Achmad Muchaddam Fahham
PENDIDIKAN PESANTREN:
POLA PENGASUHAN, PEMBENTUKAN KARAKTER, DAN PERLINDUNGAN ANAK
Diterbitkan oleh: P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika 2015
Judul: Pendidikan Pesantren: Pola Pengasuhan, Pembentukan Karakter, dan Perlindungan Anak Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) xi +142 hlm.; 15.5x23 cm ISBN: 978-602-1247-34-1 Cetakan Pertama, 2015 Penulis: Achmad Muchaddam Fahham Penyunting: Susanto, M.A.
Penyelia Aksara: Helmi Yusuf Desain Sampul: Abue Tata Letak: Zaki
Diterbitkan oleh: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI Gedung Nusantara I Lt. 2 Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta Pusat 10270 Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245 Bersama: Azza Grafika, Anggota IKAPI DIY, No. 078/DIY/2012
Kantor Pusat: Jl. Seturan II CT XX/128 Yogyakarta Telp. +62 274-6882748 Perwakilan Jabodetabek: Perum Wismamas Blok E1 No. 43-44, Cinangka, Sawangan, Kota Depok Telp. (021) 7417244 Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
PENGANTAR PENULIS
Pendidikan pada hakikatnya bukan saja soal transformasi pengetahuan. Bukan juga hanya soal proses pembelajaran yang membuat manusia mampu memahami dan mengetahui ilmu. Apalagi hanya soal sederet angka prestasi siswa yang terekam dalam catatan formal laporan kemajuan mereka atas penguasaan ilmu tertentu. Lebih dari itu, pendidikan merupakan proses pendewasaan sikap dan perilaku, sehingga orang yang terlibat dalam proses pendidikan itu mampu hidup bermasyarakat dengan segala bentuk dinamikanya. Karena itu, orang yang terdidik sejatinya adalah orang yang mampu mengetahui, mampu berbuat sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, mampu menentukan pilihan hidupnya secara bertanggung jawab, dan mampu hidup bersama dalam masyarakat. Pendidikan yang condong pada penguasaan pengetahuan semata akan menciptakan manusia pintar tapi tidak berkarakter baik. Akibatnya proses pendidikan yang dilakukan kurang mampu mengantarkan peserta didik untuk tidak terperosok dalam berbagai perilaku buruk. Penggunaan narkotika, tawuran antarpelajar, dan seks bebas adalah sedikit contoh yang dapat ditunjuk sebagai akibat yang muncul dari proses pendidikan yang condong pada penguasaan pengetahuan semata. Pesantren sebagai satu wadah proses pendidikan berupaya mengurangi gap antara penguasaan ilmu pengetahuan dengan praksis ilmu pengetahuan itu melalui sistem pendidikan asrama dengan tradisi-tradisinya yang khas. Pada awalnya pesantren didirikan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang ditujukan untuk menyiapkan kader penyebar agama namun dalam perkembangannya, institusi ini sebagian besar telah berubah menjadi institusi pendidikan alternatif yang menyediakan layanan pendidikan madrasah dan sekolah, tanpa mengurangi tradisitradisinya yang khas. iii
iv
Achmad Muchaddam Fahham
Dalam sistem pendidikan itu, santri dilatih dan dibentuk untuk menyerap nilai-nilai adiluhung yang berorientasi agama Islam dan mempraktikkan pengetahuan dan nilai-nilai itu dalam sistem kehidupan pesantren: Di mana santri diasuh dalam ritme aktivitas yang terjadwal selama 24 jam, segala aktivitasnya merupakan proses pendidikan dan pengajaran yang diharapkan dapat membentuk karakternya sebagai pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, ikhlas, sederhana, mandiri, berpengetahuan luas, berpikiran bebas, dan bertanggung jawab. Sehingga kelak setelah menyelesaikan proses pendidikan dan pengajarannya di pesantren ia mampu menjalani hidup di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan karakter-karakter itu. Tertarik dengan fenomena tersebut, penulis kemudian tergerak untuk melakukan studi untuk memotret sistem pendidikan tersebut dari sisi pengasuhan, pembentukan karakter, dan perlindungan anak. Studi demikian, hemat penulis, perlu dilakukan untuk memahami bagaimana pesantren mengasuh, membentuk karakter, dan melindungi santri. Hasil studi itu kemudian penulis susun dalam bentuk buku yang kini hadir di tangan pembaca dengan harapan, semoga buku ini dapat menambah khazanah kepustakaan tentang pendidikan pesantren di Indonesia. Buku ini tentu saja masih jauh dari sempurna, karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan demi penyempurnaan buku ini pada edisi terbitan berikutnya. Jakarta, 29 September 2015 AMF,
Pendidikan Pesantren
PENGASUHAN BERBASIS PESANTREN: dari Tradisional menuju Ramah Anak Susanto Wakil Ketua KPAI
Pesantren sebagai subsistem pendidikan nasional merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Menurut Nurcholish Madjid, secara historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia, mengingat sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga serupa pesantren sudah tumbuh di Indonesia dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya. Jadi pesantren merupakan hasil penyerapan akulturasi kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam yang kemudian menjelma menjadi lembaga pesantren yang kian hari semakin dinamis seperti dewasa ini. Historisitas keberadaan pesantren di Indonesia dapat dilacak jauh ke belakang melalui masa-masa awal datangnya Islam di Nusantara dan pesantren secara intens terlibat dalam proses islamisasi tersebut. Sementara proses islamisasi itu, pesantren dengan canggihnya telah melakukan akomodasi dan transformasi sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam perspektif historis, lahirnya pesantren bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan akan pentingnya pendidikan, tetapi juga untuk dakwah keislaman. Pesantren merupakan lembaga pengasuhan alternatif yang keberadaaannya khas. Satu sisi menerapkan sistem pendidikan Islam, di pihak lain membangun kelekatan dengan peserta didik/ santri, seutuhnya yaitu dengan merawat, membimbing, menjaga, dan memantau perkembangan santri. Kyai dalam hal ini, bukan hanya sebagai figur sentral keilmuan tetapi mengendalikan proses pengasuhan yang berjalan dalam setiap pesantren. Adanya v
vi
Achmad Muchaddam Fahham
bagian pengasuhan dalam struktur organisasi pesantren, semakin meneguhkan betapa pesantren sebagai lembaga pendidikan yang khas dengan menerapkan konsep pengasuhan. Dalam proses pengasuhan, seringkali lekat dengan pendisiplinan termasuk yang terjadi dalam pesantren. Hanya saja pola pendisiplinan yang terjadi di pesantren cukup variatif, pendisiplinan otoriter (authoritarian), pendisiplinan demokratis (authoritative) dan Pendisiplinan permisif (permissive). Pola pendisiplinan otoriter, dalam banyak pesantren masih terjadi. Pesantren memberi aturan yang ketat, kaku dan tanpa penjelasan. Pola pendisiplinan di pesantren dengan tipe ini biasanya mendikte segala perbuatan yang seharusnya dilakukan santri serta tidak mengharapkan santri membantah keputusan yang telah ditetapkan dan jika melanggar menerapkan corporal punishment. Corporal punishment merupakan hukuman yang masih dilakukan oleh sebagian pesantren terhadap santri dengan menggunakan kekerasan dengan tujuan mendisiplinkan santri, seperti: memukul tangan dengan penggaris, menjambak rambut karena terlalu panjang, menyuruh push up karena terlambat, menampar kepala dengan sajadah karena kurang lancar membaca dan lain-lain. Dari sejarahnya sendiri corporal punishment sebenarnya sudah lama terjadi. Sebagai contoh Dalam Keluarga Romawi “anak-anak belajar dengan meniru dan hukuman fisik”. Belum lagi peran dari sebagian tafsir keagamaan yang masih mensahihkan kekerasan sebagai metode pendisiplinan. Penanaman disiplin sering disalahartikan dan disamakan dengan hukuman. Bagi sebagian besar guru/ustaz, penanaman disiplin berarti hukuman. “santri ini perlu diajarkan disiplin” diartikan menjadi “santri sah digunakan metode kekerasan, untuk tujuan disiplin”. Cara pandang demikian, merupakan kesalahan besar dalam konsep pendidikan. Penanaman disiplin merupakan pembelajaran atau pelatihan kepada seseorang agar mematuhi peraturan atau tata cara, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara, hukuman berarti mengendalikan perilaku seorang anak sedangkan penanaman disiplin berarti mengembangkan perilaku anak, terutama dalam hal yang terkait dengan tingkah laku. Ini berarti bahwa disiplin mengajarkan anak mengenai kendali diri dan kepercayaan diri dengan menekankan pada apa yang kita inginkan Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
vii
untuk dipelajari oleh anak dan apa yang dapat dipelajari oleh anak. Hal ini merupakan dasar dalam membimbing santri agar rukun dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Tujuan utama kedisiplinan adalah agar santri memahami tingkah lakunya sendiri, berinisiatif dan bertanggung jawab atas apa yang mereka pilih, serta menghormati dirinya sendiri dan juga orang lain. Dengan kata lain, disiplin menanamkan proses pemikiran dan perilaku positif sepanjang hidup santri. Seiring dengan ikhtiar revitalisasi pendidikan, pesantren tentu penting menjadi pelopor perubahan itu, tanpa menghilangkan kekhasan dunia pesantren yang lekat dengan kekhasan nilai keindonesiaan dan keislaman. Kultur pesantren dengan kesederhanaan, kesahajaan dan keikhlasan merupakan modal karakter bahkan modal sosial yang sangat besar bagi alumni. Namun demikian, pendisiplinan dengan kekerasan yang masih terjadi di sebagian pesantren juga perlu direvitalisasi. Karena secara prinsip, Islam merupakan agama yang ramah bagi anak/santri. Islam tak mengizinkan kekerasan sebagai metode dalam proses pendidikan. Spirit Islam sebagai agama ramah terhadap anak, tentu senafas dengan spirit perlindungan anak yang dewasa ini resonansinya semakin menguat. Konsekuensinya, dengan basis nilai Islam sebagai agama ramah anak dan secara operasional diperkuat dengan norma perlindungan anak, sudah seyogyanya pesantren sebagai lembaga pengasuhan menafaskan dirinya sebagai pesantren ramah anak, dengan indikator; menajemen kepemimpinan yang mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi santri, tenaga pendidik dan kependidikan memiki maindset perlindungan anak, kultur relasi sosial, relasi antara guru dan santri maupun kultur pembelajaran berbasis spirit ramah anak. Dengan hadirnya pesantren ramah anak, satu sisi dapat meneguhkan Islam secara faktual memelopori kultur ramah anak, di pihak lain secara institusional mengikuti dinamika tuntutan perkembangan manajemen pendidikan. Buku yang ditulis oleh A. Muchaddam Fahham menjelaskan kepada kita kontribusi pesantren dalam pendidikan di Indonesia. selain itu, ia berharap pesantren dapat melakukan reformasi diri agar proses pendidikan yang selama ini telah dipraktikkan mampu menghadirkan pendidikan Islam alternatif yang ramah anak. Karena itu, tak heran jika dalam buku ini penulisnya secara panjang lebar Pengantar Penyunting
viii
Achmad Muchaddam Fahham
mengurai seluk beluk pesantren mulai dari sistem pendidikan pesantren, pola pengasuhan anak, pembentukan karakter, hingga praktik perlindungan anak di pesantren. Selamat Membaca! Jakarta, November 2015
Pendidikan Pesantren
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS........................................................................................ iii PENGANTAR PENYUNTING...............................................................................v DAFTAR ISI............................................................................................................... ix
BAB I SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN........................................... 1 A. Elemen Pembentuk Tradisi Pesantren......................................... 3 1. Pondok............................................................................................... 3 2. Masjid................................................................................................. 7 3. Santri................................................................................................... 8 4. Kiai....................................................................................................... 9 5. Pengajaran Kitab-kitab Islam Klasik...................................12 B. Tipologi Pesantren...............................................................................14 C. Metode dan Teknik Pembelajaran................................................19 D. Kurikulum dan Materi Pembelajaran..........................................20 E. Fungsi dan Peran Pesantren............................................................21 F. Tujuan Pendidikan Pesantren........................................................23 BAB II PENGASUHAN SANTRI DI PESANTREN.................................25 A. Pendahuluan..........................................................................................25 B. Pengasuhan Santri...............................................................................26 1. Pengertian Pengasuhan............................................................27 2. Pengasuhan santri.......................................................................29 3. Pola Pengasuhan..........................................................................33 C. Pengasuhan Anak di Pesantren Putri Banu Hasyim..........................................................................................35 1. Sekilas tentang Pondok Pesantren Putri Banu Hasyim..................................................................................36 2. Sistem Pendidikan......................................................................38 3. Pengasuhan Santri......................................................................43 a. Sosialisasi Nilai....................................................................44 b. Pembiasaan...........................................................................44 ix
x
Achmad Muchaddam Fahham
c. Takzir.......................................................................................45 d. Anjuran dan Pembujukan...............................................48 e. Kesehatan...............................................................................48 f. Layanan Standar Hidup Layak......................................49 D. Catatan Akhir.........................................................................................51
BAB III PEMBENTUKAN KARAKTER SANTRI.....................................53 A. Pendahuluan..........................................................................................53 B. Pendidikan Karakter...........................................................................59 1. Pengertian......................................................................................59 2. Tujuan dan Fungsi.......................................................................62 3. Nilai-Nilai Pembentuk Karakter............................................63 4. Proses Pendidikan Karakter...................................................64 5. Pendekatan dan Strategi Pendidikan Karakter..................................................................65 a. Kegiatan Pembelajaran....................................................66 b. Pengembangan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar.....................................................66 c. Kegiatan Ko-kurikuler dan atau Kegiatan Ekstrakurikuler................................................67 d. Kegiatan Keseharian di Rumah dan di Masyarakat.......................................................................68 e. Penilaian Keberhasilan....................................................68 f. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan............................................68 g. Tahapan Pengembangan.................................................69 C. Pembentukan Karakter di Pondok Modern Gontor................................................................70 1. Sekilas tentang Pondok Modern Gontor............................70 2. Nilai Pembentuk Karakter.......................................................72 a. Pancajiwa Pondok..............................................................72 b. Motto Pesantren..................................................................77 3. Pendidikan Karakter dalam Proses Pembelajaran.................................................................78 4. Pendidikan Karakter dalam Manajemen Pesantren...............................................................86
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
xi
5. Pendidikan Karakter dalam Kegiatan Santri.............................................................................90 a. Gambaran Umum Kegiatan Santri...............................90 b. Kegiatan Pondok/Asrama...............................................92 c. Kegiatan Organisasi Santri.............................................93 d. Organisasi Kepramukaan................................................94 e. Pembinaan Kegiatan Santri............................................95 D. Catatan Akhir.........................................................................................96
BAB IV PERLINDUNGAN HAK ANAK DI PESANTREN...................................................................................99 A. Pendahuluan..........................................................................................99 B. Perlindungan Hak Anak..................................................................101 1. Hak Anak.........................................................................................101 2. Perlindungan Hak Anak...........................................................104 C. Potret Perlindungan Hak Anak di Pesantren........................108 1. Sekilas tentang Pondok Pesantren Modern Raudlatul Hasanah...................................................................109 a. Kegiatan Guru....................................................................112 b. Kehidupan Santri.............................................................114 2. Pemenuhan Hak Anak............................................................116 a. Hak untuk Hidup dan Hak Tumbuh Kembang..................................................116 b. Perlindungan Anak dari kekerasan.........................118 D. Catatan Akhir: Menuju Pesantren Ramah Anak...................126 BAB V PENUTUP............................................................................................129 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................133 INDEKS...................................................................................................................137 TENTANG PENULIS..........................................................................................141
Daftar Isi
BAB I SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN
Salah satu bentuk institusi pendidikan keagamaan Islam di Indonesia adalah pondok pesantren.1 Institusi ini memiliki sistem pendidikan yang unik sehingga berbeda dengan institusi pendidikan keagamaan lainnya, seperti madrasah. Keunikan sistem pendidikan pesantren oleh Abdurrahman Wahid disebut dengan istilah subkultur, sementara Zamakhsari Dhofier menyebut keunikan sistem pendidikan pesantren itu dengan istilah tradisi pesantren. Letak keunikan sistem pendidikan pesantren dapat dilihat pada elemenelemen pembentuk tradisinya, seperti masjid, santri, pondok, kitabkitab klasik keagamaan, dan kiai. Di samping itu keunikan sistem pendidikan ini juga dapat dilihat pada tipologi, tujuan, fungsi, prinsip pembelajaran, kurikulum, dan metode pembelajarannya. Pada awalnya pesantren memang didirikan untuk pengajaran agama Islam, karena itu tidak terlalu salah jika sebagian orang di luar pesantren memandang pesantren sebagai tempat pengajaran agama Islam an sich. Pesantren sejatinya telah lama banyak berubah. Jika dulu pesantren hanya mengajarkan kitab kuning, kini kurikulum pesantren
1
Menurut Zamakhsari Dhofier, secara bahasa, pesantren atau yang acapkali disebut juga dengan istilah pondok pesantren, berasal dari kata “santri” yang mendapat tambahan kata “pe” di depan dan akhiran “an” berarti tempat tinggal para santri. Lihat Zamakhsari Dofier, Tradsisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 18. Karena itulah ketika orang menyebut kata pesantren yang terbayang adalah tempat di mana para santri belajar dan menuntut ilmu-ilmu keagamaan Islam. Kata “santri” sendiri menurut Nurcholish Madjid, ada yang memandangnya berasal dari bahasa Sansekerta dan ada pula yang memandangnya berasal dari bahasa Jawa. Dari bahasa Sansekerta, kata santri berasal dari kata “sastri” yang berarti melek huruf. Sementara dari bahasa Jawa, kata “santri” berasal dari kata “cantrik”, yakni orang yang selalu mengikti seorang guru ke mana guru itu pergi atau menetap. Lihat Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 19-20.
1
2
Achmad Muchaddam Fahham
telah mengadopsi kurikulum madrasah, banyak juga pesantren yang mengadopsi kurikulum sekolah, bahkan banyak pesantren yang menyusun kurikulumnya sendiri dengan menggabungkan antara kurikulum madrasah dan sekolah sekaligus. Itu berarti bahwa pesantren kini telah mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti matematika, sains, ilmu pengetahuan sosial, pendidikan kewarganegaraan dan lain sebagainya sebagaimana layaknya institusi pendidikan madrasah atau sekolah. Kemudian di mana letak perbedaannya dengan madrasah, jika pesantren juga telah mengajarkan ilmu-ilmu umum di samping ilmu-ilmu agama? Perbedaan pesantren dengan madrasah terletak pada tradisi, metode pembelajaran, dan sistem asramanya. Pesantren misalnya sangat kental dengan tradisi kitan kuning semnetara madrasah tidak memiliki tradisi itu, metode pembelajaran pesantren menggunakan sorogan dan bandongan, sementara metode itu tidak dimiliki oleh madrasah. Sistem asrama memungkinkan pesantren untuk mendidik santri selama 24 jam dan mempraktikkan ilmu agama yang diperolehnya dalam ritme kehidupan santri semnetara madrasah tidak memiliki sistem itu. Karena perbedaan-perbedaan itulah membuat pendidikan pesantren memiliki nilai lebih dibandingkan dengan pendidikan madrasah sehingga pesantren dapat eksis serta berkembang sampai sekarang. Dalam catatan kementerian agama RI tahun 2010/2011 jumlah pesantren yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia sebanyak 27.218 pesantren. Jumlah santrinya sebanyak 3.642.738 orang santri, terdiri dari 1.895.580 orang (52,0%) santri laki-laki, dan 1.747.158 orang (48,0%) santri perempuan. Tenaga pengajar pondok pesantren seluruhnya berjumlah 339.839 orang pengajar, terdiri dari 221.783 orang (65,3%) pengajar laki-laki dan 118.056 orang (34,7%) pengajar perempuan. Mayoritas pengajar berstatus Non-PNS yaitu berjumlah 334.239 orang (98,4%) pengajar dan hanya 5.600 orang (1,6%) pengajar berstatus PNS. Dengan rasio santri dan pengajar Pondok Pesantren adalah 11, yang berarti rata-rata setiap 1 orang tenaga pengajar membimbing 11 orang santri. Berdasarkan latar belakang pendidikan, mayoritas pengajar pondok pesantren berpendidikan minimal kurang dari sarjana (<S1) yaitu sebanyak 288.729 orang (85,0%) pengajar, sedangkan yang berpendidikan Sarjana (S1) atau lebih sebanyak 51.110 orang (15,0%) pengajar.2
2
Data tersebut dikutip dari Kementerian RI tahun 2010/2011.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
3
A. Elemen Pembentuk Tradisi Pesantren Pada umumnya sistem pendidikan pesantren terdiri dari masjid, santri, pondok, dan kiai. Namun ada juga elemen lain yang menjadi ciri khas pendidikan pesantren, yakni pengajaran kitabkitab keislaman klasik. 1. Pondok
Pondok atau asrama merupakan tempat tinggal santri di lingkungan pendidikan pesantren. Pondok atau asrama terdiri dari beberapa kamar yang dihuni sekitar 10-20 orang santri. Biasanya di setiap kamar ada satu sampai dua orang santri senior yang menjadi pengurus kamar. Pengurus kamar inilah yang bertanggung jawab atas segala kegiatan santri di kamar. Untuk menjaga kebersihan kamar, para pengurus itu akan membagi tugas piket kebersihan kamar di mana santri penghuni kamar akan digilir secara bergantian untuk menjaga kebersihan kamar, mengambil air minum dan mengambilkan makanan di dapur umum jika ada penghuni kamar yang sakit. Pengurus kamar juga bertugas untuk membangunkan santri untuk melaksanakan salat subuh berjamaah ke masjid, membimbing santri-santri penghuni kamar untuk membaca alQur’an setiap usai salat maghrib, menambah perbendaharaan kosa kata bahasa Arab maupun bahasa Inggris, membimbing kegiatankegiatan olah raga dan kegiatan lainnya seperti latihan pidato, serta membimbing santri untuk selalu belajar. Bisa jadi sistem asrama yang berlaku antara satu pesantren dan pesantren lainnya berbeda-beda. Saat ini sistem pendidikan pesantren rata-rata telah memiliki tata kelola asrama yang baik, sehingga berbagai kegiatan santri di asrama juga sudah terkelola dengan baik. Di pesantren modern biasanya melatih santri untuk menjadi pemimpin, unit terkecil dari kepemimpinan itu adalah menjadi pengurus kamar. Masing-masing pesantren juga memiliki kebijakan-kebijakan yang berbeda terkait dengan penempatan santri di asrama. Ada pesantren yang menempatkan santrinya berdasarkan asal mereka, misalnya santri yang berasal dari DKI Jakarta ditempatkan menjadi satu asrama atau kamar, tetapi ada juga pesantren yang menempatkan santrinya di asrama secara acak, santri dari berbagai daerah asal mereka ditempatkan dalam satu asrama sehingga mereka dapat berinteraksi dan saling memahami Sistem Pendidikan Pesantren
4
Achmad Muchaddam Fahham
tradisi masing-masing. Asrama pesantren pada umumnya memiliki beragam aktivitas yang dirancang untuk mengatur kegiatan-kegiatan santri di asrama setelah mereka mengikuti proses pembelajaran klasikal di ruang-ruang kelas. Aktivitas itu dimulai pada pukul 13.00 sampai memasuki waktu istirahat pada 22.00 malam. Ragam aktivitas itu bisa berupa pelajaran sore, olah raga, salat asar, mengaji, dan mandi sore. Semua aktivitas ini diatur menurut waktu dan para santri harus mengikutinya secara suka rela. Pengaturan waktu tersebut dimaksudkan untuk melatih disiplin dan tanggung jawab santri dalam kehidupan keseharian mereka di pesantren. Berikut ini adalah contoh kegiatan harian dan mingguan santri di pesantren Daar el-Qalam Pasir Gintung Tangerang Banten: Tabel 1 Kegiatan Harian Santri
Pukul
Kegiatan
04.00-05.00
Bangun pagi, salat subuh berjamaah
06.00-06.45
Mandi, sarapan pagi, persiapan belajar formal
05.00-06.00 07.00-08.30 08.30-09.00 09.00-10.30 10.30-10.45 10.45-12.15 12.15-14.00 14.00-15.45 15.45-17.00 17.00-17.30 17.30-18.30 19.00-20.00 20.00-22.00 22.00-04.00
Pendalaman bahasa Arab/Inggris, pengkajian kitab salaf (khusus santri tingkat Aliyah/SMA Belajar formal, Pelajaran Jam 1 dan 2 Istirahat
Belajar Formal, Pelajaran Jam 3 dan 4 Istirahat
Belajar Formal, Pelajaran Jam 5 dan 6
Salat Zhuhur Berjamaah, makan siang Belajar Formal, Pelajaran Jam 7 Salat Asar Berjamaah Makan sore
Salat Maghrib berjamaah, pengajian al-Qur’an terpimpin oleh guru masing-masing Salat Isya berjamaah
Belajar bersama wali kelas Istirahat
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
5
Tabel 2 Kegiatan Mingguan Santri Hari/Pukul
Kegiatan
Jumat
Santri tidak belajar secara formal
Kamis, 14.00
Kegiatan Kokurikulrer Kepramukaan dan Keputrian
Sabtu, 06.30
Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih
Kamis, 20.00-22.00
Kegiatan Kokurikuler Muhadlarah (public Speaking) dalam bahasa Indonesia
Kegiatan santri pada pesantren tradisional juga sudah menata kegiatan-kegiatan santri mereka di asrama, pesantren Sunan Drajat Paciran Lamongan misalnya sejak awal telah menjabarkan secara rinci kegiatan santri di asrama sebagai terlihat pada tabel kegiatan santri di pesantren tersebut sebagai berikut: Tabel 3 Kegiatan Harian Santri
Waktu
Kegiatan
03.30-04.00
Persiapan Jamaah Salat Subuh
O4.45-05.25
Baca Surat Waqiah, Tabarak dan Ayat Lima (kegiatan asrama)
04.20-04.45 05.30-06.00 06.00-06.30 07.30-13.30 13.30-15.00 15.00-15.30 15.30-16.30 16.30-17.00 17.00-18.00 18.00-19.00 19.00-19.20 19.20-20.00 20.00-21.00
Jamaah Salat Subuh
Pengajian kitab salaf
Persiapan Sekolah Formal Sekolah Formal Ishoma
Jamaah Salat Ashar Madrasah Diniyah
Persiapan Salat Maghrib
Baca Surat Yasin, Tabarak, dan Jamaah Salat Maghrib (Masjid) Madrasatul Qur’an Jamaah Salat Isya Ishoma
Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA)
Sistem Pendidikan Pesantren
6
Achmad Muchaddam Fahham Waktu
Kegiatan
21.00-22.00 22.00-03.30
Takrar (belajar bersama) Istirahat
Tabel 4 Kegiatan Mingguan
Hari
Waktu
Senin
18.00-19.00
Istighasah (masjid)
Kamis
18.00-19.00
Istighasah (masjid)
Senin
Kegiatan
20.00-21.30
Kamis
20.00-21.30
Jumat
05.00-05.30
Jumat
06.30-09.00
Jumat
09.00-16.30
Dhibaiyah/Khitobiyah (asrama) Dhibaiyah/Khitobiyah (asrama) Tahlil (asrama)
Pengajian Abah Yai (masjid Jelaq)
Qira’atil Qur’an (Masjid dan Asrama
Tabel 5 Kegiatan Bulanan
Hari
Waktu
Kamis (malam Jumat Legi)
18.00-19.00 20.00-22.30
Kegiatan Tahlil Istighasah Manakib Kubro
Kegiatan Tahunan 1. Haul Akbar Mbah Banjar, Mbah Mayang Madu, dan Kanjeng Sunan Drajat 2. Akhirussanah Haflatul Wada’ 3. Peringatan Hari Besar Islam
Jika kedua jadwal kegitan di atas terlihat ada perbedaan pada variasi jenis kegiatan, perbedaan itu tergantung pada visi, misi, dan tujuan pesantren. pada pesantren daar el-qalam Pasir Gintung tidak ditemukan kegiatan tahlil, manakib, istighasah, dan dhibaiyyah. Sementara pada pesantren Sunan Drajat, kegiatan-kegiatan itu justru menjadi sentral karena pesantren Sunan Drajat merupakan salah satu pesantren yang melestarikan ritual-ritual pesantren salaf yang berorientasi Islam Ahlussunnah wa Al Jamaah versi Nahdlatul Ulama. Itulah mengapa dapat dikatakan bahwa masing-masing pesantren memiliki karakteristik unik yang menjadi keunggulan mereka. Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
7
2. Masjid Masjid merupakan rumah ibadah sekaligus pusat peradaban umat Islam. Ketika Nabi hijrah ke Yastrib, yang pertama kali dilakukan oleh Nabi adalah membangun masjid yang hingga kini masjid tersebut berdiri dan dikenal dengan nama masjid Aqaba’, setelah membangun masjid, Nabi kemudian mengubah nama kota Yastrib dengan Madinah, yang secara bahasa berarti beradab. Ketika para dai-dai penyebar agama Islam masuk ke Nusantara yang pertama-tama mereka lakukan juga membangun masjid sebagai pusat pengajaran dan penyebaran agama Islam. Karena itu, hingga hari ini kita masih bisa melihat masjid-masjid peninggalan para daidai Islam itu seperti masjid Sunan Ampel di Surabaya Jawa Timur, pada zamannya masjid tersebut merupakan pusat pengajaran dan penyebaran Islam di Jawa Timur. Karena itulah barangkali mengapa setiap pendiri pesantren selalu membangun masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran dalam sistem pendidikan pesantren. Bagi sebuah pesantren masjid merupakan sarana pendidikan yang penting dan utama karena di situlah para santri melakukan ibadah. Di tempat inilah mereka melakukan salat lima waktu secara berjamaah, mulai dari salat subuh hingga isya dan salat-salat nawafil. Di samping itu, masjid juga merupakan tempat di mana kiai menyampaiakan petuahpetuah keagamaannya untuk menambah wawasan keagamaan dan meningkatkan kualitas spiritualitas para santri. Di pesantren, pemimpin salat jamaah di masjid tidak selalu dilakukan oleh kiai, para santri senior yang telah mumpuni di bidang ilmu keagamaan biasanya lebih sering menjadi imam salat berjamaah bagi santri. Hal itu dilakukan untuk melatih para santri senior itu menjadi imam salat berjamaah. Kegiatan keagamaan di masjid biasanya diurus oleh satu bidang khusus. Bidang ini bertugas untuk melantunkan azan di setiap waktu salat, membaca pengumuman-pengumuman penting terkait dengan kegiatan santri dan melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an sebelum salat subuh dan sebelum salat maghrib. Untuk menjaga ketertiban dan kebersihan masjid, para santri biasanya tidak diperkenankan tidur di masjid, mereka diwajibkan untuk tidur di kamar mereka masing-masing di malam hari. Sistem Pendidikan Pesantren
8
Achmad Muchaddam Fahham
Di pesantren tradisional, masjid biasanya dipergunakan untuk mengajarkan kitab-kitab keislaman klasik dengan metode wetonan, di mana kiai atau ustadz membacakan satu kitab tertentu dan para santri memberi harakat atas kitab tersebut, mendengarkan terjemahan dan ulasan isi kitab yang diberikan oleh kiai atau ustadz. Masjid di pesantren juga berfungsi sebagai tempat diskusi masalahmasalah keagamaan di mana santri membentuk kelompok-kelompok kecil untuk mendiskusikan masalah-masalah aktual yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Kegiatan ini biasanya dibimbing oleh ustadz atau santri senior yang beri tugas untuk kegiatan itu. Di pesantren tradisional kegiatan ini dikenal dengan istilah syawir (musyawarah) atau istilah lainnya seperti bahtsul masail, yakni diskusi untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang sedang dihadapi umat Islam, masalah-masalah aktual itu dilihat dari perspektif fikih. Dalam kegiatan ini para santri biasanya merujuk pada pendapat-pendapat ulama yang terekam di dalam kitab-kitab keagamaan Islam klasik maupun kontemporer untuk menentukan status hukum atas perbuatan tertentu. Misalnya bagaimana hukum Islam memandang praktik korupsi yang sedang marak terjadi di tanah air, atau bagaimana hukum Islam memandang kloning dan seterusnya. 3. Santri
Santri adalah sebutan bagi peserta didik yang menimba ilmu pengetahuan di pesantren. Santri menduduki elemen yang sangat penting dalam sistem pendidikan pesantren. Tanpa ada santri tentu saja pesantren tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai institusi pendidikan keagamaan yang menjalanan proses pembelajaran. Dalam sistem pendidikan pesantren, santri merupakan identitas yang sarat nilai. Di masa lalu ciri utama yang melekat pada seorang santri adalah penampilannya yang sangat sederhana: untuk putra memakai peci hitam, selalu memakai sarung, dan sandal bakiak, untuk putri selalu menggunakan kerudung atau jilbab. Memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam, taat beribadah, selalu hormat dan taat kepada kiai. Sampai saat ini identitas demikian masih melekat pada seorang santri. Namun saat ini seorang santri tidak selalu harus memakai sarung dan sandal bakiak. Bisa jadi performa santri saat ini berbeda dengan santri pada masa lalu. Dilihat dari sisi pakaian Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
9
yang digunakan, seorang santri hanpir sama dengan seorang murid madrasah, mereka juga menggunakan celana panjang. Pengetahuan yang dikuasai tidak terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti bahasa Inggris, matematika, sains, ilmu pengetahuan sosial, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia. Bahkan tidak jarang para santri itu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan-keterampilan tentang komputer dan cara menggunakannya. Di beberapa pesantren bahkan para santri juga dilatih untuk menguasai berbagai bidang keterampilan seperti desain grafis, sablon, bertani, berternak, berkebun, otomotif, bengkel, dan mengelola usaha seperti koperasi pesantren. Di masa lalu, seorang santri yang masuk dalam sistem pendidikan pesantren ingin mengusai ilmu-ilmu keislaman dan mengajarkan ilmu yang mereka kuasi itu di tengah-tengah masyarakat. Kini motif seorang santri masuk dunia pesantren bukan saja untuk menguasai ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga menguasai berbagai bentuk skill yang diajarkan di pesantren. Di luar semua itu, motif orang tua melepas anak ke pesantren adalah agar ia memiliki kepribadian yang baik: religius, sederhana, mandiri, jujur, disiplin, sopan, taat dan hormat kepada orang tua, dan kepribadian baik lainnya. Ada dua jenis santri dalam sistem pendidikan pesantren, pertama santri mukim adalah santri yang tinggal di pesantren dan mengikuti seluruh kegiatan pesantren selama 24 jam, kedua santri kalong adalah mereka yang tidak tinggal di asrama pesantren dan hanya mengikuti beberapa kegiatan pesantren secara terbatas, misalnya kegiatan pembelajaran dan kegiatan lainnnya yang ditentukan oleh masing-masing pesantren. 4. Kiai
Ada dua istilah yang digunakan oleh umat Islam Indonesia untuk menyebut orang yang ahli ilmu agama, kedua istilah itu adalah ulama dan kiai. Meskipun begitu ada perbedaan penggunakan dari kedua kata tersebut terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ulama merupakan kata yang digunakan secara umum untuk menunjuk orang yang menguasai ilmu-ilmu agama Islam, sementara kata kiai menunjuk pada orang yang menguasai ilmu-ilmu keagamaan Islam dan menjadi peminpin suatu institusi pendidikan keagamaan Islam yang dikenal dengan pesantren. Kini, ada perubahan penggunaan Sistem Pendidikan Pesantren
10
Achmad Muchaddam Fahham
kata kiai, sebab ada juga ulama yang disebut kiai meskipun ia tidak memiliki atau memimpin sebuah pesantren. Di samping ulama dan kiai ada satu istilah lagi yang digunakan untuk menyebut mereka yang menguasai ilmu-ilmu keislaman, yakni ustadz. Sebutan kiai pada umumnya merupakan gelar yang dipakai untuk menunjuk pada ulama dari kelompok Islam tradisional, meski dalam beberapa kasus istilah kiai juga dipakai oleh Islam modern. Ustadz pada umumnya digunakan untuk menyebut orang yang ahli ilmu agama di kalangan Islam modern Indonesia seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan gerakan-gerakan keagamaan Islam kontemporer seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), gerakan Tarbiyah serta Ikatan Jamaah Ahlul-Bait Indonesia (IJABI), gerakan keagamaan yang disebut terakhir merupakan gerakan keislaman dari kelompok Shi’ah di Indonesia. Di dunia pesantren, seorang kiai, biasanya adalah juga pemilik pesantren. Sosok inilah yang merancang blue print pertama pesantren yang didirikannya dan berupaya sekuat tenaga untuk memajukan proses pendidikannya. Ia juga merupakan pengasuh sekaligus guru yang melatih dan mengajarkan materi-materi keagamaan di pesantren. Karena itu dapat dikatakan bahwa kiai merupakan unsur determinan terhadap maju mundur sebuah pesantren.3 Di pesantren tradisional kiai merupakan simbol otoritas ilmu keagamaan yang menjadi rujukan santri, wali santri dan masyarakat Islam sekitar pesantren. Sebagai pemegang otoritas ilmu keagamaan para wali santri pada umumnya menjadikan kiai tempat bertanya dan berkonsultasi ketika mereka menghadapi berbagai persoalan hidup. Konsultasi itu dapat berupa konsultasi jodoh yang cocok untuk anak mereka, konsultasi kesulitan mencari rizki, sampai dengan konsultasi pengobatan. Kiai juga biasanya menjadi tempat untuk memintah amalan-amalan dan doa-doa agar dengan amalan-amalan dan doa-doa itu para wali santri dapat hidup tenang dan diridhai oleh sang Pencipta. Posisi kiai yang demikian, biasanya tidak kita temukan pada kiai yang mengasuh pondok pesantren modern. Para wali santri lebih sering bertemu dengan ustadz dan santri senior ketimbang bertemu dengan kiai. Karena
3
Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LkiS, 2004). Hlm. 28. Lihat juga karya Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta: LkiS, 2007), hlm. 93.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
11
pola pengasuhan dan kegiatan santri pada pondok modern memang sedikit berbeda dengan pola pemgasuhan yang berlangsung pada pesantren tradisional. Pola pengasuhan santri di pondok modern lebih banyak diserahkan kepada tanggung jawab ustadz dan santri senior. Dan kiai tidak menjadi tempat konsultasi masalah-masalah keagamaan maupun sosial yang dihadapi oleh para wali murid dan masyarakat sekitar. Ketika para wali murid berkunjung ke pondok modern tempat anak mereka nyantri, tidak ada keharusan untuk bertemu dengan kiai. Pada pondok pesantren tradisional, bertemu kiai merupakan keharusan moral yang mesti mereka lakukan, ada semacam ketidaknyamanan jika mereka tidak bertemu dengan kiai, sebab itu saat yang tepat bagi mereka untuk berkonsultasi dan berkomunikasi secara langsung dengan kiai. Predikat kiai pada umumnya diperoleh melalui pengakuan dari masyarakat, di samping itu, predikat ini juga diperoleh secara genealogis: sesorang menjadi kiai karena orang tuanya adalah pemilik pesantren dan kemudian pesantren itu diwariskan kepadanya.4 Di Jombang Jawa Timur, menurut Turmudi kiai dapat dibedakan menjadi empat kategori, yakni kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik dan kiai panggung. Kategori ini sesuai dengan kegiatan-kegiatan khusus yang mereka lakukan dalam pengembangan Islam. Kiai pesantren memusatkan perhatiannya pada mengajar di pesantren untuk meningkatkan sumber daya masyarakat melalui pendidikan. Kiai terekat memusatkan kegiatan mereka dalam membangun dimensi batin (dunia hati) umat Islam. Kiai panggung adalah para da’i yang menyampaikan ajaran Islam lewat mimbar-mimbar dakwah baik di masjid maupun di perayaan hari-hari besar keislaman. Kiai politik adalah mereka yang memusatkan perhatiannya untuk mengembangkan Nahdlatul Ulama (NU) secara politis. Bisa jadi
4
Asal usul istilah kiai menurut Dhofier digunakan untuk tiga jenis gelar yang berbeda-beda: (1) sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat misalnya, “kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta; (2) gelar kehormatan untuk orangorang tua pada umumnya; (3) gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Lihat Dofier, Tradisi Pesantren, hlm. 93.
