BAB II PENGATURAN PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN BERUAYA JAUH MENURUT HUKUM INTERNASIONAL 2.1 Sejarah Pengelolaan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Hukum harus mengatur hubungan negara-negara di dunia jika mereka ingin damai, entah hubungan itu terus diatur dalam tatanan negara berdaulat, entah dengan diadakannya sebuah konfederasi dunia atau dibentuh negara-negara dunia yang bersatu. 39 Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner selain perkembangan hukum laut dan jalur-jalur maritim. Pada awalnya, pelayaran di laut bebas terbuka bagi setiap orang demikian pula dengan penangkapan-penangkapan ikan, akan tetapi pada abad keenam belas periode-periode dimana terjadi penemuan maritim akbar oleh para pelaut Eropa dan klaim-klaim yang dikemukakan oleh negara maritim dengan tujuan untuk melaksanakan kedaulatan, yang mana hal ini tidak dapat dibedakan dari pemilikan atas bagian-bagian tertentu dari laut bebas. Seorang Grotius merasa sangat keberatan dengan adanya klaim-klaim kedaulatan tersebut dengan berlandaskan dua faktor; pertama, tidak ada lautan yang dapat menjadi milik suatu bangsa atau negara karena tidak mungkin bagi suatu negara untuk secara efektif mengambilnya sebagai hal milik dengan cara okupasi. Faktor kedua, alam tidak memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki sarana yang dapat
39
Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations: Pengantar Hukum Modern Antar Bangsa, Nuansa, Bandung, 2012 , hal.18.
dimanfaatkan oleh setiap orang serta sifatnya tidak dapat habis, atau dengan kata lain laut lepas adalah hak semua bangsa. 40 Mengetahui sejarah pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan tidak lepas dari sejarah dan perkembangan hukum laut itu sendiri yang sejak awal yaitu dimulai pada 41; 1. Hukum Laut Rhodia (abad 7) Rhodes adalah seorang pelaut, yang kuat serta mandiri. Antara 1.000 SM dan 600 SM, rakyat Rhodes mengembangkan armada komersial yang kuat dan mereka tersebar di daerah Mediterania, serta mendirikan koloni perdagangan di sepanjang pantai barat Italia, Perancis dan Spanyol. Secara bersamaan, orangorang Rhodes mengembangkan aturan hukum untuk menangani perselisihan pengiriman yang disebut kode hukum maritim (Rhodia Lex). Tidak ada salinan kode hukum maritim pernah ditemukan. Namun hukum maritim Rhodian bertahan sampai Kekaisaran Romawi, dan diadopsi oleh bangsa Roma. Sebelum Imperium Romawi berada dalam puncak kejayaan, Phoenicia dan Rhodes mengkaitkan kekuasaan atas laut dengan pemilikan kerajaan atas laut. Pengaruh pemikiran tersebut tidak terlalu besar karena tenggelam dalam perkembangan laut yang didasarkan atas hukum Romawi pada abad pertengahan dimana saat itu tidak ada pihak lain yang menentang kekuasaan mutlak Romawi terhadap Laut Tengah. Laut Tengah pada masa itu seperti danau dalam wilayah 40
J.G. Starke, (terj. Bambang Iriana Djajaatmadja), Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 322 41 Dimuat dalam: http://lalayulinurmala.blogspot.com/2011/05/kodifikasi-hukum-lautinternasional.html, diakses pada: 03 Agustus 2015
Imperium Romawi dan menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak laut sehingga semua orang bebas menggunakan Laut Tengah dengan aman dan sehjatera. Pemikiran hukum yang melandasi sikap Bangsa Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu hak bersama seluruh umat (res communis omnium) 42 sehingga penggunaan laut terbuka bagi setiap orang, dimana untuk memahami perkembangan mengenai laut yang terbuka tersebut perlu dijelaskan adanya pemikiran lain tentang laut yang dianggap sebagai “res nullius” 43 yaitu laut bias dimilikiapabila yang ingin memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya yaitu suatu paham yang didasarkan atas konsepsi occupation dalam hukum Romawi. Di kawasan Laut Tengah sekitar abad ke-14 terhimpun sekumpulan peraturan hukum laut yang dikenal dengan Consolato del Mare yang merupakan seperangkat ketentuan hukum laut yang berkaitan dengan perdagangan (perdata). 2. Himpunan Rolles d’oleron The Rolls of Oléron atau juga dikenal sebagai “Hukum Oleron” dan “Aturan Oleron” adalah koleksi penilaian disusun menjadi kode di akhir abad kedua belas melalui suatu keputusan Eleanor dari Aquitaine, yang digunakan
42
Konsep penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang atau sering dikenal dengan asas “res communis omnium” dalam arti hak bersama (seluruh) manusia untuk menggunakan laut yang mula-mula berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari gangguan perampok (bajak laut) dengan bertambahnya penggunaan-penggunaan laut (uses of the sea) lain disamping pelayaran, seperti perikanan, menjadi dasar pula dari kebebasan menangkap ikan. Lihat Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional,Bandung: Binacipta,1986, hlm. 3. 43 Asas “res nullius” menganggap laut itu tidak ada yang memiliki. Menurut ajaran ini, maka siapa pun yang dapat menguasai laut, dapat pula memilikinya. Walaupun asas atau doktrin ini dapat memberi kepastian, namun karena didasarkan atas penggunaan kekuatan fisik, asas ini tidak memberikan penyelesaian yang langgeng dan menjadi sumber dari persengketaan. Lihat Ibid., hlm. 4.
sebagai kode maritim di seluruh Eropa. Ini adalah sumber Hukum Admiralty Inggris. Sekitar 1160
Eleanor dari Aquitaine pergi di pulau Oleron untuk
keadilan. Dia juga melakukan laporan hukum, yang kemudian dikodifikasikan untuk mengatur perdagangan maritim. Ini merupakan kode maritim pertama yang sukses besar. Hal ini secara bertahap berkembang menjadi 24 item ke akhir abad kedua belas. 3. Sea Code of Wisby Kode hukum laut yang ditetapkan oleh para pedagang dan penguasa kota megah Wisbuy. Kota ini adalah ibukota kuno Gothland, sebuah pulau di laut Baltik. Maylne, dalam koleksi hukum laut, mengatakan bahwa hukum Oleron telah diterjamahkan ke dalam bahasa Belanda oleh rakyat Wisbuy ntuk penggunaan pantai Belanda. Ketentuan dalam Hukum Wisby adalah persis sama dengan yang ditemukan di Hukum Oleron. Namun para penulis utara ini berpurapura bahwa Hukum Wisby lebih dahulu ada daripada Hukum Oleron atau dari Consolato del Mare. 4. Hukum Laut Amanna Gappa Himpunan hukum pelayaran dan perdagangan di Indonesia yang berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Dimana dalam hukum laut dan pelayaran Amanna Gappa ini memuat dua puluh satu pasal, hal ini merupakan penyempurnaan dari Muhammad Ibnu Badwi yang ditulisnya ketika berada di Gresik. Pada tahun 1603, “Santa Catarina”, sebuah kapal Portugis dirampas oleh VOC (di bawah Admiral Jacon van Hemskeerk) di perairan Malaka. Saat itu
Belanda sedang terlibat perang dengan Portugis dan Spanyol dalam upaya berebut pengaruh di Asia Tenggara. Portugis meminta supaya Belanda mengembalikan muatan “Santa Catarina” yang antara lain berupa 1200 gulung sutera Cina. Van Hemskeerk tidak memiliki otoritas dari VOC untuk menggunakan kekerasan terhadap kapal-kapal Portugis. Sehingga sebagian pemegang saham kurang setuju dengan pemggunaan kekerasan tanpa kewenangan yang menyertai perampasan “Santa Catarina”. Setelah muncul kontroversi, VOC meminta Hugo Grotius untuk menyusun argumentasi mendukung perampasan Santa Catarina. Grotius membenarkan perampasan terhadap kapal Portugis berdasarkan konsep “Mare Liberum”, yaitu laut
adalah wilayah yang bebas dipergunakan oleh bangsa
manapun, tidak bisa dimonopoli oleh suatu negara. Monopoli Portugis di lautan Hindia bertentangan dengan “prinsip keadilan alamiah.” Alasan-alasan yang dikemukakan Grotius dalam bukunya “Mare Liberum” untuk menyangkal kebenaran politik Portugal melarang pihak lain berlayar ke Timur Jauh didasarkan atas pendirian bahwa laut terbuka untuk siapa pun juga karena tidak ada yang memilikinya. Walaupun “Mare Liberum” ditulis untuk membela kebebasan berlayar (freedom of navigation) di laut terhadap klaim bangsa Portugis dan Spanyol namun buku ini juga menyinggung tentang kebebasan menangkap ikan. Pendirian Grotius tentang hak menangkap ikan di laut yang menurut dia harus terbuka untuk siapapun didasarkan alasan bahwa laut itu merupakan suatu sumber kekayaan laut yang tidak ada batasnya. 44
44
Ibid., hlm. 14.
