Bab II Teori Monisme-Dualisme dan Teori Internasionalisme Bab ini akan menjelaskan mengenai
teori
secara
monisme-dualisme
deskriptif
beserta
kritik
terhadap teori tersebut. Teori kedua yang akan dibahas adalah suatu general theory yang penulis namakan dengan istilah teori internasionalisme yang secara spesifik menggunakan teori transnational legal process teori international constitution. A. Teori Monisme-Dualisme Dalam rangka menentukan atau menjustifikasi dasar
keterikatan
negara
terhadap
hukum
internasional, terdapat 2 teori klasik yang umum digunakan yaitu teori monisme dan teori dualisme. Kedua teori tersebut menjelaskan bagaimana hukum internasional dapat mempengaruhi hukum nasional di suatu negara. 1. Monisme 1.1. What is monism theory ? Pada
dasarnya,
teori
monisme
berangkat dari mahzab hukum alam (natural law).
1
Hans
Kelsen
mengatakan,
“The
ultimate source of the validity of all law derived from a basic rule (‘Grundnorm’) of 1 Basak Cali, The Authority of International Law: Obedience, Respect, and Rebuttal, Oxford: Oxford University Press, 2015, hlm. 137. 18
international law.”
Ia berprinsip bahwa
2
hukum internasional adalah konsekwensi langsung dari basic norm seluruh hukum 3 , sehingga mengikat setiap individu di seluruh negara
secara
dikatakan
kolektif
Judge
4
sebagaimana
Lauterpacht
dalam
the
Norwegian Case yang mengatakan bahwa setiap individu adalah “the ultimate unit of all law”5. Teori
monisme
berbicara
mengenai
hukum internasional dapat masuk secara otomatis ke dalam hukum nasional tanpa memerlukan transposisi lebih lanjut. 6 Hal tersebut
dikarenakan
teori
ini
melihat
hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional yang dipandang sebagai dua komponen pengetahuan Makna
dari
satu
yang
kesatuan
kesatuan
dinamakan tubuh
‘tubuh’
hukum.
7
pengetahuan
tersebut melahirkan 2 varian dari teori 2 Peter Malanczuk, Modern Introduction To International Law, New York: Routledge, 1997, hlm. 63. 3 Martin Dixon, Op.Cit., hlm. 69. 4 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010, hlm. 7. 5 A.F.M. Maniruzzaman, “State Contracts in Contemporary International Law: Monist versus Dualist Controversies” EJIL Vol. 12 No. 2, (2001), hlm 312. Diunduh dari http://www.ejil.org/pdfs/12/2/1519.pdf pada tanggal 24 Oktober 2015 pukul 13.03 WIB. 6 Margot Horspool dan Matthew Humphreys, European Union Law, New York: Oxford University Press, 2006, hlm. 175. Baca juga Simon Butt, “The Position of International Law Within The Indonesian Legal System” Emory International Law Review 28 (1), 2014, hlm. 4. 7 Martin Dixon, Loc.Cit. 19
monisme
ini,
yakni
supremasi
hukum
internasional di atas hukum nasional dan supremasi hukum nasional di atas hukum internasional.8 Varian pertama dari teori monisme yakni supremasi hukum internasional di atas
hukum
fenomena
nasional
hukum
konsekwensi
berkembang
internasional
langsung
dari
dari
sebagai
basic
norms
dapat dilihat di era paska Perang Dunia I dan Perang Dunia II
dimana penetrasi
9
hukum internasional dalam hukum nasional timbul
mencolok
dengan
gerakan
internasionalisasi besar-besaran di bidang hak
asasi
melahirkan
manusia
yang
kewajiban
kemudian
internasional
bagi
setiap negara seperti dokumen Universal Declaration
of
dikeluarkan
oleh
Human
Rights
Perserikatan
yang Bangsa-
Bangsa pada tahun 1948. Varian
kedua
teori
monisme
yang
meletakkan primat pada hukum nasional lahir sebagai reaksi dari varian pertama dimana
varian
ini
mendemonstrasikan
Stevan Voigt, “The Interplay Between National and International Law – Its Economic Effects Drawing on Four New Indicators” hlm. 4. Diunduh dari http://wp.peio.me/wpcontent/uploads/2014/04/Conf4_Voigt-12.04.2010.pdf pada tanggal 15 Februari 2016 pukul 10.00 WIB. 9 Vladlen S. Vereshchetin, “New Constitution and the Old Problem of the Relationship between International Law and National Law” European Journal of International Law Vol. 7 Issue 1, 1996, hlm. 30. 20 8
bahwa
hukum
internasional
merupakan
desain hubungan antar bangsa sehingga hukum
internasional
berasal
dari
internal masing-masing negara. dengan
dualisme
proses
transformasi,
monisme
ini
yang
lebih
hak
Berbeda
10
mengutamakan
variasi
kedua
menghendaki
teori
adanya
treaty untuk dapat berlaku langsung di wilayah domestik. Negara
monisme
seperti
Perancis,
Belanda, dan Itali meletakkan pengaturan ke-monisme-an
negaranya
di
dalam
konstitusi masing-masing negara
dimana
keutamaan
hukum
diberikan
pada
internasional. 11 Hal tersebut juga nampak dalam
the
European
Union
yang
menghendaki adanya peralihan legislative power dari negara-negara Eropa ke institusi tersebut. 12 Teori monisme ini terlihat ketika negara-negara
Eropa
secara
sadar
ingin
tunduk kepada hukum internasional yang diatur dalam the European Union untuk
Emilian Ciongaru, “The Monistic and The Dualistic Theory in European Law”, hlm. 4. Diunduh dari http://www.ugb.ro/Juridica/Issue1EN/10_Teoria_monista_si_dual ista_in_dreptul_europeanCiongaruEN.pdf pada tanggal 24 Oktober 2015 pukul 11.27 WIB. 11 Wisnu Aryo Dewanto, “Memahami Arti Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia” Jurnal Opinio Juris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Volume 04, 2012, hlm. 21. 12 Emilian Ciongaru, Op.Cit., hlm. 310. 21 10
kemudian menerapkannya dalam yuridsiksi masing-masing negara tersebut. 1.2. Kritik Terhadap Teori Monisme Meski perangkat validasi teori monisme didasarkan pada basic norm
13
, namun
hukum internasional tidak lantas menjadi per
se
menciptakan
hukum nasional
14
atau
memvalidasi
. Melihat kepada sisi
sejarah, hukum nasional jauh lebih dulu muncul
sebelum
hukum
internasional
dibentuk. 15 Premis monisme adalah premis yang a-historis, dimana secara hierarkis hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional
sehingga
seharusnya demikian).
