BAB II PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Pengaturan Perkawinan Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia berlaku Hukum Perkawinan bagi berbagai golongan suku bangsa di berbagai daerah. Hal ini diatur dalam penjelasan umum nomor 2 dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penggolongan penduduk
diatur
dalam
Pasal
163
Indische
StaatRegeling
(peraturan
ketatanegaraan Hindia), dimana penduduk dibagi menjadi tiga golongan yaitu : golongan eropa, golongan pribumi dan golongan timur asing.12 Hukum perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang .Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagi berbagai golongan penduduk adalah seperti berikut :13 1.
Bagi orang-orang asli Indonesia yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah di resipiir dalam Hukum Adat.
2.
Bagi orang-orang asli Indonesia lainnya berlaku Hukum Adat.
3.
Bagi
orang-orang
Indonesia
yang
beragama
Kristen
berlaku
Huwelijksordonnantie Christen Indonesia ( S.1933 No.74 )
12 13
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 6 Ibid, hal.7
13 Universitas Sumatera Utara
4.
Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia Keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan.
5.
Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia Keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka.
6.
Bagi orang-orang Eropa dan yang disamakan dinamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah hasil dari suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu yang berlaku bagi setiap Warga Negara Republik Indonesia, ini merupakan hasil legislatif yang pertama yang memberikan gambaran yang nyata tentang kebenaran dasar asasi kejiwaan dan kebudayaan “Bhineka Tunggal Ika” yang dicantumkan dalam lambang negara Republik Indonesia, selain sungguh mematuhi falsafah Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 juga merupakan suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berkeTuhanan Yang Maha Esa.14 Dari peraturan inilah lahir pengertian perkawinan yaitu hidup bersama seorang laki-laki dengan perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut.15 Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.16
14
Lily Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Alumni, bandung, 1982, hal.24 15 Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Batu, Cet. Ke-8, Bandung, 1984, hal.7 16 Lily,Op.cit, hal.6
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan UUD 1945, maka UndangUndang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan dilain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. UndangUndang perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.17 Sehubungan
dengan
berlakunya
ketentuan
baru
tentang
Hukum
Perkawinan ini yang secara resmi menghapus berlakunya semua ketentuan tentang perkawinan yang ada sebelumnya, namun pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan sebagai berikut :18Untuk perkawinan dan segala yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas UndangUndang ini maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijke Ordonantie Christen Indonesia 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijke Stbl 1989 No.158) dan peraturan lain yang mengatur perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , dinyatakan tidak berlaku.
17 18
Ibid Ibid
Universitas Sumatera Utara
B. Pengertian Perkawinan Pengertian perkawinan menurut Sayuti Thalib adalah perjanjian yang suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.19 Menurut Imam Jauhari, “Perkawinan merupakan proses hubungan seksual manusia yang harus berjalan dengan kedamaian dengan menghormati hak-hak asasi manusia sebagai insan-insan sederajat antara pria dan wanita, untuk memperoleh kehidupan yang baik di dunia”.20 Perkawinan menurut Subekti adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.21 Menurut Rothenberg dan Blumenkrantz “ Mariage. As it is commonly discussed, refer to a contractual relationship between two persons, one male and one female, arising out of the mutual promises that are recoqnized by law. As a contract, it is generally tequired that both parties must consent to its terms and have legal capacity”.22 Maksudnya bahwa perkawinan pada umumnya merujuk kepada hubungan perjanjian yang nyata antara dua orang yaitu satu pria dan satu wanita yang saling berjanji dan disahkan oleh hukum, sebagai suatu perjanjian, secara umum diperlukan kesepakatan kedua belah pihak untuk memahami hal-hal yang perlu dan memiliki kemampuan hukum.23
19
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, cet. Ke-5, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hal.47 20 Imam Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam poligami, Pustaka bangsa, Jakarta, hal.1 21 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. Ke-26, intermasa, Jakarta, 1994, hal.23 22 Rothenberg and Blumenkrantz, Personal Law, Oenanta : State University of new York, 1984, hal.342 23 Ibid, hal.342
Universitas Sumatera Utara
1. Pengertian Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah : ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.24 Pertimbangannya ialah Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertama ialah Ketuhanan yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan sekadar mempunyai unsur lahiriah/jasmaniah, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.25 Membangun keluarga rapat hubungannya dengan keturunan, yang merupakan pula tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. Apabila defenisi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” di atas kita telah, maka terdapat lima unsur di dalamnya, yaitu :
24
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hal.1 Hilman Adikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Cet. Ke-1, bandung 1990, hal.9 25
Universitas Sumatera Utara
a. Ikatan lahir batin Bahwa ikatan itu tidak cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan tetapi kedua-duanya terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri yang dimulai dengan akad atau perjanjian yang dilakukan secara formal, menurut aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian hubungan hukum itu nyata , baik bagi pihak-pihak itu sendiri atau bagi pihak ketiga. Sebaliknya suatu ikatan batin merupakan ikatan yang tidak kelihatan, tidak formal, tidak nyata, yang hanya bisa dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan ini diukur dengan agama dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. b. Antara seorang pria dan seorang wanita. Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara pria dan wanita , dan selain antara
pria
dan
wanita
tidaklah
mungkin
terjadi.