Konsep “Mare Liberum” kemudian ditentang oleh Inggris yang saat itu sedang bersaing dengan Belanda untuk menguasai lautan. Inggris kembali menegaskan konsep “Mare Clausum”. Menurut konsep Mare Clausum, laut adalah wilayah yang dpat dimiliki sebagaimana wilayah darat. Hingga seterusnya Pontanus seorang Belanda yang bekerja dalam dinas diplomatic Denmark, yang mengajukan suatu teori yang merupakan kompromi antara teori “Mare Clausum” dan “Mare Liberum” dengan membagi laut menjadi dua bagian yakni laut yang berdekatan dengan negara pantai (adjacent sea) yang dapat jatuh dibawah pemilikan atau kedaulatan negara pantai, sedangkan diluar itu lautan bersifat bebas. 45 Rumusan kompromi ini berdampak pada hilangnya pandangan yang bertentangan kedua dasar tersebut, dengan penyempurnaan oleh seorang ahli hukum dari Belanda Cornelis Van Bynkershoek yang menulis buku De Domino Maris Dissertatio, mengemukakan suatu rumusan dalil sebagai penjelmaan dari asas penguasaan laut dari darat, berupa suatu kaidah tembakan meriam yang berbunyi; “kedaulatan territorial berakhir dimana kekuatan senjata berakhir” (Terrae protestas finitur ubi finitur armorum vis). 46 Dalam awal masa sejarah hukum laut ada beberapa ukuran yang dipergunakan untuk menetapkan lebar laut territorial sebagai jalur dibawah kedaulatan negara pantai, diantaranya; (1) ukuran tembakan meriam, (2) ukuran pandangan mata, dan (3) ukuran marine league. 47 Dalam praktik, negara-negara mengambil jalan tengah, yaitu ada bagian laut yang bisa dimiliki dan ada bagian
45
Ibid., hlm. 19 Ibid., hlm. 20. 47 Ibid., hlm. 20-21. 46
laut lepas. Salah satu gagasan tentang kepemilikan laut didasarkan pada kemampuan penguasaan efektif oleh negara pantai berdsarkan jangkauan tembakan meriam (ketika itu) dari darat, yakni selebar 3 mil. Sejak saat itu, negara-negara mulai mengembangkan Hukum Internasional Kebiasaan di dalam pemanfaatan laut. Semua pengaturan mengenai aturan atau hukum laut mengalami berbagai upaya mengkodifikasinya, diantaranya; a. Konferensi Kodifikasi Den Haag (1930) Konferesi Internasional pertama yang membahas masalah laut teritorial ialah codification conference (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, dibawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan 4 mil. Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata sepakat diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PPB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa Bangsa melalui Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Februari menyetujui untuk mengadakan konferensi Internasional tentang hukum laut pada bulan Maret 1958.
b. UNCLOS I Konferensi ini diadakan pada tanggal 24 Februari – 27 April 1958 yang dihadiri oleh 700 delegasi dari 86 negara, yang dikenal dengan UNCLOS I (United Nations Convention on The Law of The Sea) atau konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hukum laut. Pertemuan ini menghasilkan empat konvensi, yaitu: 1. Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan Memuat hak kedaulatan dan hak lintas melalui laut teritorial, penambahan zona tambahan seluas 12 mil laut dari garis pantai, tapi gagal untuk menetapkan standar batas laut teritorial. Konvensi ini mulai berlaku sejak 10 September 1964. 2. Konvensi tentang Laut Lepas Memuat tentang; (a) Kebebasan pelayaran, (b) Kebebasan menangkap ikan, (c) Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa, (d) Kebebasan terbang di atas laut lepas, dimana konvensi ini berlaku sejak tanggal 30 September 1962. 3. Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber Hayati di Laut Lepas
Memuat hak-hak negara pantai untuk melindungi sumber daya hayati laut serta memuat langkah-langkah untuk penyelesaian sengketa apabila terjadi. Berlaku sejak tanggal 20 Maret 1966. 4. Konvensi tentang Landas Kontinen Memuat rezim yang mengatur perairan dan wilayah udara, peletakan dan pemeliharaan kabel laut atau pipa, rezim yang mengatur navigasi, memancing, penelitian ilmiah dan kompetensi negara pantai di wilayah ini. Berlaku semenjak tanggal 10 Juni 1964. c. UNCLOS II (1960) Dalam upaya untuk menangani isu-isu yang belum terpecahkan setelah UNCLOS I, Majelis Umum PBB mengadakan Konvensi Kedua tentang Hukum Laut (UNCLOS II). Konferensi ini berlangsung dari tanggal 17 Maret sampai dengan 26 April 1960. UNCLOS II ini membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi. d. UNCLOS III (1982) Frustasi oleh inkonsistensi dalam rezim pemerintahan laut, duta besar Malta untuk PBB, Arvid Pardo, meminta Majelis Umum untuk mengambil tindakan dan menyerukan “sebuah rezim internasional yang efektif atas dasar laut,” yang jelas-jelas didefinisikan nasioanal yurisdiksi.
