Nama Penulis tiap Artikel
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI PESANTREN Mukromin Penulis adalah Dosen Tetap UNSIQ, Kandidat Doktor UIN Yogyakarta Abstrak Pendidikan karakter di pesantren adalah sebagai upaya untuk mengubah prilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan syari’at agama Islam, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Dalam konteks Islam, pendidikan karakter adalah mengembalikan nilai- nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan AlQur’an da As-Sunnah sehingga menjadi manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya (Insan Kamil). Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut makrifat. Pesantren dalam penyelenggaraan pendidikan karakter betul-betul diperhatikan secara maksimal yang didukung dengan kegiatan pembelajaran yang sepenuhnya waktu 24 jam, siang dan malam. Bukan hanya berupa teori tetapi juga praktek secara langsung, Pendidikan karakter seperti ini penting, karena sesuatu hal yang esensial tetap berusaha berdiri di atas kemampuan diri sendiri (berdikari), percaya diri, dan mengedepankan kesederhanaan dan ketegasan. Bukankah teramat banyak kehancuran yang diawali dari istilah membantu yang ujung ujungnya menjerat dan akhirnya menjadi beban yang teramat berat. Juga teramat banyak kerugian yang ditimbulkan dari sebuah ketidaktegasan (karakter tidak tegas). Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pesantren
A. Pendahuluan Seorang Muslim mendapat warisan dari Nabi Muhammad Saw., dua pusaka besar yakni kitabullāh (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul (hadiṡ), yang keduanya merupakan sumber inspirasi bagi umat manusia. Keberadaan muṣḥaf Al-Qur’an sendiri merupakan bentuk dari langkah-langkah memasyarakatkan dan membumikan al-Qur’ān berdasar pada nilai-nilai objektivitas kebenaran masyarakat dunia. Karena dunia menganggap kebenaran bukanlah abstraksi tetapi sebuah fakta, bisa diraba, dan dilihat. Selain itu adanya muṣḥaf Al-Qur’ān merupakan tatanan kebenaran administratif dan tuntutan atas pentingnya ketertiban administrasi disemua aspek kehidupan khususnya yang menyangkut ranah sosial. Allah Swt menjamin otentisitas Al-Qur’an, ia benar-benar wahyu Allah, diterima dan diajarkan Rasulullah, untuk menjadi salah satu pemberi peringatan. 1 Begitu banyak ilmu Allah yang tak terbatas itu, akan terserap manusia yang mempelajari dan memahami isi kandungan Al-Qur’an. Sedemikan pentingnya tadabbur (merenungkan) Al-Qur’an sampai seorang orientalis H.A.R. Gibb seperti dikutip Quraish Shihab, menulis dalam tulisan yang tidak bisa menyembunyikan otentisitas dan keagungan Al-Qur’an, bahwa:Tidak ada seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini, 1
Zarkowi Soejati, et al, Buku Wajib Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Ahsana Indah Kitaba, 1995), hal.
139. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 129
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, demikian luas getaran getaran jiwa yang mengakibatkannya, seperti dibaca Muhammad (Al-Qur’an). Demikian terpadu dalam Al-Qur’an keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman, dan kehebatan kesan positif yang ditimbulkannya. 2 Selanjutnya bila diperhatikan, bagaimana Tuhan mendidik alam ini, akan tampak jelas bagi manusia bahwa Allah Yang Maha Pendidik (murabby al-a’ẓam), dengan kodrat dan iradatnya telah mempalakan suatu suprasistem apapun. Sebagai Maha Pendidik menghadapi segala sesuatu menyangkut kehidupan ini dalam satu sistem, suatu proses kehidupan yang terjadi secara alami. Hal demikian menjadi contoh bagai makhluknya yang berusaha mengembangkan kehidupan secara humanis (manusiawi) dan akan sesuai dengan garis (khiṭṭab) yang telah di letakakan Allah.3 Dengan begitu, konsepsi Al-Qur’an menempatkan Allah sebagai sumber ilmu dalam semua bidang. Terkait pendidikan karakter dapat ditilik dari fungsi pendidikan Islam, yakni menjadikan manusia mampu mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga berfungsi maksimal sesuai dengan aturan-aturan yang digariskan oleh Allah Swt. dan Rasulullah Saw. yang pada akhirnya akan terwujud manusia yang utuh (insān kamīl). Disini, fungsi pendidikan Islam merupakan salah satu bentuk manifestasi cita-cita hidup untuk melestarikan, menanamkan, dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada generasi penerusnya sehingga nilai-nilai kultural religius yang dicita-citakan dapat tetap berfungsi dan berkembang sesuai dengan kemajuan zaman dan teknologi. 4 Untuk mewujudkannya adalah melalui penanaman nilai-nilai karakter kepada warga belajar, meliputi pengetahuan, kesadaran, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai itu, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama, lingkungan, atau kebangsaan sehingga menjadi manusia (insān kamīl). Pendidikan karakter bagi umat Islam, harus melibatkan semua komponen, yaitu kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan kurikuler, sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga belajar.5 Pendidikan karakter (education character) saat ini, mungkin untuk beberapa tahun ke depan, sedang menjadi topik pembicaraan dalam pendidikan. Itu tidak lepas dari gencarnya sosialisasi yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai upaya untuk memperbaiki karakter generasi muda pada khususnya dan bangsa ini pada umumnya. Sebagaimana kita ketahui, karakter bangsa ini tengah menurun. Semua itu, hanya contoh ketidakmenentuan (identerminisme) moralitas dan karakter bangsa saat ini.6
2
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an...,hal.5.
3
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tujuan Teoritis dan Praktis berdasarkan Pendekatan Interdispliner, cet. ke-3 (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 33 4
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997),hal. 14.
5
Ahmad Sudrajat,“Pendidikan Karakter” dalam http//.www.Ahmad Sudrajat.com. diakses tanggal 15 Maret 2014. 6 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 5.
130 | ISSN: 2356-2447-XIII
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Ditiap Pesantren Nama Penulis Artikel
Term pendidikan karakter akan menjadi penting untuk mengatasi permasalahan di atas. Dengan pendidikan karakter yang terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di lembaga pendidikan perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar, sesuai tujuan pendidikan dapat dicapai. Lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik yang masih dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru (al-muhāfaẓah ‘alā qadīmi aṣ-ṣāleh wa al-ahżu bil jadīdi al-aṣlah) dalam ilmu, teknologi, dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam.7 Dalam implementasinya, pendidikan karakter yang digadang-gadang sebagai solusi dari masalah-masalah akademik (academic problematic) khususnya melalui pendidikan agama Islam, juga dijumpai beberapa hambatan. Diantaranya munurut hemat penulis, pada tingkat proses belajar-mengajar (education prosses) khususnya pendidikan agama Islam yang ada lebih cenderung sebatas konseptual belum pada taraf pengalaman (experience). Selain daripada itu, berkembangnya teknologi juga akan mempermudah manusia dalam menguasai informasi, hal ini menuntut pendidikan agama Islam untuk ditangani secara profesional. Pengelolaan pendidikan agama Islam belum peka terhadap perubahan dan tuntutan kedaan masa kini dan masa yang akan datang. Lebih jauh lagi pendidikan karakter gagasan pemerintah, juga perlu kuatkan dengan sumber-sumber otentik agar warga belajar lebih memahami maknanya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, peneliti mengidentifikasikan beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini, ke dalam tiga korpus sebagai berikut: 1. Bagiaman Konsep Pendidikan karakter Islam 2. Bagaimana Pendidikan karakter di pondok pesantren? 3. Bagaiamana strategi Pendidikan Karakter di pondok Pesantren?
