BAB II POLA PENDIDIKAN KEAGAMAAN ANAK DAN JAMA’AH RIFA’IYAH
A. Pola Pendidikan Keagamaan Anak 1. Pengertian Pola Pendidikan Keagamaan Anak Dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to develop). Pengertian “Pendidikan” menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
sekelompok
orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.1 Pendidikan adalah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan masyarakat. 2 Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian
akan
menimbulkan
perubahan
dalam
dirinya
yang
memungkinkan untuk berfungsi dalam kehidupan masyarakat.3 Dalam pengertian yang luas dan representatif, pendidikan adalah seluruh tahapan pengembangan kemampuan dan perilaku-perilaku 1
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2001), Cet. 4, hlm. 10. 2 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), ed. 2, hlm. 10. 3 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), ed. 1, Cet. 5, hlm. 3.
21
manusia dan juga proses penggunaan hampir seluruh pengalaman kehidupan. Pendidikan berarti tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan (seperti sekolah dan madrasah) yang berguna untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap dan sebagainya.4 Menurut
Fuad
Ihsan
dalam
Dasar-Dasar
Kependidikan
menyatakan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda.5 Menurut Dictionary of Education sebagaimana dikutip oleh Fuad Ihsan dalam Dasar-Dasar Kependidikan menyebutkan bahwa pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat dimana ia hidup, proses social dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehingga ia dapat dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol, sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal.6 Menurut Undang-Undang RI No.20 Tahun
2003 tentang
SISDIKNAS, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
4
Muhibbin Syah, Op.Cit., hlm. 10-11. Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan: Komponen MKDK, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), Cet. II, hlm. 4 6 Ibid., hlm. 4 5
22
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.7 Menurut Zakiah Daradjat yang dikutip oleh Zaim El Mubarok menyatakan bahwa pendidikan dalam bahasa Jawa adalah penggulawentah berarti mengolah, yakni mengolah kejiwaan ialah mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak anak. Dalam bahasa Arab pendidikan pada umumnya menggunakan kata tarbiyah.8 Menurut Suwarno bahwa pendidikan pada umumnya berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu citacita tertentu.9 Ahmad D. Marimba dalam bukunya yang berjudul pengantar filsafat pendidikan Islam menjelaskan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidil terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.10 Selanjutnya menurut Sutari Imam Barnadib bahwa disebut pendidikan adalah pemberian bimbingan dan bantuan rohani bagi yang masih memerlukan.11 Lebih lanjut Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada
7
Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, (Bandung: Citra Umbara), hlm. 3. 8 Zaim, El Mubarok, Membumikan Pendidikan Nilai: Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai, (Bandung: Alfabeta, 2008) hlm. 2. 9 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 2001), hlm. 6 10 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 2002), hlm.19 11 Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistamatis, (Yogyakarta: FIP IKIP. 2002), hlm. 25
23
generasi muda atau juga sebagai pengemban potensi-potensi yang terpendam atau tersembunyi.12 Menurut Crow and Crow sebagaimana dikutip oleh Fuad Ihsan dalam Dasar-Dasar Kependidikan menyebutkan pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.13 Dari uraian di atas, maka pendidikan dapat diartikan sebagai: a. Suatu proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan b. Suatu pengaruh dan bimbingan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhannya. c. Suatu usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat. d. Suatu pembentukan kepribadian dan kemampuan anak menuju kedewasaan. Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan ketrampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup
usaha
untuk
mewujudkan
keinginan,
kebutuhan
dan
kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan, pendidikan bukan semata-mata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan yang akan datang, tetapi untuk kehidupan anak
12
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. AlMa’arif, 2000), hlm. 131-132 13 Ibid., hlm. 4
24
sekarang yang sedang mengalami perkembangan menuju ke tingkat kedewasaannya.14 Kata keagamaan berasal dari kata dasar agama yang berarti system, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Kata keagamaan itu sudah mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” yang mempunyai arti sesuatu (segala tindakan) yang berhubungan dengan agama.
15
Menurut Soegardo
Poerbawatja, Pendidikan Keagamaan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa dengan pengaruhnya meningkatkan anak kedewasaan yang selalu diartikan mampu memikul tanggung jawab moral dari segala perbuatannya.16 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola pendidikan keagamaan anak berarti perbuatan atau tindakan serta ucapan yang berkaitan dengan agama yang dilakukan oleh anak. Semuanya dilakukan karena adanya kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran, ketaatan ibadah dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan.
14
Ibid., hlm. 4-5. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 11. 16 Soegardo Poerbawatja, Ensiklopedi Pendidikan,(Jakarta: PT Gunung Agung, 2002), hlm.257. 15
25
2. Dasar Pola Pendidikan Keagamaan Anak Adanya padangan manusia terhadap hakekat manusia sebagai makhluk individu, sosial dan susila, maka dasar pelaksanaan bimbingan mendasarkan pada pandangan tersebut sehingga dasar pelaksaannya meliputi sebagai berikut: a. Dasar Religius. Anak merupakan amanat dari Allah SWT yang diberikan kepada orang tua yang menuntut adanya tanggungjawab, maka bimbingan yang dilakukan orang tua merupakan realisasi dari pelaksanaan perintah dan ibadah kepada Allah SWT. Sebagai mana hadits nabi Muhammad SAW:
ِ َُك ُّل مولُوٍد ي ولَ ُد علَى الْ ِفطْرةِ ح ىَّت ي ع ِرب لِسا نُو فَأَب واه ي ه ِّودا نِِو اَوي ن صِّرانِِو َ ُْ ْ ْ َ ُ ْ َ َ ُ ُ ََ ُ َ َ ْ َ َ َ )أ َْوُيَُ ِج َسانِِو ( رواه أبويعلى والطرباىن
Artinya:
“Setiap bayi yang dilahirkan, dalam keadaan fitrah (suci) hingga bergerak lisannya, maka kedua Ibu–Bapaknya menjadikannya yahudi, nasrani atau majusi.” (HR. Abu Ya’la, Thabrani)17 Dasar religius pendidikan keagamaan pada anak adalah firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 21:
17
hlm. 190.
