BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MALPRAKTIK
2.1. Pemahaman Terhadap Istilah Malpraktik Medik 2.1.1
Pengertian Malpraktik Secara Etimologi dan Menurut Pendapat Ahli Terdapat dua istilah yang lazim dipakai dan didengar oleh etiap kalangan
bagi mereka terutama berkecimpung atau bahkan sedang mengalami dan berurusan kondisi kesehatan fisik dan psikis seseorang. Dalam masyarakat ketika seseorang mengalami penderitaan kesehatan sebagai akibat dari pihak tenaga medis (kesehatan) seperti dokter, perawat ataupun petugas kesehatan lainnya timbul kecenderungan menyebut dengan istilah telah terjadi “malpraktek”, atau disambung dengan ikutan kata “medik”, menjadilah sebutan istilah “malpraktik medik”. Berbicara mengenai malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti “buruk” Sedangkan kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk”.1 Bagi negara Indonesia, istilah malpraktik yang sudah sangat dikenal oleh para tenaga kesehatan sebenarnya hanyalah merupakan suatu bentuk Medical Malpractice, yaitu Medical Negligence yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Kelalaian Medik.2 Menurut Martin Basiang “Malpractice” diartikan
1 2
Hendrojono Soewono, Op Cit, hlm : 12 Hendrojono Soewono, Loc Cit
kealpaan profesi3. Menurut Azrul Azwar dalam makalahnya yang dibawakan pada sidang KONAS IV Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia di Surabaya, 1996, dengan mengambil beberapa pendapat para pakar dikatakan bahwa malpraktik adalah : 1. Malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter, oleh karena pada waktu melakukan pekerjan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya, di dalam situsai dan kondisi yang sama; atau 2. Malpraktik adalah setiap kesalahan yang di perbuat oleh dokter, oleh karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama 3. Malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh seorang dokter, yang didalamnya termasuk kesalahan karena perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal serta kesalahan karena ketrampilan ataupun kesetiaan yang kurang dalam menyelenggarakan kewajiban dan ataupun kepercayaan profesional yang dimilikinya.4 Adanya istilah malpraktik secara etimologi seperti tersebut diatas, mengandung komponen unsur seperti : adanya tindakan, dilakukan oleh dokter, ada indikasi kesalahan, berakibat buruk, ada seseorang atau pihak yang merasa dirugikan, ada sebab dan akibat. Dari unsur – unsur tersebut akan berakibat timbulnya hubungan hukum diantara pihak-pihak. Ada pihak sebagai pelaku atau pembuat tindakan, sesuatu dalam hal ini pihak tenaga medis atau dokter. Sedangkan pihak kedua yakni seseorang yang memerlukan bantuan medis demi kesehatannya yakni pasien. Malpraktik tidak hanya dapat dilakukan oleh dokter namun juga oleh tenaga medis lainnya. Disebutkan pula medical malpractice cases are generally sought by patients who have been harmed or injured due to
3 4
Martin Basiang, 2009, Law Dictionary, Red and White Publishing, h. 280 Hendrojono Soewono, Op Cit, h. 13
poor medical treatment or mistaken diagnosis from a medical provider such as a doctor, nurse, technician, hospital or medical worker.5 (Kasus malpraktik medis umumnya dicari oleh pasien yang telah dirugikan atau terluka karena perawatan medis yang buruk atau diagnosis keliru dari penyedia medis seperti dokter, perawat, teknisi, rumah sakit atau pekerja medis). Sulit untuk memahami apa yang dimaksud dengan malpraktek, bisa saja terjadi kesimpangsiuran pengertian antara malpraktek, pelanggaran kode etik atau pelanggaran hukum. Secara etimologis malpraktek berasal dari kata mal artinya salah, jadi malpraktek ini adalah salah melakukan prosedur yang berujung pada kerugian pasien atau bahkan sampai fatal. Atau bisa juga melakukan tindak pidana seperti abortus provokatus.6 Malpraktek harus memenuhi unsur kecerobohan, kesem-bronoan,
kekurang
hati-hatian
(Professional
Misconduct)
atau
kekurangmampuan yang tidak pantas (Unreasonable' lack of skill) yang hanya dilakukan oleh pengemban profesi Dokter, Advokat, Notaris, dan lain-lain. Suatu perbuatan malpraktek hanya bisa dilakukan oleh seseorang-profesional yang mempunyai karakteristik tertentu. Black Law ; dictionary sebagaimana dikutip oleh HM Soedjatmiko; merumuskan malpraktek sebagai: "any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct........... 5
Findlaw, 2016, First Steps in a Medical Malpractice Case, Available at http://injury.findlaw.com/medical-malpractice/first-steps-in-a-medical-malpractice-case.html, accessed 7th July 2016. 6 Edi Setiadi, Pertanggungjawaban pidana Dalam Kasus Mal Praktek Dokter, Makalah pada seminar sehari Penegakan Hukum Terhadap Malpraktek, kerjasama antara IKAHI dan IDI Cabang Sekayu di Sekayu, 27 Mei 2006
(perbuatan jahat dari seseorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang di bawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli dalam menjalankan kewajibannya secara hukum, praktek yang jelek atau illegal atau perbuatan yang tidak bermoral)7. Ada beberapa pendapat dari kalangan para ahli atau doktrin yang memberikan batasan pengertian serta makna dari istilah malpraktik medik atau medical malpractice seperti berikut : 1. Vironika ; malpraktek berasal dari kata "malpractice" yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Dengan demikian medical malpractice atau kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik dalam menjalankan profesinya8. 2. Hermien Hadiati Koeswadji ; malpractice secara harfiah berarti bad practice atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktek berkaitan dengan "how to practice the medical science and technology", yang sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan
7
HM. Soedjatmiko, 2001 Masalah Hukum Medik Dalam Malpraktek Yuridis, dalam kumpulan makalah seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran RSUD dr. Syaiful Anwar Malang, h. 3 8 Vironika Komalasari,1998, Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 87
praktek,
maka
Hermien
lebih
cenderung
menggunakan
istilah