Satu bulan kemudian, Majelis Umum mengadopsi resolusi 2467 A (XXIII) dan resolusi 2750 C (XXV), yang melahirkan the Committee on the Peaceful Uses of the Sea-Bed and the Ocean Floor di luar batas yurisdiksi nasional dan menyerukan diadakannya Konferensi ketiga tentang Hukum Laut (UNCLOS III) yang diadakan pada tahun 1973 di New York. Dalam upaya mengurangi kemungkinan kelompok negara atau bangsa mendominasi perundingan, konferensi yang menggunakan proses konsensus dengan suara terbanyak. Dengan lebih dari 160 negara peserta, konferensi ini berlangsung sampai tahun 1982 yang disetujui di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 yang ditandatangani oleh 119 negara. Konvensi yang dihasilkan mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994, satu tahun setelah negara keenam puluh, Guyana, meratifikasi perjanjian internasional tersebut. Konverensi itu berisi 320 artikel dan 9 lampiran. Ini mensintesis dan dibuat berdasarkan perjanjian yang telah dikembangkan di konferensi pertama. Yang memuat sejumlah ketentuan seperti menetapkan batas, navigasi, status kepulauan dan rezim transit, zona ekonomi eksklusif (ZEE), yurisdiksi landas kontinen, penambangan dasar laut dalam, rezim eksploitasi, perlindungan lingkungan laut, penelitian ilmiah, dan penyelesaian sengketa. Konvensi tersebut menetapkan batas berbagai daerah, diukur dari garis pangkal. Biasanya, sebuah dasar laut mengikuti garis air rendah, tapi ketika garis pantai yang sangat menjorok, memiliki tepi pulau, garis pangkal lurus dapat digunakan. Daerahnya adalah sebagai berikut:
1. Perairan Dalam Meliputi semua air dan saluran air pada sisi darat dari garis pangkal. Negara pantai bebas untuk mengatur hukum, mengatur penggunaan, dan penggunaan sumber daya apapun. 2. Laut Teritorial Batas luar sampai 12 mil laut dari garis pangkal, negara pantai bebas untuk mengatur hukum, mengatur penggunaan, dan menggunakan sumber daya apapun. Kapal diberi hak lintas damai melalui perairan teritorial, dengan selat strategis memungkinkan perjalanan militer sebagai lintas transit, kapal laut harus memperlihatkan negara bendera di perairan teritorial. “Innocent Passage” didefinisikan oleh konvensi sebagai melewati perairan secara cepat dan berkesinambungan, yang tidak merugikan
bagi
perdamaian,
ketertiban
atau
keamanan
negara
pantai. Memancing, polusi, praktek senjata, dan kapal selam serta kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di permukaan dan
menunjukkan
bendera
mereka.
Negara
pantai
juga
dapat
menangguhkan untuk sementara lintas damai di daerah tertentu dari laut teritorialnya, jika hal itu sangat penting untuk perlindungan keamanannya. 3. Kepulauan Perairan Konvensi ini menetapkan definisi Archipelagi Waters dalam Bagian IV, yang juga mendefinisikan bagaimana negara dapat menarik batas teritorial. Dasarnya adalah ditarik antara titik-titik terluar dari pulau
terluar, tunduk pada poin yang cukup dekat satu sama lain. Semua perairan di dalam dasar ini ditujukan Archipelagi Waters. Negara memiliki kedaulatan penuh atas perairan ini (seperti perairan dalam), tetapi kapal asing memiliki hak lintas damai melalui perairan kepulauan (seperti perairan teritorial). 4. Zona Tambahan Zona yang berbatasan dengan laut teritorial yang jaraknya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal. Kewenangan negara pantai di zona tambahan yaitu dapat melakukan pencegahan pelanggaran-pelanggaran perundang-undangan
yang
berkenaan
dengan
masalah
beacukai,
perpajakan, pengimigrasian, dan kesehatan atau saniter. Serta menghukum pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang disebut sebelumnya. 5. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Zona Ekonomi Eksklusif merupakan suatu daerah atau area yang terletak di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. Zona Ekonomi Eksklusif berada di luar wilayah negara atau bukan merupakan wilayah negara. Akan tetapi negara pantai yang bersangkutan memiliki hak-hak dan yurisdikdi-yurisdikdi tertentu. Disamping itu hak-hak dan kebebasankebebasan juga dimiliki oleh negara lain pada zona laut ini yang harus dihormati oleh negara pantai. 6. Landasan Kontinen
Landas kontinen meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya diluar laut teritorialyang merupakan lanjutan alamiah dari wilayah daratannya sampai jarak 200 mil laut dari garis pangkal, atau sampai disisi luar dari ketentuan kontinen. Landas kontinen suatu negara boleh melebihi 200 mil laut sampai perpanjangan alami berakhir. Namun, tidak dapat melebihi 350 mil laut dari garis pangkal, atau mungkin tidak akan pernah melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman 2.500 meter. Selain dari ketentuan-ketentuan yang menentukan batas-batas laut, UNCLOS 1982 menetapkan kewajiban umum untuk melindungi lingkungan laut dan melindungi kebebasan penelitian ilmiah di laut lepas, dan juga menciptakan suatu rezim hukum inovatif untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya mineral di daerah-daerah dasar laut yang di luar yurisdiksi nasional, melalui International Seabed Authority 48 dan Common heritage of mankind principle. Dalam
mempertahankan perdamaian dan ketertiban di laut, serta
penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk kepentingan umat manusia, merupakan hal yang perlu diperhatikan, maka United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang juga sering disebut sebagi “Constitution of the Oceans”, telah menjadi dasar dalam berbagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut selama ini.
48
International Seabed Authority (ISA) adalah organisasi internasional otonom yang didirikan berdasarkan UNCLOS 1982 yang berkaitan dengan pelaksanaan Bab XI konvensi. Organisasi ini didirikan untuk mengawasi dan membatasi pihak-pihak yang mengeksplorasi dan mengekploitasi dasar laut yang menguntungkan pihak mereka agar tidak berlebihan. Lihat gemonkzamania.blogspot.co.id/2013/04/profil-international-seabed-authority.html?m=1, diakses pada 12 Agustus 2015.
Pada tanggal 11 Desember 1982 UNCLOS 1982, menetapkan asas-asas dasar untuk penataan kelautan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa UNCLOS 1982 ini merupakan suatu perjanjian internasional sebagai hasil dari negosiasi antar lebih dari seratus negara, yang mengatur materi yang begitu luas dan kompleks. Secara rinci UNCLOS 1982 menetapkan hak dan kewajiban, kedaulatan, hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara-negara dalam pemanfaatan dan pengelolaan laut. 49 Menurut laporan Food and Agriculture Organizations (FAO) dalam The State of World Fisheries and Aquaculture (selanjutnya disebut SOFIA) tahun 2012 menyebutkan, bahwa sektor perikanan mendukung mata pencaharian sekitar 540 juta penduduk dunia dan produksi perikanan dunia mencapai 128 juta ton ikan dan SOFIA 2012 menjelaskan bahwa persediaan ikan dunia mengalami penurunan akibat eksplotasi berlebih (overexploited), yaitu: 85% SDI dunia dalam keadaan overexploited dan fully exploited serta nberada dalam batas tangkapan maksimum lestari. 50 Penangkapan berlebih terhadap SDI sebenarnya sering terjadi di laut lepas oleh kapal penangkap ikan jarak jauh (distant-water fishing vessels) yang keberadaannya akan mengancam kapal serta ketersediaan ikan di negara pantai yang berdekatan dengan laut lepas. Kondisi SDI di laut lepas yang mengalami overfishing antara lain terjadi pada sumber daya ikan bermigrasi jauh. Berdasarkan Lampiran I the United 49
Prof. Dr. Etty R. Agoes, S.H., LL.M. Penguatan Hukum Internasional Kelautan. Makalah disampaikan pada Workshop tentang “Membangun Sinergitas Potensi Ekonomi, Lingkungan, Hukum, Budaya dan Keamanan untukMeneguhkan Negara Maritim yang Bermartabat”, Universitas Sumatera Utara, Medan, 5-6 Maret 2015. 50 Batas tangkapan maksimum lestari adalah kondisi tingkat pemanfaatan sumber daya ikan tidak melebihi batasan yang ditetapkan sehingga persediannya tetap berkelanjutan. Lihat; Dr. Chomariyah, SH., MH., Hukum Pengelolaan Konservasi Ikan, Pelaksanaan Pendekatan Kehatihatian oleh Indonesia, Malang, SETARA Press, 2014. Hlm. 8.
