BAB II PENGATURAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
A. Pengaturan Perkawinan di Indonesia. 1. Hukum Perkawinan sebelum lahirnya UU No.1 Tahun 1974 di Indonesia Sebelum adanya Undang-Undang No.1 tahun 1974 di Indonesia berlaku hukum perkawinan bagi berbagai golongan suku bangsa diberbagai daerah. Hal ini diatur dalam penjelasan umum nomor 2 dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Penggolongan penduduk diatur dalam Indische Staat Regeling yaitu peraturan ketatanegaraan Hindia pasal 163, dimana penduduk dibagi menjadi tiga golongan yaitu : golongan eropa, golongan pribumi dan golongan timur asing. 46 Berbagai hukum perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan bagi berbagai golongan penduduk di berbagai daerah adalah seperti berikut : 47 a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipiir dalam hukum adat. b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat. c. Bagi
orang-orang
Indonesia
asli
yang
beragama
Kristen
berlaku
Huwelijksordonnantie Christen Indonesia ( S.1933 No.74 )
46 47
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal.6 Ibid, hal. 7
18
Universitas Sumatera Utara
19 d. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia Keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka. f. Bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dinamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah hasil dari suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu yang berlaku bagi setiap warga negara RI, ini merupakan hasil legislatif yang pertama yang memberikan gambaran yang nyata tentang kebenaran dasar asasi kejiwaan dan kebudayaan “ Bhineka Tunggal Ika” yang dicantumkan dalam lambang negara RI, selain sungguh mematuhi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 juga merupakan suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berketuhanan Yang Maha Esa. 48 Dari peraturan inilah lahir pengertian perkawinan yaitu hidup bersama dari seorang laki-laki dan perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut. 49 Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya UndangUndang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
48
Lily Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hal.24 49 Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Batu, Cet. Ke-8, Bandung, 1984, hal.7
Universitas Sumatera Utara
20
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. 50 Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-Undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan. 51 Sehubungan dengan berlakunya ketentuan baru tentang Hukum Perkawinan ini yang secara resmi menghapuskan berlakunya semua ketentuan tentang Perkawinan yang ada sebelumnya, namun pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 menentukan sebagai berikut : 52 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek),
Ordonansi
Perkawinan
Indonesia
Kristen
(Huwelijke
Ordonantie Christen Indonesia 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijke Stbl 1898 No.158) dan peraturan-peraturan lain
50
Lily, op.cit, hal. 6 Ibid 52 Ibid 51
Universitas Sumatera Utara
21
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, dinyatakan tidak berlaku. 2. Pengertian Perkawinan Perkawinan dapat dikatakan suatu peristiwa yang paling penting dalam kehidupan masyarakat, karena tidak saja menyangkut pribadi kedua mempelai tapi juga urusan keluarga kedua belah pihak dan juga kehidupan bermasyarakat. Menurut Soemiyati :
53
kalau seseorang laki-laki dan perempuan berkata sepakat untuk
melakukan perkawinan berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturanperaturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-hak masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya. Pengertian Perkawinan menurut Sayuti Thalib adalah perjanjian yang suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. 54 Menurut Imam Jauhari ,“Perkawinan merupakan proses hubungan seksual manusia yang harus berjalan dengan kedamaian dengan menghormati hak-hak asasi manusia sebagai insan-insan sederajat antara pria dan wanita, untuk memperoleh kehidupan yang baik didunia”. 55
53
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan ( Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ), cet. ke-2, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal.1 54 Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, cet. ke-5, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hal.47 55 Imam Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
22
Perkawinan menurut Subekti adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
56
Menurut Rothenberg dan Blumenkrantz “Mariage, as it is commonly discussed, refer to a contractual relationship between two persons, on male and one female, arising out of the mutual promises that are recoqnized by law. As a contract, it is generally tequired that both parties must consent to its terms and have legal capacity”. 57
Maksudnya bahwa perkawinan pada umumnya merujuk kepada
hubungan perjanjian yang nyata antara dua orang yaitu satu pria dan satu wanita yang saling berjanji dan disahkan oleh hukum. Sebagai suatu perjanjian, secara umum diperlukan kesepakatan kedua belah pihak untuk memahami hal-hal yang perlu dan memiliki kemampuan hukum. 58 a. Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 59
Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah. 60 Jadi prinsipnya pergaulan antara suami istri itu hendaklah : a) Pergaulan yang makruf (pergaulan yang baik) yaitu saling menjaga rahasia masing-masing. 56
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet.ke-26, Intermasa, Jakarta, 1994, hal.23 Rothenberg and Blumenkrantz, Personal Law, Oenanta : State University of New York, 1984, hal 342. 58 Ibid, hal.342 59 Kompilasi Hukum Islam, Fokusmedia, Bandung, 2005, pasal 2, hal. 7 60 Ibid, pasal 3, hal.7 57
Universitas Sumatera Utara
23
