BAB II PROFIL S.M. KARTOSOEWIRJO
Pada bab ini, akan dipaparkan profil tentang Kartosoewirjo. Kita tentu perlu tahu bagaimana latar belakang Kartosoewirjo mulai dari keluarga, lingkungan, pendidikan dan kondisi sosial yang menyelimuti Kartosoewirjo sehingga kita bisa melihat apa – apa yang mendasari gerakan sosial yang dilakukan oleh Kartosoewirjo. Selain itu latar belakang kehidupan Kartosoewirjo juga tentunya mempengaruhi dalam pembentukan karakter pribadinya. A. Masa Kecil Kartosoewirjo Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, lahir di Cepu pada tanggal 7 Januari 1905.27 Cepu merupakan sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Untuk bisa lebih memahami karakter Kartosoewirjo, akan lebih mudah bila kita memahami bagaimana kondisi sosial politik yang terjadi di Indonesia pada waktu itu yang tentu saja kondisi itu akan mempengaruhi perkembangan karakter Kartosoewirjo itu sendiri. Dalam hal ini, saya akan menggunakan pendekatan sejarah alternatif (alternative history) untuk melihat kondisi di Indonesia pada waktu itu. Pada 1901, pemerintahan Belanda yang pada waktu itu menguasai Indonesia, menerapkan kebijakan politik etis di Indonesia.28 Dan Kartosoewirjo lahir pada saat kebijakan politik etis tersebut sedang dijalankan. Kebijakan politik etis ini 27
Damien Dematra, Kartosoewirjo Pahlawan atau Teroris, Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 2011 hal. 10
28
Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, Jakarta : Darul Farah, 1999 hal.3
Universitas Sumatera Utara
mengizinkan anak – anak pribumi yang orangtuanya bekerja untuk pemerintahan Belanda berhak untuk mendapatkan pendidikan modern di sekolah – sekolah Belanda pada waktu itu. Kedudukan orang tua Kartosoewirjo waktu itu yang merupakan mantri candu di pemerintahan Belanda menyebabkan Kartosoewirjo berhak memasuki sekolah – sekolah Belanda. Hal ini tentu saja memberikan perbedaan tersendiri antara Kartosoewirjo dengan anak – anak pribumui seusianya pada waktu itu. Dimana banyak anak pribumi yang sejak kecil harus ikut membantu orang tuanya bekerja dan tidak memiliki kesempatan untuk mendapat pendidikan di sekolah modern, Kartosoewirjo dapat dikatakan beruntung dapat mengenyam pendidikan di sekolah – sekolah modern pada waktu itu. Dia juga tidak perlu banyak membantu pekerjaan orang tuanya, karena posisi ayahnya sebagai seorang mantri candu untuk pemerintahan Belanda waktu itu tidak memerlukan tenaga yang besar seperti bila bekerja sebagai petani. Hal ini memberi pengaruh kepada Kartosoewirjo ketika dia mulai menyadari bahwa anak – anak pribumi lain yang seusianya menjaga jarak dengan Kartosoewirjo hanya karena Karto merupakan anak dari seorang pribumi yang bekerja kepada Belanda. Kartosoewirjo mulai merasakan ada keanehan dengan latar belakang kondisi sosialnya, kenapa ia bisa sekolah sedangkan anak – anak lain seusianya tidak bisa mendapatkan kesempatan yang sama, hal tersebut mulai menjadi sebuah keresahan tersendiri pada Kartosoewirjo sampai dia besar nanti. B. Masa Pendidikan S.M. Kartosoewirjo Pada tahun 1901, Belanda menetapkan sistem politik etis (politik balas budi). Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak negeri yang berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena
Universitas Sumatera Utara
ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sejak kecil sudah mengenyam pendidikan di sekolah – sekolah Belanda. Dia pun termasuk anak yang pintar di sekolahnya. Namun begitu, lingkungan dia tinggal sangat kental dengan nuansa Islam. Sehingga walaupun mendapat pendidikan di sekolah Belanda, nilai – nilai ajaran Islam juga masih melekat kental dalam diri Kartosoewirjo. Pada usia 6 tahun, 1911, Kartosoewirjo mulai masuk sekolah di Inlandsche School der Tweede Klasse.29 Sekolah kelas dua yang khusus untuk anak – anak kaum pribumi. Dia termasuk murid yang pintar di kelas nya dan dapat mengikuti pelajaran – pelajaran dengan baik di sekolah. Dia memiliki banyak teman namun tidak teman dekat. Ia pun tumbuh menjadi anak yang ulet dan cerdas. Pada tahun 1917, ayah Kartosoewirjo kemudian melanjutkan sekolah Kartosewirjo ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Di sini, Kartosoewirjo segera mendapat teman – teman