Sehingga
Soetojo
Prawirohamidjojo menyatakan bahwa dari unsur itu terkadung asas monogami.26 c. Sebagi suami isteri. Seorang pria dengan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami isteri bila ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah, bilamana memenuhi syarat-syarat intern maupun extern. Syarat intern adalah yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan yaitu : kecakapan mereka, 26
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralism dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta, 1986, hal.38
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan mereka, dan juga adanya izin dari pihak yang lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat-syarat extern adalah yang menyangkut formalitas-formalitas pelangsungan perkawinan. d. Melarang perkawinan sesama jenis. Membentuk keluarga di Indonesia harus memenuhi prinsip keTuhanan. Berdasarkan prinsip ideal yang diambil dari penjelasan Undang-Undang Perkawinan menekankan bahwa tidak ada tempat bagi pasangan sesama jenis untuk membentuk sebuah rumah tangga karena hal itu jelas bertentangan nilainilai norma sosial budaya dan agama di Indonesia. Hal ini diharapakan agar tidak ditemukan pelanggaran hukum dan nilai-nilai budaya oleh sebuah keluarga yang baru dibentuk, yang pada akhirnya akan mempersulit pasangan tersebut di hadapan masyarakat dan hukum. e. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Yang dimaksud dengan keluarga disini ialah kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Membentuk keluarga yang bahagia dekat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan itu sendiri, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Untuk mencapai hal ini, maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan.
f. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur batin. Dari rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut, jelas bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting.
2. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat Perkawinan menurut Hukum Adat adalah suatu bentuk hidup bersama yang langgeng lestari antara seorang pria dan wanita yang diakui oleh persekutuan adat dan yang diarahkan pada pembentukan rumah tangga.27 Menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai ‘perikatan perdata’, tetapi merupakan ‘perikatan adat’ dan sekaligus merupakan ‘perikatan kekerabatan dan ketetanggaan’. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.
27
Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak di bawah Umur, Mandar Maju, Malang, 2011, hal.23
Universitas Sumatera Utara
Oleh karenanya Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi dan begitu ia pula menyangkut keagamaan.28 Sebagaimana dikatakan oleh Van Vollenhoven bahwa dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia.29 Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap Hukum Adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.30 Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi yaitu semisal adanya hubungan pelamaran yang merupakan ‘rasan sanak’ (hubungan anak-anak, bujang-gadis). Setelah perkawinan adat itu terjadi maka timbulah hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua maupun kerabat-kerabat menurut Hukum Adat yang bersangkutan, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan, dan kekeluargaan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan. Perkawinan dalam arti “perikatan adat’, walaupun dilangsungkan dalam adat yang berbeda, penyelesaiannya tidak seberat daripada dibandingkan dengan perkawinan
yang
dilangsungkan
dengan
berbeda
agama,
oleh
karena
perbedaannya hanya menyangkut berbeda masyarakat bukan keyakinan.31
28
Hilman Adikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Cet. Ke-3, bandung 2007, hal.8 29 Ibid, hal.8 30 Ibid, hal.8 31 Ibid, hal.10
Universitas Sumatera Utara
3. Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam merupakan norma hukum yang didasarkan pada ajaran agama yang diambil dari Al Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian bahwa perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam tidak boleh bertentangan dengan asas-asas yang ada di dalam Al Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Menurut ajaran Kompilasi Hukum Islam perkawinan itu adalah suatu ikatan batin maupun ikatan lahir selama hidup antara suami dan isteri untuk hidup bersama menurut Syariat Islam dan memperoleh keturunan.32 Hal ini bukan saja mengandung arti adanya suatu persetujuan anatara suami dan isteri, yang dimateraikan dengan hubungan perkawinan melainkan adanya makna religius. Kompilasi Hukum Islam juga memberikan pengertian bahwa perkawinan adalah ‘akad’ (perikatan) antara wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapakan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (Kabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak sah karena bertentangan dengan Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad yang menyatakan ‘tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil’. Kompilasi Hukum Islam menetapkan bahwa sebuah perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan wali pria pengantin perempuan adalah tidak sah. 32
Wila chandrawila S, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, Mandar maju, cet. Ke-1, Bandung, 2002, hal. 67
Universitas Sumatera Utara
Jadi, hal tersebut berarti bahwa perempuan muslim hanya dapat melangsungkan perkawinan dengan bantuan dan kerja sama seorang wali : ayah, kakaknya dan hakim. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikatan perkawinan dalam Islam berarti pula perikatan kekerabatan bukan perorangan. Mas kawin (mahar) menurut pandangan Islam merupakan suatu persyaratan penting untuk dapat melangsungkan perkawinan. Sedangkan besarnya berbeda sesuai situasi dan kondisi. Bahkan nilainya bisa material maupun immaterial. Mahar ini harus dipandang sebagai suatu kewajiban pengantin pria terhadap pengantin wanita yang bukan mengungkapkan nilai ekonominya, akan tetapi nilai cinta kasih dan penghargaan terhadapnya. Harga mahar tersebut tidak perlu dibayarkan secara tunai pada waktu ijab Kabul melainkan dapat dilunasi kemudian hari. Di dalam hal ini terjadilah hutang suami kepada isterinya. Mahar tersebut merupakan hak milik mutlak mitra kawin perempuan Islam.33 Kompilasi Hukum Islam mengharuskan adanya persetujuan bersama sepenuhnya antara kedua belah pihak tentang pelangsungan perkawinan, selain itu kedua belah pihak diharuskan telah mencapai usia akil baligh.
