BAB II SYARAT-SYARAT MALPRAKTIK MEDIS YANG DILAKUKAN DOKTER A. Hubungan Pasien Dengan Dokter Hubungan antara pasien dan dokter merupakan hubungan kepercayaan, kepercayaan merupakan salah satu dasar pasien berhubungan dengan dokter, yakni dokter tersebut dapat dan mampu membantu menyembuhkan penyakitnya. Pada umumnya seseorang tidak akan datang kepada dokter yang ia tidak percaya akan kemampuan dokter yang mengobatinya. Hal ini disebabkan pasien sendiri sebagai orang awam terhadap ilmu kedokteran yang tidak mengetahui penyakit yang dideritanya, sehingga ia sangat membutuhkan orang yang dapat dipercaya akan mampu menyembuhkan penyakitnya. Kepercayaan pasien inilah
yang
mengakibatkan kedudukan dokter lebih tinggi daripada kedudukan pasien, disamping faktor keawaman pasien terhadap profesi dokter dan faktor adanya sikap solidaritas antar teman sejawat, serta adanya sikap isolatif terhadap profesi lain. 14 Dengan berkembangannya ilmu pengetahuan kesehatan dan perkembangan masyarakat, maka hubungan yang bersifat timpang atau tidak seimbangini secara perlahanlahan mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi karena: 15 1. Kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada kemampuan ilmu kedokteran; 2. Adanya kecendrungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan lagi merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental, dan sosial. 3. Semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada pasien. Dengan demikian terlihat hubungan doter dengan pasien tidak hanya bersifat medis semata, tetapi juga bersifat sosial-yuridis dan ekonomis.
14
Husein Kerbala, Segi-Segi dan Yuridis Informen Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1993, hal.
37 15
Soerjono Soekanto, Kontrak Terapeutik antara Pasien dengan Tenaga Medis, Media Hospital (Februari, 1987) Hlm. 31
Universitas Sumatera Utara
Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian tentang hubungan antara dokter dan pasien, baik dibidang medis, sosiologis maupun antropologis sebagaimana dikutti oleh Veronica Komalawati menyatakan sebagai berikut: 16 a. Russel, menyatakan bahwa hubungan antara dokter dan pasien lebih merupakan hubungan kekuasaan, yaitu hubungan antara pihak yang memiliki wewenang (dokter) sebagai pihak yang aktif, dengan pasien yang menjalankan peran kebergantungan sebagai pihak yang pasif dan lemah b. Freidson, Freeborn dan Darsky, menyebutkan bahwa hubungan antara dokter dan pasien merupakan pelaksanaan kekuasaan medis oleh dokter terhadap pasien c. Schwarz dan Kart, mengungkapkan adanya pengaruh jenis praktik dokter terhadap perimbangan kekuasaan antara pasien dengan dokter dalam hubungan pelayanan kesehatan. Dalam praktik dokter umum, kendali ada pada pasien karena kedatangannya sangat diharapkan oleh dokter tersebut, sedangkan pada praktik dokter spesialis, kendali ada pada dokter umum sebagai pihak yang merujuk pasiennya untuk berkonsultasi pada dokter spesialis yang dipilihnya. Hal ini berarti bahwa hubungan pasien dengan dokter umum lebih seimbang daripada hubungan pasien dengan dokter spesialis. d. Kisc dan Reeder, meneliti seberapa jauh pasien dapat memegang kendali hubungan dan menilai penampilan kerja suatu mutu pelayanan medis yang diberikan dokter kepada pasiennya. Dalam penelitian ini ditemukan adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peran pasien dalam hubungan pelayanan medis, antara lain jenis praktik dokter (praktik indevidual atau praktik bersaa), atau sebagai dokter dalam suatu lembaga
16
VeronicaKomalawati, Hukum dan Ettika Dalam Praktik Dokter, Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal. 43-
45
Universitas Sumatera Utara
kedokteran. Masing-masing kedudukan tersebut merupakan variabel yang diperlukan yang dapat memberikan dampak terhadap mutu pelayanan medis yang diterimanya. e. Szasz dan Hollender, mengemukakan tiga jenis prototip hubungan antara dokter dan pasiennya, yaitu hubungan antar orang tua dan anak, antara orang tua dan remaja, dan prototip hubungan antara orang dewasa. Veronica Komalawati mengutip pendapat Thiroux mengatakan bahwa ada tiga pandangan yang seharusnya antara dokter dan pasien, yaitu: 17 1. Paternalisme, dokter harus berperan sebagai orang tua terhadap pasien atau keluarganya. Hal ini disebabkan karena dokter mempunyai pengetahuan yang superior tentang pengobatan, sedangkan pasien tidak memiliki pengetahuan demikian sehingga harus mempercayai dokter dan tidak boleh campur tangan dalam pengobatan yang dianjurkannya. Dalam pandangan ini segala dan setiap keputusan tentang perawatan dan pengobatan pasien termasuk informasi yang diberikan harus seluruhnya berada dalam tangan dokter dan asisten profesional. 2. Indevidualisme, pasien mempunyai hak mutlak atas tubuh dan nyawanya sendiri. Dalam pandangan ini segala dan setiap keputusan tentang perawatan dan pengobatan pasien, termasuk mengenai pemberian informasi kesehatannya berada dalam tangan pasien karena sepenuhnya pasien yang mempunyai hak atas dirinya sendiri. 3. Reciprocal atau collegial, pasien dan keluarganya adalah anggota inti dalam kelompok, sedangkan dokter, juru rawat dan profisional kesehatan lainnya bekerja sama untuk melakukan yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Dalam pandangan ini, kemampuan profosional dokter dilihat sesuai dengan ilmu dan keterampilannya, dalam hal ini terutama
17
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 47-48
Universitas Sumatera Utara
mengenai hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang setiap prosudur yang harus didasarkan persetujuan setelah diberi informasi secukupnya. Oleh karena itu, keputusan yang diambil mengenai perawatan dan pengobatan harus bersifat reciprocal (menyangkut memberi dan menerima)dan collegial (menyangkut suatu pendekatan kelompok atau tim yang setiap anggotanya mempunyai masukan yang sama). Hubungan antar dokter dan pasien terdapat 2 (dua) pola hubungan, yakni: pola hubungan vertikal yang paternalistik dan pola hubungan horizontal yang kontraktual. Dalam hubungan vertikal, kedudukan antara dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat dengan pasien sebagai pengguna/penerima jasa pelayanan kesehatan, sedangkan dalam pola hubungan horizontal yang kontraktual, kedudukan antara penerima jasa pelayanan kesehatan dan pemberi jasa pelayanan kesehatan mempunyai kedudukan sederajat. Dalam hubungannya dengan hal ini Soejono Soekanto, mengemukakan pendapatnya yang mengatakan bahwa: hubungan antara dokter dan pasien pada dasarnya merupakan hubungan hukum keperdataan, dimana pasien datang kepada dokter untuk disembuhkan penyakitnya dan dokter berjanji akan berusaha mengobati atau menyembuhkan penyakit pasien tersebut. Hubungan keperdataan merupakan hubungan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berada dalam kedudukan yang sederajat. 18 Hubungan dokter dengan pasiennya disebut dengan transaksi terapeutik atau kontrak terapeutik yaitu suatu transaksi untuk mencari dan menerapkan terapi yang paling tepat untuk menyembuhkan penyakit pasien. Sebagai suatu kontrak atau perikatan maka transaksi terapeutik
18
itu
umumnya
bersifat
inspanningsverbintenis
yaitu
suat
perikatan
Soejono Soekanto, Aspek Hukum Kesehatan, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1989, hal.4
Universitas Sumatera Utara
dimanaprestasinya berupa suatu usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh, tanpa tidak mendasarkan pada hasil sebagai prestasinya. 19 Pada dasarnya hubungan dokter dan pasiendalamtransaksi terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi. 20 Antara dokter dan pasien tim hak dan kewajiban secara timpal balik, apabila hak dan kewajiban ini tidak dipenuhi oleh salah satu pihak yang sudah saling bersepakat untuk mengadakan transaksi, maka wajarlah apabila pihak yang lain terutama yang merasa dirugikan menggugat. Transaksi terapeutikyang dilakukukan antara dokter dan pasien bertujuan untuk; 21 1. Menyembuhkan dan mencegah penyakit Pemberi pelayanan medik berkewajiban untuk memberikan bantuan medik yang dibatasi oleh kriterium memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan dapat mencegah atau menghentikan
proses
penyakit
yang
bersangkutan.
