PESANTREN DAN PEMBENTUKAN MANUSIA KARAKTER Ngainun Naim Dosen STAIN Tulungagung
Abstract
Pesantren does not only function as an institution of education and religion but also as a place to build the students’ character. Character is very important in determining the characteristic of the students’ daily attitude. Pesantren has run the character education for long time even before the discourse of character education is widely being talked about. The education of pesantren is based on the soul of “the living religiousness” that is reflected in during the daily life in the pesantren. Pesantren plays a role in developing the moral value that can be observed from its capability to create religious students with good attitude. The important key of character education developed in pesantren is Kiai’s figure. Kiai is not only as the pesantren’s leader, but also as a role model for his students and society. The role of character education in pesantren can also be viewed from the role of pesantren in social transformation practice.
Abstrak Pesantren bukan hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan agama, tetapi juga pembentuk karakter santri. Karakter penting artinya karena akan menentukan corak perilaku sehari-hari. Jauh sebelum ramai wacana pendidikan karakter, pesantren telah menjalankan pendidikan karakter. Pendidikan pesantren berlandaskan spirit ‘keagamaan yang hidup‘ yang tercermin dalam seluruh sisi kehidupan pesantren sehari-hari. Peran pesantren dalam pengembangan nilai moral ini dapat diamati dalam kemampuannya menjadikan para santri menjadi manusia yang taat beragama dan berakhlak mulia. Kunci penting pendidikan karakter yang dikembangkan di pesantren adalah figur kiai. Kiai bukan hanya pemimpin pesantren, tetapi juga teladan bagi santri dan masyarakat secara luas. Peran pendidikan karakter pesantren secara luas juga dapat dicermati dari peran pesantren melakukan transformasi sosial kemasyarakatan. Kata Kunci: pesantren, pendidikan karakter, kiai, penanaman nilai
5 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
Pendahuluan Indonesia sampai hari ini masih berjuang keras untuk keluar dari kompleksitas persoalan yang ada. Secara umum bisa dinyatakan bahwa salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah merosotnya nilai-nilai moral dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya perilaku menyimpang, seperti korupsi, kolusi, konflik dalam berbagai bidang kehidupan, dan berbagai bentuk perilaku menyimpang lainnya. Banyak pengamat yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia sekarang ini sedang mengalami krisis moral yang akut. Era Reformasi yang sudah berjalan lebih dari 14 tahun ini seharusnya dapat memberikan harapan positif bagi perbaikan kehidupan masyarakat. Rentang waktu sepanjang ini semestinya telah memberikan gambaran mendekati idealitas saat reformasi diperjuangkan. Memang tidak sedikit capaian dan kemajuan yang telah dicapai, tetapi tidak sedikit juga kekecewaan karena banyaknya fenomena yang bermunculan yang bertentangan dengan spirit reformasi. Persoalan yang kompleks juga dialami oleh dunia pendidikan. Banyaknya persoalan yang melanda dunia pendidikan Indonesia sekarang ini mencerminkan lemahnya karakter positif. Kita bisa menyimak pada kasus tawuran pelajar yang semakin hari semakin mengerikan, korupsi di kalangan birokrasi pendidikan, semakin banyaknya guru yang tidak bisa lagi menjadi teladan hingga mewabahnya demoralisasi pelajar. Berkaitan dengan realitas yang semacam itu, tentu saja secara normatif hal mendasar yang harus dilakukan adalah membangun sistem pendidikan yang memungkinkan semakin meningkatnya karakter manusia Indonesia. Pembangunan manusia yang berkarakter merupakan kebutuhan dasar yang tidak boleh diabaikan dalam iklim kehidupan global yang penuh persaingan ini. Terobosan yang paling menggairahkan dari abad ke-21 ini bukan karena teknologi, tetapi karena konsep yang luas tentang apa artinya manusia.1 Pengembangan kualitas manusia memang bukan persoalan yang sederhana dan mudah karena membutuhkan pemahaman yang mendalam dan luas pada tingkat pembentukan konsep dasar tentang manusia serta penghitungan yang matang dalam penyiapan institusi dan biaya. Pendidikan menjadi harapan utama bagi perbaikan kualitas dan karakter manusia Indonesia. Ditinjau dari peran dasarnya, pendidikan 1
Paul Suparno, dkk., Reformasi Pendidikan, Sebuah Rekomendasi (Yogyakarta: Kanisius, 2012), hlm. 13.
