Bab IV Aplikabilitas Teori Internasionalisme
Bab ini akan membahas secara umum mengenai dasar keberlakuan hukum internasional di depan pengadilan
domestik
atau
nasional
berdasarkan
otorisasi implisit dari konstitusi Indonesia dan secara khusus
mengargumentasi
aplikabilitas
teori
internasionalisme sebagai dasar normativitas untuk keberlakuan tersebut. Dengan demikian kesimpulan yang
hendak
dijustifikasi
di
sini
adalah
konsep
konstitusi Indonesia jauh lebih besar atau lebih luas daripada sekadar teksnya, konstitusi formal, yaitu UUD NRI 1945. Di dalam konsepsi yang lebih luas tersebut dapat dikonstruksikan pengertian bahwa semangat internasionalisme inheren dalam konstitusi Indonesia, meskipun sangat implisit. Inilah dasar argumen dari penelitian ini dalam mengargumentasi bahwa teori internasionalisme
aplikabel
di
dalam
konstitusi
Indonesia untuk selanjutnya mengotorisasi penggunaan hukum internasional di depan pengadilan domestik atau nasional Indonesia. Lebih jauh lagi, hal ini menjustifikasi
tindakan
hakim-hakim
pengadilan
Indonesia, khususnya MK RI, untuk menggunakan hukum
internasional,
terutama
supaya
hukum
nasional Indonesia, undang-undang, harmonis dengan tuntutan kewajiban internasionalnya. Pendekatan
yang
digunakan
dalam
Bab
ini
adalah pendekatan historis dengan menilik sejarah 64
pembentukan konstitusi di Indonesia. Analisis yang dilakukan bersifat kontekstual untuk menghasilkan kesimpulan digunakan
bahwa di
teori
negara
internasionalisme
Indonesia.
Dalam
dapat konteks
demikian maka pembahasan Bab ini diarahkan pada tiga hal. Pertama, pemahaman tekstual dari konstitusi Indonesia
mengenai
isu
ini
(kedudukan
hukum
internasional di depan pengadilan nasional). Kedua, pemikiran
yang
melatarbelakangi
pembentukan
konstitusi Indonesia dengan melihat kemungkinan daya dukung pemikiran yang ada untuk aplikabilitas teori internasionalisme.
Ketiga,
menjelaskan
implikasi
temuan ini dalam praktik pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh MKRI. A.Konstitusi Indonesia Konstitusi
Republik
Indonesia
(RI)
telah
mengalami 3 fase rezim hukum yang berbeda yakni rezim UUD 1945, UUD NRI Tahun 1945S 1949, dan UUD
1950.
1
Pada
tahun
1959,
UUD
1945
diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden dengan empat kali perubahan yang terjadi di tahun 19992002. Dalam beberapa fase yang dialami UUD NRI Tahun
1945,
menyebutkan
nampak secara
satu-satunya
eksplisit
pasal
mengenai
yang
hukum
internasional dalam arti sempit, yaitu perjanjian internasional, adalah Pasal 11.
1 Damos Dumoli Agusman, “Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945” Opinio Juris Vol. 4, 2012, hlm. 1. 65
Hukum internasional dalam UUDS RI 1950 dinyatakan dalam Bagian 5 perihal Hubungan Luar Negeri yang terdiri dari 4 Pasal sebagai berikut: ∑ Pasal 120 (1) “Presiden mengadakan dan mengesahkan perdjandjian (traktat) dan persetudjuan lain dengan Negara-negara lain. Ketjuali djika ditentukan lain dengan undang-undang, perdjandjian atau persetudjuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetudjui dengan undang-undang.” (2) “Masuk dalam dan memutuskan perdjandjian dan persetudjuan lain, dilakukan oleh Presiden hanja dengan kuasa undang-undang.”
∑ Pasal 121 “Berdasarkan perdjandjian dan persetudjuan jang tersebut dalam pasal 120, Pemerintah memasukkan Republik Indonesia kedalam organisasi-organisasi antar-negara.”
∑ Pasal 122 “Pemerintah berusaha memetjahkan perselisihan-perselisihan dengan negara-negara lain dengan djalan damai dan dalam hal itu memutuskan pula tentang meminta ataupun tentang menerima pengadilan atau pewasitan antar-negara.”
∑ Pasal 123
“Presiden mengangkat wakil-wakil Republik Indonesia pada Negara-negara lain dan menerima wakil negara-negara lain pada Republik Indonesia.”
Sedangkan
Undang-Undang
Dasar
Republik
Indonesia Tahun 1945 pada Pasalnya yang ke-11 mengalami perubahan setelah amandemen ke-3 di Sidang Tahunan MPR pada tanggal 10 November 2001 dengan penambahan ayat (2) dan (3) seperti berikut: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” (2) “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau (1)
66
pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” (3) “Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-Undang.”
Apabila dicermati, bunyi kedua Pasal 11 di atas hanya
mengatur
hubungannya terkait
kewenangan
dengan
perjanjian
dewan
presiden
perwakilan
internasional
yang
dan rakyat
dibuatnya,
namun Pasal a quo tidak menjelaskan isu yang lebih luas dan fundamental yakni mengenai posisi hukum internasional di ruang lingkup hukum nasional. Isu tersebut juga tidak terjawab melalui teori Stufenbau dari Hans Kelsen yang dianut Indonesia dalam membangun secara bertingkat sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan. 2 Berbeda halnya dengan Konstitusi Afrika Selatan yang telah dianggap sebagai salah satu konstitusi negara paling progresif karena telah menentukan secara tegas posisi hukum internasional di pengadilan nasional.3 Ketiadaan norma eksplisit dalam UUD NRI Tahun 1945 ini menciptakan inkonsistensi Indonesia yang ditunjukkan dengan beragam pendapat para ahli
hukum
dan
praktik
kedudukan
hukum
pengadilan
nasional.