Sistem Pendidikan Pesantren
12
Achmad Muchaddam Fahham
seorang kiai dapat digolongkan dalam lebih dari satu kategori, terutama jika kiai tersebut aktif membina dan mengembangkan pesantren, berdakwah, bertarekat, dan berpolitik.5 Terlepas dari semua itu, kiai dan pesantren tampaknya sulit untuk dipisahkan. Pesantren tidak akan eksis tanpa kiai, sebaliknya kiai juga tidak akan memiliki pengaruh kuat di tengah-tengah masyarakat jika ia tidak memiliki pesantren, begitulah kira-kira kedukukan kiai di pesantren. 5. Pengajaran Kitab-kitab Islam Klasik
Dalam sistem pendidikan pesantren tradisional kitab-kitab Islam klasik kerap disebut dengan istilah kitab kuning. Pada umumnya, kitab-kitab ini dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan Arab, menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan para ulama dan pemikir Muslim lainnya di masa lampau, khususnya berasal dari Timur Tengah. Format kitab kuning juga khas dan kertas yang digunakannya berwarna kekuning-kuningan. Dalam amatan Azra kitab kuning sejatinya merupakan kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, Melayu, dan Jawa atau bahasa lokal lain di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab, selain ditulis ulama Timur Tengah, juga ditulis ulama Indonesia sendiri.6 Baik Bruinessen maupun Azra berpendapat bahwa sulit untuk melacak kapan waktu persis terjadinya penyebaran dan pembentukan tradisi awal kitab kuning di Indonesia. Historiogarfi tradisional dan berbagai catatan baik lokal maupun asing tentang penyebaran Islam di Indonesia, menurut Azra tidak menyebut judul banyak kitab yang digunakan di dalam masa awal perkembangan Islam di Indonesia.7 Terlepas dari kapan waktu persis kitab kuning tersebar di Indonesia, yang pasti dahulu ciri utama sebuah pondok pesantren adalah pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Tapi dengan berdiri pondok-pondok yang berorientasi modern yang tidak menjadikan kitab-kitab Islam klasik sebagai unsur utama dalam kurikulum pesantrennya, maka kitab-kitab Islam klasik sekarang tidak bisa Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, hlm. 32-34. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di TengahTantangan Milenium III (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 143. 7 Ibid., 5 6
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
13
dikatakan merupakan ciri utama pendidikan pesantren. Karena itu yang bisa dikatakan secara pasti adalah kitab-kitab Islam klasik atau kitab kuning adalah ciri utama dalam kurikulum pondok pesantren tradisional yang bermazhab Syafi’i. Kitab-kitab Islam klasik yang menjadi unsur utama kurikulum pendidikan pesantren tradisional terdiri dari beragam ilmu yakni ilmu tata bahasa Arab: nahwu, (syntax), sharaf (morfologi); fiqh; ushul fiqh; hadis; tafsir; tauhid, tasawuf dan akhlak, sejarah Islam (tarikh) dan balagha (gaya ungkapan bahasa Arab). Ilmu-ilmu ini juga diajarkan di pesantren modern8 tetapi kitab-kitab atau bukubuku yang dijadikan rujukan dalam pembelajaran berbeda. Sebagai perbandingan, di pesantren tradisional kitab fiqh yang digunakan dalam pembelajarannya adalah kitab safinatun najah, kitab akhlaknya menggunakan akhlaq lil banin, kitab hadisnya menggunakan arbain nawawi, kitab tafsirnya menggunakan tafsir Jalalayn, sementara di pesantren modern kitab fiqh yang digunakan adalah fiqh al-wadih dan bidayat al-mujtahid, tidak ada kitab khusus yang digunakan dalam kajian akhlak. Meskipun begitu kajian tentang akhlak dapat ditemukan dalam pembelajaran mahfudhat, yang berisi ungkapan pendek tentang akhlak, kitab hadisnya menggunakan bulughul maram, dan kitab tafsirnya menggunakan tafsir madrasi. Selain itu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik di pesantren tradisional diselenggarakan secara terpisah dari sistem madrasah. Pesantren tradisional yang memiliki institusi madrasah pada umumnya memisahkan antara kurikulum pesantren dan kurikulum madrasah. Kurikulum pesantren menggunakan kitab-kitab Islam klasik, sementara kurikulum madrasah menggunakan kurikulum yang dikeluarkan oleh kementerian agama. Dalam kurikulum madrasah pendidikan agama dibagi menjadi beberapa jenis ilmu, yakni qur’an-hadis, aqidah-aklak, bahasa arab dan sejarah peradaban Islam. Buku-buku yang digunakan ditulis dalam bahasa Indonesia kecuali bahasa Arab yang menggunakan baik bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Berbeda dengan pesantren tradisional, pesantren modern tidak memisahkan antara kurikulum pesantren dengan kurikulum
8
Harus dipahami bahwa ketika dalam tulisan ini disebut pesantren modern maka yang dimaksud adalah pondok modern Gontor dan pondok modern lainnya yang menganut sistem pendidikan pondok modern Gontor.
Sistem Pendidikan Pesantren
14
Achmad Muchaddam Fahham
madrasah. Kurikulum pesantren merupakan kurikulum yang disusun sendiri oleh pendiri pesantren dengan menggabungkan antara kurikulum keagamaan dan kurikulum ilmu pengetahuan umum. Karena itu, pesantren modern menyatakan bahwa kurikulum mereka adalah 100% agama dan 100% ilmu pengetahuan umum. B. Tipologi Pesantren
Banyak studi yang telah dilakukan untuk menjelaskan tipe-tipe pondok pesantren di Indonesia. Tim Kementerian Agama RI misalnya mengkategorikan pesantren menjadi: (a) Pondok Pesantren tipe A, yakni pondok pesantren yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional; (b) Pondok Pesantren tipe B, yakni pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madsarah); (c) Pondok Pesantren tipe C, yakni pondok pesantren yang hanya merupakan asrama, sedangkan santrinya belajar di luar; (d) Pondok pesantren tipe D, yakni pondok pesantren menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.9 Tipe-tipe pesantren yang dipaparkan oleh Tim Kementerian Agama di atas memilah pondok pesantren dari segi penyelenggaraan pendidikan. pemilihan demikian memang memudahkan kita untuk memahami bahwa pesantren yang eksis di tengah-tengah masyarakat tidaklah satu namun beragam terutama jika ditilik dari sisi penyelenggaraan pendidikannya, tetapi di sisi lain, pemilihan itu belum sepenuhnya dapat menjelaskan apa sejatinya yang dimaksud dengan tradisional, apa pula yang dimaksud dengan pengajaran secara klasikal, selanjutnya, jika pesantren itu hanya berupa asrama, apakah di dalamnya tidak ada program pembelajaran khas, begitu juga dengan pesantren tipe yang disebut terakhir, bagaimana pola pembelajaran pesantren yang demikian? Karena itu, dapat dikatakan bahwa pemilihan-pemilahan tersebut baru sedikit menjelaskan sisi luar pesantren belum masuk dalam sistem pendidikan secara menyeluruh. Tipe-tipe pesantren juga dikemukakan oleh M. Ridlwan Nasir, menurutnya tipe pesantren dapat diklasifikasikan menjadi lima, yakni: (a) pondok pesantren salaf/klasik, yakni pondok pesantren
9
Tim Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di Pesantren (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 18.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
15
yang di dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (weton dan sorogan) dan sistem klasikal (madrasah salaf); (b) pondok pesantren semi berkembang, yakni pondok pesantren yang di dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (weton dan sorogan) dan sistem klasikal (madrasah) swasta dengan kurikulum 90% dan 10% umum; (c) pondok pesantren berkembang, yakni pondok pesantren seperti semi berkembang hanya saja lebih bervariasi dalam bidang kurikulumnya, yakni 70% agama dan 30% umum. Di samping itu juga diselenggarakan madrasah berdasarkan SKB Tiga Menteri dengan penambahan madrasah diniyah; (d) pondok pesantren khalaf/modern, yakni seperti bentuk pondok pesantren berkembang hanya saja sudah lebih lengkap lembaga yang ada di dalamnya, antara lain diselenggarakan sistem sekolah umum dengan penambahan diniyah (praktik membaca kitab salaf), perguruan tinggi (baik umum maupun agama), memiliki koperasi dan dilengkapi pula dengan takhassus (bahasa arab dan inggris); (e) Pondok Pesantren Ideal, yakni pondok pesantren modern hanya saja lembaga pendidikan yang ada lebih lengkap, terutama bidang keterampilan yang meliputi pertanian, teknik, perikanan, perbankan dan benar-benar memperhatikan kualitasnya dengan tidak menggeser ciri khusus kepesantrenannya yang masih relevan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Dengan adanya bentuk tersebut, diharapkan alumni pondok pesantren benar-benar berpredikat khalifah fi ardhi.10 Sementara Arifin11 mengklasifikasi pesantren menjadi empat macam, yakni: (a) pesantren salaf (tradisional), yaitu pesantren yang hanya memberikan materi agama kepada para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini adalah mencetak kader-kader da’i yang akan menyebarkan Islam di tengah masyarakat. Pada pesantren ini, santri hanya dididik dengan ilmu-ilmu agama dan tidak diperkenankan mengikuti pendidikan formal. Kalaupun ilmu-ilmu itu diberikan, maka hal itu hanya sebatas pada ilmu yang berhubungan dengan
10
11
M. Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Islam Ideal, Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 95-102. Imron Arifin, “Kepemimpinan Kyai dalam Sistem Pengajaran Kitab-kitab Islam Klasik (Studi Kasus Pondok Pesantren Tebuireng Jombang)” (Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, 1992), hlm. 52.
Sistem Pendidikan Pesantren
16
Achmad Muchaddam Fahham
keterampilan hidup; (b) Pesantren ribath, yakni pesantren yang mengkombinasikan pemberian materi agama dengan materi umum. Biasanya selain tempat pengajian, pada pesantren ini juga disediakan pendidikan formal yang dapat ditempuh oleh para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini, selain untuk mempersiapkan kader da’i juga memberikan peluang kepada para santrinya untuk mengikuti pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian, diharapkan akan mengisi posisi-posisi strategis, baik dalam pemerintahan dan di tengah-tengah masyarakat; (c) Pesantren khalaf (modern), yakni pesantren yang didesain dengan kurikulum yang disusun secara baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Disebut khalafi, karena adanya berbagai perubahan yang dilakukan baik pada metode maupun materi pembelajaran. Para santri tidak hanya diberikan materi agama dan umum, tetapi juga berbagai materi yang berkaitan dengan skill atau vocational (keterampilan); (d) pesantren jami’i (asrama pelajar dan mahasiswa), yakni pesantren yang memberikan pengajaran kepada pelajar atau mahasiswa sebagai suplemen bagi mereka. Dalam perspektif pesantren ini, keberhasilan santri dalam belajar di sekolah formal lebih diutamakan. Oleh karena itu, materi dan waktu pembelajaran di pesantren disesuaikan dengan luangnya waktu pembelajaran di sekolah formal. Berbeda dengan Arifin, Ziemek membagi pesantren berdasarkan kelengkapan sarana dan fungsi pesantren, karena itu pesantren menurutnya dapat dibagi menjadi lima jenis, yakni: (a) Pesantren tarekat (kaum sufi), yakni pesantren yang menyelenggarakan pengajian-pengajian yang teratur dalam masjid dengan sistem pengajaran yang bersifat pribadi. Di sini, beberapa orang santri diterima belajar berdiam di rumah kiai. Pesantren tarekat lebih menekankan pendidikan santri dalam hubungannya dengan Allah. Dalam pesantren ini banyak diajarkan berbagai tahapan untuk mencapai derajat yang lebih tinggi di sisi Allah. Dengan berbagai kegiatan, seperti melaksanakan riyadhah, dzikir, dan lain sebagainya; (b) Pesantren klasik/tradisional, yakni pesantren yang memiliki asrama bagi santri yang sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat belajar yang sederhana. Komplek kediaman para santri seringkali berupa rumah-rumah kayu/bambu untuk pemondokan maupun ruangan belajar yang terpisah; (c) Pesantren plus sekolah, yakni pesantren dengan komponen-komponen klasik yang Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
17
dilengkapi dengan satu madrasah (sekolah) yang menunjukkan adanya dorongan modernisasi dari pembaruan Islam. Madrasahmadrasah tersebut mempunyai tingkatan kelas dan kurikulumnya berorientasi kepada sekolah-sekolah yang resmi; (d) Pesantren, sekolah plus pendidikan keterampilan, yakni pesantren yang di samping menyelenggarakan sekolah juga melaksanakan pendidikan keterampilan bagi santri dan warganya; (e) Pesantren modern, yaitu pesantren yang mencakup pendidikan keislaman klasik dan semua tingkat sekolah formal dari sekolah dasar hingga universitas. Selain itu, pesantren jenis ini juga melaksanakan program pendidikan keterampilan. Program-program pendidikan yang berorientasi lingkungan mendapat prioritas utama dari pesantren ini.12 Ridwan Abdullah Sani juga membagi pesantren menjadi tiga tipe, yakni pesantren tradisional, pesantren modern, dan pesantren komprehensif. Selanjutnya berdasarkan pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan pondok pesantren, Sani membagi tipe pesantren menjadi dua bentuk, yakni pesantren salafiyah dan pesantren khalafiyah (ashriyah).13 Terlepas dari pembagian tipe-tipe pesantren yang diberikan oleh para peneliti di atas, saat ini pesantren hemat penulis dapat dikelompokkan menjadi empat tipe, pertama, pesantren tradisional atau yang lazim disebut pesantren salaf, kedua pesantren modern atau yang lazim disebut dengan pesantren ashri, ketiga pesantren kombinasi, yakni sebuah pesantren yang menggabungkan sistem pendidikan tradisional dan sistem pendidikan modern, dan keempat pesantren ala boarding school. Pesantren salaf adalah pesantren yang memiliki usnur-unsur pendidikan pesantren seperti pondok atau asrama, santri, masjid, kiai, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik, namun tidak memiliki sistem pendidikan klasikal seperti madrasah atau sekolah, ia murni hanya mengajarkan kitab-kitab Islam klasik, tanpa ada sistem penjenjangan, dan tanpa ijazah. Pesantren murni salaf seperti ini sudah sangat jarang sekali, kalau pun ada biasanya pesantrennya kecil dan santrinya pun tidak banyak. Pesantren modern merupakan pesantren yang memiliki unsurunsur atau elemen-elemen sistem pendidikan pesantren, seperti Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, hlm. 99. Ridwan Abdullah Sani, Pendidikan Karakter di Pesantren,
12 13
Sistem Pendidikan Pesantren
18
Achmad Muchaddam Fahham
pondok, masjid, santri, kiai, dan kurikulum yang dirancang sendiri oleh pesantren. pesantren ini sering menyebut kurikulumnya sebagai 100% agama dan 100% umum. Namun demikian ada variasi kurikulum yang dimiliki oleh pesantren modern sehingga pesantren ini juga memiliki varian-varian. Ada pesantren modern yang menyelenggarakan sistem madrasah. Kurikulum yang digunakan untuk pembelajaran di madrasah mengikuti kurikulum madrasah yang ada dibawah naungan kementerian agama. Ada juga pesantren modern yang menyelenggarakan sistem pendidikan sekolah. Kurikulum yang digunakan mengikuti kurikulum sekolah yang ada di bawah naungan kementerian pendidikan dan kebudayaan. Ciri terpenting dari pesantren modern hemat penulis terletak pada sistem pendidikannya yang diselenggarakan secara terpadu, kurikulumnya terdiri dari kurikulum intra kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra kurikuler. Kurikulum intra diselenggarakan di sekolah atau madrasah, sementara kurikulum ko-kurikuler diselenggarakan di luar pembelajaran madrasah atau sekolah dalam bentuk pembelajaran tambahan. Selebihnya kurikulum ekstra kurikuler diselenggarakan dalam rangkaian kegiatan di asrama selama 24 jam penuh. Secara umum sistem yang terapkan adalah pendidikan dan pengasuhan. Pondok pesantren kombinasi merupakan pondok pesantren yang berupaya menggabungkan sistem pendidikan pesantren tradisional dan pendidikan pesantren modern. Ciri utamanya tampak pada penyelenggaraan pendidikannya. Pesantren tipe ini pada umumnya memiliki sistem pendidikan klasikal, bisa berbentuk madrasah atau sekolah. Kurikulumnya terdiri dari kurikulum pesantren tradisional berupa pembelajaran kitab kuning dan kurikulum madrasah atau sekolah. Seperti halnya pondok pesantren modern, pesantren tipe kombinasi memiliki kurikulum intra, kokurikuler, dan ekstra kurikuler. Kurikulum intra diselenggarakan di sekolah atau madrasah. Ko-kurikuler diselenggarakan sebelum dan/atau sesudah pembelajaran sekolah atau madrasah. Kurikulum ekstranya diselenggarakan dalam sistem asrama, di mana santri harus mengikuti seluruh proses aktivitas pesantren. Mulai dari bangun tidur di pagi hari pukul 04.00, hingga tidur kembali pada pukul 22.00. Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
19
Salah satu bentuk institusi pendidikan keagamaan Islam yang saat ini berkembang di Indonesia adalah boarding school. Pola pendidikannya mirip pesantren. di mana siswa harus tinggal di asrama dan menjalani proses pembelajaran 24 jam. Meskipun mirip, tentu saja institusi boarding school berbeda dengan pesantren. Salah satu Salah satu ciri pembeda yang sangat menonjol adalah biaya pendidikan boarding school cenderung mahal. Bukan itu saja yang lebih substantif adalah tradisinya. Pesantren memiliki tradisi yang khas, di mana santri diberi pembelajaran keagamaan jauh lebih banyak dari pada materi-materi pembelajaran umum. Sementara boarding school, lebih menekankan pada penguasan sains, sementara agama merupakan pelengkap dari penguasaan sains itu. Sasaran peserta didik dari boarding school tampaknya adalah kalangan menengah atas. Beberapa model pesantren ala boarding school ini adalah Pondok Pesantren Ar-Rahman Sukabumi, al-Kautsar Boarding School Sukabumi, SMA Internasional Islamic Boarding School Cikarang Jawa Barat. C. Metode dan Teknik Pembelajaran
Secara umum metode pembelajaran yang digunakan di pesantren adalah: sorogan, bandongan (wetonan), musyawarah (mudzakarah), hafalan, dan lalaran.14 Ada juga metode lain yang kerap digunakan di pesantren, yakni metode demontrasi dan riyadlah.15 a. Sorogan, yakni metode belajar individu di mana seorang santri berhadapan langsung dengan kiai atau guru. Teknisnya, seorang santri membaca materi yang telah disampaikan kiai. Selanjutnya kiai membetulkan kesalahan yang dilakukan oleh santri tersebut mengikuti kiai membaca dan menjelaskan berbagai kitab. b. Bandongan/Wetonan, yakni metode pembelajaran kelompok dan bersifat klasikal, dimana seluruh santri untuk kelas-kelas tertentu.16 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 61. Lihat juga Basri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan (Jakarta: Prasasti, 2002), hlm. 29. 15 Imam Amrusi Jailani, “Pendidikan Pesantren sebagai Potret Konsistensi Budaya di Tengah Himpitan Modernitas,” dalam Karsa Vol. 20 No. 1 Tahun 2012, hlm. 77-79. 16 Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 30. 14
Sistem Pendidikan Pesantren
20
Achmad Muchaddam Fahham
c. musyawarah/mudzakarah, yakni metode pembelajaran berupa diskusi berbegai masalah yang ditemukan oleh para santri. Metode ini digunakan untuk mengolah argumentasi para santri dalam menyikapi masalah yang dihadapi. d. Hafalan, yakni metode untuk menghafal berbagai kitab yang diwajibkan kepada para santri. Dalam praktiknya, metode hafalan merupakan kegiatan kolektif yang diawasi oleh kiai. e. Lalaran, yakni metode pengulangan materi yang dilakukan oleh seorang santri secara mandiri. Materi yang diulang merupakan materi yang telah dibahas di dalam sorogan maupun bandongan, untuk memperkuat penguasaan materi. f. Metode demontrasi atau praktik ibadah, yakni metode pembelajaran yang dilakukan dengan cara memperagakan kemampuan pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perseorangan atau kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan ustadz. g. Metode riyadlah merupakan metode pembelajaran yang menekankan aspek olah batin untuk mencapai kesucian hati para santri dengan berbagai cara berdasarkan petunjuk dan bimbingan kiai. Metode-metode di atas, diaplikasikan dengan berbagai teknik pembelajaran, antara lain sebagai berikut: a. Teladan (uswah), yakni teknik pembelajaran dengan memberi contoh nyata kepada santri. Teknik ini hampir sama dengan teknik demonstrasi, tapi cakupannya lebih luas, yakni terletak pada semua sisi kehidupan dari seorang kiai atau guru. b. Pembiasaan (adat), yakni teknik pembelajaran dengan memupuk kebiasaan kepada seorang santri untuk melakukan hal-hal tertentu. Teknik ini dimaksudkan untuk internalisasi atau kristalisasi materi ajar ke dalam diri santri. D. Kurikulum dan Materi Pembelajaran
Kurikulum adalah rencana tertulis berisi ide dan gagasan yang dirumuskan oleh institusi pendidikan. Kurikulum dapat diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tujuan yang harus dicapai, isi materi, dan pengalaman belajar yang harus dilakukan peserta didik, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
21
yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam kehidupan nyata. Komponen-komponen kurikulum saling berkaitan dan saling mempengaruhi, terdiri dari tujuan yang menjadi arah pendidikan, komponen pengalaman belajar, komponen strategi pencapaian tujuan, dan komponen evaluasi.17 Singkatnya kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dan tujuan pendidikan. Secara umum, kurikulum pondok pesantren dapat dipilah menjadi dua, yakni kurikulum studi keagamaan dan kurikulum studi umum. Dalam pondok pesantren tradisional, ada pemisahan antara kurikulum pesantren dan kurikulum sekolah dan/atau madrasah. Kurikulum pesantren merupakan kurikulum khas pesantren berupa ilmu-ilmu keagamaan yang terdiri dari sembilan bidang ilmu, yakni yakni: tauhid, fikih, ushul fikih, tafsir, hadis, tasawuf, nahwu/sharaf, dan akhlak serta sirah (sejarah) nabi. Sementara kurikulum sekolah merupakan kurikulum yang berasal dari kementerian pendidikan nasional, jika pesantren tersebut memiliki sekolah semisal SMP dan SMU. Selanjutnya jika pesantren memiliki madrasah semisal Tsanawiyah dan Aliyah, maka ia menggunakan kurikulum yang berasal dari Kementerian Agama. Sementara dalam pesantren modern, pada umumnya menggunakan kurikulum terpadu, yakni tidak memisahkan antara kurikulum pesantren yang berupa kurikulum studi keagamaan dan kurikulum sekolah/madrasah yang berupa studi umum. Untuk meningkatkan kemampuan santri di bidang-bidang tertentu, selain materi-materi agama, diajarkan juga materi keterampilan khusus yang disesuaikan dengan tujuan dan orientasi pesantren, seperti yang dilaksanakan Pesantren Gontor dengan materi muhadlarah (ceramah), bahasa Arab, dan Inggris. E. Fungsi dan Peran Pesantren
Pesantren bukan merupakan institusi pendidikan keagamaan yang statis, agar ia bisa bertahan dengan berbagai tantangan zamannya maka ia mengubah diri tanpa kehilangan identitas
Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenda Media Group, 2010), hlm. 16.
17
Sistem Pendidikan Pesantren
22
Achmad Muchaddam Fahham
khasnya. Awalnya pesantren didirikan sebagai lembaga dakwah atau penyiaran agama Islam. Dari misi dakwah Islamiyah inilah kemudian muncul atau terbangun sistem pendidikan. Di masa Wali Songo, unsur dakwah lebih dominan dibanding unsur pendidikan. Dalam catatan Saridjo fungsi pesantren pada kurun Wali Songo adalah sebagai pencetak calon ulama dan muballigh yang militan dalam menyiarkan agama Islam.18 Jika sejarah pesantren diamati secara cermat, kita akan menemukan bahwa fungsi pesantren itu ada tiga, yakni fungsi keagamaan, fungsi kemasyarakatan, dan fungsi pendidikan. Ketiga fungsi ini masih berlangsung hingga sekarang. Ada juga yang menilai fungsi utama pesantren adalah fungsi pendidikan untuk mencetak ahli-ahli agama, namun ternyata fungsi itu dipandang belum sempurna karena tuntutan masyarakat menginginkan lebih dari itu, karena itu sejak tahun 1970-an pesantren juga didorong untuk memperluas fungsinya dari fungsi pendidikan ke fungsi pengembangan masyarakat.19 Sementara dari sisi peran, pesantren memiliki tiga peran utama dalam masyarakat Indonesia, yaitu: (1) sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional; (2) sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, dan (3) sebagai pusat reproduksi ulama.20 Di samping itu, pesantren juga berfungsi sebagai wadah pencerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan yang dilaksanakannya. Selain peran tersebut, pesantren sejatinya memainkan banyak peran di hampir semua bidang kehidupan. Di antara peran-peran itu adalah: (1) sebagai pusat penyuluhan kesehatan masyarakat, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat perdesaan, pusat usaha-usaha penyelematan dan pelestarian lingkungan hidup dan pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya.21 Di samping itu, pesantren juga berperan mensukseskan program-program pemerintah seperti program Keluarga Berencana, bahkan terlibat secara langsung dalam penanggulangan bahaya narkoba, seperti yang dipraktikkan oleh pondok pesantren Suryalaya. M. Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, hlm. 75 Amin Haedari, “Perluasan Peran Pesantren,” makalah, hlm. 1. 20 Azyumardi Azra, 21 Zubaedi, 18 19
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
23
F. Tujuan Pendidikan Pesantren Secara umum, tidak ada rumusan tertulis yang baku mengenai tujuan pendidikan pesantren. Hampir semua pesantren, terutama pesantren tradisional, tidak merumuskan secara tertulis tujuan pendidikan mereka. Namun tidak berarti pesantren didirikan tanpa tujuan, karena tidak mungkin ia mampu bertahan hingga sekarang tanpa ada tujuan ideal yang hendak diraihnya.22 Dapat dikatakan tujuan utama pesantren adalah mencetak kader ulama. Tujuan ini bisa merupakan tujuan dasar awal mula berdirinya pesantren, yaitu untuk mendukung tersebarnya ajaran Islam ke wilayah yang lebih luas. Tujuan ini masih bertahan hingga sekarang, di mana orang yang dianggap ulama kebanyakan memang alumni dari pondok pesantren, walaupun tujuan dasar tersebut telah mengalami perluasan makna, yakni mendidik para santri agar kelak dapat mengembangkan dirinya menjadi “ulama intelektual (ulama yang menguasai pengetahuan umum) dan intektual ulama (sarjana dalam pengetahuan umum yang menguasai pengetahuan agama). Namun tidak semua alumni pesantren kemudian mendapatkan sebutan ulama atau kiai karena masyarakat cenderung mengidentikkan ulama dengan kiai dan memberikan sebutan ulama atau kiai pada orang yang mengasuh sebuah pesantren ataupun anak dari seorang kiai. Dalam perspektif ini, ada tujuan pesantren yang lebih fleksibel diberikan oleh Mastuhu, yakni tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berhikmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi juga rasul, yakni menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad, mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.23
Mohammad Muchlis Solichin, “Rekontruksi Pendidikan Pesantren sebagai Character Building Menghadapi Tantangan Kehidupan Modern,” dalam Karsa Vol. 20 No. 1 Tahun 2012, hlm. 60. 23 Mastuhu, Dinamika, hlm. 59. 22
Sistem Pendidikan Pesantren
24
Achmad Muchaddam Fahham
Tujuan umum pesantren adalah membina warga Negara agar berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama masyarakat dan Negara. Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut: (1) mendidik santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang Muslim yang bertakwa kepada Allah, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga Negara yang ber-Pancasila; (2) mendidik santri untuk menjadi manusia Muslim selaku kader-kader ulama dan muballigh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam secara utuh dan dinamis; (3) mendidik santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggung jawab kepada pembangunan bangsa dan Negara; (4) mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembagunan mikro (keluarga) dan regional (perdesaan/masyarakat/lingkungan); (5) mendidik santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembagunan mental-spiritual; (6) mendidik santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.
Pendidikan Pesantren
BAB II PENGASUHAN SANTRI DI PESANTREN Anak-anakmu bukanlah anakmu Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu. (Anak-anakmu, Khahlil Gibran) A. Pendahuluan Asrama pesantren atau yang dikenal juga dengan istilah pondok merupakan tempat tinggal santri. Di tempat itu menjalani hidup sehari-hari, di tempat itu pula ia berinteraksi dengan sesama santri, dengan para ustaz, dan kiai. Sebagai suatu lingkungan hidup baru, kehidupan asrama pesantren kerapkali melahirkan guncangan psikis bagi santri baru. Sebagai anak yang biasa berada dalam lingkungan rumah, tiba-tiba harus tinggal dan hidup dalam lingkup pesantren yang asing dan berbeda sama sekali dengan kehidupan keluarga, tentu saja sang anak terkaget-kaget. Karena di rumah, bisa jadi si anak selalu mendapat bantuan dan layanan dari kedua orang tuanya, di luar rumah terutama lingkungan sekitarnya, ia terbiasa berinteraksi dengan teman sebayanya, sementara di sekolah ia juga telah terbiasa dengan nilai-nilai dan kultur sekolahnya yang bisa jadi juga berbeda dengan apa yang ia temui di pesantren. Sebaliknya, di pesantren semua kebutuhan individunya harus ia lakukan sendiri, mulai mandi, makan, mencuci, dan bahkan belajar. Ia tidak lagi bisa beraktifitas sekehendak hatinya, karena semua aktifitas pesantren diatur dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh pesantren. Di rumah, sang anak diasuh oleh kedua orang tuanya, sebaliknya di pesantren anak memasuki kehidupan baru, yakni kehidupan pesantren. Ketika sang anak memasuki babak kehidupan baru itu, ia 25
26
Achmad Muchaddam Fahham
menemukan setiap aktivitasnya diatur sedemikian rupa oleh sistem pendidikan pesantren: mulai dari tidur, makan, belajar, bermain dan sebagainya. Pola asuh yang dialami anak di rumah, tidak lagi ia alami ketika ia berada di pesantren. Pola asuh yang ia alami adalah pola asuh pesantren. Karenanya, orang tua yang mengantarkan anaknya ke pesantren, sejatinya juga telah menyerahkan pola asuh sang anak ke dalam sistem pendidikan pesantren. Ketika anak masih berada di rumah, orang tua adalah penanggung jawab pengasuhan itu, ia akan terlibat dalam membimbing, menanamkan nilai-nilai, dan menerapkan aturan-aturan. Tetapi ketika anak diserahkan ke pesantren maka pengasuhan itu beralih dari orang tua ke sistem pendidikan pesantren. Pengasuhan anak di pesantren tentu saja berbeda dengan pengasuhan anak di rumah. Pengasuhan anak di pesantren dilakukan oleh kiai, ustaz, dan santri senior yang menjadi pengurus organisasi santri pesantren. Dalam pengasuhan itu, kiai biasanya tidak melakukan pengasuhan secara langsung, kiai mendelegasikan pengasuhan itu kepada para ustaz dan santri senior. Pertanyaannya kemudian adalah apa konsep pengasuhan menurut pesantren? bagaimana potret pengasuhan santri dilakukan? Bagaimana pesantren menghadapi santri yang tidak menaati sistem pengasuhan yang diterapkan oleh pesantren? Bagian ini bertujuan untuk menjelaskan konsep pengasuhan anak di pesantren, gambaran proses pengasuhan anak di pesantren, dan penjelasan tentang penanganan anak yang tidak menaati sistem pengasuhan pesantren. Data-data tentang pengasuhan santri di pesantren diperoleh dari studi kepustakaan, wawancara mendalam dengan ustaz, santri dan santri senior yang menjadi pengurus organisasi santri. Wawancara dan pengamatan dilakukan di Pondok Pesantren Putri Banu Hasyim Sidoarjo Jawa Timur. Data-data yang telah terkumpul kemudian kategorisasi, direduksi dan disimpulkan sesuai dengan tujuan penelitian. B. Pengasuhan Santri Sistem yang unik. pendidikan Tulisan ini,
pendidikan pesantren memiliki konsep pengasuhan Bahkan dapat dikatakan bahwa keseluruhan sistem pesantren merupakan pengasuhan terhadap santri. menelaah pola pengasuhan anak di Pondok Pesantren Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
27
Putri Banu Hasyim Janti Waru Sidoarjo Jawa Timur. Pilihan terhadap kedua pesantren itu, dilakukan atas kemudahan akses penulis terhadap keduanya. Sebab sejatinya terdapat banyak pesantren yang di wilayah Sidoarjo. Dan sebelum menjelaskan bagaimana pola pengasuhan yang diterapkan oleh pesantren yang dikaji dalam tulisan ini, ada baiknya jika konsep pengasuhan yang ada di pesantren dijelaskan terlebih dahulu. 1. Pengertian Pengasuhan
Secara bahasa, pengasuhan menurut KKBI, berasal dari kata “asuh”. Kata itu memiliki beberapa arti, pertama, menjaga (merawat dan mendidik) anak yang masih kecil. Kedua, membimbing (membantu, melatih, dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri. Ketiga, memimpin (mengepalai, menyelenggarakan) suatu badan kelembagaan. Sementara pengasuhan berarti proses, cara, perbuatan mengasuh.1 Secara istilah, pengasuhan berarti memelihara, melindungi, mendampingi, mengajar, dan membimbing anak selama masa perkembangannya. Ada juga yang memahami pengasuhan sebagai pengetahuan, pengalaman, keahlian dalam memelihara, melindungi, memberi kasih sayang dan mengarahkan anak.2 Menurut Wagnel dan Funk, mengasuh anak adalah menjaga dan membimbingnya menuju dewasa. Bimbingan terhadap anak menurut keduanya dilakukan dengan cara mendidik dan memberi mereka makan.3 Pakar lain, melihat pengasuhan merupakan bagian penting dari proses sosialisasi, yakni proses belajar yang dialami seseorang untuk memeroleh keterampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok masyarakatnya.4 Menurut Soerjono Soekanto, sosialisasi adalah suatu proses dimana warga masyarakat dididik untuk mengenal, memahami, menaati, menghargai dan menghayati norma-norma dan nilai-nilai yang 3
KKBI Offline, Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan. Dwi Hastuti, Diktat Kuliah Pengasuhan, (2010). Pusat Penelitian Kependudukan, LPPM UNS dan UNICEF, “Pola Pengasuhan Anak di Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Kota Solo dan Kabupaten Klaten”, 2009, hlm. 32. 4 Ihrom, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 30.
1
2
Pengasuhan Santri di Pesantren
28
Achmad Muchaddam Fahham
berlaku di masyarakat.5 Berger dan Luckman membedakan dua tahapan sosialisasi, yakni sosialisasi primer dan sekunder. Sosialisasi primer menurutnya merupakan sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, ketika ia menjadi anggota masyarakat, dalam tahap ini proses sosialisasi primer membentuk kepribadian anak ke dalam dunia umum dan keluargalah yang berperan sebagai agen sosialisasi. Sementara, sosialisasi sekunder adalah proses selanjutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasikan ke dalam sektor baru dunia objektif masyarakat. Dalam tahap ini, proses sosialisasi condong pada terwujudnya sikap profesionalisme. Agen sosialisasi dalam tahap sekunder adalah lembaga pendidikan, peer group, lembaga pekerjaan, lingkungan yang lebih luas dari keluarga.6 Vembriarto mendefinisikan sosialisasi sebagai proses belajar di mana seseorang menyerap nilai dan norma yang ditanamkan. Sebagai proses belajar, sosialisasi mengandung tiga proses, yaitu: pertama, proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya; kedua, mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola, nilai-nilai, dan tingkah laku menurut standart dimana ia hidup; ketiga, penyusunan dan pengembangan, semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dan diri pribadinya.”7 Kheruddin membagi sosialisasi menjadi tiga tahap, yakni pertama, tahap belajar (learning). Dalam tahap ini, individu mengalami proses belajar. Kedua, tahap penyesuaian diri terhadap lingkungan. Individu tidak begitu saja melakukan tindakan yang dianggap sesuai dengan dirinya karena individu memiliki lingkungan di luar dirinya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Ketiga, tahap pengalaman mental. Pengalaman seseorang akan membentuk suatu sikap pada dirinya. Pengalaman ini didahului oleh suatu kebiasaan yang menimbulkan reaksi yang sama terhadap masalah yang sama.8 7 8 5 6
Soerjono Soekanto, 1982, hlm. 142. Ibid., hlm. 32. Vembrianto, 1990, hlm. 12. Khaeruddin, 1985, hlm. 79.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
29
Menurut Horton dan Hunt, melalui proses sosialisasi, seseorang akan mengenal nilai dan norma, dan kemudian mengidentifikasi dirinya menjadi suatu pribadi. Sosialisasi adalah suatu proses di mana seseorang menghayati atau mendarahdagingkan (internalize) nilainilai dan norma-norma kelompok di mana ia hidup sehingga timbullah diri yang unik.9 Dalam sosialisasi, kepribadian seseorang akan terbentuk. Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seseorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi. Kepribadian dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: warisan biologis, lingkungan fisik, kebudayaan, pengalaman kelompok dan pengalaman unik. Kepribadian menyatakan cara berperilaku dan bertindak yang khas dari seseorang setiap harinya, yang merupakan hasil perpaduan dari kecenderungan perilaku seseorang dan situasi perilaku yang dihadapi seseorang. Dengan kata lain, kepribadian adalah merupakan keseluruhan faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari perilaku individu.10 Kepribadian seseorang yang terbentuk tersebut merupakan wujud dari bentukan nilai yang telah tersosialisasi dan terinternalisasi dalam diri seseorang. Dengan demikian nilai merupakan salah satu hal utama yang menjadi tujuan sosialisasi. 2. Pengasuhan Santri
Dari uraian pengertian pengasuhan di atas, terlihat pengasuhan dimaknai dalam dua batasan, pertama, pengasuhan sebagai upaya memelihara, melindungi, mendampingi, mengajar, dan membimbing anak selama masa perkembangannya. Kedua, pengasuhan sebagai proses sosialisasi, yakni proses belajar yang dialami seseorang untuk memeroleh keterampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok masyarakatnya. Pertanyaannya kemudian adalah apa sejatinya pengasuhan santri? pengasuhan santri menggabungkan dua makna di atas. Pengasuhan santri di satu sisi adalah pemeliharaan, perlindungan, pengajaran dan pembimbingan santri di masa perkembangannya, di sisi lain, pengasuhan santri adalah proses sosialisasi, di mana santri belajar keterampilan, nilai-nilai dan norma-norma secara langsung dalam sistem pendidikan pesantren.
9
10
Horton dan Hunt, 1991, hlm. 100. Ibid., hlm. 90.
