BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA
A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis. Pada dasawarsa ini para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang kesehatan yang cukup berat ditinjau dari sudut pandang medis-etis-yuridis. Masalah yang dimaksud, antara lain: transplantasi organ manusia, inseminasi artificial, sterilisasi, bayi tabung, Abortus provocatus, dan euthanasia. Dari keenam masalah tersebut di atas maka euthanasia merupakan dilema yang menempatkan tenaga kesehatan pada situasi yang sangat sulit, karena sampai sekarang masih terus menjadi bahan perdebatan baik para ahli dari komponen agama, medis, dan etis belum memperoleh kesepakatan, akibat situasi ini semakin menempatkan dokter pada posisi yang sulit. Kelompok yang tidak setuju berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung, sehingga bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kelompok ini berpendapat bahwa hidup adalah sematamata diberikan oleh Tuhan sendiri, sehingga tak seorang manusia atau institusi manapun yang berhak mencabutnya. Dengan demikian manusia sebagai ciptaan Tuhan yang tidak memiliki hak untuk mati. Kelompok yang pro
berpendapat
bahwa
tindakan
euthanasia
dilakukan
dengan
Universitas Sumatera Utara
persetujuan dan tujuan utama untuk menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompok ini adalah pandapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien dengan resiko hidupnya diperbaiki. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.17 Masalah euthanasia, terlepas dari faktor-faktor yang melatar belakangi dokter untuk melakukannya, bukanlah semata-mata merupakan permasalahan medical ethis saja, tetapi persoalannya adalah juga bio ethics dan karenanya bersifat interdisipliner. Lebih jauh dari itu, masalah euthanasia
tidaklah
akan
terlepas
dari
jangkauan
hukum
yang
mengaturnya, oleh karena euthanasia tersebut menyangkut keselamatan jiwa manusia, gangguan terhadap kelangsungan hidup seseorang.
17
Wirjono Prodjo Dikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung., 2008, hal. 36
Universitas Sumatera Utara
Manusia memerlukan jasa seorang dokter untuk menyembuhkan penyakitnya. Seorang dokter dengan segala kemampuan yang ada padanya dan berdasar sumpahnya akan memberikan pertolongan kepada pasiennya. Tujuan utamanya bukan semata-mata mencari uang, tetapi lebih
memandang
tugasnya
sebagai
keharusan
sosial
dan
menyelamatkan pasiennya dari penyakit dan tidak menguntungkan diri sendiri. Menurut Oemar Seno Adji, Pekerjaan dokter adalah: Sebagai suatu panggilan untuk melayani sesama yang sakit dan yang memerlukan bantuan. Untuk itu tuntutan pada profesi kedokteran harus meningkatkan pengetahuan dan keahlian terus menerus yang merupakan ethos kedokteran modern. 18
Menjalankan profesinya, dokter dibedakan atas: 1. Dokter Umum. Yang dimaksud dengan dokter umum adalah seorang yang telah memenuhi
seluruh
tuntutan
pendidikannya
di
Fakultas
Kedokteran, sehingga la dapat berpraktek sebagai dokter umum. 2. Dokter Spesialis. Yang dimaksud dokter spesialis adalah seorang dokter yang telah memenuhi seluruh tuntutan pendidikannya di Fakultas Kedokteran dan kemudian melanjutkan pendidikannya untuk mengambil bidang spesialisasi yang dimintanya. 18
Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung Jawaban Pidana Dokter, Profesi Dokter, Erlangga, Jakarta, 1991, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena makin luas dan rumitnya ilmu kedokteran, maka seorang dokter tidak mungkin mengetahui semuanya. Karena itu seorang dokter perlu memperlancar hubungan anggota sebagai seorang profesi medis, konsultasi dengan kolega atau dokter spesialis, baik menyangkut penyembuhan penyakit maupun segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi medis. Mengenai tugas dokter, secara umum tercermin dari Kode Etik Kedokteran Indonesia (KEKI), yang tercantum empat kewajiban, yaitu: 1. Kewajiban Umum 2. Kewajiban Dokter terhadap pasien 3. Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat 4. Kewajiban Dokter terhadap diri sendiri Keempat kewajiban ini merupakan pedoman bagi dokter untuk melaksanakan tugas mulia dan luhur profesi medis tersebut. Di dalam kewajiban itu, yang menjadi tugas pokok sehari-hari adalah kewajiban dokter terhadap pasien karena hubungan dengan pengobatan dan penyembuhan penyakit pasien. Tanggung jawab seorang dokter adalah harus menunaikan kewajibannya dengan sungguh-sungguh dan dengan keinsyafan akan beratnya tanggung jawab yang dipikulnya. Seorang dokter menjalankan profesi medisnya, selain dibebani dengan tanggung jawab etis, moral
Universitas Sumatera Utara
serta tanggung jawab kepada Tuhan (tanggung jawab religius), juga dibebani tanggung jawab hukum. Kemampuan profesional dokter biasanya diukur dari kemahiran serta wewenang untuk melaksanakan profesinya. Suatu kesalahan mungkin terjadi apabila yang bersangkutan kurang pengalaman, kurang pengetahuan
dan
pengertian.
