BAB II POTENSI DAN PENDIDIKAN ANAK A. Potensi 1. Pengertian Potensi Pada dasarnya setiap individu itu memiliki kekhususan pada dirinya masing-masing, yang itu sebagai salah satu ciri untuk membedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Kekhususan itu bentuknya berupa potensi. Meskipun demikian, potensi adalah merupakan suatu konsep yang sukar untuk dimengerti, meskipun istilah ini sering digunakan dalam bahasa sehari-hari khususnya dalam dunia psikologi dan pendidikan. Untuk dapat memberikan penjelasan mengenai potensi secara cepat, jelas dan mudah untuk dipahami, maka potensi dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: a. Etimologi Kata potensi itu berasal dari bahasa Inggris yaitu potency, potential dan potentiality, yang mana dari ketiga kata tersebut memiliki arti tersendiri. Kata potency memiliki arti kekuatan, terutama kekuatan yang tersembunyi. Kemudian kata potential memiliki arti yang ditandai oleh potensi, mempunyai kemampuan terpendam untuk menampilkan atau bertindak dalam beberapa hal, terutama hal yang mencakup bakat atau intelegensia. Sedangkan kata potentiality mempunyai arti sifat yang mempunyai bakat terpendam, atau kekuatan bertindak dalam sikap yang pasti di masa mendatang.1 Dalam bahasa Arab, kata potensi dijelaskan dengan kata إﻣﻜﺎﻧﻴﺔ إﻣﻜﺎﻧﻰdan اﻻﻣﻜﺎﻧﻴﺔ, dari ketiga kata tersebut mempunyai arti potency, potential dan potentiality.2 Dari kata tersebut arahnya terfokus pada kemampuan
dasar
manusia
untuk
dapat
dikembangkan
dan
dioptimalkan dengan sebaik-baiknya. 1
M. Hafi Anshari, Kamus Psichologi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1996), hlm. 482. Munir Ba’albaqi, Al Mawrid a Basic Modern English-Arabic Dictionary, (Beirut: Darul Ilm lil Malayen, 2002), hlm. 712. 2
15
16 b. Terminologi Selain
dari
sudut
pandang
bahasa,
kata
potensi
juga
didefinisikan oleh para ahli psikologi ataupun para ahli disiplin ilmu lainnya sesuai dengan kapabilitas keilmuan masing-masing. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Jalaluddin “Potensi dalam konsep pendidikan Islam disebut fitrah yang berarti kekuatan asli yang terpendam di dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir, yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi kepribadiannya serta yang dijadikan alat untuk pengabdian dan ma’rifatullah”.3 2) Slamet Wiyono “Potensi adalah kemampuan dasar manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT. sejak dalam kandungan ibunya sampai pada saat tertentu (akhir hayatnya) yang masih terpendam di dalam dirinya menunggu untuk diwujudkan menjadi sesuatu manfaat nyata dalam kehidupan diri manusia di dunia ini dan di akhirat nanti”.4 3) Chalijah Hasan “Potensi sama dengan fitrah. Karena kata fitrah dalam bahasa psikologi disebut dengan potensialitas atau disposisi atau juga kemampuan dasar yang secara otomatis adalah mempunyai kecenderungan untuk dapat berkembang”.5 Bertolak dari pengertian atau definisi yang ada itu, maka dapat dikatakan bahwa potensi adalah sesuatu atau kemampuan dasar manusia yang telah ada dalam dirinya yang siap untuk direalisasikan menjadi kekuatan dan dimanfaatkan secara nyata dalam kehidupan manusia di dunia ini sesuai dengan tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT.
3
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 137. Slamet Wiyono, Manajemen Potensi Diri, (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 37-38. 5 Chalijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan, (Surabaya: al Ikhlas, 1994), 4
hlm. 35.
17 2. Jenis-jenis Potensi Manusia Potensi yang ada dalam setiap manusia menurut para ilmuan itu sungguh tak terbatas, akan tetapi hingga tingkat peradaban sekarang ini yang digunakan hanya satu persen dari seluruh potensi tersebut.6 Potensi diri manusia secara utuh adalah keseluruhan badan atau tubuh manusia sebagai suatu sistem yang sempurna dan paling sempurna bila dibandingkan dengan sistem makhluk ciptaan Allah lainnya. Ini sesuai dengan Firman Allah surat at Tin ayat 4:
(4 :ﺗ ﹾﻘ ِﻮ ٍﱘ )ﺍﻟﺘﲔ ﺴ ِﻦ ﺣ ﺎ ﹶﻥ ﻓِﻲ ﹶﺃﻧﺴﺎ ﺍﹾﻟِﺈﺧ ﹶﻠ ﹾﻘﻨ ﺪ ﹶﻟ ﹶﻘ Sesungguhnya kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya. (QS. al-Ti>n: 4)7 Jenis atau bentuk potensi itu sangat beragam. Menurut Hasan Langgulung Allah memberi manusia beberapa potensi atau kebolehan berkenaan dengan sifat-sifat Allah yaitu Asmaul Husna yang berjumlah 99.8 Dengan berdasarkan bahwa proses penciptaan manusia itu secara non fisik.9 Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Hijr ayat 29 sebagai berikut:
(29 :ﻦ )ﺍﳊﺠﺮ ﺎ ِﺟﺪِﻳ ﺳﻮﺍ ﹶﻟﻪﻭﺣِﻲ ﹶﻓ ﹶﻘﻌﻦ ﺭ ﻓِﻴ ِﻪ ِﻣﺨﺖ ﻧ ﹶﻔﻭ ﻪﻳﺘﻮ ﺳ ﹶﻓِﺈﺫﹶﺍ Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kepadanya dengan bersujud (QS. al-Hijr: 29)10 Dengan kata lain sifat-sifat Allah itu merupakan potensi pada manusia yang kalau dikembangkan, maka ia telah memenuhi tujuannya diciptakan, yaitu untuk ibadah kepada penciptanya.11 6
A Vaqhutika Ananda Mitra Acarya, “Neo Humanist Education”, terj. Ketut Nila, Pendidikan Neo Humanis, (Jakarta: Persatuan Ananda Marga Indonesia, 1991), hlm. 4. 7 Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 1076. 8 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: al Ma’arif, 1980), hlm. 20 9 Ibid., hlm. 21. 10 Soenarjo, op. cit., hlm. 393. 11 Hasan Langgulung, loc. cit.
18 Sedangkan apabila diidentifikasi secara garis besarnya manusia dibekali tiga potensi dasar yaitu: 1) Roh. Potensi ini lebih cenderung pada potensi tauhid dalam bentuk adanya kecenderungan untuk mengabdi pada penciptanya. 2) Potensi jasmani berupa bentuk fisik dan faalnya serta konstitusi biokimia yang teramu dalam bentuk materi. 3) Potensi Rohani, berupa konstitusi non materi yang terintegrasi dalam komponen-komponen yang terintegrasi. 12 Sedangkan menurut Jalaluddin, secara garis besarnya membagi potensi manusia menjadi empat, yang secara fitrah sudah dianugerahkan Allah kepada manusia,13 yaitu sebagai berikut: a. Hida>yah al-Ghari>zziyah/ wujdaniyah (naluri) Potensi
naluriyah
disebut
juga
dengan
istilah
hidayah
wujdaniyah yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi ini.14 Potensi ini dapat dikatakan sebagai suatu kemampuan berbuat tanpa melalui proses belajar mengajar.15 Dalam potensi ini memberikan dorongan primer yang berfungsi untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Di antara dorongan itu adalah insting untuk memelihara diri seperti makan minum, dorongan untuk mempertahankan diri seperti nafsu marah dan dorongan untuk mengembangkan diri. Dorongan ini contohnya adalah naluri seksual.16
12
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 110 13 Jalaluddin, op. cit., hlm. 32. 14 Djamaluddin Darwis, “Manusia menurut Pandangan Qur’ani”, dalam Chabib Thoha dkk., Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 102. 15 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 24. 16 Jaluddin, op. cit., hlm. 33.
19 b. Hida>yah al-Hissiyyah (indra) Secara umum kita dapat mengenali potensi indera kita dengan sebutan pancaindera yaitu indera yang berjumlah lima.17 Potensi yang Allah berikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan inderawi sebagai penyempurna potensi yang pertama. Pancaindera ini merupakan
jendela
komunikasi
untuk
mengetahui
lingkungan
kehidupan manusia,18 sehingga dari sini manusia akan mendapatkan ilmu dan pengetahuan . Potensi inderawi yang umum dikenal itu berupa indera penciuman, perabaan, pendengar dan perasa. Namun, di luar itu masih ada sejumlah alat indera dengan memanfaatkan alat indera lain yang sudah siap.19 Yang oleh Toto Tasmara dikaitkan dengan fuad yang merupakan potensi qalbu yang berfungsi untuk mengolah informasi yang sering dilambangkan berada dalam otak manusia (fungsi rasio, kognitif). Fuad mempunyai tanggung jawab intelektual yang jujur kepada apa yang dilihatnya,20 yang menurut al-Ghazali fuad/qalb merupakan alat dan wadah guna memperoleh ilmu pengetahuan.21 c. Hida>yah al-‘Aqliyah (akal) Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami
simbol-simbol
hal-hal
yang
abstrak,
menganalisa,
membandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan antara yang benar dan yang salah.22 Potensi akal ini sebagai organ yang ada dalam manusia yang untuk membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain.23
17
Slamet Wiyono, loc. cit. Djamaluddin Darwis, loc. cit. 19 Jalaluddin, op. cit., hlm. 33-34. 20 Toto Tasmara, Kecerdasan Rohaniah: Transcendental Intelligence, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 94. 21 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 291. 22 Jalaluddin, op. cit., hlm. 34. 23 Umary Barmawie, Material Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1995), hlm. 21. 18
20 Akal sebagai potensi manusia dalam pandangan Islam itu berbeda dengan otak. Akal di sini diartikan sebagai daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal dalam Islam merupakan ikatan dari tiga unsur, yaitu pikiran, perasaan dan kemauan. Bila ikatan itu tidak ada, maka tidak ada akal itu.24 Akal diartikan juga sebagai sifat yang untuk memahami dan menemukan pengetahuan dan sebagai unsur pemahaman dalam diri manusia yang mengenal hakekat segala sesuatu. Terkadang akal ini disebut kalbu jasmaniyah, yang ada dalam dada, sebab antara kalbu jasmani dengan lat}i>fah ‘amaliyah mempunyai hubungan unik. Karena hubungannya dengan seluruh tubuh harus melalui kalbu jasmani tersebut. Kalbu jasmani itulah yang merupakan naluri tubuh sekaligus sebagai pusat bagi seluruh gerak tubuh.25 Dalam konteks ayat-ayat al-Qur’an kata ‘aql dapat dipahami sebagai daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu. Dorongan moral dan daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah.26 Selain itu, akal merupakan pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah dalam menghadapi segala sesuatu, baik yang tampak jelas maupun yang tidak jelas.27 Dengan potensi akal ini, manusia akan mampu berpikir dan berkreasi menggali dan menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepada manusia untuk fungsi kekhalifahannya. Dan potensi akal inilah yang ada dalam diri manusia sebagai sumber kekuatan yang luar biasa dan dahsyat yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.28
24 Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 158. 25 Abu Hamid al-Ghazali, “Raudhah al-Thalibin wa Umdah al-Shalihin”, terj. Mohammad Luqman Hakim, Raudha: Taman Jiwa Kaum Sufi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 48. 26 Muhammad Quraish Shihab, op. cit., hlm. 294-295. 27 Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia Diungkap Qur’an, terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 22 28 Akal manusia atas unsur rasio dan hati rasa. Akal manusia akan berfungsi dengan baik, mana kata hati hatinya baik suci dan senantiasa beriman. Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani press, 1996), hlm. 85-86.
