BAB II TELAAH PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Bank Undang-undang No.7 tahun1992 tentang Perbankan yang telah diubah menjadi Undang-undang No.10 tahun1998 pasal 1 ayat 2, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk kredit atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.” Pengertian Bank yang lebih teknis terdapat pada Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.31 (1993:31.1), “Bank adalah suatu lembaga keuangan yang berperan sebagai perantara keuangan atar pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.” Sedangkan menurut SK Menteri Keuangan RI nomor 792 tahun 1990, Bank merupakan suatu badan yang kegiatannya di bidang keuangan melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan.
2.1.2. Tingkat Kesehatan Bank Menurut Pasal 29 UU no. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU no.10 tahun 1998 tentang perbankan, bank wajib memelihara tingkat kesehatannya sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rehabilitas, serta aspek lain yang berkaitan
7
8
dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Peraturan Bank Indonesia nomor 9/1/PBI/2007 pasal 1 nomor 6, Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank melalui: a. Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, sensitivitas terhadap risiko pasar b. Penilaian Kualitatif terhadap faktor manajemen. Pasal 3, penilaian tingkat kesehatan bank mencakup penilaian terhadap faktorfaktor seperti: permodalan (capital), kualitas aset (asset quality), manajemen (management) rentabilitas (earning), likuiditas (liquidity), dan sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk). Berdasarkan rasio permodalan CAR, bank yang dikategorikan sangat sehat jika bank tersebut memiliki nilai CAR lebih dari 12%, sedangkan bank yang memiliki kategori bank sehat memiliki nilai CAR 9% hingga 12%. Bagi bank yang dikategorikan cukup sehat memiliki nilai CAR sebesat 8% hingga 9%. Bagi bank yang dikategorikan kurang sehat memiliki nilai CAR 6% hingga 8%. Sedangkan bank yang dikategorikan tidak sehat memiliki nilai CAR kurang dati 6%. Berdasarkan faktor kualitas aset yang diukur dari rasio NPL, bank yang dikategorikan dalam bank yang sangat sehat memiliki nilai NPL kurang dari 2%. Bank yang dikategorikan sehat memiliki nilai NPL 2% hingga 5%. Sedangkan bank yang dikategorikan cukup sehat 5% hingga 8%, dan bank yang dikategorikan kurang sehat memiliki nilai NPL sebesar 8% hingga 12%. Bank yang dikategorikan tidak sehat mempunyai nilai NPL lebih dari 12%.
9
Berdasarkan
rentabilitas
yang
diukur
dengan
ROA,
bank
yang
dikategorikan dalam bank yang sangat sehat memiliki nilai ROA diatas 1,5%. Bank yang dikategorikan dalam bank yang sehat memiliki nilai ROA 1,25% hingga 1,5%. Sedangkan bank yang dikategorikan cukup sehat memiliki nilai ROA 0,5% hingga 1,25%. Dan bank yang dikategorikan kurang sehat dan tidak sehat memiliki nilai ROA dibawah 0,5%.
2.1.3. Risiko Likuiditas (Liquidity Risk) Menurut pandangan John C. Hull (2007:343), risiko likuiditas adalah resiko yang timbul karena ketidakcukupan jumlah pembeli atau penjual di dalam pasar institusi keuangan untuk mengeksekusi hasrat atau keinginan untuk berdagang (membeli atau menjual). Maksudnya yaitu resiko likuiditas dipandang dari sudut pandang perdagangan, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan antara harga dengan kuantitas atau volume yang ingin dibeli tetapi tidak ada penjual yang ingin menjual atau yang ingin dijual tetapi tidak ada pembeli yang ingin membeli. Risiko ini juga dapat terjadi akibat kegagalan dalam memahami dan merespons perubahan kondisi pasar yang mempengaruhi kemampuan bank untuk menjual asset likuid secara tepat dengan kerugian minimal. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Pasal 6 13/1/PBI/2011 pada SE 13/24/DPNP 2011
tentang Mekanisme Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Secara Individual, risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas, dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank. Risiko Likuiditas juga dapat disebabkan oleh ketidakmampuan Bank melikuidasi aset tanpa terkena diskon
10
yang material karena tidak adanya pasar aktif atau adanya gangguan pasar (market disruption) yang parah. Pengukuran risiko likuiditas (LR) oleh Berger and Bowman (2009) dapat dilakukan dengan mengurangkan volume semua aset yang didapat dengan cepat oleh bank dan dengan biaya rendah berubah menjadi uang tunai untuk menutupi kemungkinan penarikan jangka pendek dari volume kewajiban yang dapat ditarik dari bank dalam waktu singkat. Selain itu juga memperhitungkan risiko likuiditas off-balance sheet melalui misalnya komitmen kredit yang belum digunakan. Nilai akhir dari variabel LR dapat bersifat positif atau negatif. Nilai negatif menunjukkan bahwa bank memiliki aset jangka pendek yang lebih daripada kewajiban, sehingga bank dapat menutup kemungkinan penarikan jangka pendek pada sisi kewajibannya melalui aset likuid. Semakin rendah rasionya, semakin rendah risiko likuiditas. Sebaliknya, nilai positif menunjukkan bahwa bank harus menekan sumber lain selain aset jangka pendek untuk menutupi penarikan (semua) kewajiban jangka pendek. Ini menyiratkan risiko likuiditas yang sangat tinggi dalam kasus seperti “Bank runs”. Menurut Goldstein and Pauzner (2005), Bank runs merupakan kondisi di mana para depositor berusaha menarik uang mereka karena meyakini kondisi suatu bank tersebut tidak stabil, sehingga nantinya depositor-depositor lain juga akan melakukan hal yang sama. Kemudian bank akan dipaksa untuk melikuidasi asset mereka seperti investasi jangka panjang. Sedangkan Ivicic et al., (2008) dan Peria and Schumckeler (2011) untuk memprediksi adanya bank runs dapat menggunakan proksi LATA yaitu dengan membagi asset liquid dengan total asset. Pada penelitian ini akan menggunakan proksi LR. LR akan merupakan penjumlahan dari jenis-jenis deposito,komitmen
11
pinjaman yang tidak terpakai, lalu dikurangi kas, currency and coin, aset dagang, suku bunga BI, sekuritas, commercial paper, lalu ditambah posisi pinjaman bank bersih, akseptasi bersih, dan derivative bersih, lalu seluruhnya dibagi dengan total asset.
