21
BAB II METODE QIYASIYYAH DAN PEMBELAJARAN QAWA’ID NAHWU
A. Metode Qiyasiyyah 1.
Pengertian Metode Qiyasiyyah Menurut Muhammad Abdul Qadir Ahmad bahwa metode qiyasiyyah merupakan metode yang pertama dalam pembelajaran qawa’id nahwu, dalam metode ini dimulai dengan memaparkan kaidahkaidah, lalu peserta didik menghafalkannya lalu dilanjutkan dengan memaparkan contoh untuk memperjelas kaidahnya.1 Inti metode ini menurut Muhbib Abdul Wahab adalah bahwa pembelajaran qawa’id dimulai dari penyajian kaidah nahwu atau sharf terlebih dahulu, lalu diikuti dengan contoh-contoh yang dapat memperjelas kaidah yang telah dipelajari. Dalam prosesnya, peserta didik diminta untuk menghafal kaidah, sehingga ketika akan diaplikasikan dalam bentuk penyusunan kalimat, peserta didik dapat membuat analogi dengan kaidah yang sudah dihafalnya. Model pembelajaran dengan metode ini cenderung diarahkan pada penghafalan dan pemahaman terhadap qawa’id terlebih dahulu melalui pendefinisian (ta’rif) dan prinsip umum, baru ditindak lanjuti dengan pemberian contoh-contoh kalimat (teks)
dan diaplikasikan kaidah. Pola berpikir yang
1
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Thariq Ta’lim al-Lughah al-Arabiyyah, (Mesir: Maktabah an-Nahdhoh al-Misriyah, 1979), hlm 165
21
22
dikembangkan model pembelajaran ini adalah pola berpikir deduktif (dari yang bersifat umum menuju yang bersifat khusus atau parsial). Metode qiyasiyyah dalam pembelajaran qawa’id terutama nahwu menurut sebagian ahli, dinilai sebagai metode yang sederhana, mudah, cepat dimengerti dan diaplikasikan dalam membaca atau membuat kalimat baru. Akan tetapi, menurut para ahli yang lain bahwa metode qiyasiyyah dalam pembelajaran qawa’id nahwu dianggap tidak bermakna dalam pembelajaran qawa’id, karena peserta didik hanya diminta untuk menghafal kaidah.2 Menurut Ahmad Fuad Effendy metode qiyasiyyah atau metode deduktif adalah metode yang dimulai dengan pemberian kaidah yang harus difahami dan dihafalkan, kemudian diberikan contoh-contoh. Setelah itu siswa diberikan kesempatan untuk melakukan latihan-latihan untuk menerapkan kaidah atau rumus yang telah diberikan. Metode pembelajaran
ini
lebih disenangi
oleh sebagian
pembelajar bahasa yang telah dewasa, karena dalam waktu singkat mereka telah dapat mengetahui kaidah-kaidah bahasa, dan dengan daya nalar mereka dapat mengaplikasikan kaidah-kaidah tersebut setiap diperlukan.3 Metode qiyasiyyah disebut juga dengan metode kaidah lalu contoh yaitu pengajar memulai dengan menyebutkan kaidah, lalu
2
Muhbib Abdul Wahab, Epistimologi dan Metodologi Pembelajaran B. Arab, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), hlm. 177-178 3 Ahmad Fuad Effendy, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang: Misykat, 2009), hlm. 106
23
dilanjutkan dengan memberikan contoh yang sesuai dengan kaidah tersebut. Dan kitab pembelajaran yang sesuai dengan metode qiyasiyyah yaitu seperti kitab Alfiyah Ibnu Malik, kitab Jami’ ad-Durus al-Lughah al-‘Arabiyyah karangan Musthafa al-Ghalayini dan kitab Jurumiyyah.
2.