Tujuan
bertindak
untuk
menyembuhkan menjadi rasa percaya diri sendiri yang dimiliki manusia menjadi optimal. 2. Meringankan penderitaan Tindakan medik yang dilakukan dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan pasien harus secara nyata ditujukan untuk memperbaiki keadaan pasien, atau agar kesehatan pasien lebih baik lagi dari sebelumnya, maka penggunaan metode giagnostik atau terapeutik yang lebih menyakitkan seharusnya dihindari. Pemberian bantuan atau pertolongan untuk meringankan penderitaan ini merupakan bagian dari suatu tugas pemberi pelayanan medik yang didasarkan pada ketelitian dan sikap hati-hati. 19
Husein Kerbala, , Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 37-38 20 Hermein Hadiati Koeswadji, Hukum Dan Masalah Medik, Airlangga University Press, Surabaya,1984, hal. 69 21 Veronika Komalawati,Op.Cit, hal.134
Universitas Sumatera Utara
3. Mendampingi Pasien Kegiatan mendampingu pasien ini seharusnya sama besarnya dengan kegiatan untuk menyembuhkan pasien. Di dalam dunia kedokteran tidak ada alasan yang menyatakan bahwa kegiatan yang didasaarkan keahlian secara teknis merupakan kewajiban yang lebih penting daripada kegiatan untuk mengurangi penderitaan dan kegiatan untuk mendapingi pasien. Transaksi terapeutik didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu ; 22 1. Sepakat mereka mengikat diri Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilapan, atau paksaan, atau penipuan. Sepakat itu dilihat dari rumusan aslinya yang berbunyi persetijuan (toestemming) dari mereka yang mengikat dirinya. Berarti di dalam suatu perjanjian minimal harus ada dua subyek hukum yang dapat menyatakan kehendak untuk mengikat diri. Sepakat itu terjadi jika pernyataan kehendak kedua belah pihak itu bersesuaian, dalam ari kehendak pihak yang satu mengisi kehendak pihak lainnnya secara bertimbal balik. Adanya cara menyatakan persesuaian kehendak itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara tegas maupun diam-diam. Oleh karena itu sebenanya yang dimaksud dengan sepakat adalah persesuaian pernyataan kehendak. Dengan demikian didasarkan asas konsensualisme, maka untuk terjadinya perjanjian disaratkan adanya persesuaian kehendak dari kedua belah pihak. 2. Kecakapan untuk membuat perikatan Secara yuridis yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kewenangan seseorang untuk mengkatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang. 22
Ibid,hal. 155-156
Universitas Sumatera Utara
Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 KUHPerdata. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa orang-orang yang dinyatakan tidak cakap yaitu oranng yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuatny perjanjian tertentu. Didasarkan kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecakapan bertindak merupakan kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri, sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Dengan Kata lain ketidak wenangan hanya menghalangi seseorang untuk melakukan tindakan hukum tertentu, dan orang yang dinyatakan tidak berwenang adalah orang yang secara umum cakap untuk bertindak. Berarti orang yang tidak cakap untuk bertindak adalah orang yang mempunyai wewenang hukum, karena orang yang mempunyai wenang hukum adalah orang yang pada umumnya cakap untuk bertindak tetapi pada peristiwa tertentu tidak dapat melaksanakan tindakkan hukum dan tidak wenang menutup perjanjian tertentu secara sah. Didalam transaksi terapiutik, pihak penerima pelayanan medik terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap bertindak memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak dibawah umum tetapi telah dianggap dewasa atau matang, dan anak dibawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tua atau walinya. 3. Suatu hal tertentu Pasal 1333 ayat 1 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Pasal 1333 ayat 2 menyebutkan bahwa tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asalkan
Universitas Sumatera Utara
jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Di samping itu Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketentuan umum. Bila dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka urusan yang dimaksud adalah sesuai yang perlu ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut hanya dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerja sama yang didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Jika dokter tidak dapat menentukan dan menjelaskan, atau memberikan informasi mengenai upaya medik yang akan dilakukannya maka berarti syarat ini tidak terpenuhi. 4. Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang halal dalam undang-undang tidak dijelaskan secara tegas. Akan tetapi hal ini dapat ditafsirkan secara contrario menurut ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu, tidak mempunyai kekuatan. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dapat terjadi tiga macam perjanjian, yaitu perjanjian dengan suatu sebab yang halal, perjanjian tanpa sebab, dan perjanjian dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang. Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah dilarang, apabila dilarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban umum. Dengan demikian yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuannya. Bila dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka tindakan pengguguran kandungan dengan
Universitas Sumatera Utara
alasan apapun merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, sedangkan pengobatan melalui pembedahan terhadap penderita penyakit terminal dengan tujuan penelitian tarapeutik merupakan perjanjian dengan sebab yang palsu. Kesepakatan untuk melakukan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien baru dapat dilakukan apabila sebelumnya ada persetujuan tindakan medik dari si pasien. Persetujuan medik atau Informed Consentyang diberikan setelah pasien yang bersangkutan diberi informasi. Informed Consent pada hakekatnya adalah persetujuan atas dasar informasi, merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri didalam praktek doketer. Informasi yang harus diberikan dokter adalah informasi yang selengkap-lengkapnya yaitu informasi yang adekuat tertang perlunya tindakan midik yang bersangkutan dan resiko yang dapat ditimbulkannya. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 585/1989 mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan pelasanaan Informed Consent, berisi antara lain: 1. Kewajiban tenaga kesehatan memberikan informasi baik diminta maupun tidak diminta, diberikan secara edukuat tentang perlunya tindakan medik dan resiko yang dapat ditimbulkannya, diberikan secara lisan dan cara penyampaian informasi harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi pasien. 2. Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik, informasi cukup diberikan secara lisan, informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali dokter menilai akan merugikan pasien dan informasi tersebut dengan persetujuan pasien akan diberikan kepada keluarga pasien.