baru yang juga anak – anak pribumi dan bekerja untuk pemerintahan Belanda, keturunan ningrat dan juga anak anak peranakan keturunan Belanda. Sama seperti di sekolah sebelumnya, Kartosoewirjo juga merupakan seorang murid yang pintar di kelas, dan menonjol di tiap – tiap pelajaran. Pada tahun 1920, ayah Kartosoewirjo mendapat kenaikan pangkat dan dipindah tugaskan ke Bojonegoro.30 Sehingga keluarganya pun dibawa ikut pindah ke Bojonegoro. Hal ini juga memberikan efek langsung kepada sekolah Kartosoewirjo yang juga harus pindah sekolah ke Bojonegoro. Di sana, Kartosoewirjo disekolahkan di Europeesche Lagere School. Ini merupakan salah satu sekolah elite yang menggunakan sistem pendidikan Eropa 29 30
Damien Dematra, op.cit. hal. 11 Ibid, hal. 57
Universitas Sumatera Utara
dan dirancang untuk anak – anak kulit putih dan juga anak – anak peranakan Indo-Eropa di sana. Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal Ustadz Notodihardjo, seorang tokoh Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiah. Ia menanamkan pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi ajaran-ajaran Islam. Bersama ustadz Notodihardjo inilah Kartosoewirjo mulai belajar tentang Islam secara mendalam. Pada usia 18 tahun, yaitu tahun 1923, Kartosoewirjo berhasil menyelesaikan pendidikannya dari Europeesche Lagere School. Dalam pertimbangan ayah Kartosoewirjo, karena diuntungkan oleh kebijakan politik etis yang sedang diterapkan Belanda, maka tentu anaknya bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan anaknya juga harus mendapat pekerjaan yang layak dan diakui di masyarakat, yaitu antara insinyur atau dokter. Oleh karena itu ayah Kartosoewirjo memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Kartosoewirjo ke Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya.31 Di NIAS inilah sebenarnya Kartosoewirjo mulai aktif dalam perjuangan melawan Belanda. Dia tinggal di salah satu rumah kos di sekitar wilayah kampusnya. Ketika baru tiba di kos, dia pun kemudian berjalan keluar untuk melihat pemandangan kampus. Sesampainya di kampus, Kartosoewirjo melihat sebuah perkumpulan pemuda yang menamai diri mereka Jong Java. Ia pun bergabung dengan Jong Java dan mulai aktif terlibat dalam kegiatan – kegiatan di Jong Java. Sedangkan kuliahnya di NIAS harus menjalani masa kuliah umum selama 3 tahun,barulah di tahun ke-empat mulai memasuki kuliah inti. Selama 3 tahun ini Kartosoewirjo pun aktif mengikuti kegiatan perjuangan pemuda di Surabaya,
31
Ibid, hal. 65
Universitas Sumatera Utara
bersama Jong Java, dia pun aktif melakukan aksi – aksi melawan pemerintahan Belanda. Dia juga banyak membaca buku – buku dari berbagai bidang ilmu lain selain buku – buku kedokteran, dan dia juga dipinjamkan buku – buku tentang komunisme oleh pamannya, Marko Kartodikromo, seorang sastrawan dan wartawan yang cukup terkenal pada masa itu. Tentu saja pergerakan Kartosoewirjo diamati oleh pemerintahan Belanda yang tak ingin menyekolahkan seseorang hanya untuk kemudian berani melawan dan mengancam pemerintahan Belanda. Hingga suatu hari kamar kos Kartosoewirjo pun digeledah secara paksa oleh prajurit Belanda dan mereka menemukan buku – buku komunis yang dipinjamkan oleh pamannya tadi di kamar Kartosoewirjo. Komunis pada waktu itu merupakan ancaman bagi pihak Belanda, tentu saja mereka tidak suka bila warga pribumi mempelajari tentang komunisme, oleh karena itu, pada tahun ketiga tepat dimana Kartosoewirjo harus mulai melanjutkan ke perkuliahan inti, saat itu pula ia dikeluarkan dari NIAS oleh pemerintah Belanda dengan alasan terlibat dalam gerakan komunis. Dan sampai saat itu pula riwayat pendidikan formal Kartosoewirjo berakhir. Tapi bukan berarti semangat dan perjuangan Kartosoewirjo pun berakhir juga. Ketika bersekolah di NIAS, Kartosoewirjo mulai aktif dalam pergerakan perjuangan Indonesia. Begitu sampai di Surabaya Kartosoewirjo bergabung dalam gerakan Jong Java. Pada masa itu, 1920-an, Surabaya merupakan salah satu kota basis perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan juga pada masa itu, perjuangan yang dilakukan oleh para pemuda sudah tidak lagi dengan mengandalkan perang fisik menggunakan bambu runcing, melainkan dengan cara perjuangan melalui organisasi.