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam (Jakarta: Siraja, 2006),
26
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.18
Kalau dilihat dari kacamata paedagogis dan didukung oleh hadits tersebut di atas, maka pada dasarnya orang tuanyalah yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pertumbuhan kepribadian anak. Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna mewasiatkan akan tanggungjawab paedagogis ini yang terdapat dalam surat AtTahrim ayat 6:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. AtTahrim: 6).19
18
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Toha Putra, 2005), hlm. 392. 19 Ibid., hlm. 591.
27
Ayat tersebut di atas merupakan dasar pelaksanaan pendidikan dalam rumah tangga atau keluarga. Apabila orang tua dapat mendidik dirinya sendiri dan seluruh anggota keluarganya dengan pendidikan agama Islam, maka mereka akan terhindar dari siksa api neraka. Jadi keluargalah yang bertanggung jawab penuh sebagai pengemban amanat atau wasiat dari ayat tersebut untuk dapat menjaga diri sendiri dan keluarga dari siksa api neraka adalah dengan melalui jalan pendidikan dan pengajaran. Membentuk kepribadian anak perlu adanya bimbingan dan dorongan serta pengawasan terhadap anak, hal ini memerlukan kerjasama yang baik dan harmonis antara keluarga terutama orang tua, guru dan lingkungan masyarakat di mana anak itu berada. Hubungan kerjasama yang baik antara bapak dan ibu dapat menanamkan nilai akhlaqul karimah terhadap anak, maka kerjasama inilah yang sangat diharapkan dalam rangka pembentukan kepribadian anak, dalam hal ini Ngalim Purwanto mengemukakan bahwa: “Suasana yang baik dalam keluarga yaitu terutama tergantung pada bapak dan ibu sebagai pengatur keluarga dan dasar dari seluruh pendidikan keluarga adalah saling cinta mencintai”.20 Dari hadits dan firman Allah SWT tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya anak telah membawa fitrah beragama dan kemudian tergantung kepada kedua orangtuanya di dalam mendidikan 20
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja Karya Offset, 2001), hlm. 96
28
dan membimbing, maka peran orang tua dan guru ikut menentukan dalam menanamkan pendidikan keagamaan agar anak menjadi insan yang patuh, taat beragama.
b. Dasar Psikologis Psikologi yaitu dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasarkan bahwa dalam hidupnya manusia baik segi individu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tentram sehingga memerlukan adanya pegangan hidup yang disebut agama. Orang akan merasa tenang dan tenteram hatinya kalau mereka dapat mendekatkan dan mengabdikan kepada zat yang Maha Kuasa sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ra’d ayat 28:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allahlah hati menjadi tenteram”. (QS. Ar-Ra’d: 28).21
c. Dasar Yuridis Dasar yuridis atau hukum, yaitu pelaksanaan pendidikan keagamaan yang berasal dari perundang-undangan yang berlaku pada 21
Departeman Agama RI, Op.Cit., hlm. 661.
29
suatu negara dimana pendidikan dilaksanakan.22 Adapun sumber yuridis ataupun hukum yang ada di Indonesia ini adalah Pancasila dan UUD 1945. Dasar yuridis atau hukum ini ada 3 macam: d. Dasar ideal Dasar ideal yaitu suatu dasar yang bersumber dari falsafah negara, yaitu Pancasila dimana Pancasila mempunyai arti yang sangat penting bagi umat Islam. 23 e. Dasar konstitusional Dasar konstitusional yaitu dasar yang bersumber dari UUD 1945, dalam bab IX pasal 29. Ayat I berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat II berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”.24 3. Fungsi dan Tujuan Pola Pendidikan Keagamaan Anak Dalam kelangsungan perkembangan dan kehidupan manusia, berbagai pelayanan yang diciptakan dan diselenggarakan. Masing-masing pelayanan itu berguna dan memberikan manfaat untuk memperlancarkan dan memberikan dampak positif sebesar-besarnya terhadap kelangsungan perkembangan dan kehidupan itu. Pendidikan keagamaan mempunyai fungsi yang sangat urgen seperti halnya dengan pelaksanaan dakwah. Penyuluhan dan dakwah adalah sesuatu aktifitas yang dimaksudkan untuk
22
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 19 Ibid, hlm. 20. 24 Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2001), 23
hlm. 12
30
kemungkinan individu-individu dan masyarakat agar dapat mengatasi problema yang timbul karena kondisi yang berubah-ubah, juga bimbingan berfungsi untuk membangun hubungan sosial kemasayarakatan yang harmonis. Suatu pelayanan dapat dikatakan tidak berfungsi apabila ia tidak memperlihatkan kegunaan ataupun tidak memberikan mafaat atau keuntungan tertentu. Tujuan pendidikan keagamaan yang dilaksanakan tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Sebenarnya tujuan pendidikan keagamaan
harus
relevan
dengan
dasar
pelaksanaannya,
yakni
mendasarkan pada pandangan terhadap hakekat manusia selaku makhluk individu, sosial dan makhluk susila.25 Dengan mendasarkan pada pandangan terhadap hakekat manusia dengan tujuan masing-masing, maka rumusan tujuan harus mencakup ketiga tujuan tersebut. Untuk dapat merumuskan tujuan pendidikan keagamaan, penulis terlebih dahulu memberikan tujuan pendidikan keagamaan secara umum. Tujuan pokok bimbingan dan penyuluhan agama adalah memberi bantuan kepada anak bimbing agar mampu memecahkan kesulitan yang dialami dengan kemampuan sendiri atas dorongan dari keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhan 26 Dengan mengetahui tujuan pendidikan keagamaan secara umum itulah maka dapat dirumuskan, apa yang menjadi tujuan dari pendidikan keagamaan yang dilaksanakan, mengingat hakekat tujuan bimbingan
25
B. Singgih dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), hlm. 190 26 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak-Anak Dalam Islam jilid 1-2 (Semarang: CV. Toha putra, 2002), hlm. 2.