C. Kerangka Teori 1. Hakikat Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah payung yang longgar digunakan untuk menggambarkan pengajaran pada anak-anak yang membantu mengembangkan moral yang baik dan santun, tidak suka mengejek, sehat, kritis, dan sukses, serta bersikap tradisional yang kemudian membuat mereka dianggap sesuai atau diterima oleh manusia sesama makhluk sosial.8 Secara umum, pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan karakter ialah menyusun dan mengajarkan berbagai prinsip, pilar, nilai atau kebajikan, yang biasanya diakui secara universal dan tentunya nilai-nilai itu terkait dengan karakter.9 7
Muh. Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal 49.
8
Dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Character_education, sebagaimana disarikan dari "A Brief History of Character and Moral Education in the United States"halhal. 10. Artikel terkait ini dapat diunduh dari http://www.communityofcaring.org/ new%20pages/PlenaryHigginsDAlessandro1005.doc. diakses tanggal 15 Maret 2014. 9 Mahjuddin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak, (Jakarta: Kalam Mulia, 2000),hal. vii, lihat pula http://en.wikipedia.org/wiki/Character_education diakses tanggal 15 Maret 2014.
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 131
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Pendidikan karakter bertujuan untuk “membentuk” kepribadian seseorang melalui budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata, berupa tingkah laku baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Hal ini dapat dikaitkan dengan tujuan ta’dib, yaitu pengenalan dan afirmasi atau aktualisasi hasil pengenalan dan pengajaran terhadap anak didik. Menurut Doni Koesoema, karakter adalah kepribadian yang menjadi ciri, karakteristik, gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan (acquired), dan jiwa bawaan seseorang sejak lahir (iborn).10 Orang-orang yang memiliki berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik. 11 Karakter juga dapat dimaknai akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma (norm standart) dan perilaku (behavior) yang baik. Dalam perspektif Islam, karakter sering diterjamahkan dengan akhlak yang meliputi tabiat (nature), perangai (attitude), dan kebiasaan (habit). Imam al-Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau perbuatan (deed) yang menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti Ibnu Miskawaih, al-Qabisi, Ibnu Khaldun, al-Ghazali dan al-Zarnuji,12 menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif (positive character) dalam prilaku peserta didik. Karakter positif adalah penjelmaan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan manusia.13 Menurut al-Mawardi, nilai-nilai adab atau akhlak (karakter) itu merujuk pada normanorma atau nilai-nilai yang disepakati oleh para ulama atau ahli bidang moral dan akhlak. Nilai-nilai ini bersumber pada ajaran Islam (Al-Qur’an dan al-Hadis, dan ijma’), seperti melaksanakan kewajiban atau perintah agama dan menghindari perbuatan yang diharamkan, berlaku jujur dan adil. Maka apabila perilaku seseorang tidak sesuai dengan pola-pola hidup yang disepakati masyarakat, maka dianggap melanggar (contravene) atau menyimpang (deviate) dari norma-norma masyarakat dan berhak memperoleh celaan (excoriation) sebagai orang yang menyalahi adat dan tidak berakhlak. 14 Memperkuat argumentasi di atas, Russels Williams mengilustrasikan bahwa karakter adalah ibarat “otot”, dimana “otot-otot” karakter akan menjadi lembek jika tidak pernah 10 Doni A. Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern (Jakarta: Grafindo, 2007),hal, 80 11 Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 1
12
Ibnu Miskawaih, Takhdzib al-Akhlaq (Beirūt, 1996), Muhammad Jamalludin al-Qasimi, Maḥāsin alTa’wīl, Juz I, (Beirut: Dār al-Fikr, 1978)., Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah (Beirūt: Dār As-Sa’ab, t.t.), al-Gazālī, Ihyā’ Ulum ad-Dīn (Beirūt: Dār al-Ma’rifah, t.t.), Burhanudin Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Ṭariq atTa’allum (Lahore: Published in Maqalat al’-Arshi, 1970). 13
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 11
14
Muhammad bin Habib Al-Mawardi, Adab wa Dunya wa ad-Dīn cet ke-1 (Beirūt; Dār al-Kutub alIslamiah, 1978),hal. 226-227 132 | ISSN: 2356-2447-XIII
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di tiap Pesantren Nama Penulis Artikel
dilatih, dan akan kuat dan kokoh kalau sering dipakai. Seperti seoang binaragawan (body buldler) yang terus menerus berlatih untuk membentuk ototnya, “otot-otot” karakter juga akan terbentuk dengan praktek-praktek latihan yang akhirnya akan menjadi kebiasaan (habit).15 Amsal (contoh) yang disampaikan Russels Williams sangatlah tepat, karena menjadikan otot (sesuatu yang sudah dimiliki badan manusia) sebagai modal bagi pengembangan lebih lanjut. Ini berarti, hakikat dasar pendidikan karakter adalah apa yang menjadi potensi manusia harus dikembangkan. Berarti juga, pada manusia terdapat bibit potensi kebenaran dan kebaikan, yang harus didorong melalui pendidikan untuk aktual. Para filosuf Muslim sejak awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter. Ibnu Miskawaih menulis buku khusus tentang akhlak dan mengemukakan rumusan karakter utama seorang manusia. Demikian dengan al-Ghazali, Ibnu Sina, alFarabi, dan filosuf lainnya. Karakter, dalam khazanah filsafat, dapat diletakkan sebagai bagian dari etika.16 Dalam pemikiran para ilmuwan Islam, perumusan etika cukup beragam, misal Amin Abdullah mencatat setidaknya terdapat beberapa corak pemikiran Islam mengenai etika: pertama, etika itu bersifat fitri (fitrah),17 artinya semua manusia pada hakikatnya (apa pun agamanya) memiliki pengetahuan fitri, 18 tentang baik dan buruk. Pemikiran ini dianut sebagian besar pemikir Islam, kecuali beberapa pemikir Mu’tazilah; kedua, moralitas dalam Islam didasarkan kepada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada tempatnya atau pada porsinya. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Aristoteles mengenai moderasi; ketiga, tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya. Diantara filsuf, Ibnu Miskawaih dan Nashiruddin Thusi menegaskan hal ini; keempat, tindakan etis itu bersifat rasional; kelima, etika merupakan sebuah kewajiban. Banyak faktor yang menyebabkan runtuhnya karakter budaya bangsa, diantaranya adalah faktor pendidikan.19 Kita tentu sadar bahwa pendidikan merupakan mekanisme institusional yang akan menyeimbangkan pembinaan karakter bangsa dan berfungsi sebagai media mencapai tiga hal yang prinsipel, meliputi: pertama, pendidikan sebagai sarana untuk reaktifitasi karakter luhur bangsa Indonesia. Secara historis bangsa Indonesia
15 Bambang Q-Anees, dkk., Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, 2008,hal. 99. 16 Ada beberapa teori etika yang ada dalam sejarah. Socrates yang menyerukan pengenalan diri sebagai awal pembentukan diri manusia adalah filosuf yang menyakini bahwa pengetahuan (knowledge) tentang baik dan buruk ada dalam diri manusia. Tugas guru (teacher) atau filosuf adalah membidaninya, membantu, mengarahkan dan mengeluarkan potensi baik dan buruk itu dari diri sang murid (student). Sementara Aristoteles berpendapat bahwa etika merupakan suatu ketrampilan semata dan tidak ada kaitannya dengan potensi dasar. Lihat Bambang Q-Anees, dkk., Pendidikan Karakter, hal. 100 17 Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam Antara al-Ghazali dan Imanuel Kant, (Bandung: Mizan, 2002),hal. 18 18 Baca Q.S. asy-Syams [91]: 8-9. fiṭrah bersal dari kata al-faṭr berarti belahan dan dari makna ini lahir makna-makna antara lain penciptaan atau kejadian. Dalam terminologis, fiṭrah manusia merupakan kejadian sejak semula atau bawaan sejak lahirnya. Barmawie Umary, Materi Akhlak, cet. ke-1 (Solo: Ramadhani, 1989), hal. 21 19