pengadilan
internasional Wisnu
Aryo
di
terkait depan Dewanto
merupakan salah satu yang menganggap Indonesia adalah negara dualis karena perjanjian internasional Damos Dumoli Agusman, “Indonesia dan Hukum International: Dinamika Posisi Indonesia terhadap Hukum Internasional” Jurnal Opinio Juris Vol. 15, 2014, hlm. 35. 3 Edwin Cameron, “Constitutionalism, Rights, and International Law: The Glenister Decision” Duke Journal of Comparative & International Law Vol. 23, 2013, hlm. 389. 67 2
bukanlah salah satu sumber hukum yang diakui dalam
hierarki
peraturan
perundang-undangan
sehingga perlu berintegrasi dengan sistem hukum nasional melalui proses transformasi. 4 Wisnu Aryo Dewanto mendasarkan argumennya pada ketiadaan norma eksplisit dalam Konstitusi, dan eksistensi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang tidak terlepas dari Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tentang Pembuatan Perjanjian-Perjanjian
dengan
Presiden
merupakan
tersebut
Negara
Lain.
adopsi
Surat model
Konstitusi Belanda yang dinyatakan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi oleh karena munculnya
praktik
penyimpangan
dalam
melaksanakan Surat Presiden tersebut. 5 UU No. 24 Tahun 2000 muncul menggantikan Surat Presiden
4 Wisnu Aryo Dewanto, “Perjanjian Internasional Tidak Dapat Diterapkan Secara Langsung Di Pengadilan Nasional: Sebuah Kritik Terhadap Laporan DELRI Kepada Komite ICCPR PBB Mengenai Implementasi ICCPR di Indonesia” Jurnal Hukum StaatRechts Vol. 1, 2014, hlm. 20. Hal sama juga dikemukakan oleh Pan Mohammad Faiz Kusuma Wijaya, “Pengujian UndangUndang yang Mengesahkan Perjanjian Internasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 di Hadapan Mahkamah Konstitusi” Jurnal Konstitusi Vol. 3 No. 1, 2006, hlm. 181-198. 5 Pada awalnya, UUD 1945 merujuk pada Konstitusi Meiji yang tidak mengenal pembedaan jenis perjanjian. DPR menjadi kewalahan untuk menangani banyaknya perjanjian yang dibuat kemudian melirik Konstitusi Belanda yang membuat kriteria tentang mana perjanjian yang harus mendapat persetujuan parlemen, ini transplantasi hukum dan praktik Indonesia yang menggunakan dasar konstitusional Jepang namun mengembangkan model Konstitusi Belanda. Damos Dumoli Agusman, “Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945”, Op.Cit., hlm. 6. 68
tersebut,
6
namun Undang-Undang ini mendapat
kritik dari Dumoli Agusman terkait proses ratifikasi yang
diatur
di
dalamnya.
7
Pandangan
lain
disampaikan oleh Simon Butt yang mengemukakan bahwa Indonesia tidak hanya dualis tapi juga monis.8 Kesimpulan Butt tersebut ditarik dari praktik-praktik hakim di pengadilan yang tidak seragam, sehingga menciptakan realita mixed theories dalam suatu negara. Ini semakin menunjukkan bahwa sebenarnya teori monisme-dualisme sudah tidak relevan lagi untuk
menjustifikasi
praktik
negara
dalam
menggunakan hukum internasional di negaranya. Keberagaman
cara
pandang
dan
praktik
pengadilan nasional memberi implikasi keraguan dunia internasional terhadap seberapa besar tingkat kepatuhan Indonesia terhadap hukum internasional. Natalie Pierce, delegasi dari negara New Zealand dalam
pertemuan
ke-27
International
Law
Commission’s Annual Report, mengatakan bahwa sebuah konstitusi suatu negara mengambil peran penting untuk melegitimasi the provisional application of
treaties
supaya
tidak
terjadi
inkonsistensi
Konsideran dan Penjelasan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 7 Disebutkan Undang-Undang ini menyatukan prosedur ratifikasi internal dengan ratifikasi eksternal padahal suatu perjanjian internasional dalam prosedur eksternal ratifikasi, bukan disahkan oleh undang-undang maupun keputusan presiden, melainkan melalui pengiriman instrument of ratification/accesion/acceptance/approval yang dibuat oleh menteri luar negeri. Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 76-78. 8 Simon Butt, Op.Cit., hlm. 5. 69 6
pelaksanaan kewajiban internasional dan hukum domestik dalam praktiknya.9 UUD NRI Tahun 1945 memang tidak memuat ketentuan eksplisit yang menjelaskan kedudukan hukum internasional dalam pengadilan nasional, namun sebenarnya ini tidak berarti bahwa tidak ada dasar
normativitas
untuk
penerapan
hukum
internasional pada aras domestik. Kebutuhan akan hukum internasional di depan pengadilan nasional terus muncul sehingga dasar normativitas tersebut perlu ditemukan dalam UUD NRI Tahun 1945, meskipun
secara
implisit.
Dengan
kata
lain,
pemahaman terhadap UUD NRI Tahun 1945 tidak lagi sebatas tekstual tapi beyond the text itself. B.Dukungan
untuk
Keberlakuan
Teori
Internasionalisme dalam Konstitusi Indonesia Sejarah pembentukan UUD NRI Tahun 1945 menunjukkan keinginan Indonesia untuk berlaku sesuai dengan hukum internasional sebagai bagian dari komunitas internasional. Dengan penelusuran sejarah,
teori
internasionalisme
memiliki
dasar
keberlakuan yang sah di Indonesia meski UUD NRI Tahun 1945 tidak menyatakan secara eksplisit dalam teksnya. Keinginan negara Indonesia untuk berlaku selaras dengan hukum internasional ditunjukkan 9 Diunduh dari http://www.un.org/press/en/2014/gal3492.doc.htm pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 23.45 WIB.