Universitas Sumatera Utara
3. Pemberian informasi adalah dokter yang bersangkutan, dalam hal berhalangan dapat diberikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan dan tanggungjawab dari dokter yang bersangkutan, dibedakan antara tindakan operasi dan bukan operasi. Untuk tindakan operasi harus dokter yang memberikan informasi, untuk bukan tindakan operasi sebaiknya oleh dokter yang bersangkutan, tetapi dapat juga oleh perawat/paramedik. 4. Jika perluasan operasi dapat diprediksi, maka informasi harus diberikan sebelumnya, dalah hal ini tidak dapat diprediksi sebelumnya, maka demi menyelamatkan jiwa pasien dapat dilaksanakan tindakan medik dan setelah dilaksankan tindakan, dokter yang bersangkutan harus memberitahukan kepada pasien atau keluarganya. 5. Yang berhak memberi persetujuan, adalah mereka yang dalam keadaan sadar dan sehat mental, telah berumur 21 tahun/ telah menikah, bagi mereka yang telah berusia 21 tahun tetapi berada dibawah pengampuan maka persetuan diberikan oleh wali/pengampu, bagi mereka yang dibawah umur (belum berusia 21 tahun) diberikan oleh orang tua/wali/ keluarga yang terdekat atau induk semang. 6. Bagi pasien yang dalam keadaan tidak sadar/pengsan dan tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik memerlukan tindakan segera,tidak diperlukan persetujuan. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dalam : Pasal 45: (1) Setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup: a. diagnosa dan tata cara tindakan medik; b. tujuan tindakan medik yang dilakukan; c. Alternatif tindakan lain dan risikonya; d. resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberi persetujuan Pasal 52: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak: a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3 b. meminta pendapat dokter lain. Pemberian informasi ini merupakan pekerjaan/tugas dokter yang cukup sulit karena dalam pemberian informasi itu dokter harus menghadapi berbagai macam pasien dengan kepribadian, sifat dan sikap yang berbeda. Sementara tujuan dari penyampaian informasi itu harus tercapai, dalam arti pasien dapat memahami pokok-pokok dari informaasi. Diantara faktor-faktor subyektif pasien yang turut mempengaruhi dalam proses penyampaian informasi adalah: 23 a. Tingkat pendidikan Bagi pasien yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas akan menanyakan perihal penyakitnya sampai kepada hal yang terkecil. Keingintauan pasien seperti ini sangat besar sekali terhadap keadaan kesehatan, penyakit serta tindakan-tindakan medis yang akan diterapkan oleh dokter. Sebaliknya bagi pasien yang berpendidikan rendah dan kurang dapat memahami penjelasan dan informasi medis dokter akan selalu menerima dan menyetujui tindakan apapun yang akan dilakukan dokter. b. Persepsi pasien terhadap dokter dan alat-alat kedokteran. Menghadapi pasien yang persepsi negatif terhadap dokter dan alat-alat kesehatan dimana dokter digambarkan sebagai sosok yang menakutkan dan selalu memegang jarum suntik, maka selengkap apapun informasi dari tindakan invasif dan operatif yang akan diambil
23 Kartono Muhammad, Hak Pasien Untuk Mengetahui Cara Penyembuhan Dalam Rumah Sakit, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990, hal 5
Universitas Sumatera Utara
oleh dokter maka pasien ini tidak akan pernah menyetujuinya. Sedangkan pasien yang mempunyai persepsi positif terhadap dokter dan alat-alat kesehatan akan memilik sikap wajar dalam meminta informasi serta menyetujui/tidak menyetujui tindakan medis yang akan diambil oleh dokter. c. Persepsi pasien terhadap penyakit Bagi pasien yang mempunyai persepsi/ anggapan bahwa penyakit yang dideritanya ini cepat atau lambat akan membawa kepada kematian, cenderung akan menyetujui tindakantindakan invasif dan operatif yang mempunyai resiko besar sekalipun seperti pembedahan. Informasi dari dokter kepada pasien ini akan penyakit dan terapi ringan yang dapat dilaksanakan, tidak akan hanya mempengaruhi sikap pasien untuk memutuskan tindakan operatif yang radikal tersebut. Sementara bagi pasien yang selalu memandang penyakitnya itu dengan sebelah mata dan meremehkan paadahal menuurut penilaian dokter, penyakit itu sudah pada stadium parah, tidak akan pernah menyetujui tindakan operatif maupun tindakan invasif lainnya seperti pembedahan. Fungsi infomasi bagi pasien adalah sebagai dasar atau landasan bagi persetujuan (consent) yang akan ia berikan kepada dokter.Sehingga apabila informasi yang diberikan dokter itu kurang memadai atau dokter tidak memberikan informasi sama sekali, maka pasien tidak akan mempunyai landasan yang cukup untuk memutuskan memberi atau tidak memberi persetujuan kepada dokter. Informasi bagi pasien juga berfungsi sebagai perlindungan atas hak pasien untuk menentukan diri sendiri. Dalam arti bahwa pasien berhak penuh untuk diterapkannya suatu tindakan medis atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
Azrul Azwar mengemukakan ada lima hal yang pentingnya infomed consent bagi dokter, kelima hal tersebut adalah: 24 1. Dapat membatu kelancaran tindakan kedokteran Dengan menyampaikan informasi kepada pasien mengenai penyakit, terapi, keuntungan, resiko dan lain-lain. Dari tindakan medis yang akan dilakukan maka terjalin baik antara dokter dan pasien. Sementara pasienpun akan menentukan hal yang terbaik dengan landasan informasi dokter tadi, sehingga tindakan-tindakan medis pun akan lancar dijalankani oleh kedua belah pihak karena keduanya telah memahami kegunaan semua tindakan medis itu. 2. Dapat menguangi timbulnya akibat sampingan dan komplikasi. Dengan penyampaian informasi yang baik akan memberikan dampak yang baik dalam komunikasi dokter pasien terutama dalam menetapkan terapi. Seumpamanya dokter belum menyuntik pasien dengan panisilin, bertanya apakah pasien alergi terhadap panisilin ? Bila pasien memang alergi maka akibat/resiko yang besar terjadi anafilaktik shock dapat dihindari. 3. Dapat mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan penyakit Sama halnya dengan kelancaran tindakan, maka sebagian akibat adanya pengetahuan dan pemahaman yang cukup dari pasien terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan, maka proses pemulihan dan penyembuhan penyakit akan lebih cepat. 4. Dapat meningkatkan mutu pelayanan Keberhasilan meningkatkan mutu pelayanan di sini adalah sebagai akibat dari lancqarnya tindakan kedokteran, berkurangnya akibat sampingan dan kompilasi serta sepatnya proses
24
Azrul Azwar, Latar Belakang Pentingnya Informed Consent bagi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991, hal. 6-7
Universitas Sumatera Utara
pemulihan dan penyembuhan penyakit. Keadaan seperti ini jelas akan menguntungkan pihak dokter. 5. Dapat melindungi dokter dari kemungkinan tuntutan hukum. Perlindungan yang dimaksud adalah apabila di satu pihak, tindakan dokter yang dilakukan memang tidak menimbulkan masalah apa pun, dam di lain pihak, kalaupun kebetulan sampai menimbulkan masalah, misalnya akibat sampingan dan atau komplikasi, sama sekali tak ada hubungannya dengan kelalaian dan ataupun kesalaha tindakan. Timbulnya masalah tersebut semata-mata hanya karena berlakunya prinsip ketidakpastian hasil dari setiap tindakan kedokteran/medis. Dengan perkataan lain, semua tindakan kedokteran yang dilakukan memang telah sesuai dengan standar pelayanan profesi. Fred Amen mengutip pendapat Leenen, mengatakan bahwa informasi seorang dokter kepada pasien berupa penjelasan perihal: 25 1. Diagnosa adalah hasil pemeriksaan dokter terhadap pasien tentang kemungkinan jenis penyakit yang diderita pasien. 2. Terapi, dengan kemungkinan alternatif terapi ialah cara pengobatan atau terapi yang terbaik dan menguntungkan bagi penyembuhan penyakit pasien. Dan cara pengobatan ini adalah beberapa alternatif dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing 3. Tentang cara kerja dan pengalaman dokter ialah cara kerja dari terapi yang akan diterapkan, apakah harus melalui pembedahan, pembiusan total dan lainnya; dan pengaaman terapi yang akan dilaksanakan itu, apakah menurut pengalaman terapi itu lebih besar kemungkinan berhasilnya atau gagalnya informasi ini juga penting bagi pasien dalam menentukan putusannya.