Langkah-langkah Pembelajaran Metode Qiyasiyyah Metode qiyasiyyah merupakan metode pembelajaran tradisional dalam pembelajaran qawa’id nahwu. Metode ini biasa juga disebut dengan metode deduktif atau analogi, langkah-langkah pembelajaran dengan metode qiyasiyyah contohnya seperti guru memulai pembelajaran nahwu dengan menyebutkan kaidah dari materi mubtada’ khobar, lalu guru menterjemahkan kaidah tersebut dan meminta peserta didik untuk menghafalkan kaidah tersebut, lalu guru memberikan contoh-contoh yang sesuai dengan bab mubtada’ khobar. Adapun langkah-langkah pembelajaran qawa’id nahwu dengan metode qiyasiyyah menurut Ahmad Fuad Effendy adalah sebagai berikut : a.
Guru memulai pembelajaran dengan memberikan definisi dasar kaidah, dan kitab terdahulu yang sesuai dengan metode qiyasiyyah yaitu seperti kitab Alfiyah Ibnu Malik dan kitab Jurumiyyah
b.
Guru memberikan kosa kata dan arti terjemahan dari kaidah tersebut, lalu peserta didik menghafalkannya, setelah itu peserta didik diminta untuk menunjukkan hafalan kaidahnya didepan kelas yang sebelumnya sudah dihafalkan
24
c.
Guru meminta peserta didik untuk memahami bacaan dan arti lafadznya
d.
Guru menjelaskan kesalahan dalam penerjemahan dan memberikan penjelasan qawa’id atau tata bahasanya, maksudnya yaitu nahwu, sharf dan balaghahnya
e.
Guru meminta peserta didik untuk menghafalkan kaidah (nadhom) yang lain dan menjelaskannya dilain waktu
f.
Guru memberikan pekerjaan rumah atau tugas kepada peserta didik yang berhubungan dengan qawa’id.4 Sedangkan langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan
metode qiyasiyyah menurut DR. Bisri Mustofa dan Abdul Hamid, M.A adalah sebagai berikut : a.
Guru masuk kelas dan memulai pelajaran dengan mengutarakan tema tertentu
b.
Guru melanjutkan pelajaran dengan menjelaskan kaidah-kaidah nahwu
c.
Pelajaran dilanjutkan dengan siswa memahami serta menghafal tentang kaidah-kaidah nahwu
d.
Kemudian guru mengungkapkan contoh-contoh atau teks yang berkaitan dengan kaidah
e.
4
Guru memnerikan kesimpulan-kesimpulan pelajaran
Ahmad Fuad Effendy, dkk, Metode dan Teknik Pengajaran Bahasa Arab, (Malang: Program Studi PBA UIN Malang, 2002), hlm. 39
25
f.
Setelah dianggap cukup, siswa diminta mengerjakan soal-soal latihan.5 Ketika seorang guru menyajikan susunan kalimat baru atau
kaidah baru kepada peserta didik, sebaiknya mengikuti langkah-langkah berikut : a.
Seorang guru yang mengajarkan jenis kaidah baru hendaklah menuliskannya di papan tulis
b.
Ketika seorang guru mengajarkan jenis kaidah baru, hendaklah guru tersebut memberikan stress atau tanda khusus pada bagian kalimat yang menjadi titik perhatiannya
c.
Seorang guru juga harus menjelaskan makna yang terkandung dalam kalimat yang dicontohkannya
d.
Seorang guru juga harus menjelaskan bentuk susunan kalimat baru tersebut, baik dari segi i’rab, bentuk kata, tingkatan dan aspek-aspek lainnya
e.
Hendaklah guru membandingkan antara susunan kalimat baru dengan susunan kontekstual yang disusun para pembelajar, dan menjelaskan aspek-aspek persamaan dan perbedaan baik dari segi makna maupun bentuk
f.