Sugiarto, Kenakalan Remaja di Indonesia Sudah Sangat Parah, http://www.suaramerdeka.com/v1/index. php/read/news/2012/07/13/124082/Kenakalan-Remaja-di-IndonesiaSudah-Sangat-Parah. Diunduh diakses 15 Maret 2014. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 133
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
adalah bangsa yang memiliki karakter kepahlawanan (heroism character), nasionalisme, sifat heroik, semangat kerja keras (laboriously), serta berani menghadapi tantangan. Jika kita flashback ke milue pra-kemerdekaan, karajaan-kerajaan nusantara dimasa lampau ialah bukti keberhasilan pembangunan karakter yang mencetak tatanan masyarakat maju, berbudaya dan berpengaruh; kedua, pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan karakter bangsa yang dapat mengakselerasi pembangunan sekaligus sebagai mobilisasi potensi domestik untuk meningkatkan daya saing bangsa; ketiga, pendidikan sebagai sarana untuk menginternalisasi kedua aspek diatas yakni reaktivasi sukses budaya masa lampau dan karakter inovatif serta kompetitif, kedalam sendi-sendi kehidupan dan program pemerintah ini harus berupa suatu concerted efforts dari seluruh masyarakat dan pemerintah.20 Membicarakan karakter merupakan hal yang paling penting dan mendasar. Karakter ialah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia tanpa karakter ialah manusia yang sudah “membinatang”. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Mengingat begitu urgennya karakter, maka institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menanamkannya melalui proses pembelajaran.21 Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang ini sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi. Diakui atau tidak, saat ini terjadi krisis yang nyata dan mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan milik kita yang sangat berharga, yaitu anak-anak. Krisis itu antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, (free sex), maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, dan penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Lebih lanjut, akibat yang ditimbulkan dari fakta diatas, cukup serius dan tidak dapat dianggap sebagai persoalan sederhana karena tindakan ini sudah menjurus kepada tindakan kriminal. Perilaku orang dewasa juga sekali tiga uang, senang dengan konflik dan kekerasan atau tawuran, perilaku korupsi yang merajalela, dan perselingkuhan. 22Maka dari itu, pendidikan dalam konteks ini merupakan sebuah sistem konsep yang terpadu diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam pembelajaran untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi yang diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (long life education).23 Nilai agama yang menjadi karakter utama (prominent character) Islam adalah moralitas (akhlakul karimah). Kualitas suatu masyarakat dapat dilihat dari kualitas moralnya. Bahkan kemajuan dan ketinggian budaya masyarakat amat ditentukan oleh ketinggian akhlaknya. Inilah yang menjadi tujuan utama diutusnya Rasulullah Saw., 20
Mansur Muslich, KTSP kurikulum Tingkat Satuan pendidikan ( Jakarta: Bumi aksara, 2007), hal. 3.
21
Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter, hal. 1
22
Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter, hal. 2
23
Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis (Yogyakarta: Gema Media, 2002),hal. 206.
134 | ISSN: 2356-2447-XIII
Mukromin, Implementasi PendidikanNama Karakter Di tiap Pesantren Penulis Artikel
bahkan berkat kemulian akhlak, beliau mendapat pujian dan apresiasi secara langsung dari Allah Swt.24 Hidup adalah perjuangan, yang baik dan bermanfaat akan bertahan, sedang yang buruk akhirnya hancur. Potensi dan kemampuan manusia berbeda-beda, bahkan para Rasul pun begitu. Perbedaan adalah sifat manusia, jangan sampai berakibat pertentangan. Sebaliknya, perbedaan tersebut haruslah mengantarkan kepada kerja sama yang saling menguntungkan semua pihak.25 Doni Koesoema menengarai pendidikan karakter sudah dimulai dari Yunani, dengan konsep arete (kepahlawanan) dari bangsa Yunani, konsepsi Socrates yang mengajak kita memulai tindakan dengan “mengenali diri sendiri”26 dan“ilusi pemikiran akan kebenaran”. Keseluruhan historis pendidikan karakter dengan urutan: homeros, hoseiodos, Athena, Socraters, Plato,27 Hellenis, Romawi, Kristiani,28 Modern, Foerster, dan seterusnya. 29 Fakta lain, Nabi Saw, misi utamanya menyempurnakan karakter (akhlak).30 Manifesto Rasulullah ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama yang dapat menciptakan peradaban (civilization).31 Pada sisi lain, juga menunjukkan bahwa masing-masing manusia telah memiliki karakter tertentu, namun perlu disempurnakan. Islam hadir sebagai jalan untuk menyempurnakan karakter. Agama Islam lewat kitab Al-Qur’an nya, ia sebagai buku ajar 24
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Dan Sesungguhnya kamu benarbenar berbudi pekerti yang agung.” Baca Q.S. al-Qalam [68]: 4. Dalam ayat lain; Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. Baca Q.S. at-Taubah [9]: 128. 25
Q.S. al-Hujurāt [49] : 13.
26
Konsep yang ditawarkan Socrates ini juga dikuatkan oleh Nabi Muhammad “Barang siapa yang kenal (tau kemampuan dan kekurangan) dirinya sendiri maka ia sungguh kenal akan kekuasaan Tuhan-nya”. Hal itu dibahas oleh Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Ṭariq at-Ta’allum (Lahore: Published in Maqalat al’-Arshi, 1970), Sarton, An Introduction to the History of Science (Baltimore: 1948), Haji Khalifah, Kasyf adz-Zhunnun an Usami al-Kutub wa al-Funun (Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992). 27 Pandangan Plato dikenal dengan “dualistik” yang menyatakan; jiwa manusia adalah entitas nonmaterial yang terpisah dari tubuh. Jiwa ada sebelum kelahiran terjadi, sesuatu yang tidak dapat hancur dan akan tetap hidup abadi. Plato meyakini jiwa manusia tetap ada setelah kematian tubuh; bersifat Ilāhi, rasional, abadi, tidak dapat hancur dan tidak berubah. Pada intinya, pandangannya bertumpu pada tiga aspek hakikat manusia, yaitu: jiwa, tubuh, dan roh. Baca Dyah Kumalasari, “Pengantar Sejarah Pendidikan I”, Diktat Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Uiversitas Negeri Yogyakarta, 2008, hal. 12. 28 Awalnya agama Nabi Isa, tapi pasca beliau wafat ajaran ini mengalami perubahan dalam ketuhidan. Masa selanjutnya berkembang istilah tuhan itu tiga dalam kesatuan (trinitas), yakni bapak, anak dan roh kudus, walau menurut mereka hakikatnya satu. Lihat Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual; Elaborasi Paradigma Baru Islam Kaffah, cet. ke-1 (Yogyakarta: Gema Media, 2005),hal. 34. Lebih lengkapnya baca Ibnu Kaṡīr ad-Dimasyqi, Tafsīr Ibnu Kaṡīr terj. Bahrun Abu Bakr , cet. ke-5 (Bandung: Sinar Baru Algesendo, 2007), 28: 245-246. 29
Doni A Koesoema, Pendidikan Karakter….,hal., 9
30
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. At-Tirmiẑi, Sunan al-Tirmiẑi “Kitâb al-Qadr 'an Rasulillah”,hal. 447. Hadiṡ diriwayatkan oleh al-Tirmiẑi dan al-Bukhāri. 31 Civilization berasal dari kata civic, berti kota atau tempat tinggal kota. Taufiq Yusuf al Wali, alHadharah al-Islamiyah Muqaranah bil Hadharah al-Gharbiyah, cet. ke-2 (Kuwait: Maktabah al-Manar alIslamiyah, 2004),hal. 31. Peradaban adalah kematangan berpikir dan metode dasar serta keyakinan , merubah perasaan manusia menuju arah lebih baik. Gustave Le Bon, The Spirit of The Poeople, (New York: The Macmillan, 1898),hal. 17. Peradaban merupakan pencarian tentang akal dan ruh, ilmu-ilmu yang digunakan untuk mencapai kebahagiaan manusia, baik jiwa atau akhlak manusia. Alexis Carrel, Man the Unknown, terj. Kania Roesli, dkk, (Bandung: Rosda Karya, 1987), hal. 57.