6 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
merupakan jalur peningkatan kualitas manusia yang lebih menekankan pada pembentukan kualitas dasar, seperti keimanan, ketakwaan, kepribadian, kecerdasan, kedisiplinan, dan sebagainya. Pendidikan memiliki nilai strategis sebagai investasi bagi masa depan. Secara teori, pendidikan adalah dasar bagi pertumbuhan ekonomi, perkembangan sains dan teknologi, mengurangi kemiskinan, dan peningkatan kualitas peradaban. Pendidikan— jika dikelola secara baik—menyimpan kekuatan luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup, dapat memberikan informasi paling berharga mengenai pegangan masa depan, dan membantu anak didik mempersiapkan kebutuhan hidup yang esensial dalam menghadapi perubahan.2 Senada dengan pendapat di atas, Qomar menyatakan bahwa pendidikan memiliki peranan yang sangat penting—bahkan paling penting—dalam mengembangkan peradaban dan mencapai kejayaan umat manusia.3 Peningkatan mutu atau kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Usaha ini tidak bersifat tentatif, tetapi terus-menerus dan berkesinambungan. Tujuan utama pendidikan adalah menyiapkan anak didik yang berintelektual dan berkarakter. Itulah idealitas yang seyogyanya menjadi perhatian semua pihak yang memiliki kepedulian dalam dunia pendidikan. Dalam kerangka semacam inilah, pesantren memiliki peranan yang signifikan dalam membangun manusia berkarakter. Signifikansi Pendidikan Karakter Abdullah Munir dalam bukunya Pendidikan Karakter membuat sebuah pernyataan menarik, ‖Orang cerdas kerap hanya menjadi pelayan bagi mereka yang memiliki gagasan, dan orang-orang yang memiliki gagasan besar melayani mereka yang memiliki karakter sangat kuat, sementara orang yang memiliki karakter kuat melayani mereka yang
2
Muhajir, As‘aril Muhajir, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 72. 3 Mujamil Qomar. Epistemologi Pendidikan Islam, Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 226
7 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
berhimpun pada diri mereka karakter yang sangat kuat, visi yang besar, gagasan-gagasan yang cemerlang, dan pijakan ideologi yang kukuh‖.4 Kalimat ini penting untuk digarisbawahi karena dari kutipan tersebut kita mengetahui bahwa pribadi yang berkarakter itu tidak hanya cerdas lahir batin saja, tetapi juga memiliki kekuatan untuk mampu membuat orang lain memberikan dukungan terhadap apa yang dijalankannya tersebut. Dengan modal yang mereka miliki, orang yang berkarakter akan memiliki kontribusi penting dalam mewarnai dunia. Karakter yang dimilikinya membuat orang menjadikannya sebagai role model, yakni menjadi teladan bagi orang lain. Pentingnya memiliki kepribadian berkarakter sesungguhnya sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam UU Sisdiknas pasal 3 disebutkan bahwa, ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab‖. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Pendidikan sendiri dimaknai sebagai suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik.5 Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.6 Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, 4
Abdullah Munir, Pendidikan Karakter, Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah (Yogyakarta: Paedagogia, 2010), hlm. 1. 5 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 9. 6
A. Malik Fadjar, (1999), hlm. 75
8 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
secara aktif anak didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih sejahtera dan bermartabat. Ada banyak pendapat mengenai pengertian karakter. Munir mengatakan bahwa karakter secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang artinya ‘mengukir‘. Sifat ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir, tidak mudah usang tertelan waktu atau aus terkena gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda yang diukir itu. Sebab, ukiran melekat dan menyatu dengan bendanya. Ini berbeda dengan gambar atau tulisan tinta yang hanya disapukan di atas permukaan benda. Karena itulah, sifatnya juga berbeda dengan ukiran, terutama dalam hal ketahanan dan kekuatannya dalam menghadapi tantangan waktu. Tulisan dan gambar mudah hilang sehingga tidak meninggalkan bekas sama sekali. Sampai-sampai orang tidak akan pernah menyangka kalau di atas benda yang berada di hadapannya itu pernah terdapat tulisan dan gambar. Dengan demikian, sebuah pola—baik pikiran, sikap, maupun tindakan—yang melekat pada diri seseorang dengan sangat kuat dan sulit dihilangkan disebut sebagai karakter.7 Karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‗positif‘, bukan netral. Jadi, ‗orang berkarakter‘ adalah orang yang mempunyai kualitas moral positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Sementara pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil.8 Pendapat yang lain menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah 7
Abdullah Munir. Pendidikan Karakter..., hlm. 2-3. D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, Mendongkrak Kualitas Pendidikan (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), hlm. 2 8
9 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas. Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan di atas maka pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mengembangkan nilainilai budaya dan karakter bangsa pada diri anak didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Peran Kiai Pesantren merupakan institusi yang memiliki peranan penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Lembaga ini tidak semata mengajarkan ajaran Islam, tetapi juga memiliki peran untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan santri untuk hidup secara sederhana dan bersih hati. Peran membentuk karakter ini secara implisit dapat dicermati dari tujuan pendidikan di pesantren. Menurut Dhofier, tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada para santri bahwa belajar semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Hal ini kemudian diterjemahkan dalam kerangka operasional pesantren yang mengharapkan lulusannya menjadi santri yang mandiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Tuhan. Dengan demikian, selain menjalankan tugas utamanya berupa kegiatan pendidikan yang bertujuan regenerasi ulama, pesantren juga telah menjadi pusat pendidikan yang konsisten dan relatif berhasil dalam menanamkan semangat kemandirian, kewiraswastaan, semangat berdikari yang tidak menggantungkan diri kepada orang lain.9 Peran pesantren dalam pembentukan karakter ini juga dapat dicermati dalam realitas bahwa proses pembelajaran yang berlangsung pada dasarnya merupakan sosialisasi dan internalisasi dari ajaran agama. Hassan Saad menyatakan bahwa nilai-nilai agama dalam kehidupan sosial 9
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 21.
