51
BAB II TANGGUNG JAWAB PARA PIHAK DALAM PELAKSANAAN KONTRAK KEAGENAN MINYAK TANAH YANG DIBUAT ANTARA PARA AGEN DENGAN PERTAMINA A. Pengertian Perjanjian pada Umumnya Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi perjanjian yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi perjanjian sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, perjanjian dapat di-paksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran perjanjian atau ingkar janji (wanprestasi).60 Pengaturan tentang perjanjian terdapat terutama di dalam KUH Perdata, tepatnya dalam Buku III, disamping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum. Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undangundang.
60
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Sumur, Bandung 1991, hal. 92.
37
Universitas Sumatera Utara
52
Ketentuan yang mengatur mengenai masalah perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang Perikatan. Perjanjian atau perikatan belum mendapat keseragaman bahwa perjanjian berasal dari istilah verbintenis, sebagian pakar hukum ada yang menterjemahkannya menjadi perjanjian, sedangkan kata oveerenkomst diterjemahkan sebagai persetujuan.61 Maka dari kata verbintenis dan oveerenkomst, adalah verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat, jadi kata verbintenis menunjuk kepada adanya ikatan atau hubungan, hal ini sesuai dengan definisi verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut diatas kata verbintenis lebih banyak digunakan perikatan sedangkan oveerenkomst berasal dari kata kerja oveerenkomen yang artinya setuju atau sepakat, jadi oveerenkomst mengandung arti kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh KUH Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri pada satu orang atau lebih”. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa “definisi tersebut menurut para ahli hukum pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian tersebut tidak lengkap dan terlalu luas’.62 Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup mengenai hal-hal mengenai perjanjian kawin yaitu perbuatan didalam lapangan perbuatan hukum keluarga yang 61
Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1993, hal. 7. Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983, hal. 89. 62
Universitas Sumatera Utara
53
menimbulkan perjanjian juga namun sifatnya karena dikuasai oleh ketentuanketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata tidak berlaku kepadanya. Adapun kelemahan dari Pasal 1313 KUH Perdata ini adalah sebagai berikut: a. Pasal tersebut hanya menyangkut sepihak saja artinya hanya satu pihak saja yang melakukan prestasi, dikatakan demikian karena dapat dilihat dari rumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak, jadi seharusnya, saling mengikatkan diri, jadi ada persetujuan para pihak. b. Perkataan perbuatan juga menyangkut konsensus. Dalam hal pengertian perbuatan
termasuk
(zaakwarneming),
juga
tindakan
melaksanakan melawan
hukum
tugas
tanpa
kuasa
(onrechtmatigedaad),
seharusnya dipakai kata persetujuan; c. Pengertian perjanjian terlalu luas, karena termasuk juga perkawinan, janji kawin, hal ini diatur dalam KUH Perdata Buku I, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki Buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan yang bersifat personal; d. Definisi Pasal 1313 KUH Perdata tanpa menyebut tujuan. Dalam pasal ini tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak yang mengadakan
Universitas Sumatera Utara
54
perjanjian itu tidak jelas mengetahui tujuannya mengikatkan diri dalam perjanjian.63 Dalam hal ini juga beberapa pakar hukum memberikan rumusan yang berbeda misalnya Subekti memberikan rumusan sebagai berikut “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Selanjutnya beliau mengatakan “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan itu adalah sama artinya sedangkan perkataan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis.64 Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu yang dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ia bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.65 Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Pada bentuk tertulis itu tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu, misalnya perjanjian untuk mendirikan PT harus dengan akta Notaris.
63
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit., hal. 78. R.Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1979, hal.1. 65 Mariam Darus Badrulzaman (et al), Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 65. 64
Universitas Sumatera Utara
55
Pendapat lain dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo “perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.66 M.Yahya Harahap berpendapat, Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum harta kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak kepada suatu pihak untuk memperoleh suatu prestasi dan sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasi.67 Selanjutnya dilihat dari Bentuk kontrak/perjanjian dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: a. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan b. Perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).68 Menurut perundang-undangan tidak semua perjanjian diharuskan tertulis, kecuali yang secara tegas dipersyaratkan harus dalam bentuk tertulis, seperti perjanjian perdamaian. Bahkan ada yang harus dengan akta otentik, yang dibuat di hadapan Notaris seperti perjanjian penghibahan atas benda tetap atau pengalihan hak atas tanah.
66
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988,
67
M.Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6.
68
Salim HS, Op.Cit., hal 61.
hal. 70.
Universitas Sumatera Utara
56
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, mengemukakan bahwa cara terbentuknya perjanjian berdasarkan atas perjanjian formal dan perjanjian tersebut mempunyai 3 (tiga) tipe, yaitu: 1. Contracts underseal, adalah perjanjian ini tertulis dan bercap (seal) yang dibutuhkan yang dibubuhkan di atas kertas, sekarang ini di beberapa negara sebagai akibat hukum dari seal tersebut telah dimodifikasi atau ditidakan oleh perundang-undangan. 2. Recognizance, yaitu perjanjian ini mencakup suatu janji di hadapan pengadilan oleh pemberi janji (promisor) untuk pemenuhan suatu pembayaran tertentu tanpa diperlukan ada tindakan khusus. 3. Negotiabe contracts, yaitu perjanjian yang menembus dan fundamental bagi bisnis.69 Pada hakekatnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu karena dalam suatu perjanjian, menurut Ridwan Khairandy “Terdapat tiga asas yang saling berkaitan, yaitu asas konsensualisme (the principles of the consensualism), asas kekuatan mengikat kontrak (the principles of the binding force of contract) dan asas kebebasan berkontrak (the principles of the freedom of contract).70 Oleh karena itu, suatu perjanjian harus memenuhi asas utama dari suatu perikatan dan ketentuan syarat sahnya perjanjian yang tertuang dalam ketentuan Pasal 1338 jo Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dengan dipenuhinya ketentuan tersebut, maka perjanjian tersebut akan sah dan mengikat para pihak yang membuatnya.
69
Sri Soedewi Mosjchoen Sofwan, Hukum Perjanjian, Yayasan Badan Penerbit, Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980, hal 59 70 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta 2004, hal 38.
Universitas Sumatera Utara
57
Azas kebebasan berkontrak terjelma dalam ayat (1) dari Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang yang dibuatnya”.71 Hal ini dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu Undang-Undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Dari Pasal
1338 ayat (1) dapat dikatakan bahwa, Pasal itu seolah-olah
membuat suatu pernyataan bahwa diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat sebagaimana mengikatnya Undang-Undang. Dari prinsip yang terkandung dalam ketentuan di atas, jelaslah bahwa suatu perjanjian
dapat dibuat
secara lisan dan dapat pula dalam bentuk tulisan. Jika dibuat secara tertulis, hal ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan di kemudian hari. Pada dasarnya memang hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang bersifat apa saja selama perjanjian itu tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan, demikian Pasal 1339 KUHPerdata menentukan. Apa yang dikatakan R. Subekti adalah sangat tepat sekali yaitu bahwa : Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap yang berarti bahwa Pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihakpihak yang membuat suatu perjanjian, mereka diperbolehkan membuat