Guru memberikan pemantapan dengan menyajikan contoh-contoh baru lainnya untuk mendukung pemahaman para pembelajar tentang susunan, makna dan penggunaannya
5
Bisri Mustofa dan Abdul Hamid, Metode dan Strategi Pembelajaran Bahasa Arab, (Malang: UIN-Maliki Press, 2012), hlm. 75
26
g.
Guru meminta kepada pembelajar untuk membuat contoh sesuai dengan pola baru yang diberikan
h.
Guru memberi kesimpulan umum yang berkaitan dengan susunan kaidah baru tersebut.6 Setelah peserta didik mengetahui pokok kaidah, peserta didik
perlu diberi latihan sesuai dengan kaidah tersebut. Melalui langkahlangkah sebagai berikut : a.
Guru memperlihatkan beberapa kalimat sempurna, lalu peserta didik diminta untuk menerangkan mana yang berhubungan dengan kaidah yang telah dipelajari
b.
Guru memperlihatkan kalimat-kalimat yang tidak sempurna, lalu siswa diminta untuk membenarkan kalimat tersebut agar menjadi kalimat yang sempurna
c.
Guru memberikan kata-kata, lalu siswa diminta untuk menyusun kalimat sempurna dari kata-kata tersebut sesuai dengan kaidah yang telah dipelajari
d.
Guru meminta siswa untuk membuat kalimat-kalimat sempurna dengan kosa kata bebas sesuai dengan pengetahuannya dan disesuaikan dengan kaidah yang telah dipelajari
e.
Agar siswa terbiasa, hendaklah guru bisa menggabungkan dengan materi teks yang lain.7
6
Yayan Nurbayan Yayan Nurbayan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Bandung: Zein al-Bayan, 2008), hlm, 75-76 7 Dedeng Rosyidin, Metodik Khusus Pengajaran Bahasa Arab, (Pimpinan Pusat Persatuan Islam Bidang Tarbiyah, 2007), hlm. 70
27
3.
Kelebihan Metode Qiyasiyyah Dalam setiap metode selalu ada kelebihan dan kekurangan, dan begitu juga dalam metode qiyasiyyah yang kelebihannya adalah sebagai berikut : a.
Peserta didik dapat memahami tata bahasa atau qawa’id dengan baik
b.
Peserta didik terbiasa untuk menghafal kaidah dan peserta didik memiliki pengetahuan kosa kata yang banyak
c.
Peserta didik dapat menterjemahkan pelajarannya
d.
Peserta didik dapat memahami karakteristik kaidah bahasa dan dapat mengetahui karakteristik bahasa yang lain
e.
Metode ini penting untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menghafal
f.
Guru dapat menerapkan metode qiyasiyyah ini untuk bab pembahasan yang luas atau sempit8
g.
Dengan metode qiyasiyyah ini guru dapat menerapkan penilaian9
h.
Untuk memperjelas keterangan atau contoh, tidak akan sempurna kecuali dengan metode qiyasiyyah.10
8
Ibid Mulyanto Sumardi, Pengajaran Bahasa Asing: Sebuah Tinjauan dari Sisi Metodologis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 35 10 Sholih Abdul Aziz Abdul Majid, at-Tarbiyah wa Thariq at-Tadris, (Kairo: Darr atTarikh, t.th) 9
28
4.
Kekurangan Metode Qiyasiyyah Para ahli sepakat bahwa metode qiyasiyyah dalam pembelajaran bahasa Arab dan non-Arab
merupakan sebuah metode yang sulit
terutama untuk tingkat dasar dan bukan merupakan metode yang baik untuk anak-anak. Menurut Ahmad Fuad Effendy kelemahan dari metode qiyasiyyah yaitu bahwa pembelajar cenderung hanya menghafalkan kaidah dan kurang terlibat dalam proses pemahamannya. Akibatnya pembelajar kurang mampu menerapkan kaidah dalam praktik berbahasa yang sesungguhnya.11 Adapun kekurangan metode qiyasiyyah adalah sebagai berikut : a.
