BAB II METODE BERMAIN KONSTRUKTIF DAN PERKEMBANGAN KEAGAMAAN ANAK
A. Metode Bermain Konstruktif 1. Pengertian Metode Bermain Konstruktif Dalam pengertian umum, metode diartikan sebagai cara mengerjakan sesuatu. Dalam pengertian letterlijk, kata “metode” berasal dari bahasa Greek yang berarti dari “meta” yang berarti “melalui” dan “hodos” yang berarti jalan. Jadi metode berarti “ jalan yang dilalui”.1 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai berikut : “Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.”2 Metode mengandung implikasi bahwa proses penggunaannya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode itu adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan.3 Pengertian bermain adalah melakukan suatu perbuatan untuk menyenangkan hati (dengan alat-alat tertentu atau tidak).4 Sedangkan pengertian Konstruktif adalah bersifat membina, memperbaiki, dan membangun.5 Dengan demikian yang dimaksud dengan Metode Bermain Konstruktif adalah cara bermain yang bersifat membangun, membina, memperbaiki, dimana anak-anak menggunakan bahan untuk membuat sesuatu yang bukan untuk bertujuan bermanfaat, melainkan ditujukan bagi kegembiraan yang diperolehnya dari membuatnya.6 1
H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), cet. III, hal. 97 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), hal. 652 3 H.M. Arifin, Op.cit., hal. 98 4 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hal. 580-581 5 Ibid., hal. 457 6 Elizabeth B. Hurlock, Child Development, Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih, Perkembangan Anak, Jilid I, (Jakarta : Erlangga, 1997), Cet. V, hal. 330 2
12
13
Yang dimaksud konstruktif adalah bahwasanya anak-anak membuat bentuk-bentuk dengan balok-balok, pasir, lumpur, tanah liat, manik-manik, cat, pasta, gunting dan krayon. Sebagian besar konstruksi yang dibuat merupakan tiruan dari apa yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari atau dari layar bioskop atau televisi. Menjelang berakhirnya awal masa kanak-kanak, anakanak sering menambahkan kreatifitasnya ke dalam konstruksi-konstruksi yang dibuat berdasarkan pengamatannya dalam kehidupan sehari-hari.7
2. Teori-teori Permainan a. Teori Rekreasi Teori ini dikembangkan oleh Schaller dan Lazarus, keduanya ilmuwan bangsa Jerman, yang berpendapat bahwa permainan merupakan kesibukan untuk menenangkan pikiran atau beristirahat. Orang melakukan kesibukan bermain bila mereka bekerja ; maksudnya untuk mengganti kesibukan bekerja dengan kegiatan lain yang dapat memulihkan tenaga kembali.8 Maka disebut juga teori pemulihan tenaga.9 Atau disebut juga teori Istirahat.10 b. Teori Penglepasan Teori ini berasal dari Herbert Spencer, ahli pikir bangsa Inggris. Ia mengatakan bahwa dalam diri anak terdapat kelebihan tenaga. Sewajarnya ia harus mempergunakan tenaga itu melalui kegiatan bermain. Kelebihan tenaga itu harus dipergunakan, paling tidak harus dilepaskan dalam kegiatan bermain-main. Dengan demikian dapat mencapai keseimbangan dalam dirinya.11 Teori ini disebut juga sebagai teori kelebihan tenaga (Krachtoverschot-theorie).12 c. Teori Atavistis Teori ini berasal dari Stanley Hall, ahli psikologi bangasa Amerika, yang berpendapat bahwa di dalam perkembangannya, anak melalui seluruh taraf kehidupan umat manusia. Sebelumnya Hackel merumuskan pendapat ini berupa hukum biogenetis. Anak-anak selalu mengulangi apa yang pernah dikerjakan atau diperbuat nenek moyangnya sejak dari masa dahulu sampai kepada keadaan yang sekarang. Karena alasan itulah maka teori ini dinamai atavistis. Dalam bahasa latin, atavus artinya nenek moyang. Jadi atavistis 7
Elizabeth B.Hurlock, Development Psycology A Life-Span Apprroach, Istiwidiyanti, Soejarwo, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta : Erlangga, 1999) Cet. VII, Hal. 122 8 Zulkifli L, Psikologi Perkembangan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002), cet. IX, hal. 39 9 Abu Ahmadi dan Zul Afdi Ardian, Ilmu Jiwa Anak, (Bandung : Armico, 1989), hal. 79 10 Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1996), cet Vii, hal. 29 11 Zulkifli L, Loc. Cit. 12 Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), (Bandung : Mandar Maju, 1995_, cet. V, hal. 118
14
artinya kembali kepada sifat-sifat nenek moyang di masa lalu. Dalam permainan timbul bentuk-bentuk kelakuan seperti bentuk kehidupan yang pernah dialami oleh nenek moyang.13 Hall yang banyak mendengarkan teorinya kepada Rousseau dan Darwin, memandang permainan berdasarkan teori rekapitulasi, yaitu sebagai ulangan (rekapitulasi) bentuk-bentuk aktivitas yang dalam perkembangan jenis manusia pernah memegang peranan yang dominan. Menurut teori rekapitulasi perkembangan individu (ontogenesa) adalah ulangan perkembangan jenis manusia (filogenesa). Menurut Hall permainan merupakan sisa-sisa periode perkembangan manusia waktu dulu tetapi yang sekarang perlu sebagai stadium transisi dalam perkembangan individu.14Teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai tahapan kegiatan bermain yang mempunyai urutan yang sama seperti evolusi mahluk hidup.15