lebih 16
hukum dahulu
Mengingat
internasional
(padahal
hukum
tidak
nasional
lebih dulu terbentuk, maka tidak seharusnya hukum
internasional
dipandang
sebagai
hukum yang superior atas hukum nasional. Kritik berikutnya terkait dengan asas pacta sunt servanda yaitu suatu kontrak hanya dapat mengikat para pihak yang menyepakatinya.
17
Teori
monisme
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional: Edisi Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 99. 14 Edwin Borchard, “Relation Between International Law and Municipal Law” Faculty Scholarly Series Paper 3498 (Yale Law School, 1940), hlm. 140. 15 Ibid., hlm 142. 16 Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Bandung: Alumni, 2011, hlm. 28. 17 Yusuf Caliskan, “The Development of International Investment Law: Lesson from the OECD MAI Negotiations and 22 13
meletakkan norma dasar (basic norms) atau dalil
fundamental
untuk
keberlakuannya
bagi setiap individu. Terdapat 2 masalah terkait hal ini, yakni pertama, norma dasar bersifat abstrak atau tidak memiliki bentuk konkret sehingga akan sulit bagi setiap individu untuk mematuhinya. Kedua, teori monisme dianggap tidak sejalan dengan asas pacta sunt servanda karena sifatnya yang universal akan mematahkan keberlakuan asas ini. Kritik
lain
terhadap
teori
mempertanyakan kemungkinan
monisme
kemungkinan-
terdapatnya
pertentangan
antara hukum internasional dan hukum nasional, atau konflik antara moral norms dan legal norms. 18 Masalah muncul ketika masing-masing dari hukum internasional dan hukum nasional memiliki substansi yang
saling
bertolakbelakang
penyelesaian
suatu
sengketa
dalam sehingga
menimbulkan situasi tumpang tindih dalam penerapan kedua jenis hukum tersebut. Dalam
situasi
internasional berkonflik
demikian,
dan
tidak
hukum akan
norma
hukum
nasional
bisa
yang
berkoherensi
Their Application to a Possible Multilateral Agreement on Investment”, Florida: Dissertation.com, 2008, hlm. 24. 18 Alexander Somek, “Kelsen Lives” The European Journal of International Law Vol. 18 No. 3, 2007, hlm. 424-425. 23
dalam
satu
sistem
seperti
yang
teori
monisme inginkan.19 Tidak hanya pertentangan antara aras hukum internasional dan hukum nasional, namun
pertentangan
yang
timbul
dari
sesame aras hukum internasional itu sendiri. Sebagai contoh, kasus Ahmed Ali Yusuf and Al
Barakaat
International
Foundation
v.
Council and Commission dan kasus Yassin Abdullah Kadi v. Council and Commission. 20 Kasus tersebut membawa pertanyaan inti apakah
European
kekuasaan
sah
Council
atau
memiliki
kompetensi
untuk
membuat sebuah regulasi yang mengijinkan pembekuan
keuangan
seseorang
atau
organisasi yang diduga telah membiayai aktivitasi
organisasi
teroris
seperti
Al
Qaeda. 21 Pertentangan norma dalam kasus ini terjadi di level hukum internasional, yakni antara hukum hak asasi manusia yang berlaku universal dan hukum internasional melalui
lembaga
European
Council
bagi
negara-negara Eropa. 2. Dualisme 2.1. What is dualism theory? Teori
dualisme
sering
diidentikkan
dengan mahzab positivisme karena sama19 Torben Spaak, “Kelsen on Monism and Dualism”, hlm. 7. Diunduh dari http://ssrn.com/abstract=2231530 pada tanggal 24 Oktober 2015 pukul 12.54 WIB. 20 Torben Spaak, Op.Cit.., hlm. 3. 21 Ibid. 24
sama
mengutamakan
dengan
bentuk
hukum
peraturan
nasional perundang-
undangan. 22 Hal ini menyebabkan seorang pengacara
juga
internasional
dianggap
sebagai seorang dualist sekaligus positivist. Berbeda dengan teori monisme yang meletakkan
primatnya
internasional,
teori
pada
hukum
dualisme
justru
mengutamakan hukum nasional berdasarkan kedaulatan negara masing-masing sehingga hukum internasional tidak dapat memaksa suatu negara untuk patuh terhadap hukum internasional.