2.1.4. Risiko Kredit (Credit Risk) Risiko
kredit
adalah
risiko
kerugian
yang
diakibatkan
karena
debitur/counterparty tidak dapat memenuhi kewajiban/ mengembalikan dana yang dipinjam dan bunga yang harus dibayarnya (Riyadi, 2006). Kredit tersebut bermasalah, maksudnya kredit tersebut kualitasnya kurang lancer, diragukan, dan timbul kemacetan. Pengukuran risiko kredit (CR) dapat melalui analisis ratio NPL (non performing loan) untuk mengetahui tingkat kredit yang bermasalah suatu bank. Ratio NPL dihitung dengan total NPL dibagi dengan total kredit yang dimiliki bank. Berger and Bowman (2009) mengukur risiko kredit dengan menghitung weighted-assets dan aktivitas off-balance sheets dibagi dengan gross total. Menurut Imbierowicz and Rauch (2014) menghitung CR dengan loan charge-offs dikurangi dengan loan recoveries, kemudian dibagi dengan loan loss-allowance pada tahun sebelumnya. Pada penelitian ini risiko kredit menggunakan proksi NPL net yang dapat ditemukan pada laporan keuangan bank.
2.1.5. Probabilitas Default Bank (Probabilitiy Of Default Bank) Probabilitas default bank (PD) adalah kemungkinan seorang debitur mengalami gagal bayar atas kewajiban yang dia miliki. Model penelitian oleh
12
Merton (1973) mengindikasikan tingkat PD bank/perusahaan dengan menghitung aktiva dan volatilitas aktiva tersebut serta jarak default perusahaan. Untuk mengukur PD dapat menggunakan metode penghitungan ZSCORE (Karminsky, et al., 2012) selain itu juga dapat menggunakan O-score oleh Ohlson dan model Black Scholes & Merton (Hillegeist et al., 2002). Menurut Boyd dan Runkle (1993), ZSCORE adalah metode yang paling sering digunakan untuk mengukur perusahaan terhadap default/ gagal bayar serta untuk mengetahui perusahaan mana yang lebih stabil saat mengalami probability of default. Pada awal pengetesan, ditemukan 72% Altman ZSCORE akurat dalam memprediksi kebangkrutan dua tahun sebelum terjadinya (Altman, 1968). Dalam pengetesan berikutnya lebih dari 31 tahun sampai tahun 1999, model ditemukan menjadi 80%-90% akurat dalam memprediksi kebangkrutan satu tahun sebelum terjadi. ZSCORE dihitung dengan jumlah dari return on asset (ROA) dan rasio total ekuitas terhadap total aset dibagi dengan standar deviasi dari ROA (Roy, 1952). Semakin tinggi nilai ZSCORE suatu bank, maka bank tersebut lebih stabil dan lebih tidak terindikasi adanya probabilitas default bank. Adapun ketentuan Altman ZSCORE: a. Bila hasil ZSCORE > 2,99 berarti zona aman. Perusahaan dianggap aman hanya dari sisi angka-angka keuangannya saja. b. Bila 1,8 < hasil ZSCORE < 2,99 berarti zona Abu-abu (grey zone). Di sini ada kemungkinan perusahaan akan bangkrut 2 tahun ke depan. c. Bila hasil ZSCORE < 1,8 berarti zona sukar (distress zone). Perusahaan menghadapi tekanan yang tinggi pada periode ini.