Pengasuhan Santri di Pesantren
30
Achmad Muchaddam Fahham
Makna pengasuhan pertama, terlihat pada proses belajar santri di pesantren. di lembaga pendidikan tersebut, santri diajar beragam ilmu pengetahuan yang dilakukan pada jam-jam sekolah atau madrasah. Dan biasanya proses pengajaran ini cukup padat. Karena di pesantren menyediakan pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal biasanya dalam bentuk sekolah atau madrasah dari jenjang sekolah dasar sekolah menengah, dari jenjang madrasah ibtidaiyah hingga madrasah aliyah. Sementara pendidikan non formalnya dalam bentuk madrasah diniyah, yakni pendidikan khusus yang membekali anak pengetahuan agama khas pesantren. buku rujukannya disebut dengan kitab kuning. Seorang anak yang menjadi santri di sebuah pesantren, bisa jadi ia akan terlibat di dalam sekolah fromal dan non formal. Sekolah formal biasanya dilaksanakan pada pagi hingga siang hari, sementara madrasah diniyah dilaksanakan pada sore atau malam hari, pilihan waktu tersebut, tergantung kebijakan masing-masing pesantren. Sementara makna pengasuhan kedua, terlihat pada kehidupan santri di luar jam sekolah atau madrasah. Di mana santri mesti taat pada pola dan sistem kehidupan pesantren. pada sistem itu, pesantren memasukkan nilai dan norma yang mesti dianut dan dipraktikkan santri melalui pola dan sistem kehidupan pesantren. Dalam sistem kehidupan pesantren diatur misalnya baju apa yang pantas dan tidak pantas dipakai, bagaimana harus bersikap dan berlaku sopan kepada ustaz, ustazah, santri, pengurus pesantren, kiyai dan keluarga kiyai. Bagaimana harus beribadah kepada Allah, melaksanakan tuturan Nabi, dan tradisi keislaman apa saja yang perlu dilakukan juga diatur dalam sistem kehidupan pesantren itu. Pengasuhan dalam konteks itu merupakan pengajaran (instructing) yakni segala proses atau usaha yang dilakukan secara sadar, sengaja, aktif, sistematis dan integratif untuk menciptakan perubahanperubahan dalam diri seseorang menuju kesempurnaan hidup.11 Dalam konteks yang demikian, pengasuhan merupakan proses sosialisasi nilai, norma, larangan, kaharusan yang harus ditaati dan diketahui anak, serta penerapan disiplin agar, kelak anak dapat
11
Pusat Penelitian Kependudukan, LPPM UNS dan UNICEF, “Pola Pengasuhan Anak di Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Kota Solo dan Kabupaten Klaten”, 2009, hlm. 32.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
31
menjalani hidupnya di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan nilai dan norma yang telah diserapnya.12 Proses pengasuhan di pesantren dalam dua makna di atas, tentu saja tidak bisa berjalan sesuai dengan harapan pesantren jika tidak ada penanggungjawabnya. Kiyai adalah penanggungjawab utama keseluruhan pengasuhan santri di pesantren. Sementara ustaz dan ustazah adalah penanggungjawab pengasuhan dalam proses pendidikan di sekolah atau madrasah. Untuk pengasuhan di luar jam sekolah atau madrasah tanggungjawabnya diserahkan ke ustaz/ustazah dan santri senior yang diberi amanah untuk menjadi pengurus santri. Agar proses pengasuhan berjalan efektif, pesantren pada umumnya menerapkan penerapan reward dan punisment. Penerapan tersebut berlaku baik di sekolah, madrasah, dan di asrama pesantren. Dalam bahasa pesantren penerapan reward dan punisment itu, lazim dikenal istilah hukuman atau takzir. Penerapan reward dan punisment dalam proses pendidikan memang tidak dilarang, bahkan beberapa ahli pendidikan mendukung penerapan reward dan punisment itu dalam proses pendidikan. Meskipun demikian, ada beberapa cacatan yang perlu diperhatikan ketika reward dan punisment itu diterapkan. Menurut Whitung dan Child, salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan reward dan punisment adalah cara penerapan larangan. Karena cara penerapan tersebut memiliki pengaruh terhadap pola pengasuhan. Larangan yang dibuat harus jelas dan terukur. Larangan harus bisa dipahami oleh anak, dan mungkin saja mendiskusikan dengan anak mengapa sikap, perilaku, tutur kata itu dilarang. Ketika anak tidak melakukan larangan yang telah disepakati ia perlu diberi reward, yakni penguatan (reinforcement) terhadap perilaku anak. Reinforcement (penguatan) merupakan penggunaan konsekuensi untuk memperkuat perilaku.13 Artinya bahwa sebuah perilaku yang dilakukan oleh anak dan dianggap sesuai dengan nilai, norma, dan aturan-aturan perlu dikuatkan dengan pujian, ucapan terima kasih, dan pemberian hadiah. Penguatan dalam bentuk seperti itu diharapkan akan meningkatkan peluang anak untuk melakukan dan mengilangi sikap dan perilakunya.
12
13
Pusat Penelitian Kependudukan, LPPM UNS dan UNICEF, “Pola Pengasuhan Anak di Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Kota Solo dan Kabupaten Klaten”, 2009, hlm. 32. Anita Woolfolk, Educational,,,, hlm. 309.
Pengasuhan Santri di Pesantren
32
Achmad Muchaddam Fahham
Bahwa reward dinilai dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap jiwa anak untuk melakukan perbuatan positif dan bersikap progresif. Selain itu, reward juga dapat menjadi pendorong anak lainnya untuk mengikuti anak yang memeroleh hadiah, ucapan terima kasih, dan pujian dari pengasuh. Meskipun demikian, harus diakui, ganjaran memiliki kelemahan, karena dapat menimbulkan dampak negatif apa bila pengasuh melakukannya tidak secara profesional, sehingga mungkin bisa mengakibatkan anak merasa dirinya lebih tinggi dari teman-teman lainnya.14 Penjelasan di atas, sejatinya menunjukkan bahwa reward dalam proses penerapan larangan adalah sebuah bentuk penghargaan atau penguatan dan bersifat menyenangkan perasaan sehingga melahirkan keinginan dalam diri anak untuk melakukan hal yang baik di masa datang. Reward dalam hal ini menjadi sangat penting sebagai salah satu motivasi eksternal yang digunakan untuk memperkuat perilaku. Sebaliknya ketika larangan itu dilakukan oleh anak, ia juga perlu diberi punisment. Punisment merupakan proses yang memperlemah atau menekan perilaku,15 sehingga, sebuah perilaku yang diikuti dengan punisment cenderung akan melemah dan tidak akan diulangi lagi oleh anak. Menurut Ahmadi dan Uhbiyati, punishment adalah perbuatan, di mana kita secara sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain, baik dari segi fisik maupun psikis. Dalam konteks punishment, kita memandang orang lain memiliki kelemahan, bila dibandingkan dengan diri kita, dan oleh karena itu, kita mempunyai tanggung jawab untuk membimbingnya dan melindunginya.16 Punishment merupakan alat pengasuhan yang tidak menyenangkan, bersifat negatif, meskipun demikian dapat juga menjadi motivasi, alat pendorong untuk meningkatkan ketaatan anak. Anak yang pernah mendapat hukuman karena tidak menaati tugas yang diberikan, berusaha untuk tidak menerima punishment lagi. Ia berusaha untuk memenuhi tugas-tugas belajarnya agar
14
15 16
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 134-135. Anita Woolfolk, Educational, ,hlm. 311. Abu Ahmadi dan Abu Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta:Rineka Cipta, 1991), hlm. 150.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
33
terhindar dari bahaya punishment (hukuman). Hal ini berarti bahwa ia didorong untuk selalu taat.17 3. Pola Pengasuhan
Secara teoritik, ada beberapa pola asuh yang dikemukakan oleh para ahli. Baumrind misalnya mengemukakan empat tipe pola asuh, yakni: Pertama, pola asuh otoriter, dimana lebih menekankan kepada pengawasan dan kontrol dari orang tua terhadap anak untuk mendapatkan kepatuhan anak. Sifat pola asuh ini cenderung kaku, tegas, dan mengekang anak dalam melakukan segala tindakan. Ciriciri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua. Anak seolah adalah “robot” yang dikendalikan orang tua, sehingga menjadi kurang inisiatif, merasa takut tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan, tetapi disisi lain anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba. Selain itu, anak yang diasuh dengan pola asuh ini cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan, walaupun terkadang hanya untuk menyenangkan orang tua atau suatu bentuk kedisiplinan dan kepatuhan yang semu. Di belakang orang tua, bisa jadi anak akan menunjukkan perilaku yang berbeda. Menurut Baumrind pola asuh otoriter adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orangtua atau kontrol yang ditujukan kepada anak untuk mendapatkan ketaatan dan kepatuhan. Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku, diktator, dan memaksa anak untuk selalu mengikuti orangtua tanpa banyak alasan. Perilaku orangtua dalam berinteraksi dengan anak bercirikan tegas, suka menghukum, anak dipaksa untuk patuh terhadap aturan-aturan yang diberikan oleh orangtua tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anaknya. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada anak, yaitu anak merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu tegang, cenderung ragu, tidak mampu menyelesaikan masalah (kemampuan problem solving-nya buruk),
17
Amier Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasinal, 1973), hlm. 165.
Pengasuhan Santri di Pesantren
34
Achmad Muchaddam Fahham
kemampuan komunikasinya buruk serta mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari orang tua. Anak menjadi tidak disiplin dan nakal, pola asuh seperti ini anak diharuskan untuk berdisiplin karena keputusan dan peraturan ada ditangan orang tua. Kedua, pola asuh demokratis, yang mampu menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban orang tua dan anak, sehingga anak dapat bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Sifat pola asuh ini, yakni segala aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Anak cenderung bertindak semena-mena, tanpa pengawasan orang tua. Ia bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Dari sisi negatif lain, anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab, maka anak akan menjadi seorang yang mandiri, kreatif, inisiatif dan mampu mewujudkan aktualisasinya. Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang bercirikan adanya hak dan kewajiban orang tua dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdiplin. Menurut Shochib (dalam yuniati, 2003) orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk berbuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung anak untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan sedikit menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Pola asuh demokratis dihubungkan dengan tingkah laku anak-anak yang memperlihatkan emosional positif, sosial, dan pengembangan kognitif. Ketiga, pola asuh permisif, atau disebut juga dengan pola asuh pemanja, dimana pengawasan yang diberikan sangat longgar, orang tua memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan tindakan tanpa pengawasan yang cukup. Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Orang tua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena. Anak diberi kepercayaan dan dilatih untuk mempertanggung jawabkan segala tindakannya. Akibat positif dari pola asuh ini, anak akan menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
35
tindakan-tindakannya, tidak munafik, jujur. Namun akibat negatif, anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala sesuatu harus dipertimbangkan anak dan orang tua. Keempat, uninvolved parenting (pola asuh penelantar). Pada pola asuh ini, orang tua memberikan waktu, biaya, dan kasih sayang yang sangat sedikit kepada anak karena orang tua lebih sering melakukan kepentingan pribadi mereka sendiri. Pakar lain, Tipe Pola Asuh menurut Hersey dan Blanchard (1978) (dalam Garliah & Sary, 2005), terdiri dari empat tipe yaitu: Pertama, telling. Perilaku orang tua yang directive-nya tinggi dan supportive rendah disebut dengan telling, karena dikarasteristikkan dengan komunikasi satu arah antara orangtua dengan anak. Di mana orang tua menentukan peran anak dan mengatakan apa, bagaimana, kapan dan di mana anak harus melakukan berbagai tugas. Kedua, selling, Perilaku orang tua yang directive dan supportive tinggi disebut dengan selling, karena sebahagian besar arahan yang ada diberikan oleh orang tua. Orang tua juga berusaha melalui komunikasi dua arah yang membolehkan anak untuk mengajukan pertanyaan dan memberikan dukungan serta dorongan. Ketiga, Participating, perilaku orangtua yang directive-nya rendah dan supportive tinggi disebut participating, karena orangtua dan anak saling berbagi dalam membuat keputusan melalui komunikasi dua arah. Anak memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk berbagi ide tentang bagaimana suatu masalah itu dipecahkan dan membuat kesepakatan dengan orangtua apa yang harus dilakukan. Keempat, delegating Perilaku orangtua yang directive dan supportive rendah disebut dengan delegating, karena meskipun orang tua tetap menetapkan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi suatu masalah, namun anak diperbolehkan untuk menjalankan apa yang diinginkannya dan memutuskan kapan, di mana dan bagaimana mereka melakukan satu hal. C. Pengasuhan Anak di Pesantren Putri Banu Hasyim
Setelah panjang lebar mengurai pengertian pengasuhan, pengasuhan santri dan pola pengasuhan, kini kita akan melihat bagaimana pengalaman Pondok Pesantren Putri Banu Hasyim melakukan pengasuhan santri. sebelum sampai pada deskripsi Pengasuhan Santri di Pesantren
36
Achmad Muchaddam Fahham
pengalaman pesantren tersebut, terlebih dahulu dijelaskan sekilas tentang Pondok Pesantren Putri Banu Hasyim. 1. Sekilas tentang Pondok Pesantren Putri Banu Hasyim
Seperti kebanyakan pondok pesantren di Indonesia, Pondok Pesantren Banu Hasyim pada awalnya adalah majelis pengajaran agama biasa yang diselenggarakan oleh Nyai Hajjah Faizah pada tahun 1985. Majelis ini diselenggarakan karena desakan masyarakat yang berkeinginan mendalami agama dan al-Qur’an. Santri pertamanya hanya dua orang santriwati yang berasal dari desa Ngingas, kedua santriwati inilah yang menetap di rumah beliau untuk belajar mengaji, sambil tetap mengikuti sekolah pendidikan formal di desa asalnya. Sebagai juru dakwah agama Islam yang hafal al-Qur’an, banyak masyarakat yang berkeinginan untuk belajar agama dan belajar alQur’an dari beliau. Karena itu, tak heran, jika kemudian beberapa orang tua mendorong anak mereka untuk belajar agama dan alQuran padanya. Dorongan itu, terlihat adanya beberapa santriwati dari desa Wedoro dan Ngingas yang ke desa Janti untuk belajar agama Islam dan membaca al-Qur’an. Karena Nyai Faizah, tidak menyediakan tempat khusus, para santriwati dari tetangga desa tersebut tidak menginap, mereka datang ke rumah Nyai Faizah selepas mereka belajar pendidikan formal di sekolah. Santriwati yang mula-mula datang untuk belajar agama dan al-Quran, sebenarnya sudah duduk di bangku sekolah: ada tingkat Tsanawiyah dan ada juga yang tingkat Aliyah. Karena mereka menyadari belum menguasai pengetahuan agama dan al-Quran secara baik, mereka berupaya menambah wawasan kelimuan agama Islam dan bacaan al-Qur’an dari Nyai Faizah. Selain itu, ada juga santriwati yang sudah tidak lagi bersekolah formal, mereka sengaja datang setelah salat asar bersama rekan-rekan desa mereka untuk mengaji bersama Nyai Faizah. Makin lama, jumlah santriwati yang datang makin meningkat, dan santriwati yang menginap juga bertambah dari dua santriwati menjadi enam santriwati dan menempati salah satu kamar belakang rumah utama Nyai Faizah. Untuk menampung minat masyarakat yang ingin membekali anak-anak mereka dengan ilmu pengetahuan dan ilmu agama Islam, maka tahun 1985 Nyai Hajjah Faizah bersama almarhum suaminya Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
37
(K.H. Andi Matta Djawi Fatwa), mendirikan lembaga pendidikan tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), institusi ini kemudian diberi nama Taman Kanak-Kanak “Taruna” setelah berjalan tiga tahun dan telah melahirkan lulusan, Nyai Faizah kemudian mendirikan Sekolah Dasar Islam (SDI) Taruna (tarbiyatun nahdliyyinah), kemudian berubah menjadi MI Banu Hasyim pada tahun 1991. Santriwati yang pada mulanya hanya satu kamar, lambat laut bertambah banyak, proses pembelajaran yang awalnya fokus kepada al-Qur’an dikembangkan menjadi pendidikan diniyah, pembelajaran agama dengan pola pengajaran tradisional: sorogan, bandongan, dan wetonan. Waktu pembelajarannya dimulai dari pukul 14:0015:30. Santri yang telah mengaji kemudian pulang ke rumah masingmasing. Berawal dari pendidikan diniyah sore itu, muncul permintaan dari masyarakat agar Nyai Faizah membuka pesantren dan membuka sekolah formal agar mereka dapat mendorong anakanak mereka belajar di pesantren dan sekolah formal tersebut. Atas permintaan itulah kemudian pada tahun 1988 Nyai Faizah membuka pesantren khusus putri dengan nama Banu Hasyim. Untuk menunjang pendidikan formalnya pada tahun yang sama dibuka Madrasah Tsanawiyah. Lokasi pesantren dan sekolah berlokasi di belakang rumah utama. Kemudian pada tahun 1991 pondok pesantren Banu Hasyim kemudian membuka Madrasah Aliyah guna memberi kesempatan lulusan madrasah tsanawiyah Banu Hasyim untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah di lingkungan pesantren Banu Hasyim. Hingga saat ini Pondok Pesantren Putri Banu Hasyim telah memiliki unit-unit lembaga pendidikan mulai dari tingkat TK, MI, MTs, dan MA. Jumlah siswa sebagai terlihat pada tabel berikut. No
Jenjang Pendidikan
Jumlah Siswa
1
Taman Kanak-Kanak
150
3
Madrasah Tsanawiyah
90
2 4
Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Aliyah
Pengasuhan Santri di Pesantren
180 90
38
Achmad Muchaddam Fahham
2. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Putri Banu Hasyim menyelenggarakan pendidikan formal dan nonformal. Pendidikan formal berbentuk madrasah, dimulai dari jenjang madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah. Pendidikan nonformal dalam bentuk madrasah diniyah, dimulai dari jenjang diniyah awaliyah, wustho dan ulya. Kurikulum madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah mengacu pada kurikulum yang dikeluarkan Kementerian Agama. Struktur kurikulum madrasah tsanawiyah adalah sebagai berikut. ALOKASI WAKTU BELAJAR
MATA PELAJARAN
PER MINGGU VII
VIII
IX
Kelompok A
1.
Pendidikan Agama Islam
b. Akidah Akhlak
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
a. AlQur'an Hadis c. Fiqih
d. Sejarah Kebudayaan Islam
Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Bahasa Arab
2 2 2 2 3 6 3
Matematika
Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu Pengetahuan Sosial
5 4
2 2 2 3 6 3 5 5 4
2 2 2 3 6 3 5 5 4
Kelompok B 1.
Seni Budaya
3
3
3
3.
Prakarya
2
2
2
Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu
Pendidikan Pesantren
3 46
4
2
4
2.
Bahasa Inggris
5
2
3 46
4
3 46
Achmad Muchaddam Fahham
39
Sementara struktur kurikulum madrasah aliyah dengan peminatan Ilmu-Ilmu Sosial sebagai berikut. ALOKASI WAKTU
MATA PELAJARAN Kelompok A (Wajib)
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
PER MINGGU X
XI
XII
a. AlQur'an Hadis
2
2
2
c. Fikih
2
2
2
Pendidikan Agama Islam b. Akidah Akhlak
d. Sejarah Kebudayaan Islam
Pedidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Bahasa Arab Matematika
Sejarah Indonesia
2 2 4 4 4 2
2 2 2 4 2 4 2
2 2 4 2 4 2
Kelompok B (Wajib) 1.
Seni Budaya
2
2
2
3.
Prakarya dan Kewirausahaan
Kelompok A dan B Per Minggu
2
2
2
Kelompok C (Peminatan)
Peminatan Ilmu-ilmu Sosial
Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
3
2
2
2
2.
Bahasa Inggris
2
3
2
3
1
Geografi
3
4
4
3
Sosiologi
3
4
4
2 4
Sejarah
3
Ekonomi
Mata Pelajaran Pilihan dan Pendalaman
Pilihan Lintas Minat dan/atau Pendalaman Minat
Jumlah Jam Pelajaran Yang Harus Ditempuh per Minggu
Pengasuhan Santri di Pesantren
3
6
51
4 4
4
51
4 4
4
51
40
Achmad Muchaddam Fahham
Madrasah diniyah yang dimiliki pesantren ini juga mengacu pada kurikulum yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama dan kurikulum yang dirancang sendiri oleh pesantren. Pondok Pesantren Putri Banu Hasyim berkeinginan menjadi pesantren yang menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi pengetahuan keagamaan dan pengetahuan umum. Sistem pengajarannya menggabungkan dua pola pendidikan pesantren, yakni pola tradisional dan pola modern. Penguasaan pengetahuan keagamaan seperti fikih, aqidah, akhlak, nahwu, sharaf, al-Quran dan tafsir dilakukan dalam waktu tertentu yang terpisah dari pendidikan formalnya. Lembaga tersebut dalam khazanah pesantren tradisional disebut dengan diniyah. Jenjang pendidikannya dimulai dari awaliyah (pertama) wusta (menengah), dan ulya (atas). Pada jenjang awaliyah materi-materi keagamaan yang diajarkan adalah materi-materi dasar agar para santri dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan keagamaan yang lebih tinggi. Sedangkan penguasaan pengetahuan umum seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, sains dan pengetahuan sosial diberikan dalam sistem madrasah. Ada tiga jenjang pendidikan madrasah di pesantren ini, yakni madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah. Dan seperti diketahui institusi madrasah sendiri sejatinya tidak hanya memberikan materimateri pengetahuan umum tetapi juga materi-materi keagamaan. Tentu saja, materi keagamaan yang diberikan di madrasah sedikit berbeda dengan yang diberikan di diniyah. Dari sisi bahasa misalnya, mayoritas materi keagamaan yang diberikan dalam madrasah menggunakan bahasa Indonesia, sebaliknya matermateri keagamaan yang diberikan di madrasah diniyah mayoritas menggunakan bahasa Arab. Selain itu, metode belajar mengajar di madrasah diniyah menggunakan metode sorogan dan bandongan dan sedangkan metode belajar mengajar di madrasah menggunakan metode klasikal. Karenanya dapat dikatakan, Pondok pesantren Putri Banu Hasyim berkeinginan kuat untuk menjadikan santri-santri yang mengenyam pendidikan keagamaan di lembaganya sebagai santri yang menguasai tradisi dan pengetahuan keagamaan pesantren sekaligus materi-materi umum yang diberikan madrasah. Atas penguasaan kedua materi, pesantren berharap santrinya dapat Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
41
melanjutkan ke jenjang pendidikan perguruan tinggi, tidak hanya di perguruan tinggi agama seperti Universitas Islam Negeri (UIN), tetapi juga perguruan tinggi umum, seperti Universitas Indonesia (UI), UGM dan PTU lainnya. Seperti telah disebutkan, hampir semua peserta didik yang belajar di Pondok Pesantren Putri Banu Hasyim tinggal di asrama. Kebijakan ini ditempuh untuk memudahkan pesantren menjalankan program-program pendidikannya. Kehidupan asrama di pesantren berbeda dengan kehidupan asrama yang bukan pesantren. kehidupan asrama di pesantren merupakan miniatur kehidupan rumah dalam sebuah keluarga dengan beragam aturan-aturan yang dirancang untuk mengatur kehidupan santri. Kehidupan asrama di pesantren dirancang untuk membentuk pribadi-pribadi muslim sesuai dengan visi dan misi pesantren. Hampir semua santriwati yang mengenyam pendidikan keagamaan di Pondok Pesantren Banu Hansyim tinggal di asrama. Kegiatan harian asrama dimulai pada pukul 03:30 dan diakhiri pukul 22:00 di malam hari. Sejak 03:30 semua santri harus bangun pagi untuk melaksanakan salat tahajjud dan dilanjutkan salat subuh berjamaah pukul 04:30. Setelah melaksanakan salat subuh, para santri membaca al-Qur’an hingga pukul 06:00. Setelah aktivitas membaca al-Quran usai, para santri kemudian mandi pagi sampai pukul 07:00. Pada pukul 07:30 para santri kemudian mengikuti proses belajar mengajar pagi hingga pukul 11:00. Dari 11:00 sampai dengan pukul 12:00 melakukan persiapan untuk mengikuti proses belajar mengajar di sekolah formal baik tingkat Tsanawiyah maupun Aliyah. Di antara persiapan yang mereka lakukan adalah mandi, salat duhur berjamaah dan makan siang. Proses belajar menjangar formal di madrasah dimulai pukul 13:00 sampai dengan pukul 17:00. Setelah proses belajar mengajar di madrasah selesai para santri kemudian mandi sore, hingga pukul 18:00 setelah itu mereka akan melakukan salat magrib berjamaah dan membaca alQuran hingga memasuki waktu salat isya pada pukul 19:00, setelah proses salat isya selesai para santri kemudian makan bersama hingga pukul 20:00, setelah itu mereka melakukan belajar malam bersama yang dibimbing oleh ustadzah-ustadzah pesantren, proses belajar bersama ini berlangsung hingga pukul 22:00 malam, setelah itu, mereka kemudian beristirahat malam hingga pukul 03:30 pagi. Pengasuhan Santri di Pesantren
42
Achmad Muchaddam Fahham
Selain kegiatan rutin di atas, para santri juga mengikuti kegiatan ekstra kurikuler seperti pramuka, latihan berpidato dalam bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris, juga kursus keterampilan berbahasa Jepang. program pramuka dilakukan pada hari sabtu, sementera latihan berpidato dalam bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris dilaksanakan pada malam jumat. Sedangkan kursus bahasa Jepang dilaksanakan pada malam sabtu. Meskipun tidak memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap. Tidak menyurutkan semangat juang dari ustazah dan pengurus organisasi santri untuk tetap menyelenggarakan berbagai aktivitas ekstra kurukuler, seperti pramuka dan olah raga. Karena tidak tersedianya lapangan untuk kegiatan pramuka dan olah raga, kedua kegiatan itu dilaksanakan di luar lokasi pesantren, tepatnya di lapangan sepak bola di desa Janti. Di tanah lapang itulah mereka menyelanggarakan pramuka dan olah raga. Ruang belajar mengajar yang tersedia juga terbatas,, hanya ada 6 (lokal) raung kelas belajar, tiga kantor, dan satu ruang tata usaha. Rumah pengasuh atau kiyai berada tepat di bawah asrama santriwati. Karena keterbatasan tanah yang dimiliki asrama santriwati dibangun tepat atas rumah pengasuh. Asrama tersebut dibagi menjadi 7 (tujuh) kamar. Satu kamar dihuni 20-30 santriwati. Santri tidur dengan beralaskan kasur lipat, karena pesantren ini memang tidak menyediakan tempat tidur (ranjang). Belajar mengajar di Pondok pesantren putri Banu Hasyim dilasakanan dalam dua model, yakni model pengajian kitab dengan sistem sorogan dan bandongan. Proses belajar mengajar ini dilaksanakan di pagi hari mulai pukul 07:30 s.d. pukul 11:00. Materi ajar yang dipelajari adalah materi-materi ajar keagamaan yang lazim dikaji dan dipelajari di pondok pesantren salaf atau tradisional, seperti aqidah, akhlak, fikih, nahwu, sharaf, dan tafsir al-Quran. Setiap materi ajar dibimbing oleh satu ustaz atau ustazah. Para ustaz atau ustazah merupakan alumni dari beberapa pondok pesantren Jawa Timur, seperti pondok pesantren Langitan Tuban, Pondok Pesantren al-Amin Prenduan Madura, Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo, dan pondok pesantren lainnya. Santriwati yang “nyantri” di Pondok Pesantren Putri Banu Hasyim Kabupaten Sidoarjo mayoritas berasal dari Kota Surabaya Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
43
dan sekitarnya. Kedatangan mereka untuk belajar di pesantren ini diantar langsung oleh orang tua mereka sendiri. Pihak pesantren pun mensyaratkan, semua santriwati yang hendak belajar di pesantren ini harus diantar oleh orang tua mereka. Orang tua pun harus bertemu dengan pengasuh dan menitipkan anak mereka kepada pengasuh. Kecuali jika ada santriwati yang sudah tidak memiliki orang tua, pada umumnya mereka diantar oleh walinya, baik itu paman, bibi, atau bahkan oleh nenek mereka sendiri. Menurut sebagian besar santriwati, dorongan untuk tinggal di pesantren dan hidup terpisah dari keluarga karena dorongan orang tua mereka. Meskipun demikian ada juga yang menyatakan, dorongan itu lahir dari keinginan mereka sendiri. Para santriwati yang didorong oleh orang tua mereka untuk “nyantri” pada awalnya merasa tidak betah karena harus berpisah dengan keluarga mereka, tetapi setelah mereka menjalaninya selama kurang lebih satu bulan, kemudian muncul kesadaran, berpisah dengan keluarga harus mereka lakukan untuk menggapai cita-cita mereka sendiri, yakni untuk mendalami pengetahuan keagamaan dan pengetahuan umum agar kelak dapat menjadi ulama, dokter, penulis, wartawan dan profesi lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat. Keberatan-keberatan yang dirasakan santriwati ketika pertama mereka “nyantri” antara lain, adalah soal menu makan yang tidak sesuai selera, aktivitas keseharian yang padat, keterbatasan sarana seperti kamar mandi dan wc yang harus mereka pergunakan secara bergantian karena mereka harus antri secara bergiliran untuk menggunakan sarana-sarana itu. 3. Pengasuhan Santri
Dalam konteks pendidikan pesantren yang dimaksud dengan pengasuhan santri adalah lembaga yang secara khusus mengatur pola kehidupan santri di pesantren. Pengasuhan santri mengatur pola kehidupan santri secara menyeluruh selama 24 jam. Sejak mereka bangun tidur di pagi hari hingga tidur kembali di malam hari. Inilah tradisi khas pesantren, keseluruhan hidup santri di pesantren merupakan pengasuhan dan pembelajaran. Dilihat dari sisi aktivitasnya, pengasuhan di pesantren dapat dibagi menjadi tiga, yakni aktivitas pengasuhan harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Dengan kata lain, sedari awal masuk ke pesantren, santri sudah dihadapkan pada berbagai aktivitas rutin yang sifatnya Pengasuhan Santri di Pesantren
44
Achmad Muchaddam Fahham
harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Sementara dilihat dari sisi bentuknya, pengasuhan santri di pesantren dapat dipilah menjadi dua, pengasuhan dalam bentuk pendidikan dan pengajaran, dan pengasuhan dalam bentuk pembiasaan nilai. a. Sosialisasi Nilai
Sosialisasi nilai-nilai keagamaan merupakan salah satu bentuk pengasuhan yang dilaksanakan oleh pesantren. Sosialisasi nilainilai keagamaan dilakukan pesantren melalui pendidikan dan pengajaran di lembaga pendidikan diniyah pesantren. Dalam proses pembelajaran itu, materi ajar dibagi menjadi bebarapa kelompok keilmuan mulai dari al-Quran, tafsir, fikih, aqidah, akhlak, dan bahasa Arab. Materi fikih diberikan untuk memberikan pengetahuan santriwati di bidang hukum Islam, untuk tingkat awaliyah materi fikih dimulai dari uraian tentang niat, tata cara bersuci, tata cara wudu, tata cara salat, puasa, zakat dan haji, dan fikih wanita terutama hukum Islam bagi perempuan dalam keadaan haidh. Titik tekan materi fikih pada jenjang ini adalah hukum Islam di bidang ibadah. Sementara pada jenjang wustha, materi fikih diperluas dalam bidang muamalah mulai dari jual beli, hutang piutang, hibah dan wakaf. Khusus untuk jenjang ulyah materi fikih diperluas dengan titik tekan perbadingan mazhab dalam hukum Islam. Di samping nilai-nilai keagamaan di atas, ada juga nilai-nilai lain yang disosialisasikan oleh pesantren, yakni nilai nasionalisme. Nilai tersebut ditanamkan melalui kegiatan pramuka dan upacara harihari besar nasional di samping melalui pembelajaran formal melalui materi pendidikan kewarganegaraan. b. Pembiasaan
Dalam pandangan pesantren, sosialisasi nilai yang tidak diikuti oleh pembiasaan untuk menginternalisasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan kurang sempurna untuk tidak mengatakan “muspro” alias percuma. Pembiasaan dalam konteks pesantren diharapkan menjadi tradisi yang melekat pada diri pribadi santriwati. Sehingga jika tradisi itu tidak dilakukan oleh santriwati, mereka merasakan ada yang aneh dan kurang. Salah satu bentuk pembiasaan yang harus diikuti dan ditaati oleh santriwati adalah salat lima waktu berjamaah. Setiap hari lima kali sehari santriwati harus mengikuti salat wajib secara berjamaah Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
45
di mushalla pesantren. ia juga harus membaca dzikir dan doa sehabis salat secara berjamaah. Dalam salat tersebut, yang menjadi imam tidak selalu berasal dari para ustaz, tetapi juga berasal dari santriwati senior, hal itu merupakan kebijakan pesantren, setiap santri senior harus melatih diri untuk menjadi pemimpin, termasuk memimpin salat, terutama salat duhur dan asar. Untuk membiasakan diri dalam disiplin, para santri harus mengikuti keseluruhan akvitas keseharian pesantren, mulai dari tidur malam dan bangun tidur di pagi hari tepat waktu, makan, belajar bersama, mandi dan mencuci juga harus tepat waktu. Mereka juga harus selalu mengikuti kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler, seperti pramuka, latihan pidato, kerja bhakti, dan olah raga. c. Takzir
Pengajaran dan pembiasaan sebagai bentuk pengasuhan santriwati di pesantren bertujuan untuk membentuk santriwati ideal sesuai dengan visi dan misi pesantren. Bagi pesantren, santriwati merupakan amanah orang tua yang harus dididik, dijaga, dirawat dan disayangi. salah satu amanah orang tua santriwati kepada pesantren adalah agar pesantren mendidik anak-anak mereka agar kelak, setelah santriwati melewati proses pendidikan yang ada di pesantren menjadi pribadi-pribadi muslim yang memiliki pengetahuan agama dan umum yang luas, serta berakhlak mulia. Pesantren yang menerima amanah itu kemudian membuat tata tertib pesantren agar harapan orang tua santriwati dapat tercapai. Untuk menjalankan tata tertib pesantren itu, pengasuh pesantren kemudian membagi tugas kepada beberapa pihak sebagai penanggungjawab pengelolaan aktivitas pendidikan di pesantren. Pengelolaan pendidikan formal dalam bentuk Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah diberikan kepala sekolah, guru dan tata usaha. Aktivitas pendidikan madrasah ibtidaiyah berlangsung di pagi hari. Dimulai pukul 07:00 sampai dengan 12:00. Sementara aktivitas pendidikan madrasah tsanawiyah dan aliyah berlangsung di siang hari, dimulai pukul 12:30---17:00 WIB. Setiap santriwati harus mengikuti keseluruhan proses pendidikan formal. Jika berhalangan hadir dalam proses pembelajaran, mereka harus membuat pemberitahuan berupa surat izin tidak mengikuti proses pembelajaran. Pengasuhan Santri di Pesantren
46
Achmad Muchaddam Fahham
Sementara pengelolaan pendidikan nonformal dalam bentuk diniyah diberikan kepada kepala diniyah dan ustaz, aktivitas pendidikan nonformal ini berlangsung sejak pukul 08:00--11:30 WIB. Sebagaimana dalam proses pendidikan formal, setiap santriwati juga wajib mengikuti keseluruhan proses bealajar mengajar diniyah, ketika berhalangan pun, mereka harus membuat surat pemberitahuan berupa surat izin tidak dapat mengikuti proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Selanjutnya tanggung jawab pengelolaan aktivitas keseharian santriwati dalam asrama diberikan kepada majelis pembimbing santri dan pengurus organisasi santriwati. Pembimbing santriwati bertanggung jawab untuk membimbing santriwati dalam menjalani aktivitas keseharian santriwati dalam asrama. Segala bentuk perizinan keluar asrama ditangani oleh majelis pembimbing santriwati ini. selain itu, majelis pembimbing santri juga bertanggung jawab atas pelaksanaan bimbingan ibadah dan belajar malam santriwati. Pengurus organisasi santriwati bertanggung jawab atas keseluruhan aktivitas ektrakurikuler santriwati di luar proses belajar mengajar pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Di luar proses belajar mengajar, setiap santriwati memiliki kewajiban untuk bangun pagi, melaksanakan salat berjamaah di mushalla. Membersihkan kamar dan lingkungan pesantren, latihan berpidato, mengikuti kegiatan pramuka, dan berolah raga. Tidak semua santriwati patuh untuk mengikuti berbagai kegiatan itu. Jika ada santriwati yang tidak melaksanakan salat jamaah misalnya, maka pengurus organisasi santriwati akan memberinya ganjaran. Dalam tradisi pesantren istilah ganjaran dikenal dengan istilah takzir, yakni ganjaran yang bersifat mendidik. Ada beragam bentuk pelanggaran yang sering dilakukan oleh santriwati, yakni terlambat pergi ke mushalla untuk salat jamaah, terlambat datang ke pesantren, tidak melaksanakan tugas piket untuk kebersihan kamar, tidak mengikuti kegiatan ekstra kurikuler seperti latihan pidato dan pramuka, tidak berbahasa Arab atau Inggris. Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh santriwati akan diganjar sesuai dengan pelanggarannya. Jika ia terlambat ke mushalla, ganjaran yang diberikan biasa mereka diminta untuk membersihkan Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
47
halaman, membersihkan kamar mandi, membersihkan kakus. Jika ia melanggar tugas piket kebersihan, ganjaran yang diberikan adalah membersihkan kamar atau halaman pesantren. jika ia tidak mengikuti kegiatan ekstra kurikuler, seperti latihan pidato dan pramuka, ganjaran yang diberikan adalah berdiri di hadapan teman-temannya sesama santriwati atau diminta untuk menjadi menghapalkan suratsurat pendek dari al-Quran. Jika ia tidak menggunakan bahasa Arab atau Inggris, ia diminta untuk menghapal kosa kata bahasa Arab atau Inggris. Jika ada pelanggaran yang berat, seperti mencuri, berkelahi, dan keluar asrama pesantren tanpa izin, ganjaran yang diberikan diserahkan kepada majelis pembimbing santri atau pengasuh pesantren. Majelis pembimbing santri atau pengasuh pesantren yang memberi ganjaran. Biasanya, sang pelaku akan dipanggil oleh Majelis Pembimbing Santri untuk dimintai keterangan, diberi nasihat, jika masih mengulangi, santriwati tersebut dikeluarkan atau dikembalikam kepada orang tua atau wali mereka. Menurut santriwati hal yang paling tidak menyenangkan tinggal di asrama pesantren adalah jadwal kegiatan keseharian santri yang padat sehingga mereka kurang istirahat. Di samping itu adalah cara para pengurus mengajarkan disiplin kepada mereka. Untuk menegakkan disiplin, para pengurus seringkali menyuruh untuk melakukan sesuatu dengan suara yang keras bahkan membentak, dan memberikan stigma buruk. Sikap santri senior kerapkali berlebihan sehingga cenderung memperlakukan santri yunior secara semena-mena dan kurang adil. Meski demikian, kehidupan asrama pesantren menurut santriwati secara umum cukup menyenangkan, mereka dapat berinteraksi secara intensif dengan teman sebaya, berolah raga secara bersama, dan latihan berpidato, dan latihan pramuka bersama. Meskipun dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler itu kadang-kadang senioritas menjadi pemegang otoritas dalam kegiatan-kegiatan itu, sehingga penegakan disiplin menjadi sesuatu yang dianggap penting. Dari sini, bentakan, hardikan, stigma buruk, dan pemberian ganjaran fisik, berupa dijemur di bawah terik matahari, lari keliling lapangan, mencabuti rumput, dan sejenisnya menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Pengasuhan Santri di Pesantren
48
Achmad Muchaddam Fahham
d. Anjuran dan Pembujukan Menurut santriwati, para ustadz, ustadzah, guru, pengurus organisasi pesantren selalu memberikan nasihat-nasihat dan ajakanajakan agar seluruh santriwati menaati seluruh aturan yang ada di pesantren. Mereka juga selalu mendorong agar para santriwati selalu belajar dengan sungguh, tekun beribadah, banyak membaca, aktif berbahasa Arab dab Inggris. Ketika ada santriwati yang melanggar aturan pun ajakan, nasihat, dan dorongan untuk tidak mengulangi perbuatan yang dilanggar selalu dilakukan baik oleh para ustadz, ustadzah, guru, dan pengurus organisasi pesantren. Dalam kondisi tertentu, anjuran untuk berbuat baik dan berdisiplin juga dilakukan dengan cara diskusi dan musyawarah. Seperti telah disebutkan di awal tulisan ini, Pondok Pesantren Putri Banu Hasyim menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk formal dan informal. Pendidikan formal dimulai sejak jenjang Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, sementara pendidikan nonfomalnya dimulai sejak jenjang awaliyah, wustho, dan ulya. Pendidikan madrasah mengajarkan materi-materi pengetahuan keagamaan seperti aqidah-akhlak, fikih, Quran-Hadis, Sejarah Peradaban Islam, dan Bahasa Arab. Kurikulum yang dianut berasal dari kurikulum kementerian agama dan sementara madrasah diniyah mengajarkan materi-materi keagamaan saja, seperti Tauhid, akhlak, fikih, tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu Bahasa Arab. e. Kesehatan
Pondok Pesantren Banu Hasyim belum memiliki klinik khusus untuk melayani santri yang sakit, tetapi mereka memiliki ruang khusus untuk santriwati yang sakit. Ruang ini disediakan untuk memisahkan antara santriwati yang sakit agar dia bisa beristirahat dan tidak mengganggu santriwati lainnya. Ruang ini dikelola oleh santri senior yang secara khusus ditunjuk oleh pesantren untuk membantu santriwati-santriwati yang sakit. Agar santriwati dapat hidup sehat, pihak pesantren secara rutin satu bulan sekali mengundang petugas puskesmas untuk memeriksa kamar, kamar mandi, dan memeriksa santriwati yang sedang sakit. Pihak pesantren juga mengundang puskesmas untuk memberikan penyuluhan tentang pola hidup sehat dan lain sebagainya. Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
49
Salah satu fasilitas vital yang dibutuhkan santriwati adalah kamar mandi dan kakus. Fasiltas ini tidak dapat dihindari mengingat jumlah santriwati yang bermukim di pesantren. Pondok pesantren putri Banu Hasyim saat penelitian ini dilakukan baru memiliki 10 kamar mandi dan 10 kakus. Fasilitas ini tentu saja belum ideal untuk melayani 220 santriwati yang mukim di pesantren. Aktivitas pesantren yang padat dan dengan jadwal rutin yang tetap, keterbatasan kamar mandi dan kakus kerapkali menimbulkan keluhan para santriwati. Mereka harus terburu-buru karena banyaknya santriwati lain antri dan ingin menggunakan fasilitas yang sama. Untuk menjaga kesehatan dan kenyamanan kamar mandi dan kakus, setiap hari minggu para santriwati secara bergantian membersihkan kamar mandi dan kakus. Ada jadwal khusus kerja bhakti yang dalam bahasa pesantren dikenal dengan istilah roan. Dalam aktivitas roan ini para santriwati secara bergiliran membersihkan lingkungan pesantren. Mulai dari kamar, selokan, halaman pesantren, hingga kamar mandi dan kakus. Hal itu dilakukan untuk menghindari penyakit kulit yang kerapkali menimpa santri. Penyakit kulit berupa gatal yang dalam bahasa Jawa disebut dengan “ghudiken” memang sering menimpa santriwati baru. f.