"maltreatment"9. 3. Danny Wiradharma ; melihat dari sudut perikatan antara dokter dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek buruk10. 4. Ngesti Lestari ; mengartikan malpraktek sebagai pelaksanaan atau tindakan yang salah, dengan demikian arti malpraktek medik sebagai tindakan dari tenaga kesehatan yang salah dalam rangka pelaksanaan profesi di bidang kedokteran (profesional misconduct) baik di pandang dari sudut norma etika maupun norma hukum11. 5. John D Blum sebagaimana dikutip oleh Hermien Hadiati Koeswadji; memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai "a form of professional negligence in which measrable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or ommission by the defendant practitioner" (malpraktek medik merupakan bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan dokter)12. 6. Anny
Isfandyarie ;
menyimpulkan
sebagai
kesalahan dokter karena
tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai
9
Hermien Hadiati Koeswadji, 1996, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak). Citra Aditya bakti, Bandung, h. 124 10 Danny Wiradharma, 1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1996, h. 87 11 Ngesti Lestari, 2001, Masalah Malpraktek Etika Dalam Praktek Dokter (Jejaring Biotia dan Humaniora), dalam kumpulan makalah seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran, RSUD dr. Syaiful Anwar Malang, h. 2, 114-115 12 Hermien Hadiati Koeswadji, Op.Cit, h. 122-123
dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat badan bahkan meninggal dunia13. 7. Mr. L.D Vorstman mengutip pendapat Prof. Hector Treub dalam R Abdoel Djamal CS ; seorang dokter melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan pemeriksaan, tidak mendiagnose, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan dengan situasi kondisi yang sama, akan melakukan pemeriksaan dan diagnose serta melakukaan atau membiarkan sesuatu tersebut14. 8. Coughlin
bekas
presiden
New
York
State
Bar Association;
merumuskan sebagai berikut: Professional misconduct on the part of a professional person, such as a physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, or veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties, intentional wrongdoing, or illegal or unethical practice.15 9. Soerjono Soekanto ; menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan medical malpractice adalah, segala sikap tindak yang menyebabkan terjadinya tanggung jawab. Sikap tindak tersebut dilakukan berdasarkan lingkup profesional pelayanan kesehatan16.
13
Anny Isfandyarie, Op Cit, h. 22 R Abdoel Djamal & Lenawati Tedjapermana, 1988, Tanggung Jawab Hukum Seorang Dokter Dalam Menangani Pasien, CV Abardin, h. 119. 15 George Gordon Coughlin, 1982, Dictionary of Law, 1982, New York : Barnes &. Note Books, termuat dalam Soerjono Soekanto, Loc Cit 16 Ibid, h. 155 14
10. Zulkifli Muchtar ; menyebutkan bahwa malpraktek profesi kedokteran adalah, setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter karena melakukan suatu pekerjaan di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal17. 11. M. Yusuf Hanafiah ; Malpraktek Medis adalah, kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama18. Setelah mencermati pengertian dan unsur – unsur pengertian malpraktik medik dari para ahli (doktrin) diatas, maka secara definitif tidak kita dapati pengertian malpraktek ini dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Akan tetapi makna atau pengertian malpraktek justru kita dapati dalam Pasal 11b dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Kesehatan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tersebut. Mengacu dari berbagai pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa, seorang dokter telah melakukan praktek yang buruk manakala dia karena dengan sengaja atau akibat kelalaian tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan baik dalam kode etik kedokteran, standar profesi, maupun standar pelayanan medik, yang berakibat pasien mengalami kerugian.
17 Zulkifli Muchtar, Dokter Dalam Peadilan Dan Hukum Indonesia, Berita Ikatan Dokter Indonesia, No. 1 3, Juli 1987 18 M. Yusuf Hanafiah & Amri Amir. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehtan, EGC. Jakarta, 1999, h. 87
2.1.2. Asas – Asas Hukum Sebagai Landasan Terkait Adanya Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Dalam hubungan hukum antara dokter dan pasien atau dengan istilah lain transaksi terapeutik yang menghasilkan apa yang disebut dengan pelayanan medik atau tindakan medik. Maka sebelum membahas lebih lanjut tentang pelayanan medik ini maka akan dikemukakan terlebih dahulu beberapa asas hukum yang harus dipedomani oleh dokter atau dokter gigi dalam melakukan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Asas-asas hukum tersebut sebagaimana diatur dan termuat dalam UndangUndang Praktek Kedokteran yaitu pada Bab II Pasal 2. Dengan demikian secara hukum, asas-asas tentang praktek kedokteran atau kedokteran gigi tersebut telah menjadi hukum positif bagi para dokter atau dokter gigi Indonesia. Pasal 2 yang mengatur tentang asas dimaksud menyatakan: "Bahwa penyelenggaraan praktek kedokteran dilaksanakan berdasarkan pada nilai ilmiah manfaat, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan
serta perlindungan
dan
keselamatan pasien". Dalam penjelasan Pasal 2 pengertian asas-asas tersebut diuraikan sebagai berikut : a. Nilai ilmiah adalah, bahwa praktek kedokteran harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh baik dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi. b. Manfaat adalah, bahwa penyelenggaraan praktek kedokteran harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. c. Keadilan adalah, bahwa penyelenggaraan praktek kedokteran harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu.
d. Kemanusiaan adalah, bahwa dalam penyelenggaraan praktek kedokteran memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, status sosial dan ras. e. Keseimbangan adalah, bahwa dalam penyelenggaraan praktek kedokteran tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat. f. Perlindungan dan keselamatan pasien adalah, bahwa penyelenggaraan praktek kedokteran tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.
Selain daripada itu Komalasari mnenyebutkan pula beberapa asas yang harus dipedomani dan dijadikan dasar oleh para dokter atau dokter gigi dalam melakukan perjanjian atau transaksi terapeutik dengan pasien. Asas-asas hukum yang dimaksud, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Asas Legalitas Asas Keseimbangan Asas Tepat Waktu. Asas Iktikad Baik Asas Kejujuran Asas Kehati-hatian Asas Keterbukaan19
Ad. 1). Asas Legalitas Asas ini dapat ditarik dari ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan/atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.