Universitas Sumatera Utara
Sjarikat Islam merupakan salah satu organisasi pelopor perjuangan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Tjokroaminoto merupakan pimpinan dari organisasi ini. Kartosoewirjo sejak masih kecil dan bersekolah di Bojonegoro sudah mengenal sosok Tjokro dan mengikuti ceramahnya sekali. Dari situ ia langsung menggilai tokoh yang satu ini, banyak membaca tulisannya dan juga mengikuti perkembangan pergerakan Tjokroaminoto. Tentu saja ini menjadi sangat mempengaruhi pemikiran – pemikiran dari Kartosoewirjo. Kartosoewirjo menaruh respek yang besar kepada Tjokroaminoto, melalui Tjokroaminoto pula Kartosoewirjo kemudian bertemu dan berdialog dengan Soekarno. Seperti kita tahu bahwa banyak tokoh – tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang sempat berguru dan belajar kepada Tjokroaminoto. Para pejuang kemerdekaan Indonesia mulai menyadari bahwa perjuangan untuk meraih kemerdekaan akan masih sangat sulit dilakukan karena bangsa Indonesia sendiri sampai saat itu masih sedikit sekali yang sadar akan politik. Para pemuda memahami ini dan kemudian dalam gerakan perjuangan kemerdekaan yang dilakukan, mereka merumuskan empat pemikiran pokok yang harus diperjuangkan dalam kemerdekaan, yaitu : Pertama, kesatuan nasional. Dalam masalah persatuan nasional ini, perlunya bangsa Indonesia untuk mengenyampingkan terlebih dahulu perbedaan – perbedaan yang sempit semacam perbedaan etnis serta kedaerahan. Dikarenakan perlu ada kesatuan aksi melawan Belanda dalam rangka menciptakan Negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu. Kedua, solidaritas. Masalah solidaritas ini didasari oleh suatu kebulatan tekad bersama senasib dan sepenanggungan dalam kerangka persatuan yang amat kukuh dan kokoh luar dalam antara pribumi tanpa melihat perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, non-kooperasi.
Artinya adalah gerakan perjuangan kemerdekaan
Indonesia sama sekali tidak mau berkompromi dengan segala hal yang berbau kolonial. Para pejuang kemerdekaan waktu itu menyadari bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah sukarela dari Belanda dan harus direbut dan diperjuangkan oleh seluruh rakyat bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri. Keempat, swadaya. Dengan swadaya gerakan kaum nasionalis dan mengandalkan kekuatan sendiri dan mengembangkan suatu struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi dan hokum yang kuat dan berakar dalam masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial. Inilah prinsip yang mendasari semangat perjuangan kemerdekaan waktu itu, dimana tentu saja Kartosoewirjo terlibat dalam ini. Dalam masa ketika Kartosoewirjo mulai sekolah di NIAS, dia banyak menghabiskan waktu diluar sekolah dengan organisasi pemuda yang dia ikuti, bahkan kuliah yang seharusnya menjadi tujuan utama dia di Surabaya menjadi tidak prioritas lagi bagi Kartosoewirjo. Di organisasinya, ia mulia aktif terlibat dalam diskusi – diskusi politik. Ia pun bergabung dengan organisasi Sjarikat Islam dibawah pimpinan Hadji Oemar Said Tjokroaminoto
yang
merupakan
tokoh
yang
sangat
dikagumi
oleh
Kartosoewirjo.32 Pemikiran – pemikiran Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi dari Kartosoewirjo. Lalu ketika pamannya Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan meminjamkan buku – buku komunis kepada Kartosoewirjo, buku itulah yang menyebabkan Kartosoewirjo akhirnya dikeluarkan dari sekolahnya di Surabaya, namun dikeluarkan dari sekolah tidak membuat Kartosoewirjo gentar dan ragu
32
Al Chaidar, op.cit. hal. 29
Universitas Sumatera Utara
untuk
melanjutkan perjuangannya, dia tetap ingin melawan Belanda dan
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kartosoewirjo pun tetap aktif di gerakan Jong Java, bahkan dia sempat menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya. Lalu kemudian pada tahun 1925, ketika anggota – anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita – cita keislaman mendirikan Jong Islamieten Bond, Kartosoewirjo pun lalu pindah ke organisasi ini karena memang sikap Kartosoewirjo yang menjadikan agamanya sebagai landasan utama dalam hidupnya dan perjuangannya, bukan pada paham nasionalisme, dan tak lama setelah masuk ke Jong Islamieten Bond, Kartosoewirjo terpilih menjadi ketua cabang Jong Islamieten Bond di Surabaya.33 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah seorang orator ulung. Melalui Jong Java dan juga Jong Islamieten Bond kemudian Kartosoewirjo terlibat dalam salah satu peristiwa sejarah gerakan pemuda yang menjadi titik balik perjuangan pemuda, Sumpah Pemuda. Kartosoewirjo pun terus aktif di organisasi perjuangan kemerdekaan. Dia juga bergabung dengan Sjarikat Islam, organisasi masa yang kemudian menjadikan dirinya partai politik berbasis Islam, sehingga kemudian dikenal dengan Partai Sjarikat Islam (PSI). Di dalam PSI ini Kartosoewirjo kemudian kenal dengan Oemar Said Tjokroaminoto dan juga Agoes Salim. Mereka adalah tokoh pemimpin di PSI, terlebih Tjokroaminoto, adalah merupakan sosok yang sejak lama dikagumi oleh Kartosoewirjo. Tentu saja sejak bergabung dengan Partai Sjarikat Islam, Kartosoewirjo banyak bertukar fikiran dengan pemimpin PSI mengenai pandangan politik dan juga kesamaan cita – cita untuk mendirikan suatu Negara Islam.
