BAB II KEKUATAN EKSEKUTORIAL HAK TANGGUNGAN YANG DILAKUKAN SECARA PARATE EKSEKUSI PADA PRAKTEK YANG DILAKUKAN DI PT. BANK MUAMALAT INDONESIA, TBK CABANG MEDAN A. Pengertian Hak Tanggungan Menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-undang No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah adalah : Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 63. 1. Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang 63
Kartini Muljadi-Gunawan Widajaja, Hak Tanggungan, Kekayaan,(Kencana Prenada Media Group, 2008), halaman 13
Seri
Hukum
Harta
Universitas Sumatera Utara
2. 3. 4.
5.
6.
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain; Kreditur adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utangpiutang tertentu; Debitur adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu; Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan di wilayah kabupaten, kotamadya, atau wilayah administratif lain yang setingkat, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.
Sebelum dikenal dan berlaku Undang Undang Pokok Agraria, di dalam hukum dikenal lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah, jika yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya
adalah
Hipotik,
sedangkan
Hak
Milik
dapat
sebagai
obyek
Credietverband. Dengan demikian mengenai segi materilnya mengenai Hipotik dan Credietverband atas tanah masih tetap berdasarkan ketentuan-ketentuan KUHPerdata dan Staatblad 1908 No. 542 jo Staatblad 1937 No. 190 yaitu misalnya mengenai hakhak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu mengenai asas-asas Hipotik, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam Hipotik dan Credietverband. 64.
64
Sri Soedewi Masjehoen, Hak Jaminan Atas Tanah, (Yogyakarta : Liberty, 1975), halaman
6
Universitas Sumatera Utara
Dengan berlakunya UUPA (UU No.5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah baru yang diberi
nama
Hak
Tanggungan,
sebagai
pengganti
lembaga
Hipotik
dan
Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagai obyek yang dapat dibebaninya Hak-hak barat sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik dapat sebagai obyek Credietverband tidak ada lagi, karena hak-hak tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang diatur dalam UUPA. 65 Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1996 telah diundangkan pada tanggal 9 April 1996 yang berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang tersebut. 66
B. Pengertian Parate Eksekusi Dalam Hak Tanggungan Di dalam mengatasi masalah nasabah bank atau yang disebut dengan debitur yang melakukan wanprestasi atau cidera janji, bank sering kali mengalami kesulitan untuk memperoleh pelunasan kreditnya. Jika ditempuh dengan cara gugatan melalui pengadilan, maka memerlukan waktu yang lama dan biaya yang cukup banyak, meskipun dalam proses beracara di pengadilan menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Secara fakta sejarah perbankan di Indonesia telah mewariskan senjata yang paling ampuh dan cepat dalam memberantas kredit macet yaitu melalui Parate
65 66
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
eksekusi atau mengeksekusi sendiri/langsung (melelang) agunan tanpa campur tangan pengadilan. 67 Menurut Sri Soedewi Mascjhoen Sofwan 68, Parate Eksekusi adalah: “Eksekusi yang dilaksanakan tanpa mempunyai titel eksekutorial (Grosse Akta Notaris atau Keputusan Hakim) melalui parate eksekusi (eksekusi langsung) yaitu pemegang Hak Tanggungan dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dapat melaksanakan haknya secara langsung tanpa melalui keputusan hakim atau grosse akta notaris”. Pengertian mengenai parate eksekusi menurut Bachtiar Sibarani 69 adalah “Melakukan sendiri eksekusi tanpa bantuan atau campur tangan pengadilan atau hakim.” Hal ini sejalan dengan pengertian parate eksekusi yang di definisikan oleh Rachmadi Usman 70 yakni “ Pelaksanaan eksekusi tanpa melalui pengadilan”. Subekti juga berpendapat bahwa Parate eksekusi adalah “menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya (dalam arti tanpa perantaraan hakim)” Menurut Sudarsono 71, pengertian parate eksekusi adalah pelaksanaan langsung tanpa melalui proses pengadilan; eksekusi langsung yang biasa dilakukan dalam masalah gadai sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian. Dari beberapa arti dan definisi mengenai Parate eksekusi di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak hanya keputusan hakim yang dapat dieksekusi, tetapi terdapat ketentuan yang memberikan hak kepada kreditor untuk melaksanakan sendiri 67
Bachtiar Sibarani, Parate Eksekusi dan Paksa Badan, (Jurnal Hukum Bisnis,vol.15, September, 2001), halaman 22 68 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Yogyakarta. : Liberty, 1981), halaman 32 69 Bachtiar Sibarani, Op Cit, halaman 5 70 R.Surbekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung : Bina Cipta, 1989), halaman 42 71 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), halaman 39
Universitas Sumatera Utara
eksekusi tanpa perantara pengadilan yang disebut dengan Parate eksekusi. Hal ini berarti jika nasabah bank melakukan perbuatan wanprestasi, kreditor serta merta dapat langsung melaksanakan penjualan barang milik Debitur yang dijadikan barang jaminan atau agunan dengan perantara kantor pelayanan piutang dan lelang negara, penjualan ini dapat dilakukan tanpa media Pengadilan Negeri. Dapat dilihat juga apa yang dijelaskan oleh Sri Soedewi Mascjhoen Sofyan 72. Pendapat beliau bahwa hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri menguntungkan dalam dua hal yaitu: 1.