23
Menurut teori ini, hukum
internasional dan hukum nasional masingmasing merupakan dua sistem yang berbeda secara intrinsik.24 Teori
dualisme
tidak
menginginkan
adanya pencampuran wilayah antara hukum internasional Menurut
dan
teori
dibayangkan
ini,
apabila
hukum akan dua
nasional. sangat sistem
25
sulit
hukum
Giorgio Gaja, “Positivism and Dualism in Dionisio Anzilotti” European Journal International Law, 1992, hlm. 123. 23 Anthony D’Amato, “The Coerciveness of International Law” Faculty Working Papers Paper 91, Northwestern Universitiy School Of Law, 2010, hlm. 3. Diunduh dari http://scholarlycommons.law.northwestern.edu/cgi/viewcontent.c gi?article=1090&context=facultyworkingpapers pada tanggal 21 Oktober 2015 pukul 15.51 WIB. 24 Sugeng Istanto, Op.Cit., hlm. 8. 25 Werner Levi, Contemporary International Law: A Concise Introduction, Colorado: Westview Press, 1991, hlm. 23. Lihat juga 8 karakter murni teori dualisme, Damos Damoli Agusman, 2014, Op.Cit., hlm. 59. 25 22
tersebut dilaksanakan secara bersamaan oleh individu.
Asumsi
26
negara
menjadi
logisnya, basis
kedaulatan
kuat
untuk
menempatkan individu secara khusus di bawah hukum nasional sehingga apabila hukum internasional dan hukum nasional melebur,
maka
akan
timbul
pergulatan
antara kedaulatan negara dengan tatanan hukum internasional27. Pemisahan internasional
dan
tegas
antara
hukum
hukum
nasional
yang
dikehendaki teori dualisme kemudian diikuti dengan
penggunaan
teori
transformasi.
Dalam negara yang menganut teori dualisme, pengadilan perjanjian
tidak
dapat
internasional
menerapkan
secara
langsung
kecuali perjanjian internasional tersebut telah ditransformasi ke dalam legislasi nasional. 28 Dengan kata lain, suatu hukum internasional hanya bisa berlaku dalam suatu negara apabila
terdapat
prosedur
konstitusional
(proses transformasi) yang menariknya ke dalam sistem hukum nasional.
Borchad Edwin, Op.Cit., hlm. 140. Martin Dixon dan Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, London: Blackstone Press Limited, 2000, hlm. 101. 28 Bahakal Yimer dkk., “Application of International Investment Agreement by Domestic Courts”, (2011). Diunduh dari http://graduateinstitute.ch/files/live/sites/iheid/files/sites/ctei/s hared/CTEI/Law%20Clinic/Memoranda%202011/UNCTAD_Memo. pdf pada tanggal 21 Oktober 2015 pukul 16.42 WIB. 26 26 27
Hal
ini
berimplikasi
bahwa
semua
hukum internasional kemudian bersifat non self-executing.
The
Whitney
doctrine
menjelaskan teori non self-executing treaty yang berkembang di abad ke-19 ini, sebagai suatu
batasan
konstitusional
kekuasaan
pembuat
menciptakan
hukum
dalam
treaty
untuk
domestik
melalui
treaty. 29 Artinya suatu perjanjian yang nonself-executing
memerlukan
suatu
aturan
pelaksana nasional terlebih dahulu sebelum perjanjian tersebut dilaksanakan. Dalam
terma
praktisnya,
hukum
internasional dipandang tidak bisa digunakan untuk memvalidasi hukum domestik atau vice versa, kewajiban-kewajiban seharusnya muncul di bawah satu sistem yang tidak bisa secara
otomatis
lainnya.
30
dipindahkan
ke
sistem
Penganut teori dualisme ini di
antaranya adalah Irlandia dan Inggris. 2.2. Kritik Terhadap Teori Dualisme Salah dualisme
satu
kritik
disampaikan
mengatakan
apabila
terhadap
oleh
hukum
Kelsen
teori yang
internasional
dan hukum nasional adalah dua hal yang sangat berbeda tanpa hubungan apapun, maka penggunaan kata “hukum” pada 2 29 David Sloss, “Non-Self-Executing Treaties: Exposing A Constitutional Fallacy” U.C. Davis Law Review Vol. 36 No. 1, 2002, hlm. 5. 30 Martin Dixon, 1993, Op.Cit., hlm. 70. 27
bidang
tersebut
dualisme
adalah
dipandang
salah.
