276
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 PERKEMBANGAN KEAGAMAAN PADA ANAK USIA DINI
Erwin Suryaningrat Abstract; Guiding early children by educating religious is very important because some theories said that children who was born are not religions people. That’s why it is needed guiding from parent and environment. High ability of children’s learning and easy to adopt from environment are the vest way to help them to educate religion in early children. Kata Kunci: Perkembangan keagamaan, anak A.
PENDAHULUAN Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik maupun psikis.i
Walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten.ii Potensi yang dibawa ini hanya memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada tahun permulaan.iii Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini perlu diarahkan pada peletakan dasar-dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya. Sebagai dasar pembentukan pribadi yang utuh, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.iv Fitrah, merupakan salah satu kelebihan manusia yang diberikan oleh Allah untuk mengenal-Nya dan melakukan ajaran-Nya. Dengan kata lain bahwa manusia dikaruniai insting yang religius (naluri beragama). Fitrah beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk berkembang. Namun, mengenai arah dan kualitas perkembangan beragama anak sangat bergantung kepada proses pendidikan yang diterimanya.v Membimbing anak usia dini dengan meletakkan pondasi keagamaan sangatlah penting karena beberapa pendapat mengemukakan bahwa anak dilahirkan bukan merupakan makhluk yang religius. Hal ini menunjukkan bahwa anak perlu bimbingan dari orang tua dan lingkungan sekitar. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang pemaknaan agama pada anak yang meliputi tingkat perkembangan keagamaan dan sifat agama pada anak.
276
Erwin Suryaningrat, Perkembangan Keagamaan Pada Anak Usia Dini
277
B. PEMBAHASAN 1.
Agama Masa Kanak-kanak Para ahli psikologi dari madzhab psikoanalisis, behavioristis, dan humanis
sepakat bahwa masa bayi dan kanak-kanak merupakan masa awal yang sangat penting dan membawa pengaruh terhadap kepribadiannya. Pada tahun-tahun awal hidupnya diisi dengan usaha menemukan keberadaannya yang berbeda dengan keberadaan orang lain. Melalui interaksi, manusia berusaha memperoleh identitasnya, dan setidaknya ada tiga faktor penting pada masa kanak-kanak mengenai identitas : a.
Masa kanak-kanak merupakan masa episode perubahan yang dramatis. Setelah trauma kelahiran, kanak-kanak berjuang untuk menemukan siapa diri
mereka di dunia. Anak-anak berjalan dalam gejolak badai dan ketenangan, rasa tertekan dan rasa diteguhkan kembali, yang datang bergantian. Pola ini kerap memberi kerangka bagi perkembangan religious awal. Orang tua, dengan dukungan lembaga keagamaan, cenderung merestui saat tenang dan menghukum saat-saat tertekan. Lembaga keagamaan yang bertanggungjawab dalam pendidikan anak-anak, harus memberi kemungkinan pada anak untuk mendapatkan pengalaman perpisahan dan orang tua harus ikut menanggung dengan sabar pengalaman pasang surut tersebut.vi b.
Kemampuan belajar anak yang tinggi penting bagi agama. Selama masa kanak-kanak awal, anak menerima dunia di mana mereka
dilahirkan. Seperti karet busa yang dimasukkan ke dalam air, anak dengan mudah menyerap lingkungan di sekitarnya. Keadaan anak yang mudah menyerap ini melahirkan pandangan bahwa arah hidup yang kuat ditanamkan pada masa awal ini. Agama menangkap kemampuan belajar anak dan berusaha menanamkan pengertian-pengertian agama. Akan tetapi, konsep-konsep keagamaan yang cukup rumit akan mengalami penerimaan dan penolakan. Orang tua dan lembaga keagamaan sebaiknya jangan cepat-cepat berpikir bahwa anak-anak mentaati segala pendidikan keagamaan yang diberikan karena kesadaran mereka atau tahu. Mereka hanya mengucapkan kata-kata dan meniru perbuatan, karena anak-anak belum memiliki kemampuan menilai ide, gagasan, dan pengertian yang
278
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
disampaikan. Akan tetapi, ini bukan berarti bahwa pendidikan agama yang diberikan pada masa kanak-kanak tidak berguna. Berguna, tetapi terbatas pada penyampaian informasi keagamaan yang dapat menjadi bahan pemikiran dan pemahaman anak di kemudian hari, bila anak-anak sudah mampu berpikir sendiri secara kritis. c.