33
Ibid, hal. 30
Universitas Sumatera Utara
Hal yang sangat berpengaruh dalam jalan perjuangan Kartosoewirjo adalah ketika dia dikeluarkan dari sekolah NIAS di Surabaya, lalu disusul dengan meninggalnya ayah Kartosoewirjo di Bojonegoro sehingga Kartosoewirjo pun harus pulang ke Bojonegoro dan untuk membantu perekonomian ibunya, diapun mengajar di sekolah rakyat di Bojonegoro. Tak lama setelah itu, Kartosoewirjo diminta langsung oleh Tjokroaminoto untuk menjadi sekretaris Tjokroaminoto, dan Kartosoewirjo pun langsung menerima permintaan itu tanpa ragu. Keakraban secara pribadi terjalin setelah Kartosoewirjo tinggal dirumah Tjokroaminoto dan secara berkelanjutan mendapat transformasi pengalaman politik dari Tjokroaminoto.
C. Kartosoewirjo, Sjarikat Islam dan Politik Hijrah Pada awal tahun 1927 ketika dikeluarkan dari NIAS, Kartosoewirjo pulang ke Bojonegoro ke rumah orang tuanya. Kepulangan Kartosoewirjo ini setelah sebelumnya mendengar kabar bahwa orang tuanya meninggal dunia. Untuk membantu perekonomian ibunya yang ditinggal suami, Kartosoewirjo pun membantu dengan menjadi guru particular di Bojonegoro. Sampai di bulan September di tahun yang sama, Kartosoewirjo kembali ke Surabaya dan menerima tawaran Tjokroaminoto untuk menjadi sekretaris pribadinya. Kemudian Kartosoewirjo menemani Tjokroaminoto pindah ke Cimahi di dekat Bandung. Tentu saja Kartosoewirjo lalu aktif bergabung dengan organisasi Sjarikat
Islam
yang
dipimpin
oleh
Tjokroaminoto.
Dan
kepribadian
Kartosoewirjo yang tegas dan cerdas membuatnya cepat dikenal dikalangan Sjarikat Islam yang saat itu telah menjadi partai politik dan mengganti namanya menjadi PSIHT (Partai Sjarikat Islam Hindia Timoer).
Universitas Sumatera Utara
Peningkatan karir Kartosoewirjo dikalangan Partai Sjarikat Islam berkembang dengan pesat. Pada bulan desember di tahun yang sama, 1927 di kongres PSIHT yang dilaksanakan di Pekalongan, Kartosoewirjo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. Dalam kongres itu juga, diputuskan bahwa pimpinan partai harus dipindahkan ke Batavia. Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT, Kartosoewirjo juga bekerja sebagai wartawan di harian Fadjar Asia. Semula ia bertugas sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Seiring dengan tugasnya sebagai sekretaris PSIHT, maka Kartosoewirjo banyak melakukan perjalanan ke propinsi – propinsi. Pada tahun 1928 Kartosoewirjo pergi ke Malangbong, disana dia bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat, Ajengan Ardiwisastera dan juga anaknya Siti Dewi Kalsum yang kemudian dinikahi oleh Kartosoewirjo pada bulan April 1929, dan Kartosoewirjo pun lalu menetap di Malangbong. S. M. Kartosoewirjo juga bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar Asia. Ia membuat tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda. Dalam artikelnya nampak pandangan politiknya yang radikal. Ia juga menyerukan agar kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya. Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam. Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum, anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia (KPKPSII).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad. Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya, walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan pemerintah Kolonial. Prestasi Kartosoewirjo di harian Fadjar Asia juga terus berkembang, di usianya yang masih 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia, dan dia pun aktif menerbitkan artikel – artikel yang secara tegas mengkritisi hal – hal yang terjadi yang dianggapnya sebagai bentuk perlawanan terhadap para penjajah.34 Pada usianya yang masih muda, Kartosoewirjo pun lalu menjadi tokoh yang disegani oleh masyarakat, dia masih muda, pernah bersekolah di NIAS, menjadi sekretaris pribadi untuk Tjokroaminoto, lalu menjadi sekretaris PSIHT dan juga redaktur di salah satu harian yang terkemuka pada waktu itu. Mengenai Sjarikat Islam, yang sempat berganti nama menjadi Partai Sjarikat Islam Hindia Timoer, lalu pada 1929 berganti nama lagi menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia dan lebih sering disebut PSII. Karir Kartosoewirjo di PSII terus menanjak, bahkan di kongres 1929, dalam kongres partai, Kartsoewirjo terpilih menjadi wakil ketua di partai tersebut.35 Dalam organisasi Sjarikat Islam, sampai berubah menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia, tradisi non-kooperasi terhadap kelompok penjajah menjadi satu nilai 34 35
Ibid, hal. 36 Ibid, hal. 39
Universitas Sumatera Utara
