BAB II PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Hukum Positif tentang Perkawinan Berbicara tentang hukum, maka yang senantiasa dimaksudkan adalah hukum pada saat ini atau pada saat tertentu di tempat tertentu yang sedang berlaku baik berupa tertulis maupun tidak tertulis, hukum ini diberi nama Hukum Positif atau disebut Hukum Berlaku (positief recht, geldend recht, atau stelling recht). 6 Ilmu hukum positif berusaha mencari kausalitas (causaliteit) antara gejala-gejala hukum di sekitar kita, yaitu antara hubungan gejala-gejala hukum itu. Hukum positif sebagai ilmu harus menguji apakah pangkal peninjauannya dan azas-azas dan dasar yang diterimanya sebagai dasar sistem yang hendak dipakainya memang benar dan sesuai dengan realitas. 7 Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum eropa, hukum adat dan hukum agama. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara. Selain itu Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Agama Islam, maka dominasi hukum atau Syar’iyah Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan
6
E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, P.T Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, hal. 21-22 7 Ibid, hal, 45
19
20
warisan. 8 Masalah perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Bangsa
Indonesia
pernah
mempunyai
pengalaman
yang
sangat
mengesankan, yaitu ketika hendak merumuskan Undang-undang Perkawinan. Dengan alasan unifikasi hukum, pada tahun 1973 pemerintah mengusulkan Rancangan Undang-Undang perkawinan (RUUP). Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep Rancangan Undang-undang Perkawinan yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974. Undang-undang Perkawinan ini terdiri dari 14 Bab, 67 pasal. Dalam undang-undang ini diatur segala hal yang berkaitan dengan perkawinan mulai dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuanketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Hazairin Guru besar Hukum Islam Universitas Indonesia (UI), dalam bukunya: “Tinjauan Mengenai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Menamakan undang-undang ini sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembentukan undang-undang tersebut bertujuan untuk melengkapi hukum positif di Indonesia yaitu sesuatu 8
Abdoel Djamali, R, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.11
21
yang tidak diatur oleh hukum agama atau kepercayaan sehingga negara berhak mengaturnya sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zamannya. 9
2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden untuk melaksanakan undang-undang, untuk menjalankan undangundang. Pembentukkan peraturan pemerintah ini hanya bersifat teknis, yakni sebuah peraturan yang bertujuan untuk membuat Undang-Undang dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya. 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dibentuk dan dijadikan hukum positif di Indonesia pada tanggal 1 April 1975, dimana Peraturan Pemerintah tersebut dibentuk atas dasar untuk melakukan Pelaksanaan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Peraturan Pemerintah tersebut terdiri dari 10 Bab, 49 pasal dalam peraturan pemerintah ini diatur mengenai pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mulai dari ketentuan umum, pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu, beristri lebih dari seorang, ketentuan pidana, dan penutup.
3. Kompilasi Hukum Islam Kompilasi berasal dari bahasa latin “compilare”, yang diartikan mengumpul kan bersama-sama, seperti mengumpul kan peraturan-peraturan yang tersebar di mana-mana. Istilah ini dikembangkan menjadi compilation dalam bahasa Inggris atau compilatie dalam bahasa Belanda. Kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi kompilasi, sebagai terjemahan langsung dari dua perkataan tersebut. Kompilasi Hukum Islam ini terdiri dari III buku. Buku I tentang Hukum Perkawinan yang terdiri dari 19 Bab, buku II tentang Hukum Kewarisan yang terdiri dari 6 Bab, dan buku III tentang Hukum Perwakafan yang terdiri dari 6 Bab. Yang keseluruhannya terdiri dari 229 Pasal. Buku I mengatur mengenai ketentuan umum, dasar-dasar perkawinan, peminangan, rukun dan syarat perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, kawin hamil, beristeri 9
K. Wancik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 4 -5 http://statushukum.com/peraturan-pemerintah.html diakses pada tanggal 12 juni 2013
10
22
lebih dari satu orang, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, putusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, rujuk, dan masa berkabung. Buku II mengatur mengenai ketentuan umum, ahli waris, besarnya bagian, aul dan rad, wasiat, hibah. Sedangkan buku ke III mengatur tentang ketentuan umum, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, perubahan, penyelesaian, dan pengawasan benda wakaf, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada awal penyusunannya tidak nampak pemikiran yang kontroversial mengenai apa yang dimaksud dengan kompilasi itu. Penyusunannya tidak secara tegas menganut suatu paham mengenai apa yang disebut kompilasi, sehingga tidak menuai reaksi dari pihak manapun. Kompilasi Hukum Islam ini diperuntukkan sebagai pedoman bagi para hakim di Pengadilan Agama, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Berdasarkan pertimbangan ini maka Kompilasi Hukum Islam dapat diartikan sebagai rangkuman dari berbagai pendapat Ulama’ fikih. Secara substansial, Kompilasi Hukum Islam ini merupakan hukum normatif bagi Umat Islam, dimana kekuatan yuridisnya terletak pada Instruksi Presiden selaku pemegang otoritas di bidang perundang-undangan.