71
R. Subekti, Op.Cit., hal.25.
Universitas Sumatera Utara
58
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal hukum perjanjian.72 Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu, sebab Pasal-pasal dari hukum perjanjian sungguh dapat dikatakan melengkapi perjanjian yang dilahirkan secara tidak lengkap dan memang sering dijumpai bahwa orang-orang membuat suatu perjanjian tidak mengatur keseluruhan semua persoalan yang bersangkut paut dengan perjanjian itu.73 Apabila di sekitar para pihak tidak mengatur sendiri tentang suatu soal, maka dapat diartikan bahwa pihak-pihak mengenai soal tersebut secara otomatis atau dengan sendirinya akan tunduk kepada KUH Perdata. Hal-hal demikian adalah sering dijumpai dalam pergaulan hukum, sebab para pihak biasanya hanya menyetujui halhal yang pokok saja tidak sampai kepada hal-hal yang sekecil-kecilnya.74 Namun demikian, dalam praktek pelaksanaan suatu perjanjian juga tidak menutup kemungkinan para pihak dalam perjanjian menetapkan bahwa hal-hal yang belum diatur atau belum disepakati dalam perjanjian akan ditetapkan kemudian secara musyawarah. Perjanjian-perjanjian khusus diatur dalam buku III KUHPerdata, dapat digolongkan menurut tujuan masing-masing namun penggolongannya tidak mungkin sempurna, sebab masih ada dijumpai beberapa perjanjian dengan berbagai tujuan yang sulit dimasukkan dalam salah satu golongan. 72
Ibid., hal. 32 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 18. 74 Utinaita Sitepu, Analisis Yuridis Perimbangan Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Pendirian Tower Pemancar Indosat Dengan Pemda Subulussalam, MKn, SPS USU, Medan, 2009, hal 36. 73
Universitas Sumatera Utara
59
Dalam membuat suatu perjanjian banyak cara atau jenisnya yang telah diperlukan dalam masyarakat, baik hal itu telah diatur dalam Undang-Undang maupun hanya merupakan suatu kebiasaan yang telah dilakukan sehari-hari. R. Subekti, menggolongkan jenis-jenis perjanjian, antara lain : 1. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak satu atau si penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang sedang pihak yang lainnya atau si pembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 2. Perjanjian tukar-menukar adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai gantinya suatu barang lain. Demikian Pasal 1541 KUHPerdata menentukan. 3. Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Demikian Pasal 1548 KUHPerdata menentukan. 4. Perjanjian sewa-beli adalah suatu perjanjian jual-beli dimana penjual menyerahkan barang yang dijual secara nyata (feitelijk) kepada pembeli, akan tetapi penerahan tadi tidak dibarengi dengan penyerahan hak milik, hak milik baru berpindah atau diserahkan yakni pada saat ‘pembayaran termein terakhir’ dilakukan pembeli tetapi sekalipun pembayaran dilakukan secara berkala, namun barang yang dibelikan harus diserahkan kepada penguasaan pembeli secara nyata. 5. Perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Undang-Undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam yaitu : 1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu Dalam perjanjian ini dimana satu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan. 2. Perjanjian kerja atau perburuhan. Yaitu perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas, yaitu suatu hubungan berdasarkan dimana pihak majikan berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain. 3. Perjanjian pemborong pekerjaan Adalah suatu perjanjian antara pihak yang memborongkan pekerjaan dengan pihak yang memborong pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
60
6. Perjanjian pengangkutan adalah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari satu tempat ke tempat yang lain, sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya. 7. Perjanjian persekutuan adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk berusaha atau bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan bersama. 8. Perjanjian penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana dipenghibah, diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian dengan Cuma-Cuma dimana perkataan ‘dengan Cuma-Cuma’ itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang lain tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan, perjanjian yang demikian juga dinamakan perjanjian sepihak. 9. Perjanjian penitipan barang adalah suatu perjanjian riil, yang berarti bahwa perjanjian ini baru terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang nyata, yaitu diserahkannya barang yang dititipkan. 10. Perjanjian pinjam-pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lain untuk dipakai secara CumaCuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang itu, setelah memakainya atau setelah lewat waktu tertentu, akan mengembalikannya. 11. Perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. 12. Perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. 13. Perjanjian pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. 14. Perjanjian penanggungan utang adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. 15. Perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.75 75
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1984, hal. 35
Universitas Sumatera Utara
61
Mengenai jenis perjanjian yang telah dikemukakan di atas, masih ada lagi dijumpai beberapa jenis perjanjian sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, ada menyebutkan beberapa jenis perjanjian antara lain : 1. Perjanjian Timbal-Balik Dan Perjanjian Sepihak. a. Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat, misalnya perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar. b. Perjanjian Sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah, dimana pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda objek perjanjian, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu. 2. Perjanjian Percuma Dan Perjanjian Alas Hak Yang Membebani. a. Perjanjian Percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam-pakai, perjanjian hibah b. Perjanjian dengan Alas Hak Yang Membebani adalah perjanjian dalam mana terdapat prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra-prestasi dari pihak lainnya sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 3. Perjanjian Bernama Dan Tidak Bernama. a. Perjanjian Bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar – menukar, pertanggungan. b. Perjanjian Tidak Bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. 4. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir. a. Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual-beli sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. b. Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Misalnya dalam perjanjian jual-beli, dimana pembeli berhak menuntut penyerahan barang, dan penjual berhak atas pembayaran harga selain itu pembeli juga berkewajiban membayar harga dan penjual berkewajiban menyerahkan barang. 5. Perjanjian Konsensual Dan Perjanjian Real. a. Perjanjian Konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak.
Universitas Sumatera Utara
62
b. Perjanjian Real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya perjanjian jual-beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam-pakai. 76 Berdasarkan jenis perjanjian yang dikemukakan di atas perjanjian penunjukan agen minyak tanah yang dibuat antara Pertamina dengan agen minyak tanah menurut penulis apabila dilihat dari pembagian perjanjian yang diutarakan oleh Subekti dapat dimasukkan dalam perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian persekutuan karena dengan penunjukan agen merupakan suatu bentuk pemberian kuasa kepada agen minyak yang ditunjuk untuk menyelenggarakan peenyaluran minyak tanah yang bersubsidi kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau ditentukan oleh pihak Pertamina. Namun apabila dikaitkan dengan pembagian jenis perjanjian
yang
dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad, maka perjanjian penunjukan agen minyak tanah dapat dikelompokkan dalam perjanjian konsensual dan perjanjian real, dimana dalam perjanjian perjanjian penunjukan agen minyak tanah dibuat atas dasar konsensus atau kesepakatan antara
Pertamina dengan agen minyak tanah untuk
melaksanakan penyaluran minyak tanah bersubsidi dengan het harga yang telah ditentukan pemerintah. B. Syarat-Syarat Untuk Sahnya Suatu Perjanjian Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system), artinya bagi bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah
76
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,
hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
63
diatur maupun yang belum diatur di dalam Undang-Undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya.” Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian, 2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun, 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan, 4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan77 Perjanjian yang sah artinya, perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang sehingga perjanjian tersebut diakui oleh hukum. Syarat-syarat sahnya suatu persetujuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata dengan sendirinya berlaku juga bagi sahnya suatu perjanjian. Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata adalah : 1. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (Consensus). 2. Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (Capacity). 3. Ada suatu hal yang tertentu (A certain subject matter). 4. Ada suatu sebab yang halal (Legal cause).78
77 78
Salim H.S, Op.Cit., hal. 100 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hal. 88
Universitas Sumatera Utara
64
Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut selanjutnya dapat dirinci sebagaimana, dikemukakan berikut ini: 1. Kesepakatan (Toesteming/Izin) Kedua Belah Pihak Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus pada pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan: a) Bahasa yang sempurna dan tertulis; b) Bahasa yang sempurna secara lisan; c) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; d) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; e) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan79 Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian hari. 2. Kecakapan bertindak Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat
79
Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, 1987, hal 7.
Universitas Sumatera Utara
65
hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum: a) Anak di bawah umur (minderjarigheid), b) Orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan c) Istri (Pasal 1330 KUHPerdata). Akan tetapi dalam perkembangnnya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.80 Pada dasarnya setiap orang
yang telah dewasa dan tidak terganggu
ingatannya, cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang dewasa yang terganggu ingatannya, anak di bawah umur dan orang yang berada di bawah pengampuan dianggap tidak cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.81 Dalam membuat sesuatu perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam lalu lintas hukum, karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan harus dapat mempertanggung jawabkannya.82 Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1339 KUH Perdata “bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan persetujuan, kecuali orang-orang yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap”.
80
Utinaita, Op.Cit, hal.38. R. Subekti, Op.Cit., hal. 19. 82 Ibid. 81
Universitas Sumatera Utara
66
M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa “subjek yang dianggap memiliki kecakapan memberikan persetujuan adalah orang yang mampu melakukan tindakan hukum. Umumnya mereka yang mampu melakukan tindakan hukum adalah orang dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada di bawah pengampuan wali maupun di bawah “curatele”.83 Subjek dari perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka ia harus mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak sehat pikirannya walaupun telah dewasa, tidak dapat menyelenggarakan kepentingannya dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menyelenggarakan kepentingannya. Ketidakcakapan ini disebut tidak cakap untuk mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik.84 Orang yang belum dewasa, umumnya belum dapat menentukan dengan sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang berdasarkan keputusan hakim dinyatakan bahwa ia tidak mampu/ pemboros di dalam mengendalikan
83 84
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 6. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
67
keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari orang tertentu
untuk
menyelenggarakan kepentingannya.85 Setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi Miru mengatakan bahwa: Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum diangap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros.86 3. Adanya Objek Perjanjian (Suatu hal Tertentu) Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan, hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.87 Barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang yang sudah ada di tangan si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Akibat syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian itu dianggap batal demi hukum.88
85
Ibid., hal. 9. Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 29. 87 R. Subekti, Op.Cit, hal. 19 88 Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 94 86
Universitas Sumatera Utara
68
Persyaratan yang demikian itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian haruslah tertentu barangnya atau sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”. 4. Ada suatu sebab yang halal (legal cause) Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus memenuhi syarat yang dinamakan sebab atau yang diperbolehkan. Akan tetapi, yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang terjadi sebab orang yang mengadakan
perjanjian,
yang
diperhatikan atau
diawasi oleh undang-undang
adalah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.89 Jika perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.
89
Ibid, hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
69
Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah ada.90 Dengan demikian, apabila dalam membuat perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan, maka perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut. Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut. a.
Syarat Subjektif. Syarat subjektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan
bertindak dalam bidang hukum.91 Kedua syarat ini dikatakan subjektif
karena
ditujukan kepada orang atau objek yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan.
90 91
Ibid, hal. 96. Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
70
Adapun yang membatalkan suatu perjanjian itu adalah hakim dengan permintaan dari orang yang berkepentingan. b.