10 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
kemasyarakatan, termasuk dalam kehidupan di pesantren, memiliki pengaruh dalam menentukan sikap seseorang.10 Aspek penting yang memungkinkan efektifnya peran pembentukan karakter ini adalah adanya modeling atau uswatun hasanah. Modeling adalah contoh yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti oleh santri. Modeling ini, menurut Abdurrahman Mas‘ud, lebih dikenal sebagai tasyabbuh, yaitu proses identifikasi diri pada seorang tokoh, yaitu kiai.11 Kiai di pesantren menjadi pusat. Di samping sebagai pendidik dan pengajar, kiai juga merupakan pemegang manajerial pesantren. Kiai disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan, dan memfatwakan kitab kuning. Kiai yang semacam ini yang menjadi panutan bagi para santri. Tidak hanya itu saja, jika kealimannya memang tinggi, masyarakat Islam secara luas juga menjadikan kiai yang alim sebagai rujukan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.12 Kiai yang semacam ini mendapatkan penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa. Kiai tidak semata-mata mengajarkan materi secara teori, tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan hal ini, Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa karena hampir tidak ada bidang kehidupan yang tidak disentuh oleh aplikasi pengajian yang diberikan dari cara-cara mensucikan diri untuk melakukan ibadah ritual, hingga kepada ketentuan prosedural tata niaga yang diperkenankan oleh agama, maka pemberian pengajian oleh sang kiai kepada santrinya sama saja artinya dengan sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap, yang dengan cara penilaian dan orientasinya sendiri. Nilai-nilai yang tercipta dalam bentuk serangkaian perbuatan sehari-hari yang dikenal dengan nama ‖cara kehidupan santri‖. Wawasan untuk mencapai penerimaan di sisi Allah kelak di kemudian hari menempati posisi yang sangat penting dalam tata nilai yang dikembangkan di pesantren. Nilai ini yang disebut sebagai ikhlas yang dalam perkembangannya menjiwai seluruh kehidupan pesantren. 10
Hassan Saad, Bersama Induk Semang: Kearifan Tradisional dan Semangat Kewirausahaan Pedagang Pidie Aceh (Yogyakarta: Relief Press, 2003), hlm. 87. 11 Abdurrahman Mas`ud. 2004. Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LkiS, 2004), hlm. 29. 12 Chozin Nasuha, ‖Epistemologi Kitab Kuning,‖ dalam Marzuki Wahid, Suwendi, dan Saefuddin Zuhri (peny.). Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 264.