B. Pihak-pihak yang Berkompeten dalam Pelaksanaan Perkawinan Pihak-pihak yang harus ada dalam sebuah perkawinan menurut Pasal 14 KHI adalah : 1. Calon suami Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai batas usia calon suami untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Dalam Kompilasi Hukum Islam ketentuan batas usia calon suami mengacu kepada ketentuan UUP, hal ini disebutkan dalam Pasal 15 ayat 1 KHI. Selain ketentuan mengenai batas usia, ada beberapa syarat untuk menjadi calon suami yaitu : Memiliki jenis kelamin harus pria atau laki-laki normal, beragama Islam, tidak dalam paksaan untuk melangsungkan sebuah pernikahan atau perkawinan, tidak memiliki empat atau lebih dari empat istri, tidak dalam ibadah ihram haji atau umroh, bukan mahram calon istri, yakin bahwa calon istri
23
halal untuk dinikahi, mengerti hukum-hukum dan layak berumah tangga, tidak ada halangan perkawinan. 11 2. Calon istri Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan seorang wanita dapat melangsungkan perkawinan jika wanita tersebut sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan batas usia tersebut sama dengan Pasal 15 ayat 1 KHI. Ada beberapa syarat untuk menjadi calon mempelai wanita yaitu : Memiliki jenis kelamin harus wanita atau perempuan normal, beragama Islam, bukan mahram calon suami, mengizinkan wali untuk menikahinya, tidak dalam masa iddah, tidak sedang bersuami, belum pernah li’an, tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah. 12
3. Wali nikah Adalah pihak yang menjadi orang yang memberikan ijin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan. Wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak penganten perempuan. 13 Pasal 20 KHI mengatur beberapa syarat untuk menjadi wali yaitu : a. Haruslah beragama Islam, Syarat ini berdasarkan Nash Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 28 yang artinya berbunyi : “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” b. Berakal Berakal adalah seseorang yang memiliki akal dan pikiran yang sehat, dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali. 11
http://vanpierre.blogspot.com/2011/12/syarat-syarat-calon-mempelai-dan ijab.html?m=1 diakses pada tanggal 12 juni 2013 12 Ibid 13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2007, hal. 69
24
c. Baliq Telah dewasa d. Laki-laki. Berjenis kelamin laki-laki yang normal.
Menurut hukum perkawinan islam, wali ada 3 yaitu : 1). Wali mujbir : wali nikah yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seseorang laki-laki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah ayah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya apabila hal tersebut dipandang demi kebaikan bagi putrinya dengan syarat-syarat sebagai berikut : a) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu. b) Jika mahar yang diberikan calon suami sebanding dengan kedududkan putrinya (mahar mithl). c) Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan. d) Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya dengan laki-laki (calon suaminya). e) Jika putrinya tidak mengikrarkan bahwa ia tidak perawan lagi. Meskipun wali mujbir dibolehkan untuk memaksakan putrinya untuk menikah dengan laki-laki, tetapi sangat dianjurkan minta lah persetujuan putrinya terlebih dahulu, sebab langkah ini lebih baik. Di samping itu kekuasaan wali mujbir menjadi hilang apabila putrinya telah janda dimaksud disini seorang wali mujbir tidak berhak untuk memaksa putrinya yang telah janda untuk dinikahkan dengan laki-laki.