Syarat Objektif Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kedua
syarat ini dikatakan syarat objektif karena merupakan benda atau objek dari perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.92 Mengenai adanya suatu perjanjian yang terdapat di luar KUH Perdata tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Para pihak bebas menentukan objek perjanjian, sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus melaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa pemberian sesuatu, perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.93 Makna asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas Hukum Kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut : 1. Asas Konsensualisme
92 93
Ibid. Lihat Pasal 1338 Jo Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
71
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. Asas Kepercayaan Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Asas Kekuatan Mengikat Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat. Terikatannya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak. Asas Persamaan Hak Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas Moral Asas ini terlihat di dalam Zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.94 Dengan demikian jelaslah bahwa perjanjian baik dilakukan secara tertulis
maupun lisan sama-sama mengikat para pihak yang membuatnya, asalkan memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
94
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (standar) Perkembangannya di Indonesia, Alumni Bandung, 1990, hal. 42-44.
Universitas Sumatera Utara
72
Selanjutnya dalam hal menentukan telah terjadinya kata sepakat, para sarjana telah mengemukakan berbagai teori antara lain : 1. Teori Kehendak. Teori ini menekankan pada faktor kehendak. Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu penyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak tertarik kepada pernyataan tersebut. 2. Teori Pernyataan Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan. Misalnya jika A menawarkan sesuatu barang kepada B dan diterima oleh B maka antara A dan B telah terjadi persetujuan tanpa menghiraukan apakah yang dinyatakan oleh A dan B itu sesuai dengan kehendaknya masing-masing pihak atau tidak. 3. Teori Kepercayaan Menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya.95 Persetujuan kehendak itu sifatnya harus bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan maupun dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti. Sebelum ada persetujuan biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan, yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syarat, sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula kehendaknya itu sehingga tercapailah persetujuan yang mantap. C. Pembatalan dan Hapusnya Suatu Perjanjian 1. Pembatalan suatu perjanjian
95
R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1977, hal. 57
Universitas Sumatera Utara
73
Dalam pembahasan mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian telah disebutkan sebelumnya dikatakan bahwa apabila suatu syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum, sedangkan tentang syarat subyektif, perjanjian baru dapat dibatalkan apabila diminta kepada hakim. Menurut KUHPerdata pengertian pembatalan perjanjian digambarkan dalam dua bentuk yaitu : (a) Pembatalan mutlak (absolute nietigheid) dan (b) Pembatalan relatif (relative nietigheid).96 a) Pembatalan mutlak (absolute nietigheid) Pembatalan mutlak (absolute nietigheid) yang dimaksud adalah suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh salah satu pihak, dimana perjanjian seperti ini dianggap tidak pernah ada sejak semua terhadap siapapun juga. Misalnya, terhadap suatu perjanjian yang akan diadakan tidak mengindahkan cara yang dikehendaki oleh Undang-Undang secara mutlak.97 Suatu perjanjian adalah batal mutlak apabila causanya bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden), bertentangan dengan ketertiban umum (openvare orde), ataupun dengan Undang-Undang. Misalnya, penghibahan benda tidak bergerak harus dengan
akte
notaris,
perjanjian
perdamaian
harus
dibuat
secara
tertulis,
konsekuensinya adalah bahwa terhadap perjanjian-perjanjian tersebut batal demi hukum.
96 97
R Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal 36. Ibid., hal 37
Universitas Sumatera Utara
74
Menurut Subekti bahwa “Dalam hal yang demikian secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang–orang yang bermaksud membuat perjanjian itu”.98 Dengan demikian, para pihak yang hendak meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain telah gagal, maka oleh sebab itu pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lainnya dimuka hakim karena dasar hukumnya tidak ada, hakim karena jabatannya diwajibkan menyatakan bahwa diantara pihak-pihak tidak pernah ada perjanjian. Jika suatu perjanjian tidak mengandung suatu hal tertentu, dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan, sebab tidak jelas apa yang diperjanjikan oleh para pihak. Demikian juga dengan perjanjian yang isinya tidak halal. Hal ini m,enjelaskan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan, karena bertentangan dengan hukum dan kepatutan, dan boleh karena perjanjian-perjanjian yang bersifat melanggar itu harus dicegah. b) Pembatalan relatif (relative nietigheid) Pembatalan relatif (relative nietigheid) yang dimaksud dengan batal relatif adalah suatu perjanjian yang tidak batal dengan sendirinya, tetapi perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Pembatalan relatif ini dapat dibagi menjadi dua macam pembatalan, pembatalan-pembatalan tersebut adalah :
98
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1982, hal. 22
Universitas Sumatera Utara
75
1) Pembatalan atas kekuatan sendiri, maka kapan hakim diminta supaya menyatakan batal (nieting verklaard) misalnya dalam perjanjian yang diadakan oleh seorang yang belum dewasa atau di bawah umur, pengampuan atau yang berada dibawah pengawasan curatele. 2) Pembatalan belaka oleh hakim yang putusannya harus berbunyi ‘membatalkan’ misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara paksaan, kekeliruan ataupun penipuan.99 Pasal 1446 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa atau orang-orang di bawah pengampuan adalah batal demi hukum dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Selanjutnya ayat (2) dari Pasal tersebut juga menyebutkan bahwa perikatanperikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orangorang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka. Jika pada waktu pembatalan ada kekurangan mengenai syarat subyektif, maka sebagaimana yang diterangkan sebelumnya bahwa perjanjian itu bukanlah batal demi hukum tetapi dapat diminta pembatalannya oleh salah satu pihak, pihak mana adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum. Pembatalan dapat diterima oleh orang tua
99
Ibid., hal 25-26
Universitas Sumatera Utara
76
atau walinya, ataupun oleh ia sendiri setelah ia menjadi cakap dan pihak yang memberikan izin perjanjian itu secara tidak bebas.100 Dengan demikian ketidak cakapan dan ketidak bebasan seseorang dalam memberikan perizinan dalam suatu perjanjian memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakat untuk meminta pembatalan perjanjian, dengan pengertian bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan itu, sebab hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja yaitu pihak yang oleh Undang-Undang diberi perlindungan itu. Adanya kekurangan tentang syarat subyektif adalah tidak dengan begitu mudah dapat diketahui, jadi harus dimajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Undang- Undang memberi kebebasan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Walaupun Undang-Undang telah memberikan hak untuk meminta pembatalan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan, namun hal tersebut akan hilang jika batas waktu yang ditentukan oleh Pasal 1456 KUHPerdata, tidak dipergunakan. Dimana hak meminta pembatalan itu oleh Pasal 1454 KUHPerdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu yaitu 5 (lima) tahun, waktu mana mulai berlaku dalam hal ketidak cakapan suatu pihak sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum. 2. Hapusnya perjanjian
100
Ridwan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1992,
hal 58.
Universitas Sumatera Utara
77
Dalam Pasal 1381 KUH Perdata disebutkan cara hapusnya perjanjian yaitu sebagai berikut : a. Pembayaran Istilah pembayaran tidak selalu harus diartikan terbatas pada pelunasan hutang semata-mata, karena bila ditinjau lebih jauh pembayaran tidak selamanya harus berbentuk sejumlah uang atau barang tetentu. Pembayaran dapat juga dilakukan dengan pemenuhan jasa atau pembayaran dalam bentuk yang tidak berwujud, pembayaran prestasi dapat pula dilakukan dengan melakukan sesuatu. Timbulnya alasan untuk melakukan pembayaran adalah adanya perjanjian itu sendiri. pembayaran harus didahului oleh tindakan hukum yang menimbulkan hubungan hukum baik hubungan hukum jual beli, hutang piutang, melakukan jasa dan sebagainya. Hal ini didukung oleh pendapat yang mengatakan : Pembayaran tanpa hutang adalah merupakan sesuatu yang tidak dapat dipikirkan alasannya atau tak beralasan sama sekali. Karena secara yuridis, setiap pembayaran didahului dengan penetapan hutang. Maka pembayaran pada dasarnya, adalah perwujudan dari hutang prestasi. Dengan pembayaran prestasi perjanjian hapus dengan sendirinya.101 Dari ketentuan undang-undang dapat dilihat bahwa pada umumnya pembayaran tidak mendasarkan pada formalitas tertentu, walau ada beberapa jenis perjanjian yang menentukan formalitas pembayaran. Menurut Harahap pembayaran
101
M. Yahya Harahap, Segi- segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal.108.
Universitas Sumatera Utara
78
bukanlah tindakan hukum, oleh karena itu pembayaran dapat dilakukan tanpa ikatan formalitas.102 Pihak yang harus melakukan pembayaran adalah yang berkepentingan sendiri yaitu debitur. Jika bertitik tolak dari Pasal 1381 KUH Perdata, maka telah ditentukan orang-orang yang dapat melakukan pembayaran yaitu : (1) Debitur sendiri sebagai orang yang berkepentingan (2) Penjamin (borgtchter) (3) Orang ketiga yang bertindak atas nama debitur. b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penitipan Hal ini ditentukan dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penitipan hanya mungkin terjadi dalam perjanjian menyerahkan menyerahkan suatu benda bergerak. Oleh karena itu dalam perjanjian yang objek prestasinya melakukan atau tidak melakukan sesuatu maupun dalam penyerahan benda tak bergerak, penawaran dan penitipan ini tidak mungkin dilakukan. Dalam perjanjian yang objek prestasinya melakukan atau tidak melakukan sesuatu prestasi tidak mungkin dititipkan tapi harus dilakukan oleh debitur sendiri, demikian pula halnya dengan penyerahan benda tak bergerak. Jadi penawaran tunai yang diikuti kosignasi adalah khusus untuk perjanjian pembayaran uang dan penyerahan benda-benda bergerak. c. Pembaharuan hutang (novasi)
102
Ibid., h. 108.