d. Teori Biologis Teori ini berasal dari Karl Gross, seorang bangsa Jerman. Selanjutnya Dr. Maria Montessori, pendidik kenamaan bangsa Italia (18701952), mengembangkan teori biologis ini. Permainan merupakan tugas biologis (hidup atau hayat). Dengan pedoman pendapat itu, permainan di kalangan anak-anak mempunyai persamaan dengan permainan dalam dunia binatang. Permainan merupakan latihan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan kehidupan, juga dianggap sebagai latihan jiwa dan raga untuk kehidupan dimasa yang akan datang.16 Dasar
teori
Groos
adalah
prinsip
seleksi
alamiah
yang
dikemukakan oleh Charles Darwin. Binatang dapat mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai keterampilan yang diperoleh melalui bermain. Bayi yang baru lahir juga binatang mewarisi sejumlah instink yang tidak sempurna dan instink ini penting guna mempertahankan hidup. Bermain bermanfaat untuk mahluk yang masih muda dalam melatih dan menyempurnakan instinknya. Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana latihan dan mengelaborasi keterampilan yang diperlukan saat dewasa nanti.17
13
Zulkifli L., Loc. Cit. F.J. Monks, A.M.P.Knoers, Ontwikkelings Psykologie Inleiding tot de verschillende Deelgebieden, Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1998), cet. 11, hal. 132- 133 15 Mayke S. Tedjasaputra, Bermaian, Mainan dan Permainan Untuk Pendidikan Usia Dini, (Jakarta : PT. Grasindo, 2001), cet. I, hal. 4 16 Zulkifli L., Op.cit., hal. 40 17 Mayke S. Tedjasaputra, Op.cit., hal. 5 14
15
Montessori menyebut permainan ini sebagai latihan fungsi-fungsi. Fungsi-fungsi dilatih
dengan cara berlari-lari, dengan cara berjingkrak-
jingkrak, dan sebagainya. Perasaan senang dalam bermain ini dapat membantu dan mendorong untuk menimbulkan kekuatan-kekuatan yang dibutuhkan.18 e. Teori Psikologi Dalam teori ini berasal dari Sigmund Freud dan Adler, kedua tokoh itu membahas permainan dari sudut pandang psikologi dalam. Menurut Freud, permainan merupakan pernyataan nafsu-nafsu yang terdapat di daerah bawah sadar, sumbernya berasal dari dorongan nafsu seksual. Permainan merupakan bentuk dari pemuasan dari nafsu seksual yang terdapat di komplek terdesak. Sedang menurut Adler, pernyataan nafsu-nafsu yang terdapat di bawah sadar itu sumbernya berasal dari dorongan nafsu berkuasa. Permainan merupakan usaha untuk menutup-nutupi perasaan “harga diri kurang”.19 f. Teori Fenomenologis Profesor mengembangkan
Kohnstamm, teori
seorang
fenomenologi
sarjana
dalam
Belanda
pedagogik
yang
teoritisnya
menyatakan bahwa, permainan merupakan suatu fenomena atau gejala yang nyata, yang mengandung unsur-unsur permainan (spels feer). Dorongan bermain merupakan dorongan untuk menghayati suasana bermain itu. Yakni tidak khusus bertujuan untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, akan tetapi anak bermain untuk permainan itu sendiri. Jadi, tujuan permainan adalah permainan itu sendiri. Dalam suasana permainan itu terdapat : 1) Kebebasan 2) Harapan 3) Kegembiraan 4) Unsur Ikhtiar dan 5) Siasat untuk mengatasi hambatan serta perlawanan.20 3. Jenis- Jenis Permainan H. Zetzer, seorang ahli psikologi bangsa Jerman, meneliti permainan dikalangan anak-anak. Tokoh ini menyebutkan jenis-jenis permainan sebagai berikut : a. Permainan Fungsi
18
Zulkifli L., Loc,cit Ibid, hal. 40 20 Kartini Kartono, Op.cit., hal. 121 19
16
Dalam permainan ini yang diutamakan adalah gerakannya. Bentuk permainan ini gunanya untuk melatih fungsi-fungsi gerak dan perbuatan. b. Permainan Konstruktif Dalam permainan ini yang diutamakan adalah hasilnya, ada pula yang disebut permainan destruktif. Bentuk permainan ini lebih bersifat merusak. c. Permainan Reseptif Sambil mendengarkan cerita atau melihat-lihat buku bergambar, anak berfantasi dan menerima kesan-kesan yang membuat jiwanya sendiri menjadi aktif. d. Permainan Peranan Anak itu sendiri memegang peranan sebagai apa yang sedang dimainkannya. e. Permainan Sukses Dalam permainan ini yang diutamakan adalah prestasi, untuk kegiatan permainan ini sangat dibutuhkan keberanian, ketangkasan, kekuatan dan bahkan persaingan.21 Menurut Drs. Agus Sujanto, jenis-jenis permainan adalah : a. Permainan Gerak atau Fungsi Yang dimaksud adalah permainan yang mengutamakan gerak dan berisi kegembiraan di dalam bergerak. b. Permainan Destruktif Yang dimaksud adalah permainan dengan merusakkan alat-alat permainannya itu. Seakan-akan ada rahasia di dalam alat permainannya dan ia mencari rahasia tersebut. c. Permainan Konstruktif Yang dimaksud anak senang sekali membangun, disusun balokbalok, satu dan sebagainya menjadi sesuatu yang baru dan dengan itu si anak menemukan kegembiraannya. d. Permainan Peranan, atau ilusi Yang dimaksud adalah permainan peranan yang di dalamnya, si anak menjadi seorang yang penting. e. Permainan Reseptif Yang dimaksud adalah apabila orang tuanya sedang menceritakan sesuatu , maka di dalam jiwanya si anak mengikuti cerita dengan menempatkan dirinya sebagai tokohnya. f. Permainan Prestasi 21