70
dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “[U]ntuk
membentuk
suatu
Pemerintah
Negara
Indonesia yang… ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 merupakan norma dasar bernegara (staatsfundamentalnorm) yang menggambarkan citacita negara bangsa yang di dalamnya juga terdapat Pernyataan Kemerdekaan.10 A.S.S. Tambunan dalam suatu
pengantar
diskusi
mengenai
UUD
1945
mengutarakan bahwa Pembukaan atau pembukaan mendasari sistem konstitusi dan mengikat sistem kenegaraan sehingga tingkatan Pembukaan UUD 1945 adalah di atas batang tubuh karena terdapat rumusan pokok-pokok pikiran bangsa di dalamnya.11 Bung Hatta mengatakan bunyi Pembukaan Konstitusi di atas merupakan pedoman politik luar negeri
bebas
aktif
yang
dijalankan
negara
Indonesia. 12 Yang dimaksud dengan “bebas” adalah Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila, sedangkan “aktif” berarti di dalam menjalankan Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 3. 11 Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, Bung Karno dan Pancasila: Menuju Revolusi Nasional, Yogyakarta: Galang Press Yogyakarta, 2002, hlm. 462. 12 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 91. 71 10
kebijakan luar negerinya, Indonesia tidak bersikap pasif-reaktif
atas
kejadian-kejadian
internasional
melainkan bersikap aktif.13 Politik luar negeri bebas aktif tersebut termanisfestasi sejak pembentukan gerakan
non-blok
yang
berkembang
atas
dasar
Konferensi Bogor dan Kolombo di tahun 1954 lalu Konferensi
Asia
Afrika
dengan
hasil
Dasa
Sila
Bandung dimana Soekarno beserta tokoh lainnya menyatakan
upayanya
untuk
mencegah
memuncaknya perang dingin antara dua blok negara adidaya
dengan
mengajukan
alternatif-alternatif
terhadap penyelesaian berbagai masalah dunia.14 Juga melalui Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945, Indonesia dengan
menyadari negara
bernegaranya.
lain
Hal
pentingnya dalam
tersebut
berhubungan
penyelenggaraan
tidak
terlepas
dari
sejarah di era lahirnya kemerdekaan Indonesia ketika pemerintah berusaha berinteraksi dengan bangsabangsa untuk mendapat pengakuan internasional. Kementerian
Luar
Negeri,
sebagai
salah
satu
kementerian paling pertama yang didirikan, mengirim diplomat Indonesia yakni Agus Salim dan Sutan Sjahrir berulang kali menghadiri rapat Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk
membahas
“Persoalan
Indonesia” (Indonesian Question) 15 untuk mendapat
Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm. 60. 14 S. Sularto, Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001, hlm. 92. 15 Chapter V. Subsidiary Organs of The Security Council, hlm. 183. Diunduh dari www.un.org/en/sc/repertoire/46-51/4672 13
dukungan internasional. Proses interaksi tersebut terus berlanjut sampai pada akhirnya Indonesia menjadi negara anggota PBB. 16 Senada dengan hal tersebu, Soekarno dalam Kursus tentang Pancasila di Istana
Negara
menyebutkan
tanggal
Indonesia
22
Juli
sebagai
1958
aan
den
yang lijve
ondervinden bahwa “.. tak dapat kita melepaskan diri kita dari bekerja sama dengan bangsa-bangsa yang juga menentang imperialisme”.17 Kesadaran kesatuan
Indonesia
besar
komunitas
sebagai
bagian
internasional
dari juga
ditunjukkan melalui naskah-naskah persiapan UUD NRI
Tahun
1945
18
yang
juga
memperlihatkan
Indonesia menerima manfaat hukum internasional tidak hanya dalam Mukadimmah UUD NRI Tahun 1945 namun dalam pokok-pokok pikiran poin 3 dan 4 terkait hal pengakuan internasional dan HAM.19 51_05.pdf#page=5 pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 04.50 WIB. 16 Ditunjukkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 491 (V) (1950) tentang Penerimaan Republik Indonesia untuk Keanggotaan PBB pada tanggal 28 September 1950. 17 Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, Op.Cit., hlm. 171. 18 “Kekuatan kejakinan bangsa Indonesia dalam membentuk dan memelihara bangunan unitaris dan gemanja dalam pembentukan masjarakat bangsa-bangsa sedunia dan sepandjang masa.” Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, 1960, hlm. 70. 19 Ibid., hlm. 565. Pokok Pikiran poin 3, “Bahwa kekuasaan Pemerintah Negara dipusatkan pada Presiden dan Wakil Presiden jang bertanggungdjawab pada Madjelis Permusjawaratan Rakyat, sesuai dengan permulaan revolusi dimana Soekarno-Hatta dipertjaja oleh rakjat mengumumkan pernjataan kemerdekaan Indonesia kepada dunia internasional”, Pokok Pikiran poin 4, “Bahwa hak-hak asasi serta kebebasan-kebebasan manusia berlaku bagi warga-negara atau dengan singkat Republik Proklamasi adalah negara dari rakjat oleh rakjat untuk rakjat.” 73
Hukum perluasan
internasional
masuknya
perwujudan menjunjung
butir-butir
kehendak tinggi
berperan
Negara
dalam
HAM
sebagai
Indonesia
nilai-nilai
HAM
dalam
sekaligus
menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang lebih beradab dari pergaulan internasional. 20 Tidak dapat dipungkiri bahwa butir-butir HAM pada Pasal UUD NRI Tahun 1945 merupakan jelmaan dari Universal
Declaration
of
Human
Rights
21
yang
kemudian tertuang dalam Bab XA mengenai HAM dari Pasal 28A-28J, sehingga jelas bahwa hukum internasional memberikan sumbangsih besar dalam konstruksi hukum HAM dalam UUD NRI Tahun 1945. Pidato Pancasila yang disampaikan Soekarno pada Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 sebelum kemerdekan Indonesia turut menjadi bukti yang menunjukkan
bahwa
kemerdekaan
Indonesia
sebenarnya juga tidak terlepas dari peran hukum internasional yang memberikan kemudahan syarat berdirinya suatu negara. Soekarno dalam pidatonya menyatakan, “… Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengakui suatu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat-syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak! Syaratnya
20 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Op.Cit., hlm. 249. 21 Jelmaan dalam arti mengikuti model UDHR. Muhammad Yamin, Op.Cit., hlm. 661. 74
sekadar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht.”22
Soekarno menggunakan prinsip dasar hukum internasional supaya mendorong lahirnya gerakangerakan
nasionalisme
untuk
memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Pidato tersebut sekaligus menjadi
momentum
lahirnya
Pancasila
sebagai
falsafah bangsa yang sebenarnya tidak terlepas dari sumbangan konstruksi pemikiran dari para Filsuf Barat yang digunakan yaitu Friedrich Hegel, Karl Marx, Darwin-Haeckel, dan Immanuel Kant. 23 Juga, hukum
internasional
memberi
pengaruh
dalam
menciptakan ruh dalam sila-sila di Pancasila, seperti sila peri-kerakyatan. Istilah internasional demokrasi digunakan
sebagai
panutan
peri-kerakyatan
di
negara Indonesia, bahwa persamaan hak dalam masyarakat dan lingkungan negara adalah intisari dari kerakyatan atau demokrasi. 24 Selain itu juga, sila
peri-kemanusiaan
yang
tidak
mengenal
perbatasan nasional karena sifatnya lebih tinggi. Dari ulasan historis di atas, dapat disimpulkan bahwa proses kemerdekaan Indonesia sampai proses pembentukan Konstitusi melibatkan peran hukum internasional. Hukum internasional memberi prinsip Hal serupa diungkapkan oleh Soepomo dalam Sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Floriberta Aning, Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006, hlm. 57. 23 Ajaran para filsuf barat telah memberi pengaruh bagi Konstitusi RI dalam hal Pembukaan, Pembagian Kekuasaan, HAM, dan Pancasila. Muhammad Yamin, Op.Cit., hlm. 75. 24 Ibid., hlm. 73. 75 22
dasar berdirinya negara yang digunakan Soekarno untuk mendorong kemerdekaan Indonesia, hukum internasional memberi pengaruh dalam menciptakan ruh
Pancasila
sebagai
falsafah
negara,
hukum
internasional juga memberi tuntunan bagi Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka dalam satu kesatuan masyarakat internasional yang termaktub dalam preamble UUD NRI Tahun 1945. Lebih lanjut Soekarno menerangkan dalam Pidato Pancasila-nya, “Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu dan punya bahasa satu, tetapi Indonesia hanya satu bagian kecil dunia. Kita akan mendirikan Negara Indonesia merdeka sekaligus menuju pada kekeluargaan bangsabangsa, internasionalisme tidak berarti kosmopolitisme yang meniadakan bangsa. Internasionalisme tidak dapat hidup subur bila tidak berakar di bumi nasionalisme, sedangkan nasionalisme tidak dapat hidup di taman sarinya internasionalisme. Prinsip pertama dan kedua saling bergandengan.”