19
D. Vironika Komalasari, Op Cit, h. 128
Hal ini mengandung makna bahwa pelayanan kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten, baik pendidikannya maupun perizinannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Asas Legalitas ini lebih ditekankan lagi pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, khususnya Pasal 26 sampai 28 yang mengatur tentang standar pendidikan profesi kedokteran dan kedokteran gigi. Konsil Kedokteran Indonesialah yang mensahkan standar pendidikan bagi dokter maupun dokter gigi setelah melihat dan mendengar masukan dari Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran dan Kedokteran Gigi (untuk pendidikan profesi dokter dan dokter gigi) serta Kolegium Kedokteran atau Kedokteran Gigi (untuk pendidikan profesi dokter spesialis atau dokter gigi spesialis). Dalam menyusun standar pendidikan bagi dokter maupun dokter gigi, maka Asosiasi Institusi Pendidikan Dokter dan Dokter Gigi serta Kolegium Kedokteran dan Kedokteran Gigi berkoordinasi dengan organisasi profesi, Asosiasi Insitusi Pendidikan Kedokteran dan Kedokteran Gigi (bagi Kolegium Kedokteran dan Kedokteran Gigi), Kolegium (bagi Asosiasi Pendidikan Kedokteran dan Kedokteran
Gigi),
Asosiasi
Rumah
Sakit Pendidikan,
Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan. Dalam UU tersebut ditentukan pula suatu kewajiban bagi dokter yang berpraktek untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan guna menyerap perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran maupun teknologi kedokteran mutakhir.
Dalam Permenkes RI Nomor 560 dan 561/Menkes/' Per/1981 menentukan, terdapat tiga jenis surat izin dalam menjalankan pekerjaannya sebagai dokter, yaitu sebagai berikut : 1.
2.
3.
Surat Izin Dokter (SID) yang merupakan izin yang dikeluarkan bagi dokter yang menjalankan peker-jaan sesuai dengan bidang profesinya di wilayah negara RI. Surat Izin Praktek (SIP), yaitu izin yang dikeluarkan bagi dokter yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan bidang profesinya sebagai swasta per-seorangan di samping tugas/fungsi lain pada pemerintahan atau unit pelayanan kesehatan swasta Surat Izin Praktek (SIP) semata-mata, yaitu izin yang dikeluarkan bagi dokter yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan profesinya sebagai swasta perseorangan semata-mata, tanpa tugas pada pemerintahan atau unit pelayanan kesehatan swasta. Setelah
memperoleh
izin
dimaksud,
barulah
dokter
berwenang
melaksanakan tugas memberikan pelayanan kesehatan, baik pada rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta atau melakukan praktek secara perorangan. Ad. 2). Asas Keseimbangan Fungsi hukum selain memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, hukum juga harus bisa memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu pada keadaan semula. Asas keseimbangan ini merupakan asas yang berlaku umum tidak hanya berlaku untuk transaksi terapeutik. Penyelenggara pelayanan kesehatan harus diseleng-garakan secara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, juga keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya medik yangdilakukan. Ad. 3). Asas Tepat waktu
Asas tepat waktu ini merupakan asas yang sangat penting diperhatikan oleh para pelayan kesehatan khususnya para dokter. Karena keterlambatan penanganan seorang pasien akan dapat berakibat fatal yaitu kematian pasien. Penanganan yang berkesan lambat dan asal-asalan terhadap pasien sangat tidak terpuji dan bertentangan dengan asas tepat waktu ini. Kecepatan dan ketepatan ' penanganan terhadap pasien yang sakit merupakan salah satu faktor yang dapat berakibat terhadap kesembuhan pasien. Ad. 4). Asas Iktikad Baik Asas ini bersumber pada prinsip etis berbuat baik (beneficence) yang perlu diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien. Sebagai profesional seorang dokter dalam menerapkan asas iktikad baik ini akan tercermin dengan penghormatan terhadap hak pasien dan pelaksanaan praktek kedokteran yang selalu berpegang teguh pada standar profesi. Kewajiban untuk berbuat baik ini tentunya tidak harus mengorbankan atau merugikan diri sendiri. Ad. 5). Asas Kejujuran Kejujuran antara dokter dan pasien merupakan salah satu hal penting dalam hubungan dokter pasien. Selain asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam transaksi terapeutik yang telah diuraikan dalam Undang Undang Praktek Kedokteran dan oleh Komalawati diatas, Munir Fuady telah menyusun pula beberapa asas dalam etika modern dari praktek kedokteran, sebagai berikut: 20 1. Asas Otonom 20
Munir Fuady, 2005, Sumpah Hippocrates: Aspek Hukum Malpraktek Dokter, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 6.
Asas ini (autonomy) menghendaki agar pasien yang mempunyai kapasitas sebagai subjek hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara rasional, sebagai wujud penghormatan terhadap
hak
asasinya
untuk
menentukan
nasibnya
sendiri
(self
determination). 2. Asas Murah Hati Istilah atau kata lain dari asas murah hati ini adalah beneficence, adalah suatu asas yang sangat menekankan kepada para pemegang profesi kedokteran agar dalam upayanya melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien atau masyarakat agar mengutamakan sifat murah hati ini. Sangat dianjurkan kepada para dokter atau dokter gigi memiliki sikap-sikap mudah berbuat kebajikan, kebaikan dan kedermawanan. Asas-asas ini masih dilaksanakan sampai saat ini dengan memberikan pelayanan yang sama terhadap pasien dengan jaminan kesehatan pemerintah serta membebaskan biaya tindakan dokter atas perintah dokter yang bersangkutan. 3. Asas Tidak Menyakiti Asas tidak menyakiti atau non maleficence mengandung makna bahwa sejauh mungkin dalam upaya melakukan pelayanan kesehatan atau tindakan medis kepada pasiennya, dokter atau dokter gigi, sejauh mungkin menghindarkan rasa sakit dari sang pasien dan atau keluarganya. 4. Asas Keadilan Dokter atau dokter gigi dalam melakukan pelayanan kesehatannya tidak dibenarkan membeda-kan status ekonomi ataupun status sosial dari
pasien. Dokter atau dokter gigi harus tetap memberikan penghormatan yang sama kepada seluruh pasiennya dan juga memberi penghargaan sama atas hakhak pasien, seperti hak atas kerahasiaan atau privacy pasien, hak atas informasi dan memberikan per-setujuannya, dan sebagainya. 5. Asas Kesetiaan Asas ini merupakan terjemahan dari fidebility yang terkandung makna bahwa dokter harus dapat dipercaya dan setia terhadap amanah yang diberikan pasien kepadanya. Seorang pasien datang kepada dokter atau dokter gigi karena dia percaya bahwa dokter atau dokter gigi tersebut akan dapat memberikan kesembuhan dari penyakit yang dideritanya. Kepercayaan yang besar ini merupakan suatu amanah bagi dokter atau dokter gigi, dan oleh karenanya dokter atau dokter gigi harus berupaya semaksimal mungkin berdasarkan ilmu pengetahuan dan keterampilannya menyembuhkan atau menye-lamatkan pasien. 6. Asas Kejujuran Kejujuran atau veracity atau honesty merupakan satu asas yang harus sama-sama dijunjung tinggi baik oleh dokter atau dokter gigi maupun pasien. Pasien harus jujur menceritakan riwayat penyakitnya tanpa harus ada yang disembunyikan kepada dokter atau dokter giginya, demikian pula sebaliknya dokter atau dokter gigi harus, pula secara jujur menginformasikan hasil pemeriksaan, penyakit serta langkah-langkah pengobatan yang akan dilakukannya tentu dengan cara-cara yang bijaksana.