Zulkifli L., Op.cit., hal. 42-43
17
Yang dimaksud adalah di dalam permainan itu si anak berlombalomba untuk menunjukkan kelebihannya, baik kelebihan dalam kekuatan, dalam keterampilan maupun dalam ketangkasannya.22
4. Fungsi Bermain Sesuai dengan pengertian bermain yang merupakan tuntutan dan bagi perkembangan anak usia TK, menurut
Hartley, Frank, dan Goldenson
sebagaimana dikutip oleh Moeslichatoen, ada 8 fungsi bermain bagi anak : a. Memainkan apa yang dilakukan oleh orang dewasa b. Untuk melakukan berbagai peran yang ada dalam kehidupan nyata c. Untuk mencerminkan hubungan dalam keluarga dan pengalaman hidup yang nyata. d. Untuk menyalurkan perasaan yang kuat e. Untuk melepaskan dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima f. Untuk kilas balik peran-peran yang biasa dilakukan g. Mencerminkan pertumbuhan h. Untuk memecahkan masalah dan mencoba berbagai
penyelesaian
masalah.23 Sedangkan menurut Hetherington dan Parke bermain juga berfungsi untuk mempermudah perkembangan kognitif anak. Dengan bermain akan memungkinkan anak meneliti lingkungan, mempelajari segala sesuatu yang dihadapinya. Bermain juga meningkatkan perkembangan sosial anak. Dengan menampilkan bermacam-macam peran, anak berusaha memahami peran orang lain dan menghayati peran yang akan diambilnya setelah ia dewasa kelak. Sejalan dengan Hetherington dan Parke di atas, Dworetzky (1990) juga mengemukakan fungsi bermain dan interaksi dalam permainan mempunyai peranan penting bagi perkembangan kognitif dan sosial anak. Fungsi bermain tidak saja dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan sosial, tetapi juga perkembangan bahasa, disiplin, perkembangan moral , kreatifitas dan perkembangan fisik anak. Beberapa fungsi bermain antara lain : a. Mempertahankan keseimbangan b. Menghayati berbagai pengalaman yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari c. Mengantisipasi peran yang akan dijalani di masa yang akan datang d. Menyempurnakan keterampilan-keterampilan yang dipelajari e. Menyempurnakan keterampilan memecahkan masalah f. Meningkatkan keterampilan berhubungan dengan anak lain.24
22
Agus Sujanto, Op.cit., hal. 32 Moeslichatoen R., Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1999), cet. I, hal. 33-34 24 Ibid., hal. 34-36 23
18
B. Perkembangan keagamaan Anak 1. Pengertian Perkembangan Keagamaan Anak Psikologi berasal dari kata Psyche dan Logos, masing-masing kata itu mempunyai arti “jiwa” dan “ilmu”. Psikologi adalah ilmu yang menyelidiki dan membahas tentang perbuatan dan tingkah laku manusia. Dalam usaha memahami psikologi perkembangan, ada baiknya kita ketahui
apa
yang
dimaksud
dengan
perkembangan.
Mulanya
kata
perkembangan berasal dari biologi, kemudian pada abad ke-20 ini kata perkembangan digunakan oleh psikologi. Karena penggunaannya pertamatama dalam biologi , pada masa berikutnya ada ahli-ahli yang menyebut pertumbuhan, disamping kata perkembangan, bahkan ada yang menyebut istilah itu untuk maksud yang sama.25 Menurut Robert G Myers, dalam bukunya “Toward a fair Start For Childern“,
sebagaimana
dikutip
oleh
Washington
P.
Napitupulu,
perkembangan anak tidak sama dengan pertumbuhan, walaupun sebagaimana disarankan pada diskusi sebelumnya, istilah-istilah itu berkaitan dan sering digunakan bergantian. Jika pertumbuhan digambarkan oleh perubahan dalam ukuran, untuk perkembangan dicirikan oleh perubahan di dalam kerumitan dan fungsi.26 Proses perkembangan akan berlangsung sepanjang kehidupan menusia, sedang proses pertumbuhan sering kali akan berhenti bila seorang telah mencapai kematangan fisik.27 Arti perkembangan anak menurut Robert G. Mayers sebagaimana dikutip oleh Washington P. Napitupulu adalah suatu proses perubahan di mana anak belajar menangani taraf-taraf yang semakin rumit tentang gerakan, pemikiran, perasaan (emosi) dan hubungan dengan orang lain.28 Sedangkan arti jiwa agama menurut Zakiah Daradjat adalah pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah orang karena cara seseorang berfikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku, tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi keyakinannya.29 Perkembangan jiwa keagamaan di sini dapat diartikan sebagai proses perubahan keagamaan dalam diri seorang anak terhadap sikap dan tingkah laku karena cara anak tersebut berfikir, bersikap, bereaksi, bertingkah laku, tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya.
