8
BAB II TELAAH PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu Banyak yang beranggapan bahwa pentingnya jaminan dalam akad murabahah di seluruh lembaga keuangan syariah (LKS) di Indonesia umumnya dan khususnya di BMT palangka Raya dan juga bagi masyarakat. Karena adanya manfaat yang bisa diambil dari penerapan jaminan tersebut. Terbukti dengan adanya peniliti-peniliti terdahulu yang berhubungan dengan akad murabahah. Berikut beberapa penelitian terdahulu tentang murabahah, antara lain: Hasil penelitian yang dilakukan oleh M.Taufikkur Rahman dengan judul “Penerapan Praktik Pembiayaan Murabahah Pada BMT Kube Sejahtera” menunjukkan bahwa praktik murabahah pada BMT Kube Sejahtera sudah berdasarkan pada aturan yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa-fatwanya tentang perbankan syariah. Penulis mengatakan bahwa Dalam implementasinya memang terdapat beberapa perbedaan dengan praktik murabahah di leteratur klasik. Namun praktik murabahah di Indonesia yang sudah dimodifikasi masih dalam nuansa aturan-aturan syariah. adapun tujuan di modifikasikannya praktik tersebut untuk dapat menjadikan praktik murabahah bisa lebih efektif. 19 Ahmad Syaiful Anam dalam penelitiannya yang berjudul “Implementasi Hukum Jaminan Lembaga Keuangan Syariah” yang bertempat di BMT kota 19
M.taufikkur Rahman, Praktik Pembiayaan Murabahah Pada BMT Kube Sejahtera, Skripsi Jurusan Syariah Prodi Ekonomi Syariah STAIN Palangka Raya, 2011.
8
9
Semarang, dalam kesimpulannya penulis mengatakan bahwa BMT – BMT di Kota Semarang dalam memberikan Pembiayaan atau kredit telah menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential) dan telah menerapkan prinsip-prinsip umum sebagaimana yang diatur oleh hukum jaminan yang berlaku. Dan Dalam Prakteknya, BMT – BMT di kota Semarang, tidak menerapkan hukum jaminan seperti yang diharapkan peraturan –peraturan sebagaimana yang dimaksud (law in book). Di sana ditemukan penyimpangan – penyimpangan (deviasi) misalnya: Beragamnya barang jaminan yang dipakai, sehingga tidak semua barang jaminan tersebut dapat memenuhi aturan perundangan. Pengikatan barang jaminan yang hanya di bawah tangan. Dikarenakan beragamnya barang jaminan yang dipakai, maka tidak semua barang jaminan dapat diikat sesuai dengan peraturan.20 Asmi Nur Siwi Kusmiyanti, melakukan penilitian dengan judul “risiko akad dalam pembiayaan murabahah pada BMT di Yogyakarta (dari teori ke terapan)”. Dalam penelitiannya, penulis berhasil meneliti bahwa, pada BMT Dana Insani dan BMT BIF Nitikan sering menghadapi risiko yang sering dihadapi adalah jika tidak dapat membelikan barang yang dibutuhkan oleh anggota sehingga harus mewakilkan kepada anggota tersebut untuk membeli barangnya sendiri.21 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fauzi Ahmad “Praktek Akad Murabahah Perbankan Shari'ah dalam Persepektif Hukum Islam” Yang
20
Ahmad syaiful anam, Implementasi Hukum Jaminan Lembaga Keuangan Syariah” Yang Bertempat Di BMT Kota Semarang , Tesis Universitas Diponegoro Semarang, 2009. Dalam Http://Etd.Eprints.Ums.Ac.Id/1752. (Di akses: kamis , 5 Januari 2012). 21 Asmi Nur Siwi Kusmiyati, Dalam Tesis yang Berjudul: Risiko Akad Dalam Pembiayaan Murabahah Pada BMT Di Yogyakarata (Dari Teori Ke Terapan), 2007. Journal.Uui. Ac.Id/Index.Php./JEI/ Article/ Viewfile/ 1045/970. (Diakses: kamis , 5 Januari 2012).