11 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
Pesantren, dengan demikian, memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan karakter santri. Pesantren terlibat dalam proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur, yaitu usaha yang dilakukan secara terus-menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan sebagaimana yang diteladankan oleh Nabi Muhammad dan para pewarisnya ke dalam kehidupan pesantren. Unsur selanjutnya adalah disiplin sosial yang ketat di pesantren, yaitu kesetiaan tunggal kepada pesantren untuk mendapatkan topangan moril dari kiai untuk kehidupan pribadinya. Ukuran yang dipakainya guna mengukur kedisiplinan dan kesetiaan seorang santri kepada pesantrennya atau kepada kiai adalah kesungguhan dalam melaksanakan pola kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. Keberadaan kiai sebagai pemimpin pesantren merupakan fenomena yang unik. Disebut unik karena sebagai pimpinan sebuah lembaga pendidikan Islam, kiai tidak sekadar bertugas menyusun kurikulum, membuat peraturan tata tertib, merancang sistem evaluasi sekaligus melaksanakan proses belajar-mengajar yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di lembaga yang diasuhnya, tetapi juga bertugas sebagai pembina dan pendidik umat serta menjadi pemimpin masyarakat. Oleh karena itu, kiai merupakan pemimpin, penjaga, dan pengarah unsur-unsur yang lainnya, sekaligus juga pengamal pertama atas kandungan ‖kitab kuning‖, sebuah buku agama yang pada umumnya diproduksi pada abad pertengahan. Kandungannya sarat dengan pandangan-pandangan keagamaan yang beragam dan nilai-nilai moral ketuhanan (spiritualisme). Ajaran-ajaran berikut nilai-nilai yang terkandung itu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam komunitas pesantren di bawah pengawasan dan bimbingan ketat kiai sepanjang hari dan sepanjang malam. Kiai adalah tokoh sentral dan pemegang otoritas tunggal atas nasib pesantren. Hubungan antara kiai dan santri diibaratkan bagaikana hubungan ayah dan anak. Kiai adalah ayah dan pengasuh para santri dan kemudian komunitas sosial di sekitarnya. Sementara hubungan di antara para santri bagaikan hubungan antarsaudara dalam sebuah keluarga besar. Hubungan di antara kiai dan santri dan antarpara santri begitu akrab dan menyatu. Keakraban ini sangat dimungkinkan mengingat kiai dan santri hidup dalam satu lingkungan tempat tinggal. Pendidikan pesantren boleh dikatakan berlangsung selama 24 jam. Sepanjang waktu tersebut kehidupan para santri sepenuhnya diarahkan untuk mempelajari kitab suci al-Qur‘an, mendalami ilmu pengetahuan, beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan serta
12 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
memperkuat dasar-dasar moralitas keagamaan yang luhur yang populer disebut al-Akhlaq al-Karimah.13 Keberadaan kiai dengan tugas dan fungsi semacam ini mengharuskan dirinya untuk memiliki kebijaksanaan dan wawasan, terampil dalam ilmu-ilmu agama, mampu menanamkan sikap dan pandangan serta wajib menjadi suri teladan sebagai pemimpin yang baik. Bahkan lebih jauh, keberadaan seorang kiai dalam tugas dan fungsinya sering dikaitkan dengan fenomena kekuasaan yang bersifat supranatural, di mana figur kiai sebagai seorang ulama dianggap sebagai pewaris risalah kenabian sehingga keberadaannya nyaris dikaitkan dengan sosok yang memiliki hubungan dekat dengan Tuhan.14 Gelar kiai tidak diperoleh atau diusahakan melalui jalur pendidikan formal, melainkan datang dari masyarakat yang secara tulus memberikan gelar tersebut tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Gelar kiai diperoleh karena nilai lebih yang dimiliki, terutama ilmu, moral, kepribadian, dan kebanyakan didukung oleh pesantren yang dipimpinnya. Oleh karena itu, kiai menjadi patron bagi santri dan masyarakat sekitarnya, khususnya dalam hal kepribadian utama. Sebagai patron, kiai memainkan peranan yang lebih dari sekadar peranan seorang guru. Ia bukan sekadar menempatkan dirinya sebagai pengajar dan pendidik santri-santrinya, melainkan juga aktif memecahkan berbagai persoalan krusial yang ada di masyarakat. Ia memimpin kaum santri, memberikan bimbingan dan tuntunan kepada mereka, menenangkan hati mereka yang sedang gelisah, menggerakkan pembangunan, memberikan ketetapan hukum tentang berbagai masalah aktual, bahkan tidak jarang ia bertindak sebagai tabib dalam mengobati penyakit yang diderita oleh orang yang mohon bantuannya. Maka kiai mengembangan tanggung jawab moral-spiritual, selain kebutuhan material. Tidak berlebihan jika ada penilaian bahwa figur kiai sebagai pemimpin karismatik menyebabkan hampir segala masalah kemasyarakatan yang terjadi di sekitarnya harus dikonsultasikan lebih dahulu kepadanya sebelum mengambil sikap dalam masalah tersebut.15 Sekalipun kiai sering dipandang sebagai seorang pemimpin informal, tetapi kiai dipercaya oleh santri dan masyarakat luas sebagai pribadi yang 13
Muhammad Husein, ―Kiyai, Pesantren, dan Pembentukan Karakter Bangsa,‖ Makalah, ACIS XI di Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2012. 14 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 45. 15 Mujamil Qomar. Epistemologi Pendidikan Islam..., hlm. 29.