25
Zulkifli, Op.cit, hal. 4 Robert G. Myers, Toward a fair Start For Childern, Washington P. Napitupulu , Masanya Untuk Anak- Semasa Kecil: Menuju Awal yang Adil Bagi Anak-anak, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992) hal. 27 27 Hj. Endang Poerwanti, Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didik, (Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), cet. II, hal. 27 28 Robert G Mayers, Loc.cit 29 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 2 26
19
2. Teori-Teori Perkembangan Pengertian teori di sini bukan sebagai lawan praktek, melainkan sebagai anggapan pakar mengenai hakekat perkembangan. Karena sebagai anggapan, maka walaupun mengenai hal yang sama, yaitu perkembangan akan tetapi berbeda-beda antara pakar yang satu dengan pakar yang lain. Adapun beberapa teori yang perlu dikemukakan di sini adalah sebagai berikut : a. Teori Nativisme (Latin, Nativus : Pembawaan). Pelopor Nativisme adalah seorang filosof bangsa Jerman bernama Arthur Schopenhauer (1788-1860). Menurut pendapatnya anak sejak lahir telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut sifat pembawaan. Sifat-sifat itu tidak dapat dirubah dengan pengalaman, lingkungan atau pendidikan.30 Dan sifat bawaan inilah yang akan menentukan wujud keperibadian seorang anak.31 Kelompok atau aliran ini dijuluki aliran Pesimisme atau aliran yang sangat pesimis terhadap hasil pendidikan dan lingkungan dalam menentukan perkembangan, karena bayi lahir seolah sudah menjadi barang jadi, yang tidak dapat diotak-atik dan sama sekali tidak memperhitungkan pengaruh lingkungan, pengalaman, hasil belajar dan pendidikan yang diperoleh anak setelah lahir, sehingga juga tidak memperhitungkan fungsi sekolah atau pengaruh teman. Menurut aliran ini berbagai keistimewaan orang tua akan dapat begitu saja diturunkan kepada anaknya tanpa pendidikan, sementara anak yang sudah berpembawaan buruk, juga tidak akan ada gunanya dididik atau dilatih untuk menjadi baik. Aliran ini tidak dipertahankan mengingat uraiannya kurang bisa dipertanggung jawabkan.32 b. Teori Empirisme (Latin Emperia : Pengalaman). Pelopor yang utama dari faham ini adalah seorang ahli filsafat Inggris yang bernama John Locke (16321704). Faham ini bertentangan dengan faham Nativisme dan berpendapat bahwa anak sejak lahir belum memiliki sifat-sifat pembawaan apapun.33 Dan perkembangan manusia sepenuhnya tergantung pada lingkungan atau pendidikan yang diperoleh. Aliran ini juga disebut dengan Optimisme karena sangat optimis terhadap usaha pendidikan dalam memberi arah perkembangan anak. Ajaran yang terkenal dalam aliran ini adalah “Tabula Rasa” yang berarti meja lilin atau kertas kosong, artinya anak dilahirkan
30
Ahmad Thantowi, Psikologi Perkembangan, (Bandung : Angkasa, 1993), hal. 25 Abu Ahmadi, Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1991), Cet. I, Hal. 21 32 Endang Poerwanti, Nur Widodo, Op.Cit., hal. 55 33 Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 25-26 31
20
dalam keadaan putih bersih, yang dapat diisi apa saja dengan belajar dan pengalaman yang diperoleh.34 c. Teori Konvergensi Konvergensi (Converge : Memusatkan pada satu titik ; bertemu).35 Teori Konvergensi ini dipelopori oleh Louis William Stern (1871-1938) yang juga psikolog dan filosof Jerman. Pendapatnya tentang teori ini adalah bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia adalah integritas antara pembawaan dan lingkungan. Pembawaan tak ada artinya bila tidak didukung pengalaman, kesempatan dan usaha belajar, sebaliknya lingkungan juga tidak bermanfaat bila anak ternyata tidak membawa kecenderungan yang potensial untuk dikembangkan. Adanya teori dan tafsiran tentang kertas putih (tabula rasa) dari teori Empirisme yang diperkenalkan oleh John Locke mendasari keyakinan Ki Hajar Dewantoro sejak tahun 1940-an tentang daya konvergensi antara dasar dan ajar. Dasar adalah kodratnya anak-anak, sedangkan ajar adalah lingkungan pendidikan.36 Disini diutarakan pula tentang pandangan Islam terhadap hereditet dan lingkungan sebagai berikut : 1. Firman Allah SWT
(84 : )اﻹﺳﺮاء... ﻋﻠَﻰ ﺷَﺎ ِآَﻠ ِﺘ ِﻪ َ ﻞ ُ ﻞ َﻳ ْﻌ َﻤ ﻞ ُآ ﱞ ْ ُﻗ Katakanlah, “ Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”.(QS. Al-Isra' ; 84)37 2. Sabda Nabi Muhammad saw :