21 d. Hida>yah Di>niyah (keagamaan) Pada dasarnya dalam diri manusia sudah ada yang namanya potensi keagamaan, yaitu dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.29 Dalam Islam potensi yang hubungannya dengan keagamaan disebut fitrah, yaitu kemampuan yang telah Allah ciptakan dalam diri manusia, untuk mengenal Allah. Inilah bentuk alami yang dengannya seorang anak tercipta dalam rahim ibunya sehingga dia mampu menerima agama yang hak.30 Potensi fitrah (keagamaan) merupakan bawaan alami. Artinya ia merupakan sesuatu yang melekat dalam diri manusia (bawaan), dan bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha (muktasabah).31 Potensi fitrah pada intinya sudah diterima dalam jiwa manusia sendiri dan merupakan potensi yang hebat, energi dahsyat yang tidak ditundukkan oleh kekuatan lahiriyah yang konkrit apabila ia dikerahkan, diarahkan dan dilepaskan secara wajar menurut apa yang telah diterapkan.32 Bentuk potensi ini menunjukkan bahwa manusia sejak asal kejadiannya membawa potensi beragama yang lurus dan ini merupakan pondasi dasar dalam agama Islam untuk mengarahkan potensi-potensi yang ada dari insting, inderawi dan aqli. Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat al Rum ayat 30:
ﺮ ﺮ ﹶﺓ ﺍﻟ ﱠﻠ ِﻪ ﺍﱠﻟﺘِﻲ ﹶﻓ ﹶﻄ ﺣﻨِﻴﻔﹰﺎ ِﻓ ﹾﻄ ﻳ ِﻦﻚ ﻟِﻠﺪ ﻬ ﺟ ﻭ ﻢ ﹶﻓﹶﺄ ِﻗ ﻴﻢﻦ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ ﻳﻚ ﺍﻟﺪ ﷲ ﹶﺫِﻟ ِ ﺨ ﹾﻠ ِﻖ ﺍ ﺒﺪِﻳ ﹶﻞ ِﻟ ﺗ ﺎ ﹶﻻﻴﻬ ﻋ ﹶﻠ ﺱ ﺎﺍﻟﻨ (30:ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻟﺮﻭﻡﻌ ﹶﻠﻤ ﻳﺱ ﹶﻻ ِ ﺎﺮ ﺍﻟﻨ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻛﹶﺜ ﻭﹶﻟ ِﻜ Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah itu. Tidak ada 29
Jalaluddin, op. cit., hlm. 34. Yasien Muhammad, Insan yang Suci: Konsep Fitrah dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 20 31 Murtadha Muthahari, Fitrah, terj. Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera Basritama, 1998), hlm. 20. 32 Sayyid Qutb, Hari Esok untuk Islam, terj. Janaluddin Kafie, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), hlm. 84. 30
22 perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tdiak mengetahuinya (QS. al-Rum: 30)33 Keempat hidayah tersebut menurut Munawar Khalil sebagaimana dikutip Jamaluddin Darwis masih bersifat umum, sedangkan hidayah yang bersifat khusus berupa hidayah taufiqiyah. Hidayah taufiqiyah adalah hidayah yang bersifat khusus, sehingga sekalipun agama telah diturunkan untuk keselamatan manusia, tidak semua manusia dapat menerima kehadirannya. Banyak manusia yang tidak menggunakan akalnya dalam kendali agama, melainkan membiarkan bebas dan didewasakan dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Untuk itu, agama bertugas menuntun agar manusia diberi petunjuk ke jalan yang lurus berupa hidayah dan taufiq untuk menuju kesuksesan. Hidayah ini merupakan pertolongan Allah yang bersifat khusus, dan tidak semua orang menerimanya. Ia menjadi dambaan setiap muslim sebagaimana yang selalu dibaca dalam doa surat al-Fatihah, “Ihdina al-Shirat al-Mustaqim “Ya Allah tunjukanlah kami ke jalan yang lurus.34 Potensi sebagai kemampuan dasar dari manusia yang bersifat fitri yang terbawa sejak lahir memiliki komponen-komponen dasar yang dapat ditumbuhkembangkan melalui pendidikan. Karena komponen dasar ini bersifat dinamis, responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar, di antaranya adalah lingkungan pendidikan. Komponen-komponen dasar itu meliputi hal-hal sebagai berikut:35 1) Bakat Bakat dalam hal ini dekat pengertiannya dengan kata aptitude yang
berarti
kecakapan
pembawaan,
yaitu
yang
mengenai
kesanggupan. Kesanggupan (potensi-potensi) tertentu36 Bakat ini akan
33
Soenarjo, op. cit., hlm. 645. Jamaludin Darwis, MMMMMMMMMMMMMMMMM 35 Muhaimin dan Abdul Mujib, op. cit., hlm. 29. 36 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 69. 34
23 tampak nyata jika ia mendapat kesempatan atau kemungkinan untuk berkembang. Menurut William B. Michael sebagaimana dikutip oleh Sumadi Suryabrata, meninjau bakat itu terutama dari segi kemampuan individu untuk melakukan suatu tugas yang sedikit sekali tergantung kepada latihan.37 Titik tekan dalam bakat adalah dari segi apa yang dapat dilakukan individu. Adapun Guillford menjelaskan, bahwa aptitude mencakup tiga dimensi psikologis, yaitu perseptual, psikomotor dan intelektual.38 Dari ketiga dimensi tersebut saling mendukung terwujudnya bakat dalam diri individu. Pada dasarnya bakat merupakan kemampuan bawaan sejak lahir sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar terwujud suatu tindakan yang dapat dilakukan di masa mendatang.39 Seseorang yang memiliki bakat tertentu sejak kecilnya, tetapi tidak memperoleh kesempatan untuk berkembang yang disebabkan tidak ada dana untuk latihan, maka bakatnya tidak dapat berkembang. Hal ini biasanya dikatakan sebagai bakat terpendam. Pada umumnya anak-anak mempunyai bakat yang dapat diketahui orang tuanya dengan memperhatikan tingkah laku dan kegiatan anaknya sejak dari kecil. Biasanya anak yang memiliki bakat dalam suatu bidang, dia akan gemar sekali melakukan/ membicarakan bidang tersebut.40 Oleh karena itu, cassidy menyebabkan lima hal sebagaimana dikutip Reni Akbar dan Hawadi yang mungkin dapat menjadi pegangan bagi orang tua dalam mendidik anaknya yang tegolong berbakat: 1. Berlaku sebagai pendorong anak dengan sekolahnya di dalam memberikan informasi tentang kekuatan-kekuatan dan gaya belajar yang dimiliki anak. 37
160.
38
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.
Ibid., hlm. 161-162. Sc. Utami Munandar, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), hlm. 17-18. 40 M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 128. 39
24 2. Menyediakan kesempatan belajar di rumah/di luar rumah. 3. Bantulah anak pada setiap tugas yang diberikan oleh sekolah. 4. Berperan sebagaai mentor dan tidak segan-segan bertukar pikiran dengan orang tua lainnya maupun anak yang lain. 5. Mengembangkan materi pelajaran yang diberikan untuk anak sesuai dengan minat dan kemampuannya.41 Dari penjelasan itu menunjukkan bahwa dalam diri anak terdapat kemampuan dasar dan dalam mengembangkannya butuh pengajaran. Karena pada dasarnya kecakapan ini berkembang dengan perpaduan antara dasar dengan training (ajar/latihan) yang intensif dan pengalaman. 2) Insting atau gha>rizah Insting atau gharizah adalah suatu kemampuan berbuat atau beringkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting inipun merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam dunia psikologi pendidikan,
kemampuan ini disebut dengan istilah
“kapabilitas”.42 Naluri (gha>rizah) kebanyakan digunakan untuk binatang dan jarang sekali untuk manusia. Sebab hakekat naluri yang sebenarnya masih belum jelas hingga saat ini.43 Namun demikian masih terdapat beberapa pendapat mengenai insting oleh beberapa sarjana yang memberikan ta’ri>f naluri sebagai suatu sifat yang dapat menimbulkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berfikir terlebih dahulu ke arah tujuan itu tanpa didahului latihan perbuatan itu.44 Insting merupakan tendensi khusus dari jiwa manusia/binatang yang menimbulkan tingkah laku yang sudah terbawa sejak lahir tanpa melalui proses belajar.
41 Reni Akbar dan Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal Sifat, Bakat dan Kemampuan Anak, (Jakarta: Grasindo, 2003), hlm. 150. 42 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 101. 43 Murtadha Muthahari, op. cit., hlm. 18-19. 44 Hamzah Ya’qub, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul Karimah Suatu Pengantar, (Bandung: Diponegoro, 1983), hlm. 58.
25 3) Nafsu dan dorongan-dorongan (drives) Nafsu adalah makna keseluruhan dari potensi amarah dan senang yang ada dalam diri manusia.45 Nafsu mempunyai arti juga sebagai organ rohani yang besar pengaruhnya dan yang paling banyak di antara anggota rohani yang mengeluarkan instruksi kepada anggota jasmani untuk berbuat atau bertindak.46 Nafsu juga merupakan tenaga potensial yang berupa dorongan-dorongan untuk berbuat dan bertindak kreatif dan dinamis yang dapat berkembang kepada dua arah, yaitu kebaikan dan kejahatan.47 Ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Syams ayat 7 sebagai berikut:
(7-8 :ﺎ )ﺍﻟﺸﻤﺲﺍﻫﺗ ﹾﻘﻮﻭ ﺎﺭﻫ ﻮﺎ ﹸﻓﺠﻤﻬ ﻬ ﹶﻓﹶﺄﹾﻟ.ﺎﺍﻫﺳﻮ ﺎﻭﻣ ﺲ ٍ ﻧ ﹾﻔﻭ Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan. Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. alSyams: 7-8)48 Inilah yang menunjukkan, bahwa nafsu itu berpotensi positif dan negatif. Akan tetapi diperoleh pula isyarat, bahwa hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dari negatif, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut
untuk
dapat
memelihara
kesucian
nafsu
dan
tidak
mengotorinya. 4) Karakter atau tabiat manusia Watak tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak lahir. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral, sosial serta etis seseorang. Karakter dan tabiat ini terbentuk dari diri manusia dan bukan dari pengaruh luar dan berhubungan erat dengan kepribadian seseorang. Oleh karena itu ciri keduanya hampir tidak dapat dibedakan dengan jelas.49
45
Abu Hamid al-Ghazali, op. cit., hlm. 48. Barmawy Umary, op. cit., hlm. 22. 47 Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, (Jakarta: Alfbeta, 1993), hlm. 13. 48 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 1064. 49 M. Arifin, op. cit., hlm. 103. 46
26 5) Hereditas Hereditas atau keturunan adalah merupakan faktor kemampuan dasar yang mendukung ciri-ciri psikologis dan fisiologis yang diturunkan oleh orang tua baik dalam garis yang dekat maupun yang telah jauh.50 Hereditas ini lebih mengarah pada bentuk fisik dan kejiwaan yang dimiliki oleh individu lebih identik atau memiliki kesamaan dengan orang-orang terdekatnya seperti kedua orang tuanya. 6) Intuisi Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu. Intuisi ini dapat bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar. Artinya suatu permasalahan itu muncul dalam keadaan orang itu tidak sedang menggelutinya, tetapi jawaban serta merta muncul dibenaknya.51 Intuisi adalah kegiatan berfikir yang tidak analitis, tidak berdasarkan pada pola berfikir tertentu. Pendapat yang berdasarkan intuisi ini timbul dari pengetahuan yang terdahulu melalui suatu proses berfikir yang tidak disadari. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa intiusi merupakan pengalaman puncak. Pendapat lain mengatakan, bahwa intuisi merupakan intelegensi yang paling tinggi.52 Intuisi hanya diberikan Tuhan kepada jiwa manusia yang bersih dan dirasakan sebagai getaran hati nurani yang merupakan panggilan Tuhan untuk berbuat sesuatu yang amat khusus. Berbagai potensi yang ada pada diri kita ini seyogyanya dimanage atau dikelola dengan baik, kemudian digunakan secara optimal dalam 50
Ibid. Amin Syukur dkk., Metodologi Studi Islam, (Semarang: Gunung Jati, 1998), hlm. 117. Menurut Iqbal, “intuisi” diartikan ganda. Pendapat pertama, mengikuti Jalaludin Rumi yang mengartikan intuisi adalah qalb/fuad, yaitu sejenis batin atau wawasan yang dengan kata-kata Rumi Indah yang hidup dari sinar dan mengenalkan kepada masalah-masalah kenyataan, selain dari yang terbuka bagi serapan indera. Pendapat lain Iqbal mengikuti Bergson yang mendefinisikan intuisi adalah sebagai a Higher kind of intelectual, yaitu bagian yang lebih tinggi dari intelek. Danusiri, Etimologi dalam Tasawuf Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 48-49. 52 Ibnu Mas’ud dan Joko Paryono, Ilmu Alamiah Dasar, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 16-17. 51
27 hidup ini dan akhirnya yang sangat penting adalah mengendalikan potensipotensi tersebut agar selalu dapat memberikan kesuksesan, kebaikan, kebahagiaan dan keberuntungan dalam hidup, baik di dunia maupun di akherat nanti. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Potensi Manusia Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dan dilengkapi dengan berbagai potensi yang tidak terbatas jumlahnya. Potensi-potensi tersebut harus mendapatkan tempat dan perhatian serta pengaruh dari manusia itu sendiri, seperti pembawaan dan keturunan. Selain dari faktor manusia, terdapat pula faktor dari luar, seperti lingkungan. Semua ini untuk mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif. Dalam perkembangan individu, ada beberapa kekuatan atau faktorfaktor yang turut berperan dalam menentukan bagaimana perkembangan tersebut, sehingga dalam hal ini akan diuraikan tentang faktor-faktor yang berperan dalam perkembangan individu yang berhubungan dengan potensi yang dimilikinya. a. Faktor pembawaan Pembawaan atau bakat merupakan potensi-potensi yang memberikan kemungkinan kepada seseorang untuk berkembang menjadi sesuatu. Berkembang atau tidaknya potensi yang ada pada diri individu sangat bergantung kepada faktor-faktor lain. Aliran Nativisme berpendapat, bahwa perkembangan individu itu ditentukan oleh pembawaan yang ada pada dirinya masing-masing.53 Aliran ini menyatakan, bahwa perkembangan anak dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya. Proses kependidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi jiwa anak didik tidak berdaya merubahnya.54 Potensi yang bercorak nativistik ini berkaitan juga dengan faktor hereditas yang bersumber dari orang tua, 53 Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1973), hlm. 183. 54 M. Arifin, op. cit., hlm. 89.