Teori
31
telah
melawan
kebutuhan atas kesatuan ilmu pengetahuan, termasuk
di
antaranya
adalah
ilmu
pengetahuan hukum. Kritik
selanjutnya
adalah
dualist
meletakkan primat pada hukum nasional lalu menghadapi masalah ketika suatu negara secara
anarkis
menolak
untuk
patuh
terhadap kewajiban internasional. Kelemahan teori dualisme ini dapat ditemukan dari sisi internasional tentang
secara
tanggung
Apabila
praktikal
gugat
terhadap
dalam
isu
internasional.
suatu
32
perjanjian
internasional, suatu negara telah bertindak sesuai
dengan
hukum
nasional
namun
nyatanya telah menimbulkan tanggung gugat di kemudian hari karena tindakannya, maka negara tersebut tidak dapat mengelak dari tanggung gugat internasional tersebut. Hal ini diperkuat dengan Article 27 The 1969 Vienna Convention on The Law of Treaties yang menyatakan, “A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46”. Teori
dualisme
menuntut
adanya
transformasi hukum internasional ke hukum nasional 31 32
dengan
prosedur
konstitusional
Borchad Edwin, Op.Cit., hlm. 142. Titon Slamet Kurnia, Op.Cit., hlm. 27. 28
tertentu di suatu negara. Proses transformasi ini
akan
mendapati
kesulitan
ketika
diperhadapkan dengan self-executing treaty, sedangkan di negara dualist tidak dapat menerima hukum internasional yang bersifat self-executing treaty. Sebagai contoh, negara India merupakan negara dualist yang tidak dapat secara langsung melaksanakan hukum internasional dalam negaranya sehingga selfexecuting treaty tetap harus diubah terlebih dahulu
menjadi
dikeluarkan oleh Selain
suatu
legislasi
yang
treaty,
teori
Parlemen.33
self-executing
dualisme akan mengalami kesulitan juga ketika
diperhadapkan
dengan
hukum
kebiasaan internasional. Di negara Amerika Serikat
yang
menganut
monisme,
international customary law ini telah menjadi bagian dari hukum negara tersebut melalui kasus Erie R.R. Co. v. Thomkins. 34 Hukum kebiasaan internasional tidak menimbulkan masalah monisme hukum berbeda
bagi
negara
menekankan internasional, pada
monisme
sebab
primatnya
pada
namun
negara
ini
dualist
akan yang
Sunil Kumar Agarwal, “Implementation of International Law in India: Role of Judiciary”, hlm. 5. Diunduh dari http://oppenheimer.mcgill.ca/IMG/pdf/SK_Agarwal.pdf pada tanggal 25 Oktober 2015 pukul 14.26 WIB. 34 Curtis A. Bradley dan Jack L. Goldsmith, “Customary International Law As Federal Common Law: A Critique of The Modern Position” Harvard Law Review Vol. 110, hlm. 186. 29 33
menekankan nasional
primatnya
sehingga
internasional
yang
pada
hukum
hukum kebiasaan
menjadi
bagian
dari
hukum internasional tidak akan mendapat tempat di sistem hukum nasional negara dualist. B. Teori Internasionalisme 1. Transnational Legal Process Louis
Henkin
mengatakan,
“almost
all
nations observe almost all principles of international law and almost all of their obligations almost all of the
time”.
35
Pernyataan
memberikan
gambaran
kebanyakan
negara-negara
internasional
dan
Henkin bahwa
tersebut nyatanya
mematuhi
menjalankan
hukum
kewajibannya
hampir setiap saat. Bahkan negara terisolasi, seperti
Korea
Utara
pun
36
,
pasti
tetap
membutuhkan interaksi dengan negara lain dalam proses transnasional ekonomi maupun politik. Namun
pernyataan
merupakan
jawaban
Henkin yang
di
atas
tuntas
bukan untuk
Louis Henkin, “The Constitution and United States Sovereignty: A Century of Chinese Exclusion and Its Progeny” 100 Harv. L. Rev. 853, 1987, hlm. 875. 36 Pada tahun 1993 Korea Utara menghadapi krisis kekurangan energy dan bahan pangan sehingga melakukan kerjasama nuklir dengan Amerika Serikat dengan Jepang. Harold Hongju Koh, “Jefferson Memorial Lecture – Transnational Legal Process after September 11th”, 22 Berkeley J. International Law. 337, 2004, hlm. 8 30 35
menjelaskan
alasan-alasan
kepatuhan
negara
terhadap hukum internasional.37 Umumnya, terdapat 2 alasan dominan yang dipakai
para
sarjana
belakangan
ini
untuk
menjelaskan mengapa negara-negara mematuhi hukum internasional – yaitu interest dan identity.38 Pertama,
negara
akan
taat
kepada
hukum
internasional ketika hukum internasional mampu memenuhi kepentingan nasional jangka pendek maupun panjang yang diwujudkan dalam bentuk strategi kerjasama. Kedua, suatu negara taat terhadap
hukum
internasional
karena
ia
beridentitas negara liberal yang dapat menyerap hukum internasional dalam negaranya. Artinya, semakin tinggi intensitas negara menggunakan hukum internasional, maka semakin lekat ia dengan
label
kapasitas
negara
lebih
liberal
reliable
yang
dalam
memiliki melakukan
hubungan internasional dengan negara lain. Kedua alasan di atas mendapat kritik dari Harold Koh yang menjelaskan alasan kepatuhan negara terhadap hukum internasional sebenarnya tidak sesederhana jawaban “interest”, “identity”, “identity-formation”, society”.