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﺎﺟﺐ ﺑﻦ اﻟﻮﻟﻴﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﺮب ﻋﻦ اﻟﺰﺑﻴﺪ ﻋﻦ اﻟﺰهﺮى أﺧﺒﺮﻧﻰ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ اﻟﻤﺴﻴﺐ ﻋﻦ أﺑﻰ هﺮﻳﺮة أﻧﻪ آﺎن ﻳﻘﻮل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ آﻞ ﻣﻮﻟﻮد ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ 38 ( اﻟﻔﻄﺮة ﻓﺄﺑﻮاﻩ ﻳﻬﻮداﻧﻪ أو ﻳﻨﺼﺮاﻧﻪ أو ﻳﻤﺠﺴﺎﻧﻪ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ “Diriwayatkan dari Hajib bin al-Walid diriwayatkan dari Muhammad bin Harbi dari Zabidi dari Zuhri menceritakan kepadaku Said bin Musayyaib dari Abu Hurairah bahwasanya dia berkata : Rasulullah SAW bersabda : "Tiap-tiap anak dilahirkan menurut fitrahnya (bakatnya, orang tualah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi)”. (HR. Muslim)
34
Endang Poerwanti, Nur Widodo, Op.Cit., hal. 55-56 Abu Ahmadi, Munawar Sholeh, Loc. Cit. 36 Endang Poerwanti, Nur Widodo, Op.Cit., hal. 56-57 37 R.H.A. Soenarjo, Al- Quran dan Terjemahannya, (Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hal. 437. 38 Imam Muslim, Shohih Muslim juz II, (Beirut Libanon: Darul Kutub al-Alamiyah), hal. 458. 35
21
3. Prinsip-Prinsip Perkembangan Ciri-ciri perkembangan menunjukkan gejala-gejala yang secara relatif teratur, sehingga terjadi adanya pola-pola
perkembangan yang
sistematis. Atas dasar itu maka para ahli merumuskan dalam bentuk prinsip perkembangan. Prinsip-prinsip perkembangan itu kadang-kadang juga dipandang sebagai hukum-hukum perkembangan. Beberapa prinsip-prinsip perkembangan yang perlu dibicarakan di sini adalah : a. Perkembangan fungsi-fungsi jasmaniah dan fungsi-fungsi rohaniah berlangsung dalam proses satu kesatuan yang menyeluruh (integral). b. Setiap
individu
mempunyai
kecepatan
sendiri-sendiri
dalam
perkembangannya. c. Perkembangan seorang individu, baik keseluruhan, maupun setiap aspeknya, kelangsungannya tidak konstan, melainkan berirama. d. Proses perkembangan itu mengikuti pola tertentu e. Proses perkembangan berlangsung secara bersambungan atau kontinyu. f. Antara aspek perkembangan yang satu dengan ayang lain saling berkaitan atau saling berkorelasi secara bermakna. g. Perkembangan berlangsung dari pola-pola yang bersifat umum ke polapola yang bersifat khusus.39 Elizabeth
B.
Hurlock
dalam
bukunya
perkembangan
anak
menjelaskan bahwa prinsip-prinsip perkembangan tersebut meliputi : a. Perkembangan
melibatkan adanya perubahan yang bersifat progresif,
yang bertujuan agar manusia dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan dengan cara realistis diri dan pencapaian genetik.40 b. Perkembangan awal lebih kritis dari perkembangan selanjutnya. Perkembangan merupakan proses kontinum, di mana perkembangan sebelumnya akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Maka kesalahan ataupun gangguan pada perkembangan awal akan terus mempengaruhi perkembangan-perkembangan berikutnya. Kondisi yang mempengaruhi perkembangan awal adalah hubungan pribadi yang menyenangkan, keadaan emosi, metode melatih anak, peran yang dini, struktur keluarga di masa kanak-kanak serta rangsangan lingkungan41. c. Perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar. Dalam kehidupan sering sulit dibedakan antara perubahan yang merupakan hasil belajar dengan perubahan karena kematangan, hasil dari keduanya sering terintegrasi. Hanya dapat ditandai bahwa perubahan karena belajar
39
Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 30 - 32 Elizabeth B. Hurlock, Op.Cit., hal. 23 41 Ibid., hal. 25-27 40
22
diperoleh dengan usaha sadar atau latihan. Pengaruh hubungan antara kematangan dan belajar adalah sebagai berikut : 1. Variasi pola perkembangan. 2. Kematangan membatasi perkembangan. 3. Batas kematangan yang dicapai. 4. Hilangnya kesempatan belajar membatasi perkembangan. 5. Rangsangan diperlukan untuk perkembangan sempurna. 6. Keefektifan belajar tergantung pada ketepatan waktu.42 d. Pola perkembangan dapat diramalkan. Karena pola perkembangan manusia mengikuti pola umum, maka dengan melakukan pengamatan longitudinal sejak awal perkembangan anak, akan dapat diramalkan pola perkembangan berikutnya baik yang menyangkut pertumbuhan fisik ataupun perkembangan psikis43. e. Pola perkembangan mempunyai karakteristik yang dapat diramalkan, tidak hanya pola perkembangan yang dapat diramalkan, juga karakteristik tertentu dari tingkat perkembangan yang bisa diramalkan, baik dalam hal ukuran, dan kapan kematangan atau sering disebut dengan masa peka (masa yang paling tepat untuk mengembangkan kemampuan tertentu) akan muncul, perencanaan pendidikan, kesiapan untuk tahap berikutnya, perencanaan pekerjaan maupun untuk kepentingan adopsi.44 f. Terdapat
perbedaan
individu
dalam
perkembangan.