28 termasuk keturunan beragama (religiousitas). Aliran nativisme mengesampingkan faktor-faktor eksternal, seperti pendidikan atau lingkungan serta pengalaman tidak ada artinya bagi perkembangan hidup manusia.55 Sejalan
dengan
aliran
nativisme,
aliran
naturalisme
mengatakan, bahwa individu sejak dilahirkan adalah memiliki potensi baik. Perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh pendidikan itu baik, maka akan menjadi baik, begitu pula sebaliknya.56 Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa anak atau manusia itu sejak dilahirkan telah mempunyai kesanggupan untuk berjalan, potensi untuk berkata-kata dan lain-lain. Potensi-potensi yang bermacam-macam yang ada pada anak itu, tentu saja tidak begitu saja dapat direalisasikan atau dengan begitu saja dapat menyatakan diri dalam perwujudan untuk dapat diwujudkan, sehingga kelihatan dengan nyata potensi-potensi tersebut harus dikembangkan dan dilatih. b. Faktor lingkungan Lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang ada di luar diri anak yang memberikan pengaruh terhadap perkembangannya. Karena perkembangan anak itu juga dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan. Karena lingkungan juga merupakan arena yang memberikan kesempatan pada kemungkinan-kemungkinan (potensi) yang ada pada seseorang anak untuk dapat berkembang.57 Pengaruh lingkungan sangat besar bagi setiap pertumbuhan fisik. Sejak individu masih berada dalam konsepsi, lingkungan telah 55
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 64. M. Ngalim Purwanto, op. cit., hlm. 59. 57 Amir Daien Indrakusuma, op. cit., hlm. 84. lingkungan di sini meliputi semua keadaaan, baik berupa orang, benda, kejadian atau peristiwa yang ada di sekeliling anak yang mempunyai pengaruh pada perkembangan dan pendidikan anak. lihat, Abu Ahmad, Ilmu Pendidikan, (Semarang: Toha Putra, Semarang: 1977), hlm. 20. Sementara itu menurut Sartain, lingkungan itu dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1) Lingkungan alam luar (external or pysical enviroment); 2) lingkungan dalam (internal enviroment); 3) lingkungan sosial/masyarakat (social enviroment). Lebih lanjut baca, M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 28. 56
29 ikut memberi andil bagi proses pembuahan, pertumbuhan, suhu, makanan, keadaan gizi, vitamin, mineral, kesehatan jasmani, aktivitas dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan anak.58 Sebaik apapun potensi atau pembawaan seorang anak, maka tanpa adanya kesempatan dan pendidikan, maka potensi atau pembawaan yang baik itu akan tetap hanya merupakan pembawaan saja dan tidak berkembang. Sebaliknya meskipun potensi atau pembawaan itu kurang baik, tetapi lingkungan memberi dorongan yang cukup dan kesempatan yang leluasa, maka potensi yang kurang baik itu bisa berkembang mencapai tingkat yang maksimal.59 Dari kedua pendapat tersebut, masing-masing ada benarnya. Bahwasanya potensi anak itu dipengaruhi oleh faktor bawaan yang merupakan warisan dari orang tuanya dan dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan di mana anak itu tumbuh dan berkembang. Akan tetapi kurang relevan apabila faktor pembawaan dan lingkungan itu dikatakan secara mutlak mempengaruhi potensi yang ada pada anak. karena pada intinya kedua faktor itu sama-sama mempunyai pengaruh, sehingga dari sinilah muncul teori yang dikenal dengan teori konvergensi. c. Teori Fitrah Menurut Islam, fitrah merupakan potensi dasar manusia. Karena manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu tauhid. Berangkat dari ajaran fitrah ini, manusia pada hakekatnya beriman by nature.60 Hal ini diperjelas dengan Firman Allah SWT. dalam surat al-A’raf ayat 172 sebagai berikut:
58
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm, 87-88. Ibid., hlm. 85. 60 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 47. 59
30
ﻋﻠﹶﻰ ﻢ ﺪﻫ ﻬ ﺷ ﻭﹶﺃ ﻢ ﻬ ﺘﻳﺭ ﻢ ﹸﺫ ﻮ ِﺭ ِﻫﻦ ﹸﻇﻬ ﻡ ِﻣ ﺩ َﺑﻨِﻲ ﺍ ﻦ ﻚ ِﻣ ﺑﺭ ﺧ ﹶﺬ ﻭِﺇ ﹾﺫ ﹶﺃ ﺎﺎ ﹸﻛﻨﻣ ِﺔ ِﺇﻧ ﺎﻡ ﺍﹾﻟ ِﻘﻴ ﻮ ﻳ ﺗﻘﹸﻮﻟﹸﻮﺍ ﺎ ﹶﺃ ﹾﻥﺪﻧ ﺷ ِﻬ ﺑﻠﹶﻰ ﻢ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺑﻜﹸﺮ ِﺑﺴﺖ ﻢ ﹶﺃﹶﻟ ﺴ ِﻬ ِ ﻧﻔﹸﹶﺃ (172 :ﲔ )ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ ﻫﺬﹶﺍ ﻏﹶﺎ ِﻓ ِﻠ ﻦ ﻋ Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: (Betul Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kami tidak mengatakan: “sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Tuhan).61 Dalam ayat atas, Allah bermaksud membuktikan ketuhanan-Nya dengan mempersaksikan kepada manusia tentang hakikat dirinya sendiri. Hakikat itu adalah bahwa manusia mempunyai kebutuhan dalam segi kebutuhannya, baik dari segi wujudnya maupun berbagai tuntutan dan hukum yang berkenaan dengan wujudnya. Sementara itu, manusia sendiri adalah makhluk yang lemah, tidak mampu menguasai, mengatur dan memelihara dirinya sendiri, sehingga ia membutuhkan penguasa, pengatur dan pemeliharaannya, dan itu bukan lain adalah Allah SWT.62 Sementara itu dalam konsep fitrah, Islam menegaskan bahwa manusia memiliki fitrah dan sumber daya insani, serta bakat-bakat bawaan atau keturunan. Meskipun semua itu masih merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan, fitrah di sini tidak berarti kosong atau bersih seperti teori tabularasa, tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial. Karena masih merupakan potensi, maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan.63
61
Soenarjo, op. cit., hlm. 250. Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 121. 63 Ahmadi, op. cit., hlm. 76-77. 62
31 Secara fitrah, manusia sadar akan Tuhannya, kesadarankesadaran itu adalah suara fitrah yang ada pada diri manusia itu sendiri. Namun dengan kesibukan dari pengaruh lingkungan, pengaruh kawan dan pengaruh dosa-dosa yang diperbuatnya, maka suara fitrah itu menjadi lemah dan sayup-sayup atau bahkan bisa jadi tidak terdengar oleh dirinya sendiri.64 Ini semua menunjukkan adanya pengaruh internal dalam diri manusia berupa keimanan dalam pribadi, dan pengaruh eksternal yang berupa kegiatan sosialitas dalam kehidupan bermasyarakat. Faktor pembawaan dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap potensi yang ada pada manusia khususnya pada potensi fitrah (keberagamaan) sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:
:ﻢ ﺳ ﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪ ﻋ ﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ:ﻮﻝﹸ ﻳﻘﹸ ﻛﹶﺎ ﹶﻥﻧﻪﺮ ﹶﺓ ﹶﺃ ﻳﺮ ﻲ ﻫ ﻦ ﹶﺍِﺑ ﻋ ﻭ ﺍِﻧ ِﻪ ﹶﺍﺼﺮ ﻨﻳﻭ ﺍِﻧ ِﻪ ﹶﺍﻮﺩ ﻬ ﻳ ﻩ ﺍﺑﻮﺮ ِﺓ ﹶﻓﹶﺎ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ِﻔ ﹾﻄ ﻮﹶﻟﺪ ﻮ ٍﺩ ِﺇ ﱠﻻ ﻳ ﻮﹸﻟ ﻣ ﻦ ﺎ ِﻣ"ﻣ 65
( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ.ﺎِﻧ ِﻪﺠﺴ ﻤ ﻳ
Artinya: Dari Abu Hurairah, beliau berkata: bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda: “Tiada seorang manusia dilahirkan kecuali dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nashrani atau Majusi”. (HR. Muslim) Atas dasar hadis Nabi di atas, maka kita dapat memperoleh petunjuk bahwa fitrah yang dibawa sejak lahir ternyata dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Fitrah tanpa memperdulikan kondisikondisi sekitar, tidak dapat berkembang ia mungkin mengalami modifikasi atau malah berubah drastis jika saja lingkungan tidak favorable bagi perkembangan dirinya. Fitrah berinteraksi dengan faktor-faktor eksternal sifatnya bergantung pada perjalanan panjang interaksi semacam ini. Tetapi pernyataan ini bukan berarti manusia 64
Qadri Azizy, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 39. 65 Imam ibn Husain Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisaburiy, Shahih Muslim, Juz IV, (Beirut, Libanon: Dar al- Ma’arif, t.th.), hlm. 2048.