Nation on the Law of the Sea (selanjutnya disebut UNCLOS 1982) terdapat beberapa jenis ikan yang tergolong dalam daftar jenis ikan bermigrasi jauh seperti dalam tabel 1 berikut; 51
No
Nama Ikan
Nama Latin dan Nama Indonesia
1
Albacore Tuna
Thunnus alalunga
2
Bluefin Tuna
Thunnus thynnud (Tuna Sirip biru atlantik)
3
Big eye tuna
Thunnus Obesus (tuna mata besar)
4
Skipjack tuna
Katsuwonus pelamis (cakalang)
5
Yellowfin tuna
Thunnus albacares (Madidihang)
6
Blackfin tuna
Thunnus atlanticus
7
Little tuna
Euthynnus alletteratus; Euthynnus affinis (Tongkol)
8
Southern Bluefin tuna
Thunnus maccoyii (Tuna sirip biru selatan)
9
Frigate marckerel
Auxis thazard, Auxis rochei (Makarel)
10
Pomfrets
Family Bramidae
11
Marlins
Terapturus angustirostris (Setuhuk)
12
Sail-fishes
Istiophorus platypterus (Ikan Layaran)
13
Swordfidsh
Xiphias gladius (Ikan Pedang)
14
Sauries
Scomberesox saurus (Tenggiri)
15
Dolphin
Coryphanea hippurus (Lumba-lumba)
16
Oceanic shark
Hexanchus griseus (Hiu)
17
Cetaceans
Family Physeteridae
Tabel 1. Daftar Jenis Ikan Bermigrasi Jauh (High Migratory species) Berdasarkan Lampiran 1 UNCLOS 1982
51
Ibid., hlm. 11.
Mengingat pasal 87 UNCLOS 1982 dikenal adanya asas ”freedom of the high seas” yang berlaku di laut lepas yang merupakan zona maritim di luar wilayah yurisdiksi nasional suatu negara, termasuk juga prinsip kebebasan menangkap ikan “freedom of fishing”. Tetapi dalam pelaksanaannya prinsip ini sering salah pemahaman yang mengakibatkan overfishing atau over exploited, sehingga mendorong masyarakat internasional untuk mengatur hal ini. Setelah berlakunya UNCLOS 1982, ketentuan tentang kebebasan menangkap ikan di laut lepas diatur dalam pasal 87 ayat (1) huruf (e) UNCLOS 1982, yaitu kebebasan menangkap ikan disertai dengan kewajiban yang diatur dalam bab VII bagian 2 Konvensi. Bagian 2 Konvensi mengatur tentang pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas yang terdiri dari pasal 116 sampai pasal 120. Konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas telah menjadi bahan perdebatan panjang masyarakat internasional sejak Konferensi Hukum Laut I hingga Konferensi Hukum Laut III. Namun, hingga disahkan Konvensi Hukum Laut
1982,
Konferensi
belum
berhasil
merumuskan
pengaturan
yang
komprehensif mengenai masalah konservasi dan pengelolaan perikanan di Laut Lepas. Konferensi telah menyerahkan pengaturan tersebut pada negara yang berkepentingan dengan perikanan di Laut Lepas di wilayahnya masing-masing. Dalam perkembangannya, sediaan sumber daya ikan di Laut Lepas, khususnya jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, terus mengalami penurunan secara drastis. Hal ini telah mendorong masyarakat internasional untuk mencari solusi guna mengatasi persoalan tersebut.
Pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tanggal 3 sampai dengan 14 Juni 1992, telah dihasilkan sebuah agenda (Agenda 21) yang mengharuskan negara-negara mengambil langkah yang efektif melalui kerja sama bilateral dan multilateral, baik pada tingkat regional maupun global, untuk menjamin bahwa perikanan di Laut Lepas dapat dikelola sesuai dengan ketentuan Hukum Laut 1982. Amanat Agenda 21 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 47/192 tanggal 22 Desember 1992, yang menghendaki dilaksanakannya Konferensi tentang Jenis Ikan yang Beruaya Terbatas dan Jenis Ikan yang Beruaya Jauh. Dalam Resolusi tersebut ditekankan agar Konferensi dapat mengidentifikasi persoalan yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, mempertimbangkan pentingnya peningkatan kerja sama antarnegara, serta menyusun rekomendasi yang tepat. Setelah melalui enam kali persidangan yang berlangsung sejak April 1993 sampai Agustus 1995, bertempat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, ditandatangani draft final persetujuan dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement/UNIA 1995). Tujuan Persetujuan ini adalah untuk menjamin konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas sediaan
ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh melalui pelaksanaan yang efektif atas ketentuan yang terkait dari UNCLOS 1982. Terdapat juga pasal yang mengatur tentang pengelolaan dan konservasi sumberdaya jenis ikan bermigrasi jauh, yaitu ; Pasal 63 ayat (2) UNCLOS 1982 yang menetapkan: “Where the same stock or stocks of associated species occur both within the exclusive economic one and in an area beyond and adjacent to the zone, the coastal State and the States fishing for such stocks in the adjacent area shall seek, either directly or through appropriate subregional or regional organizations, to agree upon the measures necessary for the conservation of these stocks in the adjacent area.” Pasal 64 ayat (1) UNCLOS 1982, menyebutkan sebagai berikut; “The coastal State and other States whose nationals fish in the region for the highly migratory species listed in Annex I shall cooperate directly or through appropriate international organizations with a view to ensuring conservation and promoting the objective of optimum utilization of such species throughout the region, both within and beyond the exclusive economic zone. In regions for which no appropriate international organization exists, the coastal State and other States whose nationals harvest these species in the region shall cooperate to establish such an organization and participate in its work.” Pasal 64 ini menjelaskan tentang jenis ikan bergerak melalui daerah luas ruang laut, baik di dalam dan di luar zona ekonomi ekslusif. Jenis ikan ini disebut “ikan bermigrasi jauh”. Ayat 1 ini mengharuskan negara pantai dan negara lain si suatu wilayah tertentu untuk bekerja sama untuk memastikan konservasi dan
meningkatkan tujuan pemanfaatan optimum dari jenis ikan bermigrasi jauh. Kerjasama yang dimaksu dapat secara langsung atau melalui organisasi internasioanal dan harus dilakukan di seluruh wilayah, di dalam maupun diluar zona ekonomi eksklusif. Dalam hal ini juga dikatakan bahwa di daerah yang tidak terdapat organisasi perikanan internasional, maka negara pantai dan negara lain yang memanen jenis ikan tersebut harus bekerjasama membentuk organisasi tersebut. Dalam pasal 63 ayat (2) dan pasal 64 ayat (1) UNCLOS 1982 tidak mencantumkan secara spesifik mengenai langkah-langkah dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh. Ketentuan ini hanya menyebutkan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi kedua jenis ikan tersebut melalui kerjasama yang harus ditetapkan dalam persetujuan dua atau lebihnegara pantai atau persetujuan tentang pembentukan orgasnisasi internasional untuk menjamin tujuan pemanfaatan kedua jenis ikan tersebut. 52 2.2 Pengaturan Mengenai Status Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan Lintas Batas dan Perkembangannya Sumber daya ikan merupakan salah satu sumber pangan dan komoditi industri kelautan yang sangat penting di dunia untuk dapat digunakan dalam mendukung kesejahteraan rakyat. Salah satu masalah terbesar dalam dunia perikanan adalah adanya krisis perikanan global yang mulai dirasakan sejak awal tahun 1990-an. Ketika permintaan ikan dunia meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia, maka intensitas penangkapan ikan duniapun 52
Ibid. hlm.5.