10
menunjukkan bahwa Perbankan sebisa mungkin harus menghindar dari penyamaan antara akad yang dipraktekan di Bank Shari‘ah dan pembiayaan pada Bank Konvensional yang jelas adanya riba. Hal itu tampak jika niat bank dalam menyetujui akadnya tidak berdasar pada barang jaminan nasabah, tetapi karena kebutuhan nasabah dan kemampuan nasabah dalam membayarnya. Jika bank ingin menggunakan akad wakalah kepada nasabah, pemberian kuasa (wakalah) harus dilakukan sebelum akad murabahah terjadi. Jika terjadi penundaan pembayaran dan habis masa waktunya wajib segera menjadwalkan kembali waktu pembayaran tanpa adanya penambahan nilai uang yang harus dibayar. Kepemilikan dalam akad jual beli sempurna jika telah terjadi saling menyerahkan barang pertukaran, dan sebaiknya bank juga tidak memberlakukan denda, kecuali itu dilaksanakan oleh institusi di luar bank.22 B. Deskripsi Teoritik 1. Hukum Jaminan a. Pengertian Hukum Jaminan Menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan Hukum jaminan adalah sebagai berikut: “Hukum mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan.”23 Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri 22
Fauzi ahmad, Praktek Akad Murabahah Perbankan Shari'ah dalam Persepektif Hukum Islam, 2009. Http://Etd.Eprints.Ums.Ac.Id/1752. (Diakses: kamis , 5 Januari 2012). 23 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Libertty Offset, 1980.h.43
11
maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar, dengan jangka waktu lama dan bunga yang relatif rendah. 24 Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang akan datang. Sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan.25 J. Satrio menyatakan bahwa hukum jaminan adalah: “Peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur. (Definisi ini difokuskan pada pengaturan pada hak-hak kreditur semata-mata, tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitur. Padahal subjek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditur semata-mata, tetapi juga erat kaitannya dengan debitur).”26 Menurut Salim H.S hukum jaminan adalah: “Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.”27 M. Ali Mansyur berpendapat bahwa hukum jaminan adalah: “Hukum jaminan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara kreditur dan debitur yang berkaitan dengan pembebanan jaminan atas pemberian kredit.”28
24
Ibid.,h.44 Ibid.,h.44 26 J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan kebendaan, Bandung: PT Citra Aditiya Bakti, 25
2007.h.1 27
http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/18/hukum-jaminan-gambaran-umum-jaminan/ di Akses, Senin 11 Juni 2012 28 Hukum Jaminan di Indonesia.,h.45
12
Dari pendapat beberapa ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jamianan dengan penerima jaminan dengan menjaminkan benda-benda sebagai jaminan. b. Asas-Asas Hukum Jaminan 1) Asas publicitet Bahwa semua hak tanggungan harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda tersebut sedang dilakukan pembebanan jaminan. 2) Asas specialitet Hak tanggungan, hak fidusia29 dan hipotek30 hanya dapat dibebankan atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu, harus jelas, terperinci dan detail. 3) Asas tidak dapat dibagi-bagi Asas dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian (benda yang dijadikan jaminan harus menjadi suatau kesatuan dalam menjamin hutang). 4) Asas inbezittstelling Yaitu barang jaminan harus berada ditangan penerima jaminan (pemegang jaminan). 29
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya di alihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. 30 Hipotek adalah suatu lembaga yang digunakan untuk mengikat jaminan utang yang berupa kapal laut.