13 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
memiliki keunggulan keilmuan dan kepribadian. Oleh karena itulah, dalam kerangka pendidikan karakter, role model kiai ini menjadi faktor signifikan yang memberikan hasil yang lebih baik dalam pembentukan karakter. Pengembangan Nilai Moral Pesantren menjadi institusi yang memiliki peranan signifikan dalam kerangka pendidikan karakter. Jauh sebelum pendidikan karakter disosialisasikan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, pesantren sendiri secara implisit telah mendesain pembelajaran dan tujuan pendidikannya untuk memperkuat karakter para santrinya. Memang pesantren tidak mengenal kata karakter. Tetapi dunia pesantren sesungguhnya telah menjalankan penanaman karakter sejak awal pendiriannya. Hal ini sejalan dengan makna karakter yang dirumuskan oleh Munir, yaitu tidak hanya cerdas lahir batin, tetapi juga memiliki kekuatan untuk menjalankan sesuatu yang dipandangnya benar dan mampu membuat orang lain memberikan dukungan terhadap apa yang dijalankannya tersebut.16 Apa yang berlangsung di pesantren jelas tidak sama persis dengan paparan di atas, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa pesantren tidak hanya membekali santri dengan ilmu semata, tetapi juga menanamkan karakter secara kokoh. Pesantren bukan hanya tempat belajar, tetapi tempat menanamkan nilai dan perilaku kepada para santrinya. Titik tekan pesantren pada aspek kognitif dan penanaman nilaiperilaku ini sejalan dengan pengertian pesantren yang diberikan oleh para ahli. M. Arifien misalnya, mendefinisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memberi pengajaran agama Islam, tujuannya tidak semata-mata memperkaya pikiran santri dengan teks-teks dan penjelasanpenjelasan yang islami, tetapi untuk meningkatkan moral, menghargai nilainilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Di samping itu untuk mempersiapkan santrinya menjadi orang alim dalam ilmu agama serta mengamalkannya di dalam masyarakat.17 Senada dengan rumusan Arifien, Mastuhu memberikan rumusan tentang pengertian pesantren sebagai, ―lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan 16 17
Abdullah Munir. Pendidikan Karakter..., hlm 2-3. M. Arifin, Kapita Selekt..., hlm. 248.
14 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari–hari‖.18 Selain definisi yang dirumuskan oleh Arifien dan Mastuhu, ada banyak definisi pesantren lain yang dibuat oleh para peneliti. Masingmasing definisi dibuat dengan karakteristik yang melakat pada pembuatnya sehingga hasilnya pun bermacam-macam. Namun demikian, dari keragaman definisi pesantren, terdapat titik kesamaan bahwasanya pesantren sejak awal diniatkan untuk mendidik, melatih, dan menanamkan nilai-nilai luhur kepada santrinya tentang moral dan spiritualitas. Beberapa nilai moralitas yang selalu ditekankan dalam ajaran-ajaran di pesantren adalah keikhlasan, kemandirian, kesederhanaan hidup, asketis, menjaga diri, dan nilai-nilai luhur lainnya. Nilai-nilai luhur inilah yang menjadi tujuan pesaantren. Secara lebih terperinci, Dhofier merumuskan bahwa tujuan pendidikan pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan pelajaran-pelajaran agama, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap santri diajarkan agar menerima etika agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah sematamata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.19 Rumusan tujuan pesantren yang dibuat Dhofier tersebut bersifat umum. Qomar secara lebih terperinci merumuskan tujuan khusus pesantren, yaitu: pertama, mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, ketrampilan, dan sehat lahir batin sebagai warga negara yang berpancasila. Kedua, mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia Muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan dinamis. Ketiga, mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa dan negara. 18
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994), hlm. 55. 19 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren..., hlm. 21.