39
ataupun
“international
Hal yang juga harus dilihat dalam
menjawab pertanyaan kepatuhan negara terhadap Harold Hongju Koh, “Transnational Legal Process”, Op.Cit., hlm. 183. 38 Ibid, hlm. 199. 39 Harold Koh, “Why Do Nations Obey International Law?” International Law and Cases Materials: Fifth Edition, MN: Thomson Reuters, 2009, hlm. 13. 31 37
hukum internasional yakni mengenai pentingnya interaksi
dalam
transnational
legal
process,
interpretasi norma internasional, dan internalisasi domestik dari norma tersebut.40 Terkait dengan itu Justice Breyer mengatakan: “[The] transnational law that is being created is not simply a product of treaty-writers, legislatures, or courts. We in America know full well that in a democracy, law, perhaps most law, is not decreed from on high but bubbles up from the interested publics, affected groups, specialists, legislatures, and other, all interacting through meetings, journal articles, the popular press, legislative hearing, and in many other ways. That is the democratic process in action. Legislation typically comes long after this process has been under way. Judicial decisions, particularly from our Court, work best when they come last, after experience has made the consequences of legislation apparent.” 41
Pendapat di atas mengandung pengertian bahwa hukum
transnational
tidak
dipandang
secara
sederhana sebagai suatu produk yang dilahirkan para pihak dalam perjanjian, legislatur, ataupun pengadilan. Lebih dari itu, hukum transnational lahir dari proses kompleks seperti yang disebutkan Justice Breyer di atas, dan proses ini yang kemudian dikonsepsikan dengan “transnational legal
process”
oleh
Harold
Koh
yang
mengembangkannya dari normative theories42. Harold Hongju Koh, “Transnational Legal Process”, Loc. Cit. Harold Koh, “International Law as Part Of Our Law” American Journal of International Law Vol. 98 No. 1, 2004, hlm. 55. 42 Normative theories berargumen bahwa norma qua norma yang mempengaruhi dan menimbulkan perilaku negara-negara. Teori ini memiliki asumsi negara-negara biasanya mematuhi hukum internasional yang diarahkan oleh rasa moral dan kewajiban etis yang berasal dari pertimbangan hukum alam dan 32 40 41
Transnational legal process menggambarkan teori dan praktik tentang bagaimana aktor publik dan
privat–negara,
organisasi
perusahaan
multinasional,
berinteraksi
dalam
domestik
dan
ruang
NGO, publik
internasional,
menginterpretasi,
internasional, perorangan dan
untuk
melaksanakan,
privat,
membuat,
dan
akhirnya
menginternalisasi aturan hukum internasional. 43 Dari kacamata transnational legal process nampak 3 hal yang mencolok yakni dari sisi aktor, ruang lingkup dan tahap proses. Transnational legal process nampak menyetarakan para aktor dalam skopa internasional, dengan kata lain, ia tidak melihat negara sebagai aktor yang kedudukannya tertinggi
seperti
Selain
itu,
menunjukkan
pandangan
klasik
transnational adanya
tradisional.
legal
process
kemungkinan
aktivitas
“naik-turunnya” interaksi dalam ruang domestik dan
internasional
privat.
Juga,
maupun
ruang publik
transnational
legal
dan
process
menjelaskan adanya 3 tahapan proses yang perlu ditempuh dalam teori ini. Pada dasarnya, transnational legal process memiliki 4 karakteristik, yakni:44 1. Non-tradisional Transnational legal process tidak menganut pembedaan
dikotomi
tradisional
antara
keadilan. Markus Burgsstaller, Theories of Compliance with International Law, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2005, hlm 96-102. 43 Harold Hongju Koh, “Transnational Legal Process”, Loc.Cit. 44Ibid. 33
domestik dan internasional, publik dan privat yang dominan diajarkan dalam studi hukum internasional. 2. Non-statis Para aktor dalam proses ini tidak hanya negara namun juga aktor non-negara. 3. Dinamis Transnational
legal
process
mengubah
dari
sektor publik ke privat, tingkat domestik ke internasional, dan bergerak terus sebaliknya. 4. Normatif Dari interaksi proses ini, aturan baru yang diinterpretasi, diinternalisasi, dan dilaksanakan itu diciptakan. Koh menjelaskan lebih lanjut bahwa proses hukum transnasional ini bekerja dalam 3 tahap proses
yang
pada
akhirnya
menghasilkan
kepatuhan negara terhadap hukum internasional yakni norma.
interaksi, 45
menjelaskan
interpretasi,
Transnational bagaimana
dan
legal
internalisasi process
norma
ini
hukum
internasional diinterpretasi melalui interaksi dari aktor-aktor
transnasional
yang
kemudian
diinternalisasi dan diimplementasi dalam sistem hukum internasional. Seperti contoh dalam kasus Thompson v. Oklahoma, pendapat Justice John Paul Stevens membatalkan hukuman mati untuk terpidana berumur 15 tahun dengan melihat pada larangan eksekusi minor di Soviet Union dan 45
Harold Koh, “International Law as Part Of Our Law”, Loc.Cit. 34
negara-negara
Eropa
Barat.