Dengan
demikian
seorang
dokter
melakukan kesalahan apabila la tidak memeriksa, menilai, berbuat atau meninggalkan hal-hal yang harus diperiksa, dinilai, diperbuat atau ditinggalkan oleh para dokter pada umumnya disituasi yang sama. Jadi, suatu kesalahan profesional belum tentu mengakibatkan terjadinya tanggung jawab hukum. Tetapi tanggung jawab hukum dasarnya adalah tanggung jawab profesional. Tanggungjawab hukum seorang dokter profesinya dapat berupa; 1. Tanggung jawab Pidana 2. Tanggung jawab Perdata 3. Tanggung jawab Administratif Tanggung
jawab
pidana
terjadi
misalnya
apabila
terdapat
kesalahan dokter yang menimbulkan kematian atau luka-luka terhadap pasien. Faktornya adalah faktor kelalaian, dan bukan kesengajaan seperti yang terdapat misalnya pada penganiayaan. Kita tahu bahwa ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara
Pidana, kesalahan (schuld) dapat disebabkan oleh kesengajaan (obzet) atau oleh kelalaian. Untuk
menentukan
kematian
seseorang
diperlukan
kriteria
diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Kriteria diagnostik pertama yang dibuat oleh para ahli di bidang kedokteran adalah berdasarkan konsep “permanent of
heart
beating
and respiration
is
death”.
Setelah
ditemukannya respirator yang dapat mempertahankan fungsi paru-paru dan jantung maka disusunlah kriteria baru berdasarkan pada kansep “brain death is death”. Terakhir, konsep diagnostik tersebut diperbaiki lagi menjadi “brain stem death is death”.19 Di Indonesia, lkatan Dokter Indonesia (IDI) dengan surat keputusan Nomor 336/PB/A.4/88 merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati apabila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti (irreversible), atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak. Seorang filosof Yunani yang meletakkan landasan legisme bagi sumpah dokter dan etika kedokteran, Hippocrates menuntut para muridnya untuk bersumpah tidak melakukan euthanasia dan pengguguran kandungan, kemudian PP Thun 1969 tentang Lafal Sumpah Dokter
19
“Euthanasia, Legal atau Non Legal”, http://www.Artikel.com diakses tanggal 05 Nopember 2009
Universitas Sumatera Utara
Indonesia yang bunyinya sama dengan Deklarasi Jenewa 1948 dan Deklarasi Sydney 1968.20 Agar timbul tanggung jawab pidana, maka pertama-tama harus dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan diagnosis atau kesalahan cara-cara pengobatan/penyembuhan. Untuk menentukan adanya kesalahan profesional tersebut diperlukan pendapat para ahli yang dapat memberikan data profesional kepada hakim. Jadi menurut ilmu kedokteran, terlebih dahulu harus ada ketetapan mengenai kesalahan tersebut, untuk kemudian ditetapkan hakim apakah kesalahan tersebut mengakibatkan terjadinya tanggung jawab