13
5) Asas horizontal Yaitu bangunan dan tanah tidak merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dari pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai dapat dijadikan jaminan, namun dalam praktek perbankan tidak mau menerima prinsip ini, karena akan mengalami kesulitan jika tejadi wanprestasi.31 c. Hukum Jaminan Menurut Hukum Islam Secara umum jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua; jaminan yang berupa orang (personal guaranty) dan jaminan yang berupa harta benda. Yang pertama sering dikenal dengan istilah dlaman atau kafalah. Sedangkan yang kedua dikenal dengan istilah rahn. Oleh karena itu, pembahasan berikut akan mengulas kedua macam istilah tersebut menurut hukum Islam. 1) Kafalah Kafalah menurut etimologi berarti al-dhamanah, hamalah, dan za’aamah, ketiga istilah tersebut memilki arti yang sama, yakni menjamin atau menanggung. Sedangkan menurut terminologi Kafalah adalah “Jaminan yang diberikan oleh kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas kewajiban/prestasi yang harus ditunaikan pihak kedua (tertanggung)”.
31
Implementasi Hukum Jaminan, h. 51
14
Kafalah diisyaratkan oleh Allah SWT.32 pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 72;
Artinya: “Penyeru itu berseru, Kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya”33 Kafalah dinilai sah menurut hukum Islam kalau memenuhi rukun dan syarat, yaitu:34 a) Kafiil (orang yang menjamin), disyaratkan sudah baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan harta (mahjur) dan dilakukan dengan kehendaknya sendiri; b) Makful lah (orang yang berpiutang/berhak menerima jaminan), syaratnya ialah diketahui oleh orang yang menjamin, ridha (menerima), dan ada ketika terjadinya akad menjaminan; c) Makful ‘anhu (orang yang berutang/ yang dijamin), disyaratkan diketahui oleh yang menjamin, dan masih hidup (belum mati); d) Madmun bih atau makful bih (hutang/kewajiban yang dijamin), disyaratkan; merupakan hutang/prestasi yang harus dibayar atau
32 Sofiniyah ghufron, cara mudah memahami akad-akad syariah, jakarta: Renaisan anggota IKAPI, 2005. h. 59 33 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Gema Risalah Press, 1992. 34 Ibid, h. 60
15
dipenuhi, menjadi tanggungannya ( makful anhu), dan bisa diserahkan oleh penjamin (kafiil); e) Lafadz ijab qabul, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada seauatu dan tidak berarti sementara. 2) Rahn Secara etimologi, kata ar-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad rahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan/agunan. Sedangkan menurut istilah rahn adalah harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.35 Berdasarkan definisi yang berasal dari ulama madzhab Maliki tersebut, obyek jaminan dapat berbentuk materi, atau manfaat, dimana keduanya merupakan harta menurut jumhur ulama. Benda yang dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan (agunan), sehingga yang diserahkan adalah surat jaminannya (sertifikat sawah).36 Berbeda dengan definisi di atas, menurut ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, ar-rahn adalah: “Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.” Definisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanya yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan 35
Amir machmud & rukmana, Bank syariah (Teori, Kebijakan, Dan Studi Empiris Di Indonasia, jakarta: erlangga, 2010. h. 26-27. 36 Ibid, h. 90
16
ulama madzhab Maliki. Barang jaminan itu boleh dijual apabila utang tidak dapat dilunasi dalam waktu yang disepakati kedua belah pihak.37 Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad al-rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan al-Qur'an dan sunnah Rasul. Sebagaiamana tersebut dalam surat al-Baqarah, ayat: 283.
... Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.38
Rahn dinilai sah menurut hukum Islam, apabila telah memenuhi rukun dan syarat sebagai berikut:39 1) Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu menurut mereka anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn, dengan syarat akad ar-rahn yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapatkan persetujuan dari walinya.
37
Bank syariah, h.90 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Gema Risalah Press, 1992. 39 Sasli rais, pegadaian syariah: konsep dan sistem operasional, jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2008. h. 88-89 38
17
2) Syarat shigat (lafal). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad itu arrahn tidak dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang karena ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Misalnya orang yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum terbayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan; atau pemberi utang mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan arrahn satu bulan dan agunan boleh dimanfaatkan), termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat ar-rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu, pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual ketika ar-rahn itu jatuh tempo dan orang yang berutang tidak mampu membayarnya. 3) Syarat al-marhum bihi (utang) adalah: (a) merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat berutang. (b) Utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu. (c) Utang itu jelas dan tertentu.
