dengan program studi: Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Pastoral Konseling. Program S3 menyelenggarakan program studi: Doctor of Ministry (D.Min) dengan program studi: Teologi, Pendidikan Agama Kristen, dan Konseling Pastoral. Sinode Baru Seperti GBI yang merupakan sinode yang lahir dari tubuh Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), maka dari tubuh Sinode GBI juga lahir beberapa sinode-sinode baru yang memisahkan diri, di antaranya: 1. Gereja Bethany Indonesia 2. Gereja Mawar Sharon 3. Gereja Tiberias Indonesia 4. Gereja Berita Injil Penjelasan Logo Gereja Bethel Indonesia Lingkaran Lingkaran melambangkan bola dunia, dimana GBI terpanggil dalam kesatuan untuk memberitakan Injil ke seluruh untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia. 52
Salib Salib melambangkan kasih dan pengorbanan Yesus Kristus yang memotivasi GBI untuk menjadi saksi. Pelita Pelita melambangkan doa, pujian dan penyembahan yang memancarkan terang sebagaimana setiap orang percaya dipanggil untuk menjadi terang dunia. Warna yang dipakai dan arti:
Latar Belakang : Putih, artinya Kekudusan Tulisan
: Biru, artinya Kesetiaan
Salib
: Merah,artinya Pengorbanan
Lidah Api
: Kuning kemerahan (Jingga), artinya Semangat oleh kuasa Roh Kudus
Pelita
: Kuning Keemasan, artinya Kebenaran.
Arti keseluruhan Logo adalah Gereja Bethel Indonesia dipanggil untuk bersekutu dan memberitakan Injil ke seluruh dunia dengan penuh semangat oleh kuasa Roh Kudus, pengorbanan dan kesetiaan dalam kekudusan dan kebenaran untuk kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja. 2.2.2. Data Pemakai Gereja Bethel Indonesia 2.2.2.1. Struktur Organesasi Pemakai Ruang kebaktian ibadah raya ini di pakai secara rutin setiap hari Jumat dan Minggu. Pemakaian rutin di manfaatkan untuk kebaktian ibadah raya dan ibadah pertengahan minggu. Fungsi utama dari ruang kebaktian ini adalah untuk 53
menyelenggarakan ibadah raya yang merupakan puncak perayaan kemenangan bagi umat Kristiani. Pemakai ruang kebaktian di bagi menjadi dua pemakai utama yaitu pelayan Tuhan dan jemaat. Secara fungsional masing-masing memiliki peran yang berbeda-beda. Berikut ini struktur organesasi pengguna : Struktur Organesasi Pelayan Tuhan : GEMBALA SIDANG
WAKIL GEMBALA SIDANG PELAYANAN PENDUKUNG
OPERASIONAL ADMINISTRASI PELAYANAN KEGEMBALAAN
Tabel: Struktur Organisasi Pelayan Tuhan
Di dalam Pelayanan Kegembalaan terdapat :
PELAYANAN KEGEMBALAAN
DEP. PERNIKAHAN
DEP. KELUARGA
DEP. BAPTISAN
DEP. PROFESIONAL MUDA
DEP. PENGGEMBALAAN SEL
DEP. PEMUDA
DEP. REMAJA
DEP. FAMILY,LIVE AND KONSELING
DEP. ANAK
Tabel: Struktur Bidang Pelayanan Kegembalaan 54
Di dalam bidang Pelayanan Pendukung terdapat : PELAYANAN PENDUKUNG
BIDANG ROHANI
DEP. INFOTEK
DEP. DOA
DEP. CREATIVE MINISTRY
BIDANG MATERI
DEP. EDUKASI
DEP. MISI
DEP. GEDUNG DAN PERLENGK APAN
DEP. PEMELIHARAAN GEDUNG
Tabel: Struktur Bidang Pelayanan Pendukung Di bidang Operasional administrasi terdapat : OPERASIONAL ADMINISTRASI
BAGIAN KEBAKTIAN
BAGIAN PERSEMBAHAN
BAGIAN IVENTARIS
BAGIAN KENDARAAN
SEKRETARIAT
Tabel: Struktur Bidang Pelayanan Pendukung Struktur Organesasi Jemaat Jemaat yang beribadah yang beribadah di Gereja Bethel Indonesia di bagi menjadi beberapa bagian khusus, yaitu : 1. Orang dewasa; meliputi keluarga, orang tua, dan orang yang telah bekerja tergabung dalam ibadah pengerja atau biasa di sebut doa pengerja. 2. Dewasa muda; meliputi orang yang telah bekerja dan memiliki penghasilan tetap pribadi. 3. Pemuda; meliputi mahasiswa dan calon mahasiswa, tergabung dalam ibadah Youth.