25
Fred Ameln, Op. Cit, hal. 45
Universitas Sumatera Utara
4. Resiko-resiko ialah resiko langsung maupun resiko sampingan dari terapi yang dipilih. Menjelasakan risiko ini merupakan hal yang sulit karena jangan sampai pemberian informasi tentang risiko itu justru menakutkan pasien. 5. Kemungkinan perasaan sakit ataupun perasaan lain. Jika menimbulkan perasaan sakit maka perlu diberitahu seberapa besar sakitnya dan untuk berapa lama sakitny akan berlangsung berdasarkan pengalaman. Sedang perasaan lain, misalnya sertelah disuntik, maka pasien akan merasa mual-mual, pening atau akan meninggi suhu badannya atau akan merasa gatal-gatal, dan lain-lain. 6. Keuntungan terapi, tetang hal ini tidak boleh disampaikan secara berlebihan yang dapat menimbulkan harapan berlebihan pula. Penyampaian keuntungan yang berlebihan apabila sampai yang berbentuk janji-janji muluk dapat merugikan dokter bila ternyata janji-janji itu tidak terbukti kebenarannya. 7. Prognose Dokter dan pasien yang melakukan komunikasi dengan baik akan menguntungkan kedua belah pihak, salah satu hal yang penting dalam komunikasi tersebut adalah empati, yakni: Kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien, menunjukkan efektivitas/sensitivitas dokter terhadap perasaan pasien dan kemampun perilaku dokter dalam memperhatikan/menyampaikan empatinya kepada pasien.Namun ada beberapa pasien yang tidak perlu mendapat informasi secara langsung antara lain: 1. Pasien yang diberi pengobatan dengan placebo yaitu merupakan senyawa farmakologi tidak aktif yang digunakan sebagai obat untuk pembanding atau sugest.
Universitas Sumatera Utara
2. Pasien akan dirugikan jika mendengar informasi tersebut, misalnya karena kondisinya tidak
memungkinkan
untuk
mendengan
informasi
yang
dikhawtirkan
dapat
membahayakan kesehatannya 3. Pasin yang sakit jiwa dengan tingkat gangguan yang sudah tidak memungkinkan untuk berkomunikasi 4. Pasien yang belum dewasa. 26 Hak dak kewajiban dokter dan pasien dengan sendirinya akan berakhir jika hubungan antara dokter dan pasien berakhir. J. Gunardi berpendapat bahwa hubungan pasien dan dokter jika: 1. Sembuhnya pasien dari keadaan sakitnya dan sang dokter menganggap tidak diperlukan lagi adanya pengobatan, sehingga tidak ada manfaatnya lagi untuk pasien meneruskan pengobatannya. Penyembuhan dianggap bahwa keadaan pasien tidak memerlukan lagi pelayanan medik. Hal ini berarti bahwa penyembuhan keseluruhan hanya dapat diperoleh melalui perawatan yang tepat, penerusan peminuman obat yang diresepkan, atau memang sudah sembuh benar. Penentuan apakah pasien sudah sembuh benar sehingga tidak memerlukan pengobatan lagi karena tidak ada manfaatnya bagi si pasien tergantung pada dokternya. Hal ini dapat dilakukan sesudah dilakukan penelitian lagi dan mengadakan evaluasi terhadap catatan mediknya, dan pasien itu sendiri mengadakan evaluasi terhadap dirinya sendiri bersama orang-orang yang mengkhawatirkan kondisinya. Mengakhiri secara prematur dari pemberian pelayanan pengobatan sementara pasien masih memerlukannya bisa mengakibatkan tuduhan terhadap penelantaran.
26
Darda Syahrizal, Senja Nilasari, Undang-Undang Praktik Kedokteran dan Aplikasinya, Dunia Cerdas, Jakarta, hal. 85
Universitas Sumatera Utara
2. Dokter mengundurkan diri Seorang dokter boleh mengundurkan diri dari hubungan antara dokter dan pasien asalkan: a. Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut b. Kepada pasien tersebut diberikan waktu cukup dan pemberitahuan, sehingga ia bisa memperoleh pengobatan dari dokter lain c. Jika dokter itu merekomendasikan kepada dokter lain yang sama kompetensinya untuk menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan pasiennya. 3. Pengakhiran oleh pasien Seorang pasien bebas untuk mengakhiri pengobatannya dengan dokternya. Apabila diakhiri, maka sang dokter berkewajiban untuk memberikan nasehatr mengenai apakah masih diperlukan pengobatan lanjutan dan memberikan kepada penggantinya informasi yang cukup, sehingga pengobatannya dapat diteruskan oleh penggantinya. Apabila pasien memakai dokter lain, maka dapat dianggap bahwa dokter yang pertama itu telah diakhiri hubungannya, kecuali ada diperjanjikan bahwa mereka akan mengobati bersama atau dokter kedua hanya dipanggil untuk konsultasi tujuan khusus 4. Meninggalnya sang pasien 5. Meninggalnya atau tidak mampunya menjalani lagi profesinya dari sang dokter 6. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti yang telah ditentukan dalam kontrak. Pelayanan pengobatan yang diminta pasien sudah dilaksanakan oleh dokternya. Contoh mengenai hal ini misalnya dalam kasus-kasus rujukan kepada seorang spesialis untuk memeriksa organ atau sistem untuk mendeteksi apakah adanya penyakit dan penerapan prosedur medik Yang tepat. Kecuali ditentukan lain, maka konsultasi klinis beakhir pada setiap akhir kunjungan dari pasien.