18
4) Syarat al-marhun (barang yang dijadikan agunan), menurut para pakar fiqh, adalah: (a) barang jaminan (agunan) itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang, (b) barang jaminan itu bernilai dan dapat dimanfaatkan, (c) barang jaminan itu jelas dan tertentu, (d) agunan itu milik sah orang yang berutang, (e) barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain, (f) barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat, dan (g) barang jaminan itu boleh diserahkan baik materinya maupun manfaatnya. Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi utang, maka akad ar-rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, utang itu terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila utang tidak dapat dilunasi, barang jaminan dapat dijual dan utang dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan itu ada kelebihan, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya.40 Dari uraian tentang kedua konsep jaminan di atas, jelas bahwa eksistensi jaminan di akui dalam hukum Islam. Untuk jaminan yang diberikan oleh pihak lain atas kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh pihak yang dijamin (debitur) kepada pihak yang berhak menerima pemenuhan kewajiban/prestasi (kreditur) disebut dengan kafalah. Sedangkan jaminan yang terkait dengan benda/harta yang harus diberikan
40
pegadaian syariah: konsep dan sistem operasional, h. 92-93
19
debitur (orang yang berhutang) kepada kreditur (orang yang berpiutang) disebut dengan rahn.41
d. Hukum Jaminan Menurut Undang-Undang Pada sistem yang berlaku di Indonesia, jaminan pada dasarnya digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu jaminan materiil (kebendaan), dan jaminan immateriil (perorangan). Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas bendabenda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan.42 Dalam hukum positif di Indonesia terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan dalam rangka melaksanakan sistem kehati-hatian yang harus perhatikan dan dilaksanakan oleh industri lembaga keuangan termasuk lembaga keuangan mikro syari’ah. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain dapat dilihat dalam ketentuanketentuan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang telah dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, peraturan – peraturan Bank Indonesia dan
41
Ibid., Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia cet-1, Jakarta: Rajawali Press, 2004. h. 23 42
20
KUHPerdata. Berikut ini akan disebutkan beberapa pasal perundang-undangan di atas yang terkait dengan urgensitas jaminan di perbankan:43 1) Dalam UU No. 10 Tahun 1998 terdapat pada Pasal 8 dan penjelasanya, Pasal 8 ayat (1) berikut ini: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah, Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”44 “Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah yang diberikan bank mengandung resiko, sehingga dalam peleksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah dalam arti keyakinan atas kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah Debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.”45 Dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/7/PBI/2003 tentang kausalitas Aktiva Produktif Bagi Bank Syari’ah Pasal 2 ayat (1) dan penjelasannya, dan pada PAPSI (Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah Indonesia) tahun 2003 Bank Indonesia: ”Penanaman dana Bank Syariah pada Aktiva Produktif wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian.”46 Yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam penanaman dana yaitu penanaman 43
Implementasi Hukum Jaminan, h. 78 Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Pasal 8 ayat (1). Chatamarrasjid, Ais, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007. h.62 45 Penjelasan Pasal 8 ayat (1). 46 Dalam Pasal 2 ayat (1), Hukum Perbankan Indonesia, h.73 44
21
dana dilakukan antara lain berdasarkan: 1). Analisis kelayakan usaha dengan memperhatikan sekurang-kurangnya faktor 5C,47 2). Penilaian terhadap aspek prospek usaha, kondisi keuangan dan kemampuan membayar.48 “Pada prinsipnya dalam pembiaayaan murabahah tidak dipersyaratkan adanya jaminan, namun agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan oleh pengelola dana, pemilik dana dapat meminta jaminan dari pengelola dana atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad” 49 Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Segala kebendaan milik debitur si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”50 Dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besarkecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”51 Pengikatan jaminan ini penting untuk lebih meyakinkan bahwa agunan yang diberikan akan mampu menjamin pengembalian kredit atau