33
Zahri Hamid, Pokok-pokok Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Binacipta, Bandung, 1976, hal.1-47
Universitas Sumatera Utara
C. Syarat-Syarat Sah Perkawinan 1. Syarat-Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi syarat materil dan formil. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat mengenai calon mempelai, sedangkan syarat-syarat formil yaitu menyangkut formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan.34 Untuk memperjelas, maka akan diuraikan tentang syarat-syarat materil dan formil dalam perkawinan secara terperinci, yaitu : a. Syarat Materil Syarat-syarat termasuk dalam kelompok syarat materil adalah : 35 1) Harus ada persetujuan calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)). Syarat ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan kedua calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksud agar supaya setiap orang bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan.
34
Hilman, Cet.Ke-1, Op.cit, hal.9 Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Thaun 1974 tentang Perkawinan (analisis) 35
Universitas Sumatera Utara
Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang Perkawinan ini, dapat dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, yaitu seorang anak harus patuh kepada orang tua untuk dijodohkan yang dianggap tepat menurut kehendak orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya, walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk mengatasi kawin paksa, Undang-Undang Perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar hukum. 2) Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1)). Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan hanya dibenarkan jika pihak wanita sudah mencapai 16 tahun. Ayat (2) menetapkan tentang kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian terhadap pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Dalam hal ini dimana salah seorang atau kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan
oleh
orang
tua
yang
masih
hidup
atau
wali/orang
yang
memelihara/datuk (kakek dan nenek) dari pihak yang akan melakkan perkawinan dengan ketentuan bahwa segala sesuatu sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan bersangkutan tidak menentukan lain.
Universitas Sumatera Utara
3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dal hal tersebut Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan melarang seseorang yang masih terikat perkawinan lain untuk kawin lagi kecuali yan tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4. Pasal 3 ayat (2) yang menentukan bahwa : “Pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4 menetukan : 36 a) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, maka dia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. b) Pengadilan yang dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin pada seorang suami yang akan beristeri dari seorang apabila : 37 (1) Isteri tidak dapat menjalankan kewijibannya sebagai isteri. (2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. (3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam hal ini Wirjono Projodikoro menyatakan : ”Adanya Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan seseungguhnya merupakan akibat dari asas perkawinan yang dianut oleh Undang-Undang Perkawinan ini, yaitu asas monogami. Asas ini dianggap pada masa sekarang sebagai pencerminan dari kehendak masyarakat terutamam di kalangan wanita bahwa dimadu itu dirasakan 36 37
Op.cit, (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Pasal 4, hal 2 Libertus jehani, Perkawinan Apa Risiko Hukumnya?, Forum Shabat, Jakarta, 2008,
hal.34
Universitas Sumatera Utara
lebih banyak melahirkan penderitaan daripada kebahagiaan.”38 Walaupun demikian, pengecualian terhadap asas itu masih dimungkinkan dengan persyaratan seperti yang terurai dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 yang mengharuskan seseorang yang hendak mengajukan permohonan kepada pengadilan harus memenuhi syarat-syarat : 39 1. Adanya persetujuan isteri/isteri-isteri. 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka. Selanjutnya ditentukan dalam pasal 5 ayat (2) tersebut bahwa persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a di atas tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isteri tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 20 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.40 4) Mengenai waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinanya, yaitu : 41 a) Seratus dua puluh hari bila perkawinan putus karena kematian. b) Tiga kali suci atau Sembilan puluh hari bila putus karena perceraian dan dia masih datang bulan. 38
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1974,
hal.37 39
Libertus, Op.Cit, hal.35 Ibid, hal.37 41 Ibid, hal.37 40
Universitas Sumatera Utara
c) Sembilan puluh hari bila putus karena perceraian tetapi tidak datang bulan. d) Waktu tunggu sampai melahirkan bila si janda dalam keadaan hamil. e) Tidak ada waktu tunggu bila belum pernah terjadi hubungan kelamin. Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang menjadi kekuatan hukum bagi suatu perceraian dan sejak hari kematian bila perkawinan itu putusnya karena kematian. 5) Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu : 42 a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas. b) Berhubungan darah garis keturunan ke samping. c) Berhubungan semenda. d) Berhubungan sesusuan. e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagi bibi atau kemanakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. g) Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan tidak menentukan lain (Pasal 10). h) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 9.