Metode ini merupakan metode yang banyak belajar bahasa dan bukan untuk mengajarkan keterampilan bahasa
b.
Metode ini hanya mengajarkan keterampilan membaca dan mengabaikan
tiga
keterampilan
bahasa
yang
lainnya
yaitu
keterampilan mendengar, berbicara dan menulis c.
Metode ini bukan cara untuk mengajar anak-anak, kecuali untuk mengajarkan buku-buku kuno yang tidak menggunakan bahasa modern
d.
Istilah yang dipakai untuk peserta didik bukanlah istilah terminologi yang modern
11
Ahmad Fuad Effendy, Op.Cit., hlm. 107
29
e.
Siswa
tidak
dapat
mengekspresikan
untuk
mengembangkan
bahasanya.12 B. Pembelajaran Qawa’id Nahwu 1.
Pengertian Qawa’id Nahwu Bahasa Arab tidak sama dengan bahasa-bahasa lain, dalam bahasa Arab peserta didik akan memahami bahasa Arab dari segi tulisannya terlebih dahulu sebelum tulisannya itu dibacanya. Hal ini dikarenakan tulisan dalam bahasa Arab biasanya tidak diberi syakal (harakat). Sedangkan
harakat
pada
huruf
akhir
sangatlah
menentukan
pemahamannya, artinya dan maksudnya. Oleh sebab itu, tata bahasa (qawa’id) dalam bahasa Arab atau yang disebut dengan nahwu dan sharf sangatlah penting dalam memahami tulisan berbahasa Arab.13 Dalam pengajaran bahasa tata bahasa atau juga bisa disebut dengan grammar merupakan unsur bahasa yang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Grammar memiliki pengertian sebagai seperangkat aturan yang dengannya manusia berbicara dan menulis. Sedangkan qawa’id merupakan bentuk jamak dari qa’idah yang secara bahasa berarti fondasi, dasar, pangkalan, basis, model, pola dasar, formula, aturan dan prinsip.14 Dalam konteks ini, yang dimaksud qawa’id adalah sejumlah aturan dasar dan pola bahasa yang mengatur penggunaan 12 13
Ibid., hlm. 40 Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1992),
hlm. 45 14
Hans Wehr, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1980), hlm. 780
30
suatu bahasa, baik lisan maupun tulisan. Dalam bahasa Arab, qawa’id meliputi nahwu (sintaksis) dan sharf (morfologi).15 Nahwu secara bahasa berarti contoh, merupakan kaidah mengenai penyusunan kalimat dan penjelasan bunyi akhir (i’rab) mengenai kata yang berada dalam struktur kalimat serta hubungan satu kalimat dengan lainnya, sehingga ungkapannya tepat dan bermakna. Ilmu nahwu mempelajari hubungan kata-kata dalam kalimat, termasuk posisi kata (mawqi’ al-i’rab) dalam struktur kalimat.16 Ilmu nahwu menurut Ali Ridho adalah salah satu bagian dari ilmu bahasa Arab yang menunjukkan pengertian tentang kalimat berbahasa Arab dalam hal i’rab dan bina’. 17 Sedangkan menurut Fuad Ni’mah qawa’id nahwu yaitu ilmu bahasa Arab yang menjelaskan fungsi dari setiap kata yang terdapat dalam kalimat, dan mengatur setiap akhir kalimat serta bagaimana i’rabnya.18 Dalam definisi tradisional, ilmu nahwu dikesankan sebagai sintaksis yaitu ilmu yang menyusun kalimat sehingga kaidah-kaidahnya mencakup hal lainnya selain i’rab dan bina’.19 Ilmu nahwu bukan hanya ilmu yang hanya mempelajari i’rab (perubahan akhir kata karena berubahnya fungsi kata tersebut dalam 15