Universitas Sumatera Utara
79
Pembaharuan hutang ini lahir dari persetujuan para pihak, yaitu dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan pada saat yang bersamaan dengan penghapusan tadi, perjanjian tersebut diganti dengan perjanjian baru. Menurut ketentuan Pasal 1413 KUHPerdata, pembaharuan hutang terjadi apabila : (1) Kreditur mengadakan ikatan perjanjian hutang terhadap debitur dengan tujuan menghapuskan dan mengganti perjanjian lama, dengan perjanjian baru. Dalam hal ini perjanjiannya diperbaharui, sedangkan para pihaknya tetap seperti semula (2) Seorang debitur baru menggantikan debitur lama yang dibebaskan dari kewajiban pembayaran oleh kreditur (3) Dengan membuat perjanjian baru yang menggantikan kreditur lama dengan kreditur baru yang kreditur lama tidak berhak lagi menuntut pembayaran dari ikatan perjanjian lama. d. Perjumpaan hutang atau kompensasi Terjadinya perjumpaan hutang (kompensasi) adalah akibat berjumpanya dua pribadi yang sama-sama berkedudukan sebagai debitur antara yang satu dengan lainnya mewajibkan mereka saling melunasi dan membebaskan diri dari perhutangan. Jadi apabila pada waktu yang bersamaan terdapat dua pribadi yang saling menjadi debitur, masing-masing mereka dapat melunasi hutang piutang dengan jalan kompensasi, baik untuk seluruh hutang maupun untuk sebagian hutang dan saling melakukan perhitungan sesuai dengan besar kecilnya tagihan masing-masing. e. Percampuran hutang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan debitur dan kreditur pada diri seseorang. Dengan bersatunya kedudukan debitur dan kreditur pada diri seseorang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi percampuran hutang atau konfusio
Universitas Sumatera Utara
80
dan semua tagihan menjadi hapus seperti yang tersebut dalam Pasal 1436 KUHPerdata. f. Penghapusan hutang Tindakan kreditur membebaskan kewajiban debitur untuk memenuhi pelaksanaan perjanjian. Tindakan pembebasan hutang ini harus dapt dibuktikan dan tidak boleh diduga-duga. Hal yang sangat dibutuhkan dalam pembebasan hutang ialah,
adanya
kehendak
kreditur
membebaskan
kewajiban
debitur
untuk
melaksanakan pemenuhan perjanjian serta sekaligus menggugurkan perjanjian itu sendiri. g. Musnahnya barang yang terhutang Perjanjian hapus karena musuh atau lenyapnya barang tertentu yang menjadi pokok prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk barang harus sesuai dengan ketentuan lebih lanjut dari Pasal 1444 KUHPerdata yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Musnahnya atau lenyapnya barang harus diluar perbuatan dan kesalahan debitur. Musnahnya barang tersebut akibat dari sebab yang berada di luar kekuasaan debitur. 2) Kemusnahan barang itu sendiri harus terjadi pada saat sebelum jatuh tenggang waktu penyerahan. Untuk hal ini terdapat pengecualian yaitu debitur terbebas dari kewajiban, sekalipun musnahnya barang terjadi sudah lewat waktu penyerahan,
Universitas Sumatera Utara
81
asalkan musnahnya barang itu akan terjadi juga di tangan kreditur seandainya diserahkan oleh sebab peristiwa yang sama. 3) Debitur berkewajiban untuk membuktikan kebenaran tentang musnahnya barang itu disebabkan oleh peristiwa yang berada di luar perhitungan debitur. h. Kebatalan atau pembatalan. Perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa atau yang ditaruh dibawah pengampunan adalah batal demi hukum dan atas penuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya itu. Undang-undang juga menentukan jangka waktu suatu tuntutan pembatalan itu dapat diajukan yaitu lima tahun yang mulai berlaku : 1. Dalam hal kedewasaan, sejak hari kedewasaan 1. Dalam hal pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan 2. Dalam hal adanya paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti 3. Dalam hal adanya kekhilafan atau penipuan sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu 4. Dalam hal kebatalan yang tersebut dalam Pasal 1341 KUHPerdata, sejak hari diketahuinya bahwa kesadaran yang diperlukan untuk kesadaran itu ada.103 i. Lewatnya waktu Lewat waktunya waktu akan membebaskan seseorang dari suatu kewajiban. Dalam kaitan antara lampaunya waktu dengan perjanjian, maka dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Membebaskan seseorang dari kewajiban setelah lewat jangka waktu tertentu sebagaimana yang telah ditetapkan Undang-Undang. 103
Ridwan Syahrani, Op.Cit., hal 75.
Universitas Sumatera Utara
82
2) Memberikan kepada seseorang untuk memperoleh sesuatu hak setelah lewat jangka tertentu sesuai dengan yang ditetapkan Undang-Undang. Apabila dilihat dari segi yuridis lampau waktu merupakan suatu tanggapan hukum (wetttelijk vermoeden). Dengan lampaunya waktu tertentu dianggap perjanjian telah hapus,
sehingga debitur terbebas dari kewajiban pemenuhan prestasi. Di
samping itu dapat pula dianggap seseorang telah memperoleh hak milik atas sesuatu setelah lewat jangka waktu tertentu. Apabila ditelaah dan dianalisis mengenai perjanjian penunjukkan agen minyak tanah sebagaimana objek penelitian ini dapat juga dilakukan pembatalan atau pemutusan perjanjian oleh Pihak Pertamina apabila agen minyak tanah melanggar ketentuan yang diperjanjikan ataupun agen minyak tanah dipailitkan atau diletakan dibawah pengampuan (curatele), dibubarkan, atau membubarkan diri atau ijin usahanya dicabut oleh pihak yang berwenang untuk sementara maupun seterusnya, atau harta benda PIHAK KEDUA disita baik sebagian maupun seluruhnya sehingga mengganggu pelaksanaan Perjanjian. Perjanjian juga putus atau berakhir apabila jangka waktu perjanjian habis.104 Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Surat Perjanjian Penunjukkan Agen Minyak Tanah. D. Pengertian Agen dan Perjanjian Keagenan Menilik sejarah lahirnya lembaga keagenan di Indonesia dapat dilihat dari pelaksanaan Undang-undang No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
104
Lihat Pasal
13 Surat Perjanjian Penunjukkan Agen Minyak Tanah
Universitas Sumatera Utara
83
Negeri, kemudian Pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan, yang menentukan bahwa perusahaan asing yang telah berakhir masa kegiatannya dapat terus melakukan usaha dagangnya dengan cara menunjuk perusahaan perdagangan nasional sebagai penyalur atau agen dengan membuat surat perjanjian. Pada Pasal 7 PP Nomor 36 Tahun 1977 tersebut, dimuat ketentuan bahwa perusahaan asing dapat menunjuk perusahaan nasional sebagai perwakilan, pembagi, dan penyalur (agen, distributor, dan dealer). Sejak dikeluarkannya PP Nomor 36 Tahun 1977 tersebut, beberapa departemen teknis mengeluarkan surat keputusan yang mengatur mengenai masalah keagenan, akan tetapi peraturan-peraturan tersebut tidak mengatur hubungan perdata antara prinsipal dengan agen. Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengatur secara khusus tentang keagenan, namun berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian apa saja, termasuk perjanjian keagenan asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dasar hukum keagenan didapati dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut:105 1. Dalam KUH Perdata, yang di dalamnya terkandung asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata). 105
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 246.