47 Yang dimaksud analisis 5 C, yaitu: Character, Capital, Capacity, Condition of economy and Collateral. 48 Pada PAPSI (Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia) Tahun 2003 Bank Indonesia, h. 58, dalam
http://www.gunadarma.ac.id//library/articles/graduate/economy Artikel_pdfAhmad Syaiful Anam. (Diakses: kamis , 5 Januari 2012). 49
/2009
/
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004. h. 15 50 R.Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005.h.291 51 Ibid., h.291
22
pembiayaan bila terjadi wanprestasi, maka agunan yang diserahkan oleh debitur harus dilakukan pengikatan.52 Pengikatan jaminan atau agunan merupakan perjanjian accessoir (perjanjian buntut atau perjanjian turutan), sedangkan perjanjian pokoknya dalam konteks perbankan berupa pemberian kredit atau pembiayaan. Oleh karena itu, berdasarkan doktrin hukum maka perjanjian accessoir dibuat berdasarkan suatu perjanjian pokok. Bila perjanjian pokok hapus maka perjanjian accessoir juga harus dihapuskan. Sehubungan dengan itu, perjanjian kredit atau pembiayaan adalah perjanjian pokok dan perjanjian pengikatan jaminan/agunan adalah perjanjian accessoir. Dengan demikian untuk pengamanan pemberian kredit atau pembiayaan seharusnya setelah perjanjian ditandatangani segera dilakukan perjanjian pengikatan jaminan kredit atau pembiayaan.53 Mengenai pengikatan jaminan kredit atau pembiayaan dapat diikuti berbagai ketentuan hukum yang tercantum dalam peraturan perundangundangan yang mengatur tentang lembaga jaminan dalam kaitannya dengan suatu utang-piutang. Di Indonesia setelah Tahun 1996, yakni sejak lahirnya UU. No. 4 Tahun 1996 tentang tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, pengikatan jaminan (anggunan) kredit atau
52 Muhammad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 2000. h. 400 53 M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: CV. Rejeki agung, 2000. h. 110
23
pembiayaan di bank melalui lembaga jaminan dapat dilakukan melalui gadai, hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.54
2. Akad Murabahah a. Pengertian Akad Akad adalah sesuatu yang diikatkan seseorang bagi dirinya sendiri atau bagi orang lain dengan kata harus.55 Misalnya: setiap hal yang diharuskan seseorang atas dirinya sendiri baik berupa nadzar, sumpah dan sejenisnya disebut akad, demikian juga jual beli dan sejenisnya adalah akad atau perjanjian. Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, pengertian akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang, seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan dan gadai. 56 Adapun istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia di sebut “akad” dalam hukum Islam. Akad merupakan “pertemuan (ijab) yang diajukan oleh salah satu pihak dengan qabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad”. Sedangkan menurut Syamsul Anwar, akad adalah, “pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya”.57
Kedua definisi tersebut memperlihatkan bahwa, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat 54
Ibid. Abdullah Al-Mushlih Dan Sholah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Penerjemah Abu Umar Basyir, Kata Pengantar Adiwarman A. Karim, Cet. I Jakarta : Darul Haq, 2004. h. 26. 56 Muhammad Firdaus N.H, Dkk., Memahami Akad-Akad Syari’ah, Cet. I, Jakarta : Renaisan, 2005. h. 13. 57 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat), Jakarta:Rajawali Pres, 2010. h.68 55
24
hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan kabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama.58 Hukum pokok akad sama bagi semua akad satu nama, meskipun pihak yang membuatnnya berbeda-beda. Untuk merealisasikan hukum pokok akad, maka para pihak memikul beberapa kewajiban yang sekaligus merupakan hak pihak lain. Misalnya, dalam akad jual beli, penjual berkewajiban menyerahkan barang yang merupakan hak pembeli, dan pembeli berkewajiban menyerahkan harga yang merupakan hak pembeli, dan pembeli berkewajiban menyerahkkan harga yang merupakan hak penjual. Hak dan kewajiban ini disebut hak-hak akad, dan disebut juga akibat hukum tambahan akad. Akibat hukum tambahan akad ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu akibat hukum yang ditentukan oleh syariah dan akibat hukum yang ditentukan oleh para pihak sendiri.59 b. Dasar-Dasar Akad Dalam bukunya Ahmad Mustafa Al-Maraghi, dasar-dasar akad di antaranya: 1) Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 1, yakni:
...