31
keagama adalah untuk menjadikan manusia selaku makhluk individu, sosial, susila dan hal ini telah dapat tercakup dalam rumusan tujuan bimbingan secara umum tersebut.27 Fungsi pendidikan keagamaan adalah sebagai berikut: a. Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya dan pertama-tama kewajiban menanamkan keimanan dan ketaqwaan dilakukan oleh setiap orang tua dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan ketaqwaan tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya. Dengan melalui proses belajar-mengajar pendidikan agama diharapkan terjadinya perubahan dalam diri anak baik aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Dan dengan adanya perubahan dalam tiga aspek tersebut diharapkan akan berpengaruh terhadap tingkah laku anak didik, di mana pada akhirnya cara berfikir, merasa dan melakukan sesuatu itu akan menjadi relatif menetap dan membentuk kebiasaan bertingkah laku pada dirinya, perubahan yang terjadi harus merupakan perubahan tingkah laku yang mengarah ke tingkah laku yang lebih baik dalam arti berdasarkan pendidikan agama. 28
27
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 2004), hlm. 23 28 Abdurrahman Al-Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta, Gema Insani Press, 2001), hlm. 16.
32
Di samping pendidikan agama disampaikan secara empirik problematik, juga disampaikan dengan pola homeostatika yaitu keselarasan antara akal kecerdasan dan perasaan yang melahirkan perilaku akhlakul karimah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pola ini menuntut upaya lebih menekankan pada faktor kemampuan berfikir dan berperasaan moralis yang merentang kearah Tuhannya, dan kearah masyarakatnya, di mana iman dan taqwa menjadi rujukannya.29 b. Penanaman Nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sering terjadi salah paham di atara kita karena menganggap bahwa pendidikan Agama Islam hanya memuat pelajaran yang berkaitan dengan akhirat atau kehidupan setelah mati. Bahkan ada yang berlebihan kesalahannya karena menganggap bahwa madrasah hanya mendidik anak untuk siap meninggal dunia. Dengan konsekuensi negatif. Anggapan seperti ini salah, yang benar adalah bahwa madrasah, atau lebih umum lagi pendidikan Agama, dilaksanakan untuk memberi bekal siswa dalam mengarungi kehidupan di dunia yang hasilnya nanti mempunyai konsekuensi di akhirat. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 201:
29
40
Zuhairimi, Metode Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 2004), hlm.
33
Artinya: Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka" ( QS. Al-Baqoroh: 201).30
c. Penyesuaian
mental,
yaitu
untuk
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam. Dapat dikatakan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi, pendidikan agam Islam adalah ikhtiar manusia dengan jalan bimbingan dan pimpinan untuk membantu dan mengarahkan fitrah agama peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama sesuai dengan ajaran agama.31 d. Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangankekurangan dan kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari. Semua manusia dalam hidupnya di dunia ini, selalu membutuhkan adanya suatu pegangan hidup yang disebut agama. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka 30 31
63
Departemen RI, Op.Cit., hlm. 39 Zakiah Darajat, Pendidikan Islam dan Keluarga (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), hlm.
34
meminta pertolongan. Itulah sebabnya bagi orang-orang muslim diperlukan adanya pendidikan agama Islam, agar dapat mengarahkan fitrah mereka tersebut ke arah yang benar sehingga mereka akan dapat mengabdi dan beribadah sesuai denagn ajaran Islam. e. Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal negatif dari lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan menghambat perkembangannya menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Maksudnya adalah bahwa Pendidikan Agama Islam mempunyai peran dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh
karena
itu,
diharapkan
pendidikan
keagamaan
menjalankan fungsinya sehingga masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Untuk itu, Pendidikan agama Islam hendaknya ditanamkan sejak kecil, sebab pendidikan pada masa kanak-kanak merupakan dasar yang menentukan untuk pendidikan selanjutnya. Oleh sebab itu berbicara pendidikan agama Islam, baik makna maupun tujuannya haruslah mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak dibenarkan melupakan etika sosial atau moralitas sosial.32 Sebagaimana tercermin dalam Al-Qur'an surat Luqman ayat 17 yang berbunyi:
32
Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), hlm. 56
35
Artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS: Luqman: 17).33
f. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nir nyata), sistem dan fungsionalnya. Dapat dikatakan bahwa betapa pentingnya kedudukan pendidikan agama dalam pembangunan manusia
Indonesia
seutuhnya,
dapat
dibuktikan
dengan
ditempatkannya unsur agama dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila pertama dalam Pancasila adalah Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memberikan makna bahwa bangsa kita adalah bangsa yang beragama. Untuk membina bangsa yang beragama. Pendidikan agama ditempatkan pada posisi strategis dan tak dapat dipisahkan dalam system pendidikan nasional kita.34 g. Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di bidang agama Islam agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan untuk dirinya dan bagi orang lain. Karena itulah pendidikan Islam memiliki beban yang multi paradigma, sebab berusaha memadukan unsur profan dan imanen, 33
Departemen RI, Op.Cit., hlm. 582 Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), hlm. 4 34
36
dimana
dengan
pemaduan
ini,
akan
membuka
kemungkinan
terwujudnya tujuan inti pendidikan Islam yaitu melahirkan manusiamanusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang. Disamping itu, pendidikan agama Islam memberikan bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuranukuran Islam. 35 Adapun tujuan dari pendidikan keagamaan adalah: a. Membantu individu mencegah timbulnya masalah dalam kehidupan beragama. b. Membantu memecahkan tentang keagamaan yang kebanyakan dari masyarakat sekarang adalah perbedaan pendapat dan kebanyakan dari mereka itu bersifat primordial, maka dari itu tujuan dari bimbingan. c. Menjadikan kondisi agama yang lebih baik. d. Membantu Individu fitrahnya sebagai manusia.36 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Pendidikan Keagamaan Anak Perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatarbelakangi oleh sikap yang ada pada orang yang bersangkutan namun tidak semua ahli menerima pendapat tersebut karena perilaku merupakan manifestasi dari sikap dan sikap itu sendiri mempunyai keterkaitan dengan pengalaman-pengalaman
35
Syaikh M. Jamaluddin Mahfudh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 14. 36 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 138.