meningkat secara signifikan. 53 Penyebab meningkatnya kebutuhan ikan dunia, yaitu: (1) meningkatnya jumlah penduduk serta meningkatnya pendapatan masyarakat dunia, (2) meningkatnya kualitas hidup yang diikuti dengan bergesernya komposisi makanan ke makanan sehat yang dicirikan dengan rendahnya kandungan kolesterol (pola red meat ke white meat), (3) masyarakat dunia semakin sibuk (people on the run) sehingga memerlukan makanan sehat dan siap saji, (4) dampak globalisasi menyebabkan aktivitas perikanan melampaui batas-batas negara, sehingga dituntut pula penyediaan makanan yang dapat diterima secara internasional, karena ikan merupakan alternatif komoditas makanan yang memenuhi syarat tersebut, dan (5) ketakutan akan tertularnya penyakit kuku dan mulut, sapi gila, anthraks, flu burung akibat konsumsi dagingdaging ternak dan unggas (hewani) semakin menguatkan asumsi bahwa alternatif terbaik yang dapat dilakukan adalah mengkonsumsi ikan. Karena kebutuhan antar bangsa yang timbal-balik sifatnya, maka untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan tersebut dibutuhkan hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. 54 Dikaitkan dalam permasalahan hukum laut yaitu dalam pemanfaatan sumberdaya hayati di laut lepas maka keberadaaan UNCLOS 1982 sebagai Constitution of the Oceans, yang dalam mukadimah UNCLOS 1982 berfungsi sebagai suatu tertib hukum (a legal order) bagi laut dan samudera, merupakan
53
Lucky Andrianto, “Implementasi Code of Conduct For Responsible Fisheries dalam Perspektif Negara Berkembang”, dalam Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Jurnal of International Law), Volume 2 Nomor 3 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005), Hlm. 470. 54 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm 13.
sumbangan untuk memperkokoh “peace, security, cooperation abd friendly relations among all nations” dan untuk memajukan peningkatan ekonomi dan social segenap masyarakat dunia. Kebebasan di laut lepas, terutama kebebasan menangkap ikan dengan adanya Pasal 87 UNCLOS 1982 maka kebebasan semua negara,
yaitu;
kebebasan
berlayar
(freedom of
navigation); kebebasan
penerbangan (freedom of overflight); kebebasan memasang pipa kabel dibawah laut (freedom to lay submarine cables and pipelines); kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lain (freedom to construct artificial islands and other installations permitted under international law); kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing); kebebasan melakukan riset ilmiah (freedom of scientific research). Namun segala hak atau kebebasan bagi warga negaranya dibatasi dengan adanya persyaratan yang tercantum dalam bagian 2 UNCLOS 1982 dan kewajiban berdasarkan Pasal 87 ayat (2). 55 Kebebasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 87 UNCLOS 1982 juga dibatasi dengan adanya Pasal 118 UNCLOS 1982, yang mengatakan; “States shall cooperate with each other in the conservation and management of living resources in the areas of the high seas. States whose nationals exploit identical living resources, or different living resources in the same area, shall enter into negotiations with a view to taking the measures necessary for the conservation of the living resources concerned. They shall, as appropriate, cooperate to establish subregional or regional fisheries organizations to this end.”
55
Dr. Chomariyah, SH., MH., Op.Cit., hlm. 28-29
Kondisi perikanan dilaut lepas yang mengalami over fishing dan meningkatnya illegal fishing menimbulkan kekhawatiran masyarakat dunia yang menginginkan
penangkapan
ikan
yang
bertanggungjawab
dan
lebih
memperhatikan pengelolaan lingkungan maka dibuatlah the International Conference on Responsible Fishing 1992, yang menghasilkan Declaration of Cancum berupa penangkapan ikan yang bertanggungjawab dan menjadi masukan dalam United Nations Conference on Enviroment and Development (selanjutnya disebut UNCED 1992). Kemudian UNCED 1922 atau sering disebut KTT Bumi (Earth Summit 1992) diadakan di Rio de Janerio, Brazil pada 3-14 juni 1992, menghasilkan: (1) Convention on Biological Diversity, (2) Convention on Climate Change, (3) Agenda 21, (4) Rio Forestry Principles, dan (5) Rio Declaration. Pada Agenda 21 Bab 17 tentang Protection of the Oceans, All kinds of Seas, including Enclosed and Semi-enclosed seas, and Coastal Areas and the Protection, Rational use and Development of their Living Resources, butir 17.1 mencantumkan 3 pendekatan baru, yaitu integrated, precautionary, dan anticipatory. FAO Council tahun 1988 memberikan batasan pengertian prinsip sustainable development yang dikaitkan dengan pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam, sebagai berikut; 56 “Sustainable development is the management and conservation of the natural resource based on the orientation of technological and institutional change in such a manner as to ensure the attainment of
56
Ibid., hlm. 36.
continued satisfaction of human needs for present an future generations. Such sustainable development conserves land, water, plans and animal genetic resources, is environmentally nondegrading, technologically appropriate, economically viable and socially acceptable.” Sedangkan dalam agenda 21 Bab 17 butir 17.46, menggunakan istilah sustainable use, sebagai berikut; 57 “States commit themselves to the concervation and sustainable use of marine kiving resources on the high seas. To this end, it is necessary : (a). Develop and increase the potential of marine living resources to meet human nutritional needs, as well as social, economic and development goals; (b). Maintain or restore populations of marine species at levels that can produce the maximum sustainable yield as qualified by relevant eviromental
and
economic
factor,
taking
into
consideration
relationship among the species; (c). Promote the development and use of target species and minimized bycatch of non-target species; (d). Ensure effective mentoring anf enforcement with respect to fishing activities; (e). Protect and restore endangered marine species; (f). Preserve habitats and other ecologically sensitive areas; (g). Promote scientific research with respect to the marine living resources in the high seas.
57
Ibid.
Kemudian Precautionary approach yang selanjutnya disebut pendekatan kehati-hatian ini digunakan dalam Agenda 21 berkaitan dengan perlindungan dan pembangunan berkelanjutan untuk sumber daya di laut lepas, yang dijelaskan dalam Agenda 21 Bab 17 butir 17.49 sebagai berikut: 58 “States should take effective action, including bilateral and multilateral cooperation, where appropriate at the subregional, regional and global levels, to that high seas fisheries are managed in accordance with the provisions of the United Nation Convention on the Law of the Sea. In particular, they should: (a) give full effect …; (b) give full effect to these provisions with regard to highly migratory species; …”. Berdasar penjelasan tersebut, maka negara-negara harus melakukan kerjasama secara bilateral dan multilateral ditingkat subregional, regional maupun global, untuk menjamin bahwa penangkapan ikan di laut lepas dapat dikelola dengan ketentuan UNCLOS 1982, dan untuk huruf (b) berlaku ketentuan yang berkaitan dengan jenis ikan bermigrasi jauh. 59 Maka permasalahan tekanan yang terus berlanjut pada sumber daya ikan di laut lepas mengakibatkan terjadinya penurunan hasil tangkapan. Menurut UNCLOS 1982 pengelolaan SDI di perairan negara pantai adalah tanggung jawab negara pantai sedangkan pengelolaan SDI di laut lepas merupakan tanggung jawab bersama dari negara-negara. Dengan demikian harus ada komitmen yang kuat dari negara pantai, negara penangkap ikan jarak jauh, dan kewajiban negara bendera untuk melakukan pengawasan
58
Ibid., hlm. 13-14. Lihat Ketentuan Pasal 64 ayat (1) UNCLOS 1982 yang mengatur tentang High Migratory Species. 59
terhadap warganegaranya yang menangkap ikan di laut lepas berdasarkan standar hukum internasional. 60 Selanjutnya, disebutkan bahwa, negara-negara harus mengkoordinasikan secara langsung kegiatan-kegiatan dan kerjasamanya, melalui organisasi pengelola perikanan regional terkait, dalam mencegah, mengurangi dan menghapuskan IUU Fishing. Secara khusus, negara-negara harus: a. Menukar data atau informasi, ditekankan dalam format yang distandarisasi, dari catatan-catatan kapal-kapal yang dimiliki mereka untuk menangkap ikan, dengan cara yang konsisten dengan persyaratan-persyaratan pertimbangan yang berlaku; b. Kerjasama dalam akuisisi yang efektif, pengelolaan dan verifikasi semua data dan informasi terkait dari penangkapan; c. Mengijinkan dan membantu praktisi-praktisi SMK atau dorongan pribadi untuk bekerjasama dalam penyelidikan IUU Fishing, dan akhirnya negaranegara harus mengumpulkan dan mengelola data dan informasi yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan; d. Kerjasama dalam menyalurkan kemampuan dan teknologi; e. Kerjasama dalam membuat kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur yang cocok.