b) Pergaulan yang sakinah (pergaulan yang aman dan tentram). c) Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah (saling mencintai terutama dimasa muda/remaja). d) Pergaulan yang disertai rahmah (rasa santun-menyantuni terutama setelah masa tua), Qur’an IV:19, Q. IV: 34, dan Qur;an XXX : 21. b. Pengertian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terdapat pengertian perkawinan secara jelas. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya memandang soal perkawinan hanya dari segi hubungan-hubungan keperdataan. Demikian terdapat dalam pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : UndangUndang memandang soal perkawinan dalam hubungan-hubungan perdata. 61 Arti dari pasal ini adalah : 62 suatu perkawinan agar menjadi sah dalam arti mempunyai akibat hukum haruslah diakui oleh undang-undang, hal ini terjadi bila perkawinan dilangsungkan menurut undang-undang. Dengan kata lain perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Hal ini jelas bertentangan dengan falsafah negara Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa diatas segala-galanya. Apabila berkaitan dengan masalah perkawinan yang merupakan perbuatan yang suci yang mempunyai hubungan erat sekali dengan agama sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tapi juga unsur batin/rohani mempunyai peranan penting. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah merupakan peraturan perundangundangan yang terpengaruh oleh hukum barat terutama negara Belanda yang telah
61
R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) cet.ke-27, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976, pasal.26 62 Hilman Adikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, cet.1, Bandung 1990, hal.7
Universitas Sumatera Utara
24
lama menjajah negara Indonesia. Peraturan ini pada akhirnya masih diberlakukan setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama masih belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. 63 c. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 1), perkawinan adalah : ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 64 Pertimbangannya ialah sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmaniah, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. 65 Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan turunan, yang merupakan pula tujuan perkawinan, pemeliharan dan pendidikan menjadi hak dan
63
Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 UU No.1 Tahun 1974, hal.1 65 Hilman, Op.Cit, hal. 9 64
Universitas Sumatera Utara
25
kewajiban orangtua (lihatlah pasal 1 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut yang merupakan dan sekaligus dasar Hukum Perkawinan Nasional). 66 Apabila definisi perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1
Tahun 1974 yaitu “ ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” di atas kita telaah, maka terdapat lima unsur didalamnya, yaitu: a. Ikatan lahir batin. Bahwa ikatan itu tidak cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri yang dimulai dengan adanya akad atau perjanjian yang dilakukan secara formal, menurut aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian hubungan hukum itu nyata, baik bagi pihak-pihak itu sendiri atau bagi pihak ketiga. Sebaliknya suatu ikatan batin merupakan hubungan tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan ini diukur dengan agama dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
66
Ibid, hal.9
Universitas Sumatera Utara
26
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita. Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita, dan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi. Sehingga R.Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa dari unsur itu terkandung azas monogami. 67 c. Sebagai suami istri; Seorang pria dengan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami istri bila ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah, bilamana memenuhi syarat-syarat intern maupun extern. Syarat intern adalah yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan yaitu : kecakapan mereka, kesepakatan mereka, dan juga adanya izin dari pihak yang lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat-syarat extern adalah yang menyangkut formalitas-formalitas pelangsungan perkawinan. d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal Yang dimaksud dengasn keluarga disini ialah suatu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat
Indonesia.
Membentuk
keluarga
yang
bahagia
rapat
hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan
67
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dal Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta, 1986, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
27
kewajiban orang tua. Untuk mencapai hal ini, maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan. e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur batin. Dari rumusan pasal I Undang-Undang, Nomor 1 Tahun 1974, jelas bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orangtua. 68 3. Syarat- Syarat Sahnya Perkawinan Syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi syarat-syarat materil dan formil. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat mengenai pribadi calon mempelai, sedangkan syarat-syarat formil menyangkut formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan. 69
68 69
Hilman, Op.Cit, hal.9 Ibid
Universitas Sumatera Utara
28
Untuk jelasnya, maka akan penulis uraikan tentang syarat-syarat materil dan formil dalam perkawinan secara terperinci, yaitu : a. Syarat Materil Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok syarat materil adalah : 70 a) Harus ada persetujuan calon mempelai (Pasal 6 ayat (1). Syarat ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan kedua calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang Perkawinan, dapat dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, yaitu seorang anak harus patuh pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan dengan orang yang dianggap tepat oleh orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya, walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa, Undang-Undang Perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar hukum.