13
2.2. Penelitian Terdahulu 2.2.1. Bryant (1980), Diamond dan Dybvig (1983) Pada pendekatan model yang mereka lakukan, bahwa risiko kredit dan risiko likuiditas memiliki hubungan yang positif yang berpengaruh terhadap kestabilan manajemen perbankan. 2.2.2. Prisman et al. (1986) Prisman menjelaskan bahwa pada Model Monti-Klein setidaknya terdapat hubungan antara risiko likuidias dan risiko kredit. 2.2.3. Cole and Gunther (1995) Penelitian Cole dan Gunther menerangkan bahwa jika bank memiliki proposi asset yang tinggi, biasanya bank akan terdorong untuk memberikan pinjaman dana pada pihak ketiga. Jika nantinya terdapat pinjaman tinggi, akan dapat terjadi tingkat risiko kredit yang tinggi pula. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tingginya tingkat risiko kredit suatu bank, maka potensi kebangkrutan bank akan semakin besar pula karena hal tersebut menurunkan waktu survival suatu bank. 2.2.4. Barr, Richard S. and Siems, Thomas F. (1996) Penelitian mereka menunjukkan bahwa semakin likuidnya asset suatu bank, maka bank tersebut akan dapat menangani penarikan dana nasabah secara tidak terduga. Sedangkan jika bank mengeluarkan kredit yang semakin besar, maka bank akan menghadapi risiko kredit yang semakin besar pula. 2.2.5. Acharya and Viswanathan (2011) Model ini didasarkan pada asumsi bahwa keuangan perusahaan meningkatkan hutangnya yang harus bergulir terus-menerus, dan yang digunakan untuk membiayai aset. Penelitian mereka menunjukkan bahwa
14
semakin banyak utang pada sistem perbankan akan merujuk pada semakin tingginya risiko bank runs pula. Pada saat krisis, ketika harga aset memburuk, bank akan lebih sulit untuk merol-over hutang mereka, ketika itu pula mereka memiliki masalah likuiditas. 2.2.6. Goldstein, I and Pauzner, A (2005) Goldstein dan Pauzner meneliti tentang ketidakjelasan antara jatuh tempo utang dan asset bank dapat memungkinkan terjadinya bank runs. Jika sebuah bank menawarkan pembayaran jangka pendek yang nilainya sama dengan asset likuid mereka, maka bila bank mengalami bank runs nantinya tidak akan begitu parah karena masih bisa tertutup dengan asset mereka. Namun jika pembayaran jangka pendek yang ditawarkan lebih tinggi daripada asset likuid mereka, akan lebih rentan mengalami bank runs yang nantinya bank akan dipaksa melikuidasi asset mereka. 2.2.7. Imbierowicz, Bjӧrn and Rauch, Christian (2014) Penelitian Imbierowicz, Bjӧrn and Christian Rauch meneliti tentang hubungan risiko likuiditas dengan risiko kredit dan pengaruhnya pada Probablitas default bank. Penelitian mereka menggunakan sampel bank konvensional di Amerika Serikat pada periode 1998-2010. Hasil mereka menunjukkan bahwa kedua risiko tersebut dapat menimbulkan risiko gagal bayar (default) pada bank komersial. Penelitian-penelitian terdahulu juga menyimpulkan bahwa risiko kredit (NPL) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap likuiditas.
2.3.
Pengembangan Hipotesis Berdasarkan penelitian sebelumnya, (Acharya and Viswanathan, 2001)
menunjukkan bahwa semakin banyak utang pada sistem perbankan akan
15
merujuk pada semakin tingginya risiko bank runs. Cole and Gunther (1995) mengatakan bahwa bank akan mengeluarkan pinjaman saat tingkat asset mereka besar, sehingga memicu semakin tingginya tingkat risiko kredit pula dan menyebabkan
kebangkrutan.
Oleh
karena
itu
hipotesis
yang
dapat
dikembangkan: H1 : risiko kredit berhubungan negatif terhadap probabilitas default bank. Imbierowicz,
Bjӧrn
and
Rauch,
Christian
(2014)
mengatakan
menyimpulkan bahwa suatu bank memiliki masalah pada kreditnya maka juga akan mempengaruhi asset likuid mereka, dan menyebabkan gagal bayar. Acharya and Viswanathan (2001) mengatakan bahwa jika bank mengalami kesulitan dalam meroll-over hutang mereka, bank tersebut juga akan mengalami masalah pada likuiditasnya. Dari penjelasan para peneliti tersebut, hipotesis yang dapat dikembangkan: H2: risiko likuiditas
berhubungan positif terhadap probabilitas default
Bank.
2.4.
Model Pemikiran Model
pemikiran
penelitian
ini
menunjukkan
pengaruh
variabel
independen terhadap terhadap variabel dependen. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Model Pemikiran
Risiko Kredit
H1Probabilitas default bank
Risiko Likuiditas
H2+
16
Variabel dependen pada model pemikiran ini adalah Probabilitas Default bank (PD)
yang
diproksikan
menggunakan
independennya yaitu risiko kredit
ZSCORE.
Sedangkan
variabel
yang diproksikan menggunakan Non
Performing Loan (NPL) dan risiko likuiditas yang diproksikan menggunakan LR.