25
Surat Al-Baqarah ayat 232, yang berbunyi 14: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedangkamu tidak mengetahui.” 2). Wali nasab : wali nikah yang memiliki hubungan keluarga dengan calon penganten perempuan. Wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, sebapak, paman beserta keturunannya menurut garis patrilineal (lakilaki). 3). Wali hakim : wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak (calon suami-istri). Wali hakim itu harus mempunyai pengetahuan sama dengan Qadli. Pengertian wali hakim ini termasuk Qadli di pengadilan. Dalam masalah wali nikah ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa ketiga wali diatas harus berurutan. Artinya diawali dengan wali mujbir, lalu jika tidak adanya wali mujbir baru pindah ke wali nasab dan jika wali nasab tidak ada barulah pindah ke wali hakim. Wali nikah termasuk salah satu syarat dan rukun nikah. 4. Dua orang saksi Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut 15 : a. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Ini lah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh terdirir dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan (Ibnu alHumam; 250), sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri dari empat orang perempuan. b. Kedua orang saksi itu adalah beragama Isalam. c. Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka .
14
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Cv AsySyifa, Semarang, 2000, hal 80 15 Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal 83
26
d. Kedua saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat ulama Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan di antaranya ada saksi laki-laki. Sedangkan ulama Zhahiriyah membolehkan semuanya perempuan dengan pertimbangan dua orang perempuan sama dengan kedudukannya dengn seorang laki-laki (Ibnu al-Humam, 199; Ibnu Hazmin, 465) e. lKedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah. Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan adil pada saksi perkawinan. (Ibnu al-Humam:197) f. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat. Pasal 25 KHI mengatur mengenai syarat saksi nikah yaitu : “Seorang laki-laki muslim, adil, akil-balik, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”
Pasal 26 KHI juga menyatakan : “Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah beserta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan”. 5. Ijab dan Kabul Ijab adalah pernyataan calon istri tentang kesediaannya dikawinkan dengan calon suami sedangkan kabul ialah jawaban pihak suami bahwa iya menerima kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya. 16 Pasal 27 KHI menyatakan ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun, dan tidak berselang waktu. Menurut jumhur ulama syarat ijab kabul sebagai berikut 17 : a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali. 16
www.referensimakalah.com/2012/09/rukun-nikah-dan-syarat-syaratnya.html diakses pada tanggal 21 Agustus 2013 17 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, hal, 71
27
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai. c. Memakai kata-kata nikah, tajwid, atau terjemahan darai kedua kata tersebut. d. Antara ijab dan kabul bersambungan. e. Antara ijab dan kabul jelas maksudnya. f. Orang yang terkait dengan ijab dan kabul tidak sedang ihram haji atau umroh. g. Majelis ijab dan kabul itu harus hadir minimum empat orang yaitu calon suami, wali dari calon istri, dan dua orang saksi. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 undang-undang perkawinan antara lain : a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai. b. Adanya izin kedua orang tua atau wali bagi mempelai yang belum berusia 21 tahun. c. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun. d. Adanya izin dari pengadilan yaitu jika batas umur yang dimaksud pada point diatas belum terpenuhi yaitu dengan dimintakan dispensasi kepada pengadilan. e. Tidak ada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain. f. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama kepercayaan mereka tidak melarang mereka menikah untuk yang ketiga kalinya.
28
g. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda. h. Tidak lewat waktu 10 hari sejak pelaporan kehendak kawin. i. Tidak ada pihak yang mengajukan pencegahan perkawinan. j. Tidak ada larangan perkawinan. Rukun dan syarat perkawinan wajib dipenuhi, bila tidak maka tidak sah. Dalam kitab al-fiqih ‘ala al-mazhib al-arabah’ah disebutkan bahwa nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah. 18
C. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa , artinya bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 3 yaitu perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan ramah. Menurut Hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah, dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syar’iyah Islam. 19 Ada lima tujan Perkawinan yaitu : 1. Memperoleh kehidupan sakiinah, mawaddah, dan rahmah
Sakiinah artinya tenang dan tentram. Mawaddah artinya cinta dan harapan. Rahmah artinya kasih saying.