Layanan Standar Hidup Layak
Pesantren menyediakan makanan untuk santri sebanyak tiga kali sehari, makan pagi, siang dan malam. Menu makanan yang diberikan bervariatif meski sangat sederhana. Pesantren menyediakan dapur umum. Tapi tidak memasak makanan mereka. makanan dimasakkan oleh petugas khusus yang disewa oleh pesantren. petugas itulah yang akan menanak nasi, memasak sayur, lauk-pauk. Pesantren menjadwal menu makanan santriwati, dan diupayakan setiap penyediaan makan selalu diikuti oleh sayur dan lauk pauk yang variatif dan mencukupi gizi empat sehat lima sempurna. Meskipun begitu, para santriwati yang telah terbiasa dengan pola makan di keluarga mereka masing-masing, pada awalnya merasa pola makanan tersebut belum sesuai dengan harapan mereka. pesantren pun menyadari kekuarangan itu. seorang santriwati yang berlatar belakang keluarga mampu misalnya tentu tidak terbiasa dengan makanan yang tidak sama dengan yang mereka dapati di rumah Pengasuhan Santri di Pesantren
50
Achmad Muchaddam Fahham
mereka, tetapi pola makan seperti itu ditempuh oleh pesantren untuk melatih dan membiasakan mereka untuk tidak berpantanf terhadap makanan yang hanya terdiri dari nasi, sayur dan lauk tempe-tahu saja. Tetapi itu untuk membelajarkan mereka, dalam kehidupan ini tidak semua orang bisa makan dengan lauk daging, ikan, telor setiap hari. Pesantren tetap memperhatikan itu tetapi dengan cara mengubah waktu dan porsinya, misalnya lauk daging diberikan pada hari jumat, ikan pada malam selasa, telor pada hari kamis. Untuk susu dan asupan lainnya pesantren mempersilahkan masing-masing santri untuk membawa atau membelinya di koperasi pesantren, dan pesantren hanya menyediakan air panasnya. Motto kesehatan jasmini memiliki pengaruh terhadap kesehatan rohani menjadi perhatian pondok pesantren Banu Hasyim. “Men sana in corpore sano” begitu pribahasa latin yang dikutip untuk menggalakkan olah raga di pesantren. setiap hari minggu para santriwati dibimbing untuk melakukan senam kesegaran jasmani dan olah raga ringan lainnya, sayangnya pesantren memiliki lokasi khusus untuk aktivitas olah raga. Pesantren belum memiliki lapangan khusus yang dapat dijadikan untuk aktivitas olah raga. Karena itu senam kesegaran jasmini hanya dilakukan di depan kelas yang dari sisi ukuran luasnya tidak terlalu ideal. Untuk menghindari kejenuhan para santriwati, setiap dua minggu sekali diajak untuk melaksanakan senam kesegaran jasmani itu di lapangan sepak bola milik desa yang jaraknya kurang lebih 300 meter dari pesantren. tetapi aktivitas keluar kampus pesantren kini dihentikan sengan alasan keamanan santri karena padatnya lalu lintas kendaraan di depan pesantren. Jalan di depan pesantren Banu Hasyim merupakan jalan raya yang menghubungkan antara kecamatan Waru dengan kecamatan Wadung Asri dan Kecamatan Tambak Sawah. Tidak mengherankan jika jalan raya tersebut selalu ramai oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Truck-truck besar bahkan kontainer bermuatan berat juga kerapkali melewati jalan raya ini menuju beberapa pabrik yang ada di Kecamatan Waru maupun di Kecamatan Wadung Asri dan Tambak Sawah. Aktivitas rutin lain di luar belajar mengajar adalah pramuka. Aktivitas ini dilakukan setiap hari Sabtu di depan kelas. Aktivitas ini cukup baik untuk melatih kepemimpinan para santriwati. Untuk mempraktikkan pengetahuan kepramukaan, pembina pramuka Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
51
kerap mengikutsertakan para santri dalam event-event perkemahan di luar pesantren. Bahkan pesantren sendiri sering manggelar event internal untuk kegiatan perkemahan. Dalam event itu, para santriwati bermain dan berlatih pengetahuan kepramukaan. Penanaman nasionalisme adalah satu materi yang secara khusus diberikan dalam latihan kepramukaan ini. Kemandirian seorang santriwati adalah pembiasaan yang selalu ditanamkan oleh pesantren sejak pertama kali mereka masuk dalam tradisi pesantren. Kemandirian dalam konteks ini adalah penanaman tanggungjawab terhadap kebutuhan santriwati sendiri. Di antara penanaman kemandirian itu adalah tanggungjawab terhadap barang milik pribadi seperti pakaian dan lain sebagainya. Untuk pakaian mereka diharuskan untuk mencuci dan menyetrika sendiri. Pesantren tidak menyediakan jasa pencucian pakaian. Karena keterbatasan kamar mandi, para santriwati harus antri untuk mencuci pakaian mereka, bahkan pada hari minggu biasanya tempat cuci dan jemur pakaian sangat padat sehingga juga harus antri untuk menjemur pakaian. Pakaian-pakaian yang sudah dicuci terkadang jatuh dan harus dicuci kembali. D. Catatan Akhir
Pengasuhan santri adalah berbagai bentuk kegiatan yang berupaya mengatur pola disiplin, tatanan kehidupan santri di luar jam sekolah. Pengasuhan bertujuan untuk memelihara, menumbuhkan, mengembangkan, menyempurnakan atau membawa santri pada keadaan yang lebih baik. Pengasuhan santri di pesantren ditujukan untuk menumbuh kembangkan potensi yang ada dalam diri setiap santri agar dapat berkembang secara optimal dan kelak dapat hidup di tengah-tengah masyarakat. Pengasuhan santri di pesantren merupakan proses sosialisasi nilai-nilai keislaman yang bertujuan untuk membiasakan santri agar memiliki akhlak yang baik. Melalui sosialisasi, kepribadian seseorang akan terbentuk. Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seseorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu ketika berinteraksi dengan serangkaian situasi. Kepribadian dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: warisan biologis, lingkungan fisik, kebudayaan, pengalaman kelompok dan pengalaman unik. Kepribadian menyatakan cara berperilaku dan bertindak yang khas dari seseorang setiap harinya, Pengasuhan Santri di Pesantren
52
Achmad Muchaddam Fahham
yang merupakan hasil perpaduan dari kecenderungan perilaku seseorang dan situasi yang dihadapi seseorang. Kepribadian seseorang yang terbentuk tersebut merupakan wujud dari bentukan nilai yang telah tersosialisasi dan terinternalisasi dalam diri seseorang. Menyadari akan hal tersebut, sistem pendidikan di pesantren sengaja didesain dengan pendekatan holistik yang melihat pendidikan sebagai bagian integral dari totalitas kehidupan muslim. Hal ini dimaksudkan agar proses pembinaan dapat menyentuh seluruh aspek kehidupan santri. Pengasuhan di pesantren hakikatnya adalah totalitas dari seluruh kegiatan pembentukan kepribadian santri. Seluruh aspek tersebut dilaksanakan secara terpadu dalam sebuah sistem dan secara simultan mempengaruhi proses pembentukan pribadi santri yang islami. Fenomena pondok pesantren dengan sistem pengasuhannya yang unik menempatkan pesantren sebagai suatu realitas sosial yang mesti dilihat dari perspektif dunianya sendiri.
Pendidikan Pesantren
BAB III PEMBENTUKAN KARAKTER SANTRI*
A. Pendahuluan Pendidikan, pada hakikatnya bukan semata soal transformasi pengetahuan yang mengantarkan seseorang untuk memahami ilmu pengetahuan. Pendidikan juga bukan soal sederet angka dalam laporan kemajuan prestasi atas penguasaan ilmu pengetahuan, lebih dari itu, pendidikan merupakan transformasi pengetahuan dan pendewasaan sikap serta perilaku, sehingga orang yang mengikuti proses pendidikan itu mampu memahami ilmu pengetahuan dan mampu hidup di tengah-tengah masyarakat dengan segala bentuk dinamikanya. Karena itu, seorang yang terdidik seseungguhnya merupakan orang yang mampu mengetahui, mampu berbuat sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, mampu menentukan pilihan hidupnya secara bertanggung jawab, dan mampu hidup bersama dalam masyarakat. Pendidikan yang condong pada penguasaan pengetahuan semata akan menciptakan manusia pintar tapi tidak berkarakter baik. Akibatnya proses pendidikan yang dipraktikkan kurang mampu membendung peserta didik untuk tidak melakukan perilakuperilaku yang buruk. Penggunaan narkotika, tawuran antarpelajar, dan seks bebas adalah sedikit contoh yang dapat ditunjuk sebagai akibat yang muncul dari pendidikan yang hanya condong pada penguasaan pengetahuan tapi minus karakter. Untuk menghindari lahirnya generasi pintar tetapi tidak bermoral baik, pintar tetapi tidak peduli terhadap sesama, tidak bertanggung jawab dan seterusnya. Pendidikan yang selama ini telah dipraktikkan harus diubah: dari pendidikan yang berorientasi prestasi kognitif, menuju pendidikan yang berorientasi prestasi kognitif plus karakter baik. Untuk membangun peserta didik yang *
Artikel ini pernah dimuat dalam Jurnal Aspirasi Vol. 4 No. 1 Juni 2013.
53
54
Achmad Muchaddam Fahham
demikian para pakar pendidikan nasional mengusulkan perlunya pelaksanaan pendidikan karakter dalam dunia pendidikan kita. Harus diakui memang tidak mudah untuk menghasilkan peserta didik yang berkarakter baik. Menurut Mulyasa, untuk membangun karakter baik, kita tidak hanya memerlukan kajian moral tentang benar dan salah, tetapi lebih dari itu, adalah bagaimana menanamkan kebiasaan tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga peserta didik memiliki kesadaran, kepekaan, dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.1 Pertanyaannya kemudian adalah apa sejatinya pendidikan karakter itu? Apa nilai-nilai yang perlu dikembangkan untuk membentuk karaker peserta didik? Bagaimana pendidikan karakter itu dilaksanakan? Pendidikan karakter dapat dipahami sebagai usaha untuk membantu peserta didik mengembangkan seluruh potensi dimilikinya yang meliputi hati, pikir, rasa, karsa, dan raga. Pendidikan karakter bertujuan membentuk pribadi bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan teknologi yang kesemuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.2 Pendidikan karakter berfungsi untuk: (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangaun perilaku bangsa yang multikultural; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.3 Pendidikan karakter dilaksanakan pada: (1) pendidikan formal: TK/RA, SDMI, SMP/MTs/, SMA/MA, SMK/MAK dan perguruan tinggi melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler dan atau ekstra-kurikuler, penciptaan budaya satuan pendidikan, dan pembiasaan. Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan; (2) pendidikan Nonformal. Dalam pendidikan nonformal, pendidikan karakter berlangsung pada lembaga kursus, pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaran Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. vi. 2 Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, 2011). 3 Ibid., 1
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
55
dan lembaga pendidikan nonformal lain melalui pembelajaran kegiatan kurikuler dan atau ekstrakurikuler, penciptaan budaya lembaga dan pembiasaan; (3) pendidikan informal. Pelaksanaan pendikan karakter dalam pendidikan informal berlangsung dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua dan orang dewasa di dalam keluarga terhadap anak-anak yang menjadi tanggungjawabnya.4 Melihat materi, tujuan, dan fungsi pendidikan karakter di atas, pendidikan karakter sejatinya telah lama dilakukan oleh lembaga pendidikan keagamaan yang disebut pondok pesantren. Meskipun lembaga pendidikan ini tidak disinggung secara eksplisit oleh kementerian pendidikan nasional sebagai salah satu pelaksana pendidikan karakter di Indonesia. Asumsi bahwa pendidikan pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang telah lama mempraktikkan pendidikan karakter dapat dibuktikan melalui sistem pendidikannya yang menerapkan konsep pendidikan yang integral, sebuah sistem pendidikan yang tidak hanya menitikberatkan pada pembelajaran yang menuntut para peserta didik untuk memahami dan menguasai materi-materi ajar yang ada di pesantren, tapi juga bagaimana peserta didik dapat menerapkan pengetahuan yang didapatkan melalui proses pembelajaran itu dalam kehidupan keseharian mereka. Nilai-nilai kepesantrenan ditanamkan sejak pertama kali peserta didik menjadi warga pesantren yang disebut santri. Penanaman nilai-nilai itu dilakukan baik melalui pembelajaran formal maupun melalui kehidupan sehari-hari di pesantren. Santri dilatih untuk hidup mandiri dengan melayani keperluan mereka sehari-hari, mereka juga dilatih untuk hidup sederhana dengan fasilitas pesantren yang serba terbatas. Relasi santri dengan guru adalah relasi ketaatan, begitu juga relasi santri dengan kiai sebagai pimpinan atau pengasuh pesantren. Kesemua itu kemudian menjadikan sistem pendidikan pesantren sebagai sistem yang unik. Disebut unik karena pendidikan ini memiliki sistem yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya di Indonesia, semisal sekolah dan madrasah. Setidaknya ada tiga hal mengapa sistem pendidikan tersebut dikatakan unik, pertama, pola kepemimpinan sistem pendidikan pesantren berada di luar
4
Muchlas Samani dan Hariyahto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 19-20.
Pembentukan Karakter Santri
56
Achmad Muchaddam Fahham
kepemimpinan pemerintahan; kedua, pesantren juga memiliki sistem nilai yang berbeda dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat di luar pesantren; ketiga, pesantren memiliki tradisi keilmuan yang selalu dirawat dan diwariskan kepada para santrinya selama berabad-abad. Keunikan sistem pendidikan pesantren yang demikian disebut oleh Abdurrahman Wahid sebagai sub-kultur masyarakat Indonesia.5 Keunikan sistem pendidikan pesantren terletak pada proses pendidikan dan pengajarannya yang menekankan pada penanaman nilai-nilai luhur seperti kesederhanaan, ketaatan pada kiai, dan kedisiplinan kepada para santri sejak pertama kali mereka menjadi warga pesantren hingga lulus. Pesantren sejak awal menekankan pola pembelajaran yang tidak melulu pada proses transformasi pengetahuan yang mampu melahirkan santri cerdas secara inteletual tapi lebih pada proses pendidikan melalui penanaman nilai-nilai luhur agar lahir santri yang berkarakter, yakni berkepribadian luhur sehingga mampu hidup mandiri dan mengabdi di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain, keunikan sistem pendidikan pesantren lainnya terlihat pada proses pendidikannya berlangsung selama 24 jam, hal demikian terjadi karena hampir semua peserta didik pendidikan pesantren diharuskan untuk tinggal di asrama. Sistem pendidikan pesantren sebagai praksis pendidikan karakter diakui oleh para pakar pendidikan: dalam suatu kesempatan misalnya Kepala Badan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) Khairil Anwar Notodiputro mengatakan bahwa pesantren merupakan “tambang emas” dan contoh pengembangan model pendidikan karakter di Indonesia. Pesantren merupakan sistem pendidikan yang sangat serius dalam pengembangan karakter. Karena karakter menjadi variabel terpenting dalam sistem pendidikan yang dikembangkannya. Budaya ikhlas, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah Islamiyyah, ukhuwwah wathaniyyah, mempertahankan warisan budaya tradisional dan bercorak lokal merupakan sederet nilai yang diajarkan dalam sistem pendidikan pesantren.6
5
6
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 1 Khairil Anwar Notodiputro, “Pesantren Tambang Emas Pendidikan,” dalam NU Online.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
57
Dalam kesempatan yang berbeda, Sofyan Sauri, Guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyatakan bahwa pendidikan karakter di pesantren lebih baik dibanding dengan pendidikan karakter yang ada di sekolah umum. Penilaian Sauri itu didasarkan atas kenyataan bahwa pendidikan karakter yang ada di pesantren benar-benar mampu dilaksanakan dengan baik. Contoh pendidikan karakter di pesantren yang ditunjuk oleh Sauri adalah disiplin, menurutnya nilai kedisiplinan yang ada di pesantren lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada di sekolah biasa. Karena di pesantren santri berdisiplin dalam berbagai hal dan mereka sangat menghormati petuah guru dan kiainya. Lebih lanjut Saury menyatakan bahwa pendidikan karakter di pesantren perlu dipelajari dengan baik agar pendidikan karakter tersebut dapat diterapkan pada sekolah-sekolah umum.7 Dari beberapa pengakuan pakar pendidikan di atas, dapat dikatakan bahwa sebagai sebuah proses penanaman nilai-nilai essensial pada diri peserta didik melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pengasuhan, sistem pendidikan pesantren tampaknya memang merupakan pendidikan karakter itu sendiri. Atas dasar latar belakang di atas, adalah penting kemudian untuk mempelajari proses pendidikan karakter di pesantren. Akan tetapi, seperti diketahui model pendidikan pesantren tidaklah tunggal, ada model pendidikan pesantren yang bercorak tradisional-salafiyah dan ada juga yang bercorak modern-khalaf, bahkan ada juga pesantren yang memadukan antara sistem pendidikan pesantren tradisional dan modern sekaligus. Kenyataan ini mengharuskan penulis untuk memilih mana sistem yang hendak dipelajari. Dengan mempertimbangkan kedalaman hasil studi, penulis kemudian sengaja memilih pendidikan karakter yang ada dalam sistem pendidikan pesantren modern, tepatnya Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur. Adapun hal utama yang ingin penulis ketahui dari pendidikan karakter di pesantren adalah: pertama, apa nilai yang dikembangkan oleh sistem pendidikan pesantren, dan kedua, apa strategi yang dilakukan oleh pesantren untuk menanamkan nilai-nilai luhur pesantren?
7
Sofyan Sauri, “Pendidikan Karakter di Pesantren lebih Baik dari Sekolah Umum,” dalam Radar Tasikmalaya, Kamis 26 Mei 2011.
Pembentukan Karakter Santri
58
Achmad Muchaddam Fahham
Karena dua persoalan utama di atas, secara umum studi ini berupaya memahami pendidikan karakter di pesantren terutama dari sisi nilai-nilai dan strategi yang digunakan untuk menanamkan nilai-nilai tersebut sehingga lahir santri yang berkarakter baik. Untuk mencapai dua tujuan di atas, data-data yang dibutuhkan dikumpulkan dengan teknik penelusuran kepustakaan dengan cara membaca, memahami, meringkas, dan mengklasifikasi data-data tentang pendidikan karakter dari buku-buku dan hasil-hasil studi yang mengupas tentang pendidikan karakter dan sistem pendidikan pondok pesantren. Di samping itu, data-data terkait juga dihimpun dengan teknik focus group discussion dan pengamatan terlibat di pesantren. Data-data yang didapatkan dari teknik pengumpulan data tersebut dianalisis dan dikategorisasi serta disimpulkan sesuai dengan tujuan penelitian untuk kemudian diinterpretasi. Buku ini disusun berdasarkan hasil studi yang penulis dilakukan di Pondok Modern Gontor Ponorogo Jawa Timur. Pondok Gontor dipilih bukan untuk dijadikan sampel pendidikan karakter yang dilaksanakan oleh pondok pesantren modern di Indonesia. Pondok Gontor dipilih sebagai nara sumber penelitian. Di samping itu, pilihan terhadap pondok pesantren ini lebih didasarkan pada kemudahan akses terhadap data-data yang diperlukan dalam penyusunan buku ini. Dalam penyusunan hasil studi ini, penulis berupaya menyempatkan diri untuk berkunjung ke Pondok Gontor guna melihat secara langsung proses pendidikan dan pengajaran yang berlangsung. Hasil studi lapangan itu, penulis gunakan untuk mengkonfirmasi data-data yang telah penulis kumpulan melalui penelusuran kepustakaan terkait dengan Pondok Gontor. Mengacu pada empat pilar pendidikan yang digagas oleh UNESCO yang menyatakan bahwa pendidikan sesungguhnya merupakan proses pembelajaran agar peserta didik yang terlibat di dalamnya mampu untuk mengetahui, melakukan sesuatu sesuai dengan pengetahuan yang didapatnya, menentukan pilihan-pilihan hidupnya secara bertanggung jawab, dan hidup bersama di tengahtengah masyarakat. Maka dapat dikatakan bahwa sejak awal, proses pendidikan sejatinya merupakan proses yang bertujuan untuk membentuk karakter baik peserta didik dan bukan semata-mata proses penguasaan pengetahuan an sich. Tetapi proses pendidikan demikian tidak disadari sepenuhnya oleh insan pendidikan. Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
59
Akibatnya proses pendidikan selama ini banyak melahirkan “orang pintar” tapi minus “orang berkarakter baik”. Karena itu proses pendidikan perlu didorong untuk kembali kepada kesejatian dirinya melalui wacana pendidikan karakter. Pertanyaannya kemudian adalah apa sejatinya pendidikan karakter itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, berikut ini dipaparkan konsep tentang pendidikan karakter. B. Pendidikan Karakter 1. Pengertian Secara bahasa, karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; karakter juga bisa berarti tabiat; watak.8 Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.9 Lebih jauh karakter juga dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang yang terbentuk, baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.10 Secara konseptual, istilah karakter biasanya dipahami dalam pengertian deterministik dan non-deterministik. Secara deterministik, karakter dipahami sebagai sekumpulan kondisi kejiwaan pada diri manusia yang diperolehnya secara kodrati. Karena itu, kondisi kejiwaan tersebut tidak bisa diubah. Dalam pandangan yang demikian, karakter merupakan tabiat seseorang yang bersifat tetap, menjadi ciri khas yang membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Sementara dalam pengertian nondeterministik, karakter dipahami sebagai tingkat kekuatan atau ketangguhan seseorang dalam upaya mengatasi kondisi kejiwaan yang bersifat kodrati itu. Dalam pengertian ini, karakter merupakan proses yang dikehendaki oleh seseorang untuk menyempurnakan kemanusiaannya. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustakatama, 2008), hlm. 623. 9 Muchlas Samani dan Hanriyanto, Konsep dan Model Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 41. 10 Ibid., hlm. 43. 8
Pembentukan Karakter Santri
60
Achmad Muchaddam Fahham
Dari dua pengertian yang saling bertolak belakang di atas, lahir pemahaman tentang karakter yang lebih realistis dan utuh, yakni kondisi kejiwaan yang belum selesai. Karakter dalam pengertian ini dipandang merupakan kondisi kejiwaan yang bisa diubah dan disempurnakan. Bahkan karakter bisa pula ditelantarkan sehingga tidak ada pengingkatan mutu atau bahkan terpuruk.11 Dari pengertian terakhir di atas, karakter sejatinya dapat diubah dan dikembangkan melalui upaya-upaya sistematis yang sengaja dirancang untuk itu. Salah satu upaya sistematis itu adalah pembentukan karakter melalui pendidikan, yakni pendidikan karakter. Dengan mengutip Lickona, Saptono menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat.12 E. Mulyasa mengemukakan bahwa pendidikan karakter merupakan penanaman kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga seseorang memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.13 Pendidikan karakter merupakan proses penanaman nilai-nilai penting pada diri anak melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai yang ditanamkan dalam proses pendidikan yang dijalaninya ke dalam kepribadiannya.14 Pada mulanya, proses pendidikan karakter terjadi dalam institusi keluarga. Namun seiring dengan berkembangnya zaman, tidak semua keluarga memiliki perhatian yang memadai terhadap pendidikan karakter anak. Banyak keluarga bahkan berharap kepada proses pembentukan karakter anak yang ada di institusi pendidikan semisal sekolah/madrasah. Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter: Wawasan, Strategi, dan langkah Praktis (Jakarta: Esensi Divisi Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 18. 12 Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter, 23. 13 E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 3. 14 Sofyan Sauri, “Peran Pesantren dalam Pendidikan Karakter,” hlm. 3. 11
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
61
Ada empat alasan mendasar mengapa lembaga pendidikan pada saat ini perlu lebih bersungguh-sungguh menjadikan dirinya sebagai tempat terbaik bagi pendidikan karakter. Keempat alasan itu adalah: (a) karena banyak keluarga (tradisional maupun nontradisional) yang tidak melaksanakan pendidikan karakter; (b) Sekolah tidak hanya bertujuan membentuk anak yang cerdas, tetapi juga anak yang baik; (c) kecerdasan seseorang hanya bermakna manakala dilandasai dengan kebaikan; (d) karena membentuk anak didik agar berkarakter tangguh bukan sekedar tambahan pekerjaan bagi guru, melainkan merupakan tanggungjawab yang melekat pada perannya sebagai guru.15 Meskipun institusi pendidikan merupakan instrumen penting dalam pembentukan karakter seseorang, namun pendidikan karakter tidak bisa menafikan peran keluarga dan masyarakat. Menurut Bambang Nurokhim, dalam konteks pendidikan karakter perlu ada upaya penyambungan kembali hubungan dan jaringan pendidikan yang selama ini terputus antara pendidikan dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah. Karena pendidikan karakter, tidak akan berhasil selama belum ada kesinambungan dan keharmonisan hubungan antara pendidikan yang berlangsung dalam keluarga, masyarakat, dan institusi pendidikan. Dengan demikian, rumah tangga dan masyarakat yang selama ini tak acuh terhadap pendidikan karakter perlu dibangkitkan kembali, bahkan kedua elemen ini harus lebih berperan dalam pembentukan karakter. Karena keluarga dan masyarakat sejatinya merupakan tempat pendidikan karakter yang pertama bagi anak.16 Dalam Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2011, disebutkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter, hlm. 24, Masnur Muslich, Pendidikan Karakter: menjawab Tantangan Krisis Multidimensional (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 52. Dalam konteks pendidikan Islam, keluarga disebut sebagai madrasah al-ula (sekolah pertama) bagi anak sementara ibu dan bapak adalah guru pertama bagi mereka.
15 16
Pembentukan Karakter Santri
62
Achmad Muchaddam Fahham
Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “merasakan yang baik atau loving good (moral feeling), dan berperilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.17 Mengapa demikian, karena seseorang memang tidak mudah untuk melakukan yang baik meskipun orang tersebut tahu bahwa hal itu adalah baik, bahkan bisa jadi ia juga dapat merasakan hal itu sebagai sesuatu yang baik. Akan tetapi, pengetahuan tentang yang baik, perasaan tentang yang baik, dan melakukan yang baik itu, tetap saja tidak bisa dilepaskan dari konteks yang mempengaruhinya untuk melakukan yang baik, di sinilah arti penting pembiasaan. Orang yang telah terbiasa akan mudah melakukan sesuatu meskipun ia berada dalam lingkungan yang tidak mendukungnya, karena kebiasaan akan terus mendorongnya untuk melakukaan sesuatu yang baik itu. 2. Tujuan dan Fungsi
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila. Sementara Pendidikan karakter berfungsi untuk (1) mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; dan (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter: Berdasarkan Pengalaman di satuan Pendidikan Rintisan (Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan, 2011), hlm. 1
17
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
63
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa. 3. Nilai-Nilai Pembentuk Karakter
Menurut Ratna Megawangi, ada sembilan pilar karakter yang layak diajarkan kepada peserta didik dalam konteks pendidikan karakter, yakni, (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty); (2) kemandirian dan tanggung jawab (responsibility, excellence, self-reliance, discipline); (3) kejujuran dan amanah, bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty); (4) hormat dan santun (respect, courtesy, obedience), (5) Dermawan, suka menolong, dan gotong royong (love, compassion, caring, empathy, generosity, moderation, cooperation); (6) percaya diri, kreatif, pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, determination, and enthusiasm); (7) kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership); (8) baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humanity, modesty); (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness).18 Dengan mengutip Lickona, Saptono menyatakan bahwa ada sepuluh kebajikan essensial yang dibutuhkan untuk membentuk karakter yang baik. Kesepuluh kebajikan essensial itu adalah: kebijaksanaan (wisdom), keadilan (justice), ketabahan (fortitude), pengendalian diri (self-control), kasih (love), sikap positif (positive attitude), kerja keras (hard work), integiritas (integrity), penuh syukur (gratitude), dan kerendahan hati (humility).19 Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional telah mengidentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/ Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab.20
Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa (Bogor: Indonesia Heritage Foundation, 2007). 19 Saptono, Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter, hlm. 21 20 Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009), hlm. 9-10. 18
Pembentukan Karakter Santri
64
Achmad Muchaddam Fahham
Meskipun telah terdapat 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya dengan cara melanjutkan nilai prakondisi yang diperkuat dengan beberapa nilai yang diprioritaskan dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat berbeda antara satu daerah atau sekolah yang satu dengan yang lain. Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing. Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang essensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah, yakni bersih, rapih, nyaman, disiplin, sopan dan santun.21 Dari berbagai nilai di atas, institusi tingkat satuan pendidikan dapat memilih mana nilai-nilai yang lebih mudah untuk dipraktikkan di lembaga masing-masing atau yang sesuai dengan visi dan misi institusi pendidikan masing-masing karena sebuah institusi didirikan dapat dipastikan telah memiliki “mimpi besar” yang dituangkan dalam visi dan misi pendidikannya. 4. Proses Pendidikan Karakter
Menurut Lickona, ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan karakter, yakni: pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan tindakan moral (moral action).22 Sementara dalam pandangan Koesoema proses pendidikan karakter handaknya memperhatikan struktur antropologis manusia yang terdiri dari jasad, ruh, dan akal.23 Proses pendidikan karakter harus dilakukan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Perilaku seseorang yang berkarakter merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial-kultural dalam konteks interaksi (dalam 23 21 22
Ibid., Masnur Muslich, Pendidikan Karakter, hlm. 75 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern (Jakarta: PT Grasindo, 2007), hlm. 80.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
65
keluarga, satuan pendidikan, dan masyrakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dapat dikelompokkan dalam: (1) olah hati (spiritual and emotional development); (2) olah pikir (intellectual development); (3) olah raga dan kinestetik (physical & kinesthetic development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Proses itu secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, serta masing-masingnya secara konseptual merupakan gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai.24 Masing-masing ahli di atas setidaknya mengingatkan kepada pengelola institusi pendidikan bahwa pendidikan karakter yang dilakukan harus memperhatikan proses-proses yang membentuk karakter manusia. Secara sederhana Lickona menyebut tiga proses, yang dimulai dari proses mengetahui apa yang baik, pada proses ini peserta didik perlu diberi seperangkat pengetahuan tentang hal yang baik. Dalam sistem pendidikan nasional pengetahuan tentang yang baik diperoleh dari materi pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan sebagainya. 5. Pendekatan dan Strategi Pendidikan Karakter
Masnur Muslich menyebutkan bahwa ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam implementasi pendidikan karakter, yakni pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan moral, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat. Dari beberapa pendekatan tersebut, pendekatan penanaman nilai menurut Muslich merupakan pendekatan yang tepat digunakan dalam pendidikan karakter di Indonesia.25 Strategi pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan seyogyanya dilakukan secara integratif dan merupakan suatu kesatuan dari program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum oleh setiap satuan pendidikan. Strategi
24
25
Kementerian Pendidikan Nasional, Desain Induk Pendidikan Karakter, 2010: 8-9. Masnur Muslich, Pendidikan Karakter, hlm. 106-120.
Pembentukan Karakter Santri
66
Achmad Muchaddam Fahham
tersebut diwujudkan melalui pembelajaran aktif dengan penilaian berbasis kelas disertai dengan program remidiasi dan pengayaan. Secara rinci strategi pelaksanaan pendidikan karakter di tingkat satuan pendidikan menurut Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional dapat dilakukan adalah sebagai berikut:26 a. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dan peserta didik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehingga peserta didik mampu untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, melalui pembelajaran kontekstual peserta didik lebih memiliki hasil yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif (olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga). Pembelajaran kontekstual mencakup beberapa strategi, yaitu: (a) pembelajaran berbasis masalah, (b) pembelajaran kooperatif, (c) pembelajaran berbasis proyek, (d) pembelajaran pelayanan, dan (e) pembelajaran berbasis kerja. Kelima strategi tersebut dapat memberikan nurturant effect pengembangan karakter peserta didik, seperti: karakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, dan rasa ingin tahu. b. Pengembangan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar
Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui berbagai kegiatan pengembangan diri di antaranya adalah kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, dan pengkondisian. Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket kelas, salat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdo’a sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan teman.