42
Ibid, hal.38
Universitas Sumatera Utara
Izin kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin diperoleh dari orang tua yang masih hidup. Bila pun itu tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau bisa juga izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin diminta izinnya ( Pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5).43 Mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya izin dari orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-Undang perkawinan, berlaku sepanjang masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. b. Syarat Formal Syarat-syarat formil yaitu syarat utama sesuai prosedur hukum, meliputi :44 1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. 2) Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. 3) Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masingmasing. 4) Pencatatan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan 43
Ibid, hal.29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang prosedur melangsungkan perkawinan menurut Undang-Undang 44
Universitas Sumatera Utara
dilangsungkan, dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan calon isteri/suami bila seorang atau keduanya pernah kawin (pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, PP No.9 Tahun 1975).45 Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syaratsyarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu syarat formil khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai Pencata Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai dan orang tua calon mempelai serta hari, tanggal, jam, dan tempat akan dilangsungkannya perkawinan (pasal 8 jo pasal 6, 7 dan 9 PP No.9 Tahun 1975). 46 2 . Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Sahnya perkawinan menurut Hukum Adat bagi masyarakat Hukum Adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Kecuali, bagi mereka yang belum menganut agama yang diakui pemerintah seperti halnya sipelebegu (pemuja roh) di kalangan orang batak atau agama kaharingan di kalangan orang Daya Kalimantan maka
45
Ibid, hal 30(Proses Pengumuman dan Pencatatan perkawinan diatur dalam PP No.9 tahun 1975) 46 Hilman, Cet. Ke-1, Op.cit, hal.22
Universitas Sumatera Utara
perkawinan yang dilkukan menurut tata tertib adat/agama mereka adalah sah menurut Hukum Adat setempat.47 Dalam hal ini akan diuraikan tentang syarat-syarat sah perkawinan menurut hukum adat yang terdiri dari syarat material dan syarat formal. a.
Syarat Material Untuk mendeskripsikan syarat material perkawinan menurut Hukum Adat,
di bawah ini akan diangkat hal-hal umum yang dianggap sama di beberapa daerah adat di Indonesia. Keberagaman adat istiadat Indonesia mengakibatkan syarat material perkawinan menjadi berbeda-beda. Dengan demikian akan diuraikan halhal umum yang dianggap sama di beberapa daerah di Indonesia, antara lain : 1) Kesepakatan dari kedua calon mempelai dan kedua orang tua calon mempelai. Bahwa kedua calon mempelai harus sepakat dengan orang tua atau keluarga untuk menyatakan kehendak melaksanakan perkawinan. Kesepakatan untuk kawin tidak semata hanya dari calon mempelai melainkan dari orang tua dan keluarga. Di sebagian daerah pada zaman dahulu masih terdapat kawin paksa yang mengesampingkan kesepakatan dari calon mempelai. Baik oleh karena keadaan kekelurgaan, ekonomi maupun status social yang berbeda jauh. Namun sejalan perkembangan waktu, maka model perkawinan paksa semacam itu sudah jarang ditemui. Untuk itu, kehendak melaksanakan perkawinan, tidak cukup kat hanya dari kedua calon mempelai melainkan restu orang tua dan doa kerabat sangat diperlukan. Supaya dikemudian hari tidak ada timbul sanksi sosial adat dari keluarga (dianggap ‘kwalat’ terhadap orang tua). 47
Hilman, Cet. Ke-3, Op.cit, hal 26
Universitas Sumatera Utara
2) Kecakapan calon mempelai untuk melaksanakan perkawinan yang tidak ditentukan umur pada umumnya. Kematangan pisik dalam adat istiadat tentu ditandai dengan hal-hal konkret. Perubahan pisik secara umum bagi pria maupun wanita. Seperti, perubahan tubuh yang semakin besar, perubahan suara yang lebih besar, menstruasi, dan perubahan-perubahan pisik lainnya. Dalam Hukum Adat pun kecakapan seseorang untuk menikah ditandai dengan kemampuan mencari nafkah, bekerja berat, mempertahankan hidup sendiri dan kelangsungan keluarga. Ketika tanda-tanda itu telah tiba, maka seseorang dianggap cakap untuk melaksanakan perkawinan. Kaitannya dengan batasan umur yang tidak eksplisit adalah bahwa meskipun di beberapa daerah tidak menetapkan umur pada umumnya, tetapi masih ada sebagian daerah yang menetapkan usia pantas bagi seseorang untuk menikah walaupun hal itu bukanlah ketentuan yang mengikat namun sekedar mengatur. 3) Tidak melanggar larangan kawin adat. Larangan kawin adat merupakan suatu fakta hukum adat yang berupa suatu larangan dalam melaksanakan perkawinan adat yang memiliki sanksi bagi yang melanggar. Larangan kawin menurut Hukum adat, yakni : a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas. b) Berhubungan darah garis keturunan ke samping. c) Berhubungan semenda. d) Berhubungan sesusuan.