Meskipun
perkembangan manusia mengikuti pola umum namun tempo dan irama perkembangan bersifat individual, pemahaman terhadap perbedaan irama dan tempo yang individual ini, bisa dipakai untuk landasan dalam menentukan harapan yang berbeda, dengan individualitas (perlakuan yang berbeda), pendidikan anak harus bersifat perseorangan, serta meramal adalah sulit.45 g. Pada setiap periode perkembangan terdapat harapan sosial. Harapan sosial sering dipakai oleh kelompok masyarakat sebagai kriteria untuk menetapkan apakah perkembangan seseorang termasuk perkembangan yang normal atau tidak. h. Setiap bidang perkembangan mengandung bahaya yang potensial. Walaupun pola perkembangan bergerak normal, selalu perlu diwaspadai adanya gangguan baik yang berasal dari dirinya sendiri ataupun lingkungan. Gangguan akan dapat mempengaruhi penyesuaian phisik, psikhologis maupun sosial, akibatnya secara tidak sengaja memungkinkan anak mengubah pola perkembangan, sehingga menghasilkan daerah Ibid., hal. 28-29. Ibid., hal. 31. 44 Ibid., hal. 33. 45 Ibid., hal. 35-37. 42 43
23
mendatar atau bahkan menurun pada grafik perkembangan anak. Bila tidak diwaspadai hal ini akan merugikan keseluruhan perkembangan anak. i. Kebahagiaan bervariasi pada berbagai periode perkembangan kebahagiaan merupakan pengalaman subyektif yang tidak mungkin digambarkan dengan ukuran dan prosedur obyektif. Subyektifitas rasa bahagia ini menyangkut perbedaan individual yang berbeda antara satu dengan yang lain, juga menyangkut subyektifitas pada setiap tahapan perkembangan.46
4. Periode-periode Perkembangan Cara menyusun atau memberikan periodesasi perkembangan tidak sama antara pakar yang satu dengan yang lain, ini disebabkan oleh perbedaan pandangan yang mendasari cara pembagian itu. Beberapa macam cara pembagian periode perkembangan yang didasarkan pada dasar pandangan yang berbeda misalnya sebagai berikut : a. Periodesasi perkembangan berdasar pada ciri-ciri biologis Yaitu berdasarkan ciri-ciri jasmaniah yang menandai setiap masa pada periode itu. Periodesasi itu dikemukakan oleh Aristoteles (384-322 S.M). Ia membagi ke dalam tiga masa (0-21 tahun) yaitu : 1. Masa anak kecil atau masa bermain (0-7 th) 2. Masa belajar atau masa sekolah rendah (7-14 th) 3. Masa remaja atau masa pubertas, yaitu masa peralihan dari masa anakanak menjadi dewasa (14-21th) b. Periodesasi perkembangan berdasar konsep didaktik Periode ini dikembangkan oleh Amos Comenius, seorang ahli pendidikan bangsa Cekoslovakia (1592-1671) yang termuat dalam bukunya Didactika magna (Didaktik yang agung), sebagaimana dikutip oleh Ahmad Thantowi. Ia membagi perkembangan sejak lahir-usia 24 tahun, dalam empat masa, masing-masing meliputi enam tahunan yaitu : 1. Masa sekolah ibu (Scola Maferna), (0-6 th). 2. Masa sekolah bahasa ibu (Scola Vernacula), (6-12 th). 3. Masa sekolah latin (Scola Latena), (12-18 th). 4. Masa sekolah tinggi (Academia), (18-24 th).47 Rosseau, membagi periodesasi perkembangan menjadi empat masa yaitu : 1. Masa usia asuhan, (0-2 th). 2. Masa pendidikan jasmani dan latihan panca indera, (2-12 th). 3. Masa pendidikan akal, (12-15 th). 5. Masa pendidikan watak dan pendidikan agama.48 46
Ibid., hal. 40-42. Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 34-35. 48 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2000), cet. I, hal. 22. 47
24
c. Periodesasi perkembangan berdasarkan ciri-ciri psikologi Ciri-ciri psikologis adalah ciri-ciri kejiwaan yang menonjol, yang menandai masa pada periode itu. Periodesasi seperti ini dikemukakan oleh Oswarl Kroch. Ciri-ciri psikologis yang ia kemukakan, yang dipandang terdapat pada anak-anak yang pada umumnya adalah pengalaman kegoncangan jiwa yang memanifestasikan dalam bentuk Trotz atau sifat “keras kepala”. Atas dasar ini ia menyusun periode perkembangan menjadi tiga masa yaitu : 1. Masa anak awal ; berlangsung sejak 0-3 tahun. Disebut juga trotz periode pertama, yaitu masa menentang. 2. Masa keserasian sekolah ; berlangsung dari 3-13 tahun, disebut juga trotz periode kedua, yaitu masa keserasian. 3. Masa kematangan ; berlangsung dari usia 13-21 tahun, disebut juga trots periode ketiga, yaitu masa kematangan, dari pada masa krisis.49 d. Periodesasi perkembangan berdasarkan konsep tugas perkembangan. Tugas perkembangan adalah pelbagai ciri perkembangan yang diharapkan timbul dan dimiliki oleh setiap anak pada setiap masa dalam periode perkembangannya. Periodesasi ini dikemukakan oleh Robert J. Harighurt. Dalam bukunya yang berjudul Human Development and Education, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Thantowi. Ia membagi seluruh masa perkembangan menjadi masa sebagai berikut : 1. Masa bayi dan anak-anak (in fancy and Childhood); 0-6 tahun. 2. Masa sekolah atau pertengahan kanak-kanak (Middle Childhood); 6-12 tahun. 3. Masa remaja (Adolascence); 13-18 tahun. 4. Masa dewasa : a. Masa mula dewasa (erly adulthood), 18-30 tahun. b. Masa usia pertengahan (Middle age), 30-55 tahun. c. Masa tua (latter maturity), 55 tahun keatas.50 5. Aspek Perkembangan Keagamaan Anak Usia Prasekolah (Perkembangan Keagamaan Anak Usia Taman kanak-kanak) Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk berkembang. Namun mengenai arah dan kualitas perkembangan beragama anak sangat bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya. Hal ini seperti yang telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad Saw: “ Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orang tuanyalah, anak itu menjadi yahudi, 49 50
Ahmad Thantowi, Op.Cit., hal. 35 Ibid., hal. 36
25