70
Op.Cit ,Syarat-Syarat Sah nya Perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (analisis)
Universitas Sumatera Utara
29
b) Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1). Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan hanya dibenarkan jika pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Ayat (2) menetapkan tentang kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Dalam hal dimana salah seorang atau kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh orang tua yang masih hidup atau wali/orang yang memelihara/datuk (kakek dan nenek) dari pihak yang akan melakukan perkawinan dengan ketentuan bahwa segala sesuatunya sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan bersangkutan tidak menentukan lain. c) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-Undang Perkawinan. Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan melarang seseorang yang masih terikat perkawinan lain untuk kawin lagi kecuali yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4. Pasal 3 ayat (2) yang menentukan bahwa: ”Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4 menentukan : 71
71
Op.Cit (UU No.1 Tahun 1974 ), pasal 4, hal 2
Universitas Sumatera Utara
30 1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka dia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 2. Pengadilan yang dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin pada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : 72 a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dalam hal ini Wirjono Prodjodikoro menyatakan pendapat sebagai berikut : ”Adanya Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan sesungguhnya merupakan akibat dari azas perkawinan yang dianut oleh Undang-Undang ini, yaitu azas monogami. Azas ini dianggap pada masa sekarang sebagai pencerminan dari kehendak masyarakat terutama dikalangan wanita bahwa dimadu itu dirasakan lebih banyak melahirkan penderitaan daripada kebahagiaan.”
73
Walaupun demikian, pengecualian terhadap
azas itu masih dimungkinkan dengan persyaratan seperti yang terurai dalam Pasal 3, 4, dan 5 yang mengharuskan seseorang yang hendak mengajukan permohonan kepada pengadilan harus memenuhi syarat-syarat : 74 1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri
72
Libertus Jehani, Perkawinan Apa Risiko Hukumnya?, Forum Sahabat, Jakarta, 2008, hal. 34 R. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1974, hal. 37 74 Libertus, Op.Cit, hal.35 73
Universitas Sumatera Utara
31
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Selanjutnya ditentukan dalam pasal 5 ayat (2) tersebut bahwa persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a diatas tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurangkurangnya 20 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. 75 d)
Mengenai waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya, yaitu : 76
1. Seratus dua puluh hari bila perkawinan putus karena kematian. 2. Tiga kali suci atau sembilan puluh hari bila putus karena perceraian dan dia masih datang bulan. 3. Sembilan puluh hari bila putus karena perceraian tetapi tidak datang bulan. 4. Waktu tunggu sampai melahirkan bila si janda dalam keadaan hamil. 5. Tidak ada waktu tunggu bila belum pernah terjadi hubungan kelamin. Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang menjadi kekuatan hukum bagi suatu perceraian dan sejak hari kematian bila
75 76
Ibid, hal.37 Ibid, 37
Universitas Sumatera Utara
32
perkawinan itu putus karena kematian. Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut berakibat batalnya suatu perkawinan. e)
Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 8, 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: 77 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas. 2. Berhubungan darah garis keturunan ke samping. 3. Berhubungan semenda 4. Berhubungan sesusuan 5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. 7. Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan tidak menentukan lain (pasal 10). 8. Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 9. Izin kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila
salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin diperoleh dari orang tua yang masih hidup. Bila itupun tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau bisa juga
77
Ibid, hal.38
Universitas Sumatera Utara
33
izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin diminta izinnya (Pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5). 78 Mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya izin kedua orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. b. Syarat Formil Syarat-syarat formil yaitu syarat utama sesuai prosedur hukum, meliputi : 79 1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan. 2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. 3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing. 4. Pencatatan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan, dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan
78 79
Ibid , hal.29 Op.Cit, (UU NO.1 Tahun 1974 tentang prosedur melangsungkan perkawinan menurut UU)
Universitas Sumatera Utara
34
calon istri/suami terdahulu bila seorang atau keduanya pernah kawin (Pasal 3, 4, 5, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). 80 Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu syarat formil khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai dan orang tua calon mempelai serta hari, tanggal, jam dan tempat akan dilangsungkannya perkawinan (Pasal 8 jo Pasal 6, 7 dan 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). 81 4. Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 82 Tujuan perkawinan seperti yang tersebut dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 adalah sangat ideal karena dari tujuan perkawinan tersebut yang diperhatikan bukan segi lahirnya saja tetapi sekaligus juga ikatan batin antara suami istri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia 80
Ibid, hal.30 ( Proses Pengumuman dan Pencatatan Perkawinan diatur dalam PP No.9 Tahun
81
Ibid Hilman Adikusuma, Op.Cit, hal.22
1975) 82
Universitas Sumatera Utara
35
bagi keduanya yang disesuaikan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
83
Selain itu
diharapkan rumah tangga tersebut dapat berlangsung seumur hidup dan perceraian diharapkan tidak akan terjadi. Untuk itu suami perlu saling membantu, melengkapi dan mengisi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya serta mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 84 Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orangtua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan menurut UndangUndang No.1 tahun 1974 adalah untuk kebahagiaan suami istri untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental (keorangtuaan). 85 Tujuan perkawinan menurut Soemiyati yang didasarkan pendapat Imam Ghazali ada 5 (lima) yaitu : 86 a. Memperoleh keturunan yang sah adalah tujuan pokok dari perkawinan itu sendiri. Memperoleh
keturunan
dalam
perkawinan
bagi
penghidupan
manusia
mengandung 2 segi kepentingan : 1. Kepentingan untuk diri sendiri Setiap orang yang melaksanakan perkawinan tentu mempunyai keinginan untuk memperoleh keturunan atau anak. Bisa dirasakan perasaan suami istri
83
Ibid, hal 22 Ibid, hal.22 85 Ibid, hal.23 86 Soemiyati, Op.Cit, hal.12-17 84
Universitas Sumatera Utara
36
tanpa mempunyai anak, tentunya kehidupan akan terasa dan hampa, walaupun keadaan rumah tangga mereka berkecukupan dalam segala hal. Keinginan manusia untuk memperoleh anak dapat dipahami karena diharapkan membantu ibu dan bapaknya pada hari tuanya kelak. 2. Aspek yang umum atau universal. Keturunan atau anak adalah penyambung keturunan seseorang, yang akan selalu berkembang membuat damai dunia. b. Memenuhi tuntutan naluriah atau hajat tabiat kemanusiaan Tuhan menciptakan manusia dalam jenis yang berbeda-beda yaitu jenis laki-laki dan perempuan, antar kedua jenis itu saling mengandung daya tarik. Dari sudut biologis daya tarik itu adalah kebirahian atau seksual. Dengan perkawinan pemenuhan tabiat kemanusiaan itu dapat disalurkan secara sah. Apabila tidak ada salurannya maka akan timbul perbuatan yang tidak baik dalam masyarakat. c. Menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan. Apabila tidak ada saluran yang sah yaitu perkawinan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, biasanya baik laki-laki maupun perempuan akan mencari jalan yang tidak halal. Oleh karena itu untuk menghindari pemuasan dengan cara tidak sah yang akibatnya banyak mendatangi kerusakan dan kejahatan, satu-satunya jalan adalah melakukan perkawinan. c. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang merupakan bagian dari masyarakat yang besar atas dasar cinta dan kasih sayang.
Universitas Sumatera Utara
37
5. Pencegahan Perkawinan Pasal 13 UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menentukan bahwa perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak-pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pencegahan perkawinan harus didasarkan pada alasanalasan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Alasan-alasan mengajukan pencegahan perkawinan diantaranya karena :
87
a. calon mempelai masih dibawah pengampuan. b. salah satu calon mempelai atau keduanya belum cukup umur c. adanya larangan perkawinan d. terjadinya kawin cerai berulang e.