32 merupakan budak lingkungannya sebagaimana dikemukakan madzhab behaviourisme.66 Kandungan lain yang terdapat dalam hadis di atas adalah fitrah yang merupakan suatu pembawaan setiap manusia sejak lahir dan mengandung nilai-nilai religi sebagaimana yang tersirat pada kalimat bagian kedua serta keberlakuannya secara mutlak. Penyimpangan fitrah yang merupakan akibat dari faktor lingkungan (pendidikan). Di dalam fitrah mengandung pengertian baik-buruk, benar-salah, indahjelek, lempeng-sesat, dan seterusnya. Pelestarian fitrah ini dapat ditempuh
lewat
pemeliharaan
sejak
awal
(preventif)
atau
mengembalikan pada kebaikan setelah ia mengalami penyimpangan (kuratif).67 Al-Qur’an mengajarkan kepada kita, bahwa setiap individu itu mempunyai fitrah sejak lahirnya. Yang dimaksudkan dengan fitrah di sini, adalah kemampuan dasar dan kecenderungan-kecenderungan yang murni bagi setiap individu. Kemampuan dan kecenderungan tersebut lahir dalam bentuk yang sangat sederhana dan terbatas, kemudian saling mempengaruhi dalam lingkungan yang pada akhirnya tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik atau sebaliknya.68 Potensi manusia pada asal penciptaannya adalah suci dan selamat dari penyimpangan. Dengan demikian, berarti penyimpangan dan perubahan yang terjadi padanya adalah karena penyakit luar dan virus yang senantiasa menyerangnya. Hal ini tak ubahnya bagaikan tubuh manusia, di mana pada asal penciptaannya ia selamat dari segala macam penyakit. Namun jika ternyata tubuh tersebut sakit, hal itu adalah karena virus dan penyakit dari luar yang telah menyerangnya
66
Imam Ibnu Husain Muslim Abdullah, “Educational Theory A. Qur’anic Outlook”, terj. Mutammam, Landasan dan Tinjauan Pendidikan Menurut al-Qur’an serta omplementasinya, (Bandung: Diponegoro, 1997), hlm. 83. 67 Muhaimin, Abdul Mujib, op. cit., hlm. 27. 68 Muhammad Fadhil al-Jamaly, “Al-Falsafah al-Tarbiyah fi al-Qur’an”, terj. Judi al Falasani, Konsep Pendidikan Qur’ani, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 99.
33 dan bukan karena sifat dasar yang ada dalam tubuhnya.69 Dengan kata lain, pengaruh yang berada di luar diri manusia dapat pula membentuk diri manusia.70 Dengan demikian, perkembangan potensi anak itu ditentukan oleh hasil kerjasama oleh faktor keturunan (hereditas, pembawaan dan lingkungan) yang merupakan hasil kerjasama antara faktor-faktor yang ada dalam diri anak dan faktor-faktor yang ada di luar anak. hasil kerjasama antara kekuatan eksogen dan kekuatan endogen itulah yang dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak. 4. Cara Mengembangkan Potensi Manusia Potensi dapat diibaratkan seperti tumbuh-tumbuhan. Wujudnya akan tampak nyata apabila dipelihara, dirawat, dijaga, dibimbing serta dikembangkan karena secara kodrati, manusia dianugerahi oleh Tuhan berupa kemampuan potensi dasar. Demikian halnya dengan potensi yang dimiliki manusia, maka potensi naluriah indrawi, akal maupun rasa keberagamaan pada bentuk asalnya baru berupa dorongan-dorongan dasar yang bersifat alamiah. Oleh karena itu, potensi tersebut akan dapat mencapai tujuan yang sebenarnya apabila dijaga, dipelihara, dibimbing dan dikembangkan secara terarah, bertahap dan berkesinambungan. Pengembangan potensi manusia dapat dilakukan dengan beragam cara dan ditinjau dari berbagai pendekatan sebagai berikut:71 a. Pendekatan filosofis Pendekatan ini digunakan dalam konteks pandangan filsafat yang mengacu pada hakekat penciptaan manusia itu sendiri. Yang mana dalam pandangan aliran dualisme manusia, pada hakekatnya ia
69
Hasan ibn Ali Hasan al-Hijazy, “Al-Fikr al-Tarbawi ‘Inda ibn Qayyim”, terj. Muzaidi Hasbullah, Manhaj Tarbiyah Ibn Qayyim, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hlm. 39. 70 Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Infiniti Press, 2004), hlm. 12. 71 Jalaluddin, op. cit., hlm. 36.
34 merupakan kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga, mind and body.72 Dengan demikian, dalam tinjauan filosofis al-Qur’an, manusia merupakan makhluk ciptaan yang diprogramkan untuk mengabdi kepada penciptanya. Pada garis besarnya, pengembangan potensi manusia harus mengacu kepada pengabdian dalam bentuk mematuhi ketentuan dan pedoman Allah selaku pencipta. Sedangkan ungkapan rasa syukur digambarkan dalam bentuk penghayatan terhadap nilai-nilai akhlak yang terkandung di dalamnya serta mampu diimplementasikan dalam sikap dan perilaku lahiriah maupun batiniah. Pengembangan ini diarahkan pada nilai-nilai batin dengan harapan dapat menumbuhkan kesadaran diri manusia, bahwa segala potensi yang dimiliki merupakan nikmat Allah semata.73 Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 53 sebagai berikut:
ﻴ ِﻪ ﺮ ﹶﻓِﺈﹶﻟ ﻀ ﺍﻟﺴﻜﹸﻢ ﻣ ﻢ ِﺇﺫﹶﺍ ﷲ ﹸﺛ ِ ﻦ ﺍ ﻤ ٍﺔ ﹶﻓ ِﻤ ﻌ ﻦ ِﻧ ﻢ ِﻣ ﺎ ِﺑ ﹸﻜﻭﻣ
(53 : )ﺍﻟﻨﺤﻞ.َ ﻭﻥﺠﹶﺄﺭ ﺗ
Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah datangnya dan bila kamu ditimpa kemadharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan. (QS. an-Nahl: 53)74 Dengan demikian jelas bahwa potensi yang telah dianut bahkan itu tidak lepas kaitannya dengan pengabdian kepada pencipta. b. Pendekatan kronologis Pendekatan kronologis adalah pendekatan yang didasarkan atas proses perkembangan melalui pentahapan. Karena proses pembentukan embrio manusia berlangsung dalam tahap-tahap dari yang sederhana sampai kepada yang lebih kompleks.75 Karena manusia adalah
72
Mohammad Nur Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Suarabaya: Usaha Nasional, 1986), hlm. 165-166. 73 Jalaluddin, op. cit., hlm. 37. 74 Soenarjo, op. cit., hlm. 409. 75 Muhammad Ali Albar, “Human Development as Revealed in The Holy Qur’an and Hadis (The Creation of Man Between Medicine and The Qur’an)”, terj. Budi Utomo, Penciptaan
35 makhluk yang berkembang secara evolusi dari lahir hingga menginjak dewasa perkembangan manusia melalui periodesasi semua ini sejalan dengan Firman Allah:
ﻢ ﻜﹸﺨ ِﺮﺟ ﻢ ﻳ ﻋ ﹶﻠ ﹶﻘ ٍﺔ ﹸﺛ ﻦ ﻢ ِﻣ ﹾﻄ ﹶﻔ ٍﺔ ﹸﺛﻦ ﻧ ﻢ ِﻣ ﺏ ﹸﺛ ٍ ﺍﺗﺮ ﻦ ﻢ ِﻣ ﺧ ﹶﻠ ﹶﻘﻜﹸ ﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻫ ﻦ ﻮﻓﱠﻰ ِﻣ ﺘﻳ ﻦ ﻣ ﻢ ﻨ ﹸﻜ ﻭ ِﻣ ﺎﻮﺧﺷﻴ ﻮﺍﺘﻜﹸﻮﻧﻢ ِﻟ ﻢ ﹸﺛ ﺪﻛﹸ ﻮﺍ ﹶﺃﺷﺒﻠﹸﻐ ﺘﻢ ِﻟ ِﻃ ﹾﻔﻠﹰﺎ ﹸﺛ
(67 : َ)ﺍﳌﺆﻣﻦ.ﻌ ِﻘﻠﹸﻮﻥ ﺗ ﻢ ﻌ ﱠﻠﻜﹸ ﻭﹶﻟ ﻰﺴﻤ ﻣ ﺟﻠﹰﺎ ﻮﺍ ﹶﺃﺒﻠﹸﻐ ﺘﻭِﻟ ﺒﻞﹸ ﹶﻗ
Dialah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes air mani sesudah itu dari segumpal darah kemdian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak kemudian kamu dibiarkan hidup supaya kamu sampai pada masa dewasa kemudian kamu dibiarkan hidup lagi sampai tua di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. Kami perbuat demikian supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahaminya. (QS. al-Mu’min: 67)76 Merujuk kepada kenyataan ini, maka pengembangan potensi manusia harus diarahkan kepada bimbingan secara bertahap pula. Selain itu pengembangan potensi manusia tidak mungkin dilakukan dengan paksa, karena tiap individu mempunyai irama perkembangan yang berbeda-beda. Karena itu bimbingan diberikan dan berdasarkan kemampuan untuk mengenal karakteristik perkembangan tahap demi tahap.77 Itulah sebabnya potensi itu perlu dikembangkan secara bertahap. c. Pendekatan fungsional Setiap potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia tentunya
diarahkan
untuk
dimanfaatkan.
Melalui
pendekatan
fungsional ini dimaksudkan bahwa pengembangan potensi manusia dilihat dalam kaitannya dengan fungsi potensi itu masing-masing, seperti halnya potensi rasa mengarah pada nilai-nilai etika, estetika dan
Manusia Kaitan Ayat-Ayat al-Qur’an dan Hadis dengan Ilmu Kedokteran, (Jakarta: Mitra Pustaka, 2002), hlm. 3. 76 Soenarjo, op. cit., hlm. 768. 77 Jalaluddin, op. cit, hlm. 38-39.
36 agama.78 Potensi akal pikiran manusia berfungsi untuk merenung dan memikirkan esensi ciptaan Allah, mengadakan analisis dan studi perbandingan betapa besar dan agungnya semua rahasia ciptaan-Nya itu.79 Indra berfungsi sebagai media untuk mengenal dunia luar hingga manusia dapat berkomunikasi dengan lingkungan. Sedangkan fungsi dorongan beragama adalah agar manusia dapat mengenal dan mengabdi kepada Tuhan sebagai pencipta. Dengan
menggunakan
pendekatan
ini
diharapkan
agar
perkembangan potensi yang ada pada manusia tidak menjadi sia-sia karena terlantar. Maka pengembangannya perlu disesuaikan dengan fungsi utama dari setiap potensi itu masing-masing. Berdasarkan fungsinya yang hakiki, maka potensi manusia perlu diarahkan sejalan dengan hakikat kejadiannya. Lebih lanjut atas dasar fungsi hakekat ini, maka
untuk
mengaktualisasikan
hakekat
kemanusiaannya
pengembangan mesti ditujukan pada bagaimana upayanya agar potensi tersebut dapat dimanfaatkan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk yang manusiawi.80 d. Pendekatan sosial Berdasarkan pendekatan ini manusia dilihat sebagai makhluk yang memiliki dorongan hidup berkelompok dan bermasyarakat. Dari hubungan yang dibina dalam masyarakat akan terwujud hubungan timbal balik (reciprocal interaction) dengan orang-orang di sekitarnya. Maka
terjadilah
rangsangan-rangsangan
memperkembangkan potensi-potensi alamiah manusia.