Universitas Sumatera Utara
e) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagi bibi atau kemanakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. a. Syarat Formal Syarat formal identik dengan tata cara perkawinan adat. Hal ini biasanya sesuai dengan prosedur perkawinan adat setempat. Dengan demikian perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan adat yang dikehendaki oleh calon mempelai dan keluarga. Hal-hal tersebut meliputi : 1) Pernyataan kehendak menikah oleh mempelai ke keluarga, kerabat dan pengetua adat. Mengenai pernyataan kehendak menikah dalam hukum adat, calon mempelai wajib menyampaikan kehendak menikah kepada orang tua dan sanak saudara. Ketentuan ini dianggap sebagai langkah awal untuk mendapat restu dari orang tua masing-masing mempelai agar kemudian disepakati kedua keluarga dan diteruskan ke pengetua adat. Hal ini dimaksudkan supaya kedua keluarga masingmasing mempelai bisa mulai mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan acara adat. Demikian halnya pengetua adat wajib mengetahui kehendak mempelai dan keluarga tersebut. 2) Pemberitahuan oleh keluarga dan kerabat melalui undangan untuk menghadiri pesta perkawinan kepada sanak saudara dan kerabat. Kehendak yang telah disampaikan kepada orang tua masing-masing mempelai dan pengetua adat akan berakibat, dilanjutkannya niat melangsungkan perkawinan kedua calon mempelai dengan mengundang seluruh kerabat/saudara
Universitas Sumatera Utara
yang dianggap berhubungan keluarga dengan masing-masing calon mempelai dan yang dianggap berkepentingan agar menghadiri upacara perkawinan tersebut. 3) Pelaksanaan perkawinan sesuai adat istiadat, agama dan kepercayaan masingmasing. Pelaksanaan perkawinan pada umum disesuaikan dengan adat istiadat yang disepakati oleh kedua calon mempelai, dan sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Perkawinan akan dilaksanakan mengikuti sistem adat istiadat yang disepakati. Tata cara perkawinan adat berbeda-beda di masing-masing daerah dan di sistem kekerabatan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan banyaknya suku bangsa, etnis, dan agama yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu, maka prosedur perkawinan adat wajib diselaraskan dengan Hukum Adat yang telah disepakati kedua calon mempelai beserta keluarga. 3. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sahnya perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia bersifat menentukan. Artinya, apabila perkawinan dilaksanakan tanpa memenuhi ajaran Hukum Islam maka perkawinan tersebut tidak sah. Dalam perjalanannya, maka setiap Warga Negara Indonesia yang beragama Islam wajib melangsungkan perkawinan sesuai ajaran Hukum Islam. Menurut Kompilasi Hukum Islam perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan bunyi Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa “Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan”. Dengan memenuhi syarat-syarat materil sebagai berikut : a. Calon mempelai setidak-tidaknnya mencapai umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.(Pasal 15 ayat (1) dan (2)). b. Adanya persetujuan calon mempelai.(Pasal 16 ayat (1) dan (2)). c. Tidak melanggar larangan perkawinan.(Pasal 39-44). Kemudian calon mempelai harus memenuhi syarat-syarat formil. Syaratsyarat formil tersebut antara lain : a. Perkawinan dilaksanakan di tempat kediaman mempelai, mesjid, atau pun di Kantor Urusan Agama, dengan ijab dan kabul dalam bentuk akad nikah di hadapan dua saksi pria.(Pasal 2). Ijab adalah ucapan ‘menikahkan’ dari wali calon isteri dan Kabul adalah kata ‘penerimaan’ dari calon suami. Ijab ialah pernyataan wali pengantin wanita yang ditujukan kepada pengantin pria, berbunyi : “Saya nikahkan kepadamu anak kandung saya …dengan mahar…” Kabul adalah jawaban pengantin pria : “Saya terima nikahnya….dengan mahar….” b. Mas kawin/mahar (Pasal 30) sangat penting keberadaannya dalam proses perkawinan dalam Hukum Islam sebab mahar harus dipandang sebagai kewajiban pengantin pria.48 Mahar tidak bisa dilihat semata-mata hanya dari nilai ekonominya, melainkan dari nilai cinta kasih dan penghargaan terhadapnya (Pasal 31). Mahar tersebut hak milik mutlak mitra kawin wanita Islam. Pada dasarnya perkataan ijab dan Kabul ijab dan Kabul itu harus 48
Wila, Op.cit, hal.68
Universitas Sumatera Utara
terdengar jelas oleh kedua pihak dan kedua saksi, serta diucapkan dalam waktu yang sama (samen val van momentum).Menurut mazhab Hanafi di antara ijab dan Kabul boleh ada waktu antara, tidak diucapakan dalam waktu yang sama, misalnya hari ini ijab dan kabulnya satu minggu kemudian. Asal saja akad nikah itu dilakukan dalam suatu majelis dan tidak ada halangan yang sifatnya merupakan adanya keingkaran
dari salah satu pihak untuk melakukan
perkawinan itu.49 c. Kemudian syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wali nikah pengantin wanita atau yang menjadi wali nikahnya. Wali itu harus Beragama Islam, sudah dewasa(baligh), berakal sehat dan berlaku adil (tidak fasik).(Pasal 20). Menurut Imam Hanafi, wali itu bukan syarat dalam perkawinan, oleh karena wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat boleh mengawinkan dirinya tanpa wali asalkan perkawinannya dihadiri dua orang saksi. Sedangkan menurut Imam Syafe’I dan Imam Hambali perkawinan tanpa wali tersebut tidak sah, alasannya adalah Hadist Nabi Muhammad SAW mengatakan ‘Tiada nikah melainkan dengan Wali’ dan pada hadist lain dikatakan, ‘Janganlah wanita mengawinkan wanita yang lain dan jangan pula wanita itu mengawinkan dirinya sendiri, oleh karena wanita yang berzina (melacur) mengawinkan dirinya sendiri. d. Syarat-syarat lain yakni, dua saksi dalam akad nikah. Saksi harus beragama Islam, sudah dewasa(baligh), berakal sehat, bisa melihat, bisa mendengar dan memahami tentang akad nikah dan berlaku adil (Pasal 25). Adanya hubungan 49