Majdi Wahbah dan Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Mushthalahat al-‘Arabiyyah fi alLughah wa al-Adab, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1984), hlm. 298 16 Hasan Ja’far al-Khalifah, Fushul fi Tadris al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003), Cet. II, hlm. 341 17 Ali Ridho, Al-Maroji’ fi al-Lughah al-‘Arabiyah Nahwiha wa Shorfiha, (Beirut: Darr alFikr, t.th), hlm. 10 18 Fuad Ni’mah, Mulkhisu Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, (Beirut: Darr ats-Tsaqofah al-Islamiyyah, t.th), hlm. 17 19 Ahmad Izzan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, (Bandung: Humaniora, 2011), hlm. 68
31
sebuah kalimat), dan bina’ yaitu tidak adanya perubahan akhir kata meskipun kata itu berubah-ubah fungsi dalam kalimat. melainkan juga penyusunan kalimat, mencakup al-muthâbaqah (kesesuaian) dan almauqi`iyyah (tata urut kata). Al-muthâbaqah (kesesuaian) yakni seperti kesesuaian mubtada’ dan khabar, sifat dan mausûf, persesuaian dari segi jenis kelamin yakni mudzakar dan muannats, segi jumlah yakni mufrad, mutsanna dan jama` dan segi ma`rifat dan nakirah.20 Ilmu nahwu merupakan pedoman bagi pembaca dan penulis. Seorang pembaca atau penulis tidak akan bisa membaca kalimat berbahasa Arab dengan baik kecuali menguasai ilmu nahwu secara sempurna. Dalam pembelajaran nahwu seorang guru juga harus mengetahui bahwa pembelajaran qawa’id nahwu bukan hanya tertuju pada tujuan hafalnya kaidah saja, namun qawa’id nahwu juga sebagai media dalam pemahaman dan alat untuk memperbaiki pengucapan dan ekspresi. Dalam pembelajaran tata bahasa Arab atau qawa’id nahwu terdapat kaidah-kaidah yang terkadang tidak terdapat pada tata bahasa lain, kaidah-kaidah tersebut antara lain : a. Kaidah yang berkaitan dengan gender (Mudzakar atau Muannats) Setiap kata benda atau kata kerja yang digunakan harus sesuai dengan kaidah-kaidah gender ini, bahkan pada sesuatu yang pada
20
Ibid., hlm. 68-69
32
hakikatnya tidak bisa dikategorikan menurut gender, tapi menurut tata bahas Arab harus dikategorikan mudzakar dan muannats. b. Kaidah yang berkaitan dengan jumlah (Mufrod, Mutsanna dan Jama’) Setiap kata benda atau kata kerja yang digunakan harus sesuai dengan kaidah jumlah ini. c. Kaidah yang berkaitan dengan waktu (Madzi, Mudhori’, Hal dan Istiqbal) Setiap bentuk kata kerja yang digunakan selalu mengandung waktu pekerjan itu dikerjakan, baik waktu lampau, sedang atau waktu yang akan datang. d. Kaidah yang berkaitan dengan bina atau i’rab (Marfu’, Mansub, Majrur dan Majzum) Setiap kata benda atau kata kerja yang digunakan dalam bahasa Arab mempunyai bentuk tertentu dan kaidah pembahasannya sesuai dengan posisi atau status dalam kalimat. e. Kaidah yang berkaitan dengan kata ganti (dhomir) Bahasa Arab mempunyai tingkatan kegunaan dhomir yang sangat sering baik kata ganti manusia atau yang lainnya. Para pemakai bahasa Arab baik pasif maupun aktif harus menguasai kaidah-kaidah tersebut diatas secara terpadu dan tepat. Oleh
33
karena itu kaidah-kaidah tersebut diatas sering menjadi kendala tersendiri bagi orang yang belajar tata bahasa Arab.21 Ilmu nahwu lebih berhak dipelajari, karena kalam Arab tanpa ilmu nahwu tidak akan difahami. (al-Imrithi : 3)
2.
