FARMASI FORENSIK KASUS MALPRAKTIK
Oleh : MADE CHANDRA WRASMITHA DEWI 0708505068
JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA BUKIT JIMBARAN 2010
KASUS Seorang warga di Tegal, Jawa Tengah tewas diduga akibat mal praktek saat dirawat di rumah sakit. Korban diberi cairan infus yang sudah kadaluarsa saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal sehingga kondisinya terus memburuk dan akhirnya tewas. Sementara itu pihak Rumah Sakit Mitra Siaga mengatakan, pemberian infus kadaluarsa tersebut bukan merupakan kesengajaan. Solihul, warga Surodadi, Tegal, Jawa Tengah meninggal Selasa (25/03/08) kemarin, di Rumah Sakit Harapan Anda Tegal. Tangis keluarga korban pun tak terbendung saat mengetahui korban sudah meninggal. Istri korban Eka Susanti bahkan berkali-kali tak sadarkan diri. Salah satu keluarga korban berteriak-teriak histeris sambil menunjukkan sisa infus kadaluarsa yang diberikan ke korban saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal Sabtu pekan lalu tempat sebelumnya korban dirawat. Pada kemasan infus tertera tanggal kadaluarsa 14 Januari 2008. Keluarga korban menuding pemberian infus kadaluarsa inilah yang menyebakan korban meninggal. Pihak Rumah Sakit Mitra Siaga dinilai teledor karena memberikan infus yang sudah kadaluarsa. Menurut keluarga korban, sejak diberi infus kadaluarsa, kondisi korban terus memburuk. Korban yang menderita gagal ginjal awalnya dirawat di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal selama 10 hari. Karena tak kunjung sembuh, pihak keluarga kemudian memutuskan merujuk korban ke RSI Islam Harapan Anda Tegal. Korban langsung menjalani perawatan di ruang ICU. Namun tiga hari menjalani perawatan di ICU kondisi korban terus memburuk, hingga akhirnya meninggal dunia. Direktur Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal, Dokter Wahyu Heru Triono mengatakan, tidak ada unsur kesengajaan dalam kasus infus kadaluarsa yang di berikan kepada pasien Solihul, namun pihaknya mengakui insiden ini menunjukkan adanya kelemahan monitoring logistik farmasi. Meski belum dapat dipastikan meninggalnya korban akibat infus kadaluarsa, pihaknya akan menjadikan kasus ini sebagai evaluasi untuk memperbaiki monitoring logistik farmasi. Sementara itu keluarga korban mengaku tetap akan menuntut pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit Mitra Siaga atas terjadinya kasus ini. Pasalnya, tidak saja telah kehilangan nyawa, namun keluarga korban tetap harus membayar biaya perawatan sebesar 7 juta rupiah. (Kuncoro Wijayanto/Sup/26-Mar-2008 PATROLI INDOSIAR)
ANALISA Banyaknya kasus malapraktik di Indonesia menunjukkan kelemahan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Kasus di atas merupakan kesalahgunaan obat (drug missuse) yang disebabkan oleh ketidaktelitian pengawasan obat di rumah sakit. Pihak yang bertanggung jawab atas kasus ini adalah dokter, perawat dan seorang farmasis. Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi 3 (1979), infus intravenus adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen, dan sedapat mungkin dibuat isotonus terhadap darah, disuntikkan langsung ke dalam vena dalam volume relatif banyak. Kecuali dinyatakan lain, infus intravenus tidak diperboehkan mengandung bakterisida dan zat dapar. Larutan untuk intravenus harus jernih dan praktis bebas partikel. Emulsi untuk infus intravena, setelah dikocok, harus homogen dan tidak menunjukkan pemisahan fase. Contoh cairan yang diberikan melalui intravena adalah nutrisi (dekstrosa, HCl, albumin), menjaga keseimbangan elektrolit (larutan ringer), untuk cairan pengganti (kombinasi dekstrosa dan NaCl), dan untuk tujuan khusus (hiperalimentasi parenteral). Jenis cairan infus dibagi menjadi tiga, yaitu cairan infus hipotonik, cairan infus isotonik, dan cairan infus hipertonik. Cairan infus hipotonik adalah cairan infus yang osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Mka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel yang mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5% (Anonim, 2010). Cairan infus isotonic adalah cairan infus yang osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline atau larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) (Anonim, 2010).