Melalui
46
contoh
tersebut dapat dilihat bahwa hakim mengeluarkan suatu
produk
hukum
dengan
merujuk
pula
sumber hukum di negara lain. Rujukan tersebut merupakan bentuk interaksi yang dimaksud Koh, yang kemudian interaksi itu berlanjut dengan proses
interpretasi
situasi
yang
nasionalnya,
disesuaikan
lalu
diikuti
dengan dengan
internalisasi atau keberlakuan norma tersebut. Hal
yang
perlu
ditekankan
dalam
memandang teori ini adalah teori ini tidak berada dalam suatu sisi yang berfokus pada “horizontal jawboning”
yang
mengatur
negara-negara
pada
secara
lebih
luas
level
hubungan
yang
berfokus
sama, pada
antar namun “vertical
domestication” dimana norma hukum internasional ditarik
ke
dalam
sistem
hukum
domestik.
47
Internalisasi norma hukum internasional ke dalam sistem hukum domestik ini memberi porsi peran signifikan yang dimainkan oleh pengadilan untuk membuat warga negara beserta pemerintah patuh terhadap
hukum
internasional,
termasuk
di
dalamnya international customary law.48 Transnational legal process ini kemudian melahirkan kategori transnationalist judges yang 46Ibid,
hlm. 46. Harold Koh, “1998 Frankel Lecture: Bringing International Law Home” Yale Law School Faculty Scholarship Series Paper 2102, 1998, hlm. 626. 48 Eric A. Posner, “Transnational Legal Process and the Supreme Court’s 2003-2004 Term: Some Skeptical Observations” 12 Tulsa Journal of Comparative and International Law 23, 2004, hlm. 26. 35 47
memiliki karakteristik berbeda dengan nationalist judges dimana:49 a. Hakim
transnationalist
melihat
pada
ketergantungan negara (sifat interdependensi), dimana
hakim
nationalist
melihat
pada
kemandirian negara (sifat otonom); b. Hakim
transnationalist
hukum
nasional
berpikir
dapat
bagaimana
sesuai
dengan
framework hukum transnasional, dimana hakim nationalist melihat pada pembedaan domestik dan internasional secara rijid; c. Hakim
transnationalist
pengadilan
dapat
berpikir
mendomestikkan
bahwa hukum
internasional, dimana hakim nationalist berpikir bahwa
kekuasaan
sah
hanya
berasal
dari
kelompok politikal; d. Hakim
transnationalist
melihat
pada
perkembangan sistem hukum global, dimana hakim nationalist fokus lebih sempit pada perkembangan sistem legal nasional; e. Hakim transnationalist yakin bahwa kekuasaan eksekutif
dapat
dibatasi
oleh
pengadilan,
dimana hakim nationalist yakin bahwa tindakan diskresi eksekutif merupakan suatu tindakan yang diagung-agungkan. Bila dilihat dari karakteristik di atas, maka hakim
transnationalist
lebih
membuka
pintu
masuk hukum domestik untuk menerima “asupan” 49 Harold Hongju Koh and William Michael Treanor, “Keynote Address, A Community of Reason and rights” 77 Fordham L. Rev. 583, 2008, hlm. 596. 36
norma-norma hukum internasional sesuai dengan kebutuhannya nasional.
Hal
pandangan
dalam
tataran
tersebut
bahwa
domestik
atau
dilatarbelakangi
oleh
hukum
internasional
dan
hukum nasional memiliki korelasi yang relevan dalam suatu aspek yang tertentu. Maka secara keseluruhan, dapat ditarik kesimpulan bahwa transnational legal process merupakan suatu teori yang
menjelaskan
alasan
kepatuhan
negara
terhadap hukum internasional yang berawal dari suatu
fase
interaksi,
yang
secara
luas
juga
mencakup di antaranya alasan kepentingan atau kebutuhan suatu negara atau entitas lainnya, yang kemudian
menuju
fase
interpretasi
terhadap
norma dalam hukum internasional, dan berakhir pada fase internalisasi norma tersebut ke dalam sistem hukum nasional. 2. International Constitution Konstitusionalis internasional menggunakan konstitusionalisme sebagai kerangka otonomi bagi hukum
internasional
dan
pemerintahan
atas
negara-negara. 50 Hal tersebut lahir atas tuntutan globalisasi dan fragmentasi hukum internasional seiring.