55
4. Remaja; meliputi siswa SLTP, SMU, serta calon mahasiswa, yang tergabung dalam ibadah Junior church. 5. Anak-anak; meliputi siswa SD, TK, dan balita, yang tergabung dalam ibadah Sunday School. Pembagian ini di buat agar semua jemaat dapat berkumpul bersama dan mencari Tuhan bersama, sehingga visi dari gereja Bethel Indonesia sebagai gereja sel ini dapat terwujudkan. 2.2.2.2. Pola Aktivitas Pemakai Pemakaian ruang kebaktian dalam Gereja Bethel Indonesia terbatas pada harihari tertentu saja. Dalam satu minggu ruang kebaktian di pakai secara tetap pada hari jumat dan minggu. Sedangkan untuk jadwal tidak tetap di hari lainnya tidak menentu, pemakaiannya tergantung adanya acara tertentu yang membutuhkan pemakaian ruang ibadah, seperti seminar, training/pembekalan jemaat, KKR, dan sebagainya. Adapun aktivitas yang dilakukan di dalam ruang kebaktian ini secara garis besar adalah aktivitas beribadah seperti berdoa, menyanyi, dan sebagainya. Aktivitasaktivitas ini dilakukan dalam durasi ibadah sekitar 3 jam. Pola aktivitas yang dilakukan tiap individu pemakai adalah sebagai berikut : 1. Pelayan Tuhan Sirkulasi pelayan Tuhan ketika mengikuti ibadah raya adalah sebagai berikut: DATANG
PARKIR
RUANG PENDETA
ENTERANCE
RAMAH TAMAH SIDE ENTERANCE
RAMAH TAMAH
KHOTBAH
DUDUK
Tabel: Pola aktivitas Pelayan Tuhan
56
2. Jemaat Sirkulasi yang dilalui jemaat adalah : DATANG
PERSEMBAHAN
RAMAH TAMAH
ENTERANCE
PARKIR
PULANG
BERDOA TOKO BUKU ROHANI
DUDUK BERIBADAH
TOILET
ENTERANCE Tabel: Pola aktivitas Jemaat Khusus untuk jemaat yang cacat, sirkulasinya sebagai berikut : MAIN ENTERANCE
RAMP
RUANG DUDUK KHUSUS
PERSEMBAHAN
PULANG
BERIBADAH
BERDOA
RAMAH TAMAH
RAMP Tabel: Pola aktivitas Jemaat yang cacat 2.2.2.3. Latar Belakang Perilaku Pemakai Kegiatan ibadah dalam Gereja Bethel Indonesia meliputi aktivitas bernyanyi, bertepuk tangan, melompat, dan berdoa. Tata cara ibadahnya lebih ekspresif dari tata cara ibadah gereja Kristen umumnya.
57
2.3. Data Literature 2.3.1. Teori Tentang Ruang Manusia adalah makhluk sosial yang perlu berhubungan dengan orang lain tetapi manusia juga merupakan individu yang membutuhkan privasi dalam beraktivitas seperti tidur, mandi, dan lainnya. Setiap kegiatan ini membutuhkan ruang dalam hal inilah yang menyebabkan fungsi ruang bisa dibedakan menjadi: 1). Ruang Sosiofugal Seseorang cenderung memisahkan diri dari masing-masing individu sehingga tercipta suasana yang lebih privat. Misalnya: gereja, ruang doa dimana orang dalam keadaan tersebut tidak berharap untuk berhubungan dengan orang lain. Wujud fisik dari ruang sosiofugal dapat dicapai dengan: a. Membuat sekat atau dinding sebatas pandangan mata. b. Pengaturan perabot, misalnya tempat duduk diatur agar tidak saling bertatapan satu sama lain, tetapi dapat juga saling berhadapan dengan jarak yang cukup jauh. 2). Ruang Sosiopetal a. Cenderung untuk menyatukan individu-individu sehingga tercipta interaksi sosial. b. Hal yang jelas terlihat pada ruang ibadah utama, ruang sekolah minggu, ruang sekretariat dan sebagainya. Metode Pembentuk Ruang Pada bangunan publik, selain sirkulasi sebagai salah satu faktor terpenting, keberadaan setiap orang juga harus jelas letak dan fungsinya. Permainan plafond dan lantai misalnya, bisa membantu pemakai ruangan tersebut pada suatu arah dan hal ini sangat bermanfaat sekali untuk perancangan interior gereja.
58
● Fenomena “Sebuah gereja juga harus mempunyai kualitas fasilitas pendukung dan penunjang yang lengkap untuk dapat mendukung jalannya ibadah” Teori Gabungan Fisik Ruang 1). Sirkulasi Pada bangunan publik, sirkulasi menjadi salah satu faktor terpenting, keberadaan setiap orang juga harus jelas letak dan fungsinya. Permainan plafond dan lantai misalnya, bisa membantu pemakai ruangan tersebut pada suatu arah dan hal ini sangat bermanfaat sekali untuk perancangan interior pada bangunan publik. 2). Pemilihan Furnitur Berikut ini beberapa material yang dapat digunakan pada sebuah bangunan: - Kayu: kesan hangat dan lunak, membutuhkan perawatan khusus, langgeng. - Aluminium: finishing bervariasi, pilihan warna sesuai dengan catnya, ringan, perawatannya mudah. - Stainess steel: perawatan mudah, mahal, tahan lama, efek ringan, cocok untuk pemasangan dikota besar. - Batu alam termasuk granit, marmer: mahal, biaya perawatan mudah, langgeng, kesan padat. 3). Elemen Interior a. Lantai Penutup lantai dapat memberikan kesan ketika digunakan dalam sebuah ruangan, berikut ini berbagai macam penutup lantai dengan karakteristiknya yang ditimbulkan. - Parket: mempunyai pola alamiah - Marmer: mengkilap, tipis, perawatannya mudah, penampilannya menarik.
59
- Teraso: biji keramik yang diolah dengan semen, mahal namun tahan lama, cocok untuk jalan sirkulasi. - Granit: tipis, tidak tahan lama namun penampilan menarik, cocok untuk area sirkulasi yang padat. - Keramik: pilihan warna banyak, natural, cocok untuk penutup lantai utama dan area sirkulasi. - Karpet: murah, tahan lama, pilihan warna banyak, lunak - Vinil: permukaannya bertekstur, pilihan warna banyak, perawatan mudah, pemasangannya cukup dilem, cocok untuk area sirkulasi tinggi. b. Dinding Untuk membagi ruangan pada sebuah bangunan digunakan tiga macam dinding yaitu: - Dinding permanent: dinding yang memiliki struktur atau kolom. - Partisi yang berdiri dari lantai sampai plafon. * Berfungsi untuk membagi area servis dan area prifat * Untuk membentuk ruang prifat - Partisi freestanding * Berfungsi untuk membagi dan memisahkan dua ruang tanpa membatasi view (pandangan) pengunjung. * Mudah dipindahkan c. Plafon Menurut penggunaan material, plafon dibagi menjadi tiga jenis yaitu: - Accountical ceiling: berfungsi sebagai isolator suara dan mengurangi tingkat kebisingan suara.