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 135
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
yang menghadapi peserta didik masyarakat Arab yang berkarakter belum sempurna. Sejarah mencatat, misalnya bangsa Arab memiliki muruwwah32 (keutamaan demi kehormatan) tertentu yang terbatas pada kehormatan pada sukunya (clan) belaka. Melalui Al-Qur’an, secara perlahan dan bertahap, karakter itu dibentuk ke dalam prinsip “ketundukan (loyalty), kepasrahan (resertif, tawakkal), serta kedamaian (peacefulness)” sebagai manifestasi pelaksanaan ajaran agama Islam. Dimulai dari perintah membaca (iqra’)33 karakter Islam dibentuk. lalu perlahan-lahan diingatkan untuk “bangun dari selimut” 34 menghayati pergantian alam semesta, berkontemplasi di malam hari, menghargai sesuatu sesuai kodratnya, dan membersihkan perilaku. Pendidikan karakter begitu memenuhi materi-materi awal Al-Qur’an, bahkan perintah ritual ibadah dikaitkan dengan tumbuhnya karakter baik. Selanjutnya, banyak ayat, ritual ibadah dianggap sia-sia (wayl)35 bila tidak muncul dalam wujud penghayatan nilai-nilai akhlak dalam Islam yang sepatutnya kaum Muslimin, sebagai individu, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara baik sebagai penguasa atau sebagai rakyat awam, dan terakhir sebagai hamba Allah Swt, sehingga memunculkan sikap atau karakter yang baik dan memperbaikinya dengan amal saleh. Nampaknya penghayatan itu sendiri berpangkal pada kepatuhan (com-pliance) juga, yaitu seseorang dipengaruhi oleh otoritas tertentu, orang tua atau guru-guru misalnya, untuk mengamalkan suatu nilai, misalnya rajin bangun pagi. Tentulah bangun pagi itu sendiri pada mulanya tidaklah enak, tetapi karena patuh kepada otoritas, kepada pemberi perintah, maka bangun pagi itu dikerjakanlah. Lama kelamaan bangun pagi itu dihayati dan kita merasa tidak enak kalau tidak berbuat demikian.36
32 Muruwwah adalah kebajikan-kebajikan utama atau kode etik kehidupan, berupa sifat-sifat positif dan terpuji yang potensial sebagai bangsa yang berperadaban. Muruwwah antara lain keberanian, kepahlawanan, kedertmawanan, kestiaan, kesabaran dan kejujuran. Karen Amstrong, Muhammad: A Biografi of The Prophet, terj. Sirkit Syah (Surabaya: Risalah Gusti, 2003),hal. 60. 33 Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Lihat Q.S. al-Alaq [96]: 1-5. Ayat-ayat tersebut hakikatnya merupakan signifiant (penanda) bagi fajar ilmu pengetahuan (knowledge) dan pemberi kedudukan terhormat kepada ilmu pengetahuan. Baca Muhammad Jamaludin el-Fandi, Al-Qur’an Tentang Alam Semesta (Jakarta: Amzah, 2008).hal. 1. Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah meletakkan pondasi pendidikan pada surat yang pertama kali turun ini. Rujukan yang paling menakjubkan dan fakta paling otentik mengenai asumsi ini ialah ayat-ayat al-Qur’an tersebut, yang mendorong manusia untuk mencari serta menjujung tinggi pengetahuan. Baca Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma…,hal. 21. 34 Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Q.S. al-Mudatsir [74]: 1-5. Ayat ini mengandung perintah untuk menyampaikan peringatan. Memang perintah ini belum ditujukan secara khusus, namun yang penting bagaimana memulai dakwah memberi peringatan. Dari perintah membersihkan pakaian dapat dipahami bahwa yang pertama adalah pakaiani (kebersihan dan kesucian), dan setelah itu, istri dan keluarga. M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadis-Hadis Sahih, cet. ke-2 (Jakarta: Lentera Hati, 2012),hal. 335. 35 Kata Wayl adalah salah satu nama neraka dan dapat di jumpai dalam al-Qur’an seperti dalam surat alMā’un dan al-Muṭaffifīn, sebagai ancaman terhadap orang yang berperilaku kurang terpuji seperti berbuat tidak jujur (korupsi). 36
Dalam konteks inilah dapat dipahami sabda Rasulullah Muhammad saw., yang artinya : “Suruhlah anak-anakmu bersembahyang ketika mereka umur 7 tahun dan pukullah mereka jika meninggalkan shalat ketika mereka sudah berumur 10 tahun dan pisahkan antara mereka (laki-laki dan perempuan) tempat tidurnya”. 136 | ISSN: 2356-2447-XIII
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Ditiap Pesantren Nama Penulis Artikel
Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw, yang menyuruh atau memerintahkan anak agar melakukan shalat pada saat anak menginjak usia 7 tahun dan menghukum jika ia meninggalkan shalat pada saat ia sudah berumur 10 tahun, dapat dipahami bahwa anakanak itu haruslah diajar, kalau perlu diberi hukuman, agar ia mengamalkan nilai-nilai yang dikehendaki. Dalam proses pengajaran anak-anak akan menghayati nilai-nilai yang diajarkan dan merasa tidak enak bila tidak mengerjakannya. Dengan kata lain, penghayatan nilai-nilai (values) melalui perjalanan panjang, bermula dari kecil, dan pengalaman (experience) serta penghayatan (full and total comprehension) itulah puncaknya. Atas dasar prinsip inilah, menurut kesimpulan penulis, bahwa pendidikan karakter tidaklah bersifat teoritis yakni meyakini telah ada konsep yang akan dijadikan rujukan karakter, tetapi lebih daripada itu, melibatkan penciptaan situasi yang mengondisikan peserta didik (student) dalam mencapai pemenuhan karakter utamanya. Penciptaan konteks (komunitas belajar) yang baik, dan pemahaman akan konteks peserta didik yang meliputi latar belakang dan perkembangan psikologi, menjadi bagian tak terpisahkan (integral subdivision) dari pendidikan karakter. Kedua, karena menganggap bahwa perilaku yang dibimbing oleh nilai-nilai utama sebagai bukti dari karakter, pendidikan karakter tidak meyakini adanya pemisahan antara roh, jiwa, dan badan.