pidana. Tanggung jawab perdata terjadi apabila misalnya seorang pasien menggugat dokter untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan yang merugikan pasien tersebut. Pada umumnya seorang dokter yang berpraktek mengadakan suatu penawaran umum (open baar aan bod) mengenai pekerjaan yang dapat di lakukan untuk menyembuhkan orangorang sakit. Pasien yang kemudian menghubungi dokter untuk minta bantuan medis
dan
dokter
kemudian
mengobatinya,
maka
terjadilah
kontrak/persetujuan. Dengan demikian tuntutan ganti rugi kepada dokter adalah karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Tanggung 20
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
jawab di bidang hukum administrasi terjadi misalnya apabila seseorang dokter melakukan praktek tanpa izin.21
B. Tanggung Jawab Dokter Yang Menurut KUHPidana Dilihat dari segi perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang euthanasia ini. Tetapi bagaimana pun juga, karena masalah euthanasia menyangkut soal keselamatan jiwa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, khususnya mengenai kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Yang paling mendekati adalah Pasal 344 KUHPidana.22 Dalam
pandangan
hukum,
euthanasia
bisa
dilakukan
jika
pengadilan megijinkan. Namun bila euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU
21 22
Untuk lebih jelasnya lihat Peraturan Pemerintah No. 36/1964 Untuk lebih jelasnya lihat Buku ke 2, Bab IV KUHPidana
Universitas Sumatera Utara
RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359. Pada uraian sebelumnya telah kita tinjau pengertian euthanasia dari berbagai pendapat, apabila dikaitkan dengan ketiga jenis euthanasia di atas, maka rumusan yang terdapat Pasal 344 KUHPidana adalah sesuai dengan jenis euthanasia yang ketiga, yaitu euthanasia yang bersifat aktif. Pasal 344 KUHPidana tersebut berbunyi sebagai berikut: Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua betas tahun. Mengenai perampasan nyawa/jiwa orang lain di atur juga Pasal 340 KUHPidana sebagai berikut: Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Ketiga pasal tersebut di atas mengandung makna larangan untuk membunuh.
Namun
pembunuhan
biasa
Pasal
338
KUHPidana
(doodslag,) merupakan
yang
aturan
mengandung
umum tentang
pernapasan nyawa orang lain. Pasal 340 KUHPidana merupakan pasal
Universitas Sumatera Utara
pembunuhan berencana. Demikian juga Pasal 338 KUHPidana tersebut di muat unsur
"atas permintaan orang itu sendiri menyatakan dengan
kesungguhan hati". Apabila seorang dokter melakukan euthanasia yang tentu saja di Indonesia mengandalkan Pasal 344 KUHPidana maka dokter tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur yang terdapat Pasal 344 KUHPidana
tersebut.