dan tidak dipenuhinya tata cara perkawinan. Pencegahan perkawinan diatur dalam Bab III Undang-Undang Perkawinan,
pasal 13 sampai dengan pasal 21. 88 Pihak yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan adalah :
89
a. para pihak dalam garis lurus keatas dan kebawah. b. saudara c. wali nikah d. wali pengampu e. pihak-pihak yang berkepentingan f. mereka yang masih terikat dalam perkawinan g. pejabat yang ditunjuk. (pasal 7 ayat 1 dan pasal 8 UU No.1 Tahun 1974) 87
Hadikusuma, Op.Cit, hal 72 Wahono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, cet.2, Fak.Hukum Universitas Indonesiam Jakarta, 2004, hal.40-41 89 UU No.1 Tahun 1974, pihak-pihak yang dapat mengajukan perkawinan, hal.5-6 88
Universitas Sumatera Utara
38
Apabila suatu perkawinan dilaksanakan secara sah menurut hukum adat atau hukum agama, hanya saja tidak memenuhi ketentuan menurut UU No.1 tahun 1974, maka perkawinan ini tidak termasuk yang harus dicegah jika pasangan perkawinan tidak ada masalah dalam perkawinannya. 90 Pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama untuk perkawinan secara islam dan Pengadilan Negeri untuk pencegahan perkawinan diluar Islam, dalam
daerah
hukum
dimana
perkawinan
akan
dilangsungkan
dengan
memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan. 6. Pembatalan Perkawinan a. menurut UU No.1 tahun 1974 Perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat Undang-Undang dapat dibatalkan keabsahannya. Perkawinan anak dibawah umur tidak memenuhi syaratsyarat dalam Undang-Undang Perkawinan, karena melanggar batas umur seperti yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Selain itu, pasal 27 UUP menegaskan bahwa seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila : 91 1. perkawinan yang dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum 2. pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri
90 91
Hadikusuma, Op.Cit, hal.72 Libertus Jehani, Perkawinan Apa Risiko Hukumnya, Forum Sahabat, Jakarta, 2008, hal.40-41
Universitas Sumatera Utara
39
Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan ditujukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami istri (pasal 25 UUPerkawinan). Dalam pasal 23 UUP disebutkan pihak yang dapat membatalkan perkawinan yaitu : 92 1. para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri 2. suami atau istri 3. pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan. 4. pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. b. menurut Undang-Undang Hukum Perdata Suatu perkawinan dapat dibatalkan namun harus dinyatakan oleh Hakim (pasal 85 KUHPerdata). Perkawinan yang telah dibatalkan tetap mempunyai segala akibat perdata baik terhadap suami-istri maupun terhadap anak-anak mereka asal saja perkawinan
itu
oleh
suami
istri
telah
dilakukan
iktikad
baik
(pasal 95 KUHPerdata). 93 Menurut pasal 86 KUHPerdata, orang yang dapat menuntut pembatalan suatu perkawinan adalah sebagai berikut : 94 1. orang yang karena perkawinan lebih dahulu telah terikat dengan salah satu dari suami istri 92
Ibid Ibid, hal 14 94 Ibid, hal 15 93
Universitas Sumatera Utara
40 2. suami istri itu sendiri 3. para keluarga dalam garis lurus keatas 4. jawatan kejaksaan 5. setiap orang yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan itu Selanjutnya menurut pasal 92 KUHPerdata, pembatalan suatu perkawinan yang dilangsungkan tidak didepan pegawai catatan sipil yang berwenang, atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh sejumlah saksi sebagaimana mestinya, maka boleh dimintakan pembatalannya oleh : 95 1. suami istri itu sendiri 2. para keluarga sedarah lainnya dalam garis ke atas 3. wali atau wali pengawas 4. setiap orang yang berkepentingan 5. jawatan kejaksaan. B. Perkawinan Dibawah Umur Usia dewasa pada hakekatnya mengandung unsur yang berkaitan dengan dapat atau tidaknya seseorang mempertanggungjawabkan atas perbuatan hukum yang telah dilakukannya, yang menggambarkan kecakapan seseorang untuk bertindak dalam lalu lintas hukum perdata. 96
95
Ibid Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, cet.2, CV.Gitamaya Jaya, 2003, hal.19 96
Universitas Sumatera Utara
41
Pengaturan usia dewasa lazimnya disimpulkan atau dikaitkan dengan pasal 47 dan pasal 50 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 97 Mengenai pasal 47 UU Perkawinan, Prof.Hazairin,S.H, berpendapat bahwa pasal ini membingungkan. Pasal ini menentukan seseorang telah menjadi dewasa pada usia 18 tahun, tetapi sekaligus menentukan kembali menjadi tidak dewasa kalau anak tersebut belum menikah. Pasal 47 UU Perkawinan, tidak dapat dibaca seperti pasal 330 KUHPerdata, karena usia dewasa dalam KUHPerdata, ditentukan mereka yang sudah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah. Apabila perkawinan mereka putus sebelum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali pada usia belum dewasa. 98 Hukum dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan berfikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidakmampuannya maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan ia harus dibimbing. 99
97
Ibid, hal.26 Ibid, hal.113 99 Ibid, hal.114 98