51
Artinya,
perkembangan
globalisasi
menghasilkan perjanjian kerjasama dari interaksi transnasional
sehingga
membutuhkan
norma
Thomas Kleinlein, “Alfred Verdross as a Founding Father of International Constitutionalism?” Goettingen Journal of International Law 4, 2012, hlm. 414. 51 Jeffry L. Dunoff dan Joel P. Trachtman, Ruling The World? Constitutionalism, International Law, and Global Governance, New York: Cambridge University Press, 2009, hlm. 5. 37 50
hukum internasional yang lebih padat. Selain itu, konstitusionalisasi sebagai
respon
internasional terhadap
dipandang
fragmentasi
hukum
internasional dimana konstitusionalisasi menjadi solusi memberikan institusi legislatif dan ajudikatif yang
sentralistik
untuk
mengisi
potensi
kekosongan dalam institusi tersebut. Konsep international constitution dapat dilihat dari pemikiran Sarah H. Cleveland. Bangunan konsep ini tidak membahas mengenai apakah hukum
internasional
dapat
berlaku
secara
langsung atau tidak pada area domestik namun pada penekanan hukum internasional sebagai alat interpretasi. 52 Seperti contoh, kasus Republic v. Gorman
and
Others
dimana
Supreme
Court
menggunakan
United
Nations
Convention
on
Narcotic Drugs and Psychotropic Substance sebagai alat
interpretasi
HAM
internasional
guna
menyeimbangkan kepentingan individu dan publik di tengah masyarakatnya. 53 Penggunaan hukum internasional tersebut dilatarbelakangi hukum dan kebijakan nasional belum mampu memberikan interpretasi
yang
cukup
memadai
dalam
isu
perlindungan terhadap klaim kepentingan dan hak
Sarah H. Cleveland, Op.Cit., hlm. 10. Emmanuel K. Quansah, “An examination of the use of international law as an interpretative tool in human rights litigation in Ghana and Botswana” International Law and Domestic Human Rights Litigation in Africa, Cape Town: Pretoria University Press, 2010, hlm. 67. 38 52 53
seorang
warga
negara
sehingga
54
hukum
internasional dipandang sebagai guidance atau pedoman alat interpretasi yang lebih memadai 55 . Pada konstruksi berpikir mengenai penggunaan hukum
internasional
sebagai
alat
interpretasi
inilah, konsep international constitution bekerja. Konsep menunjukkan
international bahwa
constitution
penggunaan
hukum
internasional dalam hukum nasional bukanlah praktik yang baru dan praktik tersebut memiliki dasar legitimasi yang jelas. Secara historis, peran hukum
internasional
sudah
dianggap
penting
dalam setiap perkembangan jaman. Dimulai pada era hukum internasional kuno dan primitif, Gaius menyebutkan istilah “law ‘common to all men’” dimana hukum yang dimaksud adalah hukum internasional yang dipandang sebagai salah satu bagian dari hukum alam yang notabene adalah hukum tertinggi yang bersifat universal. 56 Di era hukum
internasional
tradisional,
Perjanjian
Westphalia melahirkan prinsip-prinsip territorial dan otonomi negara namun hukum internasional masih
dipandang
sebagai
kesepakatan
antara
Dunia P. Zongwe, “Equality Has No Mother But Sisters: The Preference for Comparative Law Over International Law in The Equality Jurisprudence in Namibia”, International Law and Domestic Human Rights Litigation in Africa, Cape Town: Pretoria University Press, 2010, hlm.1 67. 55 Eyal Benvenisti, “Judicial Misgivings Regarding The Application of International Law: An Analysis of Attitudes of National Courts” 4 EJIL 159-183, 1993, hlm. 3. 56 Harold Hongju Koh, "Why Do Nations Obey International Law?",Op.Cit., hlm. 7. 39 54
pemegang kedaulatan atau negara yang menuntut ketaatan
dari
masing-masing
hukum internasional itu.
57
pihak
terhadap
Berlanjut pada era
dualistik, terdapat pandangan yang
mengakui
bahwa hukum internasional digunakan jika negara memiliki
kepentingan
(self
interest).
58
Di
era
institusi menunjukkan kuatnya aliran positivistik yang lahir dari lembaga-lembaga internasional seperti the United Nations, the World Bank, the Internasional perjanjian satunya
Monetary
Fund
internasional untuk
yang
dengan
mengatasi
mengatur
tujuan
salah
masalah-masalah
global.59 Era interdependence dan transnationalism menandai bahwa interaksi lintas batas negara mulai
dikembangkan
oleh
pihak
non-negara
(seperti individu, perusahaan multinasional, dan non-governmental organizations (NGO)).60 Di era ini, para pihak menyadari bahwa penggunaan hukum internasional pada akhirnya melahirkan functional benefits bagi setiap pihak seperti yang disebutkan pada The Algerian Constitution pada Article 28 bahwa
suatu
kerjasama
internasional
dan
hubungannya dengan negara lain didasarkan pada mutual interest.61 Dari serangkaian sejarah di atas, Ibid, hlm. 10. “Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspektif Filsafat Hukum” Jurnal Hukum No. 3 Vol. 18, 2011, hlm. 414. 59 Harold Koh, Op.Cit., hlm. 17. 60 Ibid, hlm. 27. 61 Lihat juga pada Article 73 the Constitution of Ghana yang menyebutkan bahwa “The government shall conduct its international affairs in consonance with accepted principless of public 40 57
58Sefiani,
maka nampak sebenarnya praktik penggunaan hukum internasional sudah dilakukan sejak lama. Ini
sekaligus
menyanggah
mengatakan
bahwa
pandangan
penggunaan
yang hukum
internasional adalah praktik yang baru. Selain itu, konsep
international
constitution
menjelaskan
penggunaan hukum internasional memiliki dasar legitimasi yang jelas. Pertama, konstitusi beberapa negara secara langsung
memasukkan
internasional. Afrika
62
Selatan
Serikat
64
63
yang
konsep
hukum
Mengambil
contoh
Konstitusi
maupun
Konstitusi
Amerika
memberi
ketentuan
eksplisit
mengenai keberlakuan hukum internasional di wilayah domestiknya. Bunyi Konstitusi tersebut memberi shortcut bagi pengadilan untuk langsung menggunakan hukum internasional dengan teknik incorporation dalam praktik yudisial di wilayah domestik. Biasanya, shortcut tersebut diciptakan karena
pemerintah
merasa
lebih
sadar
akan
kebutuhan untuk membangun hubungan yang konstruktif antara hukum nasional dan hukum internasional.65 Kedua, bagi negara yang tidak memiliki ketentuan
eksplisit
pada
konstitusinya
untuk
international law and diplomacy in a manner consistent with the interest of Ghana.” 62 Sarah H. Cleveland, Op.Cit.,hlm. 7. 63 Article 39 (1) South Africa Constitution. 64 Article 6 The Constitution of the United Nations of America. 65 Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Oxford: Oxford University Press, 1987, hlm. 52. 41
memberi
otorisasi
penggunaan
hukum
internasional di wilayah domestik, bukan berarti negara tersebut kehilangan kemampuannya untuk menggunakan hukum internasionalnya. Sepanjang pengadilan memahami terdapat keinginan implisit dari konstitusi untuk mengupayakan penggunaan hukum internasional, maka penggunaan hukum internasional dipandang sebagai suatu “paket” hak dari kedaulatan negara untuk terikat pada hukum internasional yang applicable di negara tersebut.66 Semisal dalam suatu hal, ketentuan konstitusional mengenai teritori sangat sulit untuk dijabarkan secara tekstual sehingga hukum internasional memiliki
peran
dalam
membatasi
ketentuan
konstitusional mengenai teritori tersebut. Ketiga, penggunaan hukum internasional ditujukan untuk memperkuat ketentuan mengenai hak-hak
individual.