37
hidup lainnya. Dengan kata lain untuk mengambil keputusan perilaku, seseorang harus mempertimbangkan banyak hal, sehingga dalam keputusan sikap banyak faktor yang mempengaruhi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan keagamaan pada anak bisa datang dari diri sendiri (faktor intern) dan bisa datang dari luar (faktor ekstern). a. Faktor Intern Faktor intern adalah faktor yang muncul dari dalam diri sendiri dan masanya atas kesadaran yang tinggi. Adapun faktor ini muncul atas: 1) Pengalaman Pribadi Tentang
pengalaman
pribadi
ini
Zakiyah
Daradjat
berpendapat bahwa sebelum anak masuk sekolah telah banyak pengalaman yang diterimanya dari rumah, orang lain, saudarasaudaranya, serta anggota keluarga lain disamping teman-teman sepermainannya. Semua pengalaman yang dilalui sejak lahir merupakan unsur dari kepribadiannya. Oleh karena itu, kepribadian anak yang tumbuh tergantung pada pengalamannya dalam keluarga. Sikap dan pengalaman hidup orang tuanya, sopan santun dalam bergaul, baik dalam keluarga maupun masyarakat pada umumnya akan diserap oleh anak dalam kepribadiannya. Demikian pula sikap mereka terhadap agama, ketekunan menjalankan ibadah dan kepatuhan kepada ketentuan agama serta pelaksanaan nilainilai agama dalam kehidupan agamanya. Maka pembentukan sikap
38
dan perilaku keagamaan hendaknya ditanamkan sedini mungkin dalam pribadi seseorang.37 2) Pengalaman emosi Emosi merupakan pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan perilaku keagamaan. Hal ini didukung oleh sebuah pendapat yang mengatakan, sesungguhnya emosi memegang peranan penting dalam sikap dan tindak agama. Tidak ada suatu sikap atau tindak agama yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosi.
Lebih-lebih
dalam
usia
remaja
yang
mengalami
kegoncangan (masa goncang) masa konflik. Remaja akan gelisah bila tampak perbedaan nilai-nilai agama dengan kelakukan orangorang dalam kenyataan hidup. Kenyataan ini akan menyebabkan mereka benci terhadap agama. Apabila ada yang menyimpang dari agama dan sebagainya, mereka menyamarkan bahwa pemimpin agama tidak sungguh-sungguh dalam tugasnya memelihara moral orang banyak.38 b. Faktor Ekstern Faktor ekstern adalah faktor yang datang dari luar dirinya sehingga keberadaan faktor luar ini banyak jenisnya, antara lain: 1) Pengaruh Orang Tua Pembentukan perilaku keagamaan juga bisa dibentuk sejak dalam kandungan, maka yang paling berperan disini adalah orang 37 38
I. hlm. 80.
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), Cet. 16. hlm. 67. Hafi Anshari, Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 2001), Cet.
39
tua. Pendidikan agama dalam arti pembinaan kepribadian sebenarnya telah dimulai sejak anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Keadaan psikologis orang tua ketika si anak dalam kandungan akan mempengaruhi jiwa anak. Orang tua hendaknya memberi contoh yang lebih dalam dari segala aspek kehidupannya, karena segala ucapan, perlakukan percontohan dan hubungan antara kedua orang tua akan mempengaruhi sikap dan tindakan anak. Kebiasaan perilaku orang tua akan ditiru oleh anak-anak. Jika kebiasaan itu baik maka anak-anak akan meniru dengan baik. Begitu juga sebaliknya bila kebiasaan itu buruk juga akan ditirunya.39 2) Pengaruh Guru Guru merupakan orang pertama setelah orang tua yang mempengaruhi pembinaan dan pembentukan perilaku anak. Oleh karena itu, khususnya guru agama hendaknya menyadari bahwa pendidikan agama bukan sekedar melatih ketrampilan anak dalam melaksanakan ibadah, akan tetapi jauh lebih penting lagi adalah membentuk perilaku anak sesuai dengan ajaran agama. Jika dapat dikatakan bahwa faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Syamsu Yusuf berpendapat bahwa bagi seseorang guru agama diperlukan syarat lain disamping syarat-syarat yang biasanya diperlakukan seorang guru yang bukan pengajar agama.
39
Syamsu Yusuf LN, Op.Cit., hlm. 139.