nasrani, atau majusi”. Hadis ini mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan (terutama orang tua) sangat berperan dalam mempengaruhi perkembangan fitrah keberagamaan anak. Jiwa beragamaatau kesadaran beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang direfleksikan ke dalam peribadatan kepadaNya, baik yang bersifat hablumminallah maupun hablumminannas.51 Perkembanganberagama seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembawaan dan lingkungan. a) Faktor Pembawaan (internal) Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah, dan ada juga yang mendapat bimbingan dari para rasul Allah Swt, sehingga fitrahnya itu berkembang sesuai dengan kehendak Allah Swt.52 Keyakinan bahwa manusia itu mempunyai fitrah atau kepercayaan kepada Tuhan didasarkan pada firman Allah surat Ar-Ruum ayat 30 sebagai berikut:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (ArRuum:30)53 b) Faktor Lingkungan (Eksternal) Faktor pembawaan atau fitrah beragama merupkan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada factor luar (eksternal) yang memberikan rangsangan yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal itu adalah lingkungan dimana individu itu hidup. Lingkungan itu adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat. (1) Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan. 51
Syamsu Yusuf LN., Op. Cit., hal. 136 52 Ibid, hal. 137 53 R.H.A. Soenarjo dkk, Op. Cit, hal. 645
26
Dalam hal ini, orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam menumbuhkan fitrah beragama anak.54 Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Sikap anak terhadap pendidikan agama di sekolah sangat dipengaruhi oleh sikap orang tuanya.55 Dalam mengembangkan fitrah beragama anak dalam keluarga, ada beberapa hal yang perlu menjadi kepedulian orang tua yaitu: (a) Karena orang tua merupakan pembina pribadi yang pertama bagi anak, dan tokoh yang diidentifikasi atau ditiru anak, maka seharusnya dia memilki kepribadian yang baik (berakhlakul karimah). (b) Orang tua hendaknya memperlakukan anaknya dengan baik. Karakteristik sikap orang tua yang baik: (1) memberikan curahan kasih sayang yang ikhlas; (2) menghargai pribadi anak; (3) mau mendengar pendapat atau keluhan
anak;
(4)
memaafkan
kesalahan
anak;
(5)
meluruskan kesalahan anak; (6) menerima anak sebagaimana mestinya. (c) Orang tua hendaknya memelihara hubungan yang harmonis antar anggota keluarga. (d) Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan
agama
terhadap anak, seperti: syahadat, sholat, berwudlu, doa-doa, bacaan al-Quran dan lain-lain.56 Pentingnya peranan orang tua dalam mengembangkan fitrah beragama anak ini, dinyatakan dalam surat at-Tahrim ayat 6 sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…..,(at-Tahrim:6)57 ( 2) Lingkungan Sekolah
54
Syamsu Yusuf LN., Op. Cit., hal. 137-138 Zakiah Daradjat,. Op. Cit., hal. 56 56 Syamsu Yusuf LN,. Op. Cit,. hal. 138-139 57 R.H.A. Soenarjo dkk, Op. Cit., hal. 951 55
27
Sekolah merupakan lembaga pendidiksn formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya. Faktor yang menunjang perkembangan fitrah beragama siswa adala: (a) Kepedulian kepala sekolah, guru-guru dan staf sekolah lainnya terhadap pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. (b) Tersedianya
sarana
ibadah
yang
memadai
dan
memfungsikannya secara optimal. (c) Penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler kerohanian bagi para siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin. (3) Lingkungan Masyarakat Yang dimaksud lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau kondisi interaksi social dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama atau kesadaran agama individu.58 Menurut Abin Syamsuddin Makmun sebagaimana yang dikutip oleh Syamsu Yusuf LN, mengemukakan bahwa kesadaran agama pada usia ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: a) Sikap keagamaannya bersifat reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya. b) Pandangan
ketuhanannya
bersifat
anthropormorph
(dipersonifikasikan). c) Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum mendalam)
meskipun
mereka
telah
melakukan
atau
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual. d) Hal ketuhanan dipahamkan secara ideosyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf berfikirnya yang masih bersifat egosentrik (memandang segala sesuatu dari sudut dirinya).59 Hendaknya setiap pendidik menyadari bahwa dalam pembinaan
pribadi
anak
sangat
diperlukan
pembiasaan-
pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan perkembangan jiwanya. karena pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun 58 59
Syamsu Yusuf LN., Op. Cit., hal. 140-141 Ibid, hal. 176-177
28
sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi, karena telah masuk menjadi bagian dari pribadinya.60 Pembiasaan-pembiasaan tersebut diantaranya adalah akhlakul karimah, seperti (a) mengucapkan salam; (b) membaca basmalah pada saat akan mengerjakan sesuatu; (c) membaca hamdalah pada saat mendapatkan kenikmatan dan setelah mengerjakan sesuatu; (d) menghormati orang lain; (e) memberi shodaqoh; (f) memelihara kebersihan. Adapun doa-doa yang diajarkan: (a) doa sebelum makan dan sesudahnya; (b) doa keluar dan masuk rumah; (c) doa mau tidurdan bangun tidur; (d) doa untuk orang tua; (e) doa keselamatan di dunia dan akhirat. Untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada anak pada usia ini, orang tua menyekolahkannya ke TK atau TPA, apabila orang tua tidak mempunyai kesempatan untuk mendidik anak, karena kesibukan bekerja. TK /TPA ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan kesadaran beragama anak, baik menyangkut penghayatan dan pengamalan ibadah
mahdloh
(hablum
minallah)
maupun
hablum
61
minannaas.