Cairan infus hipertonik adalah cairan yang osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin (Anonim, 2010). Apabila suatu sediaan farmasi sudah mengalami kadaluarsa, maka sediaan tersebt seharusnya tidak boleh digunkan lagi. Tanggal kadaluarsa obat (expiration date) adalah tanggal yang menunjukkan efektivitas dan keamanan obat untuk dipergunakan. Pada sediaan infus yang telah kadaluarsa, kemungkinan telah tumbuh mikroorganisme sehingga sediaan tersebut tidak steril yang dapat membahayakan tubuh pemakai. Apabila infus tidak steril, bakteri maupun virus (pirogen) dapat langsung berada di pembuluh darah dan menyerang organ tubuh tanpa didahului mekanisme penyaringan terlebih dahulu (BPOM, 2007). Pirogen adalah suatu produk mikroorganisme tertama dari bakteri gram negatif dan dapat berupa endotoksin dari bakteri ini. Pyrogen brbahaya bila diinjeksikan dalam jumlah besar secara intravena dan akan memberikan efek cepat yaitu peningkatan suhu badan yang berakibat fatal (Anonim, tt). Pada seorang penderita gagal ginjal, obat akan sulit untuk diekskresikan. Apabila diberikan infus yang telah kadaluarsa, obat yang mengandung mikroorganisme akan beredar cepat melalui pembuluh darah dan terjadi akumulasi, sehingga terjadi reaksi pirogenik yang akan berakibat fatal. Pada kasus di atas, korban terlebih dahulu dilakukan otopsi medikolegal untuk mengetahui sebab-sebab kematian dan mencari peristiwa apa sebenarnya yang telah terjadi. Apabila setelah dilakukannya otopsi pada korban dan diketahui penyebab kematian korban akibat infus kadaluarsa, maka perlu dilakukan pemeriksaan pada sistem pengelolaan obat di rumah sakit dan memeriksa sejumlah tenaga kesehatan yang terlibat untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya pemberian infus yang telah kadaluarsa kepada korban. Tanggung jawab dari dokter ataupun perawat adalah dalam hal pemberian dan pemasangan infus yang telah kadaluarsa. Sebelum memasang infus, seharusnya dokter ataupun perawat mengecek keadaan infus yang diberikan. Tanggung jawab seorang farmasis rumah sakit adalah dalam hal
pengawasan obat di Rumah Sakit. Kelalaian dalam
penyelenggaraan pemantauan atau pemantauan yang tidak mengikuti standar (kurang tepat) oleh farmasis klinik dapat dikatagorikan dalam kegiatan malpraktek kefarmasian. Hal inilah yang telah terjadi pada kasus di atas.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1992, pekerjaan kefarmasian tidak hanya pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, tetapi juga pengamanan pengadaan, penyimpanan, pengelolaan dan distribusi obat. Kelalaian seorang farmasis dalam memantau tanggal kadaluarsa dari suatu sediaan obat mengakibatkan hilangnya nyawa manusia. Hal ini sebenarnya dapat dihindarkan apabila seorang Farmasis berpatisipasi aktif dalam program monitoring keamanan obat dan beruhasa menciptakan sistem untuk mendeteksi secara dini suatu penyimpangan distribusi atau pengalihan obat. Bagaimanapun, sesuai dengan SK Menkes Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, seorang farmasi rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di rumah sakit tersebut dengan salah satu tugas pokok menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku (Menkes, 2009). Farmasis forensik adalah seorang farmasis yang profesinya berhubungan dengan proses peradilan, proses regulasi, atau pada lembaga penegakan hukum (criminal justice system). Salah satu peran farmasi forensik pada kasus ini adalah menganalisa reaksi berbahaya yang ditimbulkan oleh infus yang telah kadaluarsa, dan menganalisa sistem distribusi sediaan farmasi di rumah sakit tersebut. Hasil analisa kemudian dibuat sebagai suatu penjelasan terhadap kesalahan pengobatan dan farmasi forensik sebagai saksi ahli pembuktian peristiwa kasus yang terjadi sampai membuktikan pelaku yang terlibat dalam tindak kriminal tersebut. Sesuai dengan pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan saksi ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlakukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Wirasuta, tt). Keterangan ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau jaksa penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu menerima jabatan ataupun pada saat persidangan untuk dicatat dalam berita acara pemeriksaan (Pasal 186 KUHAP) (Wirasuta, tt). Apabila dari penyidikan polisi dan keterangan saksi ahli diketahui terdapat kelalaian dalam penyelenggaraan pemantauan atau pemantauan yang tidak mengikuti standar (kurang tepat) oleh farmasis klinik dapat dikategorikan dalam kegiatan malpraktek kefarmasian. Namun, apabila hasil pemeriksaan medis diketahui bahwa penyebab kematian korban bukan disebabkan oleh infus kadaluarsa, akan tetapi karena penyakit gagal ginjal kronis, maka seorang farmasis rumah sakit tidak dapat dipersalahkan dalam kasus tersebut. Maka dari itu, diperlukan otopsi terlebih dahulu untuk memperjelas penyebab kematian korban. Hal yang paling terpenting untuk menekan angka terjadinya malapraktik, harus ada saling kontrol
antara dokter, farmasis, dan perawat, karena ketiganya memiliki tanggung jawab pada kesehatan dan perawatan pasien.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Cairan Infus Intrvena, (cited 2010 Okt, 18) Available at : http://milissehat.web.id/?p=93 Anonim, tt. Pyrogen, (cited 2010 Okt, 19) Available at : http://ffarmasi.unand.ac.id/fulltext/pyrogen.pdf Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2007. Penjaminan Mutu Sediaan Infus, (cited 2010 Okt, 18) Available at : http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/0207.pdf Meteri Kesehatan RI. 1992. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/ Menkes/ SK/ XII/ 1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, (cited 2010 Okt, 7). Available at : http://keputusan-menteri-kesehatan-nomor-1333-menkes-sk-xii-1999-tentang-standarpelayanan-rumah-sakit.pdf Wibowo, M.S., Uji Endotoksin, (cited 2010 Okt, 19) Available at : http://UJI%20ENDOTOKSIN.pdf Wirasuta, I M. A. G., tt. Pengantar Menuju Ilmu Forensik.