40
Guru agama hendaknya mengetahui ciri perkembangan jiwa pada anak dalam tiap tahap umur, serta mengetahui latar belakang dan pengaruh pendidikan serta lingkungan si anak.40 Sesungguhnya pendidikan agama lebih berat tanggung jawabnya daripada mengajar ilmu lain. Lebih beratnya bukan pada segi ilmiahnya tetapi terletak pada isi tujuannya. Pendidikan agama lebih bertujuan untuk pembentukan dan pembinaan serta peningkatan keberagamaan atau kepercayaan kepada Allah Swt, bukan berarti guru agama saja yang dapat mempengaruhi kerpibadian anak, tetapi semua guru yang ada di sekolah akan ikut mempengaruhi sikap dan tingkah laku anak didik.41 3) Faktor Masyarakat Masyarakat merupakan tempat untuk bermain anak, sekaligus tempat untuk belajar dari hal baik maupun buruk. Jika di dalam masyarakat itu diwarnai dengan suasana keagamaan, maka anak ikut diwarnai menjadi baik. Begitu juga sebaliknya, jika lingkungan masyarakat itu jauh dan gersang jiwanya dari nilai-nilai agama, ini berpengaruh pada perilaku kesehariannya menjadi buruk. Setiap orang memiliki tingkat ketaqwaan yang berbedabeda sehingga tingkat keberagamaanya juga berbeda-beda.42
40
Ibid., hlm. 138. Muhammad Sayyid Muhammad Az-Za'balawi, Pendidikan Remaja Antara Islam dan Ilmu Jiwa (Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm. 160. 42 Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 81. 41
41
B. Jama’ah Rifa’iyah 1. Sejarah Jama’ah Rifa’iyah Jam’iyah Rifa'iyah lahir sejak KH. Ahmad Rifa'i membangun komunitas santri Kalisalak setelah pulang dari Kota Makkah. Semula Jam’iyah Rifa'iyah merupakan komunitas kecil yang terdiri atas santri angkatan pertama yang kemudian menjadi mata rantai penyebaran gerakan di berbagai wilayah, khususnya di Jawa Tengah. Keberadaan mereka menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu karena dua hal. Pertama, pandangan keagamaan KH. Ahmad Rifa'i yang berlawanan dengan pandangan umum umat Islam, seperti masalah shalat Jum'at, pengulangan pernikahan, masalah rukun Islam, dan lain sebagainya. Kedua, gerakan keagamaan KH. Ahmad rifa'i mempunyai tendensi ke arah isolasi cultural dengan penguasa sebagaimana sering dinyatakan dalam kitab Tarajumah dan sikap yang diperlihatkan oleh KH. Ahmad Rifa'i sendiri dan para santri Kalisalak. Hal ini dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda karena mengandung muatan politis.43 Sejarah tentang perkembangan Jam’iyah Rifa'iyah secara garis besar dibagi menjadi tiga fase, yakni fase pembentukan (formative), fase konsolidasi, dan fase pengembangan. Ketiga fase ini berada dalam rentang waktu sejak masa produktifnya, baik sebagai tokoh agama yang antikolonial maupun penulis kitab Tarajumah, sampai dengan masa kini,
43
Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa (Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifa'i Kalisalak), (LKiS: Yogyakarta, 2001), Cet. I, hlm. 216.
42
di mana pengikutnya tersebar di berbagai wilayah, khususnya di Jawa Tengah.44 Fase pembentukan (formative) merupakan fase paling awal dari munculnya akumulasi ide-ide keagamaan KH. Ahmad Rifa'i di kalangan simpatisan atau murid-muridnya. Ideologi gerakannya memang berada dalam berbagai kitab Tarajumah yang telah dikemukakan di atas, namun kemudian mengalami proses kristalisasi dan menjadi semacam etos yang dimiliki oleh murid-muridnya. Secara sosiologis, inilah yang menjadi perhatian pemerintah karena dipandang berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan, hanya saja kristalisasi ide tersebut belum sempat menjadi kekuatan yang mengkhawatirkan bagi stabilitas politik pemerintah. Salah satu di antara penyebabnya adalah pemutusan hubungan guru dengan murid yang dilakukan oleh pemerintah atas nama Undang-Undang Negara (Regeering Reglement).45 Pada fase paling awal ini, ketergantungan para murid terhadap KH. Ahmad Rifa'i sedemikian besarnya sehingga nyaris tidak ada inovasi dalam gagasan maupun tindakan. Sosok KH. Ahmad Rifa'i sedemikian kuat di hadapan murid-muridnya sehingga wacana intelektual pada masa
44
Menurut catatan dari pengurus pusat Jama'ah Rifa'iyah di Kalisalak, jumlah cabang dan ranting Rifa'iyah di seluruh Indonesia saat ini mencapai 289 dengan rincian: 19 buah di Kabupaten Batang, 48 buah di Pekalongan, 11 buah di Kabupaten Pemalang, 3 buah di Kabupaten Tegal, 5 buah di Kabupaten Brebes, 23 buah di wilayah Kendal, 6 buah di wilayah Demak, 5 buah di Kabupaten Pati, 6 buah di wilayah Purwodadi (Kabupaten Grobogan), 5 buah di wilayah Semarang, 3 buah di wilayah Ambarawa (Kabupaten Semarang), 2 buah di Kabupaten Boyolali, 19 buah di Kabupaten Temanggung, 3 buah di Kabupaten Kebumen, 6 buah di wilayah Kutoarjo, 94 buah di Kabupaten Wonosobo, dan 3 buah di Kabupaten Cirebon. 45 Artikel 47 Reegering Reglement, tahun 1854 menyatakan bahwa seseorang yang dianggap mengganggu ketentraman dan ketertiban dapat dipindahkan ke wilayah lain di Hindia Belanda.
43
itu berpusat kepadanya, baik dalam tradisi tulisan seperti kitab-kitab Tarajumah maupun tradisi lisan yakni pengajaran agama di Pesantren Kalisalak. Cerita tentang KH. Ahmad Rifa'i di mata pengikutnya selalu memperlihatkan
keunggulan
yang
dimiliki
KH.
Ahmad
Rifa'i
dibandingkan ulama pada masanya.46 Pada fase konsolidasi, gerakan KH. Ahmad Rifa'i mengalami masa-masa kejayaan sejalan dengan bertambahnya santri dari berbagai daerah yang belajar di Pesantren Kalisalak. Ikatan jaringan antara guru dan murid dari berbagai daerah sebagaimana disebutkan dalam laporan pemerintah, semakin kuat dan berakibat bertambahnya pengikut KH. Ahmad Rifa'i di berbagai daerah. Konsolidasi tersebut dimungkinkan juga oleh kekuatan sosok KH. Ahmad Rifa'i yang melancarkan gerakan kebudayaan berupa isolasi dengan kebudayaan kota yang didominasi oleh penguasa dan seluruh jajarannya. Fase konsolidasi ini telah berhasil menciptakan komunitas Rifa'iyah di berbagai daerah dengan militansi yang sedemikian kuat. Akan tetapi, posisisnya yang berhadapan dengan pemerintah segera menjadi batu sandungan bagi pengembangan gerakan Rifa'iyah di masa mendatang. Pada fase setelah KH. Ahmad Rifa'i diasingkan ke Ambon, gerakan Rifa'iyah mengalami kemerosotan, khususnya di pusat penyebaran
46
Dalam tulisan Kumpulan Kegiatan Penerus Syekh Ahmad Rifa'i, dijelaskan beberapa ulama yang mengalami konversi setelah bertemu dan berdialog dengan KH. Ahmad Rifa'i. Kiai Muhammad Tubo sebelumnya ingin mengalahkan KH. Ahmad Rifa'i tetapi setelah bertemu dan terlibat perdebatan seru akhirnya ia mengakui kehebatan KH. Ahmad Rifa'i dan kemudian menjadi murid generasi pertama di Kalisalak. Ada pula Kiai yang memperoleh petunjuk dari Tuhan untuk berguru kepada KH. Ahmad Rifa'i seperti yang dialami oleh Kiai Ilham dari Kalipucang Batang.