2. Pesantren dan Pendidikan Karakter Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren memiliki ciri-ciri unik yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan lain. Secara sosiologis munculnya pesantren merupakan hasil dari rekayasa individual yang berkompeten untuk menularkan ajaran Islam dan secara ekonomis (biasanya) mapan, sehingga wajar jika pekembangan pesantren sangat diwarnai oleh kyai yang mengasuhnya. Secara tradisional, pesantren memiliki masjid, pondokan, santri, kyai, dan pengajian tradisional. Pesantren kemudian berkembang pesat dengan diversifikasi program dan ilmu yang ditawarkan kepada masyarakat. Pada mulanya, pendidikan pesantren bertujuan untuk mencetak ustaz, kyai muda, dan ulama: mereka yang memiliki ilmu agama mumpuni. Namun dalam perkembangannya pesantren melakukan adaptasi dengan sistem pendidikan modern dengan dual kurikulum: agama dan non agama, tujuannya mencetak ilmuan agamis atau kyai intelektual. Dengan kurikulum yang beragam, guru juga beragam kualifikasinya. Karena ragam program yang ditawarkan, dengan sendirinya kurikulum di pesantren juga menjadi beragam. Pesantren tradisional masih menekankan pada kajian-kajian kitab kuning (sebagian besar kitab klasik), yang mencakup tauhid, fiqh, sejarah Islam, akhlak, dan ilmu alat (Nahwu, sharaf, dan semacamnya), yang diajarkan secara sorogan dan badongan. Apabila dibuat system klasikal mungkin ini menjadi Madrasah diniah. Pesantren yang telah membuka sekolah atau madrasah mengadaptasi kurikulum nasional dan tentu lebih complex system pembelajaran dan managemennya. Pesantren bebas menerapkan 24 jam operasional belajar. Pada umumnya, pesantren tradisional melakukan proses transformasi keilmuan melalui one-way-communication. Dengan cara ini kyai atau ustaz menjadi sumber pembelajaran utama. Akan tetapi, sistem sekolah yang ada di dalam pesantren hampir tidak ada bedanya dengan sekolah-sekolah di luar lingkungan pesantren, yaitu proses pembelajaran yang lebih variatif dan dinamis. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 137
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Diyakini bahwa pesantren merupakan wadah dan kawah candradimuka pendidikan karakter bangsa. Pesantren memberikan kontribusi signifikan dalam membangun moralitas dan karakter bangsa. Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, pada pembukaan Konferensi Wilayah XVI Nahdlatul Ulama Jawa Barat menegaskan bahwa sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran penting dalam membentuk karakter bangsa sejak dini melalui lembaga pendidikan pesantren. Lebih dari 50 persen penduduk Muslim di Indonesia merupakan Nahdiyin yang mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan pembentuk moral. Ini potensi yang sangat penting untuk membentuk karakter bangsa ke depan.37 Paling tidak ada dua alasan mendasar. (1) Tujuan dan titik tekan di pesantren adalah pembangunan akhlak, meskipun dengan memadukan berbagai keilmuan di dalamnya. (2) Penerapan pola pembinaan santri selama 24 jam dengan cara tinggal di asrama, yang memungkinkan kyai dan pendidik dapat mengontrol perilaku santri dan mengarahkan sesuai dengan akhlak Islam. D. Pembahasan Internalisasi Pendidikan Karakter di Pesantren Dalam konteks Islam, pendidikan karakter adalah mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Al-Qur’an da As-Sunnah sehingga menjadi manusia yang berakhlaqul karimah (insan kamil). Insan kamil ialah manusia yang sempurna dari segi wujud dan pengetahuannya. Kesempurnaan dari segi wujudnya ialah karena dia merupakan manifestasi sempurna dari citra Tuhan, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat Tuhan secara utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut makrifat. 38 Pesantren dalam penyelenggaraan pendidikan karakter betul-betul diperhatikan secara maksimal yang didukung dengan kegiatan pembelajaran yang sepenuhnya waktu 24 jam, siang dan malam. Bukan hanya berupa teori tetapi juga praktek secara langsung, Pendidikan karakter seperti ini penting, karena sesuatu hal yang esensial tetap berusaha berdiri di atas kemampuan diri sendiri (berdikari), percaya diri, dan mengedepankan kesederhanaan dan ketegasan. Bukankah teramat banyak kehancuran yang diawali dari istilah membantu yang ujung ujungnya menjerat dan akhirnya menjadi beban yang teramat berat. Juga teramat banyak kerugian yang ditimbulkan dari sebuah ketidaktegasan (karakter tidak tegas). Risalah kenabian yang di pelajari di pesantren yang mengajarkan pentingnya bersikap jelas dan tegas tentu akan membentuk karakter yang unggul juga. Santri diajarkan untuk mampu membuat batasan yang jelas misalnya saja tentang halal haram, yang boleh dan yang tidak boleh bukankah risalah kenabian itu juga jelas yang haram itu jelas dan yang halal itu juga jelas. Santri juga diajarkan mengatakan yang benar meskipun itu pahit.
37
(http://www.p3m.or.id/2011/07/pendidikan-karakter-bangsa-melalui.html).
38
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 60, Lihat Pula, Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, terj.Abdillah Hamid Ba’abud, (Angil: YAPI, 1995), hal. 12 138 | ISSN: 2356-2447-XIII
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
1.
Pendidikan Karakter dalam Kitab Kuning
Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik yang dikarang para ulama terdahulu sering disebut kitab kuning. 39 Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab tanpa harakat atau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan dalam pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri datang dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan ingin memperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kitab Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab Tafsir, Hadits, dan sebagainya. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam delapan kelompok yaitu; (1). Nahwu (sintaksis) dan saraf (morfologi); (2). fiqih; (3). ushul fiqih; (4). hadits; (5). tafsir; (6). tauhid; (7). tasawuf dan etika; (8) cabangcabang lain seperti tarikh dan balaghah. 40 Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang berdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan tasawuf.41 Agar dapat menerjemahkan dan memberikan pandangan tentang isi dan makna dari teks kitab tersebut, seorang kyai ataupun santri harus menguasai tata bahasa Arab (balaghah), literature dan cabang-cabang pengetahuan agama islam yang lain.42 Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.43
39 Kitab Kuning adalah istilah untuk kitab literatur dan referensi Islam dalam bahasa Arab klasik meliputi berbagai bidang studi Islam seperti Quran, Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadits, Ilmu Hadits, Fiqih, Ushul Fiqih, Kaidah Fiqih, Tauhid, Ilmu Kalam, Nahwu dan Sharaf atau ilmu lughah termasuk Ma’ani Bayan Badi’ dan Ilmu Mantik, Tarikh atau sejarah Islam, Tasawuf, Tarekat, dan Akhlak, dan ilmu-ilmu apapun yang ditulis dalam Bahasa Arab oleh para ulama dan intelektual muslim klasik, dan warna kertas kitab kebanyakan berwarna kuning. Sistematika penyusunan kitab-kitab kuning pada umumnya sudah begitu maju dengan urutan kerangka yang lebih besar kemudian berturut-turut sub-sub kerangka itu dituturkan sampai pada yang paling kecil. Misalnya, kitabun kemudian berturut-turut babun, fashlun, far’un dan seterusnya. Sering juga dipakai kerangka muqaddimah dan khatimah. Bahkan tidak sedikit yang pada awal pembahasannya diuraikan sepuluh mabadi' (mabadi' 'asyrah) yang perlu diketahui oleh setiap yang mempelajari suatu ilmu tertentu. Ciri lain yang ada pada kitab kuning adalah tidak menggunakan tanda baca yang lazim. Tidak pakai titik, koma, tanda seru, tanda tanya dan lain sebagainya. Subyek dan predikat sering dipisahkan dengan jumlah mu’taridlah yang cukup panjang dengan tanda-tanda tertentu.