15 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
Keempat, mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/masyarakat lingkungannya). Kelima, mendidik siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental-spiritual. Dan keenam, mendidik siswa/santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.20 Dari rumusan tujuan tersebut tanpak jelas bahwa pendidikan pesantren menekankan pada signifikansi tegaknya Islam di tengah-tengah kehidupan sebagai sumber utama moral yang merupakan kunci keberhasilan hidup bermasyarakat. Agama, menurut W.M. Dixon diyakini sebagai dasar yang paling kuat bagi pembentukan moral dan apabila penghargaan kepada ajaran agama merosot, maka sulit mencari penggantinya.21 Ditinjau dari sisi prosesnya, pembelajaran di pesantren memang memberikan penekanan pada proses pemberian bimbingan untuk pendisiplinan jiwa, atau untuk penggemblengan mental (batin) dan hati, sehingga bisa mengarahkan manusia untuk meraih indahnya akhlak dan tingginya budi pekerti.22 Hal ini berbeda dengan titik tekan sekolah atau lembaga pendidikan selain pesantren yang titik tekannya lebih pada proses transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan. Senada dengan pendapat ini, Zaini menyatakan bahwa di samping sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga sebagai lembaga pembinaan moral. Kedudukan ini memberikan isyarat bahwa pesantren lebih banyak menggunakan pendekatan kultural. Moralitas tidak bisa hanya didekati secara formal-struktural. Dibutuhkan pendekatan lain yang saling melengkapi. Menamamkan moralitas membutuhkan pendekatan yang fleksibel dan sesuai dengan kondisi yang aktual.23 Menurut Karel A. Steenbrink, pesantren tidak hanya dihormati sebagai tempat belajar, tetapi lebih ditekankan sebagai tempat tinggal yang seluruhnya dipenuhi dan diresapi dengan nilai-nilai agama. Segala hal yang dikerjakan di pesantren dilakukan atas landasan kesadaran akan 20
Mujamil Qomar. Epistemologi Pendidikan Islam..., hlm. 6-7. M. Chabib Thoha, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 297. 22 Murtadho Hadi, Tiga Guru Sufi Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), hlm. 7. 23 A. Wahid Zaini, Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogyakarta: LPSM NU DIY, 2005), hlm. 92. 21
16 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
implementasi nilai dan ajaran agama. Hal ini yang menjadikan pesantren sebagai tempat praktik dari ajaran agama dalam seluruh dimensi kehidupan. Belajar tidak semata-mata untuk mendapatkan ilmu tetapi juga bagaimana mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dalam kehidupan sehari-hari.24 Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pesantren merupakan basis pengembangan nilai. Basis pengembangan nilai membawa konsekuensi pada aktualisasi nilai yang dimiliki dalam kehidupan secara luas. Ketika pendidikan karakter menjadi wacana yang kian ramai digulirkan, sesungguhnya pesantren sudah lama menjalankan kegiatan pengembangan karakter. Kinerja pembentukan karakter di pesantren ini dapat berjalan secara lebih baik dibandingkan dengan lembaga pendidikan lainnya karena basis nilai yang dimiliki menjadi satu dalam rangkaian antara teori dengan praktik secara langsung. Pesantren sebagai basis pengembangan nilai ini sesuai dengan rumusan Mastuhu tentang pesantren. Menurut Mastuhu, pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari–hari.25 Hal ini berimplikasi pada spirit ‘keagamaan yang hidup‘ dalam seluruh aktivitas pesantren. Agama sendiri bukan hanya masalah spirit, melainkan telah terjadi hubungan intens antara agama sebagai sumber nilai dan agama sebagai sumber kognitif. Dalam pola relasi ini, agama memiliki dua makna. Pertama, agama merupakan pola bagi tindakan manusia (pattern for behaviour). Dalam hal ini agama menjadi pedoman yang mengarahkan tindakan manusia. Apa yang terjadi dalam kehidupan pesantren adalah agama dalam makna ini. Kedua, agama merupakan pola dari tindakan manusia (pattern of behaviour). Dalam hal ini agama dianggap sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalaman manusia yang tidak jarang telah melembaga menjadi kekuatan mistis.26 Spirit ‘keagamaan yang hidup‘ ini tercermin dalam seluruh sisi kehidupan pesantren sehari-hari. Peran pesantren dalam pengembangan nilai moral ini dapat diamati dalam kemampuannya menjadikan para santri 24
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 16. 25 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren ..., hlm. 55. 26 Roibin, Relasi Agama & Budaya Masyarakat Kontemporer (Malang: UIN Maliki Press, 2009), hlm. 75.