18
Abdurahman al-Jaziry, kitab al-fiqih ‘ala al-mazahib al-arba’ah, maktabah al-tijariyah kurba jaz IV, hal. 118 19 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, yogyakarta, 1982, hal. 12.
29
Tiga kata utama tersebut sejatinya merupakan istilah khas Arab-Islam yang dirujuk dari QS. Ar-Rum ayat 21 yang artinya berbunyi 20 :
“Di antara tanda-tanda (kemahaan-Nya) adalah Dia telah menciptakan dari jenismu (manusia) pasangan-pasangan agar kamu memperoleh sakiinah disisinya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kemahaan-Nya) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum:21) Dalam perkembangannya, kata sakiinah diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia dengan ejaan yang disesuaikan menjadi sakinah yang berarti kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan. Kata mawaddah juga sudah diadopsi ke Bahasa Indonesia menjadi mawadah yang berarti kasih sayang. Mawaddah mengandung pengertian filosofis adanya dorongan batin yang kuat dalam diri sang pencinta untuk senantiasa berharap dan berusaha menghindarkan orang yang dicintainya dari segala hal yang buruk, dibenci dan menyakitinya. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kehendak jiwa dari kehendak buruk. Adapun kata rahmah, setelah diadopsi dalam Bahasa Indonesia ejaannya disesuaikan menjadi rahmat yang berarti kelembutan hati dan perasaan empati yang mendorong seseorang melakukan kebaikan kepada pihak lain yang patut dikasihi dan disayangi. 21
2. Reproduksi atau regenerasi Tujuan ini adalah tujuan untuk memperoleh atau menghasilkan keturunan, yaitu anak yang sah. Memperoleh anak dalam perkawinan adalah tujuan untuk
20
Op.Cit, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal 899 http://ariana-myjourney.blogspot.com/2009/04/sakinah-mawadah-wa-rahmah.html diakses pada tanggal 20 Agustus 2013 21
30
mengembangbiakan ummat manusia (reproduksi) di muka bumi ini, dapat dilihat dalam beberapa ayat yaitu : a. Surat Asy-Syura ayat 11 yang artinya berbunyi 22 : “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang baik dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” b. Surat An-Nahl ayat 72 yang artinya berbunyi 23 : “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari ni’mat Allah” Suami istri yang hidup berumah tangga tanpa kehadiran seorang anak, tentu akan terasa sepi dan hampa. Walaupun keadaan rumah tangga serba berkecukupan harta, berpangkat dan berkedudukan tinggi, semua itu tidak akan ada artinya apabila dalam rumah tangga tersebut tidak memiliki anak atau yang disebut keturunan. Kehadiran anak atau keturunan akan senantiasa memberikan arti tersendiri bagi setiap pasangan suami istri, karenanya kehadiran anak merupakan kesempurnaan dalam sebuah rumah tangga yang bahagia. 3. Pemenuhan kebutuhan biologis Tujuan ketiga, pemenuhan biologis (seksual) dapat dilihat dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an yaitu : a. Surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya berbunyi 24 : “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af padamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, 22
Op.Cit, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal 1078 Ibid, hal 587 24 Ibid, hal 62 23
31
maka jangan lah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”
b. Surat Al-Baqarah ayat 223 yang artinya berbunyi 25 : “Istri-istri mu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocoktanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” c. Surat An-Nur ayat 33 yang artinya berbunyi 26 : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memapukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian, dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada mu. Dan jangan lah kamu paksa budakbudak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri ingin kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”
4. Menjaga Kehormatan Tujuan dari perkawinan ialah menjaga kehormatan, dimaksud dengan kehormatan ialah seorang suami atau istri menjaga kehormatan dirinya sendiri, anak, dan keluarga. Menjaga kehormatan harus menjadi kesatuan dengan tujuan pemenuhan biologis. Artinya di samping untuk memenuhi kebutuhan biologis, perkawinan juga bertujuan untuk menjaga kehormatan. Apabila hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, seorang laki-laki atau perempuan dapat saja mencari pasangan lawan jenisnya, lalu melakukan hubungan badan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Tetapi dengan itu ia akan kehilangan kehormatannya. Sebaliknya dengan perkawinan dua kebutuhan tersebut dapat
25 26
Ibid, hal 76 Ibid, hal 773-774
32