Universitas Sumatera Utara
42
1. Perkawinan Dibawah Umur Menurut konsep Hukum Perdata
Pendewasaan ini ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan Undang-Undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPerdata). 100
Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin orang tua tetap diperlukan. 101
Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam
100
R.Subekti, R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, (sebagai dasar hukum pasal 421 dan 426 KUHPerdata) , hal.133-134 101 Op.Cit
Universitas Sumatera Utara
43 perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. 102
Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu. 103
Dalam hukum Perdata, belum dewasa adalah belum berumur umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin belum berumur 21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Perkawinan membawa serta bahwa yang kawin itu menjadi dewasa dan kedewasaan itu berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus sebelum yang kawin itu mencapai umur 21 tahun (pasal 330 KUHPerdata). 104
Hukum perdata memberikan pengecualian-pengecualian tentang usia belum dewasa yaitu, sejak berumur 18 tahun seorang yang belum dewasa, melalui pernyataan dewasa, dapat diberikan wewenang tertentu yang hanya melekat pada orang dewasa. Seorang yang belum dewasa dan telah berumur 18 tahun kini atas permohonan, dapat dinyatakan dewasa harus tidak bertentangan dengan kehendak orang tua.
102
Ibid Ibid 104 Op.Cit, pasal 330 KUHP, hal.90 103
Universitas Sumatera Utara
44 Dari uraian tersebut kita lihat bahwa seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-Undang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat daripada pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat. 105
Hakim berpendapat bila seseorang dinyatakan dewasa maka ia harus menentukan secara tegas wewenang apa saja yang diberikan itu. Setelah memperoleh pernyataan itu, seorang yang belum dewasa, sehubungan dengan wewenang yang diberikan, dapat bertindak sebagai pihak dalam acara perdata dengan domisilinya. Bila ia menyalahgunakan wewenang yang diberikan maka atas permintaan orang tua atau wali, pernyataan dewasa itu dicabut oleh hakim.
2. Perkawinan Dibawah Umur Menurut konsep Hukum Pidana
Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut pasal 294 dan 295 KUHP adalah 105
Op.Cit
Universitas Sumatera Utara
45 ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia tidak kembali menjadi "belum cukup umur". 106
3. Perkawinan Dibawah Umur Menurut konsep Hukum Adat
Hukum adat tidak mengenal batas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat mengenal secara isidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubungan hukum tertentu pula. 107
Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu.Belum cakap artinya, belum mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. cakap artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. 108
Apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatan kawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita itu kawin dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka itu baru 15 tahun.
106
Ibid Sudarsono, Op.Cit, hal.12 108 Ibid 107
Universitas Sumatera Utara
46
sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan anak karena belum mampu berseksual, mereka dikatakan belum dewasa. 109
4. Perkawinan Dibawah Umur Menurut Ajaran Atheis
Seorang atheis tidak mengakui adanya Tuhan. Mereka tidak mempunyai agama ataupun kepercayaan, yang mengatur hidupnya adalah landasan rasionya atau rasio manusia lainnya yang menjadi pengikutnya. 110
Didalam pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ayat 2 nya menyatakan bahwa Negara menjamin setiap orang untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya tersebut. 111
Perkawinan sah jika dilangsungkan secara agama dan adat, walaupun tidak melalui prosedur Undang-Undang, akan tetapi keabsahan nya juga sebatas menurut agama dan adat tersebut. Karena hukum adat bukan lah hukum perundang-undangan, walaupun sebagai hukum ia mendapat pengakuan sementara dalam aturan peralihan pasal II UUD 1945. Hukum Perundang-undangan selalu dalam bentuk tertulis (hukum tertulis), sedangkan hukum adat bukan hukum tertulis. 112
109
Ibid, hal.14 Ibid, hal.16 111 Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29 ayat 1 dan 2 112 Sudarsono, Op.Cit,hal.12 110
Universitas Sumatera Utara
47
Berdasarkan prinsip dalam Aturan Peralihan pasal II UUD 1945, UU berhak mengubah atau menghapuskan hukum adat, sebaliknya UU tidak berhak mengubah atau menghapuskan hukum agama dan kepercayaan yang berketuhanan yang maha esa, kecuali jika hukum agama tersebut secara nyata berlawanan dengan Pancasila, maka dalam hal ini ia bukan dihapuskan atau diubah tetapi secara darurat terpaksa diakui sebagai non aktif. 113
Perkawinan seorang atheis tidak diakui menurut hukum Republik Indonesia, karena bertentangan dengan Pancasila. Indonesia adalah Negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan atheis adalah kelompok orang-orang yang tidak mengakui adanya Tuhan. Perkawinan atheis hanya dapat berlangsung sesuai dengan kepercayaan dan tradisi kepercayaan orang-orang atheis dan dicatatkan sesuai dengan hukum adat atau kebiasaan kelompok atheis tersebut. 114