Universitas Sumatera Utara
84
2. Dalam KUH Perdata tentang Sifat Pemberian Kuasa (yang diatur pada Pasal 1792 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1799 KUH Perdata). 3. Dalam KUH Dagang yang mengatur mengenai Makelar (Pasal 62 sampai dengan Pasal 73 KUHD). 4. Dalam KUH Dagang yang mengatur mengenai Komisioner (Pasal 76 sampai dengan Pasal 85 a). 5. Dalam bidang-bidang khusus, seperti dalam perundang-undangan di bidang pasar modal yang mengatur tentang dealer atau pialang saham. 6. Dalam peraturan administratif, semisal peraturan dari departemen perdagangan dan perindustrian, yang mengatur masalah administrasi dan pengawasan terhadap masalah keagenan ini. Sekilas analisa mengenai dasar hukum yang digunakan dalam keagenan seperti tersebut diatas, perihal sifat pemberian kuasa, lazimnya pemberian kuasa dalam keagenan berupa pemberian kuasa secara khusus, yaitu pemberian kuasa hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Agen hanya diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu saja, misalnya dalam hal melakukan transaksi. Selanjutnya, perihal penggunaan dasar hukum dalam KUH Dagang mengenai Komisioner, apabila dikaitkan dengan karakteristik keagenan, sebenarnya keagenan cenderung lebih sesuai dengan pengaturan mengenai Makelar dalam KUH Dagang, karena antara makelar dengan agen memiliki kesamaan karakter yaitu bertindak untuk dan atas nama pihak yang memberikan kuasa, sedangkan komisioner bertindak untuk pihak yang memberikan kuasa, namun atas nama dirinya sendiri. Pada kegiatan perdagangan, yang dimaksud dengan agen adalah seseorang atau badan yang usahanya adalah menjadi perantara yang diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya melakukan transaksi atau membuat
Universitas Sumatera Utara
85
perjanjian antara seseorang dengan siapa ia mempunyai hubungan yang tetap (prinsipal) dengan pihak ketiga, dengan mendapatkan imbalan jasa.106 Agen bukanlah karyawan prinsipal, ia hanya melakukan perbuatan tertentu/mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga, dan pada pokoknya agen merupakan kuasa prinsipal. Secara lebih lanjut, keagenan diartikan sebagai suatu hubungan hukum dimana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama (pihak) prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain. Prinsipal akan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan agen, sepanjang dilakukan dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya.107 Dengan perkataan
lain,
apabila
seorang
agen
dalam
bertindak
melampaui
batas
kewenangannya, maka ia yang bertanggung jawab secara sendiri atas tindakan tersebut. Disebutkan pula dalam Black’s Law Dictionary, “ agency is a fiduciary relationship created by express or implied contract or by law in which one party (the agent) may act on behalf of another party (the principal) and bind that other party by words or actions ”.108 Hubungan antara prinsipal dengan agen adalah fiduciary relationship, dimana prinsipal mengijinkan agen untuk bertindak atas nama prinsipal, dan agen berada di bawah pengawasan prinsipal.109 Hal ini tentunya berbeda dengan pemberian kuasa, yang dalam pelaksanaannya penerima kuasa melaksanakan suatu 106
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op.Cit., hal. 7. Y.Sogar Simamora, “Pemahaman Terhadap Beberapa Aspek Dalam Perjanjian”, Yuridika, No.2, Maret-April 1996, hal.74. 108 Henry Campbell Black, “Black’s Law Dictionary”, St.Paull Minn, 1999, hal.1322. 109 Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Preneda Media, Jakarta, 2004, hal.41. 107
Universitas Sumatera Utara
86
perbuatan
yang
dikuasakan
kepadanya
guna
mewakili
pemberi
kuasa.
Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa dalam keagenan terdapat 3 (tiga) pihak, yaitu:110 1. Prinsipal, yaitu perorangan atau perusahaan yang memberi perintah/kuasa, mengangkat atau menunjuk pihak tertentu (agen) untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Pengangkatan atau penunjukan agen tersebut dapat dilakukan oleh prinsipal pada umumnya secara tertulis, sekalipun secara lisan tidak ada larangan, tetapi pada saat ini hubungan agen dengan prinsipalnya biasanya diikat oleh suatu persetujuan dalam bentuk kontraktuil . 2. Agen, yaitu pihak yang menerima perintah/kuasa untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum tertentu. Perbuatan hukum yang harus dilakukan tersebut biasanya tercantum dalam perjanjian termaksud. Pihak prinsipal dan pihak agen membuat perjanjian yang memuat perbuatan apa saja yang harus dilakukan seorang agen untuk prinsipalnya, hak yang diterima agen, serta kewajiban yang harus dipenuhi sekaligus hak yang dimiliki oleh prinsipal. Seluruhnya diatur di dalam perjanjian keagenan yang dibuat antara pihak agen dengan pihak prinsipal. 3. Pihak ketiga, yaitu pihak yang dihubungi oleh agen dengan siapa transaksi diselenggarakan. Agen membuat perjanjian dengan pihak ketiga mengenai transaksi yang dikuasakan kepadanya (agen) tersebut. Perjanjian dengan pihak ketiga tersebut dibuat oleh agen atas nama prinsipal, serta atas tanggung jawab prinsipal. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa agen dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga, kedudukannya adalah merupakan kuasa prinsipal. Agen bukanlah karyawan prinsipal. Hubungan hukum antara agen dengan prinsipalnya tidak bersifat seperti antara majikan dengan buruhnya. Agen dan prinsipal ada pada posisi yang setingkat, selaku pemberi kuasa dengan penerima kuasa.
110
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op.Cit., hal. 24-25.
Universitas Sumatera Utara
87
Oleh karena agen bertindak atas nama prinsipal, maka agen tidak melakukan pembelian dari prinsipalnya111, dengan demikian, barang yang menjadi objek transaksi tetap menjadi milik prinsipal sampai proses penjualan terselesaikan, yang berarti tidak ada perpindahan kepemilikan objek transaksi dari prinsipal kepada agen, yang ada hanyalah perpindahan kepemilikan objek transaksi dari prinsipal kepada pembeli ketika terjadi proses jual beli. Keagenan menurut jenisnya dibedakan sebagai berikut:112 1. Agen Manufaktur (Manufacturer’s Agent), yaitu agen yang berhubungan langsung dengan pabrik untuk melakukan pemasaran atas seluruh/sebagian barang-barang hasil produksi pabrik tersebut. 2. Agen Penjualan (Selling Agent), yaitu agen yang merupakan wakil dari pihak penjual yang bertugas untuk menjual barang-barang milik pihak prinsipal kepada pihak konsumen. 3. Agen Pembelian (Buying Agent),yaitu agen yang merupakan wakil dari pihak pembeli yang bertugas untuk membeli barang-barang untuk pihak prinsipal. 4. Agen Umum (General Agent), yaitu agen yang diberikan wewenang secara umum untuk melakukan seluruh transaksi atas barang-barang yang telah ditentukan. 5. Agen Khusus (Special Agent), yaitu agen yang diberikan wewenang khusus kasus per kasus/melakukan sebagian saja dari transaksi tersebut.
111 112
Ibid, hal. 8 Munir Fuady, Op.Cit., hal. 245.
Universitas Sumatera Utara
88
6. Agen Tunggal/Eksklusif (Sole Agent/Exclusive Agent), yaitu penunjukan hanya satu agen untuk mewakili prinsipal untuk suatu wilayah tertentu. Keagenan dalam prakteknya terdapat 2 ( dua ) macam, yaitu:113 1. Agen Insidental, yaitu agen yang semata-mata bertugas atau mempunyai bisnis tidak semata-mata di bidang keagenan. 2. Agen Institusional, yaitu seorang atau sebuah perusahaan yang memang bertugas semata-mata untuk menjadi agen dari pihak lain. Tiap-tiap jenis perjanjian memiliki karakteristik atau kriteria yang berbeda satu sama lain, begitu pula dengan perjanjian keagenan. Beberapa karakteristik dari agen, antara lain:114 1. Bertindak untuk siapa Seorang agen akan menjual barang atau jasa atas nama pihak prinsipalnya. Dalam melakukan transaksi dengan pihak ketiga, agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Prinsipal yang akan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan agen sepanjang tindakan tersebut sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh prinsipal kepada agen. 2. Pendapatan yang diterima Dalam hal keagenan, pendapatan yang diterima oleh seorang agen adalah berupa komisi dari hasil penjualan berupa barang/jasa kepada konsumen. 3. Tujuan pengiriman barang Barang dikirim langsung dari prinsipal ke konsumen. Barang-barang tetap menjadi milik prinsipal. 4. Pembayaran harga barang Pembayaran harga barang langsung dari konsumen kepada pihak prinsipal tanpa melalui agen.
113 114
Ibid, hal.154 Ibid, hal.153.
Universitas Sumatera Utara
89
Selanjutnya apabila dilihat dari ketentuan hukum perdata Menurut Mariam Darus dikenal ada dua perjanjian bernama : 1. Perjanjian Bernama Di Dalam KUH Pedata a. Jual-beli b. Tukar-menukar c. Sewa-menyewa d. Persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan e. Persekutuan f. Hibah g. Penitipan barang h. Pinjam-pakai i. Pinjam-meminjam j. Bunga tetap atau bunga abadi k. Persetujuan-persetujuan untung-untungan l. Pemberian kuasa m. Penanggungan n. Perdamaian o. Asuransi p. Pengangkutan q. Makelar r. Komisioner s. Jual beli saham dipasar modal. 2. Perjanjian Bernama Di Luar KUH Pedata a. Perjanjian keagenan dan distribusi b. Perjanjian pembiayaan.115 Dasar hukum suatu keagenan didapati dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Dalam KUH Perdata tentang Kebebasan Berkontrak. Dalam KUH Perdata tentang Kontrak Pemberian Kuasa. Dalam KUH Dagang tentang Makelar. Dalam KUH Dagang tentang Komisioner Dalam bidang-bidang hukum khusus, seperti dalam perundang-undangan di bidang pasar modal yang mengatur tentang dealer atau pialang saham.