yang
dapat
81
Melalui pendekatan sosial manusia dibina dan dibimbing sehingga potensi yang dimilikinya yaitu sebagai makhluk sosial dapat 78
Muslim Nurdin, op. cit., hlm. 14. M. Hamdani, Pendidikan Ketuhanan dalam Islam, (Surakarta: Muhammadiyah Univerity Press, 2001), hlm. 17. 80 Jalaluddin, op. cit., hlm. 39-40. pada dasarnya kita hanya menggunakan 1% saja dari potensi mental kita. Kita telah mengabaikan 99% dari kemampuan kita sebagai manusia dan kebanyakan kaki kita bekerja seperti mesin otomatis, memandang hanya sekilas kepada sumber kekuatan jiwa kita selama kehidupan kita. Avadhutika Ananda Mitra Acarya, op. cit., hlm. 65. 81 Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 81. 79
37 teratur dan sekaligus terarah pada nila-nilai positif melalui pembinaan dan bimbingan yang berpedoman pada prinsip dan akhlak. Diharapkan potensi yang dimiliki setiap individu akan bermanfaat dalam pembinaan hubungan sosialnya.82 Dengan demikian, pengembangan potensi melalui pendekatan sosial ini diharapkan akan terbentuk hubungan sosial yang baik antar sesama manusia maupun antara makhluk yang terpelihara secara harmonis, karena berlandaskan pada keimanan dan kemaslahatan. Hasan Langgulung dalam mengembangkan potensi lebih mendasarkan pada pendapat filosof muslim, yakni sifat-sifat Tuhan yang berjumlah 99 itu menurutnya merupakan potensi-potensi yang harus dikembangkan dengan wajar dan sempurna. Bukan hanya kekuatan jasmani saja seperti pada pendidikan Sparta, atau kecerdasan rohani saja seperti di Athena.83 Adapun bentuk pengembangan potensinya harus sesuai dengan petunjuk Tuhan, itulah yang disebut sebagai ibadah/menyembah kepada penciptanya.84 Kalau potensi tadi tidak dikembangkan, berarti ia telah menyeleweng dari tujuan kejadiannya, al-Ilmu misalnya adalah merupakan sifat Tuhan dan merupakan potensi manusia. Menuntut ilmu merupakan bentuk pengembangan potensi tersebut, dan ini merupakan ibadah, tetapi kalau ini tidak dikembangkan dalam diri manusia dan tidak menuntut ilmu, maka berarti ia menyalahi potensinya atau dengan kata-kata psikologi, ia menyalahi tabiat semula (natur)nya. Begitu jugalah dengan sifat-sifat Tuhan yang lainnya.85 Pengembangan potensi juga dapat dilakukan dengan melalui pendidikan, karena di dalamnya terdapat proses menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi tersebut dalam arti berusaha untuk 82
Jalaluddin, op. cit., hlm. 44. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986), hlm. 263. 84 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapai Abad 21, (Jakarta: Pustaka alHusna, 1998), hlm. 60. 85 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran ..., op. cit., hlm. 21. 83
38 menampakkan (aktualisasi) potensi-potensi laten tersebut yang dimiliki setiap anak.86 Untuk itu, dalam rangka mengembangkan potensi atau kemampuan dasar, maka manusia membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong dan mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan optimal, sehingga hidupnya dapat berdaya guna dan berhasil guna. Dengan
begitu,
mereka
dapat
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungannya, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. B. Pendidikan Anak 1. Pengertian Pendidikan Anak Definisi pendidikan dalam masyarakat Islam sekurang-kurangnya terdapat tiga istilah yang digunakan, yaitu kata tarbiyah ()ﺗﺮﺑﻴﺔ, ta’li>m ( )ﺗﻌﻠﻴﻢdan ta’di>b ()ﺗﺄدﻳﺐ. Dari ketiga istilah dalam bahasa Arab itu, orientasinya mengacu pada kata pendidikan. Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, merumuskan definisi pendidikan dari kata tarbiyah ()ﺗﺮﺑﻴﺔ. Menurut pendapatnya, kalau tarbiyah berasal dari tiga kata. Pertama, kata rabba – yarbu ( ﻳﺮﺑﻮا- )رﺑﺎyang berarti bertambah atau tumbuh. Kedua, rabba –yurabba, yang berarti menjadi besar atau tumbuh dan berkembang. Ketiga, rabba – yarubba yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara.87 Sedangkan menurut Raghib alAshfahani, menjelaskan, bahwa pada mulanya kata tarbiyah itu digunakan dalam arti insya al-sya’ihalan fahalun ila hada>d al-tama>m, yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai pada batas yang sempurna.88
86
Muhaimin dan Abdul Mujib, op. cit., hlm. 138. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 29. 88 M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta: Karsa Utama Mandiri, 1998), hlm. 3. 87
39 Naquib al-Atas berpendapat bahwasanya kata tarbiyah ( )ﺗﺮﺑﻴﺔsecara semantik tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia, tetapi dapat dipakai kepada spesies lain seperti mineral, tanaman dan hewan.89 Sejalan dengan penjelasan mengenai kata tarbiyah ()ﺗﺮﺑﻴﺔ, di dalam al-Mu’ja>m al-Wasi>t} sebagaimana dikutip oleh Zuhairini terdapat penjelasan sebagai berikut:
.ﻴ ِﺔﻭﹾﺍﳋﹸﻠﹸ ِﻘ ﻴ ِﺔﻌ ﹾﻘ ِﻠ ﻭﺍﹾﻟ ﻳ ِﺔﺴ ِﺪ ﳉ ﻩ ﹾﺍ ﹶ ﺍﻤﻰ ﹸﻗﻮﻩ ﻧ ﺎﺭﺑ ﻭ Artinya: “Mendidiknya, berarti menumbuhkan potensi jasmaniah, akliah (akal) serta akhlak (budi pekertinya)”.90 Firman Allah yang mendukung pengunaan istilah ini antara lain terdapat dalam ayat-ayat sebagai berikut:
ﺎﻧِﻲﺑﻴﺭ ﺎﺎ ﹶﻛﻤﻬﻤ ﻤ ﺣ ﺭ ﺏ ﺍ ﺭ ﻭ ﹸﻗ ﹾﻞ ﻤ ِﺔ ﺣ ﺮ ﻦ ﺍﻟ ﺡ ﺍﻟ ﱡﺬ ﱢﻝ ِﻣ ﺎﺟﻨ ﺎﻬﻤ ﺾ ﹶﻟ ﺧ ِﻔ ﺍﻭ (24 :ﺍ)ﺍﻹﺳﺮﺍﺀﺻ ِﻐﲑ Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya. Sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. (QS. al-Isra’: 24)91 Dari istilah tarbiyah ( )ﺗﺮﺑﻴﺔitu Abdurrahman al-Bani menyimpulkan bahwa pengertian pendidikan terdiri atas empat unsur: a. Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh b. Mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacammacam. c. Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi itu maju menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya. d. Proses ini dilaksanakan secara bertahap sedikit demi sedikit.92
89
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995), hlm. 2. Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 120-121. 91 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 428. 92 Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: Diponegoro, 1992), hlm. 32. 90
40 Sehingga dapat dikatakan, bahwa dari kata tarbiyah mengandung arti pemeliharaan, didikan khususnya pada fitrah anak serta sebagai sarana untuk menumbuhkembangkan potensi anak yang semua itu dilakukan melalui proses menuju pada sebuah kedewasaan. Istilah lain yang digunakan untuk menunjukkan konsep pendidikan dalam Islam adalah kata ta’li>m ()ﺗﻌﻠﻴﻢ. Menurut Abudin Nata, sebagaimana dikutip oleh M. Irsyad Djuwaeli, bahwasannya kata ta’li>m ( )ﺗﻌﻠﻴﻢyang berakar dari kata ‘alama ( )ﻋﻠﻢdigunakan secara khusus untuk menunjukkan sesuatu yang dapat diulang dan diperbanyak sehingga meninggalkan bekas dan pengaruh pada diri seseorang. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa kata tersebut digunakan untuk mengingatkan jiwa seseorang agar memperoleh gambaran mengenai arti tentang sesuatu.93 Kata ini terkadang digunakan Allah untuk menjelaskan pengetahuan-Nya yang diberikan kepada umat manusia sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 31.
ﻧِﺒﺌﹸﻮﻧِﻲﻤﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟ ﻢ ﺿﻬ ﺮ ﻋ ﻢ ﺎ ﹸﺛﺎ َﺀ ﹸﻛ ﱠﻠﻬﺳﻤ ﻡ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﺩ ﻢ ﺀَﺍ ﻋ ﱠﻠ ﻭ
(31 : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.ﲔ ﺎ ِﺩ ِﻗﻢ ﺻ ﺘﻨ ﺆﻟﹶﺎ ِﺀ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛ ﻫ ﺎ ِﺀﺳﻤ ِﺑﹶﺄ
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu orang-orang yang benar. (QS. al-Baqarah: 31)94 Konsep pendidikan Islam menurut Abdul Fatah Jalal, lebih identik dengan menggunakan istilah ta’li>m. Karena di dalam istilah ini mengandung proses pendidikan, di antaranya: a. Ta’li>m adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. b. Proses ta’li>m tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah (domain) kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotor dan afektif. Pengetahuan yang berada dalam batasbatas wilayah kognisi tidak akan mendorong seseorang untuk 93 94
M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 3. Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 14.
41 mengamalkannya dan pengetahuan semacam diperoleh atas dasar prasangka (taqli>d).95
itu
biasanya
Dari sini menunjukkan, bahwa kata ta’li>m ( )ﺗﻌﻠﻴﻢlebih luas serta lebih mendalam daripada kata tarbiyah ( )ﺗﺮﺑﻴﺔdalam memberikan pengertian mengenai konsep pendidikan. Adapun mengenai kata ta’di>b ( )ﺗﺄدﻳﺐini merupakan bentuk mashdar dari kata kerja addaba ( )أدّبyang berarti pendidikan. Dan istilah ini digunakan oleh Naquib Alatas untuk menggambarkan pengertian pendidikan. Karena dari kata addaba ( )أدّبitu mempunyai arti untuk mengatur pikiran dan jiwa, menambah pada baiknya kualitas dan lambang pikiran dan jiwa, melakukan pembenahan untuk memperbaiki kesalahan dalam bertindak, membenahi yang salah serta memelihara dan perlindungan dari tingkah laku yang tidak baik.96 Menurut Naquib al-Attas, bahwa kata addaba diturunkan juga kata adabun, yang berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur. Secara hirarkhis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat yang hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang.97 Adapun mengenai kata ta’di>b yang berakar pada kata addaba tidak dijumpai dalam al-Qur’an. Kata tersebut dijumpai dalam hadits yang berbunyi:
ﺎ ٍﻥﺣﻴ ﺑ ِﻦ ﺎِﻟﺢﺎ ﺻﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻰ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺎ ﹾﺍ ﹶﶈﹶﺎ ِﺭِﺑﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻼ ٍﻡ ﺳ ﹶ ﻦ ﺑﻮ ﺍ ﻫﻤﺪ ﺤ ﻣ ﺎﺮﻧ ﺒﺧ ﹶﺃ ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ:ﻴ ِﻪ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻦ ﹶﺃِﺑ ﻋ ﺩ ﹶﺓ ﺮ ﻮ ﺑ ﺑﻰ ﹶﺃ ﺪﹶﺛِﻨ ﺣ ﻲ ﻌِﺒ ﺸ ﺍﻟﺎ ِﻣﺮ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻋ:ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻦ ﺴ ﺣ ﺎ ﹶﻓﹶﺄﻤﻬ ﻋ ﱠﻠ ﻭ ﺎﺒﻬﻳﺗ ﹾﺄ ِﺩ ﻦ ﺴ ﺣ ﺎ ﹶﻓﹶﺄﺑﻬﺩ ﹶﻓﹶﺄ.. :ﻢ ﺳ ﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪ ﻋ ﹶﻠ ﷲ ِ ﺻﻠﱠﻰ ﺍ 98
95
( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ...ﺎﻤﻬ ﻴ ﻌ ِﻠ ﺗ
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 7. Syed Muhammad Naquib al-Atas, Aims and Objectives of Islam Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), hlm. 36. 97 Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 29. 98 Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 29. 96
42 Artinya: Muhammad (Ibnu Salam) telah menceritakan kepada kita, alMaharib telah menceritakan kepada kita, ia berkata: S{aleh ibn Hayyan berkata: ‘Amir al-Sya’bi telah menceritakan kepadaku, yakni Abu Burdah dari bapaknya, ia berkata: Rasulullah saw. Bersada: ....Maka didiklah ia dengan didikan yang baik dan ajarlah ia dengan pengajaran yang baik.... (HR. Bukhari) Meski demikian, kata ta’di>b menurut Naquib al-Attas justru memiliki fungsi dan arti yang lebih tepat bagi pendidikan.99 Berdasarkan konsep adab tersebut, al-Attas mendefinisikan pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.100 Berdasarkan etimologi bahasa dari ketiga kata tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa kata tarbiyah memuat kandungan upaya sadar akan pemeliharaan, pengembangan seluruh potensi diri manusia sesuai dengan fitrahnya
dan
perlindungan
menyeluruh
terhadap
hak-hak
kemanusiaannya. Sementara kata ta’li>m mengesankan proses pemberian ilmu pengetahuan dan penyadaran akan fitrahnya dan tugas-tugas kemanusiannya yang harus diwujudkan oleh individu dalam kehidupan nyata.
Sedangkan
kata
ta’di>b
mengesankan
proses
pembinaan
kepribadian dan sikap moral (afektif) dan etika dalam kehidupan. Dengan demikian, ketiga kata tersebut pada intinya mengacu kepada pemeliharaan, perlindungan dan pengembangan keseluruhan potensi diri manusia. Selain dari sudut pandang etimologi, maka diperlukan juga segi terminologi agar suatu pembahasan atau uraian menjadi jelas dan sistematis.