44
Rifa'iyah, yakni Kalisalak. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menyerahkan aset pemerintah KH. Ahmad Rifa'i kepada isterinya, berupa 2 rumah bambu, 1 tempat masak, 5 gudang pesantrian, 3 pintu, reruntuhan rumah kayu, dan 11 genderang untuk memanggil shalat. Kalisalak yang pernah menjadi pusat kegiatan KH. Ahmad Rifa'i pada paro kedua dari abad ke-19, tidak menyisakan peninggalan fisik dan bahkan masa berikutnya tidak lagi menjadi basis kekuatan gerakan Rifa'iyah. 47 Kekuatan gerakan berpindah secara sporadis di berbagai wilayah seperti Wonosobo, Batang, Pekalongan, Kendal, dan Temanggung. Rifa'iyah tidak lagi menjadi gerakan reaksioner terhadap pemerintahan sebagaimana masa-masa produktifnya KH. Ahmad Rifa'i, tetapi menjadi gerakan yang selalu bertahan terhadap tekanan yang berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan Kasus-kasus berupa insiden konflik antara warga Rifa'iyah dengan umat Islam di beberapa daerah seperti Cirebon, Kutowinangun, Pekalongan, Batang, Demak, dan Kendal memperlihatkan posisi mereka yang hanya bertahan menghadapi tekanan. Dilihat dari segi organisasi, sampai awal tahun 1963 Jam’iyah pengikut KH. Ahmad Rifa'i belum mengalami perubahan yang berarti. Mereka masih terhimpun dalam sejumlah Jam’iyah lokal di bawah pimpinan ulama Rifa'iyah setempat. Ikatan sosial antar Jam’iyah selain dijalin oleh kesamaan paham keagamaan, yakni paham keagamaan yang 47
Ahmad Syadirin Amin, Mengenal Ajaran Tarjamah Syaikh H. Ahmad Rifa'i R.H., (Pekalongan: Yayasan Al-Insap, 1989), hlm. 9.
45
diajarkan oleh KH. Ahmad Rifa'i, juga dijalin oleh adanya hubungan pernikahan. Perkembangan gerakan Rifa'iyah pada fase sesudah pengasingan KH. Ahmad Rifa'i senantiasa tidak pernah sepi dari masalah, namun pengikutnya senantiasa memiliki kemandirian. Ada hambatan bagi Jam’iyah Rifa'iyah untuk menjalin hubungan dengan organisasi sosial keagamaan lain karena faktor ajaran KH. Ahmad Rifa'i. Tidak heran jika di sana-sini masih muncul kesan ketertutupan mereka sehingga dalam banyak hal kurang dapat berinteraksi dengan organisasi sosial keagamaan lain. 48 2. Ajaran Pokok Jama’ah Rifa’iyah a. Pemikiran di Bidang Ushuluddin Ushuluddin dan akidah yang dianut oleh KH. Ahmad Rifa'i adalah beraliran mazhab Sunni, sebagaimana diterangkan dalam kitab beliau yakni: Ri'ayatul Himmat dan Abyanal Hawaij. Beliau juga berpendapat bahwa sesungguhnya taqlid-nya orang-orang lain yang tanpa dalil adalah tidak muktabar dan tidak diterima, karena taqlid tersebut menimbulkan keraguan dalam akidah Islam.49 Iman menurut KH. Ahmad Rifa'i, yakni membenarkan dengan hati, bersaksi dengan lisan dan berbuat dengan anggota badan. Maka barang siapa yang bersaksi dengan kedua kalimat syahadat saja dan tidak menyertai membenarkan dengan hati maka benar-benar dia kafir. 48
Ahmad Adaby Darban, Rifa'iyah; Gerakan Sosial Keagamaan Di Pedesaan Jawa Tengah tahun 1850-1982, (Yogyakarta: Tarawang Press, 2004), hlm. 15. 49 Ahmad Syadirin Amin, Op.Cit, hlm. 11.
46
Barang siapa hatinya membenarkan dan lisannya berikrar dua kalimat syahadat dan tidak melaksanakan kewajiban syara', maka tidak sempurna imannya dan tidak tergolong kafir. Kemudian KH. Ahmad Rifa'i berkata:
ِ اِ َّن ا لتَّسلِ ْيم ُهو مو ِجب . ص َّح ِة اْ ِال يْ َما ِن ُ ُْ َ َ ْ Artinya: Sesungguhnya Islam (tunduk kepada semua hukum Allah) itu yang menetapkan kebenarnnya iman.50
Iman seperti diterangkan dalam kitab-kitab
Tarajumah
mempunyai enam rukun, yaitu: 1) Iman kepada Allah, 2) Iman kepada para malaikat, 3) Iman kepada kitab-kitab, 4) Iman kepada para utusan, 5) Iman kepada hari akhir, 6) Iman kepada qadar baik maupun buruk. Dalam pembahasan mengenai iman kepada Allah, utusan-utusan Allah dan sifat-sifat keduanya. KH. Ahmad Rifa'i mengikuti aqaid 50 (limapuluh) yaitu bahwa Allah dan utusannya mempunyai tiga macam sifat, yaitu sifat wajib, mustahil, dan sifat jaiz. Allah mempunyai 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil dan 1 sifat jaiz yang semuanya terkumpul dalam 50 sifat.51 b. Pemikiran di Bidang Fiqh Fiqh menurut KH. Ahmad Rifa'i bisa dibagi menjadi empat bab, yaitu: Ibadat, mu'amalat, munakahat dan faraid. Pemikirannya dalam bidang fiqh terkandung dalam kitab-kitab fiqh besar. Kitab 50
Ahmad Syadirin Amin, Mengungkap Gerakan dan Pemikiran Syaikh Ahmad Rifa'i, (Pekalongan: Yayasan Badan Wakaf Rifa'iyah, 2004), Cet. I, hlm. 7. 51 Ibid, hlm. 12.