60
- Luminous ceiling: berfungsi untuk memendarkan cahaya dan memberi efek cahaya khusus pada ruangan. - Baffle ceiling: berfungsi untuk meredam suara dan memberikan suasana tertentu pada ruangan Study Tata Ruang Dalam sebuah bangunan memerlukan penataan ruang didalam penggunaannya harus disesuaikan dengan fungsi serta memenuhi persyaratan kesehatan. Organisasi ruang Ada beberapa jenis organisasi ruang yang penentuannya tergantung pada tuntutan program bangunan, pengelompokan fungsi ruang, hirarki ruang, kebutuhan pencapaian, pencahayaan dan arah pandang dengan memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut ini : Organisasi ruang terpusat
Sebuah ruang besar dan dominant sebagai pusat ruang disekitarnya
Ruangan sekitar mempunyai bentuk, ukuran dan fungsi yang sama
Ruang sekitar berada satu dengan yang lainnya, baik bentuk, ukuran maupun fungsinya.
Gambar Oranisasi Ruang Terpusat Organisasi ruang linier
Merupakan deretan ruang-ruang 61
Masing-masing dihubungkan dnegan ruang yang sifatnya memanjang
Masing-masing ruang berhubungan secara langsung
Ruang mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda, tetapi yang berfungsi penting diletakan pada deretan ruang.
Gambar Oranisasi Ruang Linear Organisasi ruang radikal
Kombinasi dari organisasi yang terpusat dan linear
Organisasi terpusat mengarah kedalam sedangkan oarganisasi radikal mengarah keluar
Lengan radikal dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya, tergantung pada kebutuhan dan fungsi ruang.
Gambar Organisasi Ruang Radikal
62
Organisasi ruang secara mengelompok Organisasi ini merupakan pengulangan bentuk fungsi yang sama, tetapi komposisi dari ruang-ruang yang berbeda ukuran, bentuk dan fungsi.
Gambar Organisasi Ruang Mengelompok Organisasi ruang secara grid
Terdiri dari beberapa ruang yang posisi ruangnya tersusun dengan pola grid
Organisasi ruang membentuk hubungan antar ruang dari seluruh fungsi posisi dan sirkulasi
Penggunaan ruang yang disusun secara grid banyak kita jumpai pada interior ruang perkantoran yang terdiri dari banyak divisi-divisi atau bagian-bagian untuk karyawan yang menduduki jabatan.
Gambar Organisasi Ruang Grid
63
2.3.2. Perancangan Ruang dalam Gereja Arsitektur Gereja Romawi Arsitektur Romawi merupakan dasar konstruksi gereja. Padahal jika kita melihat sejarah pertumbuhan arsitektural gereja, bangsa Yunani mwmpelopori pembangunan secara structural.
Arsitektur Yunani Pada umumnya telah mempertimbangkan dan menyesuaikan desain bangunan dengan lingkungan sekitar, misalnya : factor geografis, kebiasaan, serta struktur masyarakatnya. Finishing bangunan di buat secara mendetail. Contohnya:
pemakaian
ornament
pada
kolom,
sehingga
menimbulkan
bermacam-macam langgam, seperti Doric, ionic, Corinthian.
Arsitektur Romawi
Gambar : Tiga Ordo Pilar Yunani
Dipengaruhi budaya Yunani yang di kombinasikan dengan arsitektur Asia Barat yang mempunyai struktur melengkung. Perbedaannya dengan arsitektur Yunani adalah orang-orang Romawi berhasil menciptakan konstruksi dengan bentangan lebar tanpa kolom dibandingkan dengan arsitektur Romawi dalam hal detail ornament yang lebih teliti.
64
Gambar : Denah Gereja Arsitektur Romawi
Keterangan : Nave
: Ruang Utama
Narthex
: Tempat Jemaat non-kristen
Aisle
: Ruang yang terbentuk akibat perluasan di kiri dan kanan bangunan ( terdapat deretan kolom )
Atrium
: Ruang terbuka di belakang narthex
Babtisery
: Tempat Jemaat di Baptis ( kolam baptis )
Cathedrill
: Tempat duduk Uskup
Perubahan juga terjadi pada arsitektur gereja sendiri setelah lahir kelompok reformasi. Kelompok ni lebih mementingkan acara Liturgis ( pewahyuan dan firman Allah ) sehingga perhatian terhadap arsitektur gereja mulai berkurang. Segala tempat dapat digunakan senbagai tempat berkumpul dan berdoa. Inilah yang menjadi dasar pembentukan persekutuan jemaat di rumah-rumah (gereja sel). Jadi, hilangnya batasan yang terdapat pada ruang dalam seperti pada gereja Romawi Katholik menyebabkan gereja reformasi lebih bebas berarsitektur. Inipun dapat dilihat sampai saat ini, di mana bentuk gereja Kristen lebih bervariasi dan kreatif. Apalagi gereja Kristen banyak ditunjang dengan teknologi canggih dan material bangunan dapat dilakukan sekehendak hati arsitekturnya, sesuai dengan keadaan setempat (iklim, daya dukungf tanah, kondisi masyarakat).