60
Dr. Chomariyah, SH., MH., Op.Cit., hlm. 18.
f. Mengembangkan mekanisme kerjasama yang menyebabkan respon yang cepat terhadap IUU Fishing, dan g. Kerjasama dalam monitoring, kontrol, dan pengawasan, termasuk melalui perjanjian internasional. 2.3 Pengelolaan Sumber Daya Ikan Beruaya Jauh Menurut Hukum Internasional Dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini terjadi penurunan yang tajam sediaan sumber daya ikan sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis. Pada tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi, khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks), telah menimbulkan keprihatian dunia. 61 Pasal 63 dan pasal 64 UNCLOS 1982 mewajibkan negara pantai dan negara penangkap ikan yang bermigrasi untuk membuat kesepakatan bersama tentang pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan tersebut, dan pasal ini memerlukan pengaturan lebih jauh untuk mengatur secara jelas tentang pengelolaan dan konservasi ikan beruaya tersebut. Mengingat bahwa sifat dari sumber daya ikan jenis beruaya jauh, yaitu untuk bertahan hidup memerlukan sumber makanan dari kondisi laut yang diinginkan maka jenis ikan ini adalah jenis ikan yang temasuk jenis ikan yang berpindah jauh hingga melintasi batas 61
Akhmad Solihin, “Perikanan Indonesia dalam Kepungan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional dan Internasional”, Lihat https://ikanbijak.wordpress.com/2008/04/21/perikanan-indonesia-dalam-kepungan-organisasipengelolaan-perikanan-regional-dan-internasional/ diakses pada 12 Agustus 2015
suatu negara, oleh sebab itu dibutuhkan kerjasama dan hubungan diantara negaranegara dalam membentuk pengaturan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan jenis ini. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara dan ZEE negara lain sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara. Jenis ikan yang beruaya jauh merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE ke Laut Lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan beberapa samudera sehingga memiliki kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara negara pantai dan negara penangkap ikan jarak jauh khususnya dalam pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di Laut Lepas yang berbatasan dengan ZEE. Oleh karena itu, kerja sama internasional dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah yang timbul. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982 mengatur secara garis besar mengenai beberapa spesies ikan yang mempunyai sifat khusus, termasuk jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish), serta jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish). Hal inilah yang melatarbelakangi kesadaran akan perlunya pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi perikanan yang kemudian diatur dalam UNCLOS 1982 itu sendiri, dan diikuti dengan diadopsinya beberapa ketentuan hukum internasional antara lain 62:
62
Melda Kamil Ariadno, “Kepentingan Indonesia Dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, dalam Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Jurnal of International Law), Volume 2 Nomor 3 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005), hlm. 504, dimuat pada: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=266028&val=7081&title=Kepentingan%20In
1. Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (FAO Compliance Agreement) 1993; 2. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on The law of The Sea of 10 December 1982 Relating to The Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement/UNIA) 1995; 3. FAO Code Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) 1995; 4. International Plan of Action dari FAO, yaitu: a) Intenational Plan of Action for the Management of Fishing Capacity; b) International Plan of Action for the Conservation and Management of Sharks; c) International Plan of Action for Reducing Incidental Catch of Seabird in Longline Fisheries; d) International Plan of Action for Illegal, Unreported, and Unregulated, Fishing.
Mengingat pentingnya peran sumber daya perikanan dalam penyediaan bahan pangan, kesempatan kerja, rekreasi, perdagangan dan kesejahteraan ekonomi bagi sebagian penduduk, maka sebagai tindak lanjut ketentuan-ketentuan tersebut dibentuklah beberapa organisasi regional dan sub-regional dalam bidang pengelolaan dan konservasi perikanan (Regional Fisheries Management
donesia%20dalam%20Pengelolaan%20Perikanan%20Laut%20Bebas, diakses pada 10 Agustus 2015.
Organization/RFMOs) 63 yang diamanatkan Pasal 61 sampai Pasal 67 yang merupakan termasuk Bab V mengenai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE); Bab VII mengenai Laut Lepas Pasal 118; Bab IX mengenai Laut Tertutup atau Setengah Tertutup, tepatnya pada Pasal 123. Selain UNCLOS 1982, menurut Fontaubert and Lutchman (2003), ada beberapa instrumen hukum internasional lainnya yang mengatur pentingnya kerjasama pengelolaan perikanan regional diantaranya yaitu 64: 1. The Cancun Declaration (1992) Prinsip yang terkandung dalam Deklarasi Cancun termasuk kerjasama negara-negara melalui tingkatan bilateral, regional dan multilateral untuk mengatur dan efektivitas pelaksanaan dan tindakan untuk menjamin
perikanan
bertanggung
jawab.
Negara-negara
yang
melakukan penangkapan ikan di laut lepas harus bekerjasama dengan Negara lain untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati secara rasional. 2.
UNCED (1992) Meskipun UNCED tidak secara spesifik mengatur bahwa Negaranegara harus melakukan kerjasama antar organisasi sub-regional dan
63
Organisasi pengelolaan dan konservasi Perikanan Regional organisations (RFMOs) adalah organ internasional yang didedikasikan untuk memanajemen pengelolaan sumber daya perikanan berkelanjutan antar perairan nasional, atau yang beruaya spesies, seperti tuna. Ketetapan dan mode operasional masing-masing RFMO disesuaikan dengan letak geografis atau situasi yang spesifik. Mereka biasanya mengadakan pertemuan negara-negara pesisir dengan lainnya atau dengan para pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan perikanan yang bersangkutan. http://ec.europa.eu/fisheries/documentation/publications/cfp_factsheets/rfmo_en.pdf, Lihat diunduh pada 16 Agustus 2015. 64 Akhmad Solihin., Op.Cit.