Universitas Sumatera Utara
7. Di dalam khasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan pasien sudah datang, atau terdapat penghentian keadaan gawat darurat tersebut. 8. Lewatnya jangka waktu, apabila kontar medik itu telah ditentukan untuk jangka waktu tertentu. Persetujuan kedua belah pihak antara dokter dan pasiennya bahwa hubungan dokter dan pasien itu sudah diakhiri. 27
B. Kode Etik Kedokteran Etika atau ethics atau ethic berasal dari bahasa Yunani “ethikos” yang berarti moral, dan ethos yang berarti tabiat, karakter, atau kelakuan. Ethic juga menunjuk pada nilai-nilai atau aturan perilaku dalam suatu kelompok manusia atau manusia perorangan, seperti misalnya dalam arti Unethical behavior. Ethics merupakan cabang dari filsafat di mana manusia berusaha untuk mengevaluasi dan memutuskan melalui sarana tertentu tindakantindakan moral atau teori-teori umum tentang tingkah laku. 28 Etika dapat diartikan sebagai kesepakatan/konsensus bersama antara pendapat para ahli bidang tertentu dalam menentukan hal-hal yang berhubungan dengan ukuran/tolo ukur/standar profesional. Dalam arti yang demikian itu etika sangat erat hubungannya dengan (1) perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan moral, dan (2) perilaku yang sesuai dengan dan/atau mendukung standar profesi. 29 Etika sangat erat hubungannya dengan perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan perasaan moral dan perilaku yang sesuai dengan atau untuk mendukung standar profesi. Etika profesi dokter berfungsi sebagai pedoman perilaku bagi para pengemban profesi medik dalam kedudukannya di lingkup dunia medik. Etika kedokteran sudah sewajarnya 27
J. Gunardi, Op. Cit. hal. 24 Hermein Hadiati Koeswadji, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Asas-Asas dan Permasalahan Dalam Implementasinya, PT. Citra Aditia Bakti, Bandung, 1996, hal. 22 29 Ibid, hal.23 28
Universitas Sumatera Utara
dilandasi atas norma-norma etik yang mengatur hubungan manusia umumnya, dan memiliki asas-asasnya dalam falsafah masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus, khususnya di Indonesia, ass itu adalah Pancasila yang sama-sama kita akui sebagai landasan Idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan struktural. 30 Kode Etik Kedokteran Indonesia dituangkan dalam Keputusan menteri Kesehatan Nomor 434/1983, dan pada tahun 2002 oleh Pengurus Besar IDI melakukan revisi dan menetapkan perubahan berdasarkan Hasil Mukernas Etik Kedokteran Indonesia III Tahun 2001. Surat keputusan tersebut menyatakan berlakunya Kode Etik Kedokteran bagi semua pengemban profesi medik yang melaksanakan profesinya di Indonesia. Adapun mengenai materi Kode Etik Kedokteran Indonesia dapat dipisahkan antara Mukadimah dan Batang Tubuh yang berisikan ketentuan pasal-pasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban dokter secara umum, Kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap teman sejawat dan kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri. Pelanggaran terhadap buti-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelakgaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebabaliknya pelanggran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran. Berikut diajukan beberapa contoh: 31 a. Pelanggran etik murni 1. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi 2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya 30
Heru Budianto (Ed), Panduan Praktis Etika Profesi Dokter, (Jakarta, Sagung Seto, 2009). Hlm.16 Endang Kusumah Astuti, Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis, Semarang, 2003, hal. 83 31
Universitas Sumatera Utara
3. Memuji diri sendiri di depan pasien 4. Tidak mengikuti pendidikan kedokteran yang berkesinambungan 5. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri b. Pelanggaran etikolegal 1. Pelayanan dokter dibawah standar 2. Menerbitkan surat keterangan palsu 3. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter 4. Abortus Provokatus C.Hak dan Kewajiban Dokter Kewajiban dokter dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia dikelompokkan atas empat kelompok, Yakni; A. Kewajiban umum 1. Seorang dokter hendaknya senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi 2. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter jangan dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi 3. Perbutan berikut dipandang bertentangan dengan etika: a. Sesuatu perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri b. Ikut serta dalam memberikan pertolongan kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebesaran profesi c. Menerima uang selain dari imbalan yang layak sesuai dengan jasanya, meskipun dengan pengetahuan pasien 4. Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan mahluk insani, baik jasmani maupun mental, hanya diberikan untuk kepentingan pasien.
Universitas Sumatera Utara
B. Kewajiban Dokter terhadap pasien 1. Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani 2. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas terhadap pasien dan mempergunakan segala sumber keilmuannya. Apabila ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaana atau pengobatan, maka wakiblah ia berkonsultasi dengan dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit yang bersangkutan. Pasien hendaklah diberi kesempatan supaya senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadah 3. Seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, karena kepercayaa yang telah diberikan kepadanya, bahkan juga setelah pasien meninggal 4. Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusian, kecuai bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu untuk memberikannya. C. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat 1. Saeorang dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagai ia sendiri ingin diperhatikan 2. Seorang dokter tidak boleh merebut dari teman sejawatnya 3. Seorang dokter harus menjunjung tinggi asas Declaration of Geneva yang telah diterima oleh Ikatan Dokter Indonesia. D. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri 1. Seorang dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik 2. Seorang dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dn tetap setia kepada cita-sitanya yang luhur. Kewajiban dokter dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yakni:
Universitas Sumatera Utara
1. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan. Kelompok ini, kepentingan masyarakat meninjol dan bukan hanya kepentingan pasien saja.
Karena
itu
dalam
melakukan
kewajiban
disini
seorang
dokter
harus
memperhitungkan faktor kepentingan masyarakat, misalnya: a. Pada sarana tempat ia bekerja (misalnya Rumah Sakit, klinik, Puskesmas), setiap dokter harus berhati-hati dalam mendistribusikan obat-obatan yang persediannya hanya sedikit b. Dalam menentukan diopnamenya seorang pasien, dokter harus memperhitungkan jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit dan keadaan sakit pasien c. Memperhitungkan untuk tidak menulis suatu resep untuk obat yang tidak begitu perlu d. Mempertimbangkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran , dokter dan dokter gigi menyatakan bahwa melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak; a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari paasien atau keluarganya; dan d. Menerima imbalan jasa. Di samping mengatur hak dokter dalam melaksanakan praktik, Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 mengatur juga tentang kewajiban dokter dalam melaksanakan praktik dalam Pasal 51: Dokter dan dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban: a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosudur operasional serta kebutuhan medis pasien b. Merujuk pasienke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan
Universitas Sumatera Utara
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas danmampu melakukannya, dan e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Hak yang timbul dalam profesi kedokteran sebanarnya bersumber pada hak dasar, yakni hak dasar sosial dan hak dasar individu, keduanya akan saling mendukung, minimal berjalan sejajar dan tidak saling bertentangan karena merupakan hak dasar manusia. Oleh karena itu dokter maupun pasien sama-sama mempunyai hak tersebut. Sedangkan kewajiban timbul dalam kaitan hubungan profosional dokter-pasien, dengan salah satu pihak benarbenar berlaku sebagai dokter sesuai dengan syarat-syarat dan norma-norma profesi kedokteran yang berlaku, sehingga saat itu ia memang berperan sebagai dokter dalam suatu hubungan hukum tertentu, yakni hubungan profesional dokter-pasien. Perlu ditekankan bahwa yang dibecarakan ialah jenis hubungan terapeutik, yang tujuannya adalah pemulihan atau peningkatan kesehatan pasien Fred Ameln menyatakan bahwa dokter mempunyai hak, yaitu: 1. Hak yang terpenting dari seorang dokter, hak untuk bekerja menurut standar medik. 2. Hak menolak melaksanakan tindakan medik karena secara profosional tidak dapat mempertanggungjawabkannya 3. Hak untuk menolak suatu tindakan medik yang menurut suara hatinya tidak baik. 4. Hak untuk mengakhiri Hubungan dengan seorang pasien jika ia menilai bahwa kerja sama pasien dengan dia tidak lagi ada gunanya. Misalnya dokter memberikan instruksi pengobatan yang perlu dan wajib dilaksanakan oleh pasien, tetapi pasien berkali-kali tidak mengikutinya sebagian maupun keseluruhannya tanpa memperlihatkan suatu penyesalan tapi tiap kali hanya mengemukakan bahwa ia lupa.