Tidak membutuhkan Titel Eksekutorial dalam melaksanakan haknya/eksekusi;
2.
Dapat melaksanakan Eksekusi sendiri secara langsung (Mandiri) tidak peduli adanya kepailitan dari Debitur (di luar pengadilan) karena tergolong separatis. Di dalam ilmu hukum sendiri pemberian kewenangan mengenai Parate
eksekusi ini didasarkan atas doktrin yang antara lain menyatakan bahwa suatu perjanjian yang pasti atau tidak telah mengandung sengketa seperti piutang yang telah pasti (fixed loan). Hal seperti ini sudah dapat dilaksanakan sendiri oleh pihak yang berkepentingan tanpa campur tangan pengadilan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, ternyata pengertian Parate eksekusi ini menjadi kabur sebagai akibat dari adanya putusan pengadilan yang menerapkan ketentuan eksekusi Grosse Akta dalam sengketa parate eksekusi. Menurut doktrin, Parate eksekusi ini adalah penjualan yang berada di luar hukum acara dan tidak diperlukan adanya penyitaan, tidak melibatkan
72
Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Op Cit, halaman. 33
Universitas Sumatera Utara
juru sita, kesemuanya diselesaikan seperti orang yang menjual sendiri barangnya di depan umum. 73 Aturan mengenai parate eksekusi khususnya yang diberikan kepada pemegang hipotek diatur didalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, yang selengkapnya berbunyi : Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotek pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotek, dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang terhutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu Dari Pasal tersebut diketahui bahwa Undang-undang memberikan kepada pemegang hipotek pertama untuk menjual langsung atas kekuasaan sendiri barang objek hipotek tanpa melalui pengadilan. Selain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Parate eksekusi juga diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi : “Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.”
73
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dari Pasal 6 UUHT tersebut memberikan hak bagi pemegang hak tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang hak tanggungan tidak perlu memperoleh persetujuan saja dari pemberi hak tanggungan, tetapi juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat dimana objek hak tanggungan berada, apabila akan melakukan eksekusi atas objek hak tanggungan yang menjadi jaminan hutang debitur dalam hal debitur cidera janji atau wanprestasi. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek hak tanggungan yang bersangkutan. Karena kewenangan pemegang hak tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang (kewenangan tersebut dimiliki demi hukum), maka kepala kantor lelang negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut. 74 Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dimiliki oleh pemegang hak tanggungan, atau oleh pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam penjelasan Pasal 6 UUHT No.4 Tahun 1996 yang berbunyi : Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang hak tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang hak tanggungan. Hak tersebut didasarkan 74
St Remy Syahdeni, Op Cit, hal. 46
Universitas Sumatera Utara
pada janji yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu dari pada kreditor-kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi hak tanggungan Ketentuan ini memberikan kepastian bagi Perbankan apabila debitur cidera janji dengan memberikan kemungkinan dan kemudahan untuk pelaksanaan parate eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg 75 Parate eksekusi dan menjual atas kekuasaan sendiri, penerapannya mengacu pada ketentuan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg. Dimana apabila tidak diperjanjikan kuasa menjual sendiri, penjualan lelang harus diminta kepada Ketua Pengadilan Negeri dan permintaan tersebut harus berdasarkan alasan bahwa pihak debitur telah melakukan cidera janji atau wanprestasi. Akan tetapi karena Pasal 6 UUHT tidak mengatur tentang cidera janji, maka dengan demikian untuk menentukan adanya cidera janji merujuk pada ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata atau sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian atau bisa juga merujuk secara analog pada ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata, dimana yang dikategorikan cidera janji yaitu apabila debitur tidak melunasi hutang pokok, atau tidak membayar bunga yang terhutang sebagaimana mestinya. 76
75
Bambang Setijoprodjo, Pengamanan Kredit Perbankan Yang Dijamin Oleh Hak Tanggungan, (Medan: Lembaga Kajian Hukum Bisnis USU Medan, 1996), halaman 63 76 M. Yahya Harahap, Op .Cit, hal. 197
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan eksekusi terhadap hak tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses gugat-menggugat (proses ligitimasi) apabila debitur telah melakukan cidera janji. Hal ini sesuai dengan yang ditentukan dalam UUHT Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi: 1.
Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, kantor pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;
2.
Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irahirah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.” Pada prinsipnya penjualan objek hak tanggungan harus dilakukan melalui
pelelangan umum, hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair). Dengan cara seperti ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk penjualan dari objek hak tanggungan yang menjadi agunan, hal ini sesuai dengan bunyi Undang-undang Hak Tanggungan Pasal 20 ayat (1) yaitu:
Universitas Sumatera Utara
Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan : a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual Objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b. Titel Eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2). Di dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga yang tinggi apabila memungkinkan dilakukan penjualan objek hak tanggungan dilakukan dengan cara di bawah tangan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 20 ayat (2) UUHT. Pelaksanaan penjualan sendiri objek hak tanggungan secara di bawah tangan hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut 77: a. Apabila disepakati oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan; b. Setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan; c. Diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat yang jangkauannya meliputi tempat letak objek hak tanggungan yang bersangkutan; d. Tidak ada pihak yang menyatakan keberatannya. Kesepakatan yang terjalin antara pemberi dan pemegang hak tanggungan merupakan unsur atau kunci dalam penjualan objek hak tanggungan yang dilaksanakan di bawah tangan, yaitu jika dengan cara itu dilakukan, maka akan dapat 77
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), halaman 131
Universitas Sumatera Utara
diperoleh harga yang lebih tinggi yang dapat menguntungkan semua pihak. Dengan kata lain untuk memberikan kewenangan atas penjualan di bawah tangan tersebut yaitu agar tidak ada pihak yang dirugikan. Oleh karena penjualan di bawah tangan dari objek hak tanggungan hanya dapat dilaksanakan apabila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan. 78. Pihak bank sendiri tidak mungkin melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek hak tanggungan atau agunan kredit apabila debitur tidak menyetujuinya. Kesepakatan untuk melakukan penjualan di bawah tangan terhadap objek hak tanggungan merupakan bentuk dari kebebasan yang diberikan kepada pemberi dan pemegang hak tanggungan dengan tujuan untuk mempercepat penjualan objek hak tanggungan dan juga untuk mengurangi beban biaya eksekusi yang harus dipikul oleh debitur. Namun demikian kesepakatan untuk melakukan penjualan di bawah tangan hanya boleh dibuat apabila telah terjadi cidera janji atau wanprestasi oleh debitur, sehingga dengan demikian kesepakatan tersebut tidak boleh dibuat dan dituangkan dalam APHT terlebih dahulu 79.
C. Kekuatan Eksekutorial Parate Eksekusi Dalam Hak Tanggungan Kekuatan
eksekutorial
dari
parate
eksekusi
terimplementasi
dalam
menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apayang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantara hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan untuk selanjutnya 78 79
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
mejual kembali barang tersebut 80. Parate eksekusi adalah eksekusi yang dilaksanakan sendiri oleh pemegang hak jaminan tanpa melalui bantuan atau campur tangan dari Pengadilan Negeri, melainkan hanya berdasarkan bantuan dari Kantor Lelang Negara saja 81atau dengan perkataan lain, Parate eksekusi dilaksanakan tanpa meminta fiat eksekusi atau ijin dari Pengadilan Negeri. Apabila debitur cidera janji, kreditur berhak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan untuk pelunasan piutangnya dari hasil penjualan yang dilakukan. Melalui penjualan objek jaminan dimuka umum diharapkan dapat diperoleh harga terbaik (paling tinggi) untuk objek hak tanggungan, dan dari hasil penjualan objek jaminan tersebut, bank berhak mengambil pelunasan piutangnya. 82 Secara substansial unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6 UUHT menunjukkan adanya dua hal penting manakala debitur wanprestasi, yaitu peralihan hak dan pelaksanaan hak bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama. Dalam pasal tersebut, hak kreditur dalam hal debitur cidera janji, untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui lelang sudah diberikan oleh undang-undang sendiri kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan yang pertama. Dalam praktiknya saat ini, Parate eksekusi Hak Tanggungan merupakan alternatif penyelesaian kredit bermasalah yang