115
Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal 30.
Universitas Sumatera Utara
90
6. Dalam peraturan administratif, semisal peraturan dari departemen perdagangan dan perindustrian, yang mengatur masalah administrasi dan pengawasan terhadap masalah keagenan ini.116 Selanjutnya mengenai wilayah agen dan saluran distribusi erat kaitannya dengan masalah apakah penunjukkan seorang agen itu harus dalam bentuk agen tunggal atau tidak. Untuk beberapa sektor tertentu diantaranya alat-alat besar, kendaraan bermotor dan pupuk secara tegas memang dinyatakan bahwa penunjukan harus dalam bentuk agen tunggal yang disebut dalam perjanjian. Secara logis, karena tidak dinyatakan bahwa penunjukan itu (di luar ketiga sektor yang disebut di atas) tidaklah harus dalam bentuk agen tunggal, seorang prinsipal boleh saja menunjuk lebih dari seorang agen untuk memasarkan hasil-hasil produksinya di Indonesia. Secara konkret, seorang prinsipal di luar negeri yang ingin memasarkan komputer misalnya dapat menunjuk beberapa agen di Indonesia. Namun adakalanya praktek memang menunjukkan hal yang lain, baik dengan apa yang seharusnya dalam bentuk agen tunggal maupun yang seharusnya tidak diisyaratkan dalam bentuk agen tunggal. Dapat saja terjadi bahwa suatu perjanjian keagenan yang sebenarnya tidak harus dalam bentuk-bentuk agen tunggal, tetapi dalam praktek ternyata harus dalam bentuk agen tunggal. Dalam rangka kegiatan memperlancar arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen dalam hal ini produk Pertamina berupa minyak tanah dapat dikatakan sebagai suatu produk, maka salah satu faktor penting yang tidak dapat diabaikan adalah memilih secara tepat saluran distribusi atau chanel distribution yang akan 116
Munir Fuady, Op.Cit, hal.246.
Universitas Sumatera Utara
91
digunakan dalam rangka penyaluran barang-barang dan jasa-jasa dari produsen ke konsumen. Sama halnya dengan keagenan, distribusi yang juga tercakup dalam pengertian lembaga perwakilan pada umumnya ini baru mengembangkan sayapnya dalam dunia perdagangan di Indonesia sejak dikeluarkannya PP No.36 Tahun 1977 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undangundang Hukum Dagang (KUHD) juga tidak mengatur secara khusus mengenai distributor, tetapi hanya mengenai mekelar, pedagang perantara dan komisioner.
Dalam Pasal 63 KUHD yang berlaku terhadap makelar dan Pasal 79 ayat (1) KUHD untuk komisioner. Ketentuan mengenai perantara atau makelar ini dibuat dalam Bagian 2 Pasal 62 s.d. Pasal 73 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Pasal 62 KUHD menentukan bahwa “Makelar adalah pedagang perantara yang diangkat oleh presiden atau oleh penguasa yang dalam hal ini diangkat oleh presiden dianggap berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan atas amanat dan atas nama orangorang yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap”. Lebih lanjut Pasal 63 KUHD dinyatakan bahwa “Perbuatan-perbuatan pedagang perantara yang tidak diangkat dengan cara demikian tidak mempunyai akibat lebih jauh dari pada apa yang ditimbulkan dari perjanjian dengan pemberi amanat. Ketentuan ini menyatakan bahwa dalam praktek dapat saja terjadi perjanjian
Universitas Sumatera Utara
92
yang juga melibatkan perantara yang tidak diangkat oleh presiden tetapi yang tanggung jawabnya hanya berupa amanat dari para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sementara yang dimaksud komisioner di sini adalah seseorang
yang
menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan persetujuan atas nama sendiri tetapi atas amanat dan tanggungan orang lain dengan menerima upah atau provisi tertentu. Namun menurut Pasal 79 KUHD, jika seorang komisioner bertindak untuk dan atas nama prinsipal, maka terhadap hak dan kewajiban dan tanggung jawabnya diberlakukan ketentuan KUH Perdata tentang pemberian kuasa, dimana dalam hal ini memberi kuasalah yang bertanggung jawab kepada pihak ketiga. Dengan demikian ketentuan KUH Perdata dan KUHD tentang makelar dan komisioner tersebut dapat dijadikan landasan yuridis tentang keterlibatan perantara dalam jual beli. Perjanjian distribusi juga merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak sebagaimana daitur dalam Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUH Perdata. Pengertian dari distributor adalah perusahaan/pihak yang ditunjuk oleh prinsipal untuk memasarkan dan menjual barang-barang prinsipalnya dalam wilayah tertentu untuk jangka waktu tertentu, tetapi bukan sebagai kuasa prinsipal. Distributor tidak bertindak untuk dan atas nama prinsipalnya, tetapi bertindak untuk dan atas nama sendiri.117
David A. Revzan dalam bukunya Marketing Organization Trough The Channel yang dikutip oleh Basu Swastha DH, mengatakan bahwa: “Saluran distribusi
117
Badan Pembinaan Hukum Nasional , Op.Cit., hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
93
merupakan suatu jalur yang dilalui oleh arus barang dari produsen ke perantara dan akhirnya sampai ke pemakai.”118 Definisi di atas bersifat sempit, karena cenderung menggambarkan pemindahan jasa-jasa atau kombinasi antara barang dan jasa. Selain membatasi barang yang disalurkan definisi ini juga membatasi lembaga-lembaga yang ada. Philip Kotler mengatakan bahwa:”Sistem distribusi merupakan sumber extern yang penting. Untuk membentuk sistem itu biasanya dibutuhkan waktu bertahun-tahun dan sistem tersebut tidak akan mudah diubah. Sistem ini sama pentingnya dengan sumber daya intern penting lainnya seperti pengolahan, penelitian, rekayasa dan karyawan penjualan serta fasilitasnya. Sistem ini mencerminkan suatu ikatan yang penting dari perusahaan dengan sejumlah besar perusahaan mandiri yang bertugas melaksanakan distribusi dan dengan pasar khusus yang mereka layani. Sistem
ini
juga
mencerminkan
suatu
ikatan
terhadap
seperangkat
kebijaksanaan dan praktek yang membutuhkan struktur dasar sebagai landasan untuk suatu hubungan yang luas berjangka panjang.”119 Secara formal definisi saluran distribusi menurut M.Manullang adalah: “Suatu jalan yang diikuti dalam mengalihkan pemilikan secara langsung atau tidak langsung atas suatu produk, sementara ia berpindah tempat dari produsen kepada konsumen terakhir atau pemakai industri.”120
118
Basu Swastha , Saluran Pemasaran, BPFE UGM, Yogyakarta, 2000, hal. 3. Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan dan Pengendalian, Terjemahan Herujati Purwoko dan Jaka Wasana, Erlangga, Jakarta, 1992. Hal. 172. 120 Ibid, hal. 35. 119
Universitas Sumatera Utara
94
Dari definisi tersebut dapat diketahui adanya beberapa unsur penting yaitu: 1. Saluran merupakan sekelompok lembaga yang ada diantara berbagai lembaga yang mengadakan kerja sama untuk mencapai suatu tujuan. 2. Karena anggota kelompok terdiri dari beberapa pedagang dan beberapa agen, maka ada sebagian yang ikut memperoleh nama dan sebagian lagi tidak. Tidak perlu bagi tiap saluran untuk menggunakan sebuah agen, tetapi pada prinsipnnya setiap saluran harus memiliki seorang pedagang, alasanya adalah bahwa hanya pedagang saja yang dianggap tepat sebagai pemilik untuk memindahkan barang. 3. Tujuan dari saluran distribusi adalah untuk mencapai pasar-pasar tertentu. Jadi. Pasar merupakan tujuan akhir dari kegiatan saluran. 4. Saluran melaksanakan dua kegiatan penting untuk mencapai tujuan, yaitu mengadakan penggolongan produk menunjukkan jumlah dari berbagai keperluan produk yang dapat memberikan kepuasan kepada pasar. Jadi, barang (mungkin juga jasa) merupakan bagian dari penggolongan produk dan masing-masing produk mempunyai suatu tingkat harga tertentu. 121 Perjanjian distribusi adalah perjanjian antara distributor dengan prinsipal atau
produsen
dalam
suatu
wilayah
teritorial
tertentu,
mengambil
laba
pada penjualan kembali terhadap pihak ketiga, menanggung sendiri semua risiko dari keberadaan produk yang dalam kekuasaannya dan menyalurkan barang kepada pihak ketiga termasuk dalam hal ini dalam perjanjian pendistribusian minyak tanah bersubsidi oleh agen minyak tanah yang dilakukan melalui Surat Perjanjian Penunjukan Agen Minyak Tanah.122 Hal ini juga benarkan oleh Muhammad Jafar dilakukan dalam perjanjian penunjukan agen minyak
tanah, dimana agen yang ditunjuk melalui surat
perjanjian penunjukan agen minyak tanah berwenang untuk menjual kembali minyak tanah kepada masyarakat konsumen sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET)
121
Basu Swastha, Op.Cit, hal. 90-91 Hasil Wawancara dengan Suherimanto, General Manager Pemasaran BBM Region I PERTAMINA Aceh, September 2010. 122
Universitas Sumatera Utara
95
yang ditentukan pemerintah, dan di dalamnya telah memperoleh keuntungan karena harga pembelian dari pihak Pertamina lebih rendah dari Harga Eceran Tertinggi (HET).123
Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah harga eceran tertinggi minyak tanah di pangkalan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.124 Harga eceran tertinggi ini digunakan oleh pangkalan minyak tanah
sebagai harga
dasar pendistribusian bagi masyarakat. Penetapan harga eceran tertinggi ini tidak sama pada di pangkalan setiap daerah, di mana sangat tergantung pada kondisi dan jarak daerah dan sarana transpotasi ke daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, besarnya harga eceran tertinggi ditetapkan oleh pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota yang sebelumnya didasarkan pada penetapan harga eceran tertinggi dalam provinsi oleh gubernur dan penetapan harga eceran tertinggi skala nasional dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Bahan Bakar Minyak. Suherimanto membenarkan bahwa harga eceran tertinggi minyak tanah yang dijual di pangkalan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yaitu yang ditetapkan berdasarkan lokasi daerah dan prasarana transportasi ke daerah yang bersangkutan dengan berpedoman pada
123
Hasil Wawancara dengan Muhammad Jafar, Sales Area Manager Pemasaran BBM Region I PERTAMINA Aceh, September 2010. 124 Lihat Pasal 1 angka 2 Perjanjian Penunjukan Agen Minyak Tanah
Universitas Sumatera Utara
96
penetapan harga oleh pemerintah seperti yang termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Bahan Bakar Minyak.125 Penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) dalam penyaluran kepada masyarakat ini dilakukan di tingkat pangkalan minyak tanah. Pangkalan minyak tanah yang
dimaksud adalah usaha perorangan, yang melaksanakan kegiatan penyaluran minyak tanah kepada konsumen rumah tangga dan usaha kecil.126 Dengan demikian pangkalan minyak tanah merupakan pihak yang menjual langsung minyak tanah kepada masyarakat. Minyak tanah yang dijual oleh pangkalan minyak tanah tersebut diperoleh dari agen PERTAMINA sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Proses penyaluran minyak tanah dari agen kepada pangkalan minyak tanah ini juga dilakukan melalui perjanjian lain yang dibuat antara agen minyak tanah dengan pangkalan minyak tanah. Hal ini sebagaimana dikemukakan Nuzirwan bahwa pihaknya sebagai agen dalam penyaluran minyak tanah kepada pangkalan juga didasarkan pada perjanjian yang dibuat antara pihaknya dengan pangkalan minyak tanah yang bersangkutan.127 Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa prosedur kerja dari distributor yaitu, distributor membeli sendiri barang-barang dari prinsipalnya, kemudian ia menjualnya kepada para pembeli dengan menentukan sendiri besar laba yang akan diperolehnya, dan penjualan dilakukan di dalam wilayah yang diperjanjikan oleh prinsipal dengan distributor tersebut. Yang perlu ditekankan dalam kinerja seorang
125
Hasil Wawancara dengan Suherimanto, General Manager Pemasaran BBM Region I PERTAMINA Aceh, September 2010. 126 Lihat Pasal 1 angka 6 Perjanjian Penunjukan Agen Minyak Tanah 127 Hasil Wawancara dengan Nuzirwan, Pimpinan Agen Minyak Tanah UD Nuzirwan NRAMT 12.4.326, September 2010.
Universitas Sumatera Utara
97
distributor adalah, segala akibat hukum dari perbuatannya menjadi tanggung jawab distributor itu sendiri. Digunakannya
agen
dan
distributor
Indonesia
oleh
para
pengusaha
atau perusahaan luar negeri untuk memasarkan produk-produknya di Indonesia, di
samping
karena
perusahaan
memerlukan
bantuan
pengetahuan,
dan
kemampuan lobbying dari para agen dan distributor, dari sudut bisnis, peningkatan efisiensi di segala sektor dan bidang adalah faktor yang penting untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Sama halnya dengan keagenan, dari sisi efisiensi, penunjukan suatu distributor dilandaskan pada adanya manfaat yang dapat diperoleh, yaitu : 1. Prinsipal, agar dapat lebih meluangkan waktu untuk berkonsentrasi pada peningkatan hasil produksi atau hal-hal lain; prinsipal kemungkinan tidak perlu lagi menyediakan atau membangun tempat-tempat untuk memasarkan produk-produknya, yang berarti akan mengurangi biaya perusahaan. 2. Distributor, agar lebih berkonsentrasi dalam memasarkan barangnya; transfer barang dari prinsipal ke konsumen jadi lebih mudah. Bagi konsumen, kehadiran pedagang perantara seperti distributor ini dapat dirasakan manfaatnya karena dapat melakukan pemilihan jenis barang secara lebih selektif, jaminan kualitas barang akan lebih dapat diperoleh, dan konsumen tidak harus membeli langsung ke prinsipal. Karakteristik perjanjian distribusi meliputi:128
128
Munir Fuady, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 175.
Universitas Sumatera Utara
98
a. Distributor bertanggung jawab langsung kepada pembeli kecuali dalam hal “Waransi Produk” yang untuk ini masih dalam tanggung jawab prinsipal. b. Distributor beroperasi dalam wilayah teritorial tertentu. c. Jangka waktu perjanjian lebih singkat. d. Hak berpindah dari prinsipal ke distributor dan dari distributor ke konsumen. e. Kadang-kadang merek dan logo justru dibubuhi oleh distributor, sementara prinsipal yang menyediakan produknya. Mengenai perbedaan antara keagenan dengan distribusi di dalam pemahaman masyarakat juga sering mengalami kerancuan, sehingga disini dapat kembali diluruskan bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas terdapat perbedaan spesifik antara perjanjian keagenan dengan perjanjian distribusi, yaitu sebagai berikut: 1. Perjanjian Keagenan : a. Agen adalah pihak yang menjual barang atau jasa untuk dan atas nama principal. b. Pendapatan yang diterima adalah atas hasil dari barang-barang atau jasa yang dijual kepada konsumen berupa komisi dari hasil penjualan. c. Barang tetap milik principal. d. Barang dikirimkan langsung dari prinsipal kepada konsumen jika antara agen dengan konsumen tercapai suatu persetujuan. e. Pembayaran atas barang yang telah diterima oleh konsumen langsung kepada prinsipal, bukan melalui agen. f. Yang bertanggung gugat terhadap pihak ketiga adalah prinsipal, sepanjang hal tersebut tidak di luar batas kewenangan agen.
Universitas Sumatera Utara
99
2. Perjanjian Distribusi a. Distributor adalah pihak yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri. b. Pendapatan yang diterima berupa laba yang besarnya ditentukan sendiri oleh distributor. c. Distributor membeli dari prinsipal/produsen dan menjual kembali kepada konsumen untuk kepentingan sendiri d. Prinsipal tidak selalu mengetahui konsumen akhir dari produk-produknya e. Pembayaran barang dilakukan oleh konsumen kepada distributor f. Distributor bertanggung gugat atas keamanan pembayaran barang-barangnya secara sendiri
E. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pelaksanaa Kontrak Keagenan Minyak Tanah Seperti telah diutarakan pada halaman sebelumnya, lembaga keagenan yang berkembang di Indonesia pada saat ini belum diatur secara spesifik baik dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD), karena kurang jelasnya pengaturan mengenai hal tersebut, maka dalam perkembangannya di masyarakat, sering terjadi kesalahan dalam penggunaan istilah “agen” maupun “keagenan”. Dalam perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/prinsipal dengan prinsipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan para pihak tersebut, asal saja tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan sesuai Pasal 1338 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
100
Seorang prinsipal, misalnya, dapat menunjuk seseorang untuk menjadi agennya dengan hanya berisi beberapa baris kalimat saja. Si agen kemudian membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda mengetahui dan menerima adanya penunjukan dirinya sebagai agen dari prinsipal tersebut. Adakalanya antara prinsipal dan agen dibuat suatu perjanjian yang sederhana yang memuat pokok-pokok tentang apa-apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak. Tetapi tidak sedikit yang membuat perjanjiannya dengan ketentuan-ketentuan secara terperinci. Tentu saja membuat perjanjian secara terperinci tidaklah mudah. Tetapi dengan perjanjian yang terperinci, akan semakin kecil kemungkinan untuk salah menafsirkan isi perjanjian. Ketentuan yang sama juga diadopsi dalam Perjanjian Penunjukan Agen Minyak Tanah pada Pertamina.129 (Lihat lampiran) Berdasarkan hasil penelaahan pada Surat Perjanjian Penunjukan Agen Minyak Tanah Salah satu contoh yang dapat diamati adalah penggunaan istilah “agen minyak tanah PT. PERTAMINA (Persero)”. Pada Perjanjian Penunjukan Agen Minyak Tanah oleh PT. PERTAMINA (Persero), Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa Agen Minyak Tanah ialah Perseroan Terbatas, Koperasi, Badan Usaha yang melaksanakan kegiatan penyaluran minyak tanah kepada pangkalan minyak tanah untuk konsumen rumah tangga dan usaha kecil. Tepat atau tidaknya penggunaan istilah “agen” dalam
129
Hasil Wawancara dengan Suherimanto, General Manager Pemasaran BBM Pertamina Region I Aceh, September 2010.