65
Arsitektur Byzantium Arsitektur Byzantium memiliki tampilan sederhana, ringan, dan bergaya kedusunan. Bentuk-bentuk yang ada merupakan perkembangan dari arsitektur Romawi (Basilika), yang merupakan titik awal dari arsitektur gereja.
Gambar : Arsitektur Romawi pada gedung Basilika dan arsitektur Romantika
Pada abad XXII terdapat perubahan pada interior gerejanya, yaitu penambahan Dome pada persilangan salib, lihat gambar dibawah ini :
Gambar : Gambar dengan Gereja berbentuk salib
Arsitektur Gothic Arsitektur Gothic merupakan perkembangan dari arsitektur Romantika. Beberapa cirri arsitektur ini antara lain : Jendela di lukis sesuai dengan riwayat kitab suci Skala ruang sangat tinggi Interiornya lebih bagus dibandingkan jenis arsitektur yang lain Sistem konstruksinya rapi Elemen cahaya merupakan elemen pendukung 66
Terdapat lukisan dan ukiran sebagai ornament penunjang Pada jaman Gothic; agama Kristen menguasai hamper seluruh wilayah Eropa, sehingga menpunyai pengaruh yang cukup kuat. Penobatan raja harus dengan persetujuan Sri Paus. Sehingga membawa reformasi dalam gereja Martin Luther sebagai tokohnya (aliran protestan). Menurut Bruce Allsop, bangunan ibadah di masukan ke dalam arsitektur yang mempunyai arti dan makna simbolik mengenai hubungan manusia dengan kuasa yang tidak kelihatan, ideology atau konsep.4 Arsitektur gerejawi mempunyai 2 fungsi utama, yaitu: 1. Fungsi psikologis
:Berhubungan dengan perasaan yang ditimbulkan oleh bangunan pada orang yang menggunakannya.
2. Fungsi social
:Berhubungan dengan pelayanan pada masyarakat sekitar.
Pada hakekatnya, factor yang sangat berpengaruh dalam perancangan gereja adalah filosofi atau asas dari aliran agama Kristen yang bersangkutan.
a. Menurut Buku Religius Building, 1976 (hal, 49)
Gereja harus merupakan tempat hikmat dan penuh penghormatan kepada Allah, oleh karena itu dalam mendesain gereja haruslah sangat pantas sebagai tempat Allah. –
Kesederhanaan, memenuhi kebutuhan, fleeksibel dan penyesuaian adalah hal-hal yang harus di perhatikan dalam struktur baru perancangan gereja saat ini.
–
Dalam mendesain ruang dalam gereja dapat menggunakan symbol-simbol religious yang akan menciptakan efek visual yang mengagumkan sehingga dapat menggugah hati jemaat yang hadir.
–
Dalam mendesain ruang dalam gereja, elemen-elemen interior seperti akustik dan system pencahayaan adalah bagian yang penting.
4
Bruce Allsop, A Modern Theory of architecture
67
Sistem akustik yang baik akan membuat seluruh jemaat yang hadir dapat mendengarkan suara dari atas mimbar dengan jelas sedangkan tata pencahayaan akan membantu merefleksikan kesucian hadirat Allah. –
Dalam menata tempat duduk jemaat haruslah tepat sehingga membantu jemaat untuk dapat berkonsentrasi penuh dalam mengikuti jalannya ibadah.
b. Menurut Buku A Theology of Church Design (1985)
–
Desain gereja harus mampu menjadi tempat yang dapat membantu umat dalam mengorientasikan diri kepada Tuhan.
–
Desain gereja tidak mungkin dapat langsung mewakili Allah, oleh sebab itu desainer dapat menggunakan symbol untuk dapat mewakili-Nya. Tidak hanya mewakili keberadaan Allah saja tetapi dapat juga digunakan symbolsimbol yang dapat menyampaikan maksud perancangan.
–
Sound system harus disesuaikan dengan besarnya ruangan sehingga umat dapat mendengasrkan dengan jelas.
–
Tata pengaturan bangku haruslah tepat sehingga membantu umat untuk berkonsentrasi dalam ibadah.
c. Sound Amplification in Church-second edition –
Posisi sumber suara sangat menentukan apakah nantinya seluruh jemaat yang hadir dapat mendengar dengan jelas, secara khusus jemaat yang berada di bagian belakang. Letak sumber suara sebaiknya berada di posisi lebih tinggi dari jemaat dan sesuai dengan batas sudut pandangan manusia. Jika posisi sumber suara diletakan sejajar dengan jemaat maka suara yang dikeluarkan oleh sumber suara akan hilang di tengah-tengah ruang sehingga jemaat yang ada di bagian belakang tidak dapat mendengar dengan jelas.
68
Sound source at height. Sound rapidly absorbed as it passes over heads
Gambar : Posisi sumber Suara Peletakan
loadspeaker
pada
posisi
yang
tinggi
akan
membantu
menyampaikan suara sumber suara ke seluruh opsisi jemaat.
Gambar : Posisi loadspeaker pada posisi yang lebih tinggi dari pendengar
69
2.3.3. Tinjauan Studi Besaran Ruang dan Aktivitas Tempat duduk jemaat Pada beberapa gereja, jemaat tidak perlu berlutut, ada pula gereja yang dilengkapi dengan bangku berlutut yang bentuknya sederhana. Kebutuhan ruang tiap bangku tanpa papan tepat berlutut adalah 0,4-0,5m2
Gambar : Besaran Kursi Gereja
Jika area tempat duduk jemaat menggunakan bangku maka sebaiknya di beri dua buah gang pada kedua sisi bangku untuk menyediakan akses langsung sehingga sirkulasi lancar. Jika tidak ada ketentuan lain maka standar daya tamping untuk satu bangku adalah memuat 14 orang. Berikut ini besaran standar untuk pengaturan kursi jemaat : -
Lebar kursi untuk tiap jemaat
: 55,88 cm
-
Jarak antar bangku
: 91,44 cm
-
Tinggi dudukan dari lantai
: 43,18 cm
Gang (aisle) Gang pinggir kurang menguntungkan karena adanya pancaran udara dinding bagian dalam. Pada gereja besar, gang tengah sangat bermanfaat untuk iringan-iringan upacara, seperti upacara pernikahan maupun upacara 5
pemakaman. Tiap bangku gang maksimal dapat memuat 14 orang.