Tujuan dan Kegunaan Pembelajaran Qawa’id Nahwu Tujuan dalam pembelajaran qawa’id bahasa Arab, terutama dalam pembelajaran qawa’id nahwu merupakan salah satu elemen pendidikan yang sangat penting. Berdasarkan uraian dan keperluan pemahiran (tamhir) peserta didik dalam berbahasa Arab, maka tujuan pembelajaran qawa’id terutama nahwu menurut Muhbib Abdul Wahab adalah sebagai berikut : a.
Membekali peserta didik dengan kaidah-kaidah kebahasaan yang memungkinkannya dapat menjaga bahasanya dari kesalahan
b.
Menumbuh-kembangkan pendidikan intelektual dan membawa mereka berpikir logis dan dapat membedakan antara struktur (tarakib), ungkapan-ungkapan (ibarat), kata dan kalimat
c.
Membiasakan peserta didik cermat dalam pengamatan, perbandingan, analogi dan penyimpulan (kaidah) dan mengembangkan rasa bahasa dan sastra, karena kajian nahwu didasarkan atas analisis lafadz, ungkapan, uslub, dan pembedaan antara kalimat yang salah dan yang benar
21
Imaduddin Sukamto dan Akhmad Munawari, Tata Bahasa Sistematis; Pendekatan Baru Mempelajari Tata Bahasa Arab, (Yogyakarta: Nuansa Aksara Group, 2000), hlm. X-XI
34
d.
Melatih peserta didik agar mampu menirukan dan mencontoh kalimat, uslub, ungkapan dan performa (lisan maupun tulisan) yang salah menurut kaidah, yang baik dan benar
e.
Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami apa yang didengar dan yang tertulis
f.
Membantu peserta didik agar benar dalam membaca, berbicara dan menulis atau mampu menggunakan bahasa arab lisan dan tulisan secara baik dan benar.22 Sedangkan menurut Sembodo Ardi Widodo bahwa tujuan
pembelajaran qawa’id atau tata bahasa tidak hanya untuk qawa’id itu sendiri, akan tetapi qawa’id sebagai alat untuk menyempurnakan kalam, membenarkan susunan kalimat. Oleh karena itu mempelajari qawa’id tidak hanya terbatas pada tujuan qawa’id itu sendiri. Tujuan pelajaran qawa’id itu diantaranya adalah sebagai berikut : a.
Membantu peserta didik dalam menyusun kalimat-kalimat yang tepat sehingga terhindar dari kesalahan nahwu
b.
Melatih peserta didik berfikir dan menemukan perbedaan struktur kata, ungkapan dan kalimat
c.
Memberikan pengalaman kebahasaan bagi peserta didik dalam menyampaikan berbagai ungkapan dan contoh yang terkait dengan kondisi lingkungan mereka dan dalam menggambarkan cita-cita mereka
22
Muhbib Abdul Wahab, Op.Cit., hlm. 174
35
d.
Mensistematiskan
pengetahuan
peserta
didik
agar
mampu
menggunakan secara baik serta memungkinkan peserta didik untuk menganalisis struktur kata dan ungkapan atau pernyataan yang dianggap tidak jelas e.
Membantu peserta didik dalam meningkatkan ketajaman kajian terhadap berbagai pola dan kaidah pembentukan kata serta meningkatkan rasa bahasa
f.
Melatih peserta didik dalam menggunakan kata dan kalimat secara benar serta melatih peserta didik dalam menemukan berbagai kekhasan kalimat
g.
Membiasakan peserta didik untuk berbahasa dengan benar sehingga mereka tidak terpengaruh dengan bahasa-bahasa pasaran (‘amiyah)
h.
Memberikan bekal kepada peserta didik tentang struktur kata dan kalimat serta melatih peserta didik untuk membedakan antara struktur yang salah dan benar.23 Menurut M. Abdul Qadir Ahmad ada beberapa tujuan dan faedah
belajar ilmu qawa’id (nahwu dan sharf), diantaranya sebagai berikut : a.