Hal yang paling penting bagi pertumbuhan keagamaan masa kanak-kanak adalah kualitas pengalaman yang berlangsung lama dengan orang-orang dewasa yang berarti dan penting bagi mereka. Dari lingkungan yang penuh kasih sayang yang diciptakan orang tua, lahirlah
pengalaman keagamaan yang mendalam. Dengan berkembangnya hubungan anak dengan orangtuanya, akan penting untuk agama. Hubungan antara orang tua dengan anak mempersiapkan belajar dalam hubungannya dengan Allah. Hubungan orangtua dengan anak memberikan pengaruh pada perkembangan agama pada anak.vii Selama masa kanak-kanak awal, anak-anak hidup pada tingkat rasa, dan baru diberi bentuk kognitif pada saat kemampuan verbal dan konseptual tumbuh. Pengalaman awal dan emosional dengan orangtua berarti merupakan dasar keagamaan dibangun masa mendatang. Mutu afektif hubungan anak-orangtua kerap mempunyai bobot lebih daripada pengajaran dan kognitif yang diberikan di kemudian hari.viii Dalam mengawali penjelasan tentang perkembangan jiwa agama pada masa anak-anak, Clark sebagaimana dikutip oleh Sururin mengajukan dua pertanyaan, pertama, dari manakah timbulnya agama pada diri anak, dan kedua, bagaimanakah bentuk dan sifat agama yang ada pada anak-anak.ix 2.
Timbulnya Jiwa Keagaman Pada Anak Menurut beberapa ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang
religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada bayi manusia itu sendiri. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.x
Erwin Suryaningrat, Perkembangan Keagamaan Pada Anak Usia Dini
279
Menurut tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap sebagai manusia dipandang dari segi bentuk dan bukan kejiwaan. Apabila bakat elementer bayi lambat bertumbuh dan matang, maka agak sukarlah untuk melihat adanya keagamaan pada dirinya. Meskipun demikian, ada yang berpendapat bahwa tandatanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya.xi Jika demikian, apakah faktor yang dominan dalam perkembangan ini? Dalam membahas masalah tersebut perlu dikemukakan beberapa teori tentang pertumbuhan agama atau timbulnya jiwa keagamaan pada anak, yang di antaranya adalah: a.
Rasa Ketergantungan (sense of depende) Menurut Thomas sebagaimana diungkapkan kembali oleh Jalaluddin dan
Ramayulis, manusia dilahirkan memiliki empat kebutuhan, yakni keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalamanpengalaman yang diterimanya dari lingkungan kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.xii b.
Insting Keagamaan Menurut Woodwort, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di
antaranya instink keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Misalnya instink sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk “homo socius”, baru akan berfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi, instink sosial itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan. xiii Pendapat ini mendapat sanggahan dari beberapa ahli dengan mengemukakan argumentasi sebagai berikut: jika anak telah memilki insting keagamaan, mengapa orang tidak menghayati secara otomatis ketika mendengar panggilan azan. Di samping itu, mengapa terdapat perbedaan agama di dunia ini, bukankah cara berenang itik dan
280
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
cara beragama membuat seseorang yang di dasarkan pada tingkah laku instingtif akan sama caranya di setiap penjuru dunia? Menurut
Sururin,
jawaban
permasalahan
tersebut
adalah
dengan
mengajukan hadits Rasulullah Saw:
ِﻛُﻞُ ﻣَﻮْﻟُﻮْدٍ ﯾُﻮْﻟَﺪُﻋَﻠَﻰ اﻟﻔِﻄْﺮَةِ ﻓَﺄَﺑَﻮَاهُ ﯾُﮭَﻮِدَاﻧِﮫِ أَوْﯾُﻨَﺼِﺮَاﻧِﮫِ أَوْﯾُﻤَﺠِﺴَﺎﻧِﮫ Fitrah dalam hadits tersebut tidak diartikan dengan insting, tetapi lebih diartikan sebagai potensi. Jika anak dibiarkan saja tanpa didikan agama dan hidup dalam keadaan tidak beragama, ia akhirnya akan menjadi dewasa tanpa agama. Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dan dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awal mulanya diterima anak secara acuh tak acuh. Akan tetapi setelah ia melihat orang-orang dewasa menunjukkan rasa kagum dan takut terhadap Tuhan, mulailah ia merasa sedikit gelisah dan ragu tentang sesuatu yang gaib yang tidak dapat dilihatnya. Mungkin ia akan ikut membaca dan mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang tuanya. Lambat laun, tanpa disadarinya akan masuklah pemikiran tentang Tuhan dalam pembinaan kepribadiannya dan menjadi obyek pengalaman agamis. Tuhan bagi anak-anak pada permulaan merupakan nama dari sesuatu yang asing, yang tidak dikenal