17 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
menjadi manusia yang taat beragama dan berakhlak mulia. Hal inilah yang kurang mendapatkan perhatian dari lembaga pendidikan non-pesantren. Padahal, persoalan moral ini sekarang menjadi persoalan serius yang harus dihadapi oleh berbagai lembaga pendidikan sekaligus menjadi salah satu problem dalam perkembangan pendidikan nasional. Merosotnya akhlak sesungguhnya berkaitan dengan berbagai faktor penyebab. Namun banyak pengamat yang melihat bahwa penyebab yang utama adalah globalisasi.27 Aspek penting yang seharusnya dilakukan adalah mencari langkahlangkah teknis dan strategis untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya kemerosotan moral yang lebih parah. Pendekatan dan metode pendidikan merupakan sesuatu yang wajib mendapatkan perhatian secara memadai. Tanpa metode yang tepat, maka seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan nilai-nilai agama ke dalam diri anak didik dengan baik dan berhasil secara memuaskan. Di samping itu, hendaknya penanaman nilai dilakukan pada saat yang tepat sesuai dengan tahapan pendidikan seorang anak. Pesantren menggunakan pendekatan holistik dalam pendidikannya. Hal ini berimplikasi pada semua aktivitas yang dilaksanakan di dalamnya menjadi sebuah kesatuan untuk mengantarkan santri mencapai tujuan yang dicita-citakan. Waktu pendidikan yang berlangsung sepanjang 24 jam setiap harinya memungkinkan pesantren untuk mempunyai kesempatan membekali lebih banyak kepada para santrinya daripada sistem sekolah konvensional yang rata-rata hanya menggunakan waktu 6-7 jam setiap harinya. Selain itu, kehadiran ustadz dan kiai yang mengontrol kehidupan keseharian para santrinya menjadikan pesantren dapat lebih efektif dalam pelaksanaan pembelajaran. Referensi Perubahan Sosial Kemasyarakatan Pesantren memiliki sejarah yang panjang dalam dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut Mujamil Qomar, sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren memiliki akar transmisi sejarah yang jelas. Meskipun terdapat beberapa perbedaan, orang yang pertama mendirikannya dapat dilacak. Di kalangan sejarawan terdapat perselisihan pendapat dalam menyebutkan pendiri pesantren pertama kali. Sebagian menyebut Maulana Malik Ibrahim sebagai pendiri pesantren
27
Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Dalam Keluarga (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hlm. 1.
18 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
pertama di Jawa, ada pula yang menganggap Sunan Ampel dan bahkan Sunan Gunung Jati sebagai pendiri pesantren pertama kali.28 Sejak pertama muncul sampai sekarang, pesantren telah memberikan kontribusi besar terhadap kehidupan agama, pendidikan, sosial, politik, budaya, ekonomi, dan berbagai bidang kehidupan lainnya. Peran ini bukan sebuah apologi tetapi juga didukung oleh berbagai data yang akurat. Abd A‘la menyatakan bahwa karakteristik pesantren yang merupakan kelebihannya terletak pada segala sesuatu yang sudah akrab dengan masyarakat dan perpaduan antara aspek teoretis dan praktis. Apa yang diutamakan untuk diajarkan di dalam institusi pesantren bukan hanya berkaitan dengan pengamalan hukum atau aspek akhlak semata, melainkan juga pemekaran pengertian tentang kehidupan dan hakikat manusia serta kehidupan masyarakat.29 Pesantren mendapat pengaruh dan penghargaan besar yang mampu mempengaruhi seluruh elemen kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktikan misalnya, di Jawa dan Madura, pesantren menduduki posisi strategis di berbagai lapisan masyarakat.30 Dunia pesantren menjadi rujukan masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan. Apa yang dikembangkan oleh dunia pesantren kemudian menjadi role model bagi masyarakat secara luas. Sejarah panjang tersebut sesungguhnya memberikan sebuah kerangka yang jelas bahwa pesantren memiliki peran kuat dalam pembentukan karakter; tidak hanya bagi para santri, tetapi juga bagi masyarakat luas.31 Apa yang dilakukan oleh pesantren adalah memberikan pendidikan, baik kepada para santri maupun kepada masyarakat secara luas. Sejarah kehadiran pesantren sendiri pada awal berdirinya bukan hanya menekankan misi pendidikan, tetapi juga dakwah. Bahkan misi dakwah ini dalam realitasnya yang menandai peran transformasi sosial kemasyarakatannya. Mastuhu melaporkan bahwa pada periode awal, pesantren berjuang melawan agama dan kepercayaan serba Tuhan dan takhayyul. Pesantren tampil membawakan misi agama tauhid.32 28 29
17-18. 12. hlm. 13.
Mujamil Qomar. Epistemologi Pendidikan Islam..., hlm. 7-8. Abd. A`la, Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), hlm.
30
Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 2009), hlm.
31
M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Prasasti, 2003),
32
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren ..., hlm. 47.