99
M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 4. Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 9-10.
100
43 Untuk mendapatkan pengertian yang jelas tentang pengertian pendidikan, akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli sebagai berkut: a. M.J. Langeveld Pendidikan adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju pada kedewasaan dan kemandirian.101 b. Syaikh Musthafa al-Ghulayani
ﺎ ِﺀﺑﻤ ﺎﻴﻬﺳ ﹾﻘ ﻭ ﻦ ﻴ ﺎ ِﺷِﺌﺱ ﺍﻟﻨ ِ ﻮ ﻔﹸﻰ ﻧ ﺿ ﹶﻠ ِﺔ ِﻓ ِ ﻕ ﺍﹾﻟﻔﹶﺎ ِﻼ ﺧ ﹶ ﹾﺍ ﹶﻻﺮﺱ ﻲ ﹶﻏ ﻴ ﹸﺔ ِﻫﺮِﺑ ﺘﺍﹶﻟ ﻮﻥﹸ ﺗﻜﹸ ﻢ ﺲ ﹸﺛ ِ ﻨ ﹾﻔﺕ ﺍﻟ ِ ﻣﻠﹶﻜﹶﺎ ﻦ ﻣ ﹶﻠ ﹶﻜ ﹰﺔ ِﻣ ﺢ ﺼِﺒ ﻰ ﺗﺣﺘ ﺤ ِﺔ ﻴ ﺼ ِ ﻨﺍﻟﺎ ِﺩ ﻭﺭﺷ ﹾﺍ ِﻹ 102
.ﻮ ﹶﻃ ِﻦ ﻨ ﹾﻔ ِﻊ ﺍﹾﻟﻤ ِﻞ ِﻟ ﻌ ﺐ ﺍﹾﻟ ﺣ ﻭ ﺮ ﻴ ﳋ ﻭﹾﺍ ﹶ ِ ﻠ ﹶﺔﺿﻴ ِ ﺎ ﺍﹾﻟﻔﹶﺎﺗﻬﺮ ﻤ ﹶﺛ
Artinya: “Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan serta cinta bekerja yang berguna bagi tanah air”. c. Ahmad D. Marimba Pendidikan103 adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.104 d. Joe Park Merumuskan pendidikan sebagai: the art of process of imparting or acquiring knowledge and habit through instructional as study. Di dalam definisi ini, tekanan kegiatan pendidikan diletakkan pada
101
Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis: Apakah Pendidikan Masih Diperlukan, (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 22. 102 Musthafa al-Ghulayani, Idhah al-Nasihin, (Pekalongan: Rajamurah, 1953), hlm. 189. 103 Menurut caranya, pendidikan terbagi menjadi 3 macam, yaitu: 1) aresurt, yakni pendidikan yang berdasarkan paksaan, dilakukan pada kanak-kanak yang umurnya belum 1 tahun; 2) latihan, dimaksudkan untuk membentuk kebiasaan yang dilakukan sedapat-dapatnya secara sadar oleh anak didik; 3) pendidikan dimaksudkan untuk membentuk kata hati. Anak didik yang diajar berbuat menurut kesanggupan sendiri dan menentukan kelakuan sendiri atas tanggungjawabnya sendiri pula. Lihat, Tim Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, t.th.), hlm. 2627. 104 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), hlm. 19.
44 pengajaran (instruction), sedangkan segi kepribadian yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan.105 Dari beberapa pendapat di atas dapat diuraikan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang teratur dan sistematis yang dilakukan orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan, yakni membentuk kepribadian muslim. Anak menurut Ahmad Warson Munawir di dalam Kamus Arab Indonesia: Munawir diistilahkan dengan kata al-tifl ( )اﻟﻄﻔﻞyang jamaknya adalah athfa>l ( )أﻃﻔﺎلyang berarti bayi, anak kecil.106 Sedangkan menurut pendapat Aristoteles membatasi, masa anak-anak mulai dari umur o sampai 14 tahun yang kemudian diklasifikasikan menjadi dua fase, sebagai berikut: a. Fase I dari 0;0 smpai 7;0: masa anak kecil ke masa anak bermain b. Fase II dari 7;0 smpai 14;0 : masa anak, masa belajar atau masa sekolah rendah.107 Jadi, pendidikan anak adalah merupakan suatu usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa/pendidik dalam rangka membantu, membimbing, memelihara dan menumbuhkembangkan potensi dan sumber daya insani yang telah ada pada diri anak sejak kecil mulai masa awal pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga dapat memperluas dan meningkatkan intelektual, pengenalan kehidupan (lingkungan sosial dan kepercayaan diri), sehingga dapat membentuk kepribadian mereka menjadi insan kamil sesuai dengan norma-norma Islam.
105
hlm. 5-6.
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980),
106 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Krapyak Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawir, 1984), hlm. 918. 107 Sumadi Suryabrata, op. cit., hlm. 185-186.
45 2. Tujuan Pendidikan Anak Setiap usaha, tentu saja selalu diproyeksikan pada pencapaian tujuan, termasuk pula usaha mendidik anak. Karena tanpa tujuan yang jelas, niscaya langkah usaha itu akan kabur dan tidak terarah, sehingga apa yang diharapkan itu tidak akan berhasil secara maksimal. Sebelum membahas panjang lebar mengenai tujuan pendidikan, maka alangkah lebih baiknya diketahui terlebih dahulu mengenai arti tujuan terlebih dahulu. Tujuan di sini berarti batas akhir yang dicitacitakan seseorang dan menjadi pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Dalam tujuan terkandung cita-cita kehendak dan kesengajaan serta berkonsekuensi penyusunan daya upaya untuk menncapainya.108 Berbicara mengenai tujuan pendidikan anak, maka tidak akan jauh berbeda dengan tujuan pendidikan Islam. Untuk membahas tentang tujuan pendidikan Islam, maka dimulai terlebih dahulu tujuan pendidikan secara umum yang terdapat dua pandangan teoritis. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis maupun monarkis. Pandangan teroritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan daya tampung dan minat pelajar.109 Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat sebagaimana pendapat Muhammad Fadhil al-Jamaly yang menjelasklan
108
Hery Noer Aly., op. cit., hlm. 51. istilah yang dipakai dalam bahasa Inggris yang merujuk pada hasil pendidikan yang dicita-citakan/tujuan pendidikan menggunakan istilah objective, aims purposes dab goals, sedangkan dalam bahasa Arab menggunakan istilah Chayyat, ahdaf dan mawashid yang berarti tujuan. Baca, Abdurrahman Shaleh Abdullah, “Educational Theory: a Qur’anic Outlook”, terj. M. Arifin dan Zainuddin, Teori Pendidikan menurut al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 131-132. 109 Wan Mohd Nor Wan Daud, “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmi dkk., Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 163.
46 tujuan pendidikan menurut al-Qur’an, yang disimpulkannya sebagai berikut: a. Mengenalkan manusia akan peranannya di antara sesama manusia dan tanggung jawab pribadinya di dalam hidupnya. b. Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata kehidupan. c. Mengenalkan manusia akan alam ini, mengajak mereka memahami hikmah diciptakannya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk dapat mengambil manfaat dari alam tersebut. d. Mengenalkan manusia akan pencipta alam ini (Allah SWT.) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya.110 Menurut pandangan al-Ghazali, bahwasanya tujuan pendidikan itu untuk mencapai dua tujuan inti, yaitu: a. Insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. b. Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.111 Hal ini menunjukkan bahwasannya tujuan yang utama dalam sebuah pendidikan adalah untuk menjamin masa depan anak di akhirat kelak. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:
(6 :ﺍ )ﺍﻟﺘﺤﺮﱘﺎﺭﻢ ﻧ ﻫﻠِﻴ ﹸﻜ ﻭﹶﺃ ﻢ ﺴﻜﹸ ﻧﻔﹸﻮﺍ ﻗﹸﻮﺍ ﹶﺃﻣﻨ ﻦ ﺍ ﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻳﻬﺎﹶﺃﻳ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. al-Tahrim: 6)112 Hasan Langgulung dalam bukunya yang berjudul Manusia dan Pendidikan, mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia.113 Ahmad D. Marimba berpendapat, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim.114 Kemudian
110
Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 12-13. Fathiyah Hasan Sulaiman, “Al-Madzhabuut Tarbawi inda al-Ghazali”, terj. Fatchurrahman dan Syamsuddin Asyrafi, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazali, (Bandung: alMa’arif, 1986), hlm. 26. 112 Soenarjo dkk., op. cit,, hlm. 951. 113 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologis, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), hlm. 33. 114 Ahmad D. Marimba, op. cit., hlm. 46. 111
47 dilihat dari tujuan umum pendidikan Islam, maka hal itu sinkron dengan tujuan agama Islam, yaitu berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertakwa dan beribadah dengan baik kepada Allah, sehingga memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akherat.115 Hal ini menunjukkan bahwasanya islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupannya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah, yaitu sebagai hamba (‘a>bid). Ini diketahui dari surat al-Dza>riya>t ayat 56 sebagai berikut:
(56 : )ﺍﻟﺬﺭﻳﺎﺕ.ﻭ ِﻥﺒﺪﻌ ﻴﺲ ِﺇﻟﱠﺎ ِﻟ ﻧﺍﹾﻟِﺈﻦ ﻭ ﺠ ِ ﺍﹾﻟﺧ ﹶﻠ ﹾﻘﺖ ﺎﻭﻣ Dan Aku tidak menciptaka jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. al-Dzariyah: 56)116 Selain itu, tujuan pendidikan Islam, juga tidak lepas dari kaitannya dengan eksistensi hidup manusia sebagai wakil-Nya (kha>lifah Allah) di bumi. Salah satu fungsi dan tugas seorang pemimpin (kha>lifah) adalah kemampuannya dalam memelihara, mengatur dan mengembangkan potensi dasar yang beragam (heterogen) dari yang dipimpinnya di atas dasar amanah, dan bukan atas dasar prinsip kepemilikan (privatisasi). Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya memelihara dan mengembangkan hidup ini, sebab hidup merupakan fitrah yang paling dasar bagi manusia. Hidup bukan hanya terjadi di dunia ini secara lurus (mustaqi>m) seseorang akan selamat dan bahagia dalam menuju Tuhan.117 Kaitannya dengan persoalan manusia sebagai khalifah Allah ini telah dipertegas dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 sebagai berikut:
115
Hery Noer Aly dan Munzier S., Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), hlm. 142. 116 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 862. 117 M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 13-14.
48
ﺎﻌﻞﹸ ﻓِﻴﻬ ﺠ ﺗﺧﻠِﻴ ﹶﻔ ﹰﺔ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﹶﺃ ﺽ ِ ﺭ ﺎ ِﻋﻞﹲ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄﻧﻲ ﺟﻤﻠﹶﺎِﺋ ﹶﻜ ِﺔ ِﺇ ﻚ ِﻟ ﹾﻠ ﺑﺭ ﻭِﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻚ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻟﺪﺱ ﹶﻘﻭﻧ ﻙ ﻤ ِﺪ ﺤ ِﺑﺒﺢﺴ ﻧﺤﻦ ﻧﻭ ﺎ َﺀﺪﻣ ﺍﻟﺴ ِﻔﻚ ﻳﻭ ﺎ ﻓِﻴﻬﺴﺪ ِ ﹾﻔﻦ ﻳ ﻣ (30 : )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.ﻮ ﹶﻥﻌ ﹶﻠﻤ ﺗ ﺎ ﻟﹶﺎ ﻣﻋ ﹶﻠﻢ ﻲ ﹶﺃِﺇﻧ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: mengapa engkau hendak menjadikan khalifah di bmu itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (QS. alBaqarah: 30)118 Dari tujuan pendidikan Islam yang masih bersifat umum tersebut, yakni berpusat pada ketakwaan dan kebahagiaan tersebut, maka dapat digali tujuan-tujuan khusus sebagai berikut: a. Mendidik manusia yang shaleh dengan memperhatikan segenap dimensi
perkembangannya,
baik
rohaniah,
emosional,
sosial,
intelektual dan fisik. b. Mendidik anggota kelompok sosial yang shaleh, baik dalam keluarga maupun masyarakat muslim. c. Mendidik manusia yang shaleh bagi masyarakat insani yang benar.119 Adapula yang merinci tujuan pendidikan dalam bentuk taksonomi yang terutama meliputi: a. Pembinaan kepribadian (nilai formal) 1) Sikap (attitude) 2) Daya pikir kritis rasional 3) Objektivitas 4) Loyalitas kepada bangsa dan ideologi 5) Sadar nilai-nilai moral agama b. Pembinaan aspek pengetahuan c. Pembinaan potensi bangsa dan ideologi120 118 119
Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 13. Hery Noer Aly dan Munzier S., op. cit., hlm. 143-144.