yang kuat tertanam di Sjarikat Islam ini. Pada saat kongres pertama partai ini dilaksanakan yaitu tahun 1923 dan 1924, Sjarikat Islam banyak mengembangkan konsep – konsep berdikari atau swadeshi yang banyak terilhami dari perjuangan Mahatma Gandhi di India. Sehingga memang dari awal berdiri partai ini senantiasa mencoba untuk selalu tidak terikat dan tidak bergantung pada kaum kolonial. Secara praktis maka tentu partai Sjarikat Islam Indonesia ini akan menolak bentuk – bentuk kerjasama dengan kelompok penjajah dan tentu juga menolak semua pengaruh kolonial terhadap partai ini. Namun seiring berjalan waktu dan siasat licik Belanda dalam memecah belah lawannya, lambat laun memberikan pengaruh kepada Partai Sjarikat Islam. Terdapat pertentangan di dalam tubuh PSII, yaitu antara Dewan Eksekutif di bawah pimpinan Abikoesno Tjokrosoejoso yang tetap memperjuangkan politik non-kooperasi dimana dia tidak mau bekerja sama dengan kelompok kolonial. Dan pihak Dewan Partai dibawah pimpinan Agoes Salim yang cenderung pada sikap untuk bekerja sama dengan kekuasaan kolonial. Dalam pandangan Agoes Salim, seandainya politik non-kooperasi tetap diteruskan, akan ada kerugian forum politik yang akan mempercepat keruntuhan partai dan dia mendesak agar diadakan suatu referendum tentang masalah ini. Pertentangan ini cukup membawa pengaruh terhadap internal Partai Sjarikat Islam Indonesia, pihak Agoes Salim pun mengangkat isu bahwa haluan politik non-kooperatif yang dijalankan oleh Abikoesno merupakan kebijakan yang hanya mementingkan kepentingan partai dan tidak memperdulikan kepentingan rakyat. Hingga pada akhir tahun 1935, sebelum kongres partai dilaksanakan, Abikoesno melepaskan jabatannya dan langkah ini kemudian diikuti oleh Kartosoewirjo juga.
Universitas Sumatera Utara
Namun pada kongres partai ke-22 di tahun 1936, Abikoesno malah terpilih menjadi ketua partai, dan dengan peraturan baru bahwa kongres hanya menetapkan ketua saja, maka Abikoesno pun mutlak menjadi formateur dalam partai itu dan Abikoesno langsung memilih Kartosoewirjo sebagai wakilnya. Dan pada Januari 1937, Agoes Salim, Moehammad Roem, Sabirin, Sangadji, Muclish dan 23 anggota fraksi Agoes Salim dikeluarkan dari keanggotaan PSII karena pertentangan politik non-kooperasi. Dan ini semakin memicu perpecahan di kubu partai, karena Salim lalu membentuk partai Islam yang baru yang diberi nama Pergerakan Penjadar. Setelah itu, Abikoesno lalu membuat pernyataan bahwa kongres PSII tahun 1936 telah menyetujui bentuk politik non-kooperasi dan melakukan politik hidjrah yang menentang secara tegas untuk menerima kerja sama dengan kolonialisme dan menuntut penghapusan kolonialisme itu sendiri. Dan untuk penjelasan mengenai langkah politik hidjrah ini kemudian dijelaskan oleh Kartosoewirjo melalui dua jilid brosur partai yang ditulisnya. Melanjuti kebijakan politik hidjrah yang menolak untuk melakukan kerja sama dengan kolonialisme, maka pada tahun 1937 di kongres partai ke-23, dibawah pimpinan Kartosoewirjo dibentuk suatu komisi yang harus menyusun program aksi hidjrah PSII. Kartosoewirjo lalu berhasil merumuskan program aksi tersebut dan program tersebut disepakati pada tahun 1938 di kongres partai selanjutnya.36 Dalam program tersebut, Kartosoewirjo juga menyebutkan bahwa PSII harus memiliki lembaga pendidikan sendiri, dan dia mengusulkan didirikannya sekolah Soeffah PSSI, lembaga pendidikan ini kemudian secara resmi dibuka pada tahun 1939 di Malangbong di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri.37
36 37
Ibid, hal. 45 Ibid, hal. 47
Universitas Sumatera Utara
Tampak jelasa bahwa selama berada di Sjarikat Islam, Kartosoewirjo tetap teguh pendirian dalam upaya menciptakan kondisi kemerdekaan yang dibangun atas nilai – nilai Islam, dan Kartosoewirjo secara tegas melalui partai Sjarikat Islam Indonesia menolak dengan tegas segala bentuk kerjasama dengan pihak Belanda dan segala bentuk – bentuk kolonialisme. Dan Kartosoewirjo sebagai bentuk perjuangannya daripada bekerja sama dengan pemerintah Belanda, dia lebih baik mendirikan lembaga pendidikan sendiri dan mendidik kaum muda untuk masa depan yang lebih baik tanpa menerima bantuan dari kaum penjajah. Akan tetapi sangat disayangkan, karena program yang disusun tersebut tidak dapat dilaksanakan seperti seharusnya, karena situasi yang terjadi di internal partai mengalami perubahan haluan politik. Pada tahun 1939, sebagai pimpinan partai, Abikoesno mengajak Kartosoewirjo untuk memutar haluan partai dengan bergabung ke GAPI (Gabungan Politik Islam) dalam mengatasi tekanan politik pemerintah