Universitas Sumatera Utara
5 Hak atas privacy dokter. Pasien harus menghargai dan menghormati hal yang menyangkut privacy dokter, misalnya jangan memperluas hal yang sangat peribadi dari dokter yang ia ketahui sewaktu mendapatkan pengobatan 6. Hak atas informasi/pemberitahuai pertama dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadapnya. Jika seorang pasien tidak puas dan ingin mengajukan keluhan maka dokter mempunyai hak agar pasien tersebut bicara dahulu dengannya sebelum mengambil langkah lain misalnya melaporkan kepada IDI atau mengajukan gugatanperdata atau tuntutan pidana 7. Hak atas balas jasa 8 Hak atas pemberian penjelasan lengkap oleh pasien tentang penyakit yang dideritanya. Misalnya, agar dokter dapat mendiagnosa dengan baik pasien pula harus bekerjasama sebaik mungkin 9. Hak untuk membela diri 10 hak untuk memilik pasien Hak ini sama sekali tidak merupakan hak mutlak. Lingkungan sosial merupakan hal yang sangat mempengaruhi hak ini. 11. Hak untuk menolak untuk memberi keterangan tentang pasien di Pengadilan. Perlu diketahui Pasal 224 KUHP yang mengatur keharusan untuk memberikan kesaksian dalam suatu prosedur Pengadilan. Seorang dokter dapat meminta agar untuk dia dapat diterapkan Pasal 170 KUHP dimana diatur dalam ayat 1 pembebasan kewajiban untuk
Universitas Sumatera Utara
memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan pada mereka. 32 Hak dan kewajiban seorang dokter terdiri atas 6 sifat dasar yang dilakukan oleh dokter yaitu : 1. Sifat ketuhanan, 2. Kemurnian niat, 3. Keluhuran budi, 4. Kerendahan hati, 5. Kesungguhan kerja, 6. Integritas ilmiah dan sosial. Keenam sifat dasar ini akan teraplikasi dan beberpa sikap dokter terhadap pasiennya antara lain : 33 1. Munculnya profesionalisme seorang dokter 2. Terbuka, yaitu memberikan informasi yang dibutuhkan oleh seorang pasien baik diminta ataupun tidak diminta. Dokter harus juga memberikan penjelasan yang jujur dan terbuka. 3. Punya waktu yang cukup, yaitu seorang dokter harus mempunyai waktu yang cukup dalam melayani pasiennya, sehingga pasien tersebut merasa puas terhadap palayanan dokter tersebut. 4. Mempunyai minat yang besar untuk menolong 5. Tumbuhnya sikap empati dokter terhadap pasien yang dihadapinya 6. Peka terhadap situasi dan kodisi lingkungan pada saat itu 7. Mampu mengenal dan mengatasi masalah D. Standar Profesi Pekerjaan kedokteran adalah pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan keilmuan dan keterampilan dan kompetensinya diperbolehkan melalui pendidikan yang berjenjang. Secara etika, StandarProfesi Dokter berbicara tentang profesionalisme dokter dan kemampuan memberika asuhan medis yang baik. Profesionalisme dokter secara ilmiah yang berkaitan dengan kompetensi, saat ini diukur melalui uji kompetensi ataupun berbagai persyaratan yang sifatnya, tanpa mempedulikan perangai manusianya dan ini pada umumnya diserahkan pengukurannya kepada pihak institusi pendidikan dokter. 34
32
Fred Ameln, Op. Cit, hal. 64-65 Htt://dokter Arief.blodspot.co.id/2010/08/hak dan kewajiban seorang dokter.html, diakses 20 Januari
33
2016 34
Hermin Hadiati Koeswadji, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 124
Universitas Sumatera Utara
Penentuan Standar profesi dapat dipilah dalam tiga kelompok; Pertama; standard Struktur meliputi sumber daya baik sumber daya manusianya (kemampuan tehnis manusiannya) maupun sumber daya fisik lainnya misalnya peralatan, tempat dan sebagainya; Kedua;standard Proses meliputi hal-hak yang berkaitan dengan pelaksanaan tindakan yaitu standar bagi pihak dokter dan standar asuhan terhadap obyak tindakan yaitu pasien; Ketiga; standard outcome meliputi hal-hal yang berkaitan dengan hasil yang dicapai. Dalam hal ini sulit untuk menentukan standar keberhasilan suatu upaya medik. 35 Dengan demikian Standard Profesi Dokter merupakan suatu ukuran dan pedoman tentang profesionalisme dokter, dengan tujuan untuk memberikan asuhan medis yang baik, dengan hasil keseluruhan merupakan apa yang disebut sebagai “good medical care”. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 menyatakan bahwa: Setiap dokter yang berpraktek wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, mewajibkan dokter senantiasa mengikuti perkembangan keilmuan dan teknologi dengan melalui keikut sertaan dalam pendidikan berkelanjutan, namun lebih dari itu, membaca buku kedokteran dan jurnal ilmiah kedokteran tentu tidak boleh dilupakan. Disamping itu, etika profesi dan etika umum juga harus dipahami, dihayati dan diamalkan dalam melaksanakan profesi dokter secara tulus dan ikhlas, jujur dan rasa cinta terhadap sesama manusia, dengan penampilan dan tingkah laku, tutur kata yang seimbang dengan martabat pekerja dokter. Dokter hendaknya memberikan seluruh kemampuannya dalam bidang ilmu pengetahuan kedokteran dengan memperhatikan budaya dan agama yang dianut pasien ketika ia merawat atau menangani pasien. 35
Heru Budianto (Ed), Op. Cit, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
Leenen sebagaimana dikuti Wila Chandrawila Supriadi menhyatakan bahwa standard profesi adalah bertindak teliti sesuai dengan standar medik sebagai dilakukan seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dari katagori keahlian medik yang sama dengan cara yang ada dalam perseimbangan yang pantas untuk mencapai tujuan dari tindakan konkrit. 36 Van der Mijn berpendapat bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan baru berpegang kepada tiga ukuran umum, yaitu: 37 1. Kewenangan Kewenangan seorang tenaga kesehatan adalah kewenangan hukum yang dipunyai oleh seorang tenaga kesehatan untuk melaksanakan pekerjaannya. Kewenangan ini memberikan hak kepada teaga kesehatan untuk bekerja sesuai dengan bidangnya. Kewenangan ini tidak lain adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain yang disahkan oleh yang berhak mensahkan. Di Indonesi kewenangan menjalankan rofesi tenaga kesehatan didapat dari Departemen Kesehatan. Syarat-syarat adminstrasi ini, memberikan kepada dokter kewenangan untuk melaksanakan profesi kesehatan 2. Kemampuan rata-rata Untuk mengukur atau menentukan kemampuan/kecakapan rata-rata seorang tenaga kesehatan sangat sulit, karena banyak faktor yang mempengaruhi penentuan itu. Sebagai misal, seorang tenaga kesehatan yang baru lulus pendidikan tentunya tidak dapat disamakan kemampunya dengan seorang tenaga kesehatan yang telah menjalankan pekerjaan di bidang kesehatan selama dua puluh tahun. 3. Ketelitian yang umum