Hilman, Cet.Ke-3, Op.cit, Hal.28
Universitas Sumatera Utara
darah dengan kedua mempelai bukan hambatan untuk seseorang menjadi saksi dalam akad nikah50. Namun pada kenyataannya jarang sekali ditemukan saksi dalam akad nikah seseorang yang masih memiliki hubungan kekeluargaan yang akrab menjadi saksi. Pada akhirnya suatu ijab kabul menurut Kompilasi Hukum Islam harus dilakukan dengan lisan, kecuali dalam perkawinan orang bisu atau tuli, bisa dengan bahasa isyarat tangan, menganggukkan kepala dengan cara yang dapat dimengerti maksudnya, dengan tulisan dan melalui kuasa. D. Tujuan Perkawinan 1. Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagial dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.51 Tujuan perkawinan seperti yang tersebut dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sangat ideal karena tujuan perkawinan tersebut yang diperhatikan buka segi lahirnya saja tetapi sekaligus juga ikatan batin antara suami isteri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya yang disesuaikan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.52
50
Ibid, hal.28 Hilman, Cet.Ke-1, Op.cit, hal.22 52 Ibid, hal 22 51
Universitas Sumatera Utara
Selain itu diharapkan rumah tangga dapat berlangsung seumur hidup dan perceraian diharapkan tidak akan terjadi. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu, melengkapi dan mengisi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya serta mencapai kesejahteraan spiritual dan material.53 Pembentukan keluarga erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan menurut Unddang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk kebahagian suami isteri untuk mendapatkan keturunan dan menegakkankan keagamaan dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental (keorangtuaan).54 2. Tujuan perkawinan Menurut Hukum Adat Tujuan perkawinan bagi masyarakat adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.55 Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku-suku di Indonesia berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan menurut Hukum Adat berbeda-beda di setiap masyarakat adat di Indonesia. Dengan daerah yang berbeda-beda satu sama lain maka akibat hukum dan upacara perkawinannya pun berbeda-beda. 53
Ibid, hal 22 Ibid, hal.23 55 Hilman,Op.Cit, hal 22 54
Universitas Sumatera Utara
Pada masyarakat kekerabatan adat patrilineal, perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki harus melakukan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan pembayaran uang jujur), dimana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut (masuk) dalam kekerabatan suami dan melepaskan
kedudukan
adatnya
dalam
susunan
kekerabatan
bapaknya.
Sebaliknya, dalam kekerabatan matrilineal maka tujuan perkawinan adalah untuk memepertahankan garis keturunan ibu. Sehingga anak perempuan harus melaksanakan perkawinan ambil suami (semanda) dimana suami akan ikut masuk ke dalam kekerabatan isteri, dan melepaskan kedudukan adat dalam susunan kekerabatan orang tuanya. Namun berbeda halnya dengan masyarakat adat yang bersifat parental dimana ikatan kekerabatannya sudah lemah seperti di kalangan orang Jawa dan juga bagi mereka yang melakukan perkawinan campuran anatar suku bangsa atau antara agama yang berbeda, upaya mempertahankan garis keturunan tidak begitu kental terlihat. 3. Tujuan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk menegakkan agama, memelihara keturunan, mencegah maksiyat dan untuk membina keluarga rumah tangga yang damai dan teratur. Menegakkan Agama Allah memiliki arti bahwa setiap orang harus mentaati semua perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Allah telah menjadikan manusia hidup berpasangan, maka hendaknya manusia itu bisa hidup bersama atas dasar kasih sayang, sehingga dengan mendirikan sebuah rumah tangga lewat perkawinan maka ajaran Agama Allah telah dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara
Begitu pula dengan tujuan mendapatkan keturunan yang sah. Perkawinan yang sah akan menghasilkan keturunan yang sah di hadapan Allah. Nabi Muhammad SAW menyatakan ‘Kawinlah dengan orang yang dicintai dan yang berkembang (berketurunan). Supaya keturunan itu sah maka perkawinan harus dilaksanakan secara sah menurut Hukum Islam. Tujuan perkawinan untuk mencegah maksiyat atau pun terjadinya perzinahan dan pelacuran sebagaimana. Nabi Muhammad SAW berseru kepada generasi muda berdasarkan jamaah ahli hadist. “Hai para pemuda, jika di antara kamu mampu dan berkeinginan untuk kawin, hendaklah kawin. Karena sesungguhnya perkawinan itu memejamkan mata terhadap orang yang tidak halal dipandang, dan akan memeliharanya dari godaan syahwat jika tidak mampu untuk kawin hendaklah berpuasa, karena dengan puasa hawa nafsu terhadap wanita akan berkurang”. Dengan demikian tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam merupakan perkara yang harus dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai Al Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. E. Larangan Perkawinan 1. Larangan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Larangan perkawinan menurut Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu : 56 a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas. 56
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Op. cit, hal.38
Universitas Sumatera Utara
b. Berhubungan darah garis keturunan ke samping. c. Berhubungan semenda. d. Berhubungan sesusuan. e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagi bibi atau kemanakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. g. Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan tidak menentukan lain (Pasal 10). h. Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 9.