47
tentang pernikahan dijelaskan dalam kitabnya Tabyinal Ishlah, untuk orang yang hendak menikah dengan penjelasan dan syarah. Pembahasan fiqh didahulukan oleh KH. Ahmad Rifa'i berkisar di seputar dasar-dasar dengan pemusatan atas masalah-masalah rukun, dan syarat-syarat yang menjadi dasar ibadah harian. Pendapat KH. Ahmad Rifa'i dalam hukum-hukum syara' sejalan dengan fiqh Imam Syafi'i yang terdapat dalam bermacam-macam kitab. Ketika terdapat pembicaraan yang berbeda dari keduanya tentang suatu masalah maka yang terbaik adalah memikirkan bahwa perbedaan tersebut merupakan ijtihad
individual
KH.
Ahmad
Rifa'i
untuk
menyesuaikan
pemikirannya dengan kebutuhan dan realitas umat.52 KH. Ahmad Rifa'i berpendapat bahwa rukun Islam itu satu dalam pengertian Syarthiyah, yang dinyatakan dalam kitabnya Khusnul Mathalib as-Syar'iyat yakni yang mewajibkan (menentukan secara lahir) sahnya Islam seseorang. Dengan demikian seseorang ketika mengucapkan dua kalimat syahadat maka orang tersebut sudah tergolong masuk Islam, tetapi dia wajib menyempurnakan imannya dengan membenarkan hatinya dan mengerjakan ajaran-ajaran Islam dengan jalan yang sesuai. Adapun rukun Islam yang empat lainnya dinamai dengan "perbuatan Islam". Maka menurut ajaran dasar KH. Ahmad Rifa'i sudah termasuk Islam, orang-orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat saja dan mereka tidak melakukan ajaran-ajaran
52
Ibid, hlm. 15.
48
Islam seperti yang diwajibkan kepada orang Islam. Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya orang-orang itu menikmati keislamannya akan tetapi mereka wajib menyempurnakan apa yang kurang dari syaratsyarat iman kepada Allah (seperti: shalat, zakat, puasa dan haji).53 c. Pemikiran di Bidang Tasawuf KH. Ahmad Rifa'i menyatakan dirinya sebagai pengikut jalan Sunni54 dalam dunia tasawuf sebagaimana dinyatakan dalam berbagai tempat pada kitab-kitab beliau.55 Tentang tasawuf, KH. Ahmad Rifa'i menyatakan bahwa ilmu tasawuf adalah ilmu yang membahas tentang akhlak manusia yang terpuji dan yang tercela untuk memperoleh keridhaan Allah. Beliau menuturkan sebagian bait-baitnya dalam kitab Ri'ayat al-Himmat at Thaat:
ِ اَ َّن ِعلْم ا لتَّص ُّو ِ ت ب ْع ِ ِّ ف ُهو م ْع ِر فَةُ ُُ ا ض َها َم ْح ُم ْو َدةٌ َو َ َ لص َفا َ َ َ ِ ِ ِ ضها م ْذ مو مةٌ فِى ا لْ َقل . صا لِلّ ِه تَ َعا لى ْ ْب ليَ ُك ْو َن ا ل َق ً ص ُد َخا ل َ ْ ُ َ َ ُ بَ ْع
Artinya: Sesungguhnya ilmu tasawuf itu adalah mengetahui sifat-sifat mahmudah (terpuji) dan mazmumah (tercela) yang ada dalam hati untuk menanamkan keikhlasan kepada Allah.56
Menurut KH. Ahmad Rifa'i, tujuan ilmu tasawuf adalah mensucikan hati dan memurnikannya untuk bisa menghadap kepada Allah. Beliau menyatakan dalam kitab Ri'ayat al-Himmat at Thaat: 53
Ibid, hlm. 16. Tasawuf Sunni memiliki corak 'amali karena tokoh-tokohnya memberikan tekanan pada pelaksanaan syari'at terlebih dahulu baru kemudian menghiasinya dengan amaliah tasawuf. Corak ini berbeda dengan falsafi yang menekankan aspek pemikiran dan menitik beratkan pada aspek kesatuan dengan Allah. 55 Abdul Djamil, Op.Cit, hlm. 122. 56 Syaikh Ahmad Rifa'i, Ri'ayat al-Himmat at Thaat, Jilid I, Manuskrip, 1266 H, hlm. 7. 54
49
ِ و اَ َّما ِعلْم ا لتَّص ُّو ِ ف ا ل َْم ْذ ُك ْو ِر فَ ُه َو اَ ْم ُر تَطْ ِه ْي ِر ا لْ َقل ْب ا ل َْم ْع ُم ْو ِل َ ُ َ ِ لِيتَ و َّجهَ اِ لَى ا . َو َما ِس َى ي ا هللُ فَهُ َى بَا ِط ٌل ُم ْن َك ُر.لر ِح ْي ِم ا ل َْعا لِى َّ هلل ا ََ
Artinya: Adapun ilmu tasawuf tersebut adalah perkara yang mensucikan amalan hati untuk menghadap Allah Yang Maha Pengasih, Maha Agung dan selain Allah adalah batil dan munkar.57
Adapun sifat-sifat terpuji menurut KH. Ahmad Rifa'i dalam kitabnya Asnal Miqashad ada delapan yaitu zuhud, qana'ah, sabar, tawakal, mujahadah, ridla, syukur, dan ikhlas yang semuanya mengandung makna khauf (takut), mahabbah (rasa cinta) dan masyarakat akrifat (perenungan kepada Allah). Sedangkan Akhlak yang termasuk sifat tercela adalah Hubbudunya, Thama' Itiba'il Hawa, Ujub, Riya, Takabur, Hasud dan Sum'ah. 58 Makrifat menurut pemikiran KH. Ahmad Rifa'i yaitu berpikir akan kekuasaan Allah atau suasana hati yang menggambarkan menuju kedekatan hamba dengan Tuhannya. Makrifat menurut makna dhahirnya adalah seseorang menunaikan kewajiban-kewajiban agama yang sesuai dengan syara' serta keikhlasan hati karena Allah. Orang yang makrifat ketika dipuji oleh orang mukmin karena kebaikannya, maka bertambah imannya dan bersyukur kepada Allah.59