5
De Chiara, Joseph, Time Saver Standard For Building Types, 1990
70
Gambar : Lebar Gang (aisle)
Gambar : Ukuran Sirkulasi pada Gang (aisle)
Berikut ini ukuran standar untuk gang (aisle) : - Gang utama (center aisle)
: min 150 cm
- Gang samping (side aisle)
: min 105,24 cm
- Gang depan (front aisle)
: min 180 cm
- Gang antar kursi ( rear cross aisle) : min 150 cm
Mimbar Mimbar merupakan bagian terpenting dalam interior gereja dan merupakan pusat dari kegiatan liturgy. Oleh karena itu, perlu di perhatikan khusus untuk merancang bagian-bagiannya. Pemisahan antar area mimbar dengan area jemaat harus di hindari agar keduanya sama-sama berpartisipasi dalm penyembahan kepada Tuhan. Jadi, pengaturan jarak antar daerah mimbar dengan jemaat di udahakan seminimal mungkin. 6
Keduanya menempati posisi sama-sama kudus dalam ibadah.
6
Prof. Outler, Albert.C., Whorship and Christian Unity, Board of Global Ministries, 1966
71
Area mimbar di naikan sekitar tiga tingkat, tidak lebih dari 15 cm tiap tingkatannya dan lebar anak tangga minimum 40 cm. Lebar gang (aisle) di area sekitar mimbar 13cm.
Gambar : Variasi Pengaturan Mimbar
Meja Khotbah (pulpit) Meja kjhotbah (pulpit) merupakan tempat pendeta menyampaikan injil dan pesan Tuhan kepada jemaat. Meja khotbah merupakan perabot yang paling aktif di gunakan di mimbar. Meja khotbah tidak harus terletak di tengah area mimbar, asalkan dapat terlihat sehinmgga pesannya dapat tersampaikan dengan tepat kepada jemaat. Meja khotbah harus mempunyai tempat meletakan alkitab, catatan khotbah dan penerangan setempat untuk membaca alikitab. Standar ukurannya sebagai berikut,
Gambar : Ukuran Meja Khotbah
7
7
Bruce Allsop, A Modern Theory of Architecture
72
Gambar : Church firrnUure-Altar
8
Railing Mimbar dan Jemaat Pemakaian railing pada area jemaat dan area mimbar kini lebih jarang digunakan untuk menghindari adanya pemisahan area duduk jemaat dengan mimbar. Tinggi railing seperti standar tinggi railing pada umumnya yaitu 36 inchi (91cm). Berikut gambaran detail dan ukuran railing yang juga merupakan standar railing pada area-area lain dalam gereja :
Gambar : Detail dan Ukuran Railing
8 9
9
Prof.Outler, Alben.C., Worship and Christian Unity, Board of Global Ministries, 1966 De Chiara, Joseph, Time Saver Standard for Building Types, 1990
73
Dimensi Kebutuhan Ruang Gerak Manusia 1. Standar ukuran manusia normal (Sumber; Ernst Neufert, Data Arsitek-jilid 2, hal 12)
kebutuhan-kebutuhan ruang gerak dalam sekelompok orang Gambar : Ukuran dan Ruang Gerak (Sumber; Human Dimension and Interior Space, hal 264, 267-268)
74
Gambar : The Human Body
Gambar : Circulation Corridors
75
2. Standar ukuran manusia dengan menggunakan alat bantu Horizontal Circulation Space
Gambar : Comparative Densililes Mciuding Wheelchair-buund Sirkulasi untuk jemaat yang berkursi roda perlu di perhatikan. Akses yang memudahkan serta jarak asile yang tepat diperlukan untuk member kemudahan berikut standar sirkulasinya :
76
Gambar : Wheelchair Arculation
10
Batas Sudut Pandang Manusia (Sumber; Human Dimension UndIntenor Space, hal 287-288)
Gambar : Visnalfield iti Horizonial Plane
10
Panero, Julius, Human Dimension, New York
77
Gambar : Visnalfieldin Vertical Plane
Gambar : Range of Head and Eye Movemeni 78
2.3.4. Tinjauan Struktur Organesasi Ruang Ruang yang di butuhkan pada pembagian ruang dalam gereja adalah :
Mimbar (minimum 18,5 m2)
Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam merancang mimbar, antara lain : - Tujuan mendirikan gereja adalah untuk menyediakan tempat bagi jemaat untuk menyembah Tuhan (worship), bersekutu (fellowship), pengajaran (teaching), dan persiapan ibadah (service). - Jemaat
dan
aktivitasnya
merupakan
pertimbangan
utama
dalam
perancangan gereja. - Tujuan utama dari perancangan mimbar adalah untuk memusatkan perhatian dan mengarahklan dan mempersiapkan hati jemaat untuk hal yang ilahi dari Allah. - teologi tidak mempengaruhi secara langsung asrsitektur gereja. Teologi hanya mempengaruhi kegiatan liturgis ibadah. b. Area duduk jemaat (minimum 1m2) c. Ruang persiapan pendeta (minimum 11m2) d. Ruang pelayan Tuhan (minimum 1-1,4m2) 2.3.5. Tinjauan Utilitas Ruang Utilitas ruang kebaktian gereja meliputi system pencahayaan dan system akustik gereja. Kedua unsur ini tak terpisahkan dan saling terkait satu sama lain. Sistem Pencahayaan Dalam arsitekltur gereja, pencahayaan selain digumakan untuk memenuhi kebutuhan fisik bangunan juga dapat mempengaruhi persepsi orang terhadap suatu objek. Dalam hal ini pencahayaan dapat digunakan untuk melambangkan Keagungan Allah (sinar kemuliaan Allah). Dua macam pencahayaan untuk gereja antara lain :
79
Cahaya menyeluruh : terkesan ringan 11
Cahaya yang di fokuskan : terkesan penting (vocal point)
Selain itu, yang harus diperhatikan dari system pencahayaan adalah sifat-sifat penyinarannya. Sebab pencahayaan dengan memperhatikan factor silau, pergantian warna kreatifitas bentuk dan efek khusus yang timbul mempengaruhi pertasaan psikologis pemakai ruang. Ada dua macam pencahayaan, yaitu: a. Cahaya alam (natural lighting), cahaya yang berasal dari sinar matahari, bulan, api, dan sumber lainnya. b. Cahaya buatan (artificial lighting), yaitu pencahayaan yang berasal dari cahaya buatan manusia, misalnya lilin, sinar lampu, dan sebagainya. Dibagi lima macam lagi yaitu : -
Pencahayaan langsung, semua sinar memancar dari pusat ke arah objek yang di sinari, misalnya pemakaian lampu sorot pada etalase.