Selain itu, larangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sesuai dengan interpretasi dari pengertian perkawinan, maka perkawinan oleh sesama jenis tidak diperbolehkan di Indonesia. Aturan perundang-undangan tidak mengakomodir hubungan hukum yang dilakukan oleh pasangan sesama jenis. 2. Larangan Perkawinan Menurut Hukum Adat Pada umumnya larangan perkawinan yang dituangkan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bertentangan dengan Hukum Adat yang berlaku di berbagai daerah di Indonesia, namun masih ada halhal yang berlainan karena pengaruh struktur masyarakat adat yang unilateral,
Universitas Sumatera Utara
apakah menurut garis patrilineal ataupun matrilineal, dan mungkin juga pada masyarakat yang bilateral di pedalaman. Istilah larangan dalam Hukum Adat yang biasa dipakai ialah ‘sumbang’, ‘pantang’, ‘pamali’, dan lain sebagainya. Kenyataan umum yang biasa dilihat adalah pada pelaksanaan sistem eksogami marga dan endogami marga. Sistem ini merupakan larangan perkawinan dengan semarga, sekampung walaupun beda suku, dan sesuku dalam satu nagari.57 3. Larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam. Larangan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam tertuang dalam isi pasal 39-44 KHI. Di bawah ini akan diuraikan sebagai berikut, yaitu : a. Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : 1) Karena pertalian nasab : a) Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya. b) Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu. c) Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 2) Karena pertalian kerabat semenda : a) Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya. b) Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.
57
Hilman, Op. cit, hal.60
Universitas Sumatera Utara
c) Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul. d) Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya. 3) Karena pertalian sesusuan : a) Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas. b) Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. c) Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah. d) Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. e) Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
b. Pasal 40 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu: 1) Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. 2) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. 3) Seorang wanita yang tidak beragama Islam. c. Pasal 41 1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya : a) Saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya.
Universitas Sumatera Utara
b) Wanita dengan bibinya atau kemenakannya. 2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah. d. Pasal 42 Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempatempatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i. e. Pasal 43 1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria : a) Dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali. b) Dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an. 2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya. f. Pasal 44 Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
F. Pencegahan Perkawinan 1. Pencegahan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetukan bahwa perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak-pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat
untuk
melangsungkan
perkawinan.
Pencegahan
perkawinn harus didasarkan pada alasan-alasan yang ditentukan oleh UndangUndang. Alasan-alasan mengajukan pencegahan perkawinan diantaranya karena : 58 a.
Calon mempelai masih di bawah pengampuan
b.
Salah satu calon mempelai atau keduanya belum cukup umur.
c.
Adanya larangan perkawinan.
d.
Terjadinya cerai berulang.
e.
Dan tidak dipenuhinya tata cara perkawinan. Pencegahan perkawinan diatur dalam Bab II Undang-Undang Perkawinan,
Pasal 13 sampai dengan Pasal 21. 59 Pihak-pihak yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan adalah : 60 a. Para pihak yang garis lurus ke atas dan ke bawah. b. Saudara. c. Wali nikah. d. Wali pengampu. e. Pihak-pihak yang berkepentingan. f. Mereka yang masih terikat dalam perkawinan. 58
Hilman, Cet.Ke-1, Op.cit, hal.72 Wahono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Cet.Ke-2, Fak. Hukum Universitas Indonesia Jakarta, 204, hal.40-41 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hal.5-6(pihak-pihak yang dapat mengajukan perkawinan) 59
Universitas Sumatera Utara
g. Pejabat yang ditunjuk (pasal 7 ayat 1 dan pasal 8 UU No.1 Tahun 1974). Apabila suatu perkawinan dilaksanakan secara sah berdasarkan Hukum Adat dan Hukum Agama, hanya saja tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Perkawinan ini, maka perkawinan itu tidak termasuk yang harus dicegah jika pasangan perkawinan tidak ada masalah dalam perkawinannya.61 Pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama untuk perkawinan secara Islam dan ke Pengadilan Negeri untuk perkawinan di luar Islam, dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan. 2. Pencegahan Perkawinan Menurut Hukum Adat. Dalam masyarakat Hukum Adat tidak mengenal lembaga pencegahan perkawinan layaknya seperti dalam Undang-Undang Perkawinan. Orang tua pada umumnya tidak mau membawa persoalan perkawinan ke pengadilan atau kantor. Hal ini dikarenakan bahwa upaya damai adalah hal biasa yang ditempuh untuk menyelesaikan persoalan. Selain
itu
masyarakat
hukum
adat
yang
berbeda-beda
sistem
kekerabatannya memiliki cara yang berbeda-beda pula dalam menyelesaikan permasalahan terhadap lembaga perkawinan, ada yang menganut semenda dan ada yang bebas (mencar , mentas). Hukum adat tidak melarang poligami atau terjadinya cerai kawin berulang dan tata cara perkawinan yang berlaku adalah menurut adat istiadat masing-masing.