Memang asas – asas hukum tidak atau belum mengandung sanksi, tetapi ketika asas – asas sudah dituangkan ke dalam norma hukum dalam bentuk undang-undang atau pasal-pasal dalam suatu undang-undang (seperti Undang – Undang Praktek Kedokteran atau Undang – Undang Kesehatan, Undang – Undang Rumah Sakit), maka norma hukum itu telah dapat diterapkan, karena sudah mengandung sanksi hukum. 2.2. Perbedaan Tindakan Malpraktik Medik Dengan Tindakan Resiko Medik 2.2.1. Profesi Dokter Hukum positif Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran khususnya pada ketentuan umum Pasal 1 angka 11, telah disebutkan pengertian profesi kedokteran adalah sebagai berikut: “Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompeten yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat”. Mengacu dari pengertian diatas maka hakekat profesi menurut D. Vironika Komalasari21 adalah panggilan hidup untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan yang didasarkan pada pendidikan yang harus dilaksanakan dengan kesungguhan niat dan tanggung jawab penuh. Beberapa ciri profesi antara lain: 1. Merupakan suatu pekerjaan yang berkedudukan tinggi dari para ahli yang terampil dalam menerapkan pengetahuan secara sistematis.
21
Vironika Komalasari, Op Cit, h. 19 - 20.
2. Mempunyai
kompetensi
secara
eksklusif
terhadap
pengetahuan
dan
keterampilan tertentu. 3. Didasarkan pada pendidikan yang intensif dan disiplin tertentu. 4. Mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya, serta mempertahankan kehormatan. 5. Mempunyai etik tersendiri sebagai pedoman untuk menilai pekerjaannya. 6. Cenderung mengabaikan pengendalian dari masyarakat atau individu. 7. Pelaksanaannya dipengaruhi oleh masyarakat, kelompok kepentingan tertentu dan organisasi profesional lainnya, terutama dari segi pengakuan terhadap kemandiriannya. Sementara itu Parson sebagaimana dikutip oleh D Vironika Komalasari mengemukakan beberapa ciri khusus profesi sebagai berikut: 1. Disinterestedness, artinya tidak mengacu kepada pamrih. Nilai ini harus dijadikan patokan normatif bagi pengemban profesi. 2. Rationalitas, artinya melakukan usaha mencari yang terbaik dengan berpedoman pada pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Perwujudan sistem pekerjaan profesi dilaksanakan berbasis rasionalitas yang merupakan salah satu ciri yang dominan dari ilmu. 3. Spesifisitas fungsional, artinya para profesional mempunyai kewibawaan (otoritas) di dalam masyarakat dengan struktur sosiologikal yang khas yang bertumpu pada kompetensi teknikal yang superior yang hanya dimiliki oleh pengemban profesi yang bersangkutan saja. Oleh karena itu, seorang profesional dianggap sebagai orang yang memiliki otoritas hanya dalam bidahgnya. 4. Universalitas, artinya dasar pengambilan keputusan bukan pada "siapanya" ataupun keuntungan pribadi yang dapat diperoleh pengambil keputusan, tetapi berdasarkan kepada "apa yang menjadi masalahnya"22.
Sehingga seorang dokter atau dokter gigi adalah seorang profesional dalam bidang pengobatan atau kedokteran, karena mereka bekerja berdasarkan 22
Vironika Komalasari, Op Cit, h. 19 - 20.
keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan yang berjenjang, mandiri dan bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang dilakukannya. Ada 3 (tiga) karakteristik yang menonjol dari seorang profesional yaitu: perlu adanya persyaratan extensive training untuk berpraktek sebagai profesional. Training tersebut mengandung apa yang dinamakan a significant intelectual component, tidak sekedar bersifat skill traning semata-mata. Dan terakhir perlunya pengabdian yang penuh terhadap pelayanan masyarakat.23 Guna mengetahui apakah seorang dokter atau dokter gigi telah profesional dalam melaksanakan pelayanan kesehatannya, ada beberapa tolok ukur yang dapat dipakai sebagai patokan, yaitu ; apakah pelayanan kesehatan atau pelayanan medis tersebut sudah memenuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional prosedur. 2.2.2. Etika Profesi Kedokteran Setiap manusia pada umumnya memiliki profesi sesuai bidang dan keahliannya masing-masing. Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya norma mengatur untuk memberi batas-batas dalam berfungsinya suatu profesi. Norma dibagi dalam beberapa jenis, salah satunya norma hukum. Dalam norma hukum termasuk di dalamnya norma etik sebagai penjabaran dari norma agama, kesopanan dan kesusilaan. Etik dalam implementasinya berwujud etika, sehingga sebuah profesi termasuk profesi dokter diatur dan diikat dengan etika profesi. Istilah etika ini berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang mengandung arti "yang baik, yang layak". Ini merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola
23
Edi Setiadi, Op Cit, h. 3
tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat24. Sedangkan profesi berasal dari profession dirumuskan sebagai .... the wrong profession refers to a group of men pursuing learned art a common calling in the spirit of a public service, no less a public service because it may incidentally be a means of livelihood25 Etika dapat digunakan dalam arti nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Disini etika berarti sebagai "sistem nilai" yang dapat berfungsi dalam kehidupan seseorang atau suatu masyarakat, mementara menurut Hermien Hadiati Koeswadi
26
; sebagaimana mengutip Encylopedia Americana International
Edition, etika atau ethic berasal dari kata dalam bahasa Yunani "ethikes" yang berarti moral, dan "ethos" yang berarti tabiat, karakter atau kelakuan. Ethic juga menunjuk kepada nilai-nilai atau aturan-aturan perilaku dalam suatu kelompok manusia, atau manusia perorangan, seperti misalnya dapat dijumpai dalam arti kata "unethical behavior". Oleh karena itu ethic merupakan cabang dari filsafat dimana manusia berusaha untuk mengevaluasi dan memutuskan melalui sarana tertentu tindakan-tindakan moral atau teori-teori umum tentang tingkah laku. Berbeda dengan Bahder Johan Nasution27 yang menyatakan, bahwa istilah etik pada awalnya bersumber dari istilah Latin yang merupakan paduan dari istilah mores dan ethos. Kedua kata ini merupakan paduan rangkaian dari konsep
24
K. Bertens, Etika, Gramedia, Jakarta, 1993, sebagaimana dikutip Deddy Rasyid, Perbuatan Malpraktik Dokter Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia, Tesis, Pascasarjana, UI 25 Hermien Hadiati Koeswadji, Op. Cit, h. 100 26 Hermien Hadiati Koeswdji, Op Cit, h. 123 27 Bahder Johan Nasution, Op Cit, h. 9
mores of a community dan ethos of the people yang dapat diartikan dengan kesopanan suatu masyarakat dan akhlaq manusia. Konsep ini kemudian berkembang terutama di kalangan masyarakat pengemban profesi. Nilai-nilai yang merupakan mores dan ethos tersebut kemudian oleh kalangan profesi dirumuskan dan dikodifikasi sehingga melahirkan suatu code of conduct atau kode etik. Di kalangan masyarakat pengemban profesi kesehatan kode etik ini dikenal dengan sebutan kode etik kedokteran. Sehubungan dengan hal tersebut kata etika dapat berarti kumpulan asas atau nilai moral, maksudnya adalah sebagai "kode etik". Etik? berarti juga ilmu tentang yang baik atau buruk. Dalam hal in etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etik (asas-asas atau nilai-nilai tentang yang dianggap baik dar buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat seringkali tanpa disadari, menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis28 Demikian pula dikatakan oleh Hermien Hadiati Koeswadji29 bahwa, etika yang mengikat profesi biasanya dikaitkan dengan ilmu yang diajarkan untuk dapat mengamalkan ilmu tersebut, dan yang biasanya mengikat pengemban ilmu tersebut secara internal dan benar-benar suci, atau yang biasanya disucikan melalui pengenalan tentang hakikat ilmu pengetahuan, dalam hal ini ilmu pengetahuan kedokteran, ilmu pengetahuan tersebut harus benar-benar dihayati oleh pengembannya, dan dengan demikian mengamalkannya benar-benar berdasarkan keyakinannya. Oleh karenanya maka keyakinan tersebut harus
28 29
K. Bertens, Op Cit Hermien Hadiati Koeswadji, Op Cit, h. 123
dilandasi oleh motivasi dalam mengemban profesinya dalam kedudukan dan ruang lingkup dunia kedokteran. Mengacu pada nilai-nilai etik kedokteran itu menjiwai sikap dan perilaku dokter dan mempedomaninya dalam setiap sikap dan tindakannya sehari-hari, nilai etik itu kemudian akan membawanya pada suatu konsekuensi tentang keyakinannya mengenai bagaimana ia harus berbuat dan bersikap. Disinilah nantinya dapat diresapi bahwa etik kedokteran dalam kalangan pengemban profesi kedokteran mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting, untuk menjamin kelangsungan dan kelanggengan profesi mereka. Nilai etik senantiasa ingin menempatkan diri dengan memberi warna dan pertimbangan terhadap sikap dan perilaku dokter dalam memasyarakatkan dan memberi pedoman tentang mana yang dianggap baik, buruk, benar dan salah.30 Besarnya peranan norma etik ini dalam dunia kedokteran telah diakui sejak tumbuhnya ilmu kedokteran pada zaman Hipocrates (5 SM). Hal ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa para dokter sebagai pengemban profesi merupakan suatu masyarakat moral yang terbentuk dan disatukan oleh latar belakang pendidikan atau keahlian yang sama.31 Adapun yang menjadi landasan dari Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) tersebut adalah : 1. 2. 3. 4. 5.
Sumpah Hipocrates (460 - 377 SM). Deklarasi Genewa( 1948). International Code of Medical Ethics (1949). Lafal sumpah dokter Indonesia (1960). Pernyataan-pernyataan (deklarasi) Ikatan Dokter Sedunia (World Medical Association, WMA), yaitu antara lain: 30 31
43.
Bahder Johan Nasution, Op Cit, h. 9-10. Deddy Rasyid, sebagaimana mengutip pendapat Veronica Komalawati, Op Cit,
h.
a. b. c. d.
Deklarasi Genewa (1948) tentang lafal sumpah dokter. Deklarasi Helsinki (1964) tentang riset klinik. Deklarasi Sidney (1968) tentang saat kematian. Deklarasi Oslo (1970) tentang pengguguran kandungan atas indikasi medik. e. Deklarasi Tokyo (1975) tentang penyiksaan32. Etika profesi kedokteran Indonesia ini mengatur tentang kode etik dan sumpah dokter. Kodeki ini disusun dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut diatas dan telah disesuaikan dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan telah dimantapkan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 434/Menkes/SK.X/1983. Kodeki ini mengatur hubungan antara manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya, dan kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri. Dalam Kodeki tersebut dirumuskan dalam pasal-pasal sebagai berikut yaitu : A. Kewajiban umum Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3
Pasal 4 Pasal 5
Pasal 6
32
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter. Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Dalam melakukan pekerjaan kedokteran, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang rnengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Setiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk Tcepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru
M. Yusuf Hanafiah & Amri Amir, Op Cit, h. 2
Pasal 7 Pasal 7a
Pasal 7b
Pasal 7c
Pasal 7d Pasal 8
Pasal 9
yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknik dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien. Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien. Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarbenarnya. Setiap dokter dalam berkerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
B. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien Pasal 10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keteram-pilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Pasal 11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat behubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadah dan atau dalam masalah lainnya. Pasal 12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Pasal 13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya. C. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
Pasal 14 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Pasal 15 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis. D. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri Pasal 16 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik. Pasal 17 Setiap dokter harus senantiasa mengikuti per-kembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.
