BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Aspek Hukum Pertambangan di Indonesia 1. Sejarah Pengaturan Pertambangan di Indonesia Sejarah telah mencatat bahwa penjajahan Belanda atas kepulauan nusantara,
berawal
pada
tahun
VereenigdeOostInischeCompagnie
1619. (VOC)
Dalam di
tahun
bawah
itu,
pasukan
pimpinan
Jan
PieterzoonCoen berhasil merebut jayakarta dan kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Batavia. 90 Selama lebih dari tiga abad penjajahan Belanda di Hindia Belanda, SoetaryoSigit seorang pakar pertambangan terkemuka Indonesia, menyimpulkan bahwa; “ Dalam hal penyelidikan geologi yang bersifat mendasar, cukup banyak yang telah dilakukan dan dihasilkan oleh para pakar Belanda. Hal ini tidak mengherankan, karena Bangsa Belanda sejak dulu sudah terkenal memiliki ilmuan-ilmuan besar di berbagai bidang. Dalam bidang pertambangan sebaliknya, ternyata orang-orang Belanda tidak mampu mengembangkan Hindia Belanda menjadi suatu wilayah pertambangan terkemuka, meskipun potensi mineral wilayah ini, sesungguhnya cukup besar. Hal ini-pun tidak perlu mengherankan, karena negeri Belanda bukan negara pertambangan. Sebelum memasuki era industry pada dasarnya rakyat Belanda hidup dari pertanian dan perdagangan.” 91 Pada tahun 1852 pemerintah mendirikan “Dienst van het Mijnwezen” (Jawatan Pertambangan). Tugas Jawatan ini adalah melakukan eksplorasi geologipertambangan di beberapa daerah untuk kepentingan pemerintah Hindia-Belanda.
90 91
Abrar Saleng, Hukum Pertambangan (Jogjakarta : UII Press, 2004), hlm.61. Ibid.,hlm.62.
34
35
Hasil penemuannya antara lain; endapan batubara Ombilin Sumatera Barat (1866), namun baru berhasil ditambang oleh Pemerintah pada tahun 1891. 92 Baru
pada
tahun
1899,
pemerintah
Hindia
Belanda
berhasil
mengundangkan IndischeMijnwet (Staatblad 1899-214). IndischeMijnwet hanya mengatur
mengenai
penggolongan
bahan
galian
dan
pengusahaan
pertambangan. 93Oleh karena IndischeMijnwethanya mengatur pokok-pokok persoalan saja, sehingga pemerintah colonial mengeluarkan peraturan pelaksanaan berupa Mijnorodnnantieyang diberlakukan mulai 1 Mei 1907. Mijnordonnantie mengatur pula mengenai Pengawasan Keselamatan Kerja (tercantum dalam Pasal 356 sampai dengan Pasal 612). Kemudian pada tahun 1930 Mijnordonnantie 1907 dicabut dan diperbaharui dengan MijnOrdonannatie 1930 yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1930. Dalam MijnOrdonnantie 1930, tidka lagi mengatur mengenai Pengawasan Keselatmatan Kerja Pertambangan, tetapi diatur tersendiri dalam MijnPolitieReglement (Staatblad 1930 1930 No.341) yang hingga kini masih berlaku. 94 Menyerahnya tentara kerajaan Hindia Belanda KNIL kepada balatentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 menandai berakhirnya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia. Selama pendudukan Jepang IndischeMinjwet 1899 praktis tidak jalan, sebab semua kebijakan mengenai pertambangan termasuk operasi minyak berada di tangan Komando Militer Jepang yang disesuaikan dengan situasi perang. 95Pada tanggal 27 Desember 1949 berlangsung secara resmi penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda kepada Republik Indonesia Serikat dan
92
Ibid.,hlm.63. Ibid., hlm.64 94 Ibid. 95 Ibid.,hlm.66-67. 93
36
pada tanggal 17 Agustus1950 RIS dilebur menjadi Negara kesatuan Republik Indonesia. 96 Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, masalah pengawasan atas usaha pertambangan timah dan minyak bumi yang masih dikuasai modal Belanda dan modal asing lainnya merupakan isu politik yang sangat peka. Oleh karena itu, pada bulan Juli 1951 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), TeukuMr.Moh. Hassan mengambil langkah guna membenahi pengaturan dan pengawasan usaha pertambangan di Indonesia. 97 Usul mosi ini yang kemudian dikenal dengan sebutan “Mosi TeukuMoh.Hassan dkk” yang memuat beberapa hal yang diantaranya yang terpenting ialah yang mendesak pemerintah supaya: 98 a. Membentuk suatu Komisi Negara Urusan Pertambangan dalam jangka waktu satu bulan dengan tugas sebagai berikut: 1) Menyelidiki masalah pengolahan tambang minyak, timah, batubara, tambang emas/perak dan bahan mineral lainnya di Indonesia. 2) Mempersiapkan rencana undang-undang pertambangan Indonesia yang sesuai dengan keadaan dewasa ini. 3) Mencari
pokok-pokok
pikiran
bagi
Pemerintah
untuk
menyelesaikan/mengatur pengolahan minyak di Sumatera khususnya dan sumber-sumber minyak di tempat lain. 4) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai status Pertambangan di Indonesia.