61
Hilman, Op.Cit, hal.72
Universitas Sumatera Utara
Pencegahan perkawinan menurut Hukum Adat merupakan kasuistis, dimana pencegahan perkawinan biasanya terjadi apabila ada perbedaan agama, suku bangsa, kasta keturunan, perbedaan martabat adat, adanya larangan adat misal kawin semarga dalam adat batak, larangan bepindah agama dalam adat bali, kawin lari, dan perselisihan pembayaran uang jujur dan sebagainya.62 Semisal dalam kasus kawin lari maka orang tua perempuan boleh mengajukan keberatan atas ketidaksediaan anak perempuannya dibawa lari oleh pihak laki-laki melalui kepala adat dan alat negara. Namun hal ini jarang terjadi, kecuali dengan paksa dibawa kawin lari oleh si laki-laki padahal si perempuan tidak berkenan. 3. Pencegahan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam. Pencegahan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam memilki ketentuan tertentu. Dalam Pasal 60-69 KHI diatur mengenai pencegahan perkawinan. Lembaga pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari perkawinan yang dilarang oleh Hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan. Pada dasarnya pecegahan perkawinan dilakukan apabila calon suami isteri tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan. Suatu perkawinan tidak bisa dilaksanakan sepanjang pencegahan perkawinan belum dicabut(Pasal 66). Artinya, bahwa calon suami isteri tersebut belum memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang ditentukan oleh Hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan. 62
Ibid , hal.71
Universitas Sumatera Utara
Pencegahan perkawinan dapat diajukan oleh keluarga garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, wali nikah, wali pengampu, dan pihak-pihak yang bersangkutan(Pasal 62). Pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama dan diputuskan oleh Pengadilan Agama. Apabila ada pihak-pihak yang ingin mencabut kembali permohonan pencegahan perkawinan dan ingin melanjutkan perkawinan maka Pegawai pencatat Nikah akan terlebih dahulu memeriksa perkara tersebut untuk dilanjutkan atau tidak.
G. Pembatalan Perkawinan 1. Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat Undang-Undang dapat dibatalkan keabsahannya. Perkawinan anak dibawah umur tidak memenuhi syaratsyarat dalam Undang-Undang Perkawinan, karena melanggar batas umur seperti yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Selain itu, dalam pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa seorang suami isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila :63 a. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. b. Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami isteri. 63
Libertus Jehani, Perkawinan Apa Risiko Hukumnya, Forum Sahabat, Jakarta, 2008,
hal.40-41
Universitas Sumatera Utara
Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke pengadilan daerah hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami isteri (pasal 25 Undang-Undang Perkawinan).
Dalam pasal 23 Undang-Undang Perkawinan disebutkan pihak yang dapat membatalkan perkawinan yaitu : 64 a.
Para keluarga dalam garis keturunan yang lurus ke atas dari suami atau isteri.
b.
Suami atau isteri.
c.
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum putus.
d.
Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara lansung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah pekawinan itu putus.
2 . Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Adat Pada umumnya masyarakat Hukum Adat Indonesia tidak mengenal lembaga pembatalan perkawinan, oleh karena pada dasarnya Hukum Adat tidak berpegang pada persyaratan kawin yang memerlukan adanya persetujuan kedua calon mempelai dan batas umur. Yang dikenal adalah oleh karena pengaruh agama yang dianut, yaitu larangan perkawinan sedarah, berhubungan semenda, hubungan sesusuan dan hubungan kekerabatan (klen). Pada masyarakat adat telah mendarah daging bahwa pembatalan perkawinan adalah sesuatu yang pantang dilakukan. Pembatalan perkawinan 64
Ibid
Universitas Sumatera Utara
berarti mencoreng martabat keluarga/kerabat. Sebab jika terjadi pembatalan perkawinan dalam masyarakat adat maka si gadis tersebut telah berstatus janda. Janda memiliki nilai yang rendah di kalangan masyarakat adat,seperti sulit untuk mendapatkan pasangan. Sebagian kalangan masyarakat adat di Indonesia memilki prinsip berbeda, yaitu bahwa apabila perkawinan dianggap tidak baik maka perceraian dapat ditempuh. Masyarakat adat tersebut antara lain, Jawa, melayu, minangkabau dahulu, dan kalangan minahasa yang membolehkan ‘hidup bersama’.65 3. Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam. Hukum Islam lewat Kompilasi Hukum Islam jelas menganut asas poligami terbatas mengenal lembaga pembatalan perkawinan(Pasal 70-76 KHI). Apabila suami isteri atau keluarga ternyata tidak dapat rukun dalam hidup berumah tangga maka boleh diajukan permohonan pembatalan perkawinan (Pasal 72 ayat (1)-(3)). Piha-pihak yang boleh mengajukan pembatalan perkawinan adalah keluarga garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, suami-isteri, pejabat berwenang (Pasal 73). Pembatalan perkawinan dapat dilakukan oleh karena beberapa hal antara lain, poligami tanpa izin Pengadilan Agama, kawin dengan wanita dalam masa iddah, perkawinan yang dilakukan dengan paksaan, dan lain-lain (Pasal 71). Namun, pembatalan perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum antara anak dan orang tuanya(Pasal 76).
65
Hilman, Op.cit, hal.78
Universitas Sumatera Utara