Mencegah ucapan dari kesalahan, menjaga tulisan dari kekeliruan, membiasakan berbahasa dengan benar, ini semua adalah tujuan utama dari tujuan pembelajaran ilmu nahwu
b.
Membiasakan
peserta
didik
memiliki
kekuasaan
dalam
memperhatikan, cara berfikir yang logis dan teratur 23
Sembodo Ardi Widodo, al-‘Arabiyah Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, (Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm. 33
36
c.
Membantu memahami perkataan secara benar dengan mengerti makna dengan tepat dan cepat
d.
Menajamkan akal, mengasah perasaan, menambah perbendaharaan kosa kata bagi siswa
e.
Agar siswa memperoleh kemampuan memperagakan kaidah-kaidah nahwu didalam menggunakan kalimat yang berbeda-beda. Maka hasil yang dapat diperoleh dari pembelajaran nahwu adalah siswa semakin mantap dalam mempraktikkan kaidah-kaidah nahwu dalam struktur kalimat yang dipergunakan dalam kehidupan serta bermanfaat untuk memahami kesusasteraan
f.
Kaidah nahwu itu membuat aturan dasar yang detail dalam penulisan cerita.24 Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa tujuan pembelajaran
qawa’id
adalah
mengenalkan
dan
membiasakan
peserta
didik
menggunakan kaidah-kaidah nahwu dan sharf secara tepat, sehingga terhindar dari kesalahan lisan, kesalahan baca dan kesalahan dalam ekspresi tulisan. Implikasinya adalah peserta didik mampu secara tepat dan cermat menyusun ungkapan dan kalimat dalam bahasa arab, untuk kepentingan komunikasi aktif maupun pasif.25 Pelajaran qawa’id, sebagaimana pelajaran-pelajaran lainnya juga mempunyai kegunaan antara lain :
24 25
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Op.Cit., hlm. 167-168 Muhbib Abdul Wahab, Op.Cit., hlm. 174-175
37
a.
Membiasakan peserta didik bercakap-cakap dengan bahasa yang baik dan benar serta jauh dari kesalahan
b.
Membiasakan peserta didik menulis kata atau kalimat dengan benar dan dengan susunan bahasa yang baik pula
c.
Menumbuhkan kemampuan untuk teliti dan mendidik kemampuan berpikir secara menyeluruh dengan sistematis
d.
Mendidik kemampuan kemampuan menarik kesimpulan dengan alasannya.26 Nahwu
merupakan kaidah-kaidah bahasa yang lahir setelah
adanya bahasa. Kaidah-kaidah ini lahir karena adanya kesalahankesalahan dalam penggunaan bahasa. Oleh sebab itu sesungguhnya nahwu itu dipelajari agar pengguna bahasa mampu menyampaikan ungkapan bahasa dan mampu memahaminya dengan baik dan benar dalam bentuk tulisan (membaca dan menulis) maupun dalam bentuk ucapan (berbicara). Jadi dalam pembelajarannya siswa tidak cukup dengan menghafal kaidah-kaidah nahwu kemudian selesai, melainkan setelah itu siswa harus mampu menerapkan kaidah-kaidah itu dalam membaca dan menulis teks berbahasa Arab. Dengan kata lain penguasaan kaidah-kaidah nahwu adalah sebagai sarana berbahasa bukan tujuan akhir dari pembelajaran tentang bahasa.27
26
Abubakar Muhammad, Methode Khusus Pengajaran Bahasa Arab, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hlm. 27 Bisri Mustofa dan Abdul Hamid, Op.Cit., hlm. 71-72
38
3.