36
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, CV Mandar Maju, Bandung 2002, hal. 52 Ibid, hal 53-55
37
Universitas Sumatera Utara
Ukuran ketelitian yang umum, ialah ketelitian yang akan dilakukan oleh setiap tenaga kesehatan dalam melaksanakan pekerjaan yang sama. Dengan perkataan lain, tidak dapat seorang tenaga kesehatan yang dapat dikatakan perfeksinis menjadi ukuran bagi ketelitian dari tenaga kesehatan yang lain. Penilaian yang unum di sini, adalah bila sekelompok tenaga kesehatan akan melakukan ketelitian yang sama dalam situasi dan kondisu yang sama, maka ukuran ketelitian itulah yang diambil. Penentuan standar profesi tenaga kesehatan mengenai ketelitian ini pun sangat sulit, sebab itu hakim yang akan menilai ketelitian umum seorang profrsional harus obyektif. Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik kedokteran, disebutkan bahwa standar profesi adalah batas kemampuan (knowledge, skill and profesional attitude) minimal yang harus diakui oleh seorang indevidu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Dari bunyi Pasal 50 dapat diuraikan unsur-unsur standar profesi sebagai berikut: 1. Standar profesi merupakan batasan kemampuan minimu bagi dokter 2. Kemampuan, yang meliputi: a. Knowledge (pengetahuan) b. Skill (keterampilan c. Profesional attitude (perilaku profesional) 3. Kemampuan yang terdiri dari tiga unsur tersebut harus diakui oleh seorang indevidu (dokter yang lelakukan praktik kedokteran) 4. Kemampuan tersebut juga merupakan syarat untuk diizinkannya seorang dokter melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat
Universitas Sumatera Utara
5. Yang berhak membuat standar profesi menurut Undang Undang Praktik Kedokteran adalah organisasi profesi. Organisasi profesi dari dokter yang berlaku saat ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang dalah hal standar profesi dan masing-masing bidang spesialis, dapat diserahkan kepada masing-masing ikatan profesi di dalam bidang spesialis tersebut. Sebagai comtoh misalnya standar profesi tentang pembedahan, diserahkan kepada Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) untuk membuatnya, sedangkan standar profesi untuk penyakit anak diserahkan kepada Ikatan Dokter Anak Indonesia (1DM). Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, selain mengatur standar profesi mengatur juga standar prosedur operasional. Standar operasional adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Tujuan dibuatnya standar prosedur operasional adalah untuk memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan. Sedangkan yang berhak membuat standar prosedur pelayanan adalah sarana pelayanan kesehatan, dan perbuatannya tetap mengacu atau berpedoman kepada standar profesi, atau dengan kata lain standar prosedur operasional tidak boleh menyimpang dan standar profesi yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi. Veronika Komalawati menyebutkan bahwa standar prosedur operasional sebagai prosedur yang diuraikan oleh pemberi pelayanan kesehatan dan setiap spesialisasi yang dalam aplikasinya disesuaikan dengan fasilitas dan sumber daya yang ada. Standar prosedur ini merupakan acauan atau pelengkap bagi Rumah Sakit karena dapat mengikuti kondisi Rumah Sakit dimana prosedur tersebut diterapkan. 38 Standar profesi yang berkaitan dengan pelayanan medik yang lebih dititik beratkan kepada tindakan medik, yang dapat digunakan sebagai pedoman adalah standar pelayanan 38
VeronicaKomalawati, Op.Cit. hal. 178
Universitas Sumatera Utara
medik yang telah disusun oleh IDI pada tahun 1993. Standar pelayanan medik sangat diperlukan, karena kenyataan praktik sehari-hari sering dijumpai adanya perbedaan penanganan dan pemeriksaan pasien, maupun perbedaan sarana atau peralatan yang digunakan. Tanpa adanya standar pelayanan medik maka penyimpangan yang terjadi akan sulit diketahui. Tolo ukur dan perilaku yang memenuhi standar pelayanan medik dan seorang dokter saat ini hanya bisa dinilai dan kesungguhan upaya pengobatan yang dilakukannya dengan segenap kemampuan, pengalaman dan keahlian yang dimilikinya setelah pemeriksaan dan menilai keadaan pasiennya. Dengan perkataan lain, bila dokter tidak memeriksa, tidak menilai dan tidak berbuat sebagaimana yang diperbuat oleh sesama dokter terhadap pasien, maka dokter tersebut telah dikatagorikan sebagai melakukan tindakan yang melanggar standar pelayanan medik yang berlaku. Juga mengemukakan bahwa standar pelayanan medik mencakup standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan penunjang. Keduanya ini akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Oleh karena itu agar standar profesi ini selalu mengikuti perkembangan teknologi di bidang kedokteran, maka perlu dilakukan evaluasi secara berkala untuk kemudian diubah sesuai dengan perkembangan situasi kondisi setempat berdasarkan evaluasi. 39 Seorang dokter yang menyimpang dari standar profesi kedokteran dan melakukan kesalahan profesi, jika dapat dibuktikan bahwa dokter itu: 40 1. Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran; 2. Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat, dan 3. Tindakan itu menimbulkan akibat yang sirius, fatal, maka dokter tersebut telah melakukan malpraktik dan melanggar Pasal 359, 360 KUHP.