Hal yang sama diuraikan Antonio Cassese, “International law cannot stand on its own feet without its “crutches”, that is … international law cannot work without the constant help, cooperation, and support of national legal systems. As the German jurist, H. Triepel, observed in 1923, international law is like a field marshal who can only give orders to generals. It is solely through the generals that his orders can reach the troops. If the generals do not transmit them to the soldiers in the field, he will lose the battle.” 25
Statement menunjukkan
25
Soekarno hukum
dan
Cassese
internasional
dan
di
atas
hukum
Simon Butt, Op.Cit., hlm. 3. 76
nasional merupakan dua variabel yang tidak bisa berjalan
sendiri-sendiri
melainkan
saling
membutuhkan satu sama lain. Pernyataan bung Karno di atas menegaskan bahwa hukum nasional tetap memiliki kedaulatannya sendiri dengan ruang lingkup berbeda dengan hukum internasional. Internasionalisme
yang
sejati
adalah
pernyataan dari nasionalisme dimana setiap bangsa menghargai dan menjaga hak-hak semua bangsa dengan kedudukan yang sama derajatnya dalam suatu
badan
internasional.
26
Sedangkan
nasionalisme bangsa Indonesia adalah nasionalisme yang tidak bertentangan dengan internasionalisme, yaitu internasionalisme yang anti-kolonial, dan ingin hidup
berdampingan
demikian, membentuk
negara moral
secara
damai.
Indonesia nasional
Dengan
27
dapat
sukses
sepanjang
tidak
melanggar norma-norma internasional yang baik. Kesimpulan
dari
analisis
Sub-judul
ini
menyatakan bahwa terdapat keinginan implisit dari UUD NRI Tahun 1945 yang juga dibuktikan dengan pengalaman praktik negara Indonesia untuk comply terhadap hukum internasional. Kepatuhan terhadap hukum
internasional
tersebut
sekaligus
Iman Toto K. Rahardjo, Bung Karno: Masalah Pertahanan dan Keamanan, Jakarta: PT. Grasindo, 2010, hlm. 447. 27 Sambutan Prijono pada Pembukaan Seminar Pancasila pada 16-20 Februari 1959. Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmlan, Op.Cit., hlm. 266-267. Hal serupa diutarakan oleh Bagir Manan bahwa dalam pergaulan internasional, UUD suatu negara harus tidak bleh bertentangan dengan hukum internasional. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Op.Cit., hlm. 315. 77 26
mencerminkan bahwa “international law is law” di hadapan
pengadilan
landasan
teori
nasional
Indonesia
internasionalisme
dengan
yang
akan
dijelaskan pada Sub-judul di bawah ini. C.Teori Internasionalisme dalam Praktik Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang oleh MK RI Pada konstitusi
umumnya, dibentuk
lembaga
sebagai
suatu
mahkamah pengadilan
khusus 28 untuk menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia warga negaranya 29 dari perbuatan negara yang bertentangan atau tidak sesuai dengan hak asasi manusia tersebut 30 . Di berbagai negara, mahkamah konstitusi sering diposisikan sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan sebagai penafsir tunggal konstitusi (sole interpreter)31 dalam
memberikan
memadai
terhadap
jaminan hak
perlindungan
konstitusional
32
yang warga
negaranya. 28 Terdapat 4 jenis bentuk pengadilan yang umum ada di suatu negara sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya, yakni pengadilan tata negara (Mahkamah Konstitusi), pengadilan administrasi atau tata usaha negara, pengadilan biasa (regular court), dan pengadilan HAM adhoc. I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 152. 29 Ibid., hlm. 133. 30 Laurence H. Tribe, Constitutional Choice, London: Harvard University Press, 1985, hlm. 246. 31 A. Mukthie Fadjar, Konstitusionalisme Demokrasi: Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi sebagai Kado untuk ‘Sang Penggembala’, Malang: InTRANS Publishing, 2010, hlm. 1. 32 Karakteristik hak konstitusional: 1) Memiliki sifat fundamental. Diperoleh karena ia dijamin oleh dan menjadi bagian 78
Gagasan
mengenai
judicial
review
(yang
sekarang menjadi salah satu kewenangan MK RI) di Indonesia sempat diutarakan oleh Muhammad Yamin pada saat penyusunan UUD NRI Tahun 1945 namun gagasan tersebut sempat ditolak Soepomo karena ia berpendapat belum saatnya melembagakan fungsi tersebut karena sumber daya manusia yang belum memadai pada saat itu. 33 Di era amandemen UUD NRI Tahun 1945, pembahasan mengenai kekuasaan kehakiman dan judicial review muncul kembali pada masa awal rapat pleno PAH I BP MPR 2000 namun belum
ada
usulan
pembentukan
Mahkamah
Konstitusi. 34 Usulan pembentukan lembaga tersebut mulai
nampak
setelah
PAH
I
BP
MPR
2000
melakukan kunjungan, studi banding, dan dengar pendapat dari berbagai pihak. Terdapat 3 hal penting yang perlu diketahui sebagai dasar pembentukan MK RI.