Prinsip-prinsip Pembelajaran Qawa’id Nahwu Setiap bahasa pasti mempunyai aturan atau kaidahnya sendirisendiri. Qawa’id bahasa arab itu muncul bukan bersamaan dengan munculnya bahasa arab itu sendiri, melainkan muncul setelah bahasa Arab digunakan dalam kehidupan sosial. Kemunculan gramatika Arab, tentu saja di latar belakangi oleh adanya lahn (kesalahan berbahasa). Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran qawa’id harus berorientasi kepada penggunaan bahasa arab itu sendiri, bukan semata-mata belajar dan melafal kaidah, tanpa dibarengi dengan aplikasinya secara nyata. Signifikasi qawa’id lebih terlihat pada fungsinya sebagai kriteria dalam penilaian benar tidaknya susunan kalimat, dan dalam waktu yang sama sebagai media untuk menjaga kesalahan berbahasa serta membantu kita memahami teks. Nahwu-sharf disusun tidak lain adalah agar pemakai bahasa arab tidak salah dalam berbicara dan menulis dalam bahasa arab. Karena itu prinsip utama yang harus dijadikan sebagai pijakan dalam pembelajaran qawa’id menurut DR. Muhbib Abdul Wahab adalah : a.
Nahwu bukan tujuan (ghayah), melainkan washilah (perantara atau media untuk bisa berbicara secara benar, berekspresi secara akurat, memahami pembicaraan dan memahami isi bacaan secara jelas)
b.
Pembelajaran
nahwu
harus
aplikatif
dan
fungsional,
memfasilitasi pengembangan empat keterampilan berbahasa c.
Pembelajaran nahwu harus kontekstual
dan
39
d.
Membelajarkan makna kalimat harus lebih didahulukan dari pada fungsi i’rab
e.
Pembelajaran nahwu juga harus berlangsung secara gradual (bertahap)
f.
Menghafal istilah dan kaidah nahwu bukan merupakan prioritas utama, melainkan hanya sekedar sarana memahamkan peserta didik akan kedudukan kata dalam kalimat
g.
Tidak dianjurkan untuk mengembangkan i’rab yang panjang dan tidak fungsional
h.
Tidak dianjurkan dalam pembelajaran nahwu teori yang bagi peserta didik mungkin sangat abstrak, tidak praktis dan tidak bermanfaat.28 Prinsip-prinsip umum pengajaran qawa’id juga diungkapkan oleh
Yayan Nurbayan, prinsip-prinsip tersebut yaitu : a.
Seorang guru tidak dilarang mengungkapkan qawa’id yang terkandung dalam kalimat-kalimat yang dicontohkannya, dengan syarat guru tersebut harus memperhatikan tingkat kemampuan para pembelajar yang diajarnya. Pada kenyataannya, semakin tinggi tingkat kemampuan anak, semakin besar pula kemungkinan mereka untuk diberi pengetahuan qawa’id
b.
Bagi para pembelajar pemula sebaiknya tidak diberikan dahulu mengenai konsep-konsep nahwu, seperti fa’il, maf’ul, mubtada dan
28
Muhbib Abdul Wahab, Op.Cit., hlm. 175-177
40
khobar. Akan tetapi ketika peserta didik sudah dianggap mampu maka boleh mengajarkan konsep nahwu tersebut secara bertahap c.
Akan sangat bermanfaat seandainya seorang guru membandingkan antara susunan suatu kalimat dengan kalimat lainnya, setelah para pembelajar merasa mantap pada masalah tersebut
d.
Ketika mengajarkan susunan kalimat baru hendaklah diperhatikan antara
makna
yang
dikandungnya
dengan
unsur-unsur
pembentukannya secara seimbang e.
Dalam mengajarkan penyusunan kalimat, hendaklah digunakan dua jenis latihan, yaitu latihan berbicara dan latihan menulis
f.
Dalam mengajarkan qawa’id nahwu hendaklah seorang guru mengulang-ulang pelajaran yang diberikan.29
29
Yayan Nurbayan, Op.Cit., hlm. 73-75