57
Ibid, hlm. 8. Ibid, hlm. 19. 59 Ibid, hlm. 20. 58
50
3. Murid-Murid Jama’ah Rifa’iyah Di antara murid-murid generasi pertama K.H. Ahmad Rifa’i adalah K.H. Abdul Qohar (Kendal), K.H. Muhammad Tubo, K. Abu Ilham (Batang), K. Maufuro (Limpung), K. Hasan Dimejo (Wonosobo), K. Abdus Saman (Kendal), K. Abdullah/Dolak (Magelang), Abdul Ghani Wonosobo,
Muhammad
Toyyib
(Wonosobo),
Ahmad
Hasan
(Pekalongan), Nawawi (Batang), dan sebagainya. Murid-muridnya inilah yang menyebarkan ajaran Tarojumah ke berbagai daerah di Jawa Tengah dan sekitarnya. Sekarang pengikut Jamaah Rifa’iyah dan simpatisannya tersebar di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat bagian utara seperti Kendal, Pekalongan, Batang, Wonosobo, Pati, Magelang, Demak, Purwodadi, Pemalang, Indramayu, Cirebon dan sebagainya bahkan sampai ke Jakarta. 60 4. Kitab-Kitab Jama’ah Rifa’iyah Kitab-kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i dinamakan Tarojumah dan ajarannya juga dinamakan ajaran Tarojumah karena memang kitab-kitab karyanya merupakan terjemahan dari beberapa ayat Al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab berbahasa Arab. Sebenarnya penamaan kitab Tarojumah sendiri kurang tepat sebab tidak ada satu pun dari karya K.H. Ahmad Rifa’i yang benar-benar merupakan hasil terjemahan dari kitab-kitab berbahasa Arab. Karya KH. Ahmad Rifa’i merupakan saduran dari kitabkitab berbahasa Arab hasil tulisan ulama terdahulu ditambah dengan dalil60
Adif Fahrizal, http//www.kompasiana.com. K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak: Mujaddid dari Tanah Jawa, diakses tanggal 7 September 2013.
51
dalil dari Al-Qur’an dan Hadits. Penamaan Tarojumah bertujuan menghindari konsekuensi politis karena banyak ungkapan yang dinilai berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda, nama itu ditampilkan agar terkesan bahwa kitab itu bukanlah pandangan K.H. Ahmad Rifa’i sendiri, tetapi hanya sekadar menyalin dari kitab berbahasa Arab (Jamil, 2001: 25). Mengenai berapa jumlah kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i masih simpang siur karena ada beberapa pendapat, di antaranya sebagai berikut: 61 buah (Amin 1989: 53), 53 buah (Kartodirdjo dkk, 1976: 301), 55 buah (Kuntowijoyo, 1999: 130). Perbedaan pendapat ini karena K.H. Ahmad Rifa’i juga menulis tanbih (semacam buletin). Sebagian memasukkannya sebagai kitab karya K.H. Ahmad Rifa’i sementara sebagian lagi tidak memasukkannya. Sebagian besar kitab Tarojumah membahas ushuluddin, fikih, dan tasawuf. 61 Dalam kaitannya dengan upaya dakwah yang dilakukannya, ada tujuh metode dakwah yang dikembangkan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut: a. Menerjemahkan Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab berbahasa Arab karangan ulama terdahulu ke dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon berbentuk nazham atau syair; b. Mengadakan kunjungan silaturahmi dari rumah ke rumah famili dan masyarakat;
61
Adif Fahrizal, http//www.kompasiana.com. K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak: Mujaddid dari Tanah Jawa, diakses tanggal 7 September 2013.
52
c. Menyelenggarakan pengajian umum dan dakwah keliling ke daerah yang penduduknya miskin secara materi dan agama guna membendung budaya asing; d. Menyelenggarakan dialog di masjid atau di langgar (mushola); e. Mengadakan kegiatan kesegaran jasmani bagi pemuda; f. Mengadakan gerakan protes sosial keagamaan terhadap birokrat pribumi dan Belanda; g. Untuk mempererat hubungan antara guru dengan murid dan antara murid dengan murid, biasa dilakukan pula pernikahan sesama murid, anak guru dengan murid. Di Kalisalak K.H. Ahmad Rifa’i tetap melakukan kecaman dan protes terhadap Pemerintah dan birokrat pribumi. Tindakan ini tentu sangat meresahkan pemerintah kolonial yang menganggap sikap militan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai ancaman. Kekhawatiran serupa melanda birokrat pribumi yang khawatir kedudukan dan otoritasnya terancam. Berikut ini adalah kutipan pernyataan K.H. Ahmad Rifa’i dalam Nazham Wiqayah, salah satu kitab karangannya.62
62
Adif Fahrizal, http//www.kompasiana.com. K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak: Mujaddid dari Tanah Jawa, diakses tanggal 7 September 2013.