49 Untuk keperluan pelaksanaan pendidikan, tujuan itu harus dirinci menjadi tujuan yang khusus. Bahkan sampai ke tujuan yang operasional. Usaha merinci tujuan umum itu dilakukan oleh al-Syaibani, yang menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi: a. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang mencakup perubahan yang berupa pengetahuan tingkah laku, jasmani, rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk kehidupan dunia dan akhirat. b. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat dan memperkaya pengalaman masyarakat. c. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai kegiatan masyarakat.121 Dari berbagai pendapat tersebut, merujuk pada pemeliharaan dan pengembangan kehidupan jiwa (rohaniah) dan raga (jasmaniah) sebagai sumber potensi masyarakat, maka dalam hal ini tujuan pendidikan dalam arti pemeliharaan dan pengembangan potensi manusia dapat dipertajam lagi dengan lebih memfokuskannya kepada tiga sasaran utama. Pertama, mencerdaskan
akal
mengembangkannya
pikiran melalui
dengan pembelajaran
cara yang
memelihara
dan
sistematis,
serta
memberikan perlindungan menyeluruh kepadanya. Karena akal pikiran merupakan potensi dasar manusia yang sangat penting bagi keutamaan hidup. Kedua, memelihara dan mengembangkan rasa kebebasan (free will). Potensi dasar ini merupakan aspek fundamental bagi perkembangan dan pertumbuhan hidup manusia yang kedudukannya senantiasa bergantung dengan tanggung jawab. Dalam konteks ini, pendidikan harus mampu memelihara dan memupuk potensi kebebasan yang dimiliki peserta didik. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan peluang kapada 120
Muhammad Noor Syam, op. cit., hlm. 147-148. Omar Muhammad al-Taumy al-Syaibani, “Falsafatut tarbiyah al-Islamiyah”, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 399. 121
50 mereka dalam mewujudkan kemampuan tanggung jawab atas tindakan dan pilihannya. Karena tanpa kebebasan dan tanggung jawab dunia, maka pendidikan
akan
kehilangan
artinya.
Ketiga,
memelihara
dan
mengembangkan kemampuan berbicara, sebab manusia tidak dapat menyatakan dirinya lebih jelas, kecuali hanya dengan berbicara. Maka dari itu, pendidikan harus dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat mengungkapkan dirinya dalam berbicara,bertindak, berfikir dan aksi. Pencapaian tujuan dasar ini merupakan tuntutan dasar bagi dunia pendidikan.122 Apabila diambil kesimpulan, maka pendidikan Islam bertujuan bukan hanya sekedar memenuhi otak murid-murid dengan ilmu pengetahuan,
tetapi
tujuannya
adalah
mendidik
akhlak
dengan
memperhatikan segi-segi kesehatan, pendidikan fisik maupun mental (psikologis), perasaan dan praktek menyiapkan manusia sebagai anggota masyarakat. Jadi, tujuan pendidikan anak adalah membekali anak agar menjadi hamba Allah (abdullah) yang bertakwa dan beribadah sema-mata hanya karena Allah, menghantarkan anak agar mampu melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi, sehingga memperoleh kebahagiaan dunia dan akherat, menumbuhkembangkan potensi yang ada dalam dirinya, sehingga anak dapat merealisasikan dirinya sebagai pribadi muslim, serta memperluas pandangan hidup anak sebagai makhluk individu, sosial dan religius sehingga nantinya akan terbentuk pribadi anak yang shaleh yang dapat bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara. 3. Materi Pendidikan Anak Sasaran dan tujuan pendidikan tidak mungkin akan tercapai kecuali materi pendidikan terseleksi dengan baik dan tepat. Istilah materi digunakan di sini untuk sejumlah disiplin. Ilmu yang mengembangkan basis kegiatan sekolah, dan biasanya diklasifikasikan dalam beberapa 122
M. Irsyad Djuwaeli, op. cit., hlm. 14-16.
51 subjek materi yang berbeda-beda. Materi dalam hal ini, intinya adalah subtansi yang akan disampaikan dalam proses interaksi edukatif kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapai. Bahan pelajaran atau materi pendidikan adalah merupakan unsur inti dalam kegiatan interaksi edukatif. Karena harus diupayakan untuk dapat dikuasai oleh anak didik123 dalam rangka memenuhi kebutuhan anak dalam pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan anak itu dijelaskan oleh Verna Hildebrand dalam bukunyta Introduction to Early Childhood Education sebagai berikut: a. The child needs to grow in independence b. The child needs to learn to give and share as well as recieve affection c. The child needs to learn to get along with others d. The child needs to develop self control e. The child needs to learn the appropriate sex role f. The child needs to begin understanding his body g. The child needs to learn many large and small motor skills h. The child needs to begin to understand and control his physical world i. The child needs to learns new words and how to use words in his social an intellectual activity j. The child needs to begin to develop a notion abaout his relationship to the word.124 Artinya: a. Anak membutuhkan perkembangan secara independen b. Anak membutuhkan untuk belajar memberi dalam berbagai hal untuk menerima kasih sayang c. Anak butuh belajar untuk bergaul akrab dengan orang lain d. Anak butuh mengembangkan pengendalian diri e. Anak membutuhkan untuk belajar sesuai jenis kelamin dan peran yang sesuai f. Anak butuh pemahaman terhadap badannya g. Anak butuh belajar banyak ketrampilan motorik dalam skala kecil dan besar h. Anak butuh untuk memahami dan mengendalikan dunia fisiknya
123
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 18. 124 Verna Hildibrand, Introduction to Early Childhood Education, (New York: Macmillan Publishing, 1971), hlm. 24-26.
52 i. Anak butuh belajar kata-kata baru dan bagaimana cara menggunakan kata-kata itu dalam hubungan sosialnya, yaitu suatu aktivitas intelektual j. Anak harus mulai untuk kembangkan suatu dugaan tentang hubungannya kepada kata. Materi pendidikan anak yang dicanangkan al-Ghazali, baik itu di rumah maupun di Madrasah Ibtida’iyah pada dasarnya meliputi: pengetahuan yang menuntutnya adalah fard}u ‘ain bagi setiap muslim, yaitu meliputi rukun iman, cara melakukan perintah-perintah Allah dan prinsip-prinsip tingkah laku yang benar “dalam bentuknya yang paling sederhana”. Al-Ghazali memandang mata pelajaran-mata pelajaran ini menguntungkan, baik untuk pemenuhan praktis terhadap kewajibankewajiab agama maupun sebagai alat untuk memperkuat keimanan anakanak.125 Oleh karena itu, hal yang terpokok yang perlu diserap oleh anak adalah hal-hal yang berkaitan dengan keimanan, keislaman dan akhlak,126 seperti yang dikatakan oleh pikiran, diamalkan dalam kehidupan dalam bentuk ibadah dan diungkapkan dalam bentuk perkataan, sikap, akhlak (perangai) pergaulan dan kehidupan pada umumnya. Untuk mewujudkan generasi yang kokoh iman dan islamnya, Abdullah Nasih Ulwan sebagaimana dikutip oleh Raharjo menekankan bahwa materi pendidikan yang bersifat mendasar dan universal. Materimateri pendidikan tersebut adalah pendidikan iman, akhlak, fisik, intelektual, psikis, sosial dan seksual.127 Sedangkan menurut Chabib Thoha memfokuskan materi pendidikan pada aspek pendidikan ibadah, pokok-pokok ajaran Islam dan membaca al-Qur’an, pendidikan akhlak dan
125
Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bungan Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 77. 126 Zakiah Daradjat, “Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 6-12 Tahun”, dalam Ahmad Tafsir (ed.), Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 113. 127 Raharjo, “Dr. Abdullah Nasih Ulwan: Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang Pendidikan”, dalam Ruswan Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 62.
53 pendidikan akidah Islamiyah.128 Sejalan dengan pemikiran Thoha, M. Nipan Abdul halim menambahkannya dengan pendidikan ekonomi dan kesehatan sebagai penunjang tegaknya akidah, ibadah dan akhlak anak.129 Adapun yang mendasar adalah: a. Pendidikan iman (akidah) Pendidikan akidah adalah inti dari dasar keimanan seseorang yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Sedemikian mendasarnya pendidikan akidah ini bagi anak-anak, karena dengan pendidikan inilah anak akan mengenali siapa Tuhannya, bagaimana cara bersikap terhadap Tuhannya dan apa saja yang mesti mereka perbuat dalam hidup ini.130 Materi pendidikan keimanan ini adalah untuk mengikat anak dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syariah. Sejak anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu. Adapun tujuan mendasar dari pendidikan ini adalah agar anak hanya mengenal Islam mengenai dirinya. Al-Qur’an sebagai imamnya dan Rasulullah sebagai pemimpin dan teladannya.131 Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat Luqman ayat 13 sebagai berikut:
ﻙ ﹶﻟ ﹸﻈ ﹾﻠﻢ ﺮ ﺸ ﻙ ﺑِﺎﻟ ﱠﻠ ِﻪ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ ﺸ ِﺮ ﺗ ﻲ ﻟﹶﺎ ﻨﺑﺎ ﻳﻳ ِﻌﻈﹸﻪ ﻮ ﻭﻫ ﺑِﻨ ِﻪﺎ ﹸﻥ ﻟِﺎﻭِﺇ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹸﻟ ﹾﻘﻤ (13 : )ﻟﻘﻤﺎﻥ.ﻋﻈِﻴﻢ Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberikan pelajaran kepadanya: “hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar. (QS. Luqman: 114)132
128
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 105.
129
M . Nipan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), hlm. 91. 130 Ibid., hlm. 94. 131 Raharjo, op. cit., hlm. 62. 132 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 654.
54 b. Pendidikan ibadah Materi pendidikan ibadah secara menyeluruh oleh para ulama telah dikemas dalam sebuah disiplin ilmu yang dinamakan ilmu fikih dan fikih Islam. Karena seluruh tata peribadatan telah dijelaskan di dalamnya, sehingga perlu diperkenalkan sejak dini dan sedikit demi sedikit dibiasakan dalam diri anak, agar kelak mereka tumbuh menjadi insan-insan yang bertakwa.133 Pendidikan ibadah di sini, khususnya pada pendidikan shalat yang merupakan tiang dari segala amal ibadah sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah dalam surat Luqman ayat 17 sebagai berikut:
ﺎﻋﻠﹶﻰ ﻣ ﺮ ﺻِﺒ ﺍﻨ ﹶﻜ ِﺮ ﻭ ﻋ ِﻦ ﺍﹾﻟﻤ ﻪ ﻧﺍﻑ ﻭ ِ ﻭﻌﺮ ﻤ ﺮ ﺑِﺎﹾﻟ ﻣ ﻭﹾﺃ ﺼﻠﹶﺎ ﹶﺓ ﻲ ﹶﺃ ِﻗ ِﻢ ﺍﻟ ﻨﺑﺎﻳ (17 : )ﻟﻘﻤﺎﻥ.ﻮ ِﺭﺰ ِﻡ ﺍﹾﻟﹸﺄﻣ ﻋ ﻦ ﻚ ِﻣ ﻚ ِﺇ ﱠﻥ ﹶﺫِﻟ ﺑﺎﹶﺃﺻ Hai anakku! Dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. (QS. Luqman: 17)134 Pendidikan shalat dalam konteks ayat tersebut tidak hanya terbatas tentang tata cara untuk menjalankan shalat yang lebih bersifat fi’liyah, melainkan termasuk menanamkan nilai-nilai dibalik ibadah shalat. Anak harus mampu tampil sebagai pelopor amar ma’ruf nahi mungkar serta jiwanya teruji menjadi orang yang sabar. c. Pendidikan akhlak (moral) Yang dimaksud dengan pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak masa analisa hingga menjadi seorang mukallaf, seorang yang telah siap untuk mengarungi lautan kehidupan. Tujuan dari pendidikan akhlak ini adalah untuk membentuk benteng religius yang berakar pada hati sanubari. Benteng
133 134
M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 102. Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 655.