terpenuhi kepada Allah, yakni kebutuhan seksualnya terpenuhi, demikan juga kehormatan terjaga. 27 5. Ibadah Tujuan perkawinan ini ialah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, Ini sangat tegas menyebut bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari melakukan agama. Melakukan perintah dan ajaran agama tentu bagian dari ibadah. Dengan demikian maka menjadi jelas bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari ibadah. 28 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah tujuan yang menyatu dan terpadu. Artinya semua tujuan itu harus diletakan menjadi satu kesatuan yang utuh saling berkaitan. Tujuan reproduksi tidak bisa dipisahkan dari tujuan pemenuhan kebutuhan biologis, tujuan memperoleh kehidupan yang tentram penuh cinta dan kasih sayang, tujuan menjaga kehormatan dan tujuan ibadah. D. Perjanjian Perkawinan Perjanjian kawin di Indonesia tidak begitu populer, karena mengadakan suatu perjanjian mengenai harta, antara calon suami dan calon istri, mungkin dirasakan banyak orang merupakan hal yang tidak pantas. Perjanjian kawin memang tidak diharuskan, hanya banyak manfaat yang bisa dirasakan jika sebuah perkawinan itu juga disertai adanya perjanjian kawin terlebih dahulu. Namun perjanjian kawin itu biasanya didasarkan atas kesepakatan antara calon suami dan calon istri yang akan berumah tangga. Jika salah satu dari mereka tidak setuju, maka perjanjian tidak dapat dilakukan sebab hal ini tidak bisa dipaksakan, karena sifatnya yang tidak wajib. Tidak adanya perjanjian kawin tidak lantas menggugurkan status perkawinan, pembuat perjanjian kawin ini lebih didorong karena adanya kemungkinan hak-hak dari pihak yang terganggu jika perkawinan mereka telah dilangsungkan. Perjanjian perkawinan hanya diatur oleh satu pasal di dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan : “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan 27
http://ariana-myjourney.blogspot.com/2009/04/sakinah-mawadah-wa-rahmah.html diakses pada tanggal 20 Agustus 2013 28 http://ariana-myjourney.blogspot.com/2009/04/sakinah-mawadah-wa-rahmah.html diakses pada tanggal 20 Agustus 2013
33
oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.” Dari bunyi pasal ini sebenarnya tidak begitu jelas maksud dari perjanjian perkawinan tersebut. Menurut Martiman Prodjohamidjodjo, perjanjian dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan ini jauh lebih sempit oleh karena hanya meliputi “verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja (overeenkomst), dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi “verbintenissen uit de wet” (perikatan yang bersumber pada undang-undang). 29 Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang ini tidak termasuk di dalamnya ta’lik talak sebagaimana yang termuat dalam surat nikah. Kendatipun tidak ada definisi yang jelas yang dapat menjelaskan perjanjian perkawinan namun dapat diberikan batasan sebagai satu hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara kedua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut. 30 Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon istri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatatan nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan. 31 Menurut Henry Lee A Weng perjanjian perkawinan lebih luas dari “huwelijksche voorwaarden” seperti yang diatur di dalam hukum perdata. Perjanjian perkawinan bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan, melainkan juga meliputi syarat-syarat atau keinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. 32 Sebagaimana yang dimuat dalan Undang-Undang Perkawinan, ta’lik talak tidak termasuk ke dalam perjanjian. Alasannya adalah perjanjian yang termasuk di dalam pasal yang telah disebut menyangkut pernyataan kehendak dari kedua belah pihak dalam perjanjian itu, sedangkan ta’lik talak hanya kehendak sepihak yang diucapkan oleh suami setelah akad nikah. Ta’lik talak sebenarnya satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak wanita yang sebenarnya dijunjung tinggi oleh
29
Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2002, hal. 29 30 Ibid 31 Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 39 32 Henry Lee A Weng, Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan, Rimbow, Medan, 1990, hal. 5
34
Islam. 33 Berbeda halnya dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, tentang Pasal 11 yang menyatakan : 1. Calon suami dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. 2. Perjanjian yang berupa ta’lik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan
dan
ditandatangani
oleh
suami
setelah
akad
nikah