Etika berbeda dengan hukum, karena hukum dibentuk oleh perangkat pembentuk undang-undang, ketaatan atas hukum tersebut dapat dipaksakan dari luar oleh aparat penegak hukum (law enforcement official) karena dikandung sanksi bagi pelanggarnya. Sedangkan etika, ketaatan dan kesadaran untuk melaksanakannya timbul dari dalam diri manusia secara pribadi, dari setiap kalbu insan tidak diperlukan sanksi yang berat. Etika kedokteran bersama-sama dengan norma hukum, mempunyai kaitan yang erat dan saling melengkapi dalam arti saling menunjang tercapainya tujuan masing-masing. Hati nurani dan moralitas, sebagai objek dari norma etika, yang menghendaki agar manusia selalu bersikap tindak yang baik akan membuat pergaulan pribadi-pribadi dalam suatu masyarakat menjadi lebih baik pula, sehingga akan terwujud masyarakat yang tertib dan damai. Menurut Safitri Hariyani bahwa pelanggaran terhadap butir-butir Kodeki ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata, dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum yang dikenal dengan istilah pelanggaran etikolegal. Beberapa contoh berikut ini:
1. Pelanggaran etik murni: a. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter b. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya. c. Memuji diri sendiri dihadapan pasien. d. Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri. 2. Pelanggaran etikolegal: a. Pelayanan dokter di bawah standar. b. Menerbitkan surat keterangan palsu. c. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter. d. Tidak pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. e. Abortus provokatus. f. Pelecehan seksual33.
Deddy Rasyid memberikan contoh pelanggaran etik kedokteran semata dan pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum, yaitu sebagai berikut: 1. Pelanggaran etik kedokteran: a. Tidak memelihara kesehatannya sendiri dengan baik (melanggar Pasal 17 Kodeki). b. Melakukan perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri (melanggar Pasal 4 huruf a Kodeki). c. Tidak mengutamakan / mendahulukan kepentingan masyarakat (melanggar Pasal 8 Kodeki). d. Mengambil alih penderita dari teman sejawat tanpa persetujuan (melanggar Pasal 16 Kodeki). 2. Pelanggaran etik sekaligus pelanggaran hukum pidana: a. Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar Pasal 7 Kodeki sekaligus melanggar Pasal 267 KUHP). b. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter (melanggar Pasal 13 Kodeki sekaligus Pasal 322 KUHP). c. Tidak mau melakukan pertolongan darurat kepada orang yang menderita (melanggar Pasal 14 Kodeki sekaligus Pasal 304 KUHP)34.
Memperhatikan dari kode etik kedokteran tersebut telah tertuang dalam perundang-undang baik dalam undang-undang praktek kedokteran maupun dalam
33 Safitri Haryani, 1998, Sengketa Medik : Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Rafika Aditama, Jakarta 34 Deddy Rasyid, Perbuatan Malpraktek Dokter Dalam Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia, Tesis, UI
KUHP, sehingga dengan demikian telah berlaku sebagai hukum positif yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bersanksi hukum. Pelanggaran etik kedokteran oleh seorang dokter atau dokter gigi dapat dikenakan sanksi oleh instansi yang berwenahg untuk menjatuhkan sanksi pelanggaran etik kedokteran, yaitu Majelis Kehormatan Kode Etik Kedokteran (MKEK). MKEK merupakan badan yang berada dibawah naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Etik kedokteran yang telah tertuang dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran seperti misalnya: Pasal 2 Kodeki, seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi, hal ini tercantum dalam Pasal 27 dan 28 UU 29/2004 yaitu, untuk memberikan kompetensi kepada dokter atau dokter gigi maka calon dokter harus telah melaksanakan pendidikan kedokteran yang sesuai dengan pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi. Demikian pula walaupun dia telah berpraktek diwajibkan pula untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Pasal 10 Kodeki dalam hal seorang dokter tidak mampu melakukan pengobatan, maka atas persetujuan pasien wajib merujuk pasien pada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Hal ini telah tercantum dalam Pasal 51 UU 29/2004 kewajiban dokter merujuk pasien ke dokter lain apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan. Apabila dokter tidak melakukan merujuk pasien tersebut dokter dapat kena sanksi Pasal 79 huruf c UU 29/2004.