regional, UNCED memanggil untuk melakukan negosiasi dalam perjanjian yang terkait dengan kerjasama bilateral dan multilataeral. 3. UN Compliance Agreement (1993) Dalam rangka menciptakan kelestarian sumberdaya di daerah laut lepas, maka diperlukan suatu aturan khusus. Oleh karenanya, pada tanggal 24 November 1993 ditetapkan Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas (UN Compliance Agreement 1993). Tujuan ditetapkannya UN Compliance Agreement 1993 ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar praktik penangkapan ikan di laut lepas dan menerapkan langkah-langkah konservasi sumberdaya hayati laut dengan meningkatkan peranan organisasi perikanan multilateral, dan untuk pembuatan database otorisasi kapal perikanan yang ada di laut lepas dan tukar menukar informasi. Aturan mengenai pentingnya kerjasama internasional dalam pengelolaan perikanan tertuang pada Pasal 5 dan Pasal 8, bahwa semua pihak diizinkan apabila diperlukan membuat persetujuan bersama atau persetujuan kerja sama menguntungkan secara global, regional, subregional atau bilateral basis yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dari persetujuan ini dan pada tingkat yang melibatkan dua belah pihak
dengan
dukungan
FAO
dan
organisasi
regional
atau
internasional lain sebagai penyedia bantuan, termasuk bantuan teknis
kepada
pihak
negara
berkembang
dalam
rangka
membantu
pelaksanaan kewajiban mereka sesuai persetujuan ini. 4. UN Fish Stock Agreement (1995) Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks atau yang dikenal juga dengan sebutan UN Fish Stock Agreement 1995. Beberapa tujuan dilakukannya kerjasama adalah agar Negara-negara menyepakati untuk melakukan tindakan konservasi dan pengelolaan dalam rangka menghindarkan dari over fishing. 5. Code of Conduct for Responsible Fisheries (1995) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995 dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) dalam suatu konferensi pada tanggal 31 Oktober 1995. CCRF 1995 merupakan buku petunjuk yang sangat penting bagi seluruh masyarakat perikanan, baik nasional maupun internasional untuk menjamin kegiatan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab di wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan Pasal 12 bahwa menyepakati standarstandar untuk efektivitas pengelolaan dan konservasi sumberdaya laut serta perikanan bertanggung jawab. CCRF merupakan tempat terbaik RFMO dalam melaksanakan pengelolaan, meskipun pelaksanaan CCRF bersifat sukarela.
6. International Plan of Action (IPOA) International Plan of Action dari FAO telah diadopsi pada tahun 1999. Hal ini dilatarbelakangi oleh meningkatkan komitmen internasional yang ditujukan pada berbagai permasalahan dan peran RFMO dalam menjamin efektivitas pelaksanaan. Adapun keempat IPOA tersebut, yaitu: (a) IPOA for Management of Fishing Capacity yang bertujuan agar negara dan organisasi regional yang meliputi seluruh dunia mencapai pengelolaan kapasitas perikanan yang efisien, adil dan transaparan; (b) IPOA for the Conservation and Management of Shark. Negara-negara disyaratkan untuk mengimplementasikan rencana nasional (national plan) dalam kegiatan penangkapan ikan hiu; (c) IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabird in Long-line Fisheries dengan tujuan untuk mengurangi tangkapan sampingan (by catch) dari alat tangkap longline berupa burung-burung laut yang tertangkap karena memakan umpan dalam pancing; dan (d) IPOA for Illegal, Unreported and Regulated Fishing yaitu untuk memberantas praktik perikanan yang illegal (seperti pencurian ikan, dan kegiatan melawan hukum lainnya), unreported (mencakup unreported, misreported, atau under-reported), dan unregulated (yakni tidak diatur pengelolaannya). Terdapat beberapa RFMOs pengaturan tentang pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan yang telah diadakan diantaranya dapat kita lihat yaitu RFMOs berdasarkan, yaitu kawasan (region) dimana pengelolaan dan konservasi tersebut dilakukan dalam suatu kawasan tertentu, dan RFMOs berdasarkan spesies
yang dikelola. Menurut Melda Kamil Ariadno dalam bukunya “Hukum Internasional Hukum yang Hidup” tahun 2007 menyatakan bahwa saat ini terdapat sekitat 11 RFMOs yang terlah terbentuk di dunia, yaitu:
1. Commission on the Conservation of Antarctic Marine Living Resources (CCAMLR); CCAMLR merupakan organisasi regional pengelolaan dan konservasi dilakukan dalam suatu kawasan tertentu. Konvensi ini didirikan oleh Convention on the Conservation of Antartic Marine Living Resources (CCAMLR Convention) pada tahun 1982 dengan tujuan melestarikan kehidupan laut Antartika. Berlaku 7 April 1982 dan memiliki 25 anggota, dimana CCAMLR melaksanakan pendekatan pengelolaan sumberdaya menggunakan dua konsep utama yaitu: pengelolaan berdasarkan ekosistem (ecosystembased
management) 65;
dan
pendekatan
kehati-hatian
(precautionary approach). Area konvensi CCAMLR dibatasi oleh pertemuan antartika sebagai penghalang biologis yang efektif dan benua antatika di sebelah selatan dimana cakupan konvensi ini seluas 35.716.100 km2. Pengelolaan sumber daya hayati di Antartika meliputi populasi ikan bersirip, moluska, dan crustacea dan semua organisme hidup termasuk 65
Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM) merupakan salah satu kebutuhan penting dalam perubahan kerangka berpikir dalam mengelola sumberdaya perikanan di Indonesia tanpa meninggalkan praktek pengelolaan yang sudah ada. Perubahan kerangka berpikir tersebut adalah dari pemikiran administratif menjadi pemikiran fungsional manajemen. Lihat Laporan Lokakarya Nasional Penentuan Indikator Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosystem Approach to Fisheries Management). Bogor, 22 - 24 September 2010., Disiapkan secara kolaboratif antara Direktorat Sumberdaya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, WWF Indonesia dan PKSPL – IPB., Dimuat dalam http://coraltriangleinitiative.org/sites/default/files/resources/6_National%20Workshop%20on%20 EAFM_Bahasa.pdf., diunduh pada 12 Agustus 2015.
burung yang ditemukan di selatan pertemuan antartika kecuali paus dan anjing laut. 66 2. North East Atlantic Fisheries Commission (NEAFC); NEAFC juga merupakan organisasi pengelolaan dan konservasi dilakukan dalam suatu kawasan tertentu dimana merupakan suatu forum konsultasi dan pertukaran informasi bagi negaranegara berkaitan dengan perikanan di area konvensi dan yang berkaitan dengan kebijakan perikanan, termasuk penilaian terhadap seluruh dampak dari kebijakan tersebut bagi sumber daya perikanan yang bertujuan untuk menjamin konservasi jangka panjang dan pemanfaatan optimal sumber daya perikanan di wilayah kompetensinya, dalam mendukung ekonomi, lingkungan dan sosial yang berkelanjutan. Wilayah NEAFC dimulai dari Atlantik dan Samudra Arktik yang terletak di sebelah utara 36° lintang utara dan antara 42° bujur barat dan 51° bujur timur, tetapi tidak termasuk Laut Baltik dan Laut Mediterania. Daerah kompetensi NEAFC juga termasuk bagian dari Samudra Atlantik utara dari 59° lintang utara dan antara 44° bujur barat dan 42° bujur barat. 67 3. South Pacific Regional Fisheries Management Organization (SPRFMO); Merupakan organisasi regional yang bertujuan untuk konservasi jangka panjang dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya perikanan di
66
Lihat https://www.ccamlr.org/en/organisation/about-ccamlr., diakses pada 12 Agustus
67
Lihat http://www.fao.org/fishery/rfb/neafc/en., diakses pada 12 Agustus 2015.
2015.