-
Pencahayaan tidak langsung, sumber pencahayaan di sembunyikan dari pandangan pengamat, sehingga cahaya yang dirasakan adalah hasil pantulannya, terutama pada dinding atau plafon.
-
Pencahayaan setempat, pencahayaan yang di arahkan untuk menerangi ke suatu tempat atau objek, missal lampu meja.
-
Pencahayaan yang membias (diffused), penchayaan yang memancar langsung dari sumbernya terlebih dahulu melalui bahan yang akan menyebarkan sinar tersebut lebih besar dari sumbernya, misalnya lampu downlight. Lampu downlight menyebarkan cahaya (diffused) melalui bahan gelas yang ada pada badannya atau biasa di sebut reflector. Cahaya yang dihasilkan bersifat menyebar/membias banyak.
-
Pencahayaan khusus, salah satunya bola “bracket”, yaitu lampu yang 12
ditanam dalam dinding atau lantai, fungsinya sebagai penunjuk arah
11 Rossusen. Steen Eikr. Experiencing Architecture 12 Suptandar, Pamudji.J.,Desain Interior, Djambatan, 1999
80
a.
b.
c.
d.
e.
Gambar : Pencahayaan Khusus
Sistem pencahayaan sebaiknya memanfaatkan sinar matahari pagi agar lebih hemat, dengan pemilihan jenis lampu dapat membentuk keindahan atau nilai estetis ruang ada 5 jenis lampu direct, semi direct, indirect, semi indirect, diffuse. 1. Perbedaan penyebaran cahaya akan menampakkan karakteristik yang berbeda. Direct
: 90 – 100 % langsung diarahkan ke bidang kerja atau bidang yang harus diterangi.
Semi direct
: 60 – 90 % sebagian besar sinar lampu dipancarkan kebidang kerja dan sebagian kecil sinar lampu dipancarkan ke atas (plafond).
Indirect
: 90 – 100 % sinar lampu dipancarkan secara tak langsung menuju bidang kerja dengan dipantulkan terlebih dahulu pada dinding dan langit-langit.
Semi indirect
: 60 – 90 % sebagian besar sinar lampu dipancarkan ke atas ( langit-langit ) dan sebagian kecil sinar lampu dipancarkan ke bidang kerja.
Diffuse
: 40 – 60 % sinar lampu yang dipancarkan menuju bidang kerja
sebelumnya
terlebih
dahulu
melalui
kaca
baur/diffuse, sehingga sinar yang dipancarkan merata baik pada bidang kerja maupun pada seluruh ruang.
81
2. Perbandingan efek warna cahaya : a. Natural light Pengunjung lebih menyukai warna daylight karena menjadi ruang atau desain menjadi menarik, dan memberikan penerangan natural. b. Lampu pijar ( Incandescent ) Kelebihan
: pewarnanya akurat, fleksibel, lebih mudah dikontrol danmeningkatkan selera beli.
Kekurangan
: konsumsi energinya lebih tinggi, tidak tahan lama, dan sukar perawatannya.
c. Tube light ( lampu TL ) 1. Cool white : lebih ekonomis, memberi kesan dingin. 2. Cool white deluxe : digunakan bahan-bahan natural, dan penawaran Sistem Akustik Dalam perancangan akustik gereja ada beberapa hal yang perlu di perhatikan, antara lain :
Daerah mimbar harus cukup di naikan dan di kelilingi oleh dinding pemantul, demikian juga pada bagian paduan suara (choir) dan music.
Tiap sudut jemaat harus mempunyai kondisi pendengaran (intelegibilitas) yang baik saat kebaktian.