35
Pertama,
dari konstitusi tertulis yang merupakan hukum fundamental; 2) Hak konstitusional adalah bagian dari dan dilindungi oleh konstitusi tertulis, harus dihormati dan tidak satu organ negara pun boleh bertindak bertentangan atau melanggar hak konstitusional itu; 3) Setiap tindakan organ negara yang bertentangan dengan hak itu harus dapat dinyatakan batal oleh pengadilan. Hak konstitusional akan kehilangan maknanya sebagai hak fundamental apabila tidak terdapat jaminan dalam pemenuhannya; 4) Perlindungan yang diberikan konstitusi adalah perlindungan terhadap perbuatan negara, bukan oleh individu lain. 5) Hak konstitusional merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara. I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., hlm. 137. 33 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 445. 34 Ibid, hlm. 442. 35 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi: Telaah Terhadap 79
adanya lack of authority karena dalam sistem hukum di Indonesia belum ada mekanisme yang mengatur limitatif
soal
terhadap
hak
uji
konstitusi)
materiil
sehingga
(undang-undang
berbagai
undang-
undang yang bertentangan dengan konstitusi tidak pernah
bisa
Konstitusi
dipersoalkan.
diperlukan
sebagai
Peran
Mahkamah
titik
perubahan
paradigma struktur ketatanegaraan dengan prinsip checks and balances di Indonesia 36 supaya terjadi keseimbangan fungsi lembaga-lembaga negara dalam mewujudkan kehidupan negara yang demokratis. Kedua,
ada
fakta
politik
terjadinya
konflik
kelembagaan antara lembaga kepresidenan dan DPR yaitu pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dan pengangkatan Ketua Mahkamah Agung (MA). Ketiga, adanya pandangan bahwa MA tidak sepenuhnya mampu menjalankan berbagai kewenangan yang melekat pada dirinya, sehingga diperlukan lembaga lain untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan lainnya di luar MA. Disahkannya Tahun
1945
Perubahan
sekaligus
Ketiga
membuka
UUD
babak
NRI baru
pembentukan MK RI. UUD NRI Tahun 1945 yang kemudian diturunkan ke Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 memberi wewenang kepada MK RI untuk, salah satunya (sekaligus yang menjadi inti pembahasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, 2008, hlm. 113. 36 H. Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007, hlm. 91. 80
dalam
sub-judul
terhadap
UUD
mekanisme Konstitusi
ini), NRI
menguji Tahun
pengujian atau
undang-undang 37
Awalnya,
undang-undang
terhadap
judicial
1945.
pertama
review
kali
dikembangkan oleh negara Amerika Serikat melalui kasus Marbury v. Madison pada tahun 1803.38 Di MK RI berkembang praktik constitutional review 39 yang menggunakan hukum internasional. Diane Zhang menunjukkan bahwa selama tahun 2003-2008, terdapat 78 kasus pengujian undangundang terhadap 56 jenis undang-undang dimana 86% atau berjumlah 62 putusan MK RI merujuk pada 813 rujukan asing berupa putusan pengadilan, hukum internasional dan domestik, praktik hukum, tulisan hukum
akademik, dan internasional
lain-lain.
40
Dominannya,
digunakan
untuk
menginterpretasi kaidah yang berhubungan dengan hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, konteks penggunaan hukum internasional dalam tulisan ini dipersempit dalam area HAM. Hubungan antara UUD NRI Tahun 1945 dengan hukum HAM internasional yang
semakin
sulit
dipisahkan
sekaligus
menunjukkan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dan hukum internasional memiliki arah dan tujuan yang Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 38 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 19-25. 39 Constitutional review merupakan bentuk judicial review yang lebih sempit. Martitah, “Judicial Review dan Arah Politik Hukum Nasional: Sebuah Perspektif Penegakan Konstitusi” Jurnal Konstitusi Vol. I No. 1, 2009, hlm. 123. 40 Diane Zhang, Loc.Cit.. 81 37
sama sehingga keduanya berada pada level yang sejajar bagi pengadilan nasional untuk menerapkan keduanya di wilayah yurisdiksinya. Praktik
ini
konstitusional
berkembang
yang
konstitusionalitas
timbul
karena
dalam
isu
pengujian
undang-undang
memiliki
pararelitas dengan hukum internasional. Salah satu isu tersebut adalah di bidang hak-hak asasi manusia (HAM). Isu konstitusionalitas undang-undang dalam kaitan
dengan
HAM
pararel
dengan
hukum
internasional karena internasionalisasi HAM. Tentang fenomena tersebut Louis Henkin menyatakan: ”The international law of human rights parallels and supplements national law, superseding and supplying the deficiencies of national constitution and laws, but it does not replace and indeed depends on national institutions.” maka
41
Dalam posisi pararelitas demikian
potensi
untuk
penggunaan
argumen
berdasarkan hukum internasional dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang menjadi terbuka. Penggunaan pengujian
hukum
konstitusionalitas
internasional
dalam
undang-undang
ini
tidak melanggar yurisdiksi material MK RI sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Dalam pengujian tersebut, hakim tetap terikat oleh UUD NRI Tahun 1945 dalam menentukan konstitusionalitas proses
undang-undang.
interpretasi
konstitusi
Hanya tersebut
saja juga
41 Louis Henkin, The Rights of Man Today, Center for the Study of Human Rights-Columbia University, New York, 1988, hlm. 95. 82
mempertimbangkan
asas
atau
kaidah
hukum
internasional. Mengambil contoh konkret yakni Putusan MK RI
No.