40
Kitab kuning yang dikaji di pesantren tersebut hampir semuanya merupakan ilmu-ilmu yang berbasis pada epistemologi bayani dan ‘irfani. Episteme bayani adalah sistem pengetahuan eksplikasi dalam bidang bahasa, fikih, ushul fiqh, kalam, dan balaghah. Sistem eksplikasi muncul dari teori-teori penafsiran teks-teks alQuran dan hadits. Karakteristik episteme eksplikasi secara umum menggunakan metode analogi. Para ahli hukum dan nahwu menyebutnya dengan istilah Qiyas, para teolog menyebutnya dengan al-istidlal bi al-shahid (=far') 'ala al-ghaib (=ashl), sementara ahli balaghah memilih istilah al-tasybih. Sedangkan episteme ‘irfani adalah sistem pengetahuan gnostik dalam bidang tasawuf. Epistemologi kitab kuning di pesantren menganut bayani dan ‘irfani dalam arti yang sempit; sistem bayani dibatasi pada ilmu-ilmu tekstual Sunni, sementara sistem ‘irfani dibatasi pada tasawuf-amali sehingga pesantren menolak tasawuf-falsafi ala Ibn Arabi. Lihat, Abed al-Jabri, Takwin al-'Aql al-'Arabi, Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-'Arabiyyah, cet. VIII, 2002. Bandingkan Abed al-Jabri, Binyah al-'Aql al-'Arabi, Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-'Arabiyyah, cet. VIII, 2004. 41 Amin Haedari et.all, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, (Jakarta: IRD PRESS, 2005), hal. 39 42
Amin Haedari et.all, Masa Depan Pesantren, hal. 41
43
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 144 Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 139
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Kitab kuning menjadi salah satu rujukan yang penting didalam dunia pondok pesantren. Menyitir apa yang telah dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier bahwa kitab kuning merupakan salah satu rukun yang wajib ada didalam pondok pesantren. Biasanya spesifikasi keilmuwan yang ada dipesantren dibangun oleh bagaimana spesifikasi keilmuwan kyai pengasuh pesantren tersebut. Beberapa kitab yang mengandung muatan pendidikan karakter di pondok pesantren adalah kitab kuning yang menjadi mata pelajaran akhlaq (moralitas) dan tasawuf. Berikut beberapa kitab yang digunakan di pesantren yang memuat pendidikan karakter di pesantren; No
Nama Kitab
Tingkat
Pengarang
a.
Ta’limul Muta’allim
Ahlak/Wustho
Syaikh Zarnuji
b.
Wasaya li al-aba wal
Ahlak/Wustho
Syaikh Ahmad Syakir
c.
Akhlaq lil banin wa banat
Ahlak/Wustho
Ahmad Al barja
d.
Irsyadul Ibad
Ahlak/Wustho
Zainuddin Al-malibari
e.
Nashoihul Ibad
Ahlak/Wustho
Syaikh Nawawi banten
f.
Ihya Ulumiddin
Tasawuf/Ulya
g.
Bidayah Al-hidayah
Tasawuf/Ulya
h.
Minhaj Al-abidin
Tasawuf/Ulya
i.
Maraqi Al-ubudiyyah
Tasawuf/Ulya
Syaikh Nawawi Al-bantani
j.
Siraj At-tholibin
Tasawuf/Ulya
Syaikh Ihsan Bin Muhammad Dahlan Jampes.
k.
Risalah Mu’awanah
Tasawuf/Ulya
Abdullah Ba ‘ Alawi Al-haddad.
l.
Bashoih Diniyyah
Tasawuf/Ulya
Abdullah Ba’ Alawi Al-haddad.
Syaikh Hujjah Al-islam alghazali Syaikh Hujjah Al-islam Alghazzali Syaikh Hujjah Al-islam Alghazzali
Dari table diatas bisa di jelaskan bahwa kitab tasawuf yang dipelajari di pesantren lebih didominasi buah karya Al-ghazali. Teks-teks tasawuf wahdatul wujud mungkin sama sekali tidak diajarkan dipesantren. Karya Al-ghazali yang begitu mendominasi dalam kajian di pesantren ini berdampak kuatnya ruhul inqiyad (spirit ketundukan) didalam pondok pesantren. 2.
Pola Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren
Pendidikan karakter di pesantren adalah sebagai upaya untuk mengubah prilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan syari’at agama Islam, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Pondok pesantren sebagai bagian integral dari lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat merupakan sebuah komunitas yang memiliki tata nilai tersendiri. 140 | ISSN: 2356-2447-XIII
Mukromin, Implementasi PendidikanNama Karakter Di Pesantren Penulis tiap Artikel
Disamping itu, pesantren memiliki tata tertib yang unik, dan berbeda dari lembaga pendidikan yang lainya, sehingga lembaga pendidikan Islam telah begitu banyak menanamkan peranan dalam konteks pembangunan manusia Indonesia yang religius. Sebagaimana tercantum dalam peraturan pemerintah No. 37 tahun 1991 pasal 3 ayat 3 disebutkan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan warga belajar untuk menjalankan peranan yang menuntut penguasaan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan, maka pesantren sebagai sebuah lembaga tafaqquh fiddin telah melembagakan pendidikan moralitas dalam kehidupan keseharian para santri. Menurut Dawam Rahardjo ada beberapa aspek yang layak diperhatikan dalam pola pendidikan karakter di Pondok pesantren; a. Pendidik bisa melakukan tuntunan secara langsung dan pengawasan secara langsung, dalam hal ini menekankan pengaruh sistem pondok pesantren kedalam proses pendidikan para santri. b. Terdapat keakraban hubungan antara santri dan Kyai sehingga hal ini bisa memberikan pengetahuan yang hidup. Pengetahuan yang diperoleh seorang santri dari pesantren merupakan pengetahuan yang hidup (living knowledge) dimana para santri langsung mampu untuk mempraktikkan apa yang diperoleh dibangku pesantren lewat role model Kyai-nya. c. Pesantren mampu mencetak orang-orang yang mampu memasuki semua lapangan pekerjaan secera merdeka. Hal ini dikarenakan sifat independensi dan juga otonomi yang dimiliki oleh pondok pesantren. Dengan sifat ini ternyata banyak enterpreuner yang lahir dari pondok pesantren. d. Gaya hidup seorang Kyai yang sederhana tetapi penuh sekali dengan ke bermaknaan dalam menjalani kehidupan. Kyai sebagai sosok yang menjadi role model di pesantren memang layak untuk diteladani. e. Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang murah biaya penyelenggaraan pendidikannya, sehingga pendidikan pesantren menjadi alternatif model pendidikan yang selama ini telah banyak dikapitalisasikan. Terkait dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Megawangi (2004) mengemukakan bahwa proses pendidikan karakter menekankan kepada tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yakni moral knowing, moral feeling dan moral action. Dalam konteks proses pendidikan karakter di pesantren, tahapan moral knowing disampaikan dalam dimensi masjid dan dimensi komunitas oleh ustadz. Adapun moral feeling dikembangkan melalui pengalaman langsung para santri dalam konteks sosial dan personalnya. Aspek emosi yang ditekankan untuk dirasakan para santri meliputi sembilan pilar pendidikan karakter, khususnya pilar rasa cinta Allah dan segenap ciptaanya. Sedangkan moral action meliputi setiap upaya pesantren dalam rangka menjadikan pilar pendidikan karakter rasa cinta Allah dan segenap ciptaanya diwujudkan menjadi tindakan nyata. Hal tersebut diwujudkan melalui serangkaian program pembiasaan melakukan perbuatan yang bernilai baik menurut parameter Allah swt di lingkungan pesantren. Dalam mewujudkan moral action, pesantren memperhatikan tiga aspek lainnya terkait dengan upaya perwujudan materi pendidikan menjadi karakter pada diri santri,
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 141
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
ketiga aspek tersebut meliputi kompetensi, keinginan dan kebiasaan. Pembentukan ketiga aspek tersebut diupayakan oleh ustadz secara terpadu dan konsisten yang pada akhirnya diharapkan melahirkan moral action yang secara spontan dilakukan anak, baik di lingkungan pesantren, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. 3.
Strategi Pendidikan Karaker di Pesantren
Menurut Zainal Abidin Bagir terdapat empat tataran implementasi, yaitu tataran konseptual, institusional, operasional, dan arsitektural. Dalam tataran konseptual, internalisasi pendidikan karakter dapat diwujudkan melalui perumusan visi, misi, tujuan dan program pesantren (rencana strategis pesantren), adapun secara institusional, integrasi dapat diwujudkan melalui pembentukan institution culture yang mencerminkan adanya misi pendidikan karakter, sedangkan dalam tataran operasional, rancangan kurikulum dan esktrakulikuler harus diramu sedemikian rupa sehingga nilai-nilai fundamental agama prihal pendidikan karakter dan kajian ilmu/ilmiah prihal pendidikan karakter terpadu secara koheren. Sementara secara arsitektural, internalisasi dapat diwujudkan melalui pembentukan lingkungan fisik yang berbasis pendidikan karakter, seperti sarana ibadah yang lengkap, sarana laboratorium yang memadai, serta perpustakaan yang menyediakan buku-buku prihal akhlak mulia. Sementara upaya pembentukan karakter pada santri di pondok Pesantren terdapat beberapa langkah, seperti: a.
b. c.