26
Pusat Kurikulum, Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009), hlm. 9-10.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
67
Sementera kegiatan spontan merupakan kegiatan dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana. Kegiatan lain yang dapat dilakukan dalam konteks pengembangan diri peserta didik adalah memberi mereka teladan. Kegiatan ini merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan serta peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. Misalnya disiplin, menjaga kebersihan dan kerapihan, kasih sayang, kesopanan, perhatian, jujur, dan kerja keras. Di sisi lain, kegiatan pengembangan diri peserta didik juga dapat dilakukan dengan cara pengkondisian, yakni penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kondisi toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas. c. Kegiatan Ko-kurikuler dan atau Kegiatan Ekstrakurikuler
Agar kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler dapat mendukung pendidikan karakter, maka kegiatan-kegiatan itu perlu didukung dengan perangkat pedoman pelaksanaan dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Jika saat ini sekolah telah memiliki program ko-kurikuler dan ektra kurikuler, maka kegiatan-kegiatan itu dapat direvitalisasi agar sesuai dengan misi pengembangan karakter di sekolah. Pendidikan karakter dapat dilaksanakan secara integratif dalam kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler, tetapi pengintegrasian itu tentu saja memerlukan waktu sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Karena itu, perlu ada penambahan waktu agar kegiatan-kegiatan itu dapat dilaksanakan secara efektif, misalnya: (1) Sebelum pembelajaran di mulai atau setiap hari seluruh siswa diminta membaca surat-surat pendek dari kitab suci, kemudian melakukan refleksi (masa hening) selama 15 s.d 20 menit; (2) Di hari-hari tertentu sebelum pembelajaran dimulai dilakukan kegiatan muhadarah (berkumpul di halaman sekolah) selama 35 menit. Kegiatan itu berupa baca Al-Quran dan terjemahan, maupun siswa berceramah dengan tema keagamaan sesuai dengan kepercayaan Pembentukan Karakter Santri
68
Achmad Muchaddam Fahham
masing-masing dalam beberapa bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa daerah, serta bahasa asing lainnya), kegiatan ajang kreatifitas seperti: menari, bermain musik dan baca puisi. Selain itu juga dilakukan kegiatan bersih lingkungan di hari Jum’at atau Sabtu (Jum’at/Sabtu bersih); (3) Pelaksanaan ibadah bersamasama di siang hari selama antara 30 s.d 60 menit; (4) Kegiatankegiatan lain di luar pengembangan diri, yang dilakukan setelah jam pelajaran selesai; (5) Kegiatan untuk membersihkan lingkungan sekolah sesudah jam pelajaran berakhir berlangsung selama antara 10 s.d 15 menit.27 d. Kegiatan Keseharian di Rumah dan di Masyarakat
Dalam kegiatan ini sekolah dapat mengupayakan terciptanya keselarasan antara karakter yang dikembangkan di sekolah dengan pembiasaan di rumah dan masyarakat. Agar pendidikan karakter dapat dilaksanakan secara optimal. Untuk itu sekolah perlu menyediakan semacam buku penghubung yang berisi kegiatankegiatan peserta didik di rumah. Buku penghubung ini diketahui oleh orang tua dan juga oleh sekolah. e. Penilaian Keberhasilan
Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan dilakukan melalui berbagai program penilaian dengan membandingkan kondisi awal dengan pencapaian dalam waktu tertentu. Penilaian keberhasilan tersebut dilakukan melalui langkah-langkah berikut: (1) Menetapkan indikator dari nilai-nilai yang ditetapkan atau disepakati; (2) Menyusun berbagai instrumen penilaian; (3) Melakukan pencatatan terhadap pencapaian indikator; (4) Melakukan analisis dan evaluasi; (5). Melakukan tindak lanjut. f.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Pendidikan karakter merupakan satu kesatuan program kurikulum satuan pendidikan. Oleh karena itu program pendidikan karakter secara dokumen diintegrasikan ke dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Dengan kata lain, pendidikan karakter harus tertera dalam KTSP mulai dari visi, misi, tujuan, struktur
27
Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009), hlm. 9-10.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
69
dan muatan kurikulum, kalender pendidikan, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). g. Tahapan Pengembangan
Pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan perlu melibatkan seluruh warga satuan pendidikan, orang tua siswa, dan masyarakat sekitar. Prosedur pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan pendidikan karakter di satuan pendidikan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: (1) Melaksanakan sosialisasi pendidikan karakter dan melakukan komitmen bersama antara seluruh komponen warga sekolah (tenaga pendidik dan kapendidikan serta komite sekolah); (2) Membuat komitmen dengan semua stakeholder (seluruh warga sekolah, orang tua siswa, komite, dan tokoh masyarakat setempat) untuk mendukung pelaksanaan pendidikan karakter; (3) Melakukan analisis konteks terhadap kondisi sekolah (internal dan eksternal) yang dikaitkan dengan nilainilai karakter yang akan dikembangkan pada satuan pendidikan yang bersangkutan. Analisis ini dilakukan untuk menetapkan nilainilai dan indikator keberhasilan yang diprioritaskan, sumber daya, sarana yang diperlukan, serta prosedur penilaian keberhasilan; (4) Menyusun rencana aksi sekolah berkaitan dengan penetapan nilainilai pendidikan karakter; (5) Membuat perencanaan dan program pelaksanaan pendidikan karakter, yang berisi: (a) Pengintegrasian melalui pembelajaran; (b) Penyusunan mata pelajaran muatan lokal dan kegiatan lainnya; (c) Penjadwalan dan penambahan jam belajar di sekolah; (6) Melakukan pengkondisian, seperti: (a) Penyediaan sarana; (b) Keteladanan; (c) Penghargaan dan pemberdayaan (7). Melakukan penilaian keberhasilan dan supervisi. Untuk keberlangsungan pelaksanaan pendidikan karakter perlu dilakukan penilaian keberhasilan dengan menggunakan indikatorindikator berupa perilaku semua warga dan kondisi sekolah/ instansi yang teramati. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus melalui berbagai strategi. Supervisi dilakukan mulai dari menelaah kembali perencanaan, kurikulum, dan pelaksanaan semua kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, yaitu: (a) Implementasi program pengembangan diri berkaitan dengan pengembangan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam budaya sekolah; (b) Kelengkapan sarana dan prasarana pendukung implementasi Pembentukan Karakter Santri
70
Achmad Muchaddam Fahham
pengembangan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa; (c) Implementasi nilai dalam pembelajaran; (d) Implementasi belajar aktif dalam pembelajaran; (e) Ketercapaian Rencana Aksi Sekolah berkaitan dengan penerapan nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa; (f) Penilaian penerapan nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa pada pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik (sebagai kondisi akhir); (g) Membandingkan kondisi awal dengan kondisi akhir dan merancang program lanjutan. 8. Melakukan penyusunan KTSP yang memuat pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa; (a) Mendata dan mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa yang hendak dikembangkan dan dimplemenasikan; (b) Merumuskan nilai-nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa di dalam latar belakang pengembangan KTSP, Visi, Misi, Tujuan Sekolah, Struktur dan Muatan Kurikulum, Kalender Pendidikan, dan program Pengembangan Diri; (c) Mengitengrasikan nilai-nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa dalam silabus dan RPP.28 Uraian-uraian di atas menjelaskan kepada kita bahwa pendidikan karakter yang dilaksanakan di tingkat satuan pendidikan memang memerlukan keseriusan para pengelola pendidikan. Karena itu para pengelola sekolah perlu mempersiapkan secara matang apa karakter yang hendak dikembangkan, kemudian mengintegrasikan keseluruhan karakter yang dipilih dalam visi, misi, tujuan, struktur dan muatan kurikulum sekolah, bahkan dalam kalender pendidikan dan program pengembangan diri. Meskipun terlihat berat, namun pendidikan karakter merupakan keniscayaan yang harus dilakukan oleh sekolah untuk sedini mungkin membakali peserta didik mereka dengan karakterkarakter yang baik sehingga mereka dapat menjadi insan-insan yang berilmu, beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. C. Pembentukan Karakter di Pondok Modern Gontor 1. Sekilas tentang Pondok Modern Gontor Pondok Modern Darussalam Gontor didirikan pada tanggal 20 September 1926 oleh tiga bersaudara, yakni KH. Ahmad Sahal
28
Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009), hlm. 9-10.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
71
(1901-1977), KH. Zainuddin Fananie (1908-1967), dan KH. Imam Zarkasyi (1910-1985). Ketiga pendiri ini dikenal dengan sebutan Trimurti. Visi Pondok Modern Darussalam Gontor adalah menjadi lembaga pendidikan pencetak kader-kader pemimpin umat, menjadi tempat ibadah thalab al-ilmi, dan menjadi sumber pengetahuan Islam, bahasa al-Qur’an, dan ilmu pengetahuan umum dengan tetap berjiwa pesantren. Pondok Modern Darussalam Gontor mengemban misi, (1) membentuk generasi yang unggul menuju terbentuknya khaira ummah; (2) mendidik dan mengembangkan generasi mukmin-muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas, serta berkhirmat kepada masyarakat; (3) Mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan umum secara seimbang menuju terbentuknya ulama yang intelak; (4) mewujudkan warga negara yang berkepribadian Indonesia yang eriman dan bertakwa kepada Allaj swt. Sementara tujuannya adalah (1) terwujudnya generasi yang unggul menuju terbentuknya khaira ummah; (2) terbentuknya generasi mukmin-muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berpikiran bebas, serta berkhidmat kepada masyarakat; (3) lahirnya ulama intelek yang memiliki kesimbangan dzikir dan pikir; (4) terwujudnya warga negara yang berkepribadian Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Pondok modern Gontor memiliki dua jenjang pendidikan, yakni pertama, Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) Gontor Putra yang didirikan pada tahun 1936, kedua, Perguruan Tinggi Darussalam didirikan pada tahun 1963 dan sejak 1996 diubah namanya menjadi Institut Studi Islam Darussalam (ISID). KMI merupakan sekolah tingkat menengah dengan masa belajar enam tahun. Bertujuan mencetak guru-guru Islam. Sistem pendidikan yang digunakan adalah sistem pendidikan pesantren. Di KMI santri diajarkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum secara seimbang. Pelajaran agama dan bahasa (Arab-Inggris) disampaikan dengan menggunakan bahasa Arab atau Inggris. KMI Gontor Ponorogo diperuntukkan untuk santri putra, sedangkan untuk santri putri Pondok Gontor secara khusus membuka Kulliyatul Mu’allimat al-Islamiyah (KMI) Gontor Putri. Pembentukan Karakter Santri
72
Achmad Muchaddam Fahham
Institut Studi Islam Darussalam memiliki tiga fakultas, yakni fakultas Tarbiyah, Usuluddin, dan Syari’ah. Fakultas Tarbiyah memiliki dua jurusan, yakni Pendidikan Agama Islam dan pengajaran Bahasa Arab. Sementara fakultas Ushuluddin terdiri dari dua jurusan, yakni perbandingan agama dan aqidah-pemikiran Islam. Jurusan Syari’ah terdiri dari Perbandingan Mazhab dan Hukum, Manajemen dan Lembaga Keuangan Islam. Pondok Modern Darussalam Gontor merupakan salah satu pondok yang memiliki pengaruh yang cukup besar bagi pendidikan keagamaan Islam di Indonesia. Pondok ini telah memiliki 12 cabang yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. 2. Nilai-nilai Pembentuk Karakter
Nilai-nilai yang membentuk karakter santri di pesantren berasal dari ajaran agama Islam. Meskipun bersumber dari agama, nilai-nilai merupakan nilai yang universal karena juga dipandang oleh berbagai berbagai tradisi keagamaan sebagai kebaikan yang perlu dijadikan prinsip dan acuan dalam menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Bisa jadi, di berbagai pesantren nilainilai itu juga digunakan tapi tidak diramu dan dirumuskan menjadi sebuah prinsip, konsep, asumsi, dan premis yang formal sebagai falsafah hidup pesantren sehingga nilai-nilai itu dapat lebih mudah diinternalisasikan dan dipraktikkan dalam sistem pendidikan pesantren. Dalam kasus pesantren Gontor nilai-nilai itu dirumuskan dalam dua bentuk, pertama dalam bentuk Pancajiwa pondok dan kedua, dalam bentuk motto. a. Pancajiwa Pondok
Pancajiwa merupakan kumpulan lima nilai yang mesti dihayati oleh siapa pun yang menjadi warga Pondok Gontor, baik itu kiai, guru, dan santri. Pancajiwa ini harus dijadikan dasar, penggerak, spirit dalam keseluruhan proses sistem pendidikan pondok yang saling terkait dan tidak dipisah-pisahkan. Lima nilai itu adalah keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah islamiyah, dan kebebasan. Keikhlasan
Secara bahasa ikhlas berasal dari bahasa Arab. Kata ini berasal dari kata khalasha, yakhlishu, ihlash, yang berarti tulus. Dalam Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
73
kamus besar bahasa Indonesia, kata tulus berarti, sungguh dan bersih hati (benar-benar keluar dari hati yang suci), tidak pura-pura, tidak serong, tulus hati, tulus ikhas. Karena itu keikhlasan dapat diartikan dengan ketulusan, yakni kesungguhan dan kebersihan (hati); kejujuran. ikhlas merupakan salah satu konsep penting dalam Islam dalam kaitan perbuatan atau ibadah seseorang. Para ulama mendefinisikan konsep ikhlas secara berbeda-beda. Pertama, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah; kedua, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya; ketiga, ikhlas adalah membersihkan diri dari pamrih kepada makhluk. Keempat, Ikhlas adalah seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pujian manusia, tidak juga berharap manfaat dan menolak bahaya. Kelima, Ikhlas adalah membersihkan amal dari setiap noda; keenam, orang yang ikhlas adalah mereka yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi; ketujuh, Ikhlas adalah melupakan pandangan makhluk dengan melihat kepada Allah. Kedelapan, Ikhlas adalah kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin. Kesembilan, Ikhlas adalah meninggalkan perbuatan karena manusia adalah riya’, melakukan perbuatan karena manusia adalah syirik, dan ikhlas adalah apabila Allah menyelematkan kamu dari keduanya.29 Dari sembilan definisi konsep ikhlas yang dirumuskan oleh para ulama di atas, dapat dikatakan bahwa ikhlas adalah melakukan suatu perbuatan karena Allah, bukan karena manusia, bukan karena harta, kedudukan, jabatan, bukan karena mengharap pujian dan sanjungan. Karena itu secara sederhana dapat dikatakan bahwa orang yang Ikhlas adalah orang yang melakukan suatu perbuatan karena ingin mendapatkan keridlaan Allah saja, bukan karena ingin mendapat pujian dan kehormatan dari manusia. Jika diibaratkan sebuah tubuh manusia, ikhlas itu bagaikan ruh, dapat dibayangkan bagaimana tubuh manusia yang tanpa ruh, tentu ia merupakan mayat yang tidak mampu bergerak. Begitu pula dengan sebuah
29
Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab Juz I (Kairo: Darl al-Fikr, tt), hlm. 16-17. Lihat juga Madarij al-Salikin Juz II, (Kairo: Dar al-Hadits, tt), hlm. 95-96.
Pembentukan Karakter Santri
74
Achmad Muchaddam Fahham
perbuatan, perbuatan yang tanpa didorong oleh sikap ikhlas, adalah perbuatan yang tidak bermakna. Dalam konteks panjajiwa pondok disebutkan bahwa jiwa keikhlasan adalah sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillah. Kiai ikhlas mendidik dan para pembantu kiai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan serta santri ikhlas dididik. Kesederhanaan
Dalam Islam kesederhanaan disebut dengan istilah washathiyah. Dalam kamus besar bahasa Indonesia sederhana berarti bersahaja, tidak berlebih-lebihan. Karena itu kesederhanaan dapat diartikan sebagai sikap kesahajaan dan tidak berlebih-lebihan. Dalam Islam, kesederhanaan merupakan sikap yang sangat ditekankan dalam kehidupan seorang Muslim. Nabi misalnya selalu mencontohkan bagaimana seharusnya hidup bersahaja dan tidak berlebih-lebihan. Dalam suatu kesempatan Nabi pernah menyatakan bahwa dalam soal kepemilikan harta manusia itu harus selalu melihat orang yang ada dibawahnya. Nabi juga menganjurkan agar seorang Muslim selalu merasa cukup dan tidak rakus. Kesederhanaan tidak berarti harus hidup penuh dengan kekurangan, kesederhanaan adalah tidak berlebih-lebihan. Kesederhanaan juga berarti keseimbangan. Dalam hadis Nabi pernah bersabda, “khayru umurin awshatuha,” sebaikbaik perkara itu adalah yang sederhana atau seimbang. Kehidupan pesantren diluputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau nrimo, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanaan itu terdapat nilainilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan, dan penguasaan diri dalam memghadapi perjuangan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpencar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehiudpan. Berdikari/Kemandirian
Secara bahasa mandiri berarti keadaan dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Sementara kemandirian adalah Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
75
keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Manusia yang baik adalah manusia yang dapat melakukan segala sesuatu secara mandiri. Namun tidak berarti ia tidak membutuhkan bantuan orang lain, karena bagaimana pun sebagai makhluk sosial, secara kodrati ia tidak bisa terlepas dari bantuan orang lain. Karena itu, kemandirian di sini harus dimaknai secara positif, yakni ketika kita dapat melakukan suatu perbuatan secara mandiri, ketika itu pula kita tidak perlu meminta-minta bantuan orang lain. Apa yang mampu kita lakukan sendiri, harus kita lakukan sendiri secara swadaya, karena ketidakmandirian dapat menyebabkan kita tergantung dan tidak bebas menentukan pekerjaan yang kita inginkan. Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus berdikari sehingga tidak menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain. Inilah zelp berdruiping systeem (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama memakai). Dalam pada itu, Pondok tidaklah bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam pondok dikerjakan oleh kiai dan para santrinya sendiri. Tidak ada pegawai di dalam pondok.
Ukhuwwah Islamiyah
Dalam Islam dikenal tiga konsep tentang hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yakni, pertama, ukhuwwah Islamiyah, kedua, ukhuwwah wathaniyyah, dan ketiga, ukhuwwah insaniyyah. Ukhuwwah Islamiyyah merupakan konsep persaudaraan yang dibangun atas dasar keberislaman. Ukhuwwah wathaniyyah merupakan persudaraan yang dibangun atas dasar kebangsaan, dan ukhuwwah insaniyyah adalah konsep persaudaraan yang dibangun atas konsep kemanusiaan. Karena konsep persaudaraan itu, maka Islam menganjurkan para pemeluknya untuk membangun hubungan antar manusia secara damai karena pada hakikat semua manusia adalah saudara, ada saudara atas dasar agama, ada saudara atas dasar sesama negarabangsa, dan ada saudara sesama manusia. Islam tidak menghendaki Pembentukan Karakter Santri
76
Achmad Muchaddam Fahham
hubungan sosial yang dibangun atas dasar diskriminasi, atau atas keunggulan ras, etnik, dan budaya, Islam justru memandang keragaman ras, etnik, dan budaya itu sebagai rahmat Tuhan yang harus dijaga. Untuk menjaganya hubungan antar umat manusia harus dilakukan secara adil, harmonis, dan tanpa diskriminasi. Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah islamiyah. Tidak ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka. Ukhuwwah ini bukan saja selama mereka di pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat. Kebebasan
Secara bahasa bebas diartikan sebagai lepas sama sekali; lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut); tidak dikenakan (pajak, hukuman); tidak terikat atau terbatas oleh aturan; merdeka; tidak terdapat (didapati). Dalam konteks pancajiwa pondok, kebebasan dimaknai sebagai bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar, masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal) dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip. Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang dianggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak hendak menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena mengikatkan diri pada yang diketahui saja. Maka kebebasan ini harus dikembalikan ke aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis yang positif, dengan penuh tanggungjawab; baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat. Jiwa yang meliputi suasana kehidupan Pondok Pesantren itulah yang dibawa oleh santri sebagai bekal utama di dalam kehidupannya di masyarakat. Jiwa ini juga harus dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
77
b. Motto Pesantren Sistem pendidikan Pondok Gontor, diorientasikan untuk membentuk pribadi-pribadi muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan dan berpikiran bebas. Berbudi Tinggi
Berbudi tinggi merupakan simbol kematangan beragama melalui pendidikan yang penuh disiplin, berkelanjutan, dan berakhlak mulia. Ia merupakan landasan paling utama yang ditanamkan para pendiri kepada seluruh santri. Berbadan Sehat
Tubuh yang sehat adala sisi lain yang dianggap penting dalam pendidikan di pondok ini. Dengan tubuh yang sehat para santri akan dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah dengan sebaikbaiknya. Pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui berbagai kegiatan olah raga, dan bahkan ada olah raga rutin (lari pagi Jumat dan Selasa) yang wajib diikuti oleh seluruh santri sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Berpengetahuan Luas
Para santri di Pondok ini dididik melalui proses yang telah dirancang secara sistematis untuk dapat memperluas wawasan dan pengetahuan mereka. Santri tidak hanya diajari pengetahuan, lebih dari itu mereka diajari cara belajar yang dapat digunakan untuk membuka gudang pengetahuan. Kiai sering berpesan bahwa pengetahuan itu luas, tidak terbatas, tetapi tidak boleh terlepas dari berbudi tinggi, sehingga seseorang itu tahu untuk apa ia belajar cara tahu prinsip untuk apa ia menambah ilmu. Berpikiran Bebas
Berpikiran bebas tidaklah berarti bebas sebebas-bebasnya (liberal). Kebebasan di sini tidak boleh menghilangkan prinsip, teristimewa prinsip sebagai mukmin. Justru kebebasan di sini merupakan lambang kematangan dan kedewasaan dari hasil pendidikan yang telah ditengahi petunjuk ilahi (hidayatullah). Motto ini ditanamkan sesudah santri memiliki budi tinggi atau budi luhur dan sesudah ia berpengetahuan laus.
Pembentukan Karakter Santri
78
Achmad Muchaddam Fahham
Mastuhu pernah melakukan penelitian tentang dinamika sistem pendidikan pesantren di dalam penelitian itu ia mengemukan dua belas prinsip yang dijadikan pijakan dalam proses belajar mengajar pondok pesantren, kedua belas prinsip itu adalah: teosentrik; Ikhlas dalam pengabdian; Kearifan; Kesederhanaan (sederhana bukan berarti miskin); Kolektivitas; Mengatur kegiatan bersama; Kebebasan terpimpin; Kemandirian; pesantren sebagai tempat menuntut ilmu dan mengabdi; Mengamalkan ajaran agama; belajar di pesantren tidak untuk mencari sertifikat dan ijazah; Kepatuhan terhadap kiai.30 Temuan Mastuhu tentang prinsip di atas, hemat penulis dapat juga dipandang sebagai nilai-nilai yang diacu pesantren dalam sistem pendidikan mereka. Dua belas prinsip tersebut ada yang sama dan ada juga yang berbeda dari pancajiwa pondok sebagaimana penulis kemukakan di atas. Di sisi lain dapat dikatakan bahwa temuan Mastuhu itu merupakan racikan dari berbegai nilai-nilai yang ia temukan di pesantren. Salah satu nilai temuan Mastuhu yang dapat dijelaskan lebih lanjut adalah nilai yang disebutnya dengan istilah theosentrik. Secara umum istilah ini dapat dipahami sebagai pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian itu berasal, berproses, dan kembali kepada Allah. Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa semua kegiatan pembelajaran di pesantren senantiasa diwarnai dengan nilai-nilai yang sakral. Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Oleh karena itu pembelajaran bukan hanya sebuah proses tetapi juga tujuan hidup. Adalah benar bahwa kalangan pesantren memandang suatu ilmu sebagai sesuatu yang sakral, karena memang ada ulama yang memandang bahwa ilmu itu bagaikan cahaya, dan cahaya itu tidak akan turun kepada orang yang berbuat maksiat. 3. Pendidikan Karakter dalam Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran di pesantren sesungguhnya merupakan keseluruhan sistem pendidikan yang ada di pesantren. Proses pembelajaran tersebut tidak saja berlangsung di dalam ruang kelas, tetapi juga terjadi di luar kelas dan menjadi satu kesatuan dengan sistem asrama. Dengan kata lain, proses pembelajaran di kelas sebagai proses transformasi nilai-nilai ajaran Islam dan ilmu pengetahuan secara kognitif dan afektif kemudian diinternalisasikan
30
Ibid., hlm. 91-92.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
79
secara psikomotorik dalam kehidupan keseharian mereka dalam sistem pendidikan pesantren. Karena itu, pendidikan karakter di pesantren sejatinya proses pendidikan yang terpadu dan tidak berdiri sendiri dalam sebuah materi ajar yang khusus diberikan untuk memupuk pembentukan karakter santri. Struktur kurikulum pondok modern Gontor misalnya dapat dirujuk sebagai satu contoh kasus. Secara umum kurikulum pondok modern Gontor dapat dipilah menjadi tiga kelompok besar, yakni kurikulum pondok, kurikulum pembelajaran bahasa Arab, dan kurikulum Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI).31 Kurikulum pondok merupakan seluruh program pendidikan yang ada di pondok pesantren, baik berupa written curriculum maupun hidden curriculum atau kurikulum yang bersifat intra-kurikuler, kokurikuler, ektrakurikuler. Karena dalam pandangan KH Imam Zarkasyi kurikulum bukanlah sekedar susunan mata pelajaran di dalam kelas, tetapi merupakan seluruh program pendidikan. Tujuan pembelajaran di KMI bukanlah tujuan yang berdiri sendiri, melainkan dipersatukan secara integral dengan tujuan pendidikan pesantren secara keseluruhan. Sebagai sebuah pesantren, tujuan pendidikannya umumnya berkeinginan mencetak ulama. “Keinginan kami semuanya supaya kamu semua menjadi ulama, alim, salih, dan berguna.32 KH Abdullah Syukri Zarkasyi menyebut kurikulum pondok modern baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dengan istilah pendidikan akademik dan non-akademik sehingga seluruh program pendidikan dikemas dan dilaksanakan secara terpadu dan terprogram selama 24 jam, dalam bentuk core and integrated curriculum.33
Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah adalah satu dari sekian tingkat satuan pendidikan yang ada di Pondok Modern Gontor, institusi ini setingkat madrasah tsanawiyah dan Aliyah. Meskipun tidak mengikuti ujian nasional (UN), alumni KMI Pondok Modern Gontor dapat diterima di perguruan tinggi agama maupun perguruan tinggi umum karena institusi ini telah mendapatkan sertifikat persamaan pendidikan setingkat pendidikan madrasah aliyah. 32 Imam Zarkasyi, “Petunjuk Belajar: Pengarahan Siswa Kelas Akhir KMI Gontor, hlm. 1. 33 Abdullah Syukri, “Pengalaman Pendidikan Pesantren di Era Otonomi Pendidikan: Pengalaman Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, dalam Pidato Ilmiah Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 20 Agustus 2005. 31
Pembentukan Karakter Santri
80
Achmad Muchaddam Fahham
Di Pondok modern ini, santri pondok dibekali dengan ilmu agama, agar mereka mampu menyadari keberadaan Tuhannya, sadar bahwa dunia ini tempat singgah belaka, ia bukanlah tujuan yang berharga di sisi Tuhan Yang Maha Besar. Santri juga dibekali dengan pelbagai ilmu pengetahuan, agar terbuka dada mereka, luas pandangan mereka, dalam jelajahan mereka, terbuka medan perjuangan mereka seluas-luasnya di penjuru alam ini.34 Kurikulum Pondok Gontor dapat dipilah menjadi dua bagian utama, yakni kurikulum secara umum dan kurikulum ektrakurikuler. Kurikulum secara umum disebut dengan ungkapan 100% kurikulum pendidikan agama dan 100% pendidikan umum. Dalam pandangan Imam Zarkasyi, konsep ilmu dalam Islam tidak memisahkan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Karena itu, di Pondok Gontor berlaku 100% pelajaran Islam dan 100% pelajaran umum. Islam dan umum tidak karena materinya, tetapi karena perlakuan terhadap materi itu,35 yakni agama diterangkan dengan pelajaran umum dan pengetahuan umum dibumbuhi dengan pelajaran agama di dalamnya. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan umum itu sebenarnya adalah bagian dari ilmu pengetahuan agama, dan sama pentingnya. Latar belakang pemikiran Imam Zarkasyi tersebut berpijak pada kenyataan bahwa sebab utama kemunduran umat Islam adalah kurangnya pengetahuan umum pada diri mereka.36 Pondok modern Gontor dikenal sebagai salah satu pesantren yang berhasil mengembangkan kemampuan berbahasa para santrinya, baik bahasa Indonesia, Arab, maupun Inggris. Kurikulum Bahasa Pondok Modern merupakan kurikulum yang khas dan dapat mengantarkan para santrinya memahami, berbicara, maupun menulis dalam bahasa Arab dan Inggris. Ada tiga bahasa yang diajarkan di Pondok Pesantren Gontor, yakni bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa Inggris. Ketiga bahasa ini diajarkan sebagai bahasa komunikasi dan bahasa pembelajaran. Belajar bahasa dalam pondok pesantren Gontor, dimulai dengan bahasa dasar yang masak, kuat, dan harus dikuasai
Imam Zarkasyi, Darussalam Gontor Kampung Damai, dalam Majalah Gontor, Edisi 12, Tahun II, Shafar 1426/April 2005, hlm. 37. 35 Emha Ainun Nadjib, Slilit Sang Kiai (Jakarta: Grafiti, 1992), hlm. 46. 36 Mardiyah, Kepemimpinan Kiai dalam memelihara Budaya Organisasi (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012), hlm. 179. 34
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
81
dengan sebaik-baiknya. Dapat mempergunakan tiap kata dalam segala tempat dengan betul dan lancar, tidak dengan diingat-ingat sebelumnya, sehingga mampu menggunakan kata dalam kalimat. Dengan demikian metode yang dipakai untuk belajar bahasa (ArabInggris) ialah metode aktif, modern (metode lisan dulu) seperti metode Berlitz. Dalam mengajarkan bahasa harus diusahakan agar santri dapat berbicara, dan dapat meletakkan kata-kata dalam kalimat bervariasi. Dalam pengertian lain, mengetahui satu kata dan mampu meletakkannya dalam seribu kalimat sempurna, lebih baik daripada mengatahui seribu kata, tetapi hanya dapat meletakkan masingmasing dalam satu kalimat sempurna. Sehingga belajar dasar bahasa bukan terletak pada perbendaharaan kata, tetapi pada ketangkasan pemakaian kalimat. Kenyataan tersebut berbeda dari pengajaran yang berlaku pada pesantren-pesantren pada umumnya, yaitu belajar bahasa Arab dengan menekankan belajar Nahwu, sebelum orang mengerti bahasa Arab, hal tersebut dilandaskan pada filosofi: “an-nahwu fi al-kalam ka al-mihi fi at-ta’am” (nahwu dalam percakapan seperti garam dalam makanan). KH Imam Zarkasyi juga memahami filosofi tersebut secara terbalik, yaitu orang harus belajar bahasa dahulu sebelum belajar nahwu, sebab orang tidak akan menggunakan garam sebelum belajar nahwu. Maka strategi dan metode yang diterapkan KH Imam Zarkasyi adalah membuat para santri dapat berbicara dalam bahasa asing itu (ja’lu talamidh yatakallamun). 37 Dalam pengajaran bahasa seperti ini diperlukan guru yang cakap, yakni guru yang dapat mempergunakan “senjata” mengajar bahasa secara benar; (a) memakainya harus benar; (b) memakainya harus dengan kemauan yang kuat; (c) hati guru sengaja untuk mengisi murid. Tingkatkan kesungguhan mengajarkan bahasa dapat dianalogikan dengan bahasa agama, yakni: (a) sekedar tahu bahasa (al-Syari’ah); (b) bisa mengerjakan (al-thariqah); (c) mengerjakan dengan segala ilmu yang ada (al-ma’rifah); (d) hati guru “nyetrum” murid.38 Di antara tujuan pembelajaran bahasa Arab di pesantren ini adalah agar santri dapat memahami kitab (klasik dan kontemporer) secara mandiri. Pondok Gontor tidak memberikan “nasi” yang
37 38
Tim Penulis Biografi, K.H. Imam Zarkasyi, hlm. 53. KH Imam Zarkasyi, Acara Pengarahan Kamisan, 3 Jumadil Ula, 1405.
Pembentukan Karakter Santri
82
Achmad Muchaddam Fahham
sudah masak untuk dimakan kemudian habis, tetapi memberikan “benih” padi yang selanjutnya dapat tumbuh dan dapat dibuat nasi sendiri dengan tidak habis-habisnya. Ia memberikan “kunci” untuk membuka sendiri perbendaharaan ilmu yang terkandung dalam buku yang tiada habis-habisnya.39 Dalam ungkapan lain “pondok hanya memberi kail, tidak memberi ikan.”40 Di Pondok Gontor, kitab-kitab klasik yang lazim disebut kitab kuning sebenarnya tetap diajarkan. Akan tetapi pengajarannya tidak dengan metode tradisional (penerjemahan nahwiyyah). Melainkan dengan membekali para santri dengan seperangkat ilmu dasar keislaman dan bahasa, barulah pada kelas akhir mereka diajak membedah kitab-kitab klasik tersebut melalui kegiatan fath al-kutub dibawah bimbingan dan pengawasan kiai dibantu santrisantri senior. Dengan demikian para santri dapat dengan mudah dan mandiri menjelajah kitab-kitab klasik atau kontemporer. Di samping dua kurikulum di atas, kurikulum lainnya adalah kurikulum kulliyatul Mu’allimin al-islamiyyah (KMI), pada mulanya KMI menerapkan kurikulum normal Islam yang digagas oleh Mahmud Yunus. Meskipun demikian, ide dan konsep kurikulum normal Islam itu, tidak dipindahkan dan diterapkan begitu saja, Imam Zarkasyi meramu kurikulum itu dengan ide dan konsep kurikulum yang ia dapatkan dari al-Hasyimi, salah seorang guru yang turut membentuk ide pembaruan pendidikannya. Akhirnya kurikulum normal Islam itu didesain ulang secara seimbang antara materimateri pembelajaran yang terdapat di pesantren dan madrasah dan jadilah ia sebuah kurikulum khas KMI yang hingga sekarang masih terus digunakan dan dipertahankan. Struktur kurikulum KMI dapat dibagi menjadi tiga jenis disiplin ilmu: pertama, al-umum al-islamiyah, kedua, al-ulum al-arabiyah, dan ketiga, al-ulum al-ammah. Rincian struktur kurikulum tersebut sebagai berikut: 1. al-ulum al-Islamiyyah dibagi menjadi beberapa kelompok keilmuan, yakni al-Qur’an, Tajwid, Tafsir, al-Tarjamah, al-hadits, mustalah al-hadis, al-fiqh, usul al-fiqh, al-faraid, al-tauhid, al-Ddin al-Islami, al-Adyan, dan tarikh islami. Selain kelas I,
39 40
Imam Zarkasyi, Diktat, hlm. 27. Abdullah Syukri, Manajemen Pesantren Pengelaman Pondok Modern Gontor (Gontor: Trimurti Press, 2005), hlm. 149.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
83
seluruh materi yang terkandung di dalam kelompok keilmuan ini disampaikan menggunakan bahasa Arab); 2. al-ulum al-arabiyah terdiri dari beberapa kelompok keilmuan, yakni al-Imla’ Tamrin al-Lughah, al-Insya’, al-muthala’ah, al-Nahwu, al-Sarf, al-Balaghah, Tarikh Adab al-Lughah, alMahfudhat, dan al-Khath. (seluruhnya disampaikan dalam bahasa Arab) 3. al-ulum al-ammah, terbagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut: a. Keguruan: al-Tarbiyah wa al-Ta’lim (dengan bahasa Arab), dan Psikologi Pendidikan, Asas didaktik metodik (bahasa Indonesia). b. Bahasa Inggris (dalam bahasa Inggris), Reading dan Comprehension, Grammar, Composition, dan Diction. c. Ilmu Pasti: Berhitung, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Fisika, dan Biologi. d. Ilmu Pengetahuan Sosial; Sejarah Nasional dan Dunia, Geografi, Sosiologi, dan Psikologi Umum; e. Keindonesiaan/Kewarganegaraan: Bahasa Indonesia dan tata Negara.41
Mencermati struktur kurikulum di atas, dapat dikatakan bahwa secara substantif hanya matari-materi keagamaan dan pendidikan kewarganegaraan saja yang dapat disebut sebagai materi-materi yang secara khusus terkait langsung dengan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia. Kedua materi tersebut merupakan materi-materi yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan santri peduli dan menginternalisasi nilai-nilai. Pertanyaan kemudian di manakah nilai-nilai kebaikan lainnya ditanamkan sehingga membentuk santri yang berkarakter baik? Pendidikan karakter di pesantren terjadi secara integratif pada mata-mata pelajaran di pesantren. Internalisasi nilai-nilai di dalam tingkah laku sehari-hari keseharian santri terjadi melalui proses pembelajaran.
41
KH Abdullah Syukri Zarkasyi, “Pidato Ilmiyah Penerimaan Gelar DR HC.,” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 20 Agustus 2005.
Pembentukan Karakter Santri
84
Achmad Muchaddam Fahham
Dengan kata lain, pendidikan karakter dalam proses pembelajaran di pesantren dilakukan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Dalam tahapan perencanaan, seorang ustadz yang diberi amanah untuk mengajarkan materi ajar tertentu pertamatama ia berupaya mempersiapkan materi ajar apa yang hendak diajarkan dalam satu semester. Persiapan mengajar itu dikoreksi oleh seorang pembimbing yang menelaah terhadap materi ajar yang dipersiapkan itu. Persiapan mengajar ini disebut dengan i’dad tadris, berisi materi-materi pembelajaran, metode pembelajaran, dan sarana pembelajaran (washa’ilul idhah). Persiapan mengajar ini sebelum digunakan dalam proses pembelajaran diperiksa oleh seorang musyrif (pembimbing), biasanya berasal dari guru senior yang telah lama mengajar di pesantren dan telah memiliki banyak pengalaman dalam proses pembelajaran. Pendidikan dan pembelajaran di pesantren modern ini dimulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.30. waktu belajar formal di dalam kelas ini disela oleh dua jam istirahat. Pertama pada pukul 08.30-09.00 kemudian 11.00-11.30. selama satu hari para santri belajar sekitar 6 jam ditambah 1 jam untuk tambahan pelajaran di siang hari yang dimulai pukul 14.00-15.00. Ketika ustadz masuk kelas, ia akan menyampaikan materimateri pembelajaran yang telah disiapkan, dengan menerapkan metode pembelajaran yang telah ia pilih sesuai dengan materi yang ia ajarkan, sarana pembelajaran yang gunakan juga sederhana tidak menggunakan media pembelajaran modern yang harganya mahal, ustadz tampaknya menerapkan konsep kesederhanaan dalam pembelajaran. Metode pengajaran yang digunakan di Pondok Gontor adalah sebagai berikut: (1) metode deduktif, metode ini bertujuan untuk menyukseskan pewarisan ilmu keislaman tertentu. Operasionalisasinya bersifat doktriner, kajiannya bersifat pertikuler dan metode ini memang sesuai bagi upaya pewarisan ilmu keislaman yang bersumber pada kitab-kitab klasik; metode ini digunakan bagi santri-santri yang masih kelas bawah; kelas I dan II. (2) metode induktif, bertujuan membina keluasaan wawasan keilmuan dalam rangka membekali santri memiliki kemampuan mendalami ilmu keislaman sendiri dari berbagai sumber aslinya; metode ini menawarkan alternatif pemikiran terhadap bahan pelajaran untuk dikritisi Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
85
oleh santri. Metode ini sesuai dengan pemberian bahan pelajaran bersumber dari al-Qur’an dan hadis yang memberikan inspirasi dan motivasi kepada santri untuk mempergunakan penalarannya dalam memahami pelajaran; metode ini diimplementasikan pada kelas III dan IV; (3) metode deduktif-induktif-kritis; metode ini digunakan dalam kegiatan diskusi santri. Dalam diskusi tersebut santri mencoba memecahkan masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat. Kegiatan ini dibimbing oleh guru senior dan dikoordinasi oleh staf pengasuhan santri dan merangkap sebagai fasilitator kegiatan diskusi itu. Metode ini diimplementasikan pada kelas V dan VI dalam kegiatan muhadarah, fath al-kutub, fath al-munjid, fath al-rahman, dan durus al-naqd. Pendidikan di Pondok Gontor adalah pendidikan kehidupan, dengan demikian pendekatan pendidikan kehidupan pesantren menurut Abdullah Syukri Zarkasyi adalah: (1) pendekatan manusiawi; (2) pendekatan program, dan (3) pendekatan idealism. Ketiga pendekatan tersebut diberlakukan pada semua santri dan para guru. Metode pendidikan efektif yang berlaku dalam kehidupan pendidikan di Pondok Gontor dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) keteladanan (uswatun hasanah), digunakan untuk mengembangkan kepribadian santri; (2) pembiasaan, digunakan untuk membentuk character building, yakni pembinaan kesadaran berdisiplin dan moral; (3) learning by instruction, digunakan dalam segala aspek kehidupan di pesantren agar para santri dapat merasakan nilainilai pendidikan dan sekaligus sarana internalisasi nilai-nilai pesantren yang paling efektif; (4) learning by doing, digunakan untuk menanamkan nilai-nilai luhur pendidikan pesantren agar nilai-nilai tersebut dapat segera dirasakan para santri; (5) kritik, digunakan untuk belajar melakukan kritik dengan benar dan dapat menerima kritikan dengan ikhlas; (6) leadership, dikembangkan di berbagai aspek kehidupan santri, terutama pada santri kelas V dan VI.42 Dalam ungkapan yang lebih sederhana, metode pendidikan
42
Yang dimaksud dengan kelas V dan kelas VI dalam sistem pendidikan KMI di Pondok Modern Gontor adalah setara dengan kelas 11 dan 12 di tingkat satuan pendidikan SMU. KMI menggunakan istilah kelas I sampai dengan kelas VI, kelas I sampai dengan kelas III setara dengan kelas 7 sampai dengan kelas 9 di SMP/MTs, sementara kelas IV sampai dengan kelas VI setara dengan kelas
Pembentukan Karakter Santri
86
Achmad Muchaddam Fahham
di Pondok Gontor menurut Abdullah Syukri antara lain adalah: keteladanan, penciptaan lingkungan (conditioning), pengarahan, penugasan, penyadaran, dan pengajaran. Akhirnya dapat dikatakan sekali lagi bahwa pendidikan karakter dalam proses pembelajaran di pesantren tidak diberikan dalam bentuk pendidikan karakter yang berdiri sendiri, tetapi nilai-nilai itu secara integral melekat dalam proses pembelajaran. Memang ada beberapa materi ajar yang berisi tentang nilai-nilai yang perlu dipahami, dihayati, dan diinternalisasikan dalam kehidupan keseharian santri tetapi materi itu tidak disebut sebagai pelaksanaan pendidikan karakter, tetapi memang merupakan materi ajar yang masuk dalam kurikulum pendidikan yang harus diajarkan dan dipahami oleh para santri agar mereka memperoleh pengetahuan tentang materi ajar tersebut. 4. Pendidikan Karakter dalam Manajemen Pesantren
Berdasarkan pengalamannya memimpin Pondok Modern Gontor Abdullah Syukri Zarkasyi menuturkan bahwa mengatur dan mengelola sebuah pesantren tidaklah sederhana. Ia bukan sekedar memenej kegiatan belajar-mengajar di ruang kelas pada jam-jam belajar formal, tetapi juga menyangkut manajemen kegiatankegiatan di asrama, dan di lingkungan pondok secara keseluruhan. Ia mencakup manajemen nilai-nilai pesantren; bagaimana nilai-nilai tersebut dapat dipertahankan dengan baik, dan dapat ditanamkan pada seluruh penghuni pondok secara efektif dan efesien. Bagaimana menciptakan suasana keikhlasan prima, yang dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh elemen dalam pesantren. Bagaimana memenej agar para guru tetap mempunyai idealisme yang tinggi
10 sampai dengan kelas XII di SMU/MA. Tapi khusus untuk lulusan SMP/ MTs yang mau meneruskan pendidikannya di Pondok Modern ini ia harus menempuhnya selama 4 tahun, setengah tahun pertama sebagai persiapan mereka untuk mengikuti program pendidikan di mana pada masa persiapan ini mereka didrill dengan materi-materi pembelajaran bahasa Arab dan Inggris, karena setengah tahun berikutnya mereka akan menerima pelajaran agama dalam bahasa Arab dan pelajaran bahasa inggris juga menggunakan bahasa Inggris. Dalam sistem KMI, mereka yang masuk setelah tamat SMP/ MTs akan masuk di kelas intensif. Sistem kenaikan kelasnya meloncat-loncat, dari kelas I naik kelas III, dari kelas III ke kelas V, dan terakhir kelas VI. Jadi secara keseluruhan ditempuh selama empat tahun.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
87
dalam menjalankan keseluruhan proses pendidikan dan pengajaran. Bagaimana pesantren agar tetap bisa mandiri, tidak menggantungkan hidupnya kepada pihak lain. Bagaimana memenej agar para guru juga bisa mandiri dan tidak menggantungkan hidupnya kepada pondok, bahkan dapat berkorban untuk pondok. Bagaimana agar para santri dapat berprestasi tidak hanya di bidang keilmuan, tetapi juga di bidang moral dan sikap mental serta di bidang ubudiyyah spiritual. Bagaimana agar para santri memiliki produktivitas yang tinggi dalam berbagai bidang yang akan bermanfaat untuk sesama sesuai dengan prinsip “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesamanya,” ringkasnya manajemen pesantren itu adalah menyangkut manajemen totalitas kehidupan santri selama 24 jam penuh.43 Pendidikan karakter dalam manajemen pesantren secara substantif terlihat dalam sistem pengasuhan yang dilaksanakan oleh pesantren. Dalam kasus Pondok Modern Gontor, pangasuhan santri dilaksanakan oleh satu lembaga khusus yang disebut dengan pengasuhan santri. Lembaga ini bertugas untuk mendidik dan membina langsung seluruh kegiatan ekstrakurikuler santri atau seluruh aktivitas kehidupan santri di pesantren di luar jam kerja santri pesantren mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Aktivitas santri tersebut mencakup kegiatan-kegiatan santri di tingkat menengah dan perguruan tinggi. Kegiatan santri di tingkat menengah diselenggarakan oleh organisasi santri dan organisasi kepramukaan. Sedangkan kegiatan santri di tingkat perguruan tinggi (mahasiswa) dikelola oleh dewan mahasiswa. Secara struktural, lembaga ini dikelola langsung Pengasuh Santri yang juga Pimpinan Pondok. Dalam menjalankan tugas hariannya, lembaga ini dibantu oleh beberapa orang staf. Tugas pengasuhan santri ini dapat dikelompokkan menjadi beberapa hal, yakni selain sebagai supervisi kegiatan seluruh santri, juga bertindak sebagai pembina, pembimbing dan penyulu organisasi santri dan organisasi kepramukaan; dan melakukan supervisi terhadap kegiatan mahasiswa. Kehidupan santri selama 24 jam tidak lepas dari disiplin yang selalu didasari oleh nilai-nilai dan ajaran-ajaran kepondokmodernan.