065/PUU-II/2004
yang
mempersoalkan
konstitusionalitas Pasal 43 (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal tersebut berbicara mengenai asas retro aktif pada pengadilan HAM ad hoc yang kemudian diterapkan dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di wilayah Timor Timur. Pasal a quo kemudian diujikan dengan pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yakni di antaranya Pasal 1 (3) dan Pasal 28J (2). Isunya adalah apakah asas retro aktif yang ada dalam Undang-Undang
Pengadilan
dengan
negara
konsep
HAM
hukum
tidak
sesuai
Indonesia
dan
pembatasan terhadap HAM yang dilindungi oleh UUD NRI Tahun 1945. Dalam hal menjawab isu tersebut, hakim
MK
RI
telah
menggunakan
instrumen
internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (Pasal 29 (2), International Covenant on Civil and Political Rights (Pasal 15 (1), dan European Convention
on
Human
Rights
(Pasal
7)
yang
mengatakan bahwa pembatasan terhadap asas non retro
aktif
restrictive,
dapat artinya
berlaku dapat
secara
limitative
diberlakukan
and
secara
terbatas hanya terhadap kasus pelanggaran HAM berat seperti genocide dan crimes against humanity dalam kasus putusan tersebut, tidak untuk kasus pada umumnya. Dalam kerangka interpretasi inilah, maka hakim MK RI menilai bahwa asas retro aktif dalam Undang-Undang Pengadilan HAM masih dalam 83
koridor pembatasan terhadap HAM yang sesuai dalam Pasal 28J (2) UUD NRI Tahun 1945 dan sesuai pula dengan konsep negara hukum Indonesia yang menjunjung perlindungan hak asasi manusia (dalam kasus tersebut adalah HAM para korban peristiwa Timor-Timur yang belum mendapatkan perlindungan oleh karena Indonesia saat itu belum memiliki regulasi nasional yang mengatur genocide dan crimes against
humanity).
Contoh
dari
putusan
ini
menunjukkan bahwa hakim MK RI memanfaatkan hukum internasional sebagai dasar argumen untuk menginterpretasi pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, sekaligus menegaskan bahwa hakim tetap memutus perkara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Dengan
demikian,
sekurang-kurangnya,
hukum internasional memiliki peran sebagai alat bantu
(interpretive
konstitusi.
tool)
dalam
interpretasi
Seperti halnya ketika hukum HAM
42
internasional
dapat
memberi
kontribusi
dalam
memahami Konstitusi Australia, dimana pengadilan menggunakan menuntun
pertimbangan
hakim
tentang
kontekstual
untuk
bagaimana
hakim
menginterpretasi ketentuan konstitusional tertentu.43 Posisi hukum internasional yang demikian tidak Titon Slamet Kurnia, “Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Melalui Pengujian Undang-Undang” Disertasi: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2014, hlm. 151. 43 Michael Kirby, “Domestic Courts and International Human Rights Law: The Ongoing Judicial Conversation” Utrecht Law Review Vol. 6 Issue I, 2010, hlm. 172. 84 42
berarti
bahwa
menentukan
hukum
putusan
undang-undang,
dan
internasional
atas tidak
yang
konstitusionalitas
berarti
pula
bahwa
hukum internasional menggantikan Konstitusi dalam pengujian
konstitusionalitas
undang-undang.
44
Hakim memutus konstitusionalitas undang-undang tetap berdasarkan Konstitusi. Interpretasi konstitusi terhadap pasal-pasal HAM dalam Bab XA UUD NRI 1945 tidak hanya ditujukan secara eksklusif pada pasal-pasal tersebut, tetapi juga interpretasi pasal-pasal tersebut secara konstruktif dilakukan
atau pada
mencerahkan padanannya
sebagaimana dalam
hukum
internasional. Interpretasi demikian bertumpu pada pemahaman
yang
menurut
the
Declaration
of
Independence Amerika Serikat untuk memberikan: "a decent respect to the opinions of mankind." Dalam kaitan itu, MK perlu mengakui lebih dahulu, seperti the Supreme Court Amerika Serikat dalam kasus the Paquette Habana (1900): "International law is part of our law, and must be ascertained and administered by the courts of justice of appropriate jurisdiction, as often as questions of right depending upon it are duly presented for their determination?" Dikaitkan dengan itu maka dalam perspektif Indonesia perlu untuk ditegaskan kembali: Apakah hukum internasional adalah hukum? Apakah sebagai hukum, hukum internasional adalah bagian dari 44 Kristen Walker, “International Law as a Tool of Constitutional Intepretation” Monash University Law Review Vol. 28 No. 1, hlm. 95. 85
hukum Indonesia? Pertanyaan di atas, sebagaimana telah
diargumentasikan
sebelumnya,
dijawab
afirmatif oleh teori internasionalisme yang penulis usulkan. Terkait dengan itu, argumen a fortiori yang penulis
kemukakan
ialah,
konstitusi
Indonesia
adalah konstitusi internasional yang jauh lebih luas daripada UUD NRI 1945 sendiri. Dikaitkan dengan isu penggunaan hukum internasional oleh MK maka seyogianya MK lebih dahulu meletakkan argumen di atas sebagai prinsip justifikasinya untuk penggunaan hukum
internasional
dalam
pengujian
konstitusionalitas undang-undang. Hukum internasional memenuhi unsur-unsur untuk dapat disebut sebagai hukum di antaranya ia dihasilkan
oleh
otoritas
berwenang,
memuat
kewajiban moral rationality, dan memiliki sanksi. 45 Atau sederhananya hukum internasional disebut sebagai hukum karena ia menciptakan norma. Oleh karena sifat tersebut, maka hukum internasional memiliki
daya
normativitas
yang
sama
dengan
hukum nasional di depan pengadilan sepanjang hakim
mampu
menemukan
sifat
normatif
dari
hukum internasional tersebut. Seyogianya, terkait dengan itu, hakim MK dalam merujuk pada hukum internasional
memprioritaskan
interpretative incorporation
techniques.46
penerapan Asumsi yang
Joshua Kleinfeld, “Skeptical Internationalism: A Study of Whether International Law Is Law” Fordham Law Review Vol. 78, 2010, hlm. 2451. 46 Farid Sufian Shuaib, “The Status of International Law in the Malaysian Municipal Legal System: Creeping Monism in Legal Discourse?” IIUM Law Journal Vol. 16 No. 2, 2008, hlm. 183. 86 45
mendasarinya
adalah
sepanjang
dalam
hukum
internasional ditemukan kaidah lebih baik (misalnya memberikan efek perlindungan HAM lebih kuat) maka hal itu dapat digunakan oleh MK sebagai gapfiller konstitusi Indonesia.47 Lebih jauh lagi, hal prinsip terkait dengan interpretasi
konstitusi
dalam
pengujian
konstitusionalitas undang-undang adalah mendorong supaya
terjadi
tersebut
harmonisasi
dengan
hukum
antara
interpretasi
internasional.