dan diragukan kebaikannya. Tidak adanya perhatian terhadap Tuhan pada permulaan karena ia belum memiliki pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun menyusahkan. Akan tetapi, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang disekelilingnya yang disertai dengan emosi dan perasaan tertentu, timbullah pengalaman tertentu yang semakin meluas dan mulailah tumbuh perhatiannya terhadap Tuhan.xiv Tuhan adalah pemikiran tentang kenyataan luar sehingga hal itu tidak disukai oleh anak yang berusia tiga tahun. Ia butuh penyesuaian diri terhadap kenyataan ini Ia harus menderita dan mengalami pengalaman pahit.xv Pengalaman yang tidak menyenangkan ini merupakan ancaman bagi integritas kepribadiannya. Oleh karena itulah, perhatian anak-anak tentang Tuhan pada permulaan merupakan sumber kegelisahan atau ketidaksenangannya. Untuk itulah, anak-anak sering menanyakan tentang zat, tempat dan perbuatan Tuhan dan pertanyaan lain yang bertujuan untuk mengurangi kegelisahannya.xvi
Erwin Suryaningrat, Perkembangan Keagamaan Pada Anak Usia Dini 3.
281
Perkembangan Agama pada Anak-anak Menurut penelitian Harms perkembangan agama anak-anak melalui beberapa
fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religious on Children yang dikutip oleh Jalaluddin, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anakanak melalui tiga tingkatan, yaitu:xvii a.
The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng). Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3 – 6 tahun. Pada tingkatan ini
konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. b.
The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan). Tingkat dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia adolesense.
Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembagalembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. c.
The Individual Stage (Tingkat Individu). Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi
sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu: 1)
Konsep Ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
2)
Konsep Ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
3)
Konsep Ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri meraka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini seiap tingkatan dipengaruhi oleh factor intern, yaitu perkembangan usia dan factor ekstrem berupa pengaruh luar yang dialaminya.
282
4.
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
Sifat-sifat Agama Pada Anak-anak Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agamaagama tumbuh menjadi pola “ideas concept on authority” Idea keagamaan pada anak hampir sepenuhnya authoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh unsur dari luar mereka.
a.
Unreflective (Tidak Mendalam/Tanpa Kritik) Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya
saja, dan mereka semua merasa dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral. Di usia ini pun anak yang kurang cerdas pun menunjukkan pemikiran yang kreatif. Namun demikian, sebelum usia 12 tahun pada anak yang mempunyai ketajaman berpikir akan menimbang pemikiran yang mereka terima dari orang lain.xviii b.
Egosentris Sifat egosentris ini didasarkan pada hasil penelitian Piaget tentang bahasa
pada anak usia 3-7 tahun. Berbicara bagi anak adalah tidak memiliki arti sebagaimana bicaranya orang dewasa. Bagi anak, bahasa tidak menyangkut orang lain, tetapi lebih merupakan monolog, yaitu merupakan bahasa egosentris, bukan sebagai sarana untuk mengomunikasikan gagasan dan informasi. Demikian juga dengan masalah keagamaan, anak lebih menonjolkan kepentingan dirinya dan lebih menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Sebagai contoh adalah tujuan do’a dan sholat yang mereka lakukan adalah untuk mencapai keinginan pribadi. Mereka minta sesuatu yang diinginkan, minta tolong atas segala yang tidak mampu ia lakukan. Dalam penelitian tentang do’a pada anak usia 5-12 tahun, Spilka menyimpulkan bahwa usia 5-7 tahun, anak secara samar menghubungkan do’a dengan Tuhan atau formula do’a tertentu yang diajarkan orang lain kepada mereka. Pada usia 7-9 tahun, do’a secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak-gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9-12 tahun,
Erwin Suryaningrat, Perkembangan Keagamaan Pada Anak Usia Dini
283
ide tentang do’a sebagai komunikasi antar anak dengan Tuhan mulai tampak. Setelah itu barulah isi do’a beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang lebih bersifat etis.xix c.