dilangsungkan. Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 45 menyebutkan : “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam” Adanya penjelasan pada Pasal 29 Undang-undang Perkawinan yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk ta’lik talak. Jadi, tampaknya ada pertentangan antara penjelasan Pasal 29 Undang-undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Mengingat isi ta’lik talak yang memuat perjanjian tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama, maka tegaslah bahwa ta’lik talak tersebut masuk ke dalam kategori perjanjian perkawinan. Jadi dapat dikatakan walaupun ta’lik talak telah dituliskan dalam surat nikah namun bukan sebuah kewajiban untuk diucapkan, akan tetapi sekali ta’lik talak telah diucapkan maka ta’lik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali. Apabila perjanjian perkawinan telah disepakati bersama antara suami istri, tidak dipenuhi salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh suami maka istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya, sebaliknya jika terjadi pada istri yang melanggar perjanjian di luar ta’lik talak maka suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama. 34
E. Pencegahan Perkawinan Pencegahan perkawinan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 13 yang berbunyi : 33 34
Ibid, hal. 218 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1998, hal. 162-163
35
“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan”. Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan maka diatur tentang tata cara pencegahan perkawinan. 35 Adapun para pihak yang boleh mengajukan pencegahan menurut Pasal 14 Undang-undang Perkawinan adalah : a. Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah. b. Saudara. c. Wali nikah. d. Wali pengampu. e. Suami atau istri (lain) yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau istri tersebut. f. Pejabat pengawas perkawinan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat 1 Undang-undang Perkawinan, pencegahan itu diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilakukan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan. Selanjutnya Pasal 17 ayat 2 Undang-undang Perkawinan menyebutkan Pegawai Pencatatan Perkawinan memberitahukan kepada caloncalon mempelai tentang adanya permohonan pencegahan tersebut. 36 Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Perkawinan ada prosedur untuk mengajukan permohonan pencegahan perkawinan : 1. Diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilaksanakan. Di sini hanya menyebut perkataan pengadilan. Tidak menyebut tegas Pengadilan Negeri. Hal ini sebenarnya sudah ditegaskan pada Pasal 63 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini ialah :
35
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV.Zahir Trading Co, Medan, 1975,
36
Ibid, hal. 65-67
hal. 63
36
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. b. Pengadilan Umum bagi yang tidak beragama Islam. 2. Pencegahan
juga
disampaikan
kepada
pejabat
pencatat
perkawinan.
Diberitahukan juga kepada calon-calon mempelai tentang permohonan pencegahan perkawinan tersebut. Pencegahan menurut Kompilasi Hukum Islam di atur pada Pasal 60 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : “Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undang” Menurut Kompilasi Hukum Islam yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampun dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan Pasal 62 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Selainn yang disebutkan Pasal 62 tersebut dapat pula dilakukan oleh suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan, Pasal 63 Kompilasi Hukum Islam.
F. Batalnya Perkawinan Pembatalan perkawinan ialah tindakan pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (No legal force or declared void). Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan yaitu 37 : 1. Perkawinan dianggap tidak sah (no legal force) 2. Juga dengan sendirinya dianggap tidak pernah ada (never existed)
37
Ibid, hal. 71
37
3. Oleh karena itu si laki-laki dan si perempuan yang dibatalkan perkawinannya dianggap tidak pernah kawin sebagai suami istri. Pembatalan perkawinan diatur dalam Bab IV, Pasal 22-Pasal 28 Undangundang Perkawinan. Dalam bab ini diatur alasan pembatalan perkawinan, pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan, prosedur pembatalan perkawinan,serta akibat pembatalan perkawinan. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam pembatalan perkaiwnan diatur dalam Bab XI, Pasal 70-76 yang mengatur tentang hal-hal yang kurang lebih sama dengan yang di tur Undangundang Perkawinan. Lebih lanjut pembahasan tentang pembatalan perkawinan di atur pada Bab III.