Argumen
tersebut didasarkan pada pandangan Harold Koh yang menyatakan: “for any nation consciously to ignore global standards
not only
would
ensure
constant frictions with the rest of the world, but also would diminish that nation's ability to invoke those international rules that served its own national purposes.”
48
Dalam
kalimat
demikian,
isunya
adalah
Indonesia,
melalui
MK
lain, tentang
RI,
pada
situasi
compliance
terhadap
hukum
internasional. Keputusan suatu negara untuk patuh atau tidak
patuh
terhadap
hukum
internasional
bergantung pada 3 faktor yang terangkum teori Andrew Guzman yaitu “Three Rs of Compliance”. 49 Teori ini berangkat dari asumsi rasional bahwa kepatuhan
terhadap
hukum
internasional
lebih
Bandingkan dengan: Dunia P. Zongwe, Op.Cit., hlm. 167; Eyal Benvenisti, Loc.Cit., hlm. 3. 48 Harold Hongju Koh, Op.Cit., hlm. 44. 49 Andrew T. Guzman, How International Law Works: A Rational Choice Theory, New York: Oxford University Press, 2008, hlm. 3334. 87 47
menguntungkan
ketimbang
faktor
keuntungan
penentu
ketidakpatuhan. tersebut
reputation, reciprocity, dan retaliation.
50
Tiga
adalah Pertama,
reputasi (reputation). Guzman menjelaskan reputasi sebagai “reputation for compliance with international law”. Suatu negara memilih untuk comply terhadap hukum internasional karena dapat menciptakan kredibilitas
negara
(the
good
untuk
states)
menciptakan peluang hubungan kerjasama dengan negara lain yang lebih besar di masa depan. Kedua, reciprocity yang berarti “actions that are taken without the intent to sanction the violator”. Misalnya dalam kasus the Boundary Waters Treaty antara US dan Kanada, US mengambil tindakan treaty termination atas pelanggaran yang dilakukan oleh Kanada karena tindakan
tersebut
dinilai
lebih
menguntungkan
ketimbang tetap menjalankan kepatuhan terhadap perjanjian tersebut. Ketiga, retaliation yang berarti “actions that are costly to the retaliating state and [are] intended to punish the violating party”. Suatu negara dapat menghukum pihak pelanggar sebagai balasan atas ketidakpatuhan yang dilakukan. Contoh sanksi yang
bisa
diberikan
adalah
sanksi
ekonomi,
diplomatis, atau militer. Sejalan dengan 3Rs di atas, Penulis ingin mendorong MK RI untuk berlaku comply terhadap hukum
internasional
didapat
negara
akan
karena lebih
keuntungan besar
yang
ketimbang
50 Katherine Tsai, “How To Create International Law: The Case of Internet Freedom in China” Duke Journal of Comparative and International Law Vol. 21, 2011, hlm. 410-411. 88
sebaliknya. Ketidakpatuhan negara terhadap hukum HAM internasional akan berakibat secara tidak langsung
gagalnya
negara
dalam
menjalankan
amanat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 untuk mewujudkan ketertiban dunia dengan penegakan HAM di wilayah nasional. Di sisi lain, keuntungan yang dapat diperoleh MK RI justru akan lebih besar dengan kepatuhan terhadap hukum internasional. Penggunaan hukum internasional dalam putusan MK RI akan membantu konstruksi jaminan HAM yang lebih kuat dalam wilayah NKRI yang dicapai melalui harmonisasi
hukum
nasional
dan
hukum
internasional di bidang HAM. Harmonisasi tersebut dapat terwujud jika MK RI mampu menyelaraskan nilai-nilai
Konstitusi
internasional
dalam
Indonesia
dengan
putusannya
hukum
dengan
proses
intepretif yang melibatkan hukum internasional. Dalam substantifnya
kasus adalah
ini
yang
kebenaran
menjadi hakiki
isu atau
fundamental yang ingin dihasilkan dalam proses interpretif tersebut. Upaya memberikan efek positif compliance terhadap hukum internasional dalam rangka interpretasi konstitusi Indonesia tidak berarti bahwa MK RI harus mengambil posisi defference secara mutlak terhadap hukum internasional. Hal sebaliknya,
sikap
kritis
terhadap
hukum
internasional, juga dapat dilakukan oleh MK RI. Dalam posisi demikian penulis sependapat dengan O’Connell yang mengatakan bahwa “… the judge must take that course which his jurisdictional rule enjoins, and hence he may be required to apply international 89
law to the exclusion of municipal law, or vice versa.”51 Peran aktif hakim diperlukan dalam kerangka theory of friendliness to international law atau interpretation in favour of international law, 52 tetapi hal itu tidak bebas
nilai.
Pada
memutuskan,
dan
akhirnya,
MK
memberikan
RI
harus
interpretasi
konstitusi, yang terbaik bagi kepentingan paling mendasar yang harus dilindunginya. Jika pararelitas antara hukum internasional dengan hukum nasional tersebut terjadi dalam isu perlindungan HAM maka isu
substansial
yang
harus
dipecahkan
adalah
kepentingan siapakah, dalam rangka interpretasi konstitusi, yang harus diperjuangkan oleh MK RI. Terhada isu tersebut penulis sependapat dengan pandangan Nihal Jayawickrama yang menyatakan: “A broad, liberal, generous and benevolent construction should be given, not a narrow, pedantic, literal or technical interpretation. A Bill of Rights must be broadly construed in favour of the individual rather than in favour of the State.”53 51 Luzius Wildhaber dan Stephan Breitenmoser, “The Relationship Between Customary International Law and Municipal Law in Western European Countries” 48 Zeitschrift f ̈ur Ausl ̈andisches ̈Offentliches Recht und V ̈olkerrecht 163, 1988, hlm. 173. Bandingkan dengan pendapat berpengaruh yang dikemukakan Prof. Mochtar Kusumaatmadja “[p]ada prinsipnya kita mengakui supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional”. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional: Buku I: Bagian Umum, Bandung: Binacipta, 1978, hlm. 83. 52 Ibid. 53 Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2002, hlm. 164. 90
Kesimpulan tersebut adalah hakikat utama dari pembahasan penulis terkait dengan aplikabilitas hukum
internasional
dalam
pengujian
konstitusionalitas undang-undang. Sesuai pendapat Nihal Jayawickrama, hakikat dari aplikabilitas teori internasionalisme
dalam,
rangka
interpretasi
konstitusi oleh MK RI adalah untuk memberikan jaminan kepentingan terbaik bagi HAM dalam proses pengujian
konstitusionalitas
undang-undang.