Samudera Pasifik Selatan dan menjaga ekosistem laut yang dan sumberdaya di dalamnya. Konvensi SPRFMO berlaku untuk laut lepas di Pasifik Selatan, yang merupakan wilayah RFMOs terbesar sekarang ini yang mengatur hal mengenai pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan. Saat ini, sumber utama komersial yang dikelola oleh SPRFMO adalah Jack mackerel dan jumbo flying squid di Pasifik Barat Daya dan, untuk spesies sumberdaya ikan di laut dalam diatur dengan aturan tersendiri lainnya. 68 4. Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC); WCPFC adalah sebuah perjanjian perikanan internasional yang berupaya untuk
menjamin
pelestarian
jangka
panjang
dan
pemanfaatan
berkelanjutan dari stok ikan ruaya jauh (yakni tuna, billfish, marlin) di Samudera Pasifik bagian tengah dan barat. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang dikembangkan di bawah persyaratan Konvensi ini berlaku bagi stok ini di seluruh wilayah jangkauannya, atau di wilayahwilayah tertentu di dalam Wilayah Konvensi. 69 5. General Fisheries Commission for the Mediterranean (GFCM); GFCM
adalah
organisasi
pengelolaan
perikanan
regional
yang (RFMO) didirikan berdasarkan ketentuan Pasal XIV dari FAO Constitution. Tujuan utama dari GFCM adalah untuk mempromosikan
68
Lihat https://www.sprfmo.int/., diakses pada 16 agustus 2015. Lihat, http://www.imacsindonesia.com/v5/index.php/id/akitivitas/kebijakan/traktatinternasional/23-expertise/policies, diakses pada 16 Agustus 2015. 69
pengembangan, konservasi, manajemen rasional dan pemanfaatan terbaik dari sumber daya hayati laut serta pembangunan berkelanjutan akuakultur di Mediterania, Laut Hitam dan menghubungkan perairan wilayah berlakunya GFCM. 70 6. Regional Commission for Fisheries (RECOFI); 7. Northwest Atlantic Fisheries Organization (NAFO); 8. Southeast Atlantic Fisheries Organization (SEAFO); 9. The South Indian Ocean Fisheries Agreement (SIOFA). Selain organisasi tersebut diatas juga terdapat organisasi regional pengelolaan dan konservasi yang dilakukan berdasarkan spesies yang dikelola antara lain: Indian Ocean Tuna Commission (IOTC); The Convention on the Conservation and Management of the Pollock Resources in the Central Bering Sea; North Pacific Anadromous Fish Commission (NPAFC); Commission For The Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT); International Whaling Commission (IWC); Pacific Salmon Commission; INTER-AMERICAN Tropical Tuna Commission (IATTC); International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT); North Atlantic Salmon Conservation Organization (NASCO). Pada tahun 1995 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyusun suatu persetujuan baru untuk mengimplementasikan ketentuan tersebut dalam bentuk Agreement for the Implementation of the Provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish
70
Lihat http://www.gfcmonline.org/about/intro/., diakses pada 18 Agustus 2015.
Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (United Nations Implementing Agreement /UNIA 1995). UNIA 1995 merupakan persetujuan multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982. Mengingat UNIA 1995 mulai berlaku tanggal 11 Desember 2001 dan tujuan pembentukan Persetujuan ini untuk menciptakan standar konservasi dan pengelolaan jenis ikan yang persediaannya sudah menurun, maka pengesahan UNIA 1995 merupakan hal yang mendesak bagi Indonesia. 71 Sebelum adanya WCPFC terjadinya konflik antara negara-negara pantai di Kepulauan Pasifik dengan distant water fishing nations (DWFNs) disebabkan perbedaan pandangan dalam pengelolaan sediaan ikan beruaya jauh terutama yang terdapat di wilayah ZEE negara-negara pantai di Kepulauan Pasifik. Pada konferensi Multilateral tingkat tinggi dalam pengelolaan dan konservasi ikan bermigrasi jauh (MHLC) yang ke-2 yang dilaksanakan di Majuro Kepulauan Marshal pada Juni 1997 disepakati sebuah pendekatan koleteral untuk konservasi dan pengelolaan perikanan regional. Disamping itu juga ditetapkan sebuah mekanisme konservasi dan pengelolaan sediaan ikan beruaya jauh di Samudera Pasifik, kesepakatan tersebut dikenal dengan Majuro Declaration yang telah mengadopsi UNCLOS 1982, Agenda 21 dan UNFSA. Dalam Majuro Declaration disepakati pertukaran data berdasarkan UNFSA, kerjasama pemantauan, 71
Penjelasan umum Undang-Undang No. 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks .
pengendalian
dan
pengawasan
penangkapan
ikan. Disamping
itu
juga
permasalahan lingkungan dan upaya mencegah dampak penangkapan ikan terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati laut. Negara peserta juga berkomitmen untuk memberikan bantuan keuangan, pengetahuan, dan teknik kepada negara-negara berkembang di Kepualuan Pasifik. Dalam Majuro Declaration juga mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang menjadi pembahasan MHLC selanjutnya pada tahun 1998 dan 1999. Beberapa permasalahan tersebut adalah; (1) cakupan wilayah, (2) keanggotaan, (3) mekanisme pengampilan keputusan, (4) prosedur dalam penyelesaian sangketa, (5) keterkaitan dengan organisasi perikanan global dan regional, (6) keuangan dan penataan administrasi, (7) jenis sediaan yang dikelola, (8) penentuan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan, (9) termasuk pelaksanaan pendekatan kehati-hatian, (10) mekanisme untuk pengumpulan data dan pertukaran data, (11) penelitian, dan (12) prosedur pemantauan, pengendalian, pengawasan serta penegakan hukum. Selanjutnya pada Juni 1997 hingga September 2000 terdapat lima pertemuan negosiasi antara negara-negara pantai dengan DWFNs untuk negosiasi konvensi perikanan di Samudera Pasifik. Dalam Konferensi ini diajukan sebuah draft Konvensi berdasarkan pembahasan technical meeting, ketentuan-ketentuan perikanan regional dan CCRF. Akhirnya pada MHLC ke-4 di Honolulu Amerika Serikat tahun 1999 menghasilkan konvensi RFMO tuna pertama yang telah mengadopsi utuh UNFSA yang mengabungkan prinsip-prinsip perikanan modern dengan standar kepemerintahan perikanan yang telah dikembangkan sejak tahun
1990-an. Beberapa hal yang belum terselesaikan adalah batasan yang tumpang tindih dengan Inter-America Tropical Tuna Commission (IATTC), kesepahaman pengelolaan perikanan di ZEE dan laut lepas, dan alokasi penangkapan ikan bagi negara anggota. Pertemuan MHLC ini disepakati 19 negara, ditolak Jepang dan Korea,
sedangkan
RRC,
Perancis
dan
Tonga
abstain.
Namun
dalam
perkembangannya Jepang, Korea, RRC, Perancis dan Tonga mendukung komisi yang dibentuk. Dalam upaya untuk menjaga kelestarian ikan beruaya jauh di area konvensi maka telah diadakan tujuh kali pertemuan (preparatory conference) untuk melakukan persiapan pembentukan WCPFC, pertemuan tersebut adalah : 1) PrepCon I : Selandia Baru, 23 – 28 April 2001 2) PrepCon II : Papua New Guinea, 25 Februari – 1 Maret 2002 3) Prepcon III : Philipina, 18 – 22 November 2002 4) PrepCon IV : Fiji Island, 5 – 9 Mei 2003 5) PrepCon V : Rarotonga, Cook Island, 29 September- 3 Oktober 2003 6) PreCon VI : Bali, Indonesia, 19 – 23 April 2004 7) PreCon VII : Pohnpei Micronesia, 6 – 11 Desember 2004 Pada Preparatory Conference ke-7 di Pohnpei Micronesia, West and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) secara resmi dibentuk, merupakan sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengatur pengelolaan
sumberdaya perikanan laut lepas di kawasan Samudera Pasifik Barat dan Tengah. Jenis ikan beruaya jauh didefinisikan untuk semua jenis ikan yang terdaftar pada lampiran UNCLOS 1 1982 yang terdapat di area konvensi dan beberapa spesies lainya yang ditentukan oleh komisi. WCPFC beranggotakan negara-negara di kawasan Pasifik dan sekitarnya serta negara-negara lain yang memiliki perhatian terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di kawasan Pasifik. 72
72
Indonesia secara resmi efektif menjadi anggota WCPFC (entry into force) sejak tanggal 29 November 2013, dan mengesahkan konvensi WCPFC melalui Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2013 tentang pengesahan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan Beruaya Jauh di Pasifik Barat dan Tengah.