5. Perkawinan Dibawah Umur Menurut Konsep Undang-Undang R.I sekarang
Berdasarkan Undang-Undang R.I yang berlaku hingga sekarang, pengertian belum dewasa dan dewasa belum ada pengertiannya. UU perkawinan No.1 tahun 1974, hanya mengatur tentang : 115
1. izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2). 113
Ibid, hal.12 Ibid, hal.12 115 (UU No.1 Tahun 1974 pengaturan tentang anak), Op.Cit 114
Universitas Sumatera Utara
48
2. umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 2). 3. anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada didalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat 1). 4. anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada dibawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1).
Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang "yang disebut belum dewasa dan dewasa" dalam UU ini.
Dalam pasal 7 Undang-Undang Perkawinan disebutkan, untuk dapat menikah, pihak pria harus sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Meski demikian, penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat terjadi jika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memuat aturan yang kurang lebih sama. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 Undang-Undang Perkawinan. Demikian juga soal dispensasi perkawinan di bawah
Universitas Sumatera Utara
49 umur. Bedanya, di dalam KHI disebutkan sebuah alasan mengapa dispensasi itu bisa diberikan, yaitu untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. 116
Kenyataan di lapangan menunjukkan, bukannya melahirkan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan di bawah umur justru banyak berujung pada perceraian. Di samping itu, ada dampak lain yang lebih luas, seperti meningkatnya angka kematian ibu saat hamil atau melahirkan lantaran masih berusia belia. 117
Dari sudut pandang kedokteran, perkawinan dibawah umur mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, perkawinan dibawah umur dapat mengurangi harmonisasi keluarga. 118
Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat perkawinan dibawah umur dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir perkawinan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. 119
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu,
116
Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung, 2005, pasal 15, hal.10 http://www.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3955 118 Ibid 117
119
Ibid
Universitas Sumatera Utara
50 Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.
120
Antara agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai perkawinan dibawah umur. Perkawinan yang dilakukan melewati batas minimal Undang-Undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah perkawinan dibawah umur menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, perkawinan dibawah umur ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh. 121
Terlepas dari semua itu, masalah perkawinan dibawah umur adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut. 122
Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang perkawinan dibawah umur (pernikahan sebelum usia baligh).
120
Ibrahim, al Bajuri , hal 90 vol. 2 Toha Putra, Semarang
121
Ibid Ibid
122
Universitas Sumatera Utara
51 Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan perkawinan di bawah umur. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula perkawinan di bawah umur merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan. 123
123
Ibnu Hajar al ’Asqalani, Fathul Bari, vol.9 hal.237, Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
Universitas Sumatera Utara
52 Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”. 124
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”. 125
Pada hakekatnya, perkawinan dibawah umur juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan nya sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Perkawinan dibawah umur juga merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak ? ujar Imam Jalaludin Suyuthi.
124
125
Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir ,hal.210,Darul Kutub Ilmiah, Beirut. Ibid, hal.501
Universitas Sumatera Utara
53
Walaupun seperti yang disebutkan diatas, bahwa dalam satu sisi perkawinan dibawah umur ada positifnya namun kenyataannya perkawinan dibawah umur lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits memang tidak ada menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah.
Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa : Perkawinan didasarkan atas
persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Sama halnya dengan hukum adat. Hukum adat Indonesia, yang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lain, adalah hukum kebiasaan tak tertulis yang tak mengenal pembakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah mencapai fase atau peristiwa tertentu dalam kehidupannya. Dan ini seringkali tidak terkait dengan umur tertentu.