Eliminasi bising dari luar di perlukan apabila ada kegiatan kebaktian terutama pada saat berdoa. Kualitas bunyi pada gereja di pengaruhi oleh bentuk volume ruang, kapasitas 13
tamping gereja, jumlah jemaat, dan bahan pelapis akustik. Warna-warna simbolik
Pemakaian warna dalam gereja memberi kesan, menambah variasi dan menyimbolkan suatu makna. Berikut beberapa warna yang mengandung warna simbolis dalam pemakaiannya dalam gereja : 13
Doelle, Leslie.L, Akustik Lingkungan, Hal 115-118
82
a. Putih
: symbol Pencipta, sukacita, kesucian, kemuliaan.
b. Merah
: symbol darah Anak Domba.
c. Hitam
: symbol kesengsaraan, maut.
d. Emas (coklat): symbol kemuliaan Tuhan, Iman Kristiani. 14
e. Biru
: symbol baptisan air, ketenangan.
Selain symbol warna, rajawali juga dipakai untuk menyatakan kekuatan, kemuliaan yang melampaui segala hal, jiwa rasuli yang pada dasarnya melayani dan menginjil. Penghawaan Untuk membantu mengatasi udara panas yang berlebihan di dalam ruang khususnya pada ruangan ibadah utama maka diperlukan suatu sistem penghawaan. Banyak cara yang digunakan untuk mengurangi panas diantaranya adalah pemakaian reflection glass, alat peneduh atau penangkal cahaya dan yang paling terkenal adalah penggunaan AC (air conditioning). Untuk mengatur kesejukan udara ada 2 sistem yang dikenal yaitu sistem alami 1 (cross ventilation) dan sistem buatan (AC dan kipas angin).15
a. Sistem Alami Dapat diperoleh dengan melalui ventilasi yang terbentuk dari bukaan jendela. Dalam penentuan tata sirkulasi udara haruslah memperhatikan kecepatan, temperatur dan arah angin sesuai dengan daerah dan iklim. Ruangan yang ideal adalah ruangan yang mempunyai ventilasi alami demi menjaga kesehatan penghuninya serta untuk menghilangkan udara yang tidak baik.
14 Rest, Friedrich, Our Christian, Symbol, Education Press, 1954 15 J Pamudji, Suptandar, Pengantar Desain Interior, 41
83
b. Sistem Buatan Sirkulasi udara buatan diperoleh dari penyejuk udara atau AC, exhaust dan lain-lain. Sirkulasi udara buatan digunakan untuk memperoleh kondisi udara yang nyaman dan stabil. Sistem penyejuk udara menangani udara dalam beberapa cara karena suhu yang nyaman tidak hanya bergantung dari temperatur udara, tapi juga pada kelembapan yang relatif, temperatur realisasi permukaan sekitar dan aliran udara kemurnian udara dan cara menghilangkan bau merupakan faktor-faktor kenyamanan tambahan yang dapat dikendalikan oleh sistem penyejuk udara. Penghawaan sistem buatan dalam sebuah interior sebaiknya memilki cirri-ciri sebagai berikut : - Pemakain AC sangat efisien pada sebuah interior yang tidak memungkinkan mendapatkan udara secara bebas), sehingga dengan pemakaian AC dapat menciptakan udara yang berkualitas. - Untuk pemakaian heating atau cooling, disesuaikan dengan iklim, untuk daerah tropis menggunakan cooling. 2.4.Tinjauan Mengenai Tema Pengertian tema secara umum adalah keseragaman bentuk dan sebagainya, yang secara khusus memberikan ciri khas dari sebuah desain yang memberikan makna. Dalam perancangan ini penulis mengaplikasikan tema apostolic/desain menyebar seperti sebuah gelombang. Hal ini di sesuaikan dengan dasar/ajaran dari gereja Bethel Indonesia yang memiliki tujuan untuk memberitakan injil ke seluruh dunia, di manapun jemaat tersebut berada.
84
2.5. Tinjauan Mengenai Gaya Modern Pengertian gaya secara umum adalah ragam cara rupa, bentuk dan sebagainya yang khusus mengenai tulisan, karangan, pemakaian bahasa, bangunan
rumah
dan
sebagainya. 16 Dalam
perancangan
ini
penulis
mengaplikasikan gaya modern, Kata “ modern “ berasal dari kata MODO yang berarti barusan, Sejarah penggunaan kata modern dapat ditarik dalam sejarah sejak tahun 1127. seorang kepala biarawan, suger, merekontruksi bassilica St. Denis diparis. Hasi dari rekontruksinya adalah sesuatu hal yang baru, suger akhirnya memberikan istilah gaya itu dengan “ opus Modernum “. Yang berarti sebuah karya baru. ( Sumber : Adityawan, Arief, Tinjauan desain, 1999 Hal. 49 ).