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.60
58
Ibid., h. 67 Ibid., h. 71 60 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Gema Risalah Press, 1992. 59
25
Maksud " ِ أ َو ّﻓ" ُﻮا ْ ﺑ ِﺎ ْﻟﻌ ُﻘ ُﻮدadalah bahwa setiap mu’min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal. Dan kalimat tersebut adalah merupakan asas ‘Uqud.61 2) Dalam kaidah fiqh dikemukakan, yakni: “Hukum asal dalam transaksi adalah kerida’an kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”. Maksud kerida’an tersebut yakni keridlaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada kerida’an kedua belah pihak.62 c. Rukun dan Syarat Akad Rukun dalam akad ada tiga, yaitu: 1). Pelaku akad, 2). Objek akad, 3). Shigah atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul. Pelaku akad haruslah orang yang mampu melakukan akad untuk dirinya dan mempunyai otoritas syariah yang diberikan pada seseorang untuk merealisasikan akad sebagai perwakilan dari yang lain. Objek akad harus ada ketika terjadi akad, harus sesuatu yang disyariatkan, harus bisa diserahterimakan ketika terjadi akad, dan harus sesuatu yang jelas antara dua pelaku akad.63
61
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar dkk., Terjemahan Tafsir Al Maraghi, Cet. II ,Semarang : PT. Karya Toha Putra, Semarang, 1993 Juz. VI. h. 81. 62 Ibid., h. 82 63 Ibid.,
26
Adapun syarat akad ada empat, yaitu: 1). Syarat berlakunya akad, 2). Syarat sahnya akad, 3). Syarat terealisasikannya akad, dan 4) syarat lazim.64 d. Pengertian Murabahah Al Murabahah, yaitu kontrak jugal beli dimana barang yang diperjualbelikan tersebut diserahkan segera, sedang harga (baik pokok dan margin keuntungan yang disepakati bersama) atas barang tersebut dibayar dikemudian hari secara sekaligus (Lump Sum Deferred Payment). Dalam prakteknya, bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli dengan kewajiban membayar secara tangguh dan sekaligus.65 Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan dan bisa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian. Dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-amir bi al-syira. Dalam hal ini, calon pembeli atau pemesan dapat memesan kepada seseorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan suatu barang tertentu yang diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup ditanggung pemesan. Selain itu kedua belah pihak juga harus menyepakati berapa keuntungan atau tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli antara kedua belah pihak dilakukan setelah barang tersebut berada ditangan pemesan.66
64
Ibid., Adiwarman. A. Karim, bank islam analisis fiqih dan keuangan, jakarta: raja grafindo, 2011. h.112. 66 Cara Mudah Memahami Akad-akad Syariah.,h. 37 65
27
e. Dasar hukum murabahah 1) Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 275:67
... Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.68
2) Hadits Dari Abu Said Al-Hudriyyi bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan secara suka sama suka” (H.R.Al-Baihaqi, Ibnu Majah, dan Shahih menurut Ibn Hibban)69 3) Ijma Umat Islam telah berkonsensus tentang keabsahan jual beli, karena manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu, jual beli adalah salah satu jalan untuk mendapatkannya secara sah. Dengan demikian, maka mudahlah bagi setiap individu untuk memenuhi kebutuhannya.70 4) Fatwa
67
Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, h.