Pasal 12 Kodeki tentang rahasia kedokteran, telah tercantum pada Pasal 48 dan 51 UU 29/2004, seorang dokter wajib menyimpaii rahasia kedokteran kecuali untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparat penegak hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundangundangan. Apabila dokter melanggar ketentuan tersebut dapat kena sanksi Pasal 79 c UU 29/2004. Pasal 13 Kodeki tentang wajib melakukan pertolongan darurat, telah tertuang dalam Pasal 51 d UU 29/2004, apabila seorang dokter tidak melakukan kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi Pasal 79 c UU 29/2004. Pasal 18 Kodeki tentang harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, telah tertuang pula dalam Pasal 51 e UU 29/2004 yaitu, seorang dokter berkewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi, apabila dokter tidak melakukan hal itu maka dapat dikenakan sanksi Pasal 79 c. Pasal 79 UU 29/2004 tersebut memberikan ancaman maksimal 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Sedangkan Pasal 267 KUHP memberikan sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun jika seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat dan jika surat keterangan tersebut dimaksud-kan untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau menahannya disitu dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun. Sedangkan ketentuan Pasal 322 KUHP memberikan
ancaman pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 9.000,00 (sembilan ribu rupiah). 2.2.3. Standar Profesi Medis Standar profesi medis adalah, batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi (vide Pasal 50 dari UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran). Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa, apabifa dokter atau dokter gigi yang melaksanakan praktek kedokteran atau kedokteran gigi telah sesuai dengan standar profesi dan standar operasional prosedur, maka dokter atau dokter gigi tesebut berhak mendapatkan perlindungan hukum. Standar profesi adalah sebuah ukuran atau ditentukan
sebelumnya
pedoman
yang
telah
oleh organisasi profesi yang bersangkutan. Standar
inilah yang harus semaksimal mungkin diupayakan untuk dipenuhi dalam melaksanakan tugas profesinya. 2.3. Timbulnya Malpraktik Medik dari Dokter 2.3.1. Standar Pelayanan Medik Bagi Kesehatan Selain dokter harus mematuhi standar profesi medik seperti diuraikan diatas, maka dokter diharuskan pula memenuhi standar pelayanan medik dan juga standar prosedur operasional. Dalam Pasal 44 dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menyatakan:
1. Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran vvajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. 2. Standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan. 3. Standar pelayanan kesehatan tersebut ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa, standar pelayanan medik adalah suatu pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokterannya. Sedangkan yang dimaksudkan dengan strata sarana pelayanan adalah, tingkatan pelayanan yang standar tenaga dan peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan. Standar pelayanan medis ini sebagaimana perintah undang-undang praktek kedokteran seharusnya diatur melalui Keputusan Menteri Kesehatan, namun sayang hingga kini kepmen tersebut belum pernah ada. Begitu pula halnya malpraktek medis ini merupakan suatu istilah yang selalu berkonotasi buruk, bersifat stigmatis, menyalahkan. Menurut J Guwandi malpraktek medis ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan : 1. Dengan sengaja (dolus, vorsatz, willens en wetens handelen, intentional) yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dengan perkataan lain, malpraktek dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medis, melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medis yang isinya tidak benar, dan sebagainya. 2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat dan kemudian meninggal dunia (abandonment)35. Perbedaannya yang lebih jelas tampak kalau kita melihat pada motif yang dilakukannya, misalnya:
35
J. Guwandi, Op Cit, h. 20 – 21
1. Pada malpraktek (dalam arti sempit), tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang hendak ditimbulkan atau tak peduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku, sedangkan 2. Pada kelalaian, tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibat yang timbul itu disebabkan karena adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya. Dalam praktek yang terjadi selama ini, malpraktek medis dalam arti yang sengaja dilakukan (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang dan berintikan kesengajaan (criminal malpractice) dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (mens rea, fuilty mind) tidaklah banyak yang terungkap di Pengadilan pidana. Yang sering terjadi adalah kelalaian atau negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, kurang teliti, acuh, sembrono, sembarangan, tak peduli terhadap kepentingan orang lain. Namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya. Apabila kelalaian itu sudah mencapai suatu tingkat tertentu dan tidakmemperdulikan benda atau keselamatan jiwa atau benda orang lain, maka sifat kelalaian itu bisa berubah menjadi serius dan kriminal. Hukum tidak lagi bisa tinggal diam, karena sifat kelalaian ini sudah merupakan pelanggaran terhadap kepentingan umum serta pelanggaran terhadap perundang-undangan. Jika sebagai akibatnya sampai mencelakakan, menciderai atau bahkan merenggut nyawa orang
lain, maka oleh hukum tingkat kelalaian itu digolongkan sudah termasuk perumusan pidana sebagaimana tercantum di dalam Pasal 359 KUHP. 2.3.2.Resiko Medik Bagi Dokter Berbeda dengan pengertian resiko medis (ada yang menyebut dengan kecelakaan medis), karena pada resiko medis ini dokter atau dokter gigi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas akibat yang tidak dikehendaki dalam melakukan pelayanan medis (dalam malpraktek dokter atau dokter gigi dapat dituntut secara hukum). Resiko medis adalah suatu keadaan yang tidak dikehendaki baik oleh pasien maupun oleh dokter atau dokter gigi sendiri, setelah dokter atau dokter gigi berusaha semaksimal mungkin dengan telah memenuhi standar profesi, standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur, namun kecelakaan tetap juga terjadi. Dengan demikian resiko atau kecelakaan medis ini mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaar-heid), tidak dapat dicegah (vermijtbaarheid)
dan
terjadinya
tidak
dapat
diduga
sebelumnya
(verzienbaarheid). Dalam The Oxford Illustrated Dictionary (1975)36 telah dirumuskan makna kecelakaan medis atau resiko medis, adalah sebagai berikut: suatu peristiwa yang tak terduga, tindakan yang tak disengaja. Sinonim yang disebutkan adalah, accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck, J. Guwandi menyatakan bahwa makna resiko medis ini adalah sebagai berikut: Setiap tindakan medis, lebih-lebih dalam bidang operasi dan anestesia,
36
J. Guwandi, Loc Cit, h. 25
akan selalu mengandung suatu resiko. Ada resiko yang dapat diperhitungkan dan ada resiko yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya. Maka timbulnya resiko itu
harus
membuat
seminimal
mungkin,
misalnya
dengan
melakukan
pemeriksaan-pemeriksaan pendahuluan, anamnesa yang teliti atau tambahan testes laboratorium, jika dalam pemeriksaan dicurigai ada hal-hal yang perlu dipastikan terlebih dahulu.37 Walau demikian tidak semua tindakan yang tak disengaja termasuk perumusan kecelakaan atau resiko medis, karena tindakan kelalaianpun dilakukan tidak dengan sengaja. Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 hal tersebut diatur dalam Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan bahwa, dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi. Aturan lebih lanjut tentang hal tersebut akan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Namun sayangnya sampai ditulis-nya buku ini aturan dimaksud belum pernah ada.
2.3.3. Hal yang Dapat Membebaskan Dokter dari Tuntutan Hukum Dibawah ini akan dikemukakan beberapa hal yang dapat membebgskan seorang dokter atau dokter gigi dari tuntutan hukum. Hal-hal tersebut berdasarkan hukum positif Indonesia dan beberapa teori yang ditarik dari kesimpulan beberapa yunsprudensi dari sistem hukum Anglo Saxon, misalnya38 : 1. Telah melakukan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan medis dan standar operasional prosedur.