Modern sebagai isme adalah serangkaian pemikiran dan gerakan dalam berbagai bidang kehidupan yang muncul sejak tahun 1900 – 1950. kegiatan barang-barang konsumsi yang sebelumnya dikerjakan dengan tangan digantikan dengan tenaga mesin atau produksi masal. ( Sumber : Adityawan, Arief, tinjauan desain 1999 Hal. 49 )
Gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin tradisional, menyesuaikannya dengan aliran-aliran modern dalam falsafah, sejarah dan ilmu pengetahuan. ( Sumber : Kamus besar bahasa indonesia, 1989 Hal. 589 ) Kata modern dalm kamus besar bahasa indonesia berarti sikap dan cara berfikir seta cara bertindak yang sesuai dengan tuntutan zaman. ( Sumber : Kamus besar bahasa indonesia, 1989 Hal. 589 )
16
Cypress, Kamus Besar Indonesia, 1972, 388
85
Sejarah perkembangan gaya modern Gerakan modern pada awalnya muncul diinggris pada abad Ke-18, ketika ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Sejak penemuan tersebut terjadilah perubahan-perubahan atau pergantian dari tenaga manusia menjadi tenaga mesin, penggantian tenaga makhluk hidup dengan benda mati itu sdampai dengan tercetusnya Revolusi Industri. Pada awal masa seni rupa modern, muncul beberapa aliran diantaranya yaitu : Kubisme ( 1882-1963 ), Ekspressionnisme ( 1990-1906 ), konstruktivisme ( 1914-1920 ), Surrealisme ( 1924 ), Dadaisme ( 1916-1922 ), dan De Stijll ( 1917-1931 ). Modernisasi secara tidak langsung juga turut dikembangkan oleh meletusnya perang dunia Ke-2, semua fasilitas menjadi hancur. Untuk membangun lagi dari awal sangatlah berat, maka dilakukan penghematan sumber daya manusia dan sumber daya alam. Tidak ada lagi perbedaan kelas diantara para konsumen, semuanya diseragamkan. Maka dibutuhkan furniture yang serba guna, sederhana, kuat, mudah diperbaiki dan murah serta hemat. Setelah Jerman makin maju diabad-20, jerman mendirikan sebuah perusahaan besar bernama AEG ( Allgemeine Elektrizitatz Gesellschaft ) yang para desainernya nanti akan menjadi cikal bakal pengajar di Bauhaus. Kemudian Muncul aliran desain grafi plakatstil sampai akhirnya muncul sekolah seni Bauhaus ( 1919 ) yang keberadaannya sangat berpengaruh didalam seni modern dan pada masa munculnya gaya internasional ( international Style ) yang dipopulerkan oleh Walter Gropius. Munculnya gerakan modern yang dipicu oleh perang dunia I ( 1917 – 1929 ) terjadinya pandangan radikal yang mulai meluas diseluruh eropa, salah satunya adalah pandangan mengenai konsepsi ruang. Pada periode ini terbentuk dan berdirinya CIAM ( conggres internationaux D’architecture Modern ) Tahun 1928. hasilnya bahwa arsitektur modern adalah pernyataan jiwa dari suatu masa, yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan sosial ekonomi. 86
Beberapa tokoh yang menonjol pada periode I, Yaitu : 1. FRANK LIOYD WRIGHT ( Amerika Serikat ) 2. WALTER GROPIUS ( Jerman dan Amerika Serikat ) 3. LUDWIG MIES VAN DER ROHE ( Jerman dan Amerika Serikat ) 4. LE CORBUSIER ( Perancis ) Pada periode ini bangunan secara keseluruhan dapat dikatakan memiliki karakter internasional, hanya masing-masing daerah mempunyai tipe tersendiri yang dititik beratkan dengan penggunaan bahan-bahan setempat. Tanpa menyembunyikan kekuranggannya. Hasil karya arsitektur pada periode II pada dasarnya merupakan peprpaduan antara keahlian, perkembanagan teknologi, dan industri serta seni dengan paham kedaerahan. Perkembangan gaya modern di Indonesia Perkembanagan gaya modern diindonesia dimulai semenjak tahun 1960, masa orde baru. Bisa dikatakan adalah saat berkembangnya modernisasi indonesia disegala bidang, termasuk bidang arsitektur. Modernisme di Indonesia ditandai dengan mulai dibangunnya berbagai gedung-gedung tinggi, sarana transportasi, dan pusat perbelanjaan. Contoh bangunan modern yang masih ada hingga sekarang ini yaitu : wisma nusantara, ratu plaza, gedung bumi putera dijalan jenderal sudirman, dll. Ciri-ciri yang dapat diidentifikasi antara lain dari penggunaan bidang kaca yang lebar, bentuk geometris pada fasad bangunan, eksposed struktur, penampilan natural bahan bangunan. ( Sumber : Adityawan, Arief, Tinjauan Desain, 1999 dan Sumalyo Yulianti, Arsitektur Modern pada akhir abad xIx dan abad xx, 1997 )
Ciri utama desain modern
Formalisme
Pragmatisme
Fungsionalisme
Universalisme
From follow fungtion 87
Simplicty
Less is more
Membuang ornamen
Membuang gaya dan teknik tradisional
Penekanan pada konsep keseragaman
Ciri–ciri desain mebel modern 1. Bentuk mebel harus mengikuti fungsi, atau setiap bentuk 2. Harus ada fungsinya ( Form Follow Function ) 3. Menghilangkan elemen dekoratif yang tidak berfungsi Praktis : knock down, Mobile stocking, Folding dan mudah dikemas. 4. Mudah dibuat secara massal 5. Ekonomis 6. Bahan lebih fariatif 7. Bentuknya sesederhana mungkin 8. Berorientasi pada pasar universal Pengaplikasian warna pada desain modern Warna-warna yang digunakan pada desain modern bukan warna-warna yang berani seperti pada gaya Postmodern seperti warna biru kuat, orange, merah dan kuning. Warna yang ditampilkan pada desain modern merupakan warnawarna bahan aslinya yang ditampilkan, tanpa perlu ditutup-tutupi sehingga terlihat natural. Bahkan desain modern cenderung tidak mempunyai warna karena Warna yang ada yaitu seperti hitam, putih dan abu-abu. Semua ini akibat dari ajaran sekolah Bauhaus sebagai pelopor gerakan modernyang membiarkan desain modern tampil natural apa adanya . Dengan ciri-ciri kaca yang dominant dan berbentuk kotak.
88
Style modern natural Pendekatan desain interior bergaya modern natural semakin banyak diminati oleh masyarakat urban karena desain ini dapat menghadirkan suasana yang nyaman sehingga dapat menenteramkan hati ketika berada di ruangan. Natural merupakan bentuk filosofi yang berkiblat pada gaya yang menyatu dengan alam atau perpaduan modern dengan alam. Modern natural banyak dituangkan melalui pengunaan material atau tekstur yang berasal dari alam seperti contohnya kayu dsb.
89
90