7 68
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Gema Risalah Press, 1992. Ahim Abdurrahim, Dalil-Dalil Naqli Seri Ekonomi Islam, Bantul: UPFE, 2001.h.36. 70 Muhammad, sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, h. 23 69
28
Fatwa DSN No. 4/DSN-MUI/IV/2000: murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.71 f. Rukun dan syarat murabahah Rukun dari akad murabahah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa yaitu:72 1) Pelaku akad, yaitu ba’i (penjual) adalah pihak yang memeliki barang untuk di jual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli barang. 2) Obejek akad, yaitu mabi’ (baeang dagangan) dan tsaman (harga), dan 3) Shigah, yaitu Ijab dan Qabul. Beberapa syarat pokok murabahah, antara lain sebagai berikut:73 1) Kontrak harus bebas riba. 2) Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli ketika penjual secara eksplisit menyatakan biaya perolehan barang yang akan dijualnya dan menjual kepada orang lain dengan menambahkan tingkat keuntungan yang diinginkan. 3) Tingkat keuntungan dalam murabahah dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama dalam bentuk lumpsum atau persentase tertentu dari biaya.
71 Moch Faisal Salam, Pertumbuhan Hukum Bisnis Syariah di Indonesia, Bandung: Pustaka Ilmu, 2006. h. 205. 72 Ascarya, akad & produk bank syariah, Jakarta: PT raja grafindo persada, 2007. h. 82 73 Ibid...h. 83
29
4) Barang yang diperjual belikan (mabi) tidak termasuk barang yang haram dan jenis maupun jumlahnya jelas. Menurut jumhur ulama, rukun dan syarat yang terdapat dalam bai’murabahah sama dengan rukun dan syarat yang terdapat dalam jual beli, hanya satu yaitu shigat (ijab dan qabul), adapun rukun-rukun lainnya merupakan derivasi dari shigat. Dalam artian, shigat tidak akan ada jika tidak terdapat dua orang pihak yang bertransaksi, misalnya penjual dan pembeli, dalam melakukan akad (shigat) tentunya ada sesuatu yang harus ditransaksikan, yakni objek transaksi.74
4. Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) a. Pengertian Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) Nama Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) jika dirunut dari kata pembentuknya, ia tersusun atas dua kata golongan yang masng-masing mempunyai makna sendiri, yakni Baitul Maal dan Baituttamwil. Baitul Maal adalah lembaga keuangan yang berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat berupa zakat, infaq dan shadaqah (ZIS), sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Al
74
Ibid.,h. 84
30
Quran dan Hadits.75 Oleh karena berorientasi sosial keagamaan maka lembaga tersebut tidak dapat dimanipulasi untuk kepentingan bisnis (profit oriented). Namun dalam kerangka manajemen BMT, secara fungsional lembaga ini berperan dalam beberapa hal antara lain :76 - Membantu baituttamwil dalam menyediakan kas untuk alokasi pembiayaan
non komersial, Qardh al-Hasan.77 - Menyediakan cadangan penyisihan penghapusan pembiayaan macet akibat
kebangkrutan usaha nasabah baituttamwil yang berstatus al-gharim.78 - Berperan dalam usaha peningkatan bidang kesejahteraan umat.