Instrumen Hak Asasi Manusia, apakah yang bersifat internasional (international human rights law) ataupun yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah RI, tidak menyebutkan secara eksplisit tentang batas usia perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
54 Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
126
Juga setiap negara peserta konvensi diwajibkan melindungi
dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk mengatur permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah. 127
Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi 1964 tersebut, namun telah menetapkan usia minimum pernikahan melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, alias sepuluh tahun setelah Konvensi tersebut lahir.
126
Op.Cit (Keppres No. 36 Tahun 1990) Ibid (Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan Pernikahan, 1964) 127
Universitas Sumatera Utara
55 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara eksplisit tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (vide pasal 3). 128
Namun demikian kultur di sebagian besar masyarakat Indonesia masih banyak memandang hal yang wajar jika pernikahan dilakukan pada usia anak-anak. Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkannya berdasarkan hasil kajian dari laporan kasus-kasus KDRT, Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, diskursus dan penelitian yang dilakukan oleh PKPA tahun 2008, yaitu ; 129
1. Pandangan tentang “kedewasaan” seseorang yang dilihat dari perspektif ekonomi. Ketika seseorang telah mampu menghasilkan uang atau telah terjun ke sektor pekerjaan produktif telah dipandang dewasa dan dapat melangsungkan perkawinan, meskipun secara usia masih anak-anak.
128 129
UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Fokusmedia, Bandung, 2007, hal.6 Ahmad Sofian, Op.Cit (http://m.kompas, magelang, 2 desember 2008)
Universitas Sumatera Utara
56
2. Kedewasaan seseorang yang dilihat dari perubahan-perubahan secara fisik, misalnya menstruasi bagi anak perempuan dan mimpi basah bagi anak laki-laki, diikuti dengan perubahan terhadap organ-organ reproduksi.
3. Terjadinya kehamilan di luar nikah, menikah adalah solusi yang sering diambil oleh keluarga dan masyarakat untuk menutupi aib dan menyelamatkan status anak pasca kelahiran.
4. Korban perkawinan dibawah umur lebih banyak anak perempuan karena kemandirian secara ekonomi, status pendidikan dan kapasitas perempuan bukan hal penting bagi keluarga. Karena perempuan sebagai istri segala kebutuhan dan hak-hak individualnya akan menjadi tanggung jawab suami.
5. Tidak adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran Undang-Undang Perkawinan, menyebabkan pihak-pihak yang memaksa pernikahan di usia dini tidak dapat ditangani secara pidana.
Jika saja semua orang terutama orang tua benar-benar menyadari dan belajar dari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan akibat perkawinan anak dibawah umur tentu saja tidak ada orang tua yang ingin merelakan anak-anaknya terutama anak perempuannya akan menjadi korban berikutnya. Pendewasaan usia perkawinan (PUP) yang diprogramkan oleh pemerintah dan juga usaha-usaha menolak perkawinan dibawah umur yang dilakukan oleh sejumlah organisasi perlindungan
Universitas Sumatera Utara
57 anak hanya yang akan menjadi wacana perdebatan tak berujung. Solusi lain harus dilakukan oleh negara yang melindungi anak dari praktik-praktik perkawinan dibawah umur adalah dengan merevisi UU No. 1 tahun 1974.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama-sama sejumlah organisasi gerakan perempuan pernah mengajukan revisi terhadap UU Perkawinan. Beberapa permasalahan pokok yang diusulkan untuk direvisi antara lain : 130
1. Pendewasaan usia perkawinan di atas 18 tahun, dengan tidak membedakan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki. 2. Prinsip non diskriminasi dalam pencatatan perkawinan, di unit-unit di bawah naungan Departemen Agama.
3. Prinsip non diskriminasi juga diterapkan terhadap hak dan kewajiban bagi perempuan dan laki-laki.
4. Hak dan status anak yang dilahirkan di luar hubungan pernikahan tetap memiliki hak dan status yang sama dengan anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan secara perdata, sesuai UU No.23 tahun 2002 pasal 7 ayat (1) menyebutkan Setiap
130
Ibid – ditulis oleh Ahmad Sofian, MA dan Misran Lubis – Tim PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan
Anak)
Universitas Sumatera Utara
58
anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
Dukungan dan tuntutan tentang revisi Undang-Undang Perkawinan merupakan perwujudan dari upaya bersama untuk menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia, karena pada dasarnya anak hanya titipan dan karunia Tuhan. Prinsip mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut anak merupakan kewajiban semua pihak. 131
131
Ibid
Universitas Sumatera Utara