Dengan batasan demikian maka isu kedudukan hukum internasional dalam pengadilan domestik, pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh MK RI, menjadi tidak terlalu kontroversial lagi. Artinya, praktik tersebut rasional dan objektif. Tidak dalam posisi
penghambaan
internasional,
tetapi
diri dalam
terhadap posisi
hukum
penggunaan
hukum internasional yang proporsional, yaitu sejalan dengan a decent respect to the opinions of mankind. Terkait dengan sumber hukum internasional yang spesifik seperti perjanjian internasional, melalui teori transnational legal process, maka seorang hakim MK harus jeli melihat karakter atau sifat dari perjanjian internasional tersebut. Apabila norma hukum
dalam
perjanjian
internasional
tersebut
merupakan self-executing treaty atau berupa normanorma
dasar/fundamental
universal,
maka
hakim
yang MK
diterima dapat
secara
langsung
menerapkannya (teori incorporation) dalam suatu kasus 54
54
tanpa
mempermasalahkan
proses
Eyal Benvenisti, Op.Cit., hlm. 166. 91
transformation,
begitu
pula
terkait
international
customary law. Di sinilah peran aktif hakim MK dibutuhkan dalam proses menginterpretasi karakter dan keberlakuan suatu norma hukum internasional. Maka pada akhirnya dapat dikatakan bahwa teori transnational legal process memberi legitimasi bagi seorang hakim MK untuk menggunakan hukum internasional keyakinan
dalam hakim
konstitusional)
kerangka (yang
untuk
membangun
notabene
menyelesaikan
adalah masalah
nasional. Di satu sisi lain, teori internasionalisme melalui teori international constitution membantu hakim MK untuk menunjukkan bahwa penggunaan hukum internasional dalam putusan tentang constitutional review adalah sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun 1945. Perlu dipahami bahwa suatu konstitusi tidak dapat dimaknai secara sempit 55 yaitu terbatas pada kata-kata
yang
eksplisit
dalam
batang
tubuh
konstitusi, melainkan masih ada konstitusi yang tidak tertulis yaitu yang terdapat dalam nilai-nilai yang hidup dalam praktik-praktik ketatanegaraan.56 UUD sebagai konstitusi dalam arti sempit ini pada hakikatnya merupakan “a politico-legal document” (suatu dokumen hukum politik). A. Mukthie Fadjar, Op.Cit., hlm. 15. 56 Beberapa hal yang dapat digunakan untuk menguji konstitusionalitas sebuah undang-undang yaitu: Naskah UUD yang resmi tertulis; Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah uud seperti risalah, dll; Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan yang telah dianggap sebagai bagian dari yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara; 92 55
Seperti contoh, Inggris sebagai suatu negara yang tidak
memiliki
constitution,
konstitusi
tidak
berarti
formal ia
atau
tidak
written memiliki
konstitusi.57 Ini menunjukkan bahwa terdapat norma konstitusi lain di luar konstitusi formal seperti contoh the unenumerated rights dalam the Ninth Amandment Konstitusi Amerika Serikat yang diakui keberadaannya di tengah gap dalam sistem jaminan perlindungan
terhadap
hak-hak
konstitusional
melalui the Bill of Rights of the Constitution of United States.58 Teori international constitution dapat membantu hakim MK untuk menemukan makna implisit dalam UUD NRI Tahun 1945 yang memberi legitimasi hakim -
Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan ideal dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara. Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Cetakan II, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 6. Lihat juga Penelitian Pusako FH Andalas dan MK RI, “Perkembangan Pengujian Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif), 2010, hlm. 56. Diunduh dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum /penelitian/pdf/PENELITIAN%20ANDALAS.pdf pada tanggal 8 Januari 2016 pukul 01.30 WIB. 57 Konstitusi Inggris tersebar di The Magna Carta, the Bill of Rights of 1689, the Parliament Acts of 1911 and 1949, the European Communities Act of 1972, the Human Rights Act of 1998. Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 & Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Salatiga: Fakultas Hukum UKSW, 2013, hlm. 10-11. Lihat juga pada pendapat Jon Elster yang mengatakan, “Constitution can be written and unwritten” Jon Elster, “Forces And Mechanisms In The Constitution-Making Process” Duke Law Journal Vol. 45, 1995, hlm. 365. 58 Ibid., hlm. 45-46. 93
MK untuk melakukan interpretasi konstitusi yang kompatibel
dengan
hukum
internasional.
Telah
dijabarkan sebelumnya bahwa secara konseptual, terdapat
dukungan
sejarah
yang
menunjukkan
keinginan konstitusional negara Indonesia untuk berlaku sesuai dengan hukum internasional meski keinginan tersebut tidak tertuang secara eksplisit di batang tubuh UUD NRI Tahun 1945. Sebagaimana diulas sebelumnya, keinginan tersebut tercermin dalam bagian Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan sejarah pembentukan UUD NRI Tahun 1945. Pada Pidato Pancasila yang disampaikan the founding father, Soekarno secara tegas merujuk pada norma hukum
internasional
untuk
mendorong
gerakan
kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 juga menghendaki keterlibatan negara Indonesia dalam komunitas internasional. Tidak hanya itu, penelusuran sejarah pembentukan Konstitusi
juga
menunjukkan
peran
hukum
internasional dalam pembentukan Pasal-Pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya pada bagian HAM. Adanya bukti sejarah di atas menunjukkan UUD NRI Tahun 1945 tidak menutup dirinya dari dunia internasional dan secara implisit menghendaki negara Indonesia berlaku sesuai dengan norma hukum internasional. Teori international constitution menjustifikasi keinginan implisit tersebut sebagai otorisasi dari UUD NRI Tahun 1945 bagi hakim MK untuk menggunakan hukum internasional dalam pengujian undang-undang, sesuai dengan yurisdiksi MK RI. Dengan kata lain, teori ini menyimpulkan 94
bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah international constitution.
95