Mengenai pentingnya menanamkan nilai-nilai agama kepada anak pada usia ini, Zakiyah Daradjat, mengemukakan bahwa umur TK adalah umur yang paling subur untuk menanamkan rasa agama kepada anak, umur penumbuhan kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan ajaran agama, melalui permainan dan perlakuan dari orang tua dan guru. Keyakinan dan kepercayaan guru TK itu akan mewarnai pertumbuhan agama pada anak.62
C. Metode Bermain Konstruktif dalam Belajar dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Keagamaan Anak. Bermain memberi pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan diri anak, baik secara fisik maupun mental. Beberapa pengaruh bermain bagi perkembangan anak adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Hurlock sebagai berikut : 1. Perkembangan fisik. Bermain berguna untuk mengembangkan otot dan melatih seluruh bagian tubuh. Bermain juga berfungsi untuk menyalurkan tenaga yang
60
Zakiah Daradjat, Op. Cit., hal. 61-62 Syamsu Yusuf Ln., Op. Cit., hal. 177-178 62 Zakiah Daradjat, Op. Cit., hal. 111 61
29
berlebihan yang bila dibiarkan dapat mengganggu kesehatan fisik dan mental anak. 2. Dorongan berkomunikasi. Melalui aktivitas bermain, anak terdorong untuk berbicara dan berkomunikasi dengan teman lain. Dan tanpa disadari anak belajar mengungkapkan pikiran dan perasaannya pada orang lain, serta belajar memahami pembicaraan orang lain. 3. Penyaluran energi emosional yang terpendam Bermain merupakan sarana bagi anak untuk menyalurkan berbagai ketegangan yang disebabkan oleh pembatasan lingkungan terhadap perilaku mereka. Dengan demikian bermain merupakan terapi cepat dan murah bagi pengembalian kondisi psikis anak yang terganggu. 4. Penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan yang tidak terpenuhi Tidak semua kebutuhan dan keinginan anak dapat terpenuhi. Keinginan yang tidak terpenuhi dalam dunia riil dapat dikompensasikan melalui kegiatan bermain. 5. Sumber belajar Melalui kegiatan bermain, anak belajar berbagai hal, baik bersifat fisik maupun pengembangan mental. 6. Rangsangan kreatifitas Dalam bermain, anak bebas memilih dan bebas berekplorasi. Maka bermain dapat mengembangkan kreatifitas anak sedemikian rupa. 7. Perkembangan wawasan diri Dengan
bermain
anak
mengetahui
tingkat
kemampuannya
dibandingkan dengan temannya bermain. Ini memungkinkan mereka untuk mengembangkan konsep dirinya dengan lebih pasti dan nyata. 8. Belajar bersosialisasi dan bermasyarakat Semakin tambah usia, anak akan cenderung bermain semakin banyak teman, dengan demikian secara otomatis anak akan belajar bersosialisasi dan berinteraksi. 9. Belajar standart moral Melalui kegiatan bermain, anak belajar hal-hal yang dapat diterima oleh lingkungan, dan hal-hal yang ditolak. 10. Belajar bermain sesuai dengan peran jenis kelamin Anak belajar di rumah dan di sekolah mengenai apa saja peran jenis kelamin yang disetujui. Akan tetapi, mereka segera menyadari bahwa mereka juga harus menerimanya bila ingin menjadi anggota kelompok bermain. 11. Perkembangan ciri keperibadian yang diinginkan
30
Secara pelan dan pasti keperibadian anak akan terbentuk melalui kegiatan bermain.63 Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat ditegaskan pengaruh dari kegiatan bermain yaitu : Secara fisik,Mengembangkan kemampuan otot dan kesehatan tubuh, Secara psikis, Mengembangkan berbagai aspek keperibadian dan sikap mental.64
63
Menurut Alizabeth B. Hurlock yang dikutip oleh Hibana S. Rahman dalam bukunya Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini,PGTKI Press, 2002 hal. 86-89. 64 Hibana S. Rahman, Op.Cit., hal. 89.