Memasukan konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara: 1) Menambahkan nilai kebaikan kepada anak (knowing the good) 2) Menggunakan cara yang dapat membuat anak memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik (desiring the good) 3) Mengembangkan sikap mencintai untuk berbuat baik (loving the good) Membuat slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat sekolah Pemantaua secara kontinu. Pemantauan secara kontinyu merupakan wujud dari pelaksanaan pembangunan karakter. Beberapa hal yang harus selalu dipantau diantaranya adalah: 1) Kedisiplinan masuk pesantren 2) Kebiasaan saat makan di kantin 3) Kebiasaan dalam berbicara 4) Kebiasaan ketika di masjid, dll
d.
Penilaian orangtua.
Rumah merupakan tempat pertama sebenarnya yang dihadapi anak. Rumah merupakan tempat pertama anak berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Untuk itulah, orang tua diberikan kesempatan untuk menilai anak, khususnya dalam pembentukan moral anak. Selain pendekatan di atas, minimal terdapat empat strategi yang bisa menjadi alternatif pendidikan karakter di pesantren:
142 | ISSN: 2356-2447-XIII
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di tiap Pesantren Nama Penulis Artikel
1) Pendekatan Normatif, yakni mereka (perangkat pesantren) secara bersama-sama membuat tata kelela (good governence) atau tata tertib penyelenggaraan pesantren yang didalamnya dilandasi oleh nilai-nilai pendidikan karakter/akhlak, perumusan tata kelola ini penting dibuat secara bersama, bahkan melibatkan santri dan tidak bersifat top down dari pimpinan pesantren. Sehingga terlahir tanggung jawab moral kolektif yang dapat melahirkan sistem kontrol sosial, yang pada giliranya mendorong terwujudnya institution culture yang penuh makna. 2) Pendekatan Model yakni mereka (perangkat pesantren), khususnya pimpinan pesantren berupaya menjadi model dari tata tertib yang dirumuskan, ucap, sikap dan prilakunya menjadi perwujudan dari tata tertib yang disepakati bersama. 3) Pendekatan Reward and Punishmen yakni diberlakukanya sistem hadiah dan hukuman sebagai stimulus dan motivator terwujudnya tata kelola yang dibuat. 4) Pendekatan Suasana Belajar (baik suasana fisik maupun suasana psikis) yakni dengan mengkondisikan suasana belajar agar menjadi sumber inspirasi penyadaran nilai bagi seluruh perangkat pesantren, termasuk para santri, seperti dengan memasang visi pesantren, kata-kata hikmah, ayat-ayat Al qur’an dan mutiara hadis di tempat-tempat yang selalu terlihat oleh siapapun yang ada di pesantren, memposisikan bangunan masjid di arena utama pesantren, memasang kaligrafi di setiap ruangan belajar santri, membiasakan membaca Al qur’an setiap mengawali belajar dengan dipimpin ustad, program shalat berjamaah, kuliah tujuh menit, perlombaan-perlombaan dan sebagainya. E. Kesimpulan Manusia dituntut berusaha agar menumbuh-kembangkan karakter akan maenjadi pribadi utuh (insān kamīl), yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut Muslim kaffah yakni pribadai yang menyelami Islam secara sempurna (Islam Kaffah). Dengan begitu Islam melalui legislasi Al-Qur’an dan tergambar dalam kehidupan Rasul Saw (hadis), menghendaki agar manusia bisa mencapai derajat kesempurnaan, baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial. Pendidikan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan suatu bangsa. Karakter sendiri ada yang alamiyah dan ada pula yang tercipta melalui latihan dan kebiasaan. Fungsi pendidikan adalah transformasi kebudayaan dan nilai kepada peserta didik, agar mampu memahami, menginternalisasikan dan menyampaikan kepada generasi berikutnya. Ada dua faktor pendidikan ialah faktor eksternal, yaitu nilai dan kebudayaaan, serta faktor internal berupa aktualisasi potensi yang dimiliki. Kedua faktor ini sama kuat pengaruhnya. awalnya keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian praktik secara terus-menerus dan menjadi karakter.
Daftar Pustaka Amir al-,Najib Khalid, Tarbiyah Rasulullah, terj. Ibnu Muhammad dan Fakhruddin Nursyam, cet. ke-4, Jakarta: Gema Insani, 2000. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 143
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Aqqad al-, Abbas Mahmud, al-Falsafah al-Qur'āniyyah, Beirūt: Dār al-Kitāb alLubnaniy, 1974. Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011. Abdullah, Amin, Filsafat Etika Islam Antara al-Ghazali dan Imanuel Kant, Bandung: Mizan, 2002. Abu Ainan, Ali Khalil., Falsafah al-Tarbiyah fi Al-Qur’an al-Karim, Makkah: Dār alFikr al-‘Arabiy, 1985. Adhim, Fauzil, Positif Parenting: Cara-Cara Islami Mengembangkan Karakter Positif pada Anak Anda, Bandung: Mizan, 2006. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Mesir: Muassasah Qurthubah, t.t. Al-Bukhāri, At-Ta'liqur Raghi, Beirūt: Dār al-Fikr, 167. Alexis Carrel, Man the Unknown, terj. Kania Roesli, dkk., Hakikat Manusia, Bandung: Rosda Karya, 1987. Ali, Muhamad Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Ali, Yunasri, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh Al-Jili, Jakarta: Paramadina, 1997. Amstrong, Karen, Muhammad: A Biografi of The Prophet, terj. Sirkit Syah, Surabaya: Risalah Gusti, 2003. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tujuan Teoritis dan Praktis berdasarkan Pendekatan Interdispliner cet. ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hal. 33 Arismantoro, Tinjauan Berbagai Aspek Character Building; Bagaimana Mendidik Berkarakter, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008. Arsyad, Azhar, “Pendidikan karakter: al-Qaulu al-Qadīm wa al-Qaulu al-Haīiṡ” Disertasi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2013. Assegaf, Abd. Rahman, Studi Islam Kontekstual; Elaborasi Paradigma Baru Islam Kaffah, cet. ke-1, Yogyakarta: Gema Media, 2005. Bahi al-, Sayid Fuad, Asas al-Nafsiyyah li al-Numuwwi min al-Thufulah wa al-Syuyuhah, Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabi, 1975. Copper, David E., World Philosophis, Oxford: Blackwell, 1996. Depdiknas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Fokus Media, 2006. Dimasyqi ad-, Ibnu Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr terj. Bahrun Abu Bakr , cet. ke-5 Bandung: Sinar Baru Algesendo, 2007. Jilid I. ___________, Tafsīr Ibnu Kaṡīr terj. Bahrun Abu Bakr , cet. ke-5 Bandung: Sinar Baru Algesendo, 2007. Jilid. II. Djohar, Pendidikan Strategi Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: LESFI, 2003.