39 40
Ibid, hal 179 Ibid, hal.62
Universitas Sumatera Utara
E. Syarat-syarat Malpraktek Dalam sistem hukum Indonesia yang salah satu komponennya merupakan satu hukum substantif, diantara hukum positif yang berlaku tidak dikenal adanya istilah malpraktek, baik dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan maupun dalam UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang praktek Kedokteran. Dalam Pasal 54 dan 55 Undang-Undang Kesehatan disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, khususnya pada Pasal 84 dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter. Menurut Azrul Azwar yang mengutup pendapat dari Benard Knight bahwa dalam praktek sehari-hari ada tiga kreteria untuk menentukan adanya kesalahan profesi, Pertama; adanya kewajiban dokter menyelenggarakan pelayanan kedokteran bagi pasiennya, titik tolak dari kemungkinan terjadinya kesalahan profesional yang menimbulkan kerugian bagi orang lain tersebut adalah adanya kewajiban pada diri dokter melakukan tindakan medik atau pelayanan kedokteran bagi pasiennya, kewajiban yang dimaksud disini, yang tundak pada hukum perjanjian, maupun mempunyai beberapa ciri khusus dan jika disederhanakan dapat dibedakan atas professional medical standard, lingkup propesional yang dimiliki tersebut hanya untuk upaya yang akan dilaksanakan saja, bukan untuk hasil akhir; Kedua; adanya pelanggaran kewajiban dokter terhadap pasiennya, misalnya tidak melaksankan kewajiban profesional seorang dokter sebagaimana lazimnya dilakukan oleh setiap dokter; telah terjadi kontra terapi, tetapi dokter tidak melakukan kewajiban profesionalnya, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh seorang dokter pada setiap pelayanan kesehatan; tidak meminta persetujuan pasien sebelum melakukan suatu tindakan medik dan menjanjikan hasil tindakan medik pelayanan kedokteran yang kenyataannya tidak sesuai dengan perjanjian.Ketiga;
Universitas Sumatera Utara
sebagai akibat pelanggaran kewajiban timbul kerugian terhadap pasien, kerugian yang dimaksud disini semata-mata terjadi karena adanya kesalahan profesional bukan karena resiko sutu tindakan medik. 41 Untuk melihat apakah tindakan yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya tersebut malpraktik atau bukan, Leenen sebagaimana dikutip oleh Fred Ameln menyebutkan lima kriteria yang bisa digunakan yaitu : 42 1. Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen) dikaitkan dengan kelalaian (culpa). Bila seorang dokter yang bertindak onvoorzichteg, tidak teliti, tidak berhati-hati, maka ia memenuhi unsur kelalaian. 2. Tindakan yang dilakukan sesuai dengan ukuran ilmu medik (volgena de medische standaard). Ukuran medis ini ditentukan oleh ilmu pengetahuan medis.Pengertian ukuran medis dapat dirumuskan suatu cara perbuatan medis tertentu dalam suatu kausu yang konkret menurut ukuran tertentu, ukuran dimana didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman dalam bidang medis. Harus disadari bahwa sukar seklai untuk memberi suatu kriterium yang sama persis untuk dipakai pada tiap perbuatan medik karena situasi kondisi dan juga karena reaksi para pasien yang berbeda-beda. 3. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie). Sesuai dengam seorang dokter yang memiliki kemampuan average atau rata-rata dibandingkan dengan dokter dari keahlian medik yang sama. Hal ini juga terdapat pada rumusan Supreme Court of Canada (1956) dan Daniel K. Roberts (1987); sebagai dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dibandingkan dengan dokter dari keahlian medik yang sama. Dalam hal ini, 41
Azrul Azwar, Kreteria malpraktek Dalam Profesi Kesehatan, Makalah Kongres Nasional IV PERHUKI, Surabaya, 1996, hal. 4 42 Fred Ameln, Op. Cit, hal. 58-60
Universitas Sumatera Utara
bidang hukum menggunakan ukuran minimal rata-rata dimana kemampuan didasarkn atas pendapat para saksi-saksi ahli dari kelompok keahlian yang sama, misalnya pada kasus dokter umum saksinya dokter umum pula. 4. Dalam situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden). Dalam situasi kondisi yang sama, unsur ini tidak terdapat pada rumusan Supreme Court of Canada tersebut tetapi terdpat pada rumusan Daniel roberts pada practicing in the same or similar locality. Dalam situasi dan kondisi yang sama, misalnya praktek di Puskesmas berbeda dengan rumah sakit. 5. Sarana upaya (middelen) yang sebanding /proposional dengan tujuan konkret tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het concreet handelingsdoel). Dengan sarana upaya yang memenuhi perbandingan yang wajar dibanding dengan tujuan konkret tindakan medis tersebut. Hal ini dapat dikaitkan dengan tindakan diagnostik, terapeutik, dan dengan peringanan penderita dan pula dengan tindakan preventif. Dokter harus menjaga adanya suatu keseimbangan antara tindakan dan tujuan yang ingin ia capai dengan tindakan itu. Jika misalnya ada suatu tindakan diagnostik yang berat dilakukan pada suatu penyakit yang relatif ringan sekali maka hal ini tidak memenuhi prinsip keseimbangan (diagnostic overskill). Dokter selalu harus membandingkan tujuan tindakan mediknya dengan resiko tindakan tersebut dan berusaha untuk resiko yang terkecil. Dalam unsur ini pun disebut bahwa ada sarana upaya yang wajar jika dibandingkan dengan tujuan konkret tindakan medis tersebuut. Pada umumnya dapatdikatakab bahwa para dokter wajib melakukan perbuatan medis sesuai dengan tujuan ilmu kedokteran. Tindakan diagnostik maupun tindakan terapeutik secara nyata ditujukan pada perbaikan situasi pasien. Unsur ini bisa dikatakan dengan defensive medicine, baik dalam bidang
Universitas Sumatera Utara
diagnostik, terapeutik, maupun perawatan, yang segalanya dilakukan secara berlebihan karen takut salah 43. J. Guwandi menyatakan bahwa untuk untuk dapat dikatakan telah terjadi malpraktik, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab : 44 1. Apakah dokter lain yang setingkat dengannya tidak akan melakukan itu? 2. Apakah tindakan dokter itu sedemikian rupa sehingga tidak akan dilakukan oleh teman sejawatnya yang lain? 3. Apakah tidak ada unsur kesengajaan (opzet, intentional)? 4. Apakah ada tindakan itu tidak dilarang oleh Undang-Undang? 5. Apakah tindakan itu dapat diglongkan pada suatu medical error? 6. Apakah ada suatu unsur kelalaian (negligence)? 7. Apakah akibat yang timbul itu berkaitan langsung dengan kelalaian dari pihak dokter? 8. Apakah akibat itu tidak bisa dihindarkan atau dibayangkan (foreseeability) sebelumnya? 9. Apakah akibat itu bukan suatu resiko yang melekat (inherent risk) pada tindakan medik tersebut? 10. Apakah dokter tersebut sudah mengambil tindakan antisipasinya, misalnya jika timbul reaksi negatif karena obat-obatan? Sedangkan menurut Munir Fuady, agar suatu tindakan dokter dapat digolongkan sebagai tindakan malpraktik maka haruslah memenuhi elemen-elemen yuridis sebagai berikut: 45 1. Adanya tindakan, dalam arti berbuat atau tidak berbuar (pengabaian) 43
Fred Ameln, Op.Cit, hal. 87 J. Gunadi, Sekitar Gugatan Malpraktik Medik,Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010 , hal, 14 45 Munir Fuady, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 2-3 44
Universitas Sumatera Utara
2. Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau orang di bawah pengawasan (seperti perawat), bahkan juga oleh penyedia fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik, apotek, dan lain-lain. 3. Tindakan tersebut merupakan tindakan medik, baik berupa tindakan diagnostik, terapi, atau manajemen kesehatan 4. Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya 5. Tindakan tersebut dilakukan dengan cara; a. Melanggar hukum, dan atau; b. Melanggar kepatutan, dan atau; c. Melanggar kesusilaan, dan atau; d. Melanggar prinsip-prinsip profesionalitas 6. Tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan atau ketidakhati-hatian 7. Tindakan tersebut mengakibatkan pasiennya mengalami a. Salah tindak, dan atau; b. Rasa sakit, dan atau; c. Luka, dan atau; d. Cacat, dan atau; e. Kematian, dan atau; f. Kerusakan pada tubuh atau jiwa, dan atau; g. Kerugian lainnya terhadap pasien 8. Dan menyebakan dokter harus bertanggungjawab secara administrasi, perdata, maupun pidana.
Universitas Sumatera Utara