kolonial yang makin mendesak. Namun Kartosoewirjo dengan tegas menolak ajakan ini dan tetap konsisten dalam konsep politik hidjrah yang dijalankannya yaitu dengan menolak semua bentuk kompromi dan kerja sama dengan kolonialisme. Sehingga perdebatan yang sengit antara Abikoesno dan Kartosoewirjo pun tak terhindarkan. Dalam pemikiran Kartoseowirjo, tuntutan GAPI adalah dibentuknya suatu parlemen Indonesia, dan itu merupakan bentuk kompromi dan kooperasi juga yang bertentangan dengan prinsip politik hidjrah yang menentang kompromi dengan kolonialisme, hanya saja dengan corak yang berbeda. Hal ini mengakibatkan Kartosoewirjo dan teman – teman yang mendukungnya akhirnya dikeluarkan dari Partai Sjarikat Islam Indonesia.38 Namun tentu saja kepribadian dan karakter Kartosoewirjo yang tegas membuatnya tidak mundur 38
Ibid, hal. 48
Universitas Sumatera Utara
dan menyerah dari perjuangannya dan tetap melaksanakan politik hidjrah dan juga pendidikan kader. Begitu Kartosoewirjo dikeluarkan dari PSII, ia dan beberapa temannya lalu mendirikan partai independen yang diberi nama KPK PSII (Komisi Pembela Kebenaran Partai Sjarikat Islam Indonesia). Dalam pemikiran Kartosoewirjo, organisasi yang tengah dirintisnya inilah merupakan bentuk sebenarnya dari Sjarikat Islam sebenarnya. Melalui KPK PSII Kartosoewirjo lalu kemudian melanjutkan perjuangan politik hidjrahnya. Secara sederhana hidjrah artinya adalah pindah. Kartosoewirjo melihat dalam sistem sosial politik yang sedang terjadi dimana Indonesia sedang dijajah Belanda, apapun kerjasama yang dilakukan oleh Belanda hanyalah bentuk untuk mematikan perjuangan kemerdekaan bangsa dan memecah belah kesatuan kekuatan bangsa Indonesia, namun tekanan untuk ikut dalam sistem itu juga cukup besar dirasakan oleh para kaum pejaung bangsa hingga akhirnya ikut melakukan kompromi dan bekerja sama dengan Belanda merupakan langkah yang harus diambil. Namun dalam pandangan Kartoseowirjo, yang kita tahu bersama bahwa pola pikirnya sangat Islam-minded, tentu saja berkompromi menjadi hal yang tidak perlu dilakukan karena tidak akan mungkin menguntungkan bangsa Indonesia. Namun Kartosoewirjo sadar betul bahwa melawan secara fisik adalah tindakan konyol yang tidak akan berhasil. Maka cara yang paling ideal adalah hidjrah, pindah. Pindah dalam segi pemikiran bahwa tidak perlu melakukan kompromi dan kerja sama dengan koloni adalah harga mutlak karena hanya akan menimbulkan ketergantungan pada kaum penjajah, dan pendidikan yang selama ini didapat dari sekolah Belanda kepada anak – anak tertentu saja, haruslah bisa secara adil dan merata kepada semua anak.
Universitas Sumatera Utara
Jadi hidjrah disini adalah selain pindah secara fisik, namun juga secara makna bahwa pola pikir bangsa harus juga pindah dari pola pikir yang kolot, takut dan tertekan, harus pindah ke pola pikir yang kritis dan juga siap membawa perubahan dengan potensi sendiri. Begitulah politik hidjrah yang dicanangkan oleh Kartoseowirjo, bahwa bangsa Indonesia tidak perlu pindah ke wilayah lain, namun hanya sekedar pindah dari watak, tabiat dan pola pikir masing – masing individu, dan untuk itu mutlak diperlukan lembaga pendidikan. Namun begitu Kartosoewirjo dikeluarkan dari PSII, maka semua konsep yang dia buat tentang politk hidjrah ditinggalkan begitu saja, bahkan sekolah Soeffah yang di Malangbong juga ditutup. Namun melalui KPK PSII yang didirikan oleh Kartosoewirjo, pada tahun 1940 akhirnya didirikan kembali lembaga pendidikan, di Malangbong juga, dengan nama lembaga pendidikan kader Suffah. Lembaga pendidikan ini didirikan dengan konsep sebuah pesantren tradisional, dimana para siswanya juga tinggal disitu. Kartosoewirjo mengajarkan Bahasa Belanda, Astrologi dan Ilmu Tauhid kepada para siswa, selain ilmu pengetahuan umum, ilmu agama Islam, di pesantren ini juga diajarkan tentang politik agar para siswanya sadar tentang kondisi yang terjadi dan mengetahui bahwa mereka sedang tidak merdeka dan tidak bebas. Pada akhirnya nanti, lembaga pendidikan Suffah inilah yang akan menjadi basis kekuatan perjuangan Kartosoewirjo nantinya dalam menegakkan Darul Islam. D. Periode Awal Kemerdekaan Indonesia dan Kembalinya Belanda Pada bulan Maret 1942, ketika itu bala tentara Jepang yang dipimpin oleh Kolonel Shoji sudah masuk ke wilayah Jawa Barat lewar Eretan dekat Subang, mereka terus memobilisasi pasukan untuk terus bergerak menuju pusat pemerintahan kolonial di Bandung, karena di Bandung berada semua
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan kolonial
yang telah diungsikan sejak bulan Februari 1941.