Jaksa
harus
membuktikan
adanya
unsur
"permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati". Bahwa perumusan ini menimbulkan suatu kesulitan sudahlah pasti, oleh karena dapat dibayangkan bahwa orang yang menyatakan dengan kesungguhan hati tu sudah pulang kealam baka. Oleh sebab itu, pernyataan "dengan kesungguhan hati" itu tidak boleh diucapkan secara lisan, sebaiknya bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh saksi-saksi, sehingga pada proses pembuktiannya di Pengadilan nanti, surat pernyataan ini dapat di pakal sebagai alat bukti seperti yang di atur Pasal 184 KUHAP yang mengakui upaya bukti berupa: saksi-saksi ahli, suratsurat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Adanya
unsur
"atas
permintaan
orang
itu
sendiri",
juga
menimbulkan masalah, manakala yang bersangkutan tidak mampu lagi berkomunikasi dalam bentuk dan kesungguhan hati. Karena kita tahu mati
Universitas Sumatera Utara
tidak, hidup pun tidak (in a persistent vegetative state) atau in competent (tidak mampu berkomunikasi menyatakan kehendaknya). Seperti contoh yang sangat populer adalah yang terjadi di Amerika Serikat, yaitu kasus: Karen aan quinlan, pada tahun 1976 di New Jcrsey si gadis manis Karen berusia 21 tahun, yang dipungut oleh keluarga quinlan, berada dalam keadaan in a persistent vegetative state, Karen hanya dapat bertahan dengan bantuan sebuah respirator. 23 Keadaannya bagaikan kerangka mayat saja, tidak dapat bicara lagi. Janganlah makan, bernafas pun sudah payah, pendeknya segala untuk hidup dan yang menghidupinya, tergantung dari mesin-mesin modem yang serba ruet. Karen terbujur melengkung, tanpa bisa bergerak sendiri, bagaikan sebuah mayat hidup tanpa perasaan. Apakah Karen dengan demikian dapat dikatakan sudah mati? Dunia hukum tidak dapat dan tidak boleh mempunyai pretensi untuk menentukan fomulasi pengertian mati. Bahkan kedokteran sendiri masih berada di persimpangan jalan tentang pengertian mati, terutama sejak tahun 1967, ketika diadakan operasi transplantasi jantung yang pertama kali. Jadi masih belum ada kata sepakat untuk menentukan pengertian mati atas dasar konsep brain death ataupun heart death. Pada kasus ini pemeriksaan menunjukkan bahwa Karen tidak dalam keadaan 23
Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Op.Cit., hal. 54
Universitas Sumatera Utara
brain death. Para ahli kedokteran mengatakan bahwa apabila respirator tersebut dilepaskan, akan berakibat lebih lanjut terhadap otaknya dan Karen akan segera mati. Tetapi hal ini para dokter menolak untuk menghentikan penggunaan respirator tersebut. Quinlan (ayah angkatnya) kemudian menuntut agar Karen dinyatakan sebagai in cokpetent dan Quinlah yang ditunjuk sebagai guardian tersebut, tetapi New Jersey Supreme Court menyatakan putusan banding, bahwa seseorang mempunyai hak yang disebut right to privacy dan khusus di dalam kasus Karen ini, bila mana Karen dapat melakukannya,
dia
pasti
menolak
penggunaan
respirator
karena
penderitaan yang dialaminya sangat berat. Karen membutuhkan 24 Jam terus menerus perawatan intensif, anti piotiks, bantuan respirator, catheter dan feeding tube. Jadi jelas ini kepentingan Karena melebihi kepentingan para dokter yang merawatnya dan negara. Pada akhirnya supreme court memerintahkan agar the life support apparatus dicabut tanpa adanya pertanggung jawaban sipil maupun kriminal. Kasus tersebut di atas memang terjadi di Amerika Serikat, di mana supreme court (Pengadilan Tertinggi) di Amerika Serikat mengizinkan atau
Universitas Sumatera Utara
memerintahkan agar respirator yang digunakan Karen selama ini di cabut tanpa menuntut pertanggung jawaban. Apabila kasus tersebut di atas terjadi di Indonesia, maka sudah jelas dokter yang mencabut respirator tersebut, yang mengakibatkan kematian bagi pasien, walaupun dengan persetujuan sendiri, dapat dimintakan pertanggung jawabannya menurut Pasal 344 KUHPidana. Dan apa yang dikemukakan/diuraikan di atas, dapatlah diambil kesimpulannya, bahwa euthanasia di Indonesia ini tetap dilarang. Larangan ini terdapat Pasal 344 KUHPidana, yang sampai sekarang masih berlaku. Akan tetapi perumusan Pasal 344 KUHPidana tersebut dapat menimbulkan kesulitan Jaksa untuk menerapkannya atau mengadakan penuntutan. Oleh karena itulah, maka sebaiknya bunyi Pasal 344 KUHPidana tersebut
dapatlah
kiranya
dirumuskan
kembali,
berdasarkan
atas
kenyataan-kenyataan yang sekarang, yang telah disesuaikan dengan perkembangan di bidang medis. Rumusan baru ini diharapkan dapat memudahkan untuk mengadakan penuntutan kasus ini.
Universitas Sumatera Utara