144 | ISSN: 2356-2447-XIII
Mukromin, Implementasi PendidikanNama Karakter Di tiap Pesantren Penulis Artikel
Dofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Tentang Pedoman Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994. Failasufah, Solihatun, “Hubungan Keaktifan Mengikuti Keagamaan dengan Perilaku Disiplin Siswa Kelas II di MAN Yogyakarta I”, Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004. Fandi el-, Muhammad Jamaludin, Al-Qur’an Tentang Alam Semesta, Jakarta: Amzah, 2008. Gazālī al-, Abu Hamid, Ihyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Beirūt: Dār al-Ma’rifah, t.t. Hamka, Tafsīr al-Azhār, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982. Hawa, Sa’id, Al-Islam, Berūt: Maktabah Wahdah, 1977. Hirschfeld, Hartwig, New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran, London: Royal Asiatic Society, 1902. Hossain, Sayyed, and Oliver Leaman (ed.), History of Islamic Philosophy, New York: Routledge, 1996. Jilid I. Ibn Arabi, Fusūs al-Hikam, ed. Abū al-A’lā ‘Afīfī, Kairo; Dār al-Ihyā’ al-Kutub al‘Arabiyyah, 1946. Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’īn an Rabb al ‘Ālamīn, Beirūt: Dār al-Fikr, t.t, Jilid I. Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, Beirūt: Dār As-Sa’ab, t.t. Ibnu Miskawaih, Takhdzib al-Akhlaq, Beirūt, 1996. Jum’ah, Ahmad Khalil, Al-Qur’ān wa Aṣḥabu Rasulillah, terj. Subhan Nurdin, Jakarta: Gema Insani, 1999. Kemendiknas, Pedoman Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, 2010. Kementerian Agama, Pedoman Penyusunan Perangkat Pembelajaran Madrasah Bermuatan Pembiasaan Akhlak Mulia Pendidikan dan Karakter Bangsa, Mapenda Kanwil Kemenag Propinsi Jawa Tengah, 2011. Khalifah, Haji, Kasyf adz-Zhunnun an Usami al-Kutub wa al-Funun, Beirūt: Dār al-Kutub alIlmiyyah, 1992. Koesoema, Doni A., Pendidikan Karakter, Jakarta: Grasindo, 2007. _______________, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Modern Jakarta: Grafindo, 2007. Kumalasari, Dyah, “Pengantar Sejarah Pendidikan I”, Diktat Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Uiversitas Negeri Yogyakarta, 2008. Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003. Le Bon, Gustave, The Spirit of The Poeople, New York: The Macmillan, 1898. Mahalli al-, Jalāludin, dan Suyūṭi as-, Jalāludin, Tafsīr Jalālain, terj. Bahrun Abu Bakar, cet. ke-13, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007. Jilid I. Mahjuddin, Konsep Dasar Pendidikan Akhlak, Jakarta: Kalam Mulia, 2000. Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 145
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Mahmud, Ali Abdul Hali, Ma’al Akidah wa al- Ḥarakah wa al-Manhaj fi Khairi Ummatin Ukhrijat li an-Nas, terj. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani, 1996. Malikah, “Kesadaran Diri Proses Pembentukan Karakter Islam”, Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo, 2013. Marāgī al-, Ahmad Musṭafa, Tafsīr al-Marâgi, terj. Anshari Umar Sitanggal, et.al, cet.ke2, Semarang: Toha Putra, 1992. Jilid I. Marzuki, “Prinsip Dasar Pendidikan Karakter Perspektif Islam”, dalam Pendidikan Karakter dalam Perspeketif Teori dan Praktek, Yogyakarta: UNY Press, 2011. Mas’ud, Abdurrahman, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta: Gema Media, 2002. Mawardi al-, Muhammad bin Habib, Adāb wa Dunya wa ad-Dīn, cet ke-1, Beirūt; Dār alKutub al-Islamiah, 1978. Megawangi, Ratna, “Mampukah Kita Memperbaiki Kondisi Moral Bangsa”, dalam Suara Pembaharuan, Minggu 10 Mei 2000. Montessori, Maria, The Montessori Method, (ed). Gerald Lee Gutex, terj. Ahmad Lintang Lazuardi, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. Muhallawi, Hanafi, Amakinu Masyhurah fi Ḥayati Muhammad Saw, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani et.al, Jakarta: Gema Insani, 2004. Muhdar HM, “Pendidikan Karakter Menuju SDM Paripurna”, Skipsi, Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo 2013. Muslikh, Mansur, KTSP kurikulum Tingkat Satuan pendidikan, Jakarta: Bumi aksara, 2007. Nata, Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Nur Ainiyah, “Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam”, Universitas Negeri Semarang Jawa Tengah 2013.
Tesis,
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997. Q-Anees, Bambang, et.al., Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, 2008. Qasimi al-, Muhammad Jamal al-Din, Maḥāsin al-Ta’wīl, Juz I, Beirūt: Dār al-Fikr, 1978. Rahman, Afzalur, Subjec Index of Quran, diterjemahkan menjadi Indeks al- Qur'an oleh Yusof bin Ismail, Kuala Lumpur: Penerbit A.S. Noordeen, 2005. Ridhā, Muhammad Rasyīd, Tafsīr al-Manār, Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1978, Jilid I. Sahil, Azahruddin, Indeks Al-Qur’an: Panduan Mudah Mencari Ayat dan Kata dalam Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007. Sarton, An Introduction to the History of Science, Baltimore: 1948. Shihab, M. Quraish, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Sahih, cet. ke-2, Jakarta: Lentera Hati, 2012.
146 | ISSN: 2356-2447-XIII
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di tiap Pesantren Nama Penulis Artikel
________________, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. ke-30, Bandung: Mizan, 2007. ________________, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000. Siswanto, Heni Waluyo, Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang: Kemendiknas, 2009. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya, 1997. Tola, Baso, “Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Pendidikan Islam”, Tesis Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo, 2013. Umary, Barmawie, Materi Akhlak, cet. ke-1, Solo: Ramadhani, 1989. Wali al-, Taufiq Yusuf, al-Hadharah al-Islamiyah Muqaranah bil Hadharah alGharbiyah, cet. ke-2, Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamiyah, 2004. Wan Mohd, Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Nauquib AlAttas, Bandung : Mizan, 1998. Wibowo, Agus, Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Berperadaban, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Karakter Bangsa
Wijaya, Ahsin, Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Yusuf, Muhammad, “Membentuk Karakter Melalui Pendidikan Berbasis Nilai”, Disertasi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2013. Zarnuji az-, Burhanuddin, Ta’lim al-Muta’allim Ṭariq at-Ta’allum, Lahore: Published in Maqalat al’-Arshi, 1970. Zarqaniy az-, Abdul Azhim, Manahil al-'Irfan i 'Ulūm al-Qur'ān, Kairo: al-Halabiy, 1980. Jilid I. Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya Dalam Lembaga Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2011. Ahmad Atabik, “Rahasia Pengulangan Redaksi Dalam Surat al-Rahman”, dalam Journal Hermeunetik, STAIN Kudus, Vol. 8, No. 2, Juli 2012. Mardlotillah, Faridatul, “Implementasi Kebijakan Sekolah dalam Upaya Pengembangan Pendidikan Karakter melalui Program Pembiasaan Membaca Al-Qur’an, dalam Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, Vol. 1, No. 2 Juli 2013. Wajdi, Firdaus, Pendidikan Karakter Dalam Islam: Kajian Al-Qur'an Dan Hadis, dalam Journal Studi Al-Qur’an: Membangun Tradisi Berpikir Qur’ani, Jurusan Ilmu Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta, Vol. VI. No 1. Januari 2010. Ahmad Sudrajat,“Pendidikan Karakter” dalam http//.www.Ahmad Sudrajat.com. Akses tanggal 15 Maret 2014. Muhammad Ridwan,” Menyemai Benih Karakter Anak”dalam www.adzdzikro.com Akses tanggal 13 Maret 2014.
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 147
Mukromin, Implementasi Pendidikan Karakter Di Pesantren Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
Wajdi, Firdaus, “Pendidikan Karakter dalam Islam: Kajian Al-Qur'an dan Hadis” “Perbedaan pendidikan karakter denganpendidikan akhlak, pendidikan moral, dan pendidikan nilai” dalam http://www.inilahguru.com/artikel/34-pendidikan/65-apayang-beda-dalam-pendidikan-karakter.html. Akses tanggal 15 Maret 2014
148 | ISSN: 2356-2447-XIII