Bersamaan dengan kejadian itu, Kartosoewirjo masih berada di Malangbong, di jantung Jawa Barat sehingga tidak langsung merasakan pengaruh perang tersebut. Dengan adanya serangan dadakan dari Jepang ini, maka pada tanggal 8 Maret 1942 Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kerajaan Belanda, Jenderal Ter Poorten, bersama Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Belanda, Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer, menyerahkan Indonesia tanpa syarat kepada Jepang. Pada tanggal 9 Maret 1942, di mana militer Jepang telah berhasil menaklukkan Belanda, mulailah mereka melanjutkan politik yang pernah dijalankan oleh Belanda. Niponisasi mulai diterapkan di hampir seluruh wilayah pendudukan Jepang di Indonesia. Pembaharuan di segala bidang pun kemudian dilakukan Jepang pada awal masa penjajahannya di Indonesia. Jepang sadar betul bahwa Indonesia, bangsanya telah mengenal semangat nasionalisme untuk bebas dari penjajahan yang dialami sekian lama, yang mana jika Jepang coba mencegahnya maka tentu Jepang akan mendapat perlawanan dari bangsa Indonesia. Maka Jepang coba menyakinkan masyarakat Indonesia bahwa kehadiran mereka adalah
sebagai saudara tua dalam pengertian politik, yang nantinya akan
memberikan kemerdekaan pada Indonesia. Dalam kondisi ini, Kartosoewirjo hanya menjadi tokoh regional saja, sikap hidjrahnya sangat konsekuen. Dalam masa pendudukan Jepang, dia tetap menjalankan lembaga suffah di Malangbong, hanya saja kali ini Kartosoewirjo juga banyak memberikan pendidikan militer kepada murid – muridnya, karena memang diizinkan oleh Jepang, dan saat itu Jepang juga sedang membuka pendidikan militernya di Indonesia. Sampai pada tahun 1943, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik. Dia masuk sebuah sebuah organisasi kesejahteraan dari Madjlis Islam ‘Alaa
Universitas Sumatera Utara
Indonesia dibawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus juga menjadi sekretaris dalam Majelis Baitulmal pada organisasi tersebut. Selanjutnya Kartosoewirjo berupaya untuk meneruskan gagasan awalnya yaitu suatu masyarakat Islam yang benar – benar sempurna secara ideologi. Namun organisasi ini hanya berjalan selama enam bulan saja, karena pada Oktober 1943 dibubarkan yang selanjutnya bergabung dengan Masyumi yang didirikan pada tanggal 11 November 1943 dan Kartosoewirjo pun bergabung dengan organisasi baru ini Bersamaan dengan itu, ketika situasi Perang Asia Pasifik mulai memburuk bagi Jepang, untuk lebih memanfaatkan para politikus Indonesia mendukung perjuangan Jepang, mereka bersedia memberikan konsesi yang lebih besar bagi rakyat Indonesia dari yang pernah diberikan Belanda sebelumnya. Bangsa Indonesia pun diperbolehkan membentuk organisasi bersenjata sendiri. Pertama, pada bulan Oktober 1943, terbentuknya PETA (Pembela Tanah Air) dan kemudian, pada akhir 1944 dibentuklah Hizbullah (Tentara Allah), cabang bersenjata Masyumi Islam. Kedua, pada 7 September 1944 Perdana Menteri Jepang Koiso menjanjikan Indonesia merdeka di kemudian hari kelak. Dan pada 1 Maret 1945 janji ini diulang kembali oleh panglima tertinggi Jepang yang sekaligus
mengumumkan
pembentukan
“Panitia
Penyidik
Persiapan
Kemerdekaan”. Sehubungan dengan diizinkannya Indonesia membentuk organisasi bersenjatanya sendiri, Kartosoewirjo pun lalu kemudian mengaktifkan kembali pusat pendidikan suffah yang ia dirikan di Malang untuk melatih para pemuda dengan latihan kemiliteran dengan dipersenjatai tongkat bambu. Dalam masa pendudukan Jepang ini, Kartosoewirjo pun memfungsikan kembali lembaga Suffah yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak
Universitas Sumatera Utara
memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat. Janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan bangsa Indonesia diwujudkan dengan mendirikan Dokuritsu Jumbi Chosakai, yaitu Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang didirikan pada 28 Mei 1945. Dalam Komite BPUPKI inilah terjadi perdebatan ideologis yang serius antara wakil – wakil golongan nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekuler. Perbedaan disekitar dasar ideologi Negara Indonesia yang akan merdeka menjadi perdebatan politik yang hangat saat itu. Sebagian mengusulkan Indonesia yang berdasarkan syariah Islam dan sebagian lagi mengajukan gagasan Negara Integralis dengan dasar ideologi Pancasila. Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah
saatnya
rakyat
Indonesia,
khususnya
umat
Islam,
merebut
kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar “sekuler”-nya. Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha
Universitas Sumatera Utara
menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara. Perbedaan dan perdebatan ini berlangsung terus. Namun ketika Soekarno di BPUPKI lalu menjelaskan tentang konsep nasionalismenya maka berakhirlah perdebatan itu. Keinginan dari Soekarno untuk tidak menimbulkan perpecahan, kompromi pun diambil dan tercapailah kesepakatan bersama sebagaimana terumuskan dalam Piagam Jakarta, didalamnya disepakati bahwa Pancasila merupakan dasar Negara. Di samping itu, dicantumkan pula rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya.” E. Kartosoewirjo Memproklamasikan DI/TII Pada masa pasca kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo sebenarnya termasuk orang yang terlibat aktif dalam pemerintahan. Tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah. Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang sangat mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kartosoewirjo juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat Perdana Menteri.