80
R.Subekti, Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa, dalam : Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis Yustisial, (Jakarta : MARI), halaman 69 81 Tartib, “Catatan Tentang Parate Eksekusi”, Artikel dalam majalah Varia Peradilan Th.XI, No.124, 1996, halaman 149-150 82 Ibid
Universitas Sumatera Utara
banyak digunakan oleh lembaga keuangan di Indonesia, khususnya oleh perbankan. Alternatif penyelesaian kredit bermasalah menggunakan Parate eksekusi Hak Tanggungan ini lebih disukai oleh perbankan karena proses penyelesaiannya relatif lebih sederhana dan cepat, serta biaya yang dikeluarkan relatif kecil. Kemudahan menggunakan sarana Parate eksekusi Hak Tanggungan sebagaimana yang didasarkan pada Pasal 6 UUHT dikarenakan pelaksanaan penjualan obyek Hak Tanggungan hanya melalui pelelangan umum, tanpa harus meminta fiat Ketua Pengadilan Negeri. Kemudahan tersebut terutama menunjukkan efisiensi waktu dibandingkan dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Hal tersebut mengingat kalau prosedur eksekusi melalui formalitas hukum acara, proses yang dilalui memerlukan waktu yang lama dan rumit prosedurnya. Parate eksekusi lebih murah dibandingkan dengan pelaksanaan eksekusi menggunakan titel eksekutorial, karena tidak menanggung biaya untuk mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Dikhawatirkan kreditur akan enggan memberikan kredit dengan jaminan hipotik (Hak Tanggungan) terutama kalau jumlah tagihannya tidak besar 83. Tentunya akan menjadi tidak seimbang pula apabila eksekusi melalui pengadilan dengan segala biaya dan upaya yang dilakukan terhadap jumlah tagihan yang tidak terlalu besar dengan recovery atau pengembalian yang diterima oleh Kreditur.
83
V. Nierop, Hypotheekrecht, serie Publik en Privaatrecht, Cetakan Kedua, (Theenk Wilink, Zwolle), halaman 155
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan, hak-hak kreditur akan terlindungi dari perbuatan debitur yang tidak beritikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya pada kreditur. Pembentuk UUHT menyiapkan Pasal 6 tersebut sebagai tiang penyangga utama bagi kreditur (khususnya bank) dalam memperoleh percepatan pelunasan piutangnya dari debitur, agar piutang yang telah kembali pada bank dapat digunakan lagi untuk pembiayaan kredit lainnya sehingga dapat membantu menggerakkan roda perekonomian, maka tidak diragukan lagi bahwa Pasal 6 UUHT merupakan dasar hukum berlakunya parate eksekusi pada saat debitur cidera janji atau wanprestasi, yang digunakan sebagai sarana yang sangat baik demi penyesuaian terhadap kebutuhan ekonomi 84. Dalam praktik penyelesaian dari pembiayaan bermasalah, bank melakukan Parate eksekusi Hak Tanggungan atas objek jaminan (Hak Tanggungan) dengan cara mengajukan permohonan Eksekusi Hak Tanggungan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), baik dengan menggunakan jasa pra lelang Balai Lelang Swasta maupun secara langsung kepada KPKNL
tersebut.
Sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, KPKNL merupakan instansi pemerintah yang berada dibawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara pada Departemen Keuangan yang bertugas untuk menyelenggarakan lelang. Setelah menerima permohonan lelang eksekusi dari bank, KPKNL akan memeriksa 84
Herowati Poesoko, Parate Eksekusi Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Cetakan 1 (Yogyakarta : Laksbang PRESSindo, 2008), halaman 248-249
Universitas Sumatera Utara
kelengkapan dokumen persyaratan lelang yang diserahkan oleh bank. Dokumen persyaratan lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan adalah sebagai berikut 85: 1. Salinan/fotocopi Perjanjian Kredit. 2. Salinan/Fotokopi Sertipikat Hak Tanggungan. 3. Salinan Fotokopi perincian hutang atau jumlah kewajiban debitur yangharus dipenuhi. 4. Salinan/Fotocopi bukti bahwa debitur wanprestasi, berupa peringatan-peringatan maupun pernyataan dari pihak kreditur. 5. Asli/Fotokopi bukti kepemilikan hak 6. Salinan/ fotokopi surat pemberitahuan rencana pelaksanaan lelang kepada debitur oleh kreditur, yang diserahkan paling lambat 1(satu) hari sebelum lelang dilaksanakan. 7. Surat pernyataan dari kreditur yang akan bertanggung jawab apabila terjadi gugatan perdata atau tuntutan pidana.