55 tersebut akan memisahkan anak dari sifat-sifat negatif, kebiasaan, dosa dan tradisi jahiliyah.135 Keluarga merupakan tempat pertama yang harus meletakkan pendidikan akhlak dalam diri anak dengan jalan melatih dan membiasakan hal-hal yang baik. Pendidikan akhlak tidak hanya dikemukakan secara teoritik, melainkan disertai contoh-contoh kongkrit untuk dihayati maknanya. Kemudian direfleksikan dalam kehidupan kejiwaannya.136 Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam surat Luqman ayat 18 sebagai berikut:
ﺐ ﺤ ِ ﻳ ﻪ ﻟﹶﺎ ﺎ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ ﱠﻠﺮﺣ ﻣ ﺽ ِ ﺭ ﺶ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﹶﺄ ِ ﻤ ﺗ ﻭﻟﹶﺎ ﺱ ِ ﺎﻙ ﻟِﻠﻨ ﺪ ﺧ ﺮ ﻌ ﺼ ﺗ ﻭﻟﹶﺎ (18 :ﻮ ٍﺭ )ﻟﻘﻤﺎﻥﺎ ٍﻝ ﹶﻓﺨﺨﺘ ﻣ ﹸﻛ ﱠﻞ Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. (QS. Luqman: 18)137 d. Pendidikan intelektual Pendidikan intelektual adalah pembentukan dan pembinaan berfikir anak dengan segala sesuatu yang bermanfaat, ilmu pengetahuan, peradaban ilmiah dan modernisme serta kesadaran berfikir dan berbudaya. Dengan demikian, ilmu rasio dan peradaban anak benar-benar dapat terbina.138 Pendidikan intelektual ini sangat erat hubungannya dengan pendidikan iman, moral dan fisik dalam rangka membentuk pribadi anak secara integral dan di dalam mendidik anak secara sempurna agar menjadi seorang insan yang konsisten dalam melaksanakan kewajiban, risalah dan tanggung jawabnya, pelaksanaan pendidikan intelektual ini mencakup tiga masalah yang krusial dan saling terkait, yaitu kewajiban 135
Raharjo, op. cit., hlm. 63. Chabib Thoha, op. cit., hlm. 108. 137 Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 655. 138 Abdullah Nasih Ulwan, “Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam”, Juz I, terj. Saifullah Kamali dan Hery Noer Ali, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: asy-Syifa’, 1981), hlm. 270. 136
56 mengajar, intelektual.
penyadaran
berfikir
dan
pemeliharaan
kesehatan
139
Dengan diberikannya pokok-pokok pendidikan anak tersebut diharapkan anak akan tumbuh dewasa menjadi insan mukmin yang benarbenar shaleh, insan yang kuat akidahnya, mantap ibadahnya, mulia akhlaknya dan cemerlang pemikirannya, sehingga kepribadian mereka terbentuk menjadi pribadi muslim yang kuat. 4. Metode dalam Mendidik Anak Metode pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam pendidikan, karena kenyataan materi pendidikan tidak akan dapat dipelajari dan diterima secara efektif dan efesien, kecuali disampaikan dengan cara-cara tertentu. Ketiadaan metode pendidikan yang efektif akan menghambat dan membuang secara sia-sia waktu dan upaya pendidikan. Istilah metode sebenarnya berarti jalan untuk mencapai tujuan. Jadi, jalan itu bermacam-macam, begitu juga dengan metode.140 Metode diartikan pula sebagai suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pendidikan.141 Sedangkan menurut Moh. Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Omar Muhammad alThoumy mendefinisikan metode sebagai suatu jalan yang kita ikuti untuk memberi faham kepada murid-murid segala macam pelajaran.142 Dalam konteks pendidikan Islam, tujuan untuk mengembangkan sikap, pengetahuan, daya cipta dan ketrampilan pada anak dapat dicapai melalui berbagai metode, maka metode yang digunakan untuk pendidikan anak dalam Islam adalah melalui metode teladan, teguran, cerita, pembiasaan dan melalui pengalaman-pengalaman kongkrit.143 Sedangkan menurut M. Fadhil al-Jamaly menyebutkan metode dari sudut pandang al139
Raharjo, op. cit., hlm. 64. Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 183. 141 Syaiful Bahri Djamarah, op. cit., hlm. 19 142 Omar Mohammad Thoumi al-Shaibani, op. cit., hlm. 551. 143 Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: alMa’arif, 1993), hlm. 324. 140
57 Qur’an, yaitu pemberi peringatan, pemberi pelajaran dan nasehat, historis, keteladanan ibarat yang historis.144 Adapun di antara metode yang sesuai bagi pendidikan anak dan cocok untuk diterapkan dalam mendidik anak antara lain sebagai berikut: a. Metode keteladanan Metode keteladanan berarti metode dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku sifat cara berfikir dan sebagainya.145 Keteladanan memberikan pengaruh yang lebih besar dari pada omelan atau nasehat.146 Ini sejalan dengan pendapat Nashih Ulwan, sebagaimana dikutip oleh Raharjo yang menyatakan, bahwa metode keteladanan adalah metode yang paling menentukan keberhasilan dalam menentukan, mempersiapkan dan membentuk sikap dan prilaku moral, spiritual dan sosial anak.147 Metode keteladanan dalam pendidikan anak adalah metode yang influitif yang paling meyakinkan keberhasilan dalam mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral spiritual dan sosial. hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak yang akan ditirunya dalam tindak tanduknya dan tata santunnya, didasari atau tidak bahkan tercetak dalam jiwa dan perasaan suatu gambaran pendidik, baik dalam ucapan dan perbuatan yang bersifat material dan spiritual, yang diketahui atau tidak.148 Ini menunjukkan bahwa pendidikan dengan metode keteladanan merupakan metode yang berhasil guna. Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat yang menunjukkan kepentingan penggunaan bentuk keteladanan dalam pendidikan. Di antaranya terdapat dalam surat al-Ahza>b ayat 21 sebagai berikut:
144
Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 128-134. Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 178. 146 Jaudah Muhammad Awwat, Manhaj Islam fi al-Tarbiyah al-Athfal, terj. Shihabuddin, Mendidik Anak secara Islami, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 13. 147 Raharjo, op. cit., hlm. 66. 148 Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 2. 145
58
ﻪ ﻮ ﺍﻟ ﱠﻠﺮﺟ ﻳ ﻦ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻤ ﻨﺔﹲ ِﻟﺴ ﺣ ﻮﺓﹲ ﺳ ﻮ ِﻝ ﺍﻟ ﱠﻠ ِﻪ ﹸﺃﺭﺳ ﻢ ﻓِﻲ ﺪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻟ ﹸﻜ ﹶﻟ ﹶﻘ (21 : )ﺍﻷﺣﺰﺍﺏ.ﺍﻪ ﹶﻛِﺜﲑ ﺮ ﺍﻟ ﱠﻠ ﻭ ﹶﺫ ﹶﻛ ﺮ ﻡ ﺍﻟﹾﺂ ِﺧ ﻮ ﻴﺍﹾﻟﻭ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullh itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. alAhzab: 21)149 Di antara faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dalam pendidikan dan dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah uswah hasanah (suri tauladan) yang diikuti oleh anak-anak dan orang dewasa.150 Ini menunjukkan pentingnya contoh teladan pergaulan yang baik dalam usaha membentuk kepribadian seseorang. Dan di sini, peran seorang guru berperan di mana ia harus bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak didiknya, karena dalam prakteknya anak didik cenderung meneladani pendidiknya. b. Metode pembiasaan Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat penting, terutama bagi anak-anak. adapun pembiasaan yang harus dikembangkan dalam diri anak mencakup tingkah laku, ketrampilan, kecakapan dan pola pikir tertentu.151 Menurut Ahmad Tafsir, pembiasaan merupakan teknik pendidikan yang jitu, walau ada kritik terhadap metode ini. Karena cara ini tidak mendidik anak untuk menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya. Oleh karena itu, pembiasaan ini harus mengarah kepada kebiasaan yang baik.152 Bentuk metode pembiasaan yang harus ditanamkan dalam diri anak adalah pembiasaan akidah, ibadah dan akhla>k al-kari>mah.153 Menanamkan kebiasaan itu sulit kadang-kadang memerlukan waktu
149
Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 670. Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 135. 151 Hery Noer Aly, op. cit., hlm. 185. 152 Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 144. 153 M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 187. 150
59 yang lama, kesulitan itu disebabkan pada mulanya seorang anak belum mengenal secara praktis sesuatu yang hendak dibiasakan. Dalam pendidikan anak, metode ini dapat diterapkan dengan cara orang tua/guru, memberi atau melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik, seperti hidup rukun, tolong menolong, jujur dan lain-lain. Dengan sistem pengajaran semacam ini anak secara otomatis menjadi terbiasa baik di sekolah maupun di keluarga. Bertolak dari dasar-dasar yang Islami dan metode paedagogis ini, maka wajib bagi setiap orang tua, pendidik, masyarakat dan media masa berperan aktif untuk mencegah anak dari segala bentuk yang membahayakaan akidah dan mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan dan kehinaan.154 Semua ini dilakukan dalam rangka membantu untuk merealisasikan metode keteladanan supaya dapat berjalan dengan baik di dalam membentuk diri pribadi anak menuju yang lebih baik. c. Metode Nasehat Di antara metode pendidikan yang telah masyhur sejak berabadabad yang silam adalah metode pemberian pembelajaran/nasehat. Metode ini digunakan dalam pendidikan untuk membuka mata anakanak pada hakekatnya sesuatu yang mendorongnya menuju situasi luhur menghiasinya dengan akhlak mulia dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam. Metode ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap jiwa dan perasaan.155 Metode ini sangat penting, karena seseorang kadang-kadang lebih senang mendengarkan atau memperhatikan nasehat orang-orang yang ia cintai dan ia jadikan tempat untuk mengadu segala permasalahan.156 Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan pengaruh jiwa melalui pintunya yang tepat. Bahkan dengan metode ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan anak 154
Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., Juz II, hlm. 128-129. Raharjo, op. cit., hlm. 69. 156 Muhammad Fadhil al-Jamaly, op. cit., hlm. 130-131. 155
60 didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan serta kemajuan masyarakat dan umat. Hubungannya dengan metode ini al-Qur’an menjelaskan dalam surat al-Nisa’ ayat 58.
ﺱ ﹶﺃ ﹾﻥ ِ ﺎﻦ ﺍﻟﻨ ﻴ ﺑ ﻢ ﺘﻤ ﺣ ﹶﻜ ﻭِﺇﺫﹶﺍ ﺎﻫ ِﻠﻬ ﺕ ِﺇﻟﹶﻰ ﹶﺃ ِ ﺎﺎﻧﻭﺍ ﺍﹾﻟﹶﺄﻣﺆﺩ ﺗ ﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻛﹸﺮﻳ ﹾﺄﻣ ﻪ ﺍﻟ ﱠﻠ ﺍﺼﲑ ِ ﺑ ﺎﺳﻤِﻴﻌ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻢ ِﺑ ِﻪ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ ﱠﻠ ﻳ ِﻌﻈﹸﻜﹸ ﺎﻪ ِﻧ ِﻌﻤ ﺪ ِﻝ ِﺇ ﱠﻥ ﺍﻟ ﱠﻠ ﻌ ﻮﺍ ﺑِﺎﹾﻟﺤﻜﹸﻤ ﺗ (58 :)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar Lagi Maha Melihat (QS. al-Nisa’: 58)157 Dalam metode ini, pendidik hendaknya berusaha menimbulkan kesan bagi anak didik, bahwa dia adalah yang mempunyai niat baik dan sangat peduli terhadap kebaikan anak didik.
157
Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 128.