96
Ibid., hlm.67. Ibid., hlm.68. 98 Ibid., hlm.68-69. 97
37
5) Mencari pokok-pokok pikiran bagi Pemerintah mengenai penetapan pajak dan penetapan harga minyak. 6) Membuat usul-usul lain mengenai pertambangan sebagai sumber penghasilan Negara. b. Menunda
segala
pemberian
izin,
konsesi,
eksplorasi
maupun
memperpanjang izin-izin yang sudah habis waktunya, selama menunggu hasil pekerjaan Panitia Negara Urusan Pertambangan. Pada tahun 1960 pemerintah menerbitkan suatu peraturan mengenai pertambangan yang diundangkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang kemudian menjadi Undang-Undang No.37 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pertambangan 1960. Undang-Undang ini mengakhiri berlakunya IndischeMijnwet 1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan nasional dan merupakan Undang-undang pertambangan nasional yang pertama. 99 Pada tahun 1966 pemerintah menerbitkan Ketetapan MPRS No. XXII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Ketetapan MPRS tersebut, memuat beberapa hal yang terkait dengan sector pertambangan, antara lain sebagai berikut: 100 a. Kekayaan potensi yang terdapat dalam alam Indonesia perlu digali dan diolah agar dapat dijadikan kekuatan ekonomi rill (Bab II Pasal 8); b. Potensi modal, teknologi dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan kemerosotan ekonomi serta pembangunan Indonesia (Bab II, Pasal 10); 99
Ibid., hlm.70. Ibid.,hlm.70-71.
100
38
c. Dengan mengingat terbatasnya modal dari luar negeri, perlu segera ditetapkan undang-undang mengenai modal asing dan modal domestic (Bab VIII, Pasal 62). Berdasarkan ketetapan MPRS di atas, disusunlah rancangan undangudang tentang Penanaman Modal Asing, kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Untuk menyesuaikan kebijaksanaan baru dalam perekonomian, khususnya mengenai usaha pertambangan tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengganti undang-undang pertambangan 1960. Menyadari sepenuhnya urgensi penanganan ini, Departemen Pertambangan segera membentuk Panitia Penyusun Rencana Undang-undang Pertambangan. Hasil kerja Panitia diajukan kepada DPR menjelang pertengahan tahun 1967. Menyusul terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, terbit pula Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan atau UUPP 1967. 101 Dengan
mempertimbangkan
perkembangan
nasional
maupun
internasional, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertambangan
yang telah mengatur kegiatan pertambangan
mineral dan batu bara di Indonesia selama lebih kurang 42 tahun dianggap sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang
pertambangan mineral dan batu bara yang dapat mengelola dan
mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya
saing,
efisien,
dan
berwawasan
lingkungan,
guna
menjamin
pembangunan nasional secara berkelanjutan. Pertimbangan tersebut dijadikan
101
Ibid., hlm.71.
39
dasar untuk pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 2. Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dibentuk untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi perkembangan nasional maupun internasional yang terkait dengan Pertambangan. Undang-undang ini mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut: 102 a. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh Negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha. b. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. c. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengolahan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eskternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.
102
Indonesia (a), Loc.Cit., bagian penjelasan umum.
40
d. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. e. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. f. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan
harus
dilaksanakan
dengan
memperhatikan
prinsip
lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Salah satu perubahan yang sangat mendasar dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah perubahan sistem pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, maka sistem yang digunakan dalam pengusahaan pertambangan mineral dan batubara adalah menggunakan kontrak, baik kontrak karya maupun perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), sedangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 menggunakan izin. Izin yang diberikan kepada pemohon, meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP), IPR dan IUPK. Izin usaha pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Walaupun dalam undang-undang ini telah ditetapkan sistem yang digunakan dalam pengusahaan pertambangan mineral, yaitu IUP, namun dalam Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tetap mengakui keberadaan kontrak karya yang telah ditandatangani sebelum berlakunya undang-undang ini sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak karya. 103 Tetapi kontrak karya tersebut tetap
103
Salim HS, Op.Cit., hlm.3.