Universitas Sumatera Utara
101
perjanjian keagenan minyak tanah tersebut harus diuji dengan menerapkan kesesuaian karakteristik keagenan dengan karakteristik agen minyak tanah yang dimaksud. Adapun karakteristik agen minyak tanah PT.PERTAMINA (Persero) adalah sebagai berikut : 1. Bertindak untuk siapa. Pada penunjukan agen minyak tanah ini, yang bertindak sebagai agen adalah Perseroan Terbatas, Koperasi atau Badan Usaha yang diberi kuasa oleh PERTAMINA selaku prinsipalnya, untuk menyalurkan minyak tanah ke pangkalan minyak tanah, yang selanjutnya disalurkan kepada konsumen, yaitu rumah tangga dan usaha kecil. Dalam menyalurkan minyak tanah kepada pihak ketiga, agen minyak tanah bertindak untuk dan atas nama PERTAMINA. PERTAMINA tetap melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyaluran minyak tanah tersebut. 2. Pendapatan yang diterima. PERTAMINA telah menetapkan keuntungan agen minyak tanah sesuai dengan yang telah diperjanjikan. 3. Tujuan pengiriman barang. PERTAMINA menyerahkan minyak tanah kepada agen minyak tanah ditempat yang ditunjuk oleh PERTAMINA. Setelah terjadi penyerahan, agen minyak tanah harus langsung menyalurkan barang/minyak tanah tersebut ke pangkalan yang
Universitas Sumatera Utara
102
telah terdaftar.130 Kemudian minyak tanah baru dapat tersalurkan kepada pengecer dan konsumen. Sehingga dalam praktek, pengiriman minyak tanah ini berbeda dengan karakteristik keagenan pada umumnya, yaitu penyerahan barang tidak langsung dari prinsipal kepada konsumen, melainkan melalui agen. 4. Pembayaran harga barang. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa karena agen bertindak atas nama prinsipal, maka agen tidak melakukan pembelian dari prinsipalnya. Barang yang menjadi objek transaksi tetap menjadi milik prinsipal sampai proses penjualan terselesaikan, yang berarti tidak ada perpindahan kepemilikan objek transaksi dari prinsipal kepada agen, dan pembayaran dilakukan oleh konsumen langsung kepada prinsipal. Hal itu berarti, seharusnya agen minyak tanah tidak melakukan pembelian objek transaksi (minyak tanah) kepada PERTAMINA. Namun pada prakteknya, dalam menyalurkan minyak tanah kepada pihak ketiga, agen minyak tanah harus terlebih dahulu melakukan pembelian minyak tanah dari PERTAMINA. Hal tersebut diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Perjanjian Penunjukan Agen Minyak Tanah, yang menyebutkan bahwa agen minyak tanah harus terlebih dahulu melunasi pembayaran harga pembelian minyak tanah kepada PERTAMINA sebelum terjadi penyerahan minyak tanah dari PERTAMINA selaku prinsipal kepada agen minyak tanah.
130
Hasil Wawancara dengan Muhammad Jafar, Sales Area Manager Pemasaran BBM Pertamina Region I Aceh, September 2010.
Universitas Sumatera Utara
103
Pembayaran wajib dilakukan dengan cara transfer antar rekening, dari rekening agen kepada rekening PERTAMINA, dengan terlebih dahulu agen wajib membuka rekening giro di salah satu bank yang ditunjuk oleh PERTAMINA. Pembayaran dengan cara selain transfer tidak diperkenankan. Untuk selanjutnya, pihak ketiga melakukan pembayaran minyak tanah kepada agen, hal ini tidak sesuai dengan karakteristik keagenan dimana seharusnya pembayaran dilakukan secara langsung dari konsumen kepada prinsipal. Berdasarkan penjabaran masing-masing karakteristik agen pada umumnya dengan karakteristik agen minyak tanah di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa karakteristik agen minyak tanah PERTAMINA tidak sesuai dengan karakteristik agen pada umumnya, maka dari itu penggunaan istilah agen pada keagenan minyak tanah PERTAMINA adalah tidak tepat. Kesalahan penggunaan istilah agen tersebutlah yang sering terjadi di masyarakat sehingga sudah selayaknya keilmuan di bidang hukum meluruskan kembali kesalahan tersebut. Namun demikian, setiap perjanjian yang merupakan peristiwa hukum akan melahirkan akibat hukum yaitu akibat-akibat dalam hal mana diatur dan ditentukan oleh hukum. Tetapi akibat itu haruslah timbul dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Akibat hukum itu adalah lahirnya hak dan atau kewajiban yang berkaitan langsung pada pembuat perjanjian tersebut. Selain itu, pihak agen juga
Universitas Sumatera Utara
104
harus mematuhi kode etik atau peraturan penyaluran minyak tanah yang merupakan bagian dari perjanjian yang dibuat pada saat penandatangan perjanjian.131 Selain itu,
pihak agen minyak tanah yang ditunjuk oleh Pertamina juga
diwajibkan membuat pernyataan untuk beriktikad baik melaksanakan kegiatan penyaluran minyak tanah sesuai dengan wilayah kerjanya, sanggup mengikuti semua ketentuan yang berlaku dan ditetapkan pemerintah daerah baik dalam hal masyarakat yang berhak menerima maupun dalam mengangkut dan menyalurkan masyarakat ke pangkalan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan Pertamina serta bersedia menerima sanksi apabila melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku.132 Adanya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjalankan kewajiban tersebut dibenarkan oleh Nuzirwan salah satu agen yang berhasil ditemui yang mengatakan bahwa pihaknya bertanggung jawab melaksanakan perjanjian sesuai dengan ketentuan yang diperjanjikan, menyangkut lokasi beroperasi usahanya sebagai agen dan jumlah minyak yang harus disalurkannya. Termasuk di dalamnya untuk melaksanakan sendiri kegiatan usaha sebagai agen minyak tanah dan memenuhi ketentuan kode etik yang memuat berbagai larangan dalam penyaluran minyak tanah bersubsidi kepada masyarakat.133
131
Hasil Wawancara dengan Muhammad Jafar, Sales Area Manager Pemasaran BBM Pertamina Region I Aceh, September 2010. 132 Hasil Wawancara dengan Suherimanto, General Manager Pemasaran BBM Pertamina Region I Aceh, September 2010. 133 Hasil Wawancara dengan Nuzirwan, Pimpinan Agen Minyak Tanah UD Nuzirwan NRAMT 12.4.326, September 2010.
Universitas Sumatera Utara
105
Apabila ditalaah mengenai klausul yang diatur di dalam perjanjian penunjukan agen minyak tanah berbeda dengan perjanjian keagenan lainnya. Dalam perjanjian keagenan pada umumnya klausul yang dimuat sesuai dengan kesepakatan para pihak yang terlibat di dalamnya. Namun dalam perjanjian keagenan minyak tanah di samping mengatur hak dan kewajiban para pihak di dalamnya juga disertai dengan adanya pernyataan tunduknya pihak agen atas ketentuan yang ditetapkan Pertamina dan juga berbagai ketentuan yang berlaku di wilayah atau daerah kerja agen yang bersangkutan. Berdasarkan uraian di atas dalam membuat perjanjian antara pihak-pihak pasti akan menimbulkan hubungan hukum yang kemudian disertai akibat hukum, dan akibat hukum tersebut akan memikul hak dan kewajiban serta tanggung jawab diantara keduanya. Mengenai hak dan kewajiban yang menjadi tanggung jawab para pihak dalam Perjanjian Penunjukkan Agen Minyak Tanah pada Pertamina ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Surat Perjanjian. Jadi dengan demikian, tanggung jawab para pihak dalam Perjanjian Penunjukan Agen Minyak Tanah melaksanakan semua ketentuan yang termuat dalam klausul perjanjian sesuai dengan kesepakatan dan peraturan yang berlaku. Namun demikian, menurut analisis penulis hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian penunjukkan agen minyak tanah terlihat tidak seimbang, karena isi perjanjian tersebut lebih memberatkan pihak kedua selaku agen minyak tanah dengan kewajiban-kewajiban yang dibuat oleh pihak pertama (PERTAMINA). Wanprestasi
Universitas Sumatera Utara
106
dapat terjadi dari masing-masing pihak, dan penyelesaiannya telah tercantum dalam perjanjian tersebut. Dalam pelaksanaan perjanjian, apabila pihak kedua sebagai agen minyak tanah melakukan pelanggaran, maka akan dikenakan sanksi yang tegas oleh PT. Pertamina sesuai dengan isi perjanjian berupa batalnya perjanjian antara kedua belah pihak.
Universitas Sumatera Utara