37 38
J. Guwandi, Op Cit, h. 27. J. Guwandi, Loc Cit
Sebagaimana telah diuraikan pada bahasan sebelumnya bahwa berdasarkan Pasal 50 huruf a dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran, apabila seorang dokter atau dokter gigi telah melaksanakan pelayanan medis atau praktek kedokteran telah sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional maka la (dokter atau dokter gigi) tersebut tidak dapat dituntut hukum baik hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana. 2. Informed Concent (Persetujuan Atas Informasi) Informed concert berarti, concent adalah persetujuan, sedangkan informed adalah telah diinformasikan, sehingga informed concent berarti persetujuan atas dasar informasi. Istilah lain yang sering dipergunakan adalah persetujuan tindakan medik. Sebelum melakukan tindakan medik seorang dokter berkewajiban memberikan penjelasan terhadap pasien dan/atau keluarganya tentang diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pengaturan tentang informed concent ini terdapat pada Pasal 39, 45 dari UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang menyatakan bahwa, praktek kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan
pemulihan kesehatan. Segala tindakan medik yang akan dilakukan dokter harus mendapat persetujuan pasien. 3. Contribution Negligence (Kesalahan Pasien) Selain hal-hal diatas, dokter tidak dapat dipersalahkan apabila dokter gagal atau tidak berhasil dalam penanganan terhadap pasiennya apabila, pasien tidak koperatif karena tidak menjelaskan dengan sejujurnya tentang riwayat penyakit yang pernah dideritanya serta obat-obatan yang pernah dimakannya selama sakit, atau tidak mentaati petunjuk-petunjuk serta instruksi dokter atau menolak cara pengobatan yang telah disepakati. Hal ini dianggap sebagai kesalahan pasien yang dikenal dengan istilah contribution negligence atau pasien turut bersalah. Kejujuran serta mentaati saran dan instruksi dokter ini dianggap sebagai kewajiban pasien terhadap dokter dan terhadap dirinya sendiri. 4. Respectable Minority Rules Dan Error Of (in) (Pilihan Tindakan Medis Dokter yang Keliru) Bidang kedokteran merupakan suatu bidang yang sangat kompleks, seperti dalam suatu upaya pengobatan sering terjadi ketidaksepakatan atau pendapat yang sama tentang terapi yang cocok terhadap suatu situasi medis khusus. II mu medis adalah suatu seni dan sains (art and science) disamping teknologi yang dimatangkan dalam pengalaman. Maka dapat saja cara pendekatan terhadap suatu penyakit berlainan bagi dokter yang satu dengan yang lain. Namun tetap harus berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
5. Volenti Non Fit Iniura atau Asumption of Risk (Asumsi Yang Telah Diketahui dan Beresiko) Volenti non fit iniura atau asumption of risk merupakan doktrin lama dalam ilmu hukum yang dapat pula dikenakan pada hukum medis, yaitu suatu asumsi yang sudah diketahui sebelumnya tentang adanya resiko medis yang tinggi pada pasien apabila dilakukan suatu tindakan medis padanya. Setelah penjelasan selengkapnya telah diberikan dan ternyata pasien dan/atau keluarga setuju (informed concent), apabila terjadi resiko yang telah diduga sebelumnya ini maka dokter tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan medisnya. Selain itu doktrin ini dapat juga diterapkan pada kasus pulang paksa (pulang atas kehendak sendiri walaupun dokter belum mengizinkan), maka hal semacam itu membebaskan dokter dan rumah sakit dari tuntutan hukum. 6. Respondeat Superior Atau Vicarious Liability (Hospital Liability/Corporate Liability) (Tanggung Jawab Lembaga / Atasan) Dalam sistem hukum Indonesia yang mengikuti Eropa Continental masalah tersebut diatur dalam Pasal 1367 BW, adapun maksud ketentuan pasal ini adalah, majikan berhak mengontrol tindakan bawahannya baik atas hasil yang dicapai maupun tentang cara yang digunakan. Demikian pula dengan perkembangan hukum kesehatan serta kecanggihan teknologi kedokteran, rumah sakit tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pekerjaan yang dilakukan oleh pegawainya termasuk apa yang diperbuat oleh para medis.
Hanya saja pendapat sebagian pakar hukum kita rnasih membedakan hubungan kerja antara atasan dengan bawahan dan tindakan bawahan harus dalam lingkup pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Hubungan kerja ada apabila atasan mempunyai hak secara langsung mengawasi dan mengendalikan aktivitas bawahan dalam melakukan tugas-tugasnya. Dalam hal ini pekerjaan yang dilakukan harus merupakan suatu wujud perintah yang diberikan oleh atasan. 7. Res Ipsa Loquitur (Kelalaian yang Nyata / Jelas) Doktrin res ipsa loquitur ini berkaitan secara langsung dengan beban pembuktian (onus, burden of proof), yaitu pemindahan beban pembuktian dari penggugat (pasien dan/atau keluarganya) kepada tergugat (tenaga medis). Terhadap kelalaian tertentu yang sudah nyata, jelas sehingga dapat diketahui seorang awam atau menurut pengetahuan umum antara orang awam atau profesi medis atau kedua-duanya, bahwa cacat, luka, cedera atau fakta sudah jelas nyata dari akibat kelalaian tindakan tenaga medik, dan hal semacam ini tidak memerlukan pembuktian dari penggugat akan tetapi tergugatlah yang harus membuktikan bahwa tindakannya tidak masuk katagori lalai atau keliru Asumsi dan tuduhan secara dini dari pihak pasien atau masyarakat terhadap dokter bahwa telah melakukan tindakan malpraktik medik terkadang sering suatu hal yang berlebihan, khususnya dari pihak pasien, apalagi sebagai korban atas ketidakpuasan atau kesehatan yang diharapkannya. Semua usaha tindakan medik yang dilakukan dokter bila ada dugaan atas tuduhan malpraktik medik memerlukan pembuktian secara standar medik dan hukum.
Untuk tidak secara cepat menuduh pihak dokter telah melakukan tindakan malpraktik medik. Profesi dokter adalah mulia, untuk memberikan pertolongan bagi setiap orang yang memerlukan keahliannya, sehingga dokter secara hukum mendapat perlindungan pula akan hak-haknya. Proses pembuktian atas kelalaian baik sengaja maupun tidak sengaja hukum tetap menjamin setiap profesi apapun, tidak terkecuali dokterpun mendapat perlakuan dan perlindungan yang sama dimuka hukum (azas equality before the law).