43
Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren: Pengalaman Pondok Modern Gontor (Ponorogo: Trimurti Press, 2005), hlm. xv-xvi.
Pembentukan Karakter Santri
88
Achmad Muchaddam Fahham
Pengendalian disipilin santri tidak saja dalam aspek organisasinya saja, tetapi juga dalam aspek lainnya meliputi disiplin ibadah, akhlaketika, belajar, etor kerja, berbahasa Arab dan Inggris, pakaian, absensi, dan sebagainya. Pengendalian disiplin tersebut tidak lain dimaksudkan untuk mendidik pola kecerdasan santri, baik secara intelektual-emosional, sosial, maupun spiritual. Pembinaan kecerdasan intelektual-emosional, atau bisa disebut sebagai kecerdasan hidup, lewat lembaga pengasuhan ini setidaknya kentara dari penanaman disiplin dalam berbagai kegiatan, yang meliputi keorganisasian, kepramukaan, keterampilan, kesenian, olahraga, kewiraswastaan, pelatihan-pelatihan dan pelajaran sore, penyelengaraan forum-forum kajian, dikusi, seminar, dan aneka lomba di bidang keilmuan, latihan menulis karya ilmiah, resume bacaan perpustakaan, pembinaan dan pengembangan bahasa Arab dan Inggris, serta penerbitan-penerbitan. Adapun secara spiritual dilakukan dengan berbagai kegiatan dan gerakan antara lain: jamaah salat lima waktu secara disiplin dan terkontrol, salat sunnah, puasa sunnah, membaca/menghafal/ tadabbur al-Qur’an, peringatan hari besar keagamaan, ceramahceramah agama baik di asrama maupun di masjid dan majelismajelis dzikir. Dalam menegakkan disiplin santri, sistem pengasuhan di pesantren lebih menekankan pada kesadaran preventif dan meminimalisir hukum fisik. Dengan demikian, berjalannya disiplin santri menjadi lebih baik dan suasana kekeluargaan lebih tampak. Terkait dengan sistem pembinaan, ada beberapa hal yang menjadi strategi pembinaan, yang tidak saja ditujukan kepada santri, tetapi kepada siapa saja yang bernaung dalam lingkungan pesantren, yakni seperti dalam tabel berikut: No
1 2
Sistem
Keteladanan
Strategi
Penciptaan lingkungan
Penonjolan sikap teladan dari para kiai, guru, pengasuh, dan santri
Semua yang dilihat, didengar, dirasakan, dikerjakan, dan dialami sehari-hari harus mengandung pendidikan
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham No
Sistem
3
Pengarahan
4
Pembiasaan
5
Penugasan
89 Strategi Kegiatan-kegiatan diawali dengan pengarahan terutama tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya
Menjalankan program-program pendidikan dari yang ringan ke yang berat dengan disiplin tinggi. Terkadang pemaksaan juga diperlukan Pelibatan dalam penyelenggaraan kegiatankegiatan pendidikan
Untuk menjamin berjalannya strategi, efektivitas dan efesiensi pembinaan, lembaga pengasuhan juga membentuk tim khusus, yakni lembaga musyrif (pembimbing), seperti musyrif/rayon/ asrama, musyrif pelajaran sore, musyrif konsulat para santri, musyrif muhadarah dan diskusi, serta musyrif bahasa. Pertemuan-pertemuan berkala juga diadakan dalam rangka konsolidasi dan evaluasi antar musyrif demi perbaikan-perbaikan dan perkembangan. Di sisi lain, lembaga ini juga ikut membantu menyelesaikan problematika yang dihadapi sanri. Baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan melalui guru wali kelas atau para musyrif yang dibentuk tersebut.44 Kegiatan yang dikelola oleh KMI terdiri atas kegiatan harian, mingguan, tengah tahunan, dan tahunan. 1. Kegiatan harian meliputi: kegiatan belajar-mengajar, supervisi proses pengajaran, persiapan pengecekan pengajaran, pengawasan disiplin masuk kelas, pengontrolan kelas dan asrama santri saat pelajaran berlangsung, penyelenggaraan belajar malam bersama wali kelas berlangsung dari jam 20.0021.45. 2. Kegiatan mingguan meliputi: pertemuan Guru KMI setaip hari Kamis untuk mengevaluasi kegiatan akademik oleh Direktur KMI, non-akademik oleh pimpinan pondok. 3. Kegiatan tengah tahunan; ujian tengah semester I dan II dan ujian akhir semester I dan II 4. Kegiatan tahunan meliputi kegiatan sebagai berikut: Fath alKutub, yakni latihan membaca kitab-kitab berbahasa Arab untuk kelas V (kitab-kitab klasik) dan Kelas VI (kitab klasik dan
44
Ibid., hlm. 113-116.
Pembentukan Karakter Santri
90
Achmad Muchaddam Fahham
kontemporer). Santri diberi tugas untuk membahas persoalanpersoalan tertentu dalam akidah, fiqh, hadis, tafsir, tasawuf, dan lainnya. mereka membuat laporan dan menyerahkan kepada guru pembimbing untuk dievaluasi. Fathul Mu’jam, yakni latihan dan ujian membuka kamus berbahasa Arab untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan berbahasa Arab santri, terutama dalam mencari akar dan makna kosakata. Manasik al-hajj, latihan ibadah haji bagi siswa, berlokasi di lingkungan kampus, dibawa bimbingan guru ahli. Al-Tarbiyah al-Amaliyah, yaitu praktik mengajar untuk kelas VI. Dilaksanakan menjelang akhir masa studinya. Seorang santri melaksanakan praktik sementara kawan-kawannya yang satu kelompok dengan mengamati dan selanjutnya memberikan evaluasi (naqd) dengan bimbingan guru senior. Al-Rihlah al-Iqtishadiyah (economic study tour): kunjungan ke dunia usaha dan kewiraswastaan, untuk menanamkan jiwa kemandirian dan kewiraswastaan kepada para santri.
Manajemen pesantren seperti yang telah dipaparkan di atas, pada akhirnya membentuk satu tradisi pesantren dan mengantarkan terbentuknya santri yang khas, yang bisa jadi berbeda dengan santri pondok-pondok pesantren lainnya. Alumni santri pondok modern ini mampu berbahasa Arab dan Inggris secara aktif, baik dalam menulis maupun dalam berbicara. Mereka juga santri yang memiliki dedikasi tinggi untuk mengabdi pada agama dan mampu aktif dalam berbagai kegiatan pendidikan dan kemasyarakatan. 5. Pendidikan Karakter dalam Kegiatan Santri a. Gambaran Umum Kegiatan Santri
Kegiatan santri merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan keseharian santri di pesantren. Kegiatan itu dapat dipilah menjadi dua kegiatan utama, yakni kegiatan santri di ruang kelas, dan kegiatan santri di asrama. Di ruang kelas, para santri mengikuti proses belajar mengajar formal yang diselenggarakan oleh KMI, proses belajar mengajar ini dimulai sejak pukul 07.0012.50. Selebihnya kegiatan santri diatur dan diorganisasi oleh sistem kegiatan asrama pesantren. Kegiatan ini berlangsung sejak pukul 13.00-22.00 dan pukul 22.00-04.00, serta 04.00-06.45. Secara rinci kegiatan keseharian santri di pondok modern ini dapat dilihat pada jadwal kegiatan berikut: Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham No
Jam
Kegiatan
1
04.00-05.30
2
05.30-06.00
3
06.00-06.45
5
12.50-13.00
4 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15
91
07.00-12.50 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-15.45 15.45-16.45 16.45-17.15 17.15-18.30 18.30-19.30 19.30-20.00 20.00-22.00 22.00-04.00
Bangun Tidur Salat Subuh Berjamaah Pembinaan Kemampuan Berbahasa Arab atau Inggris Membaca al-Qur’an
Olah Raga Mandi Kursus-Kursus Bahasa, Kesenian, Keterampilan dan lain-lain Makan pagi Persiapan masuk kelas Masuk kelas pagi Keluar kelas
Salat Zhuhur berjamaah Makan Siang Masuk kelas sore
Salat Asar Berjamaah Membaca al-Qur’an Aktivitas Bebas
Mandi dan persiapan ke masjid untuk salat magrib berjamaah Salat Magrib Berjamaah Membaca al-Qur’an Makan Malam
Salat Isya Berjamaah
Belajar malam bersama di kelas-kelas Istirahat dan tidur
Di samping Jadual harian di atas, ada juga kegiatan mingguan dengan rincian sebagai berikut: No
1 2
Hari
Sabtu Ahad
Kegiatan
Tidak ada perubahan dari jadual harian
Pagi hari seperti jadual harian, malam hari setelah salat isya berjamaah latihan pidato dalam bahasa Inggris untuk kelas I-IV, kelas V diskusi, dan kelas VI menjadi pembimbing untuk kelompok latihan pidato
Pembentukan Karakter Santri
92 No
Achmad Muchaddam Fahham Hari
Kegiatan
3
Senin
Tidak terdapat perubahan dari jadual harian
5
Rabu
Tidak ada perubahan dari jadual harian
4 6 7
Selasa Kamis Jumat
Pagi hari, setelah jamaah subuh, latihan percakapan bahasa Arab/Inggris, dilanjutkan lari pagi wajib untuk para santri Dua jam terakhir pelajaran pagi digunakan untuk latihan pidato dalam bahasa Arab, siang, 13.45-16.00 latihan pramuka. Malam 20.00-21.30, latihan pidato bahasa Indonesia
Pagi hari kegiatan percakapan dalam bahasa Arab/Inggris dilanjutkan dengan lari pagi wajib. Setelah itu kerja bakti membersihkan lingkungan kampus. Selanjutnya acara bebas
b. Kegiatan Pondok/Asrama
Salah satu ciri utama sistem pendidikan pesantren adalah adanya pondok atau asrama untuk tempat tinggal santri yang berada di lingkungan komplek pesantren, di mana kiai bertempat tinggal. Di Pondok modern Gontor, asrama santri dikenal dengan sebutan dengan rayon, berupa bangunan bertingkat dan terdiri dari banyak kamar. Di kamar-kamar itulah para santri bertempat tinggal. Satu kamar dihuni oleh 20 orang santri. Penempatan santri di asramaasrama tidak bersifat permanen. Selama santri hidup di pesantren, ia tidak menetap di satu asrama atau di satu kamar yang sama. Setiap tahun dilakukan perpindahan asrama; santri pindah dari satu asrama ke asrama lainnya, dan setiap satu semester dilakukan perpindahan kamar dalam satu asrama. Kebijakan ini dimaksudkan untuk variasi suasana kehidupan santri di asrama. Bagi santri, kebijakan ini memberikan manfaat agar mereka dapat mengenal banyak kawan dan memahami berbagai tradisi dan budaya dari santri-santri lain secara lebih luas. Santri Pondok Modern Gontor berasal dari berbagai dearah di Indonesia, untuk mengenalkan budaya dan tradisi dari masingmasing daerah penempatan santri di asrama tidak berdasarkan daerah, bahkan pada tingkat kamarpun penempatan demikian selalu dihindari. Hal demikian dilakukan guna memberikan sarana belajar santri tentang kehidupan bermasyarakat yang lebih luas, berskala nasional, bahkan internasional, karena di pondok pesantren ini juga terdapat santri-santri dari manca negara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan negara ASEAN lainnya. Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
93
Penempatan santri baru dan santri lama pun ditempatkan dalam asrama yang berbeda. Santri baru menempati asrama khusus untuk santri baru. Di samping itu, penempatan santri di asrama dibagi menjadi dua kategori, yakni santri kibar (besar/dewasa) dan santri shighar (kecil/anak-anak). Klasifikasi tersebut didasarkan pada postur tubuh dan juga usia. Biasanya tamatan SD digolongkan kepada sighar, dan tamatan SMP ke atas masuk golongan kibar. Namun bisa juga terjadi ada santri tamatan SMP yang ditempatkan di kamar santri shighar. Santri kibar menempati kamar khusus santri kibar, begitu juga sebaliknya. Hal demikian perlu dilakukan agar proses pendidikan di pesantren mudah dilakukan mengingat ada perbedaan pendekatan pendidikan untuk usia santri yang berbedabeda itu. Guna mengorganisir dan mengontrol berbagai kegiatan santri di rayon dibentuk pengurus rayon. Institusi ini berada dibawah naungan organisasi santri yang merupakan pengurus pusat kegiatan santri. Pengurus rayon berasal dari santri kelas V dan dibantu oleh santri kelas IV dan III. Pengurus rayo terdiri dari 3 santri sebagai pengurus inti yang terdiri dari Ketua, wakil ketua, dan ketua bagian keamanan. Tiga pengurus inti inilah yang kemudian bermusyawarah untuk menyusun kepengurusan rayon yang terdiri dari sekretaris, bendahara, bagian penggerak bahasa, bagian olah raga, bagian kesenian, dan bagian kesehatan. Di tingkat kamar, juga memiliki pengurus yang disebut dengan pengurus kamar, struktur pengurus kamar sama dengan struktur pengurus rayon. Dua organisasi itulah yang mengelola kegiatan santri di tingkat rayon dan di tingkat kamar, mulai dari bangun tidur sampai mereka tidur kembali. c. Kegiatan Organisasi Santri
Organisasi santri di Pondok Modern Gontor disebut dengan istilah Organisasi Pelajar Pondok Modern Gontor disingkat menjadi OPPM), organisasi ini didirikan pada 6 Juli 1967 dan merupakan organisasi resmi intra sekolah di Gontor. OPPM merupakan salah satu wadah, selain untuk membina, juga menampung kreativitas para santri, dengan harapan agar mendapat pengalaman untuk dikembangkan di lingkungan masyarakat kelak. Pelaksana OPPM adalah santri-santri kelas akhir (kelas VI) yang terpilih secara Pembentukan Karakter Santri
94
Achmad Muchaddam Fahham
demokratis. Pemilihan Ketua dan Pengurus organisasi ini diadakan setahun sekali. Dalam organisasi, program kerja merupakan faktor penting untuk memajukan sebuah organisasi. Karena itu pada setiap bulan Ramadan atau sebelum memasuki tahun ajaran baru, pengurus OPPM dan seluruh sisa kelas V juga mengadakan Musyawarah Kerja untuk merancang Program Kerja selama satu periode masa bakti. Materi musyawarah adalah evaluasi usaha/kegiatan tiap bagian OPPM dan usaha baru untuk bagian-bagian. Pada setiap akhir masa jabatan, pengurus organisasi ini melaporkan kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan selama setahun di depan seluruh santri dan guru-guru serta pimpinanpimpinan lembaga dan pimpinan pesantren. Seusasi laporan pertanggungjawaban diadakan serah terima jabatan dari pengurus lama ke pengurus baru terpilih. Setelah meletakkan masa kepengurusannya, mantan pengurus dari siswa akhir tersebut lembali menjadi santri biasa, yang siap diatur oleh adik kelasnya, kelas V. Acara laporan pertanggungjawaban dan serah terima jabatan ini biasanya berlangsung dua hari. Mengingat pentingnya acara ini sebagai wahana pendidikan berorganisasi, santri diliburkan dari kegiatan belajar di kelas. Kegiatan-kegiatan santri di dalam Pondok diurus oleh 20 bagian dalam OPPM. Bagian-bagian tersebut terdiri dari pengurus harian: ketua, sekretaris, bendahara, dan keamanan, dan 16 bagian yang lain, yaitu: bagian pengajaran, bagian penerangan, bagian kesehatan, bagian olehraga, bagian kesenian, bagian perpustakaan, bagian koperasi pelajar, bagian penerimaan tamu, bagian koperasi dapur, bagian penatu, bagian fotografi, dan bagian bersih lingkungan. Dalam kesehariannya, beberapa bagian ini juga memiliki garis instruktif dan koordinatif dengan pengurus/organisasi asrama santri, organisasi daerah, klub-klub olah raga, klub-klub kursus kesenian, klub-klub kursus keterampilan, dan klub-klub kursus bahasa, yang dibimbing oleh para siswa kelas V, dan dibantu oleh siswa-siswa kelas IV. d. Organisasi Kepramukaan
Di samping OPPM, di Pondok Modern ini juga ada gerakan pramuka. Gerakan ini merupakan sarana pendidikan untuk membentuk kepribadian, mental, dan akhlak mulia, untuk bekal para santri dalam hidup bermasyarakat. Karena pentingnya kegiatan Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
95
ini, seleruh santri diwajibkan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Adanya pewajiban ini, maka tak heran seluruh santri adalah anggota pramuka. Kegiatan kepramukaan ditangani oleh organisasi yang disebut Koordinator Gugus Depan 15089 Pondok Modern, di bawah pengawasan Majelis Pembimbing Koordinator (Mabikor). Bagian-bagian dalam Koordinator gerakan Pramuka Pondok Modern ini terdiri dari: Ketua, Andalan Koordinator Urusan Kesekretariatan, Andalan Koordinator Urusan Keuangan, Andalan Koordinator Urusan Latihan, andalan koordinator urusan perpustakaan, andalan koordinator urusan kedai pramuka, dan andalan koordinator urusan perlengkapan. Ada Gugus Depan Pramuka di pondok modern terdiri dari 9 satuan pramuka. Untuk mendukung kegiatan kreatif dalam kepramukaan, Gugus Depan Pramuka Pondok Modern Gontor juga turut menyelenggarakan kursus-kursus orientasi seperti Kursus Mahir Dasar, Masa Pengembangan dan Pemantapan, Kursus Mahir Lanjutan, Drumb Band, Saka Bhayangkara, Saka Wahana Bhakti, Saka Bhakti Husada, Gladian Pimpinan Regu dan Sangga, serta Latihan Pengembangan Kepemimpinan. Gugus Depan Pramuka ini menyelengarakan dan mengikuti berbagai kegiatan baik di lingkungan Pondok Pesantren sendiri, maupun di tingkat nasional atau internasional. e. Pembinaan Kegiatan Santri
Berbagai kegiatan santri di asrama baik yang diorganisir oleh Pengurus Rayon, Pengurus Kamar, Pengurus OPPM maupun Pengurus Gerakan Pramuka berada dibawah pembinaan lembaga Pengasuhan Santri. Kegiatan-kegiatan harian, mingguan, bulanan, tengah tahunan, dan satu tahunan selalu dilakukan evaluasi oleh lambaga Pengasuhan Santri. bahkan lembaga ini tidak saja melakukan evaluasi tetapi juga memberikan binaan dan bimbingan melalui kegiatan tausyiah diniyah di masjid jami’ pada setiap hari selasa dan kamis, kegiatan ini diisi oleh pimpinan pondok, guru-guru senior, dengan materi yang variatif. Menyusun jadwal dan seleksi ujian imamah dan khatib salat jumat bagi kelas VI di masjid Jami, serta ujian dam praktik imamah pengurus asrama yang dilaksanakan di kamar-kamar. Berbagai kegiatan santri yang menjadi asuhan lembaga tersebut dapat diringkas sebagai berikut: Pembentukan Karakter Santri
96
Achmad Muchaddam Fahham
1. Ibadah amaliyah, merupakan kegiatan yang menjadi perhatian besar di pesantren. salat, puasa, membaca al-Qur’an, dzikir, dan doa. 2. Ekstensif Learning: pembinaan dan pengembangan tiga bahasa, belajar muwajjah (tutorial) di sore dan malam hari, pengkajian kitab-kitab klasik, latihan pidato (muhadarah), dalam tiga bahasa, cerdas cermat, diskusi, seminar, symposium, bedah buku dan khutbah jum’at. 3. Praktik dan Bimbingan: praktik adab dan sopan santun/etika, praktik mengajar/keguruan, praktik dakwah kemasyarakatan, praktik manasik haji, praktik menyelenggarakan mayat, bimbingan, dan penyuluhan. 4. Latihan dan praktik berorganisasi (kepemimpinan dan manajemen), kursus-kursus dan latihan-latihan: pramuka, keterampilan sablon, percetakan, seni dekorasi, seni musik, seni gambar, kesehatan, olah raga, perkoerasian, kewiraswastaan, sadar lingkungan, bahasa, keilmuan, retorika, dan lainnya. Kegiatan-kegiatan di bidang ekstrakurikuler ini dikelola oleh Pengasuhan Santri. Dalam melaksanakan kegiatannya lembaga ini senantiasa bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain yang ada. Lembaga ini membawahi seluruh organisasi santri yang ada dan merupakan ujung tombak dari seluruh pengelolaan kegiatan ekstrakurikuler yang ada. Seluruh kehidupan santri selama berada di dalam pondok diatur oleh mereka sendiri (self government). Kegiatan ini selalu didasari oleh nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang ditanamkan dalam kehidupan santri di pesantren di bawah bimbingan dan pimpinan kiai. D. Catatan Akhir
Dari keseluruhan kajian yang telah dipaparkan pada babbab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut: Nilai-nilai pembentuk karakter di Pondok Modern Gontor adalah: Pancajiwa, yakni lima nilai yang harus dijiwai dan menjiwai keseluruhan aktivitas keseharian santri, guru, dan kiai. Kelima nilai itu adalah keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah islamiyah, dan kebebasan. Di samping dibentuk oleh lima nilai tersebut. Nilai lain yang juga menjadi pembentuk karakter santri, yakni Motto, terdiri dari empat nilai yakni, berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas. Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
97
Pendidikan karakter di Pondok Modern Gontor dilakukan secara terpadu dalam keseluruhan proses pendidikan yang diselenggarakannya. Proses pendidikan karakter dilakukan dalam tiga proses utama, yakni pertama, proses pendidikan karakter dalam proses pembelajaran, kedua, proses pendidikan karakter dalam manajemen pesantren, dan ketiga, proses pendidikan karakter dalam kegiatan santri. Proses pembelajaran di Pondok Modern Gontor sesungguhnya merupakan keseluruhan sistem pendidikan yang ada di pesantren. Proses pembelajaran tersebut tidak saja berlangsung di dalam ruang kelas, tetapi juga terjadi di luar kelas dan menjadi satu kesatuan dengan sistem asrama. Dengan kata lain, proses pembelajaran di kelas sebagai proses transformasi nilai-nilai ajaran Islam dan ilmu pengetahuan secara kognitif dan afektif kemudian diinternalisasikan secara psikomotorik dalam kehidupan keseharian mereka dalam sistem pendidikan pesantren. Karena itu, pendidikan karakter di pesantren sejatinya proses pendidikan yang terpadu dan tidak berdiri sendiri dalam sebuah materi ajar yang khusus diberikan untuk memupuk pembentukan karakter santri. Pendidikan karakter dalam manajemen pesantren secara substantif terlihat dalam sistem pengasuhan yang dilaksanakan oleh pesantren. Dalam kasus Pondok Modern Gontor, pangasuhan santri dilaksanakan oleh satu lembaga khusus yang disebut dengan pengasuhan santri. Lembaga ini bertugas untuk mendidik dan membina langsung seluruh kegiatan ekstrakurikuler santri atau seluruh aktivitas kehidupan santri di pesantren di luar jam kerja santri pesantren mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Aktivitas santri tersebut mencakup kegiatan-kegiatan santri di tingkat menengah dan perguruan tinggi. Kegiatan santri di tingkat menengah diselenggarakan oleh organisasi santri dan organisasi kepramukaan. Sedangkan kegiatan santri di tingkat perguruan tinggi (mahasiswa) dikelola oleh dewan mahasiswa. Pendidikan karakter dalam kegiatan santri. Kegiatan santri merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan keseharian santri di pesantren. Kegiatan itu dapat dipilah menjadi dua kegiatan utama, yakni kegiatan santri di ruang kelas, dan kegiatan santri di asrama. Di ruang kelas, para santri mengikuti proses belajar mengajar formal yang diselenggarakan oleh KMI, proses Pembentukan Karakter Santri
98
Achmad Muchaddam Fahham
belajar mengajar ini dimulai sejak pukul 07.00-12.50. Selebihnya kegiatan santri diatur dan diorganisasi oleh sistem kegiatan asrama pesantren. Kegiatan ini berlangsung sejak pukul 13.00-22.00 dan pukul 22.00-04.00, serta 04.00-06.45. Pendidikan karakter dalam kegiatan santri dapat dipilah menjadi empat, yakni kegiatan di asrama, kegiatan dalam organisasi, kegiatan organisasi kepramukaan, dan kegiatan pembinaan santri.
Pendidikan Pesantren
BAB IV PERLINDUNGAN HAK ANAK DI PESANTREN
A. Pendahuluan Setiap tahun, jumlah kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia terus meningkat. Peningkatan jumlah itu dapat diketahui dari laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak). Menurut Komnas Anak, pada 2010 terdapat 1.234 pengaduan, sementara pada 2011 terdapat 2.386 kasus kekerasan terhadap anak. Itu berarti telah terjadi peningkatan 98 persen kasus kekerasan terhadap anak pada 2011 atau sekitar 200 kasus pengaduan dalam satu bulan. Kasus kekerasan terhadap anak sempat turun pada tahun 2012. Pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun tersebut berada dikisaran 1.383 kasus, jumlah itu kemudian meningkat 48% pada 2013, jumlah pengaduan kekerasan terhadap sebanyak 2.792 kasus.1 Kasus kekerasan yang menimpa anak tidak saja terjadi di lingkungan keluarga, panti asuhan, tetapi juga terjadi di institusi pendidikan seperti sekolah, madrasah, dan pesantren. Tentu fakta ini mengejutkan, sebab institusi pendidikan mestinya menjadi garda depan perlindungan hak anak, tetapi yang terjadi justru sebaliknya: anak justru seringkali mengalami kekerasan di sekolah, madrasah, dan bahkan pesantren. Menurut data The International and International Center for Research on Women, 84 persen peserta didik pernah mengalami kekerasan di sekolah. Sekitar 75 persen siswa mengaku pernah melakukan kekerasan di sekolah. 40 persen pelaku kekerasan di sekolah berasal dari sesama peserta didik. Kekerasan di Sekolah tidak hanya dilakukan
1
“Pelanggaran Hak Anak Sudah Mengarah Sadisme”, dalam sindonews.com diakses 2 Februari 2012. Lihat juga “Pelanggaran Hak Anak Meingkat,” dalam tempo.co, diakses 2 Februari 2012. Bandingkan dengan “Hari Anak Universal 2013: Kasus Kekerasan Anak Indonesia Melonjak”, dalam komnaspa. wordpress.com diakses 27 Februari 2014.
99
100
Achmad Muchaddam Fahham
oleh sesama siswa tetapi juga dilakukan oleh guru dan atau petugas sekolah.2 Seperti telah disebutkan, kasus kekerasan terhadap anak juga di pesantren. Kasus tiga santri di Jombang Jawa Timur 2014, adalah salah satu bukti yang tidak bisa dinafikan bahwa kekerasan terhadap anak juga telah terjadi di pesantren. 3 Kasus kekerasan terhadap santri juga terjadi di Metro Lampung.4 Kekerasan terhadap santri kemudian menjadi perhatian khusus Menteri Agama dan meminta pesantren untuk menghapus kekerasan yang kerap digunakan pesantren untuk menghukum anak.5 Kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah, madrasah dan pesantren penting untuk dikaji. Karena berhak anak memperoleh rasa aman sehingga mereka dapat tumbuh kembang secara wajar dan tanpa diskriminasi. Studi ini, tidak mengkaji kekerasan yang terjadi di tiga institusi pendidikan itu, karena secara khusus, studi ini memilih kekerasan terhadap anak yang terjadi di pesantren. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan lapangan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan informasi baik dari media cetak maupun media dalam jaringan, buku-buku, majalah, dan jurnal yang memuat data tentang kekerasan terhadap anak di pesantren.6 Studi lapangan dilakukan dengan cara mengunjungi pesantren dan melakukan wawancara dengan ustaz, santri, dan pengurus organisasi santri terkait kekerasan terhadap anak yang terjadi di pesantren. Data-data hasil studi kepustakaan dan studi lapangan kemudian diklasifikasi, dikategorisasi, dan direduksi untuk kemudian disimpulkan sesuai dengan tujuan studi ini.
2
3
4
5
6
Ella Syaputri, “85 Persen Anak Pernah Alami Kekerasan di Sekolah,” dalam antaranews.com diakses 15 September 2015. Pada 2 Oktober 2014, di Sumatera Barat, kita dikejutkan oleh video yang memperlihatkan kekerasan yang dilakukan oleh siswa sekolah dasar terhadap teman sebayanya di sekolah. Sutono, “Polisi Selidiki Kasus Kekerasan terhadap Santri di Pon Pes Jombang”, dalam tribunnews.com, Sabtu 6 Desember 2014. Agus Chandra, “Chrisna Minta Jangan Ada Lagi Kekerasan Terhadap Anak di Metro” , dalam Lampung Post, Selasa, 3 November 2015. Fathiyah Wardah, “Menteri Agama Minta Pesantren Hapus Hukuman Cambuk”, dalam Voaindonesia.com, 10 Desember 2014. Studi lapangan berupa kunjungan ke pesantren dilakukan selama satu minggu, yakni pada tanggal 23-31 Agustus 2014
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
101
B. Perlindungan Hak Anak 1. Hak Anak Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh setiap individu, dan pemerintah, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam piagam PBB, hak anak merupakan hak asasi untuk anak, yaitu pengakuan atas martabat yang melekat dan tidak dapat dicabut oleh siapa pun. Anak berhak untuk hidup, memperoleh pendidikan, kesehatan, perlindungan, dan hak untuk menyatakan pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi kehidupannya.7 Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) PBB pada tahun 1989 dinyatakan bahwa setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, berhak untuk memperoleh hak-hak tersebut tanpa diskriminasi apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak. KHA tersebut diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. KHA menyebutkan bahwa setiap negara harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak atau anggota keluarga anak. Hak anak dalam KHA meliputi: (1) memperoleh nama dan kebangsaan serta dipelihara oleh orang tua; (2) mempertahankan identitasnya, termasuk soal kewarganegaraan, nama diri, dan hubungan keluarga; (3) menyatakan pendapat, baik lisan, tertulis, maupun cetakan, dalam bentuk seni atau media lain sesuai dengan pilihan anak bersangkutan; (4) memperoleh informasi yang tepat dari berbagai sumber nasional dan internasional; (5) mempunyai kemerdekaan berpikir, hati nurani, dan beragama; (6) mempunyai kemerdekaan berserikat dan kemerdekaan berkumpul dengan
7
Ibid, hal 21.
Perlindungan Hak Anak di Pesantren
102
Achmad Muchaddam Fahham
damai; (7) mempunyai kehidupan pribadi; (8) tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam, atau hukuman yang tidak manusiawi atau menurunkan martabat; (9) memperoleh bimbingan orang tua atau anggota keluarga besar atau masyarakat sebagaimana yang ditentukan adat istiadat setempat; (10) memperoleh perawatan dari orang tua; (11) tidak dipisahkan dari orang tua; (12) bersatu kembali dengan keluarga; (13) mendapatkan dukungan dari lingkungan keluarga; (14) mengalami perlakuan adopsi, yang dapat menjamin kepentingan terbaik anak; (15) memperoleh perlindungan dari negara atas tindakan penyerahan secara gelap ke luar negeri, sehingga tidak dapat kembali ke Indonesia; (16) tidak disalahgunakan dan diterlantarkan oleh negara; (17) memperoleh peninjauan kembali secara periodik eksistensi diri; (18) memperoleh kelangsungan hidup dan pengembangan dari negara; (19) memperoleh kenikmatan hidup penuh dan layak, seandainya anak dalam keadaan cacat, fisik, atau mental; (20) memperoleh jaminan kesehatan dan pelayanan kesehatan; (21) mendapatkan jaminan sosial dan pelayanan perawatan serta berbagai fasilitas dari negara; (22) meningkatkan kualitas hidup yang layak dan pengembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial; (23) memperoleh pendidikan secara bertahap dan mempunyai kesempatan dari negara; (25) mengenyam terealisasinya tujuan pendidikan yang diwujudkan negara; (26) memperoleh fasilitas yang sama dari negara dalam memanfaatkan waktu luang, kegiatan rekreasi dan budaya; (28) berhak memperoleh perlindungan bagi anak pengungsi; (29) berhak memperoleh perlindungan bagi anak korban konflik bersenjata; (30) memperoleh perlakuan yang baik, apabila melanggar hukum, sesuai dengan martabat dan nilai anak; (31) mendapatkan kemerdekaan, diperlakukan dengan baik, apabila melanggar hukum, sesuai dengan martabat nilai anak; (32) tak seorang anak pun menjalani siksaan atau perlakuan kejam, perlakuan yang tidak manusiawi atau menurunkan martabat; (33) mendapat perlindungan dari negara dalam hal mendapatkan langkah-langkah yang layak untuk meningkatkan pemulihan ruhani dan jasmani serta penyatuan kembali dalam masyarakat atas eksistensi anak menjadi korban konflik hukum; (34) mendapat perlindungan dari negara mengenai upaya eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang berbahaya atau mengganggu pendidikan, merugikan kesehatan Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
103
anak, perkembangan fisik, mental spiritual, moral, dan sosial; (36) mendapat perlindungan dari bahaya pemakaian narkoba dan zatzat psikotropika lainnya; (37) mendapat perlindungan dari segala bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual; (38) mendapat perlindungan dari semua bentuk lain eksploitasi yang merugikan bagi setiap aspek kesejahteraan anak; (39) mendapat perlindungan dari negara dalam hal memperoleh semua langkah yang layak, baik secara nasional, bilateral, dan multilateral untuk mencegah penculikan, penjualan, atau jual-beli anak untuk tujuan atau dalam bentuk apapun; (40) anak dari kalangan minoritas berhak untuk diakui dan menikmati hidupnya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 4 yang kemudian diturunkan ke dalam pasalpasal berikutnya menghimpun hak anak ke dalam empat hak pokok yakni hak untuk hidup (right to life), hak tumbuh kembang (rights to development), hak atas perlindungan (protection rights), dan hak berpartisipasi (participation rights). Hak hidup merupakan hak asasi yang bersifat universal, hak ini menjadi hak yang utama. Hak hidup merupakan hak yang harus dilindungi dalam segala keadaan. Hak hidup meliputi hak untuk bertahan hidup, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh perawatan dengan standar tertinggi. Hak tumbuh kembang diturunkan ke dalam hak atas kesehatan, pendidikan, hak atas standar hidup yang layak dengan perkembangan fisik, mental, moral, serta sosial. Hak tumbuh kembang diturunkan dalam penyelenggaraan perlindungan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, termasuk agama. Tumbuh kembang anak pada masanya meliputi perkembangan fisik, kognitif, pribadi, sosial, dan moral. Hak atas perlindungan mencankup perlindungan terhadap diskriminasi, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran, serta perlindungan bagi anak yang tidak mempunyai orang tua dan bagi anak yang berada dalam pengungsian. Hak berpartisipasi mencakup hak anak untuk mengungkapkan pandangan dan perasaannya mengenai situasi yang mempunyai dampak pada anak tersebut, karena setiap manusia adalah subjek atas haknya sendiri. Negara wajib menjamin anak untuk menyatakan pendapat pada setiap proses peradilan ataupun administrasi yang mempengaruhi hak anak, baik secara langsung maupun tidak Perlindungan Hak Anak di Pesantren
104
Achmad Muchaddam Fahham
langsung. Menurut Muhammad Joni, prinsip menyatakan pendapat ini merupakan prinsip dasar yang sejalan dengan Pancasila sebagai asas dan UUD 1945 sebagai landasan penyelenggaraan perlindungan anak.8 Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Anak juga berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Bahkan penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan membela diri dan meperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau perlaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.9 2. Perlindungan Hak Anak
Perlindungan hak anak atau yang lebih populer dengan sebutan perlindungan anak adalah segala kegiatan yang bertujuan untuk menjaga agar anak dapat tumbuh kembang secara wajar, lahir batin, dan bebas dari segala bentuk ancaman, hambatan, dan gangguan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, anak juga berhak untuk memperoleh perlindungan khusus, yakni perlindungan yang diberikan kepada anak dalam sistuasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara
8
9
Muhammad Joni. Menelaah Undang-Undang Perlindungan Anak (Jakarta Komnas Perlindungan Anak. 2004, hlm. 80. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terutama Pasal 16 dan 17.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
105
ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi kroban penyalagunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.10 Perlindungan anak dilakukan dengan asas: pertama, nondiskriminasi; kedua, kepentingan terbaik anak; ketiga, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; keempat, penghargaan terhadap pandangan/pendapat anak. Prinsip nondiskriminasi
Prinsip nondiskriminasi dilakukan dengan menghormati dan menjamin (to respect and ensure) seluruh hak-hak anak tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Prinsip non diskriminasi menolak segala bentuk: a. pembedaan (distinction), b. pengucilan (exclusion), c. pembatasan (restriction) atau d. pilihan/pertimbangan (preference), e. yang berdasarkan atas ras (race), f. warna kulit (colour), g. kelamin (sex), h. bahasa (language), i. agama (religion), j. politik (political) atau k. pendapat lain (other opinion), l. asal-usul sosial atau nasionalitas, m.kemiskinan (poverty), n. kelahiran atau status lain. Dalam hukum nasional, pengertian diskriminasi dapat dilihat dalam pasal I butir 3 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut “diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
10
Ibid, terutama Bab I dan Bab II.