Anthromorphis Konsep
anak
mengenai
ketuhanan
pada
umumnya
berasal
dari
pengalamannya. Di saat anak berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai “bagaimana” dan “mengapa” biasanya mencerminkan usaha anak untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalamannya yang bersifat konkrit. Misalnya, Tuhan memberi ganjaran atau hukuman, dengan cepat akan dimengerti anak dan dihubungkan dengan pengalamannya tentang orang tua yang memberi hadiah.xx d.
Verbalis dan Ritualis Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh karena ucapan (verbal).
Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.xxi e.
Imitatif Perilaku keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh
dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memiliki peran penting. Pendidikan keagamaan pada anak tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan atau peragaan yang riil.xxii Penghayatan agama di kalangan anak-anak sebenarnya belum merupakan keseriusan, sebab tingkat perkembangan pikirannya baru pada tahap imitatif. f.
Rasa Heran Rasa heran atau kagum merupakan tanda atau sifat keagamaan pada anak.
Berbeda pada rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindaha lahiriahnya saja. Untuk itu perlu diberi
pengertian
pemikirannya.xxiii
dan
penjelasan
sesuai
dengan
tingkat
perkembangan
284 C.
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 PENUTUP Masa anak-anak dengan berbagai tahap perkembangannya dan dengan
berbagai pengalaman yang diperolehnya akan membawa pengaruh yang amat penting yang terus terbawa sepanjang rentang kehidupannya. Ia berusaha menemukan tempat pribadinya yang ia merasa bahwa keberadaannya berbeda dengan keberadaan orang lain. Kemampuan belajar anak yang tinggi pada masa ini sangat penting bagi perkembangan agama. Keadaan anak yang mudah menyerap lingkungan merupakan arah yang kuat untuk menanamkan pendidikan keagamaan pada masa ini. Meskipun dalam mentaati segala pendidikan keagamaan, mereka hanya mengucapkan kata-kata atau dengan meniru perbuatan-perbuatan orang dewasa. Hal ini bukan berarti bahwa pendidikan yang diberikan pada masa anak-anak tidak berguna. Pendidikan anak-anak akan sangat berguna untuk menyampaikan informasi keagamaan yang dapat menjadi bahan pemikiran, pemahaman, bahkan keterlibatan anak-anak dikemudian hari bila mereka sudah mampu berpikir sendiri. Penulis : Erwin Suryaningrat, M.Hum adalah Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Bengkulu DAFTAR PUSTAKA
i
Jalaluddin & Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Kalam Mulia, 1987), hlm. 23. Lihat pulan dalam Mansur Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009), hlm. 45. ii Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah laten berarti tersembunyi atau terpendam. iii Ibid, hlm. 23. iv Kata pengantar Abdurrahman Mas’ud, dalam Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, vii. v H. Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 136. vi Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, penerj. Agus M. Hardjana (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 11-12. vii Heije Faber, Psychology of religion (SCM Press LTD, 1976), hlm. 191-192. viii Ibid., hlm. 14-15. ix Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 47. x Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi, cet 8 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 65. xi Ibid. xii Jalaluddin & Ramayulis, Pengantar), hlm. 25.
Erwin Suryaningrat, Perkembangan Keagamaan Pada Anak Usia Dini
xiii
285
Ibid. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 43-44. xv Sururin, Ilmu, hlm. 50 xvi Daradjat, Ilmu, hlm. 44. xvii Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi, cet 8 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 66. xviii Sururin, Ilmu, hlm. 58. xix Ibid., hlm. 59. xx Ibid., hlm. 59. xxi Ibid., hlm. 60 xxii Ibid. xxiii Ibid., 61. xiv