Setelah dokumen persyaratan lelang secara keseluruhan telah dipenuhi, maka Kepala KPKNL akan mengeluarkan penetapan jadwal lelang secara tertulis kepada bank selaku pemohon lelang yang berisi sebagai berikut 86 :
85
Hasil Wawancara dengan Kasi lelang KPKLN Sumut Bpk. Dian Surbakti pada tanggal 26 Maret 2013 86 Ibid
Universitas Sumatera Utara
a. Penetapan tempat dan waktu lelang. b. Permintaan untuk melaksanakan pengumuman lelang sesuai ketentuan dan menyampaikan bukti pengumumannya. c. Hal-hal yang perlu disampaikan kepada penjual misalnya mengenai harga limit, penguasaan secara fisik terhadap barang bergerak yang dilelang, dan lain sebagainya.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan (2) PMK No.93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, pelaksanaan lelang atas tanah atau tanah dan bangunan wajib dilengkapi dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kantor pertanahan setempat. Permintaan penerbitan SKT kepada Kepala Kantor
Pertanahan
setempat
diajukan
oleh
Kepala
KPKNL
yang
biaya
pengurusannya menjadi tanggung jawab bank selaku pemohon lelang. Apabila hari dan tempat pelaksanaan lelang telah ditentukan oleh Kepala KPKNL, maka akan dituangkan dalam pengumuman lelang, karena dalam pengumuman lelang paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut 87: a. Identitas penjual; b. Hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang; c. Jenis dan Jumlah barang; d. Lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah dan atau bangunan; 87
Ibid
Universitas Sumatera Utara
e. Jumlah dan jenis /spesifikasi, khusus untuk barang bergerak; f. Jangka waktu melihat barang yang akan dilelang; g. Uang jaminan penawaran lelang meliputi besaran, jangka waktu, cara dan tempat penyetoran, dalam hal dipersyaratkan adanya uang jaminan penawaran lelang; h. Jangka waktu pembayaran Harga Lelang, i. Harga limit, sepanjang hal itu diharuskan dalam peraturan perundang-undangan atau atas kehendak penjual/pemilik barang.
Di dalam menentukan harga limit wajib dicantumkan pada pengumuman lelang, hal ini dimaksud agar calon peserta lelang dapat mengetahui batas harga barang yang akan di lelang. Pengumuman lelang merupakan kewajiban dari bank selaku penjual sehingga bank wajib menanggung biaya pengumuman lelang yang telah
diterbitkan
dalam
surat
kabar.
Berdasarkan
ketentuan
PMK
No.93/PMK.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Pengumuman lelang dilakukan sebanyak dua (2) kali berselang 15 (lima belas) hari, untuk pengumuman pertama diperkenankan melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum atau melalui surat kabar harian dan pengumuman yang kedua harus dilakukan melalui surat kabar harian dan dilakukan selang 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan lelang 88. Setelah penjual melakukan pengumuman lelang maka penjual berkewajiban memberitahu kepada debitur yang wanprestasi serta pihak-pihak yang terkait dengan 88
Ibid
Universitas Sumatera Utara
barang yang akan dilelang, bahwa benda milik debitur akan dilelang. Pemberitahuan pelelangan juga dilakukan terhadap penghuni bangunan dan pemilik barang saat lelang akan dilakukan. Apabila hal tersebut di atas telah dilakukan oleh penjual maka lelang dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditentukan 89. Pada hari pelaksanaan lelang eksekusi sebagaimana yang telah ditetapkan, pelaksanaan lelang eksekusi dilakukan oleh Pejabat Lelang yang ditunjuk oleh Kepala KPKNL. Penawaran lelang akan dilakukan secara naik-naik dimulai dari harga limit lelang yang ditetapkan. Atas penawaran tertinggi dari peserta lelang, maka Pejabat Lelang akan menunjuk dan menetapkan penawar tertinggi tersebut sebagai pemenang lelang secara sah. Paling lambat tiga hari setelah tanggal pelaksanaan lelang. Pemenang Lelang harus menyetorkan pelunasan sesuai dengan harga yang terbentuk di lelang setelah dikurangi dengan nilai jaminan lelang yang telah disetorkan sebelumnya 90. Setelah menerima setoran dari pemenang lelang, Bendahara KPKNL akan menyerahkan uang hasil lelang kepada bank setelah dikurangi dengan Pajak Penjual Lelang sebesar 5% (lima persen) dan Bea Lelang Penjual sebesar 1% (satu persen) masing-masing dihitung dari nilai lelang yang terjual. Selanjutnya bank akan memperhitungkan hasil penjualan lelang obyek jaminan debitur tersebut untuk pelunasan seluruh kewajiban debitur pada bank, yang terdiri dari utang pokok pinjaman, bunga, denda dan biaya-biaya. Atas pelunasan ini, apabila masih terdapat 89 90
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
kelebihan dari hasil penjualan tersebut, maka bank harus mengembalikan kelebihan dana hasil penjualan tersebut kepada debitur 91.