Universitas Sumatera Utara
Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya untuk membentuk Darul Islam di Indonesia. Kartosoewirjo kemudian memproklamirkan DI/TII pada 7 Agustus 1949 di Malang, Jawa Barat. Darul Islam yang artinya adalah Rumah Islam adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya disebutkan bahwa hukum yang berlaku dalam Darul Islam adalah hukum Islam. Lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an. F. Akhir Perjuangan Kartosoewirjo Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh. Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk menangkap Kartosoewirjo. Dan pasukan Tentara Islam Indonesia yang secara gerilya melawan pemerintah berlangsung cukup lama. Hingga perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui
Universitas Sumatera Utara
perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada September 1962. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. Kartosoewirjo menggalang kekuatan pasukan laskar Hizbullah dan Sabilillah yang kemudian menjelma menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Kartosoewirjo yang pernah menjadi wartawan di harian Fadjar Asia dengan posisi wakil pemimpin redaksi ini akhirnya pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Tasikmalaya memproklamirkan berdirinya DI/TII. Hingga kemudian bertahuntahun Kartosoewirjo dan kelompoknya menjadi buruan TNI. Pada Juni 1962 dia dibekuk di Garut. Kartosoewirjo didakwa melanggar pasal-pasal berlapis yaitu pasal 107 ayat 2, 108 ayat 2, dan 104 junto pasal 55 KUHP, juncto pasal 2 PENPRES No.5 tahun 1959 yang dimuat dalam lembaran negara No 80 tahun 1959.39 Fadli menulis setidaknya ada tiga kejahatan politik yang disangkakan pemerintah pada Kartosoewirjo. Pertama, memimpin dan mengatur penyerangan dengan maksud hendak merobohkan pemerintahan yang sah. Kedua, memimpin dan mengatur pemberontakan melawan kekuasan yang telah berdiri dengan sah yaitu Republik Indonesia. Dan ketiga, melakukan makar pembunuhan terhadap presiden yang dilakukan secara berturut-turut dan terakhir dalam peristiwa 'Idul Adha. Pada 16 Agustus 1962, pengadilan militer menjatuhkan vonis mati bagi Kartosoewirjo. Dalam proses pengadilan itu, dia juga membantah tuduhan kedua 39
Fadli Zon, Hari Terakhir Kartosoewirjo, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2012 hal. 54
Universitas Sumatera Utara
dan ketiga. Kartosoewirjo mengatakan bahwa tuduhan upaya membunuh presiden Soekarno hanya isapan jempol belaka. Kartosoewirjo pun sempat meminta grasi kepada Soekarno. Namun, saat itu Soekarno langsung menolak. Soekarno menyatakan menandatangani hukuman mati bukan suatu kesenangan. Dalam bukunya Hari Terakhir Kartosoewirjo,40 Fadli Zon menuliskan bahwa sebelum dihukum mati ada empat permintaan Kartosoewirjo kepada pemerintah Indonesia, yang mana dari empat tersebut, hanya satu permintaan yagn dikabulkan. Pertama, Kartosoewirjo meminta dipertemukan dengan keluarganya, untuk terakhir kalinya sebelum dieksekusi. Permintaan itu dikabulkan karena dianggap sesuai dengan standar hukum yang berlaku. Namun, pemerintah tidak mengabulkan tiga permintaan Kartosoewirjo lainnya. Permintaan kedua Kartosoewirjo yang tidak diterima pemerintah Indonesia adalah keinginannya untuk bertemu dengan perwira terdekatnya di TII. Permintaan itu ditolak karena dinilai ada sangkut pautnya dengan masalah politik. Permintaan ketiga yang juga ditolak adalah agar eksekusinya disaksikan oleh wakil dari keluarganya. Permintaan ini ditolak karena tidak sesuai dengan ketetapan hukum yang berlaku di Indonesia. Dan permintaan terakhir Kartosoewirjo, permintaan keempat yang juga tidak dikabulkan adalah keinginan agar jenazahnya dikembalikan ke pihak keluarga. Permintaan ini ditolak karena dalam prosedur pelaksanaan hukuman mati, tersangka yang dieksekusi dianggap hilang, termasuk juga kuburnya. Sehingga memang sampai saat ini tidak jelas dimana jenazah Kartosoewirjo dimakamkan.
40
Ibid, hal. 98
Universitas Sumatera Utara