Sedangkan baituttamwil adalah merupakan lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam perbankan. 79 Sesuai dengan nama dan pengertiannya, BMT dapat menjalankan kegiatan sebagai suatu perantara keuangan (financial intermediary) dengan cara menghimpun dana dari orang-orang yang berkelebihan dana (surplus fund) melalui fungsi tabungan dan deposito berjangka dan menyalurkannya kembali pada pihak-pihak yang membutuhkan (deficit fund) melalui beberapa sektor 75
kegiatan
bisnis
dalam
skala
kecil
atau
menengah
maupun
Ibid, h.54 Ibid., 77 yaitu pembiayaan yang diberikan BMT kepada nasabah tanpa pungutan bagi hasil atau keuntungan dalam bentuk apapun atas nasabah. 78 yaitu orang yang menurut fiqh telah memenuhi syarat dinyatakan hidup dalam kesempitan karena beban hutang yang terlalu berat dengan pemilikan asset yang tidak memadai sehingga menimbulkan akibat yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya secara layak. 79 Ibid., h.55 76
31
menyalurkannya melalui simpan pinjam, sekaligus juga berfungsi sebagai lembaga keuangan yang non-profit, menyalurkan dana-dana berupa ZIS.80
b. Badan Hukum Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) dapat didirikan dalam bentuk kelompok swadaya masyarakat atau koperasi. 1) KSM adalah kelompok swadaya masyarakat dengan mendapat surat keterangan operasional dan PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). 2) Koperasi serba usaha atau koperasi syariah. 3) Koperasi simpan pinjam syariah (KPS-S).
c. Sistem Operasionalisasi BMT Baitul Maal Wat Tamwil beroperasi atas dasar syariat Islam, sehingga dalam pengoperasiannya seluruh kegiatan dan produk yang ditawarkan adalah dalam bentuk jasa perbankan yang mengacu pada konsep perbankan Islam. Terdapat tiga prinsip perbankan yang ditawarkan oleh BMT sebagai realisasi produk operasional,81 yaitu : 1) Prinsip Bagi Hasil, Prinsip ini merupakan sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengelola dana (mudharib). Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara BMT dangan anggota/mitra. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah Mudharabah dan Musyarakah. Dalam konsep bagi hasil, besarnya nisbah tidak harus sama setiap bulannya, namun untuk tujuan efisiensi, 80
Ibid.,h.56 Neni Sri Imaniyati, Aspek-Aspek Hukum BMT, Bandung, Citra Adtya Bakti, 2010, h.
81
76-79
32
maka besarnya nisbah ditetapkan sama di setiap akad, terutama untuk produk pembiayaan. 2) Prinsip Jual Beli dengan Marjin Keuntungan (Mark Up), Prinsip ini merupakan tata cara jual beli yang dalam pelaksanaannya BMT mengangkat anggota sebagai agen yang diberi kuasa melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai penjual yang menjual barang tersebut kepada anggota/mitra dengan sejumlah harga beli ditambah dengan keuntungan bagi BMT (Margin/mark up). Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah Murabahah dan Bai Bithaman Ajil. Dalam penentuan tingkat mark up jual beli di BMT sesungguhnya tidak terdapat aturan pasti mengenai berapa besar mark up yang ditetapkan. Semua bergantung pada situasi dan kondisi tertentu di BMT serta kelaziman pasar. Diperlukan suatu kemampuan analisa yang cermat dari pihak BMT untuk mengetahui keadaan pasar mengenai naik turunnya harga suatu barang, sehingga dalam penentuan mark up dapat dicapai keadilan antara nasabah dan BMT. Ada beberapa hal yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan mark- up di BMT :82 - Jenis barang yang akan dijual; - Biaya operasional BMT; - Biaya penanggulangan resiko; - Keuntungan yang diharapkan, dan - Lama pembiayaan.
82
Aspek-Aspek Hukum BMT, h.78
33
3) Prinsip Non Profit, Prinsip ini merupakan pembiayaan kebajikan, lebih bersifat sosial dan tidak profit oriented. Dikatakan juga sebagai pinjaman lunak bagi bisnis usaha kecil yang benar-benar kekurangan modal. Anggota tidak perlu membagi keuntungan kepada BMT tetapi hanya membayar biaya riil yang tidak dapat dihindari untuk terjadinya suatu transaksi seperti biaya administrasi. Bentuk ini disebut dengan Qardhul Hasan.83
83
Ibid., 83