D. Pelaksanaan Parate Eksekusi melalui Balai Lelang Swasta Peraturan yang mengatur tentang Balai Lelang adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tanggal 30 November 2005 tentang Balai Lelang. Menurut Peraturan Menteri Keuangan tersebut, Balai Lelang adalah Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan oleh swasta nasional, patungan swasta nasional dengan swasta asing, atau patungan BUMN/D dengan swasta nasional/ asing yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan operasional usaha Balai Lelang. Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut, Izin Operasional Balai Lelang diberikan dan dicabut oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan. Permohonan Izin Operasional Balai Lelang diajukan oleh Direksi secara tertulis kepada Direktur Jenderal di atas kertas bermaterai cukup dilengkapi dengan dokumen persyaratan. Balai Lelang Swasta bergerak di bidang pelayanan jasa lelang pada umumnya dan khususnya dala lelang objek hak tanggungan yaitu jasa pralelang dan/atau jasa pasca lelang sebagaimana tercantum pada Pasal 6 jo Pasal 20 UUHT. Sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 6 UUHT bahwa apabila debitur wanprestasi maka kreditor pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu. Begitu debitur wanprestasi, 91
Ibid
Universitas Sumatera Utara
maka kreditor pemegang hak tanggungan diberi hak oleh UUHT untuk langsung membuat permohonan lelang kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dengan perantara Balai Lelang Swasta. Jadi walaupun di dalam akta pemberian hak tanggungan tercantum klausula: ”dalam hal debitur wanprestasi, kreditor pemegang hak tanggungan berwenang menjual atas kekuasaan sendiri”, namun pelaksanaan lelang eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditor. Dalam hal ini debitur akan menyerahkan penyelesaiannya kepada Balai Lelang Swasta sebagai penyelenggara lelang. Dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 ditegaskan bahwa kegiatan usaha Balai Lelang meliputi Jasa Pralelang, Jasa Pelaksanaan Lelang dengan Pejabat Lelang Kelas II, dan Jasa Pascalelang terhadap jenis lelang : 1. Lelang Non Eksekusi Sukarela, 2. Lelang aset BUMN/ D berbentuk persero, dan 3. Lelang aset milik bank dalam likuidasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) di atas, kegiatan lelang hak tanggungan yang dilakukan melalui Balai Lelang Swasta terlebih dahulu secara formal hukumnya harus ada kata sepakat antara Bank dengan debiturnya. Tanpa adanya kata kesepakatan untuk menggunakan mekanisme penjualan lelang melalui Balai Lelang Swasta, debitor dapat menuntut pembatalan atas mekanisme tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dalam praktiknya, pelaksanaan lelang melalui Balai Lelang Swasta tidaklah mudah dan cenderung membutuhkan biaya yang besar mengingat Balai Lelang Swasta sering mendapat hambatan dalam pengosongan objek jaminan kredit bank berupa Hak Tanggungan yang telah dilelang, karena untuk memperoleh fiat pengadilan (putusan penetapan pengadilan) tentang eksekusi pengosongan terlebih dahulu harus disertakan Surat Pengantar dari KPKNL, walaupun sudah ada Risalah Lelang yang dikukuhkan oleh Pejabat Lelang Kelas II dari KPKNL ketika dilakukan lelang oleh Balai Lelang Swasta. Disamping itu, Bank juga harus memperhitungkan besaran imbalan jasa kepada Balai Lelang Swasta, meskipun besaran imbalan jasa ini ditentukan pula dengan adanya kesepakatan namun sedikit banyaknya pastinya akan mempengaruhi pendapatan Bank atas hasil penjualan lelang tersebut.
E. Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan Di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Medan Undang-undang telah menyediakan lembaga parate eksekusi Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan sebagai jalan keluar (way out) apabila debitur cidera janji atau wanprestasi dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada bank selaku kreditur. Akan tetapi dalam praktiknya dilapangan masih terdapat beberapa kendala yang dialami oleh Bank Muamalat Cabang Medan dalam pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan tersebut. Kendala ini baik yang berupa kendala yang dihadapi pada awal pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
parate eksekusi hak tanggungan, maupun kendala lain yang dihadapi oleh bank setelah pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan tersebut 92.
Tabel 2.1 Pelaksanaan parate eksekusi pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Medan tahun 2009-2012 Pelaksanaan BERHASIL GAGAL Parate Eksekusi 2009 8 5 3 2010 13 7 6 2011 17 11 6 2012 7 1 6 Total 45 24 21 Sumber : Data Pembiayaan Bermasalah PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk 20092012 Tahun
Pada Tabel 2.1 ditampilkan data nasabah yang telah terdaftar sebagai nasabah KNLW (Kewajiban Nasabah Lewat Waktu) dimana nasabah tersebut tercatat sebagai nasabah yang berkolektibiltas 3, 4 dan 5. Tahun 2009 pelaksanaan parate eksekusi dilakukan terhadap 8 (delapan) aset nasabah, dengan hasil 5 (lima) aset nasabah yang berhasil dan 3 (tiga) gagal dilakukan parate eksekusi. Pada 2010, dengan jumlah 13 (tiga belas) aset nasabah, yang berhasil hanya 7 (tujuh) aset nasabah. Pada tahun 2011, parate eksekusi berhasil dilaksanakan terhadap 11 (sebelas) aset nasabah dari total 17 (tujuh belas) aset. Tahun 2012 yang berhasil hanya 1 (satu) aset nasabah dari total 7 (tujuh) aset. Dalam periode tahun 2009-2012 terdapat 21 pelaksanaan parate eksekusi yang mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut antara lain disebabkan oleh berbagai 92
Data berdasarkan hasil wawancara dengan Head of Unit Remedial/Pembiayaan Bermasalah Bpk Hardiman pada PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. pada tanggal 8 April 2013
Universitas Sumatera Utara
macam masalah seperti aset yang sulit dijual, aset yang tidak dapat dikosongkan karena tetap ditempati oleh debitur, dan adanya gugatan yang diajukan kepada Bank Muamalat. Adapun beberapa kendala yang dihadapi oleh Bank Muamalat dalam pelaksanaan parate eksekusi adalah : 1. Adanya perlawanan dari Debitur Dalam periode tahun 2009-2012 terdapat 9 (sembilan) gugatan yang diajukan kepada Bank Muamalat Cabang Medan. Diantara sejumlah gugatan tersebut, beberapa diantaranya dilakukan oleh debitur sebelum pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dilakukan. Materi gugatan yang diajukan oleh debitur atau pihak ketiga biasanya mengenai jumlah hutang yang dianggap tidak jelas/tidak pasti, adanya kesalahan dalam Pengikatan Jaminan atau Perjanjian pembiayaan, objek tanah dan bangunan dimiliki oleh pihak ketiga, hingga materi mengenai harta bersama atau harta warisan. Atas adanya gugatan tersebut, pihak KPKNL biasanya akan melakukan penundaan atau bahkan menolak permohonan lelang eksekusi yang diajukan oleh bank apabila terdapat gugatan dari debitur atau pihak ketiga yang masih belum diselesaikan sehubungan dengan tanah dan atau bangunan yang akan menjadi objek lelang eksekusi Hak Tanggungan. Sikap konservatif KPKNL seperti ini didasarkan pada pengalaman dilapangan yang mereka alami dimana seringkali Pejabat Lelang KPKNL yang melaksanakan lelang eksekusi atas tanah dan bangunan yang dimohonkan oleh bank, dijadikan sebagai salah satu pihak Tergugat dalam gugatan yang dilakukan oleh debitur, dan atau akan direpotkan
Universitas Sumatera Utara