19 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
Pesantren pada umumnya berdiri di daerah yang ‖minus‖. Oleh karena itu, pesantren besar yang eksis umumnya harus berjuang melawan kemaksiatan seperti perkelahian, pelacuran, perampokan, perjudian, dan sebagainya. Akhirnya pesantren berhasil membasmi maksiat dan mengubahkan menjadi masyarakat yang aman, tentram, dan rajin beribadah.33 Oleh karena itulah, Tebba menyatakan bahwa pesantren memiliki andil nyata dalam memberikan sumbangan pemikiran bidang pendidikan dan pengembangan masyarakat, membuat berbagai usaha kreatif yang bersifat rintisan, dan memberikan keteladanan dalam berbagai hal kepada masyarakat secara luas.34 Hal inilah yang menjadikan pesantren menjadi referensi perubahan sosial kemasyarakatan. Secara ringkas, Rafik A, dkk merumuskan bahwa letak pesona pesantren yang membuat daya pikat masyarakat adalah pesantren memiliki kriteria konsep pembangunan, yaitu pembangunan kemandirian, mentalitas, kelestarian, kelembagaan, dan etika. Pesona inilah yang menjadikan apa yang dilakukan pesantren memiliki nilai strategis dalam berbagai hal, termasuk dalam kerangka pendidikan karakter.35 Kesimpulan Moralitas masyarakat secara umum berada dalam kondisi memprihatinkan. Ada begitu banyak bukti dan indikator yang menunjukkan betapa telah terjadi degradasi moralitas pada hampir semua bidang kehidupan. Hal semacam ini tidak bisa dibiarkan. Dibutuhkan usaha-usaha kreatif dan strategis untuk mengatasinya. Pendidikan karakter merupakan langkah penting dalam kerangka mengatasi semakin merosotnya moral, khususnya di kalangan pelajar. Melalui pendidikan karakter, diharapkan moralitas para pelajar tetap terjaga dan dapat terbentuk karakter pelajar sebagaimana diharapkan. Jauh sebelum pendidikan karakter menjadi bahan perbincangan, pesantren telah menerapkannya. Model pendidikan pesantren yang tidak hanya menekankan pada aspek kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter menjadi penting untuk dijadikan salah satu referensi penting dalam pengayaan konsep dan implementasi pendidikan karakter. Apa yang telah 33
Mujamil Qomar. Epistemologi Pendidikan Islam..., hlm. 11. Sudirman Tebba, ‖Dilema Pesantren: Belenggu Politik dan Pembaharuan Sosial‖, dalam M. Dawam Rahardjo (ed.). Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun Dari Bawah. Jakarta: P3M, 1995), hlm. 284. 35 Rafik, dkk. ( ), hlm. 2. 34
20 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
dilakukan oleh pesantren penting untuk dikaji kembali agar memperkaya wacana pendidikan karakter. Dengan cara demikian diharapkan pendidikan karakter yang diterapkan memberikan hasil yang semakin optimal. DAFTAR PUSTAKA A‘la, Abd., Pembaruan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006. Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasahada Press, 1993. Arifin, M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994. Ghazali, M. Bahri, Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Prasasti, 2003. Hadi, Murtadho, Tiga Guru Sufi Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012. Khan, D. Yahya, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri, Mendongkrak Kualitas Pendidikan. Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010. Mas‘ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKIS, 2004. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994. Muhajir, As‘aril, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual, Yogyakarta: ArRuzz Media, . 2011. Muhammad, Husein, ―Kiyai, Pesantren, dan Pembentukan Karakter Bangsa,‖ Makalah, ACIS XI di Bangka Belitung, 2012. Munir, Abdullah, Pendidikan Karakter, Membangun Karakter Anak Sejak dari Rumah. Yogyakarta: Paedagogia, . 2010. Nasuha, Chozin, ‖Epistemologi Kitab Kuning,‖ dalam Marzuki Wahid, Suwendi, dan Saefuddin Zuhri (peny.), Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam, Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, 2006. Roibin, Relasi Agama & Budaya Masyarakat Kontemporer. Malang: UIN Maliki Press, 2009. Saad, Hassan, Bersama Induk Semang: Kearifan Tradisional dan Semangat Kewirausahaan Pedagang Pidie Aceh. Yogyakarta: Relief Press, 2003.
21 AL-IFKAR, Volume 1, Nomor 01, Maret 2013: 2337 8573
Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1994. Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1999. Suparno, Paul, dkk., Reformasi Pendidikan, Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius, 2002. Tafsir, Ahmad, Pendidikan Agama Dalam Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996. Tebba, Sudirman, ‖Dilema Pesantren: Belenggu Politik dan Pembaharuan Sosial‖, dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun Dari Bawah. Jakarta: P3M, 1985. Thoha, M. Chabib, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1997. Wahid, Abdurrahman, ‖Pesantren Sebagai Subkultur,‖ dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1995. Zaeni, A. Wahid, Dunia Pemikiran Kaum Santri. Yogyakarta: LPSM NU DIY, 1995.