internasional
67
Dalam
membantu
hal
ini, hukum
menyediakan
prinsip-
prinsip dasar kepada pengadilan dalam pencarian nilai fundamental pada teks konstitusional.
68
Kekuatan mengikat dari hukum internasional lahir dari kepentingan negara yang membutuhkan bukti seperti
pendapat,
umum
dari
aturan,
masyarakat
maupun
nilai-nilai
internasional
sesuai
Sarah H. Cleveland, Op.Cit, hlm. 33. Ibid, hlm. 63. 68 Hal ini juga merupakan suatu trend international constitution dalam peningkatan moralitas secara universal. Oliver Diggelmann dan Tilmann Altwicker, “Is There Something Like a Constitution of International Law?: A Critical Analysis of the Debate on World Constitutionalism” ZaoRV 68, 2008, hlm. 625-627. 42 66 67
dengan
proporsinya.
Sangat
mungkin
apabila
kasus-kasus HAM berangkat dari tradisi hukum alam yang dianut konstitusinya sehingga berlaku pula konsep hukum yang universal.69 Ketiga
alasan
di
atas
menjadi
dasar
legitimasi penggunaan hukum internasional dalam wilayah nasional. Jadi dapat dilihat bahwa dasar legitimasi tersebut sebenarnya tidak menempatkan hukum internasional superior terhadap konstitusi suatu negara, melainkan menyejajarkan posisi hukum internasional dengan konstitusi dengan konteks hukum internasional mampu melengkapi jalannya konstitusi dalam praktik penyelenggaraan suatu negara. Hal tersebut sekaligus menepis anggapan bahwa
penggunaan
hukum
internasional
menentang demokrasi nasional. Pertentangan yang mungkin muncul berasal dari pendapat bahwa hukum
internasional
akan
mengontrol
atas
pemerintah yang sudah dipilih oleh rakyat.70 Meski disadari bahwa hukum internasional merupakan produk “impor” yang berasal dari sisi eksternal suatu negara, namun hal tersebut tidak secara langsung ditangkap oleh negara untuk diserap secara “gelondongan”. Hukum nasional memiliki kewenangan untuk menentukan prinsip-prinsip hukum
internasional
mana
yang
applicable
69 Lihat kasus Downes v. Bidwell dimana kasus tersebut menempatkan sumber hukum alam sebagai hak yang fundamental. 70 Sarah H. Cleveland, Op.Cit., hlm. 101. 43
terhadap sistem hukum nasionalnya. Jadi hukum internasional
tidak
bisa
menentukan
sendiri
hubungannya dengan sistem konstitusional suatu negara tanpa melibatkan variabel internal dari negara itu sendiri. Dalam hukum
rangka
internasional
tindakan konsep
abusive
supaya
terhadap
international
prinsip-prinsip
memandu
tidak
menjadi
hukum
constitution
umum
penggunaan
yang
nasional,
memberikan sebaiknya
dipertimbangkan pengadilan ketika merujuk pada hukum interansional. 71 Pertama, pengadilan perlu melihat pada
penerimaan sistem konstitusional
suatu negara dalam mempertimbangkan aturan internasional. Kedua, seberapa baik suatu norma internasional
terjabarkan
dan
diterima
secara
universal. Ketiga, kriteria pembatasan-pembatasan di dalam hukum internasional itu sendiri. Dengan ketiga hal di atas, maka pengadilan diharapkan dapat
menyaring
mana
yang
dapat
aturan-aturan diterapkan
internasional
dalam
wilayah
nasional. Secara
garis
besar,
konsep
international
constitution ini menegaskan bahwa suatu negara dapat menggunakan hukum internasional dalam situasi baik konstitusi memberi otoritas secara eksplisit maupun implisit dalam teksnya. Meski demikian, primacy tidak kemudian diletakkan pada hukum internasional karena negara memiliki sisi 71
Ibid, hlm. 107. 44
dimana ia menggunakan sistem hukumnya untuk menentukan
hukum
internasional
mana
yang
dapat diterapkan dalam wilayah yurisdiksinya dengan beberapa prinsip yang telah diutarakan sebelumnya.
45