oleh pemanggilan dari Pihak Kepolisian atau Penyidik manakala debitur membawa permasalahan tersebut ke ruang lingkup pidana melalui suatu laporan polisi 93 Dalam mengatasi gugatan tersebut Bank Muamalat Cabang Medan menjawab gugatan tersebut dengan melakukan perlawanan dengan mengikuti proses beracara dalam peradilan perdata pada umumnya. Dimana akhirnya gugatan yang diajukan debitur kepada Bank Muamalat Cabang Medan berakhir pada proses duplik maupun jawaban gugatan. Hal ini dikarenakan debitur maupun kuasa hukumnya kurang cermat dalam melihat ataupun membaca akad pembiayaan yang telah disepakati oleh pihak debitur dengan Bank Muamalat Cabang Medan. Sebagaimana dalam akad pembiayaan tersebut disebutkan dan dibacakan oleh Notaris pada saat melakukan pengikatan pembiayaan, bahwa pada Pasal penyelesaian sengketa terdapat klausul “Apabila terjadi sengketa atau konflik antara Bank dengan Nasabah maka diselesaikan secara musyawarah dan apabila tidak ditemukan kata mufakat maka dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional (Basyarnas) yang putusannya bersifat final dan binding”. Akan tetapi, pihak debitur mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri sehingga secara aturan hukum Hakim dapat membatalkan gugatan tersebut berkenaan dengan kompetensi absolut pelaksanaan gugatan. 2. Sulitnya mencari pembeli lelang
93
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pada periode tahun 2009-2012 terdapat 12 (dua belas) aset yang yang gagal dilakukan parate eksekusi disebabkan oleh sulitnya mencari pembeli lelang atas tanah dan bangunan yang menjadi obyek lelang eksekusi tersebut. Tidak semua masyarakat mengerti dan mengetahui mekanisme pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan. Adanya kekhawatiran masyarakat terhadap kemungkinan terjadi permasalahan kepemilikan atas tanah dan bangunan yang dibeli melalui lelang tersebut, misalnya adanya gugatan dari debitur atau pemilik lama tanah dan bangunan tersebut yang tidak dapat menerima dilakukannya lelang eksekusi atas tanah dan bangunan miliknya. Kekhawatiran masyarakat juga timbul saat obyek tanah dan bangunan yang dilelang tersebut secara fisik masih berada dalam penguasaan debitur atau pihak ketiga lainnya. Meskipun pembeli lelang dapat mengajukan pengosongan tanah dan bangunan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 200 ayat 11 HIR, namun pihak Pengadilan Negeri umumnya tidak dapat menerima Permohonan Pengosongan atas tanah dan bangunan yang dibeli melalui lelang parate eksekusi hak tanggungan. Pihak pengadilan hanya menerima permohonan pengosongan atas tanah dan bangunan yang dibeli oleh Pihak Pembeli melalui lelang eksekusi yang dilaksanakan fiat pengadilan (melalui Pengadilan Negeri). Beberapa pengadilan negeri bahkan berpendapat bahwa pengosongan tanah dan bangunan yang diperoleh dari lelang eksekusi hak tanggungan harus dilakukan melalui mekanisme gugatan terlebih dahulu oleh pemohon/pemenang lelang. Kalaupun permohonan pengosongan berdasarkan Pasal 200 ayat 11 HIR tersebut diterima oleh Pengadilan Negeri, pemenang lelang akan menanggung seluruh biaya yang ditimbulkan sehubungan dengan proses
Universitas Sumatera Utara
pengosongan tersebut. Semakin sulit kondisi lapangan untuk melakukan proses pengosongan, maka semakin besar pula biaya pengosongan yang harus dikeluarkan oleh pemenang lelang. Hal ini menjadi suatu pertimbangan khusus bagi masyarakat untuk berfikir berulang kali ketika hendak membeli tanah dan atau bangunan melalui lelang eksekusi Hak Tanggungan 94. Terhadap aset yang sulit untuk dijual tersebut, Bank Muamalat Cabang Medan melakukan pendekatan persuasif kembali kepada debitur agar debitur dapat memberikan kuasa jual dan pengakuan utang secara notariel. Hal ini akan memudahkan Bank Muamalat Cabang Medan untuk dapat melakukan penjualan aset secara bawah tangan. Selain itu Bank Muamalat Cabang Medan juga melakukan hapus buku (write off) terhadap utang debitur sehingga dalam catatan Bank Muamalat utang tersebut telah lunas namun tidak hapus tagih. Tindakan ini wajib mendapatkan persetujuan dari dewan direksi PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk 95.
94
Hasil Wawancara dengan Advokat Syafrinal, SH pada Kantor Hukum Hasrul Benny Harahap, tanggal 10 April 2013 95 Hasil Wawancara dengan Head Remedial Bpk Hardiman (Bagian Pembiayaan Bermasalah) Bank Muamalat Cabang Medan, tanggal 8 April 2013
Universitas Sumatera Utara