Perlindungan Hak Anak di Pesantren
106
Achmad Muchaddam Fahham
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, social, budaya dan aspek kehidupan lainnya”. Dalam hal peradilan anak, United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of juvenile justice yang dikenal dengan “Beijing Rules” juga memuat prinsip non diskriminasi dalam peradilan anak. Berdasarkan Peraturan Nomor 2 ayat I Beijing Rules disebutkan bahwa standar peraturan minimum diterapkan pada anak-anak pelanggar hukum (juvenile offenders) secara tidak memihak (impartially), tidak dengan pembedaan dalam segala bentuknya, misalnya ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, politik, dan pendapat lain, asal kebangsaan, atau kewarganegaraan, harta benda kekayaan (property), kelahiran, atau status lainnya. Bahkan, dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 28 B ayat 2, dirumuskan secara eksplisit perlindungan hak anak dari diskriminasi, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan adanya prinsip ini, seorang harus terhindar dari perlakuan yang tidak adil dari orang lain karena dalam Undang-Undang tersebut setiap anak mempunyai hak sama. Kepentingan yang terbaik bagi anak, bahwa yang menjadi pertimbangan utama dalam semua tindakan yang terkait anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, harus kepentingan yang terbaik bagi anak. Dengan kata lain, segala sesuatu yang menyangkut kepentingan bagi anak diusahakan harus sesuatu yang baik untuk kelangsungan hidup anak. Prinsip kepentingan terbaik bagi anak (The Best Interest of The Child) diadopsi dari Pasal 3 ayat (1) KHA, yang meminta negara dan pemerintah, serta badan-badan publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka. Prinsip The Best Interest of The Child memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society). Guna menjamin prinsip The Best Interest of The Child ini, dalam rumusan Pasal 3 ayat (2) KHA ditegaskan bahwa Negara peserta menjamin perlindungan anak dan memberikan kepedulian pada anak dalam wilayah yurisdiksinya. Negara mengambil peran untuk memungkinkan orang tua bertanggung jawab terhadap anaknya, demikian pula lembaga hukum lainnya. Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
107
Pasal 3 ayat (3) KHA menyebutkan negara mesti menjamin institusiinstitusi, pelayanan, dan fasilitas yang diberikan tanggung jawab untuk kepedulian pada anak atau perlindungan anak yang sesuai dengan standar yang dibangun oleh lembaga yang berkompeten. Negara mesti membuat standar pelayanan sosial anak, dan memastikan bahwa semua intitusi yang bertanggung jawab mematuhi standar dimaksud dengan mengadakan monitoring atas pelaksanaannya. Sejalan dengan Pasal 3 ayat I KHA yang diulas dimuka, dalam Beijing Rules juga dikandung prinsip The Best Interest of The Child. Menurut Beijing Rules, negara anggota (state member) berusaha mendorong kesejahteraan anak beserta keluarganya), dan menentukan bahwa sistem peradilan anak harus menekankan kesejahteraan, dan prosedur peradilan yang kondusif terhadap kepentingan terbaik anak (the best interest of the juvenile), serta kesejahteraan anak harus menjadi faktor penentu arah dalam memberikan pertimbangan dalam kasus anak . Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan merupakan hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.. Hak hidup ini, dalam wacana instrument/konvensi internasional merupakan hak asasi yang paling universal, dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme right). Sebelum disahkannya KHA, beberapa instrument/konvensi internasional juga sudah menjamin hak hidup sebagai hak dasar seperti Universal Declaration of Human Right, International Covenant on Civil and Political Right- ICCPR. Penghargaan terhadap pendapat anak, maksudnya adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Harus diakui bahwa anak dapat dan mampu membentuk atau mengemukakan pendapatnya dalam pandangannya sendiri yang merupakan hak berekspresi secara bebas (capable of forming his or her own views the rights to express those views freely). Jaminan perlindungan atas hak mengemukakan pendapat terhadap semua hal tersebut, mesti dipertimbangkan sesuai usia dan kematangan anak. Sejalan dengan itu, Negara wajib menjamin bahwa anak diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapatnya pada setiap proses peradilan ataupun administrasi yang mempengaruhi hak anak, baik Perlindungan Hak Anak di Pesantren
108
Achmad Muchaddam Fahham
secara langsung ataupun tidak langsung. Jadi, setiap anak berhak mengemukakan pendapatnya jika hak-haknya tidak terpenuhi baik secara lisan maupun tulisan.11 C. Potret Perlindungan Hak Anak di Pesantren
Sebagai institusi pendidikan, pesantren sejatinya memiliki peran yang cukup penting dalam mewujudkan perlindungan hak anak, terutama pada sisi hak tumbuh kembang dan pendidikan mereka. Karena seperti telah diuraikan, pendidikan pesantren merupakan proses pendidikan yang menggabungkan dua proses sekaligus, yakni pengajaran dan pengasuhan. Pengajaran tercermin dalam proses pembelajaran di kelas dan di asrama pesantren. Sementara pengasuhan tercermin dalam kehidupan keseharaian santri di asrama pesantren. Semua sisi kehidupan santri di asrama pesantren diatur sedemikian rupa dalam satu ritme hidup yang unik. Dalam pengasuhan pesantren terjalin interaksi yang berkelindan antara pendidikan, pengajaran, dan pengasuhan. Dalam jalinan itulah hak tumbuh kembang anak menjadi tantangan yang tidak boleh diabaikan. Santri yang kebanyakan berumur antara 12-18 tahun merupakan anak yang diserahkan oleh orang tua atau wali mereka kepada pesantren untuk dididik dalam tradisi pesantren dalam kurun waktu antara 3 tahun sampai dengan 6 tahun. Dalam kurun waktu yang cukup panjang itulah santri itu mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan standar hidup layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Dari sisi pelayanan tersebut, pesantren sejatinya telah berpartisipasi dalam mewujudkan perlindungan hak anak. Namun pertanyaannya kemudian adalah bagaimana praktik pelindungan anak tersebut dilakukan, apakah dalam mewujudkan perlindungan hak anak itu, pesantren dapat mewujudkannya sesuai dengan harapan tumbuh kembang anak? Selain itu, apakah sistem kehidupan asrama di pesantren tidak melahirkan kekerasan terhadap anak. Untuk melihat bagaimana pesantren berpartisipasi dalam perlindungan hak anak, penulis melakukan studi di Pondok Agus Jaya Idris, dkk., “Hukum Perlindungan Anak” (Jakarta: Universitas Wiraswasta Indonesia, 2014), hlm. 9-14.
11
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
109
Pesantren Modern Raudlatul Hasanah kota Medan. Tentu saja banyak pesantren yanga ada di kota ini. Dengan tidak bermaksud mengabaikan pesantren-pesantren tersebut, Pondok Pesantren Moderen Raudlatul Hasanah sengaja penulis pilih untuk menjadi sumber data studi ini. 1. Sekilas tentang Pondok Pesantren Modern Raudlatul Hasanah
Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah didirikan pada 18 Oktober 1982 bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1403 H. Pesantren ini berdiri di atas lahan ± 80.000 M2 yang berlokasi di jalan Jamin Ginting Km. 11 Paya Bundung Simpang Selayang Medan Sumatera Utara. Pada awalnya, program pendidikan yang dibuka adalah program madrasah diniyah Tarbiyah Ula. Materi, sarana, dan prasarana pendidikannya masih sangat sederhana. Semuanya dilakukan dengan modal seadanya. Saat itu, karena belum tersedia asrama, santri yang belajar di madrasah diniyah belum mukim, mereka masih pulang pergi. Karena jumlah santri yang berkeinginan mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah terus bertambah, pada bulan Juni 1986 pengelola kemudian mendirikan pendidikan tingkat Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI), dengan masa pendidikan selama 6 tahun. Meskipun telah memiliki KMI, pesantren ini tidak serta merta menutup program madrasah yang tidak mukim, madrasah tersebut tetap berjalan hingga tahun 1988. KMI Ar-Raudhatul Hasanah merupakan Sekolah Pendidikan Guru Islam. Sistem pendidikannya mengadopsi sistem pendidikan ala KMI Pondok Modern Darussalam Gontor. KMI merupakan sistem pendidikan yang memadukan antara Sekolah Normal Islam Padang Panjang dengan model pendidikan pondok pesantren di Jawa. Pengajaran pelajaran agama di beberapa pesantren pada umumnya dilaksanakan dengan metode sorogan, sementara di KMI diajarkan di kelas-kelas. Saat Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah mendirikan KMI, santri atau satriwati yang belajar di KMI sudah wajib tinggal di dalam asrama dengan mempertahankan jiwa dan suasana kehidupan pesantren. Karena belum tersedia asrama khusus putri, pada periode awal, santriwati yang belajar di KMI masih dititipkan pada keluarga Perlindungan Hak Anak di Pesantren
110
Achmad Muchaddam Fahham
Paya Bundung. Seperti halnya proses pendidikan pesantren lainnya, proses pendidikan di KMI berlangsung 24 jam. Pelajaran agama dan umum diberikan secara seimbang dalam jangka waktu 6 tahun. Sementara Pendidikan keterampilan, kesenian, olahraga, organisasi dan lain-lain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan keseharian santri/santriwati di Pesantren. Pada saat pembukaan, siswa yang mengikuti program KMI ini berjumlah 9 santri yang tinggal di rumah Ust. Usman Husni dan 6 santriwati yang masih dititipkan di rumah masyarakat atau keluarga Paya Bundung. Namun dengan kegigihan pengasuhnya, dan dengan datangnya beberapa guru lulusan Pondok Modern Darussalam Gontor, sistem KMI yang diinginkan seperti Gontor pun mulai dapat dijalankan dengan efektif dan baik. Hal ini berpengaruh pada kuantitas dan kualitas santri-santriwati yang terus meningkat. Guru-guru pengasuh pertama yang datang dari Pondok Modern Darussalam Gontor membantu Ust. Usman Husni antara lain adalah Syahid Marqum, Basron Sudarmanto, Maghfur Abdul Halim (1985), Norman dan Muhammad Bustomi (1986), Rasyidin Bina, Junaidi, dan Sultoni Trikusuma (1987) dan lain-lain. Di samping membuka program KMI, Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah juga membuka program Madrasah Tsanawiyah (1989) dan Madrasah Aliyah (1990). Meskipun demikian, kedua program pendidikan ini tetap tidak mengganggu sistem kepesantrenan yang sejak semula dilaksanakan. Bahkan keduanya mendukung program KMI di atas. Kulliyatu-l-Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) adalah salah satu lembaga yang menangani pendidikan tingkat menengah di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah. KMI merupakan lembaga pendidikan Guru Islam yang mengutamakan pembentukan kepribadian, sikap mental, dan penanaman ilmu pengetahuan Islam. Terdapat dua macam program yang ditempuh santri di KMI Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah; program regular dan program intensif. Program regular diperuntukkan bagi santri lulusan Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 6 tahun, yakni ditempuh dari kelas 1 secara berurutan sampai kelas 6. Program intensif diikuti oleh santri lulusan SMP atau MTs dan di atasnya, dengan masa belajar 4 tahun, dengan urutan kelas 1-35-6. Kelas Intensif sebenarnya hanya diselenggarakan pada kelas 1 Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
111
intensif dan kelas 3 intensif. Sedangkan di kelas 5 mereka belajar secara regular bersama-sama dengan lulusan SD atau MI yang juga sudah duduk di kelas 5, demikian pula halnya dengan kelas 6. Pada program intensif (kelas 1 dan 3), sebagian materi umum tidak diajarkan, sedangkan mata pelajaran Berhitung dan Matematika diajarkan dengan alokasi waktu setengah dari waktu kelas regular. Adapun mata pelajaran Bahasa Inggris tetap diajarkan secara seimbang dengan kelas regular. Alokasi waktu mata pelajaran umum yang tidak diajarkan diisi dengan mata pelajaran kelompok Bahasa Arab dan kelompok Dirasah Islamiyah. Di samping kedua program ini, bagi santri baru yang pernah belajar di pesantren lain, setelah mereka lulus mengikuti ujian masuk baik di kelas intensif maupun kelas regular, yang bersangkutan dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian ke kelas yang lebih tinggi, dan begitu seterusnya hingga kelas lima. Jam belajar santri di KMI berlangsung dari jam 07.15 WIB – 12.40 WIB. Waktu belajar tersebut dibagi menjadi tujuh jam pelajaran. Masing-masing mendapatkan alokasi waktu selama 40 menit. Tujuan pembelajaran di KMI Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah adalah mencetak santri mukmin muslim muhsin, taat menjalankan dan menegakkan syariat Islam, berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, berpikiran bebas, beramal ikhlas dan berkhidmat kepada bangsa dan Negara. Kurikulum yang diterapkan di KMI dapat dibagi menjadi beberapa bidang studi sebagai berikut: Bahasa Arab (semua disampaikan dalam Bahasa Arab), Dirasah Islamiyah (Kelas II ke atas, seluruh mata pelajaran ini menggunakan Bahasa Arab), Kependidikan dan Keguruan, bahasa Inggris (disampaikan dengan Bahasa Inggris), ilmu eksakta, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan kewarganegaraan/Keindonesiaan. Komposisi kurikulum di atas ditetapkan untuk tujuan tertentu. Pengetahuan Bahasa Arab dimaksud untuk membekali santri kemampuan Bahasa Arab yang menjadi kunci untuk memahami sumber-sumber Islam dan khazanah pemikiran Islam. Sedangkan Bahasa Inggris digunakan untuk media komunikasi moderen dan mempelajari pengetahuan umum, bahkan juga pengetahuan agama, karena saat ini tidak sedikit karya-karya di bidang studi Islam ditulis dalam Bahasa Inggris. Dalam kurikulum KMI diupayakan terwujudnya keseimbangan dan perpaduan antara Perlindungan Hak Anak di Pesantren
112
Achmad Muchaddam Fahham
pengetahuan agama (Dirasah Islamiyah) dan pengetahuan umum (ilmu eksakta, IPA dan IPS). Mata pelajaran ke-Indonesiaan atau kewarganegaraan adalah untuk memahami dan menghayati dan menghargai tradisi, budaya, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan Bangsa Indonesia. Semua guru yang mengajar di KMI Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah adalah alumni KMI/ISID Pondok Modern Darussalam Gontor, alumni KMI Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, dan alumni berbagai Perguruan Tinggi baik di dalam maupun luar negeri. Santri KMI memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda;SD/ MI/SMP/MTs dan lain-lain. Mereka berasal dari seluruh pelosok Sumatera, bahkan dari tanah Jawa hingga Nusa Tenggara Barat, dan juga dari negeri jiran Malaysia dan Thailand. KMI Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah telah mendapatkan pengakuan ijazah dari dalam dan luar negeri. Pengakuan tersebut sangat mengangkat kredibilitas lembaga dan mentalitas santri dan guru dalam menatap masa depan, minimal untuk jaminan kelanjutan studi pasca KMI. Pengakuan Persamaan yang telah diterima KMI adalah sebagai berikut: DEPAG RI No. B/E.IV/MA/0257/1994 dengan status DIAKUI, dan telah diperbarui No. 291/MA/12.75/2006 dengan nilai “A”. Universitas Islam Madinah Saudi Arabia pada tanggal 19 November 1995 dengan nomor 109/4 yang ditandatangani oleh Dekan Pendaftaran dan Penerimaan Mahasiswa baru, Dr. Abdurrahman bin Abdullah al-Zaid. Universitas Al-Azhar Kairo Mesir pada tanggal 22 Agustus 1996 dengan nomor 29 yang ditandatangani oleh Muhammad Abdul Rahman Arab, dan telah diperpanjang pada 1 Maret 2002, dengan Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Direktur Umum Mahasiswa Asing, Dr. Muhammad Syauqi al-Subky. SK Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No. 25/C/ Kep/MN/2005 tertanggal 28 Januari 2005 tentang KMI Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah setara dengan Sekolah Menengah Atas dan telah diperbaharui pada tahun 2009. a. Kegiatan Guru
Kegiatan pembelajaran yang berlangsung di KMI tidak selalu bersifat intra-kurikuler, tetapi juga meliputi segala kegiatan yang bisa digolongkan ke dalam kegiatan ko-kurikulum atau bahkan eksta kurikuler. Selain itu, ada juga kegiatan yang dapat dipilah Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
113
menjadi kegiatan harian, mingguan, tengah tahunan, dan tahunan. Kegiatan harian guru meliputi: Supervisi proses pembelajaran, dilakukan oleh bagian Proses Belajar Mengajar dan Pembinaan Karir Guru; Pengecekan persiapan mengajar, dilakukan oleh guruguru senior yang bertugas secara bergantian sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Pengawasan disiplin masuk kelas, agar tidak ada santri yang terlambat masuk kelas. Pengontrolan kelas saat pembelajaran berlangsung oleh guru piket. Pengontrolan kelas untuk mengecek apakah ada kelas yang tidak ada gurunya dan untuk mengetahui ketepatan hadir guru di kelas. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap kelas ada guru pengajarnya dan bahwa guru pengajar masuk tepat waktu. Pengontrolan asrama santri saat pelajaran berlangsung oleh guru yang bertugas untuk memastikan bahwa tidak ada santri yang tidak masuk kelas, kecuali dengan izin. Di samping itu juga mengontrol kebersihan, keasrian dan kenyamanan asrama. Penyelenggaraan belajar malam (muwajjah) bersama wali kelas, berlangsung pada jam 20.30 WIB – 21.30 WIB. Pembagian tugas “Jum’at Bersih” untuk tiap kelas, agar kebersihan kelas tetap terjaga. Guru juga memiliki kegiatan mingguan seperti pertemuan guru KMI setiap hari Kamis (Kamisan) untuk mengevaluasi kegiatan belajar mengajar selama seminggu. Forum ini juga digunakan oleh Direktur dan Majelis Pengasuh Pesantren untuk menyampaikan program-program dan masalah-masalah Pesantren secara keseluruhan. Pertemuan ketua-ketua kelas (Jum’at malam) untuk menyampaikan informasi seputar aktifitas belajar mengajar dan disipilin dalam kelas. Program Tengah Tahunan Guru di KMI meliputi Ujian Semester I dan II. Panitia ujian ini terdiri dari beberapa guru yang ditunjuk oleh Kepala Bidang Pendidikan atas persetujuan Direktur dan Majelis Pengasuh. Kegiatan ini lebih merupakan kegiatan penunjang keberhasilan belajar santri. Program ini meliputi: Fath al-Kutub, program ini adalah latihan membaca literatur (terutama kitab-kitab klasik) untuk kelas enam. Juga sebagai wahana menguji kemampuan mereka dalam berbahasa Arab. Santri diberi tugas untuk membahas persoalan-persoalan tertentu dalam bidang akidah, fiqih, hadits, tafsir, akhlak, dan lain-lain. Para santri diharuskan menyerahkan laporan tertulis mengenai hasil kajiannya kepada Perlindungan Hak Anak di Pesantren
114
Achmad Muchaddam Fahham
guru pembimbing. Kegiatan ini berlangsung selama satu minggu. Fath al-Mu’jam; Latihan dan ujian membuka kamus berbahasa Arab untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan berbahasa Arab santri, terutama dalam menelusuri dan mencari akar dan makna kosa kata. Manasik al-Haj; Latihan praktek ibadah haji bagi santri kelas VI, yang berlokasi di kampus Pesantren, di bawah bimbingan guru-guru yang sudah menunaikan ibadah haji. Amaliyah al-Tadris; yakni ujian praktek mengajar untuk santri kelas enam KMI. Penulisan karya ilmiah mengenai berbagai persoalan untuk santri kelas enam menjelang tamat belajar di KMI. Termasuk acara tahunan adalah penerimaan santri baru setiap sebelum memasuki tahun pelajaran berikutnya. b. Kehidupan Santri
Salah satu unsur dalam sistem pendidikan pesantren, seperti telah dipaparkan pada bab II, adalah asrama atau pondok. Asrama atau pondok merupakan tempat tinggal santri selama mengikuti proses pendidikan di pesantren. Santri yang bermukim dan tinggal di pondok, mesti mengikuti seluruh tradisi kehidupan pesantren. Di pagi hari sejak pukul 04:00 santri harus bangun pagi untuk menunaikan salat subuh, kemudian berolah raga, mandi pagi, dan makan pagi. Pada pukul 07:00 seluruh santri harus mengikuti proses pendidikan formal di madrasah atau sekolah hingga pukul 12:00. Pada pukul 12:30 mereka harus salat duhur berjamaah hingga pukul 13:00. Setelah itu mereka makan siang hingga pukul 14:00. Tepat pukul 14:00 mereka harus kembali mengikuti proses pembelajaran sore di sekolah atau madrasah hingga pukul 15:00. Pada 15:30, mereka kemudian salat Asar berjamaah hingga pukul 16:00. Pada pukul 16:00 hingga pukul 17:00 mereka dapat mengikuti kegiatan ekstra kurikuler, berolah raga dan atau kegiatan lainnya, seperti mandi sore karena pada pukul 18:00 mereka sudah pergi ke masjid untuk salat Maghrib berjamaah hingga pukul 18:30. Selanjutnya pada 18:30 mereka harus membaca al-Quran hingga masuk waktu salat Isya. Setelah salat Isya, pada 19:30 mereka makan malam hingga pukul 20:00, setelah itu mereka belajar malam hingga pukul 22:00. Pada pukul 22:00 mereka tidur malam dan harus bangun kembali pukul 04:00 untuk salat subuh berjemaah. Begitulah rutinitas keseharian santri di pesantren. Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
115
Dalam rutinitas keseharian itu, santri terlihat tidak memiliki waktu luang untuk istirahat. Tetapi konsep istirahat bagi pesantren, bukan tidur atau bermain, tetapi perpindahan dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya yang diatur dalam sistem pendidikan pesantren di pondok atau asrama. Selain kegiatan harian, santri juga memiliki kegiatan mingguan seperti latihan berpidato bahasa Indonesia, Inggris dan Arab. Kegiatan ini dilakukan pada hari kamis siang dari pukul 11:00 sampai dengan pukul 12:00. Selain latihan pidato, setelah salat duhur dan makan siang, pada hari Kamis, para santri juga harus mengikuti latihan pramuka hingga pukul 16:30. Setelah latihan Pramuka, para santri kemudian mandi sore dan melakukan persiapan untuk pergi ke masjid untuk salat Maghrib pada pukul 18:00. Malam jumat, bagi santri adalah malam istimewa, karena pada malam itu, mereka akan malam yang cukup enak, mereka menyebutnya “malam daging”. Pesantren memang menyediakan makan malam di hari malam Jumat dengan lauk daging. Setelah makan malam, mereka kemudian siap-siap salat Isya’. Kegiatan berikutnya setelah salat Isya’ di malam Jumat adalah latihan pidato dalam bahasa Indonesia, dimulai sejak pukul 19:30 sampai dengan pukul 22:00. Semua kegiatan santri di pesantren diatur dalam tata tertib kegiatan santri, dan setiap santri harus menaati tata tertib tersebut. Penegakan tata tertib pesantren menjadi tanggung jawab ustaz yang tergabung dalam lembaga pengasuhan santri, santri senior yang ditunjuk sebagai pengurus organisasi santri. secara umum, organisasi santri di pesantren dibagi menjadi dua, yakni organisasi santri yang mengatur seluruh aktivitas santri di jam belajar mengajar dan organisasi santri yang secara khusus mengatur kegiatan pramuka. Organisasi santri yang mengatur seluruh aktivitas santri di luar jam belajar mengajar dibagi menjadi dua, ada pengurus organisasi santri tingkat pesantren dan ada juga pengurus santri tingkat kamar atau asrama. Organisasi santri yang mengatur aktivitas santri di luar jam belajar mengajar, memiliki berbagai macam devisi, ada devisi pendidikan dan pengajaran, kesehatan, olah raga, seni dan budaya hingga keamanan. Sementara organisasi santri di tingkat asrama atau kamar, berfungsi untuk menjaga, mengatur, membimbing disiplin dan aktivitas di kamar atau asrama. Sementara ustaz yang tergabung dalam lembaga majelis pengasuhan berfungsi sebagai Perlindungan Hak Anak di Pesantren
116
Achmad Muchaddam Fahham
pembimbing pengurus organisasi santri agar arah organisasi santri tidak melenceng dari visi, misi dan tujuan pesantren. 2. Pemenuhan Hak Anak
Pesantren dapat dipandangan sebagai institusi pendidikan Islam yang berperan dalam perlindungan anak. Peran tersebut terlihat dalam upaya pesantren untuk memenuhi hak-hak dasar anak, mulai dari hak hidup, hak tumbuh kembang, hak atas perlindungan, dan hak berpartisipasi. Bagaimana sejatinya peran pesantren dalam perlindungan anak, dapat disimak dalam uraian berikut: a. Hak untuk Hidup dan Hak Tumbuh Kembang
Hak hidup seperti telah disebutkan sebelumnya, meliputi hak untuk bertahan hidup, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh perawatan dengan standar teringgi. Pesantren sangat memperhatikan hak-hak tersebut, sebut misalnya hak untuk bertahan hidup, dalam kehidupan keseharian santri, pesantren berupaya memenuhi hak tersebut dengan cara menyediakan makanan dengan gizi yang cukup. Pesantren ArRaudatul Hasanah yang menjadi narasumber dalam studi ini, berupaya memenuhi makanan santri dengan menyediakan dapur umum berikut dengan juru masaknya. Penyajian makanan hasil masakan juru masak dibagi dalam beberapa tempat sesuai dengan jumlah santri. satu tempat makan dibatasi 200 orang santri dengan pola penyediaan makanan seperti di sebuah restoran. Santri harus antri satu-persatu untuk memperoleh paket makanan, mulai dari nasi, lauk pauk, dan sayuran, serta air minum. Pesantren berupaya semaksimal mungkin untuk menyediakan jenis makanan yang sehat. Jenis makanan itu memang belum sampai dalam kategori empat sehat lima sempurna. Tetapi pesantren menyediakan air panas untuk menyeduh susu, dan menyediakan kantin yang menjual buah. Karena itu, bagi santri yang berkeinginan untuk menambah asupan gizi mereka dapat membeli sendiri di kantin. Tetapi tidak berarti pesantren tidak memperhatikan asupan gizi santri, karena dua hari dalam satu minggu, santri juga diberi asupan gizi tambahan, berupa susu dan buah. Selain itu, pesantren juga sangat memperhatikan pertumbuhan dan kesehatan jasmani santri, salah satu perhatian itu terwujud dalam aktivitas olah raga. Pesantren menyediakan sarana olah raga Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
117
bagi santri yang cukup, seperti lapangan sepak bola, lapangan voli, bulu tangkis, dan tenis meja. Waktu berolah raga pun diatur dengan baik, setiap hari santri disarankan untuk berolah raga, waktunya bisa dipilih pagi sebelum berangkat ke sekolah, dan waktu sore hari setelah salat asar. Setiap satu minggu sekali, tepatnya pada hari jumat, santri diwajibkan untuk jogging, lari pagi bersama. Waktunya dimulai setelah salat subuh sampai dengan pukul 6:30. Karena hari jumat adalah hari libur dalam arti tidak ada aktivitas proses pembelajaran. Setelah lari pagi, para santri juga diwajibkan untuk kerja bakti membersihkan asrama mereka, mulai kamar asrama, kamar mandi, halaman asrama dan lingkungan pesantren. Secara umum semua kegiatan itu diatur dalam satu ritme aktivitas yang teratur dan berjalan setiap minggu, sehingga lingkungan pesantren tetap terjaga kebersihannya. Kesehatan jasmani adalah cermin kesehatan mental, begitulah prinsip yang dipegang oleh pesantren ini. Aktivitas santri tidak secara terus menerus berpusat pada proses pembelajaran di kelas dalam bentuk tatap muka, tetapi proses pembelajaran itu diselingi dengan beragam aktivitas yang membuat mobilitas keseharian santri dinamis. Olah raga tiap hari yang dipilih santri dan aktivitas ekstra kurikuler dalam bentuk kursus-kursus keterampilan dan pengembangan bakat yang dipilih dan dilakukan oleh santri adalah contoh dari perhatian itu. Pesantren sangat menyadari pentingnya pemenuhan waktu keseharian santri dengan beragam aktivitas yang positif. Santri yang rata-rata berumur 12-17 tahun memerlukan ragam aktivitas agar pertumbuhan jasmani dan mentalnya positif. Membentuk karakter santri adalah inti dari pendidikan pesantren. Penanaman nilai-nilai agama Islam baik selalu dilakukan pesantren dalam proses pembelajaran maupun dalam pengasuhan. Untuk membentuk santri yang salih, dalam arti membentuk ketaatan santri kepada Tuhan, pesantren membiasakan santri untuk salat lima waktu berjamaah di masjid, membaca ayat al-Quran, puasa senin-kamis. Untuk memupuk nasionalisme kebangsaan pesantren membiasakan santri untuk mengikuti apel upacara bendera pada setiap hari senin. Selain itu, pesantren juga, mewajibkan seluruh santri untuk mengikuti kegiatan pramuka, guna memupuk jiwa santri untuk mencintai tanah air. Perlindungan Hak Anak di Pesantren
118
Achmad Muchaddam Fahham
Santri ideal, menurut pesantren ini tidak saja harus memiliki moralitas yang baik, pengetahuan yang agama dan umum yang baik, tetapi juga harus memiliki kemampuan hidup bersama yang baik. Karena itu, titik tekan sistem pendidikan yang dibangun oleh pesantren bukan saja bagaimana santri mampu memiliki pengetahuan agama dan umum, tetapi juga sangat memperhatikan kemampuan-kemampuan santri lainnya, seperti memiliki pengetahuan, mampu melaksanakan pengetahuan yang dimilikinya, memiliki kemampuan untuk menjadi sesuatu, dan memiliki kemampuan untuk hidup bersama. Prinsip pendidikan pesantren ini sesuai dengan 4 pilar pendidikan UNESCO. Salah satu contoh hidup bersama yang dipraktikkan di pesantren adalah kehidupan asrama santri, penghuni asrama tidak saja berasal dari kota Medan tetapi juga berasal dari berbagai kota di sumatera utara, bahkan ada juga yang berasal dari provinsi lainnya. Di asrama itulah mereka belajar hidup sama, saling tolong menolong dan hormat menghormati. Pesantren juga sangat memperhatikan pelayanan kesehatan santri. hal itu terlihat pada upaya pesantren untuk menyediakan klinik kesehatan santri. Santri yang sakit tidak perlu dibawa ke rumah sakit terdekat, santri yang sakit dapat langsung dibawa ke klinik kesehatan, karena di klinik tersedia perawat dan dokter yang siap memeriksa sakit yang dialami santri. di klinik juga tersedia ruang rawat inap, santri yang mederita sakit dapat dipisahkan dari santri lainnya dan ditempatkan pada kamar rawat inap klinik kesehatan santri. selain dokter umum, di klinik juga ada dokter gigi, dokter tersebut satu minggu sekali disiapkan untuk melayani pemeriksaan kesehatan gigi santri. Apa yang dilakukan pesantren di atas, adalah upaya pesantren dalam mewujudkan hak hidup dan tumbuh kembang anak. b. Perlindungan Anak dari Kekerasan
Ada beberapa studi yang telah dilakukan untuk menjelaskan kekerasan yang dialami anak di pesantren. studi-studi tersebut umumnya menyimpulkan, tentang bentuk kekerasan yang dialami anak, aktor pelaku kekerasan, hukuman terhadap anak, penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak, dan dampak kekerasan terhadap anak. Studi yang dilakukan Pusat Studi Wanita Universitas Andalas misalnya menyimpulkan, bentuk-bentuk kekerasan yang kerap Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
119
dialami oleh anak di pesantren adalah pertama, tindak kekerasan fisik, yakni perlakuan tidak wajar yang menyakiti fisik anak seperti memukul, mencubit, dan menjewer. Kedua, tindak kekerasan psikis. Kekerasan psikologis atau emosional adalah perilaku yang menghancurkan nonfisik anak, seperti menyerang kompetensi sosial dan diri; bentuk dari kekerasan ini adalah penolakan, mengisolasi, meneror, menghindari, dan mencela anak. Kekerasan psikis merupakan kekerasan yang obyeknya tidak ditujukan untuk menyakiti tubuh tetapi lebih banyak pada psikis siswa. Oleh karena itu terjadinya tindak kekerasan psikis tidak melalui kontak fisik antara pelaku tindak kekerasan dengan seseorang yang dikenai oleh tindak kekerasan. Menurut studi tersebut, aktor yang terlibat dalam tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan pondok tidak hanya melibatkan unsur-unsur yang terkait langsung dengan proses pengajaran tetapi juga unsur-unsur lain yang tidak langsung terlibat dengan proses pengajaran. Hampir semua unsur yang ada dalam proses pendidikan baik pengurus pondok, pimpinan sekolah, guru, pembina asrama, siswa dan bahkan satuan pengaman (Satpam) juga terlibat dalam tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan pondok. Aktor yang melakukan tindak kekerasan fisik berupa pemukulan melibatkan guru, ketua kamar, pembimbing, senior/kakak klas, teman dan ustaz. Aktor-aktor pelaku tindak kekerasan pemukulan nampaknya adalah mereka yang secara intens berinterakasi dengan siswa. Semakin jarang berinteraksi dengan siswa maka semakin berkurang keterlibatanya dalam melakukan tindak kekerasan. Senior/kakak kelas misalnya, merupakan aktor yang paling banyak melakukan tindak kekerasan. Guru merupakan aktor kedua yang banyak melakukan pemukulan terhadap siswa. Sedangkan aktor tindak kekerasan psikis berupa penghinaan kebanyakan dilakukan oleh teman satu pesantren. Guru dalam kasus ini tidak pernah melakukan penghinaan terhadap siswa, justru adik kelas yang menempati rangking kedua sebagai pelaku penghinaan. Menghardik merupakan tindak kekerasan psikis yang banyak dilakukan oleh teman-teman siswa dan guru. Menghardik adalah mengeluarkan kata-kata yang bernada keras untuk memarahi atau mengancam atau membentak kepada siswa. Hardik biasanya dilakukan ketika siswa malas mengikuti kegiatan-kegiatan yang Perlindungan Hak Anak di Pesantren
120
Achmad Muchaddam Fahham
diadakan oleh sekolah atau siswa lambat masuk kelas. Membodohbodohkan siswa yang agak sulit menangkap pelajaran merupakan tindak kekerasan psikis yang dilakukan oleh teman-teman siswa sendiri. Dalam dunia pendidikan, reward dan punishment adalah tindakan yang diperbolehkan dan bertujuan untuk merespon tindakan positif atau negatif peserta didik. Hukuman merupakan bagian dari pemberian punishment dalam kerangka merespon tindakan negatif siswa didik dalam rangka mendidik. Bentuk hukuman yang diterima oleh santri secara umum dapat dikategorikan menjadi hukuman fisik, nonfisik, dan denda. Kebanyakan santri mengaku mendapat hukuman fisik (dipukul, ditendang, dijewer, dicubit, push up, dijemur, dimandikan). Sementara hukuman nonfisik diberikan dengan cara memberi beban tambahan kepada siswa untuk mengerjakan tugastugas sekolah atau tidak boleh masuk pelajaran tertentu. Denda diberikan kepada santri karena tidak hafal kosakata dalam bahasa Inggris atau Bahasa Arab. Hukuman yang diberikan sebagai respon terhadap tidakan negatip santri diharapkan dapat mengembalikan perilaku santri sesuai aturan yang sudah disepakati dan ditetapkan Pondok. Melalui pemberian hukuman santri akan kembali bertingkah laku sesuai dengan aturan yang berlaku, dengan demikian hukuman akan memberi manfaat positif bagi perkembangan jiwa santri. Para santri diberi hukuman karena melakukan kesalahan yang dianggap melanggar peraturan pondok misalnya terlambat sekolah, di samping itu juga karena tidak memakai seragam, tidak mengerjakan pekerjaan sekolah. Kebanyakan peraturan yang dilanggar adalah peraturan mengenai waktu masuk sekolah, Kesalahan lain yang frekuensinya cukup besar pernah dilakukan oleh santri adalah tidak pakai seragam, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, ribut di kelas, dan berkelahi. Penggunaan bahasa daerah di lingkungan pondok seperti bahasa daerah asal santri merupakan bentuk kesalahan lain yang juga banyak dilakukan santri. Kesalahan ini biasanya dilakukan oleh santri pada awal-awal masuk pondok. Kesalahan-kesalahan yang juga sering dilakukan oleh santri adalah tidak mengikuti shalat berjamaah di masjid. Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
121
Aktor yang bertindak untuk memberi hukuman terhadap berbagai kesalahan yang dilakukan oleh santri adalah guru, petugas piket, santri senior. Guru merupakan aktor yang paling banyak (64%) bertindak sebagai pemberi hukuman terhadap santri, sementara santri senior dan petugas piket merupakan aktor yang juga bertindak sebagai eksekutor hukuman terhadap santri yang melakukan kesalahan. Pemberian hukuman bertujuan untuk mengembalikan respon negatif santri agar kembali pada aturan yang telah ditetapkan. Hukuman diharapkan dapat memberikan manfaat yang positip bagi para santri yang menerimanya. Para santripun berpendapat bahwa hukuman masih diperlukan karena mempunyai manfaat positip, hanya sebagian kecil santri yang menganggap hukuman tidak ada manfaat positipnya. Manfaat positip hukuman bagi santri adalah santri bisa lebih disiplin dalam mengikuti pendidikan. Di samping itu santri juga akan menjadi lebih rajin belajar sehingga dapat meningkatkan prestasi mereka. Akan tetapi tidak semua bentuk hukuman mempunyai manfaat positip bagi santri. Hukuman fisik maupun non fisik dianggap sudah tidak cocok lagi diterapkan di pondok. Menurut santri agar hukuman bermanfaat sebaiknya dilakukan dengan memberikan hukuman berupa tambahan pekerjaan rumah atau mengerjakan sosal-soal mata pelajaran sehingga dapat menambah pengetahuan. Penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap anak dapat dilihat dari faktor individual dan faktor sistem. Faktor individual bersumber dari individu kurang mampu menguasai emosi, kurang pengetahuan terhadap hala-hal yang berkaitan dengan peraturan mengenai tindak kekerasan (undang-undang perlindungan anak), persepsi terhadap pemberian hukuman dan interpretasi terhadap hukuman fisik. Sementara dari faktor sistem bersumber pada sistem pengawasan/kontrol terhadap perilaku anak. Pandangan para pendidik terhadap pemberian hukuman yang mendidik santri mempunyai kaitan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. Jenis hukuman yang akan diberikan dapat menjadi sumber terjadinya tindak kekerasan. Hukuman fisik misalnya menjadi salah satu sumber terjadinya tindak kekerasan di sekolah. Gambaran data yang diperoleh dari santri memperlihatkan bahwa sebagian besar santri pernah mendapatkan hukuman karena Perlindungan Hak Anak di Pesantren
122
Achmad Muchaddam Fahham
melakukan kesalahan yang bervariasi, hanya sebagian kecil siswa yang mengaku belum pernah mendapatkan hukuman. Gambaran tersebut memberikan makna bahwa hukuman telah menjadi bagian dari metode pendidikan yang diterapkan di pondok pesantren. Para pendidik menyadari bahwa hukuman perlu diberikan karena pada dasarnya bertujuan untuk menunjukkan mana perbuatan yang benar dan mana yang salah. Kepala Sekolah di salah satu pesantren yang menjadi lokasi penelitian, menjelaskan dengan memberikan hukuman kepada santri yang bersalah maka kita mengharapkan mereka mengetahui mana perbuatan yang benar dan mana yang salah, sehingga di masa datang mereka dapat berubah kearah yang lebih baik. Selain itu, pemberian hukuman dianggap sebagai cara untuk mencapai salah satu misi pesantren, yakni untuk mempersiapkan santri yang berakhlak dan berbudi pekerti luhur. Di samping itu, hukuman yang diberikan membuat anak tidak akan mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang, anak diharapkan selalu berpikir sebelum bertindak, anak diharapkan bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, dan menimbulkan efek jera yang bisa dirasakan oleh anak. Cara-cara memberikan hukuman yang mendidik terhadap santri yang melanggar peraturan adalah dengan memberikan teguran pada santri yang melanggar peraturan, memberikan peringatan dan nasehat, membuat surat perjanjian, memanggil orang tua santri ke sekolah, dan memulangkan santri kepada orang tua. Pemberian hukuman sampai saat ini diberikan pada anak yang benar-benar melakukan kesalahan yang berat dan ada unsur kelalaian. Seperti apabila berkelahi para santri harus diselesaikan masalahnya dengan teman tersebut dan selanjutnya ketika mereka menyadari kesalahannya maka mereka akan di hukum berdasarkan kesalahannya. Hukuman yang diberikan diantaranya membersihkan pekarangan pondok, atau push up, berlari keliling lapangan, terkadang menghafal al-Quran, dan hukuman lainnya sesuai dengan tingkat kesalahan. Hukuman atas kelalaian, malas, atau tidak membuat tugas atau tidak memakai seragam terkadang dihukum langsung oleh guru ketika sedang mengajar, seperti diharuskan untuk menghafal alquran atau di suruh untuk membersihkan ruangan, dan lain-lain. Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
123
Penyebab lain terjadinya tindak kekerasan terhadap santri di pesantren adalah kondisi emosi guru yang tidak stabil. Sebagian dari guru, ustaz dan ustazah masih muda-muda dengan tingkat kedewasaan (secara emosional) yang masih belum matang. Mereka terkadang juga yang terpancing emosinya karena tingkah para santri yang seringkali membandel. Sebagian besar para guru di pondok pesantren masih berusia muda dan kurang dibekali dengan ilmu pendidikan. Menurut pengakuan santri yang pernah mengalami tindak kekerasan, guru-guru yang melakukan tindak kekerasan sering dalam keadaan sedang emosional atau marah. Ada dua kemungkinan jika ada ustaz ataupun ustazah memberikan hukuman fisik kepada santri yang bersalah, pertama, berkemungkinan besar karena khilaf dan kedua mungkin ustaz ataupun ustazah tersebut dalam kondisi yang tidak stabil secara psikologis. Kondisi tidak stabil tersebut misalnya, ada hal lain yang mengganggu pikirannya dan selalu menjadi beban yang belum terpecahkan. Kondisi tersebut berdampak terhadap tindakannya termasuk pada saat memutuskan hukuman apa yang akan diberikan terhadap santri yang melanggar aturan (berbuat kesalahan). Tindak kekerasan terhadap anak dalam konteks pemberian hukuman bukanlah perintah agama. jika ada orang tua, guru, ustaz, dan sejenisnya berargumen bahwa memukul anak karena ia tidak mau menjalankan syariat adalah perintah agama adalah salah. Sebab tentu tindak kekerasan tidak boleh dilegitimasi oleh pandangan teologis tertentu, Sebab, ajaran agama tentu tidak menyeru penganutnya untuk melakukan kekerasan, bahkan kepada anak sendiri sekalipun. Dalamm tradisi Islam, memang ada satu hadis yang menjelaskan kebolehan orang tua memukul anak yang sudah berumur 10 tetapi belum melaksanakan salat. Tetapi kebolehan memukul anak itu, tidak boleh menjadi dasar utama atau legitimasi orang tua untuk memukul anak mereka jika melakukan kesalahankesalahan lainnya. Kebolehan memukul itu hanya untuk kasus anak yang sudah berumur 10 tahun yang belum mau menjalankan salat. Bukan untuk anomali perilaku anak lainnya. Tetapi pada kenyataannya, banyak orang yang menjadikan hadis tersebut sebagai alasan utama untuk melakukan kekerasan terhadap anak. Perlindungan Hak Anak di Pesantren
124
Achmad Muchaddam Fahham
Karena itu, jika ada guru, ustaz, santri senior yang melakukan kekerasan dalam konteks pemberian hukuman karena santri melakukan pelanggaran terhadap tata tertib pesantren adalah kekerasan yang tidak punya dasar legitimasi agama. Selain itu, pemukulan yang boleh dilakukan terhadap anak yang berumur 10 tahun dan belum melaksanakan salat tidak boleh semenamena, pemukulan merupakan alternatif terakhir, meskipun begitu pemukulan bukan untuk menyakiti tetapi lebih pada upaya mengingatkan agar anak jangan meninggal salat karena ia sudah berumur 10 dan telah memiliki kewajiban agama.12 Undang-undang yang mengatur perlindungan anak sudah cukup lama diberlakukan di Indonesia, bahkan, pasal 28 B atau 2 UUD 1945, secara eksplisit menjamin perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Pada tahun 2003 pemerintah telah membuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang tersebut “Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak” (ayat 1). Untuk terlaksananya undang-undang tersebut Negara dan pemerintah diberi kewajiban untuk mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak” (ayat 2). 13 Studi lain menyebutkan, bentuk kekerasan yang terjadi di pondok pesantren adalah kekerasan fisik yang diwujudkan dalam aturan tertulis. Bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan psikis dalam bentuk intimidasi dan ancaman. Pelaku kekerasan adalah guru dan santri senior, sedangkan yang menjadi korban adalah santri junior.14 Studi lain tentang kekerasan anak di pesantren dilakukan oleh Desiree. Ia secara mengkaji tentang bullying. Studi tersebut bertujuan Kajian terhadap hadis tentang kebolehan memukul anak dapat dibaca lebih lanjut pada tulisan Ali Imron. “Re-Interpretasi Hadis Tarbawi tentang Kebolehan Memukul Anak Didik” dalam Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Noor 2, Desember 2012/1434, hlm. 141-157. 13 Tim Peneliti Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Andalas dan Pusat pemberdayaan Perempuan 14 Rangga Harjati, Kekerasan dalam Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren (Jakarta: Perpustakaan Universitas Indonesia). 12
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
125
untuk mengetahui pemahaman bullying dari pihak pesantren dan pihak santri. selain itu, studi ini juga bertujuan untuk mengetahui perilaku dan penyebab bullying di Pesantren “X”. Bullying yang terjadi di Pesantren menurutnya, disebabkan oleh senioritas yang tinggi. Bullying terjadi berawal dari perilaku antarsantri yang seringkali mengejek satu sama lain. Penyebab pelaku melakukan tindakan bullying menurut para informan yaitu karena adanya rasa “menguasai”junior dan berawal dari keisengan para santri terhadap santri lainnya. Pengakuan diri dianggap sebagai salah satu motivasi pelaku melakukan tindakan bullying. Penyebab lainnya bullying terjadi, menurut pembina asrama putri (S), santri yang terlihat “nyolot”, pintar, “cantik”, dan merupakan saingan santri lainnya adalah penyebab tindakan bullying di pesantren “X”, Bullying terjadi di pesantren “X” karena kurangnya kontrol dan pengawasan dari pihak-pihak pesantren baik guru maupun pembina asrama, informan menjelaskan bahwa pesantren merasakan kurangnya sumber daya manusia untuk ditempatkan di asrama sehingga banyak kasus bullying luput dari pengawasan, “sebabnya banyak tidak hanya dari santri itu sendiri tetapi juga dari pihak pesantren dalam mengontrol dan mengawasi anak sehingga hal-hal yang tidak diinginkan terjadi disini, apalagi jumlah pembina asrama dengan santri itu jumlahnya tidak imbang yaitu 1:40-an anak”(E, 29 Oktober 2012). Dampak Bullying. Pihak pesantren mengetahui dampak dari bullying mengakibatkan santri tidak nyaman berada di lingkungan pesantren dan memiliih untuk keluar dari Pesantren “X”. Kepala sekolah mengungkapkan dampak dari tindakan bullying yang terjadi di pesantren “X” mengakibatkan santri keluar dari pesantren dengan alasan tidak betah dengan suasana di lingkungan pesantren, selain itu informan juga menyatakan bahwa dampak lain dari bullying adalah membuat korban menjadi takut, “dampaknya anak jadi takut kalo kemana-mana gak berani sendiri..beraninya kalo rame-rame terus jadi minder dan suka menyendiri..kalo anak itu di pesantren, jadi tidak betah, tiba-tiba keluar dari sini” (E, 29 Oktober 2012).15
15
Desiree, “Bul;ying di Pesantren: Studi Deskriftif di Pesantren “X” Depok”. (2012).
Perlindungan Hak Anak di Pesantren
126
Achmad Muchaddam Fahham
D. Catatan Akhir: Menuju Pesantren Ramah Anak Hasil penelitian tentang kekerasan di Pesantren, menunjukkan bahwa pesantren di samping berperan dalam perlindungan anak, sebagian pesantren justru berperan dalam kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak di pesantren, baik dalam bentuk fisik maupun psikis tentu sudah tidak boleh terjadi lagi. Kiyai, ustaz, ustazah, pengasuh, pembimbing santri dan santri senior, perlu menyadari bahwa pendidikan yang didasarkan pada kekerasan sudah tidak boleh lagi diterapkan. Karena anak harus dibesarkan dan dididik sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan anak. Anak yang dididik dan dibesarkan atas dasar kekerasan, akan melahirkan kekerasan lagi yang tidak ada ujungnya. Semua santri di pesantren mesti diberi pemahaman yang baik tentang hak-haknya sebagai anak. Kekerasan terhadap dalam dunia pendidikan, memprihatikan semua pihak, karena itu lahir kemudian gagasan tentang pesantren ramah anak. Apa itu pesantren ramah anak? Konsep ini mengadopsi sekolah ramah anak. Pesantren ramah anak adalah pesantren yang secara sadar berupaya menjamin dan memenuhi hak-hak anak dalam setiap aspek kehidupan secara terencana dan bertanggung jawab. Prinsip utama adalah non diskriminasi kepentingan, hak hidup serta penghargaan terhadap anak. Sebagaimana dalam bunyi pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, menyebutkan bahwa anak mempunyai hak untuk dapat hidup tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Disebutkan di atas salah satunya adalah berpartisipasi yang dijabarkan sebagai hak untuk berpendapat dan didengarkan suaranya. Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang terbuka melibatkan anak untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan, kehidupan sosial,serta mendorong tumbuh kembang dan kesejahteraan anak. Dalam usaha mewujudkan pesantren ramah anak perlu didukung oleh berbagai pihak antara lain keluarga dan masyarakat yang sebenarnya merupakan pusat pendidikan terdekat anak. Lingkungan yang mendukung, melindungi memberi rasa aman dan nyaman bagi anak akan sangat membantu proses mencari jati diri. Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
127
Kebiasaan anak memiliki kecenderungan meniru, mencoba dan mencari pengakuan akan eksistensinya pada lingkungan tempat mereka tinggal. Ada beberapa prinsip yang dapat diterapkan untuk membangun pesantren ramah anak, diantaranya: pertama, Pesantren dituntut untuk mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah media, tidak sekedar tempat yang menyenangkan bagi anak untuk belajar. Kedua, Dunia anak adalah “bermain”. Dalam bermain itulah sesungguhnya anak melakukan proses belajar dan bekerja. Pesantren merupakan tempat bermain yang memperkenalkan persaingan yang sehat dalam sebuah proses belajar-mengajar. Ketiga, Pesantren perlu menciptakan ruang bagi anak untuk berbicara mengenai pesantrennya. Tujuannya agar terjadi dialektika antara nilai yang diberikan oleh pendidikan kepada anak. Keempat, Pesantren bukan merupakan dunia yang terpisah dari realitas keseharian anak dalam keluarga karena pencapaian cita-cita seorang anak tidak dapat terpisahan dari realitas keseharian. Kelima, Pesantren harus dapat menciptakan suasana yang kondusif agar anak didik merasa nyaman dan dapat mengekspresikan potensinya. Agar tercipta suasana kondusif tersebut, maka ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan, terutama: Pesantren ramah anak mesti direncanakan sesuai dengan tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Anak tidak harus dipaksakan melakukan sesuatu, tetapi dengan program tersebut anak secara otomatis terdorong untuk mengeksplorasi dirinya. Faktor penting yang perlu diperhatikan pesantren adalah partisipasi aktif anak dalam berbagai kegiatan yang di pesantren sesuai dengan kebutuhan anak. Lingkungan pesantren mesti mendukung. Jika suasana ini dapat tercipta di pesantren, maka suasana di lingkungan pesantren sangat kondusif untuk menumbuh-kembangkan potensi anak karena anak dapat mengekspresikan dirinya secara leluasa sesuai dengan dunianya. Di samping itu, penciptaan lingkungan yang bersih, akses air minum yang sehat, bebas dari sarang kuman, dan gizi yang memadai merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Aspek sarana-prasarana yang memadai, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan pembelajaran anak didik. SaranaPerlindungan Hak Anak di Pesantren
128
Achmad Muchaddam Fahham
prasarana tidak harus mahal tetapi sesuai dengan kebutuhan anak. Penataan lingkungan pesantren dan kelas untuk belajar yang menarik, memikat, mengesankan, dan pola pengasuhan dan pendekatan individual sehingga pesantren menjadi tempat yang nyaman dan menyenangkan. Pesantren juga harus menjamin hak partisipasi anak. Adanya forum anak, ketersediaan pusat-pusat informasi layak anak, ketersediaan fasilitas kreatif dan rekreatif pada anak, ketersediaan kotak saran di kelas, ketersediaan papan pengumuman, ketersediaan majalah atau koran anak. Pesantren hendaknya memungkinkan anak untuk melakukan sesuatu yang meliputi hak untuk mengungkapkan pandangan dan perasaannya terhadap situasi yang memiliki dampak pada dirinya. Pesantren ramah anak merupakan institusi yang mengenal dan menghargai hak anak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan bermain dan bersenang, melindungi dari kekerasan dan pelecehan, dapat mengungkapkan pandangan secara bebas, dan berperan serta dalam mengambil keputusan sesuai dengan kapasitas mereka. Sekolah juga menanamkan tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain, kemajemukan dan menyelesaikan masalah perbedaan tanpa melakukan kekerasan.
Pendidikan Pesantren
BAB V PENUTUP
Sistem pendidikan pesantren yang didukung oleh unsu-unsur utamanya, yakni kiyai, santri, masjid, pondok, dan kitab kuning merupakan sistem pendidikan khas Indonesia yang unik. Sistem pendidikan ini, memiliki kontribusi dalam melahirkan alumni terdidik, yang tidak saja mampu menguasai pengetahuan keislaman dan ilmu pengetahuan umum semata tetapi juga alumni terdidik yang berkarakter dan berakhlak mulia. Di tengah majunya zaman, sistem pendidikan ini juga tidak mau tertinggal. Dengan segala keterbatasannya, ia berbenah dan melakukan perubahan orientasi pendidikan tanpa kehilangan jatidirinya yang khas. Kurikulum yang semula hanya berorientasi keagamaan kemudian ditambah dengan kurikulum pengetahuan umum. Manajemen yang semula tradisional diubah menjadi manajemen modern. Pondok atau asrama santri yang semula sederhana dan ala kadarnya diubah demi memenuhi kebutuhan santri agar mereka dapat belajar dengan nyaman. Mayoritas asrama dan lingkungan pesantren saat ini bersih dan sehat. Bahkan tidak sedikit pesantren yang saat ini berupaya mandiri, dalam arti memenuhi kebutuhan biaya pendidikan mereka sendiri tanpa bergantung kepada bantuan pihak di luar pesantren. Pesantren berupaya membuka usaha-usaha ekonomi untuk membiayai proses pendidikan mereka tanpa harus bergantung pada iuran pendidikan santri, karena itulah mengapa sebagian besar pesantren berbiaya pendidikan murah, tanpa mengurangi kualitas pendidikan yang mereka jalankan. Perubahan-perubahan itu kemudian menjadikan pesantren sebagai institusi pendidikan alternatif bagi masyarakat Muslim Indonesia. Pengasuhan santri di pesantren merupakan keseluruhan proses dari sistem pendidikan pesantren. secara umum, proses pendidikan yang berlangsung di pesantren dibagi menjadi dua, yakni proses 129
130
Achmad Muchaddam Fahham
pembelajaran dalam kelas dan di luar kelas. Proses pembelajaran dalam kelas dalam pengertian santri belajar di kelas dalam jenjang madrasah formal maupun nonformal. Pada proses pembelajaran yang demikian tanggungjawab pengasuhan berada di pundak para ustaz atau ustazah. Sementara proses pembelajaran di luar jam sekolah tanggungjawab pengasuhan berada di pundak ustaz, ustazah dan santri senior yang ditunjuk untuk menjadi pengurus santri. Pola pengasuhan santri di pesantren dilakukan sejalan dengan visi, misi dan tujuan pesantren yang bersangkutan. Karena itu boleh jadi pola pengasuhan antara satu pesantren dengan pesantren lainnya berbeda. Ada pesantren yang menerapkan disiplin yang terkontrol dan menerapkan sanksi dan takzir. Sementara pesantren lainnya tidak. Tetapi pada umumnya pesantren menerapkan pola pengasuhan dengan mengatur pola dan ritme kegiatan kehidupan santri selama 24 jam. Pesantren mengatur kapan santri harus belajar, kapan mereka harus olah raga, dan kapan mereka harus istirahat. Pondok pesantren dapat disebut sebagai institusi pendidikan keagamaan yang sejak awal menerapkan pendidikan karakter dalam proses pendidikan mereka. pendidikan karakter di pesantren dilakukan secara integral dalam keseluruhan pola kehidupan santri. Praktik pendidikan demikian terlihat di hampir semua pondok pesantren di Nusantara, salah satu best practice misalnya Pondok Modern Gontor. Pendidikan karakter di Pondok Modern Gontor dilakukan secara terpadu dalam keseluruhan proses pendidikan yang diselenggarakannya. Nilai-nilai pembentuk karakter di Pondok Modern Gontor adalah: Pancajiwa, yakni lima nilai yang harus dijiwai dan menjiwai keseluruhan aktivitas keseharian santri, guru, dan kiai. Kelima nilai itu adalah keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwwah islamiyah, dan kebebasan. Di samping dibentuk oleh lima nilai tersebut, nilai lain yang juga menjadi pembentuk karakter santri, Motto, terdiri dari empat nilai yakni, berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas. Proses pendidikan karakter dilakukan dalam tiga proses utama, yakni pertama, proses pendidikan karakter dalam proses pembelajaran, kedua, proses pendidikan karakter dalam manajemen pesantren, dan ketiga, proses pendidikan karakter dalam kegiatan santri. Proses pembelajaran di Pondok Modern Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
131
Gontor sesungguhnya merupakan keseluruhan sistem pendidikan yang ada di pesantren. Proses pembelajaran tersebut tidak saja berlangsung di dalam ruang kelas, tetapi juga terjadi di luar kelas dan menjadi satu kesatuan dengan sistem asrama. Dengan kata lain, proses pembelajaran di kelas sebagai proses transformasi nilainilai ajaran Islam dan ilmu pengetahuan secara kognitif dan afektif kemudian diinternalisasikan secara psikomotorik dalam kehidupan keseharian mereka dalam sistem pendidikan pesantren. Karena itu, pendidikan karakter di pesantren sejatinya proses pendidikan yang terpadu dan tidak berdiri sendiri dalam sebuah materi ajar yang khusus diberikan untuk memupuk pembentukan karakter santri. Pendidikan karakter dalam manajemen pesantren secara substantif terlihat dalam sistem pengasuhan yang dilaksanakan oleh pesantren. Dalam kasus Pondok Modern Gontor, pangasuhan santri dilaksanakan oleh satu lembaga khusus yang disebut dengan pengasuhan santri. Lembaga ini bertugas untuk mendidik dan membina langsung seluruh kegiatan ekstrakurikuler santri atau seluruh aktivitas kehidupan santri di pesantren di luar jam belajar santri pesantren mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Aktivitas santri tersebut mencakup kegiatan-kegiatan santri di tingkat menengah dan perguruan tinggi. Kegiatan santri di tingkat menengah diselenggarakan oleh organisasi santri dan organisasi kepramukaan. Sedangkan kegiatan santri di tingkat perguruan tinggi (mahasiswa) dikelola oleh dewan mahasiswa. Pendidikan karakter dalam kegiatan santri. Kegiatan santri merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan keseharian santri di pesantren. Kegiatan itu dapat dipilah menjadi dua kegiatan utama, yakni kegiatan santri di ruang kelas, dan kegiatan santri di asrama. Di ruang kelas, para santri mengikuti proses belajar mengajar formal yang diselenggarakan oleh KMI, proses belajar mengajar ini dimulai sejak pukul 07.00-12.50. Selebihnya kegiatan santri diatur dan diorganisasi oleh sistem kegiatan asrama pesantren. Kegiatan ini berlangsung sejak pukul 13.00-22.00 dan pukul 22.00-04.00, serta 04.00-06.45. Pendidikan karakter dalam kegiatan santri dapat dipilah menjadi empat, yakni kegiatan di asrama, kegiatan dalam organisasi, kegiatan organisasi kepramukaan, dan kegiatan pembinaan santri. Penutup
132
Achmad Muchaddam Fahham
Pesantren dapat disebut sebagai salah satu institusi penyelenggara perlindungan hak anak di Indonesia, terutama pada sisi hak tumbuh kembang dan pendidikan mereka. Karena seperti telah diuraikan, pendidikan pesantren merupakan proses pendidikan yang menggabungkan dua proses sekaligus, yakni pengajaran dan pengasuhan. Pengajaran tercermin dalam proses pembelajaran di kelas dan di asrama pesantren. Sementara pengasuhan tercermin dalam kehidupan keseharaian santri di asrama pesantren. Semua sisi kehidupan santri di asrama pesantren diatur sedemikian rupa dalam satu ritme hidup yang unik. Dalam pengasuhan pesantren terjalin interaksi yang berkelindan antara pendidikan, pengajaran, dan pengasuhan. Dalam jalinan itulah hak tumbuh kembang anak menjadi tantangan yang tidak boleh diabaikan. Santri yang kebanyakan berumur antara 12-18 tahun merupakan anak yang diserahkan oleh orang tua atau wali mereka kepada pesantren untuk dididik dalam tradisi pesantren dalam kurun waktu antara 3 tahun sampai dengan 6 tahun. Dalam kurun waktu yang cukup panjang itulah santri itu mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan standar hidup layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Dari sisi pelayanan tersebut, pesantren sejatinya telah berpartisipasi dalam mewujudkan perlindungan hak anak. Agar pesantren dapat menghindari kekerasan terhadap anak, pesantren perlu menyusun konsep pesantren ramah anak. Pesantren ramah anak merupakan institusi yang mengenal dan menghargai hak anak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, kesempatan bermain dan bersenang, melindungi dari kekerasan dan pelecehan, dapat mengungkapkan pandangan secara bebas, dan berperan serta dalam mengambil keputusan sesuai dengan kapasitas mereka. Pesantren ramah anak juga menanamkan tanggungjawab untuk menghormati hak-hak orang lain, kemajemukan dan menyelesaikan masalah perbedaan tanpa melakukan kekerasan.
Pendidikan Pesantren
DAFTAR PUSTAKA
A. Doni Koesoema, 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern , Jakarta: PT Grasindo. Ahmadi, Abu dan Abu Uhbiyati, 1991. Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Arifi, Imron, 1992. “Kepemimpinan Kyai dalam Sistem Pengajaran Kitab-kitab Islam Klasik: Studi Kasus Pondok Pesantren Tebuireng Jombang”. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Arief, Armai, 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press. Azra, Azyumardi, 2012. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah-Tantangan Milenum III, Jakarta: Kencana.
Depdiknas, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustakatama. Dhofier, Zamakhsari, 1994. Tradsisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES.
Ghazali, Basri, 2002. Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta: Prasasti. Ihrom, 2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Imron, Ali, 2012. “Re-Interpretasi Hadis Tarbawi tentang Kebolehan Memukul Anak Didik” dalam Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Noor 2, Desember 2012/1434.
Indrakusuma, Amier Daien, 1973. Pengantar Ilmu Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasinal.
133
134
Achmad Muchaddam Fahham
Jailani, Imam Amrusi. 2012. “Pendidikan Pesantren sebagai Potret Konsistensi Budaya di Tengah Himpitan Modernitas,” dalam Karsa Vol. 20 No. 1 Tahun 2012. Joni, Muhammad, 2004. Menelaah Undang-Undang Perlindungan Anak, Jakarta Komnas Perlindungan Anak.
Kementerian Pendidikan Nasional, 2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Madjid, Nurcholish, 1997. Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina.
Mardiyah, 2012. Kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya Organisasi, Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Mastuhu, 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS. Megawangi, Ratna, 2007. Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa, Bogor: Indonesia Heritage Foundation.
Moesa, Ali Maschan, 2007. Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Yogyakarta: LkiS. Mulyasa, E. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: Bumi Aksara.
Muslich, Masnur, 2011. Pendidikan Karakter: menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, Jakarta: Bumi Aksara. Nadjib, Emha Ainun, 1992. Slilit Sang Kiai, Jakarta: Grafiti.
Nawawi, Imam, tt. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab Juz I, Kairo: Dar al-Fikr. Nasir, M. Ridwan, 2005. Mencari Tipologi Format Pendidikan Islam Ideal, Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pusat Penelitian Kependudukan, LPPM UNS dan UNICEF, 2009. “Pola Pengasuhan Anak di Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Kota Solo dan Kabupaten Klaten”.
Samani, Muchlas Samani dan Hariyahto, 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
135
Sanjaya, 2010. Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Saptono, 2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter: Wawasan, Strategi, dan langkah Praktis. Jakarta: Esensi Divisi Penerbit Erlangga. Sauri, Sofyan, 2011. “Pendidikan Karakter di Pesantren lebih Baik dari Sekolah Umum,” dalam Radar Tasikmalaya, Kamis 26 Mei 2011.
Solihin, Mohammad Muchlis, 2012. “Rekontruksi Pendidikan Pesantren sebagai Character Building Menghadapi Tantangan Kehidupan Modern,” dalam Karsa Vol. 20 No. 1 Tahun 2012. Syukri, Abdullah 2005. “Pengalaman Pendidikan Pesantren di Era Otonomi Pendidikan: Pengalaman Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, dalam Pidato Ilmiah Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 20 Agustus 2005. --------------, 2005. Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, Ponorogo Gontor: Trimurti Press.
Tim Departemen Agama RI, 2003. Pola Pembelajaran di Pesantren, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. Turmudi, Endang, 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LkiS. Wahid, Abdurrahman, 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, Yogyakarta: LkiS.
Zarkasyi, Imam, tt. “Petunjuk Belajar: Pengarahan Siswa Kelas Akhir KMI Gontor”. --------------, 2005. “Darussalam Gontor Kampung Damai”, dalam Majalah Gontor, Edisi 12, Tahun II, Shafar 1426/April 2005. Internet
Agus Chandra, “Chrisna Minta Jangan Ada Lagi Kekerasan terhadap Anak di Metro”, dalam Lampung Post, Selasa, 3 November 2015.
Daftar Pustaka
136
Achmad Muchaddam Fahham
Ella Syaputri, “85 Persen Anak Pernah Alami Kekerasan di Sekolah,” dalam antaranews.com, diakses 15 September 2015.
Fathiyah Wardah, “Menteri Agama Minta Pesantren Hapus Hukuman Cambuk”, dalam Voaindonesia.com, 10 Desember 2014. Khairil Anwar Notodiputro, “Pesantren Tambang Emas Pendidikan,” dalam NU Online.
Komnaspa.wordpress.com, “Hari Anak Universal 2013: Kasus Kekerasan Anak Indonesia Melonjak”, diakses 27 Februari 2014. Sindonews.com, “Pelanggaran Hak Anak Sudah Mengarah Sadisme”, diakses 2 Februari 2012.
Sutono, “Polisi Selidiki Kasus Kekerasan terhadap Santri di Pon Pes Jombang”, dalam tribunnews.com, Sabtu 6 Desember 2014. Tempo.co, “Pelanggaran Hak Anak Meingkat,” dalam tempo.co, diakses 2 Februari 2012.
Pendidikan Pesantren
INDEKS
A Abdullah Syukri Zarkasyi, 79, 85, 86 Abdurrahman Wahid, 1, 56 Afektif, 62, 64, 66, 78, 97, 131 Ammah, al-, 82, 83 Arabiyah, al-, 82, 83 Arifin, Imron, 15, 16 Aspek, 20, 52, 62, 85, 88, 103, 106, 126, 127 Asrama, 2, 3, 4, 5, 9, 14, 16, 17, 18, 19, 25, 31, 41, 42, 46, 47, 56, 78, 86, 88, 89, 90, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 108, 109, 113, 114, 115, 117, 118, 119, 125, 129, 131, 132 Azra, Azyumardi, 12
Conditioning, 86 Core, 60, 79 Curriculum, 79
D
B
Darussalam, 57, 70, 71, 72, 109, 110, 112, Dekorasi, 96 Dhofier, Zamakhsari, 1 Direktur, 89, 112, 113 Disiplin, 4, 9, 30, 33, 34, 45, 47, 51, 57, 63, 64, 67, 77, 82, 87, 88, 89, 113, 115, 121, 130 Diskusi, 8, 20, 48, 85, 89, 96 Doing, 85
Bambang Nurokhim, 61 Bandongan, 2, 19, 20, 37, 40, 42 Berlitz, 81 Boarding school, 17, 19 Bruinessen, Martin van, 12 Brunei Darussalam, 92
Emotional, 65 Empathy, 63 Essensial, 57, 63, 64 Evaluasi, 20, 21, 65, 68, 89, 90, 94, 95 Excellence, 63
Cakap, 24, 80 Character, 60, 85 Ciri, 3, 8, 12, 13, 15, 18, 19, 33, 59, 92 Contoh, 4, 20, 53, 56, 57, 67, 79, 117, 118
Fairness, 63 Feeling, 62, 64 Fiqh, 13, 82, 90 Fortitude, 63
C
E
F
137
138
Achmad Muchaddam Fahham
G Genealogis, 11 Gerakan, 10, 88, 94, 95 Gintung, 4, 6 Gontor, 21, 57, 58, 70, 71, 72, 77, 79, 80, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 92, 93, 95, 96, 97, 109, 110, 112, 130, 131 Guru, 10, 19, 20, 45, 48, 55, 57, 61, 66, 67, 71, 72, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 89, 90, 94, 95, 96, 100, 109, 110, 112, 113, 114, 119, 121, 122, 123, 124, 125, 130
H
Hadis, al-, 82, Hasyimi, al-, 82
I
Ilmu, 2, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, 21, 22, 23, 30, 36, 39, 48, 53, 54, 62, 71, 77, 78, 80, 81, 82, 83, 84, 97, 110, 111, 112, 123, 129, 131 Imam Zarkasyi, 71, 79, 80, 81, 82 Integratif, 30, 65, 67, 83 Islam, 1, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 15, 17, 19, 22, 23, 24, 36, 37, 41, 44, 48, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 78, 80, 82, 97, 109, 110, 111, 112, 116, 117, 123, 131
J
Jabatan, 73, 94 Jadwal, 6, 25, 47, 49, 77, 90, 95, 113 Jam, 2, 9, 18, 19, 30, 31, 43, 51, 56, 68, 69, 79, 84, 86, 87, 89, 97, 110, 111, 113, 115, 130, 131 Jawa Timur, 7, 9, 11, 26, 27, 42, 57, 58, 100
Jiwa, 32, 74, 76, 90, 109, 117, 120
K
Karakter, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 74, 78, 79, 83, 84, 86, 87, 90, 96, 97, 98, 117, 130, 131 Keluarga, 22, 24, 25, 28, 30, 34, 41, 43, 49, 55, 59, 60, 61, 63, 64, 65, 99, 101, 102, 107, 109, 110, 126, 127 Kepramukaan, 50, 51, 87, 88, 94, 95, 97, 98, 131 Khairil Anwar Notodiputro, 56 Kiai, 1, 3, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 16, 17, 18, 19, 20, 23, 25, 26, 55, 56, 72, 74, 75, 77, 78, 82, 92, 96, 130 Kitab kuning, 1, 12, 13, 18, 30, 82, 129 Kognitif, 34, 53, 62, 64, 66, 78, 97, 103, 131 Kurikulum, 1, 2, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 20, 21, 38, 39, 40, 48, 63, 65, 66, 68, 69, 70, 79, 80, 82, 83, 86, 111, 112, 129
L
Lalaran, Lickona, Lingkungan, 3, 17, 19, 22, 24, 25, 28, 29, 37, 46, 49, 51, 59, 62, 63, 68, 86, 88, 92, 93, 94, 95, 96, 99, 102, 117, 119, 120, 125, 126, 127, 128, 129
M
Malaysia, 92, 112 Masjid, 1, 3, 7, 8, 11, 16, 17, 18, 88, 95, 114, 115, 117, 120, 129 Masnur Muslich, 65
Pendidikan Pesantren
Achmad Muchaddam Fahham
139
Mastuhu, 23, 78 Masyarakat, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 22, 23, 24, 27, 28, 31, 36, 37, 43, 51, 53, 56, 58, 59, 60, 61, 63, 64, 67, 68, 69, 71, 72, 76, 85, 93, 102, 106, 107, 110, 126, 129 Mazhab, 44, 72 Modern, 3, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 21, 40, 57, 58, 70, 71, 72, 79, 80, 81, 84, 86, 87, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 109, 110, 112, 129, 130, 131 Moral, 11, 34, 54, 61, 62, 64, 65, 85, 87, 102, 103, 108, 132 Motto, 50, 72, 77, 96, 130 Multikultur, 62 Mulyasa, E., 54, 60
N
Nama, 7, 37, 101 Narkotika, 53, 105 Nasional, 21, 44, 53, 55, 56, 61, 63, 65, 66, 83, 92, 95, 99, 101, 103, 105
O
Organisasi, 26, 42, 46, 48, 87, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 110, 115, 116, 131 Orientasi, 21, 95, 129
P
Pancajiwa, 72, 96, 130 Pembinaan, 52, 85, 88, 89, 95, 96, 98, 113, 131 Pendidikan, 1, 2, 3, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 26, 28, 29, 30, 31, 36, 37, 38, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 83, 84, 85, 86, 87, 90, 92, 93, 94, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 108, 109, 110, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132 Pengetahuan, 2, 8, 9, 14, 23, 27, 30, 35, 36, 40, 43, 44, 45, 48, 50, 51, 53, 54, 55, 56, 58, 62, 64, 65, 66, 71, 77, 78, 80, 83, 86, 97, 110, 111, 112, 118, 121, 129, 131 Pesantren, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 55, 56, 57, 58, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132 Pintar, 53, 59, 125 Pramuka, 42, 44, 45, 46, 47, 50, 94, 95, 96, 115, 117 Psikologis, 29, 64, 65, 119, 123 Psikomotor, 62, 66
Q
Qalam, el-, 4, 6 Qur’an, al-, 3, 7, 36, 37, 41, 85
R
Ratna Megawangi, 63 Ridwan Abdullah Sani, 17 Riyadlah, 19, 20
Indeks
140
Achmad Muchaddam Fahham
S Santri, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 26, 29, 30, 31, 35, 36, 37, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 56, 57, 58, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 129, 130, 131, 132 Saptono, 60, 63 Sekolah, 2, 14, 15, 16, 17, 18, 21, 25, 30, 31, 36, 37, 41, 45, 51, 55, 57, 60, 61, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 93, 99, 100, 109, 110, 112, 114, 117, 119, 120, 121, 122, 125, 126, 128, 130 Singapura, 92 Sistem, 1, 3, 7, 8, 9, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 22, 26, 28, 29, 30, 38, 40, 42, 51, 52, 55, 56, 57, 58, 65, 71, 72, 77, 78, 79, 87, 88, 90, 92, 97, 98, 107, 108, 109, 110, 114, 115, 118, 121, 129, 130, 131 Sofyan Sauri, 57 Sorogan, 2, 15, 19, 20, 37, 40, 42, 109 Supervisi, 69, 87, 89, 113
T
Tawuran, 53 Timur Tengah, 12 Tradisional, 5, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 21, 23, 37, 40, 42, 56, 57, 61, 82, 129
U
ulama, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 22, 23, 24, 43, 71, 73, 78, 79 Ummah, 71 UNESCO, 58, 118 Unggul, 71 Universitas, 17, 41, 57, 108, 112, 118 Ustadz, 8, 10, 11, 20, 48, 84
V
Variabel, 56 Variasi, 6, 18, 92
W
Warga, 24, 27, 55, 56, 69, 71, 72 warisan, 29, 51, 56, 84 Wetonan, 8, 19, 37
Y
Yastrib, 7
Z
Ziemek, 16
Takwa, 54, 62 Tantangan, 21, 108, 132
Pendidikan Pesantren
TENTANG PENULIS
Achmad Muchaddam Fahham, lahir di Surabaya 1972. Menempuh pendidikan dasarnya di SDN Janti I, Janti Waru Sidoarjo, tamat 1986. Kemudian sejak tahun 1986 sampai dengan 1991, melanjutkan pendidikannya ke Tarbiyat Al-Mu’allimin Al-Islamiyyah (TMI) Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar, Ponorogo. Setelah lulus dari lembaga itu, tahun 1991-1996 ia menempuh pendidikan tingginya (SI) di Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Jurusan Peradilan Agama. Pada tahun 1999-2001 meneruskan pendidikannya pada Program Studi Sejarah Pemikiran Islam, Program Pascasarjana (S2) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian pada 2004 ia melanjutkan studinya ke Program Pascasarjana (S3) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga dan baru selesai tahun 2013 dengan disertasi tentang “Gerakan Keagamaan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) di Bandung Jawa Barat” . Selama masa studinya di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, ia pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Syari’ah (1994-1995), Ketua Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) Syari’ah (1995-1996). Di samping itu, ia juga mengabdikan diri sebagai guru (1991-1997) Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Banu Hasyim Janti Waru Sidoarjo. Tahun 1997, ia aktif di STAIN Ponorogo. Di lembaga tersebut, di samping sebagai staf pengajar ‘Ulum Al-Hadits, ia juga pernah diberi amanah sebagai Kepala Perpustakaan (1999-2000), Ketua Program Studi Tafsir Hadis Jurusan Ushuluddin (2001-2002), Sekretaris Jurusan Ushuluddin (2002-2004), Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (2004-2007), dan pernah mengikuti Short on Gender Mainstreaming and Conflict Resolution di Irlandia Utara (2006) 141
142
Achmad Muchaddam Fahham
Sejak tahun 2008 sampai sekarang mengabdirikan diri sebagai peneliti agama dan masyarakat pada Pusat Penelitian Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Karyanya tersebar dalam berbagai jurnal ilmiah dan buku. Buku pertamanya, Tuhan dalam Filsafat Allamah Thabathabai diterbitkan oleh Penerbit Teruju (2004), diterbitkan ulang oleh Rausyan Fikr Institut tahun 2012. Kedua, Pendidikan Pesantren: Pola Pengasuhan, Pendidikan Karakter dan Perlindungan Anak (P3DI Sekretariat Jenderal DPR RIAzza Grafika, 2015). Selain aktif meneliti dan menulis, ia juga aktif sebagai tim teknis dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) antara lain RUU Empat Bidang Peradilan (2009), RUU Fakir Miskin (2010), RUU Pengelolaan Zakat (2011), , RUU Sistem Perbukuan Nasional (2011), RUU Kerukunan Umat Beragama (2011), RUU Pengelolaan Keuangan Haji (2014), RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (2016).
Pendidikan Pesantren