41
harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Minerba selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan. 104 Selain itu UU Minerba juga mengatur tentang peningkatan nilai tambah hasil penambangan mineral dan batubara di dalam negeri. Pasal 102 UU Minerba menyatakan bahwa “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutan. 105 Selanjutnya pada Pasal 103 ayat (1) UU Minerba diatur tentang kewajiban bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Dengan melihat penjelasan Pasal 103 ayat (1) dapat diketahui tujuan dari melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yaitu untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara. Kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri tidak hanya berlaku bagi Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi tetapi juga berlaku bagi pemegang kontrak karya. 106 Namun terdapat perbedaan waktu dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Bagi pemegang kontrak karya kewajiban tersebut harus dilaksanakan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak
104
Indonesia (a), Loc.Cit., Pasal 169 huruf b. Indonesia (a), Loc.Cit., Penjelasan Pasal 102. 106 Indonesia (a), Loc.Cit., Pasal 170. 105
42
UU Minerbadiundangkan . 107 Namun bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi berlaku mengikat seketika sejak diundangkannya UU Minerba. 108 Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak ada artinya. 109Mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tersebut ditegaskan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan sebagai berikut: “peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.” 110 Berdasarkan keterangan tersebut dapat dimengerti bahwa pelarangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Dimana kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor terhadap mineral mentah dilarang. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah
107
Ibid. Sony Keraf, Loc.Cit,. hlm.6. 109 YusrilIhzaMahendra, Loc.Cit.,hlm.7. 110 Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit., hlm.175. 108
43
larangan penjualan bijih (raw material atau ore) ke luar negeri tanpa proses pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri, dengan kata lain bijih (raw material atau ore) harus diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar negeri atau diekspor. Memperhatikan kembali ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba, maka dapat diketahui bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi tidak boleh mengekspor mineral mentah terhitung sejak berlakunya UU Minerba. Sedangkan bagi pemegang kontrak karya berdasarkan ketentuan Pasal 170 UU Minerba terhitung 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU Minerba tidak dapat lagi mengekspor mineral mentah.Bentuk pelarangan ekspor yang diterapkan oleh peraturan ini adalah kewajiban peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam negeri. Apabila dikaitkan dengan bentuk larangan atau hambatan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1 GATT maka bentuk larangan ekspor ini tergolong kepada “other measures” (kebijakan/peraturan lainnya). 111 3. Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Berdasarkan PP No.1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua PP No.23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
111
Lihat Pasal XI angka 1 GATT, yang menyatakan : No prohibitions or restrictions
other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licencesor other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party.
44
Tanggal 1 Februari 2010 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
23
Tahun
2010
tentang
Pelaksanaan
Kegiatan
Usaha
Pertambangan.Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan dengan tujuan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diamanatkan dalam UU Minerba yang diantaranya adalah mengenai peningkatan nilai tambah hasil penambangan di dalam negeri melalui pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam Pasal 103 ayat (3) UU Minerba. Sebelum diterbitkannya UU Minerba, terdapat berbagai jenis izin dalam melakukan
usaha
pertambangan,
beberapa
diantaranya
adalah
Kuasa
Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 112 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 surat izin tersebut tetap dinyatakan berlaku namun harus disesuaikan menjadi IUP atau IPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010. Surat izin tersebut juga dikenai kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya UU Minerba. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan waktu dalam melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemurnian antara IUP yang diterbitkan pada saat UU Minerba berlaku dengan IUP yang terbit dari hasil penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat. Dimana IUP yang terbit pada saat UU Minerba berlaku diwajibkan langsung melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian dalam kegiatan pertambangannya namun bagi IUP yang terbit dari hasil penyesuaian diberikan jangka waktu selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya UU Minerba. Berkaitan dengan pelarangan ekspor mineral
45
mentah, bagi pemegang IUP yang terbit pada saat UU Minerba berlaku, tidak diperkenankan untuk melakukan ekspor mineral mentah tanpa pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu pada saat mereka melakukan kegiatan pertambangan namun hal tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP hasil penyesuaian, mereka dilarang melakukan ekspor mineral mentah setelah UU Minerba berlaku selama 5 (lima) tahun. Tanggal 21 Februari 2012 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012. Perubahan tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa dalam rangka menunjang pembangunan industri dalam negeri perlu penataan kembali pemberian izin usaha pertambangan untuk mineral bukan logam dan batuan, pengaturan lebih lanjut mengenai kewajiban divestasi saham modal asing serta memberikan kepastian hukum bagi pemegang kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara yang bermaksud melakukan perpanjangan dalam bentuk izin usaha pertambangan. 112 Pada tanggal 1 Januari 2014 pemerintah kembali merubah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 yang sebelumnya telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014. Pasal 112C angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa bagi pemegang kontrak karya yang telah melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Jika dicermati lebih lanjut maka Pasal ini secara implisit memberikan pengertian bahwa bagi 112
Indonesia (i), Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Konsideran.
46
pemegang kontrak karya dilarang untuk melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) terhadap mineral logam yang belum dilakukan pemurnian (raw material).Sedangkan Pasal 112C angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi 113 yang telah melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu. Sama seperti Pasal 112C angka 3 di atas, Pasal 112C angka 4 secara implisit memberikan pengertian bahwa bagi pemegang IUP Operasi Produksi dilarang untuk melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) terhadap mineral logam yang belum dilakukan pengolahan (raw material). Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 secara implisit mengatur tentang pelarangan ekspor mineral mentah khususnya komoditas mineral logam yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri. Mengenai batasan minimum pengolahan dan pemurnian tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. 114 Selain itu Pasal 84 ayat 3 juga melarang penjualan mineral ke luar negeri sebelum terpenuhinya kebutuhan mineral dalam negeri.Bentuk larangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini sama seperti yang diatur dalam UU Minerba yaitu tergolong dalam “other measures” sebagaimana dimaksud dalam Pasal XI angka 1 GATT. 4. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri
113
Pemegang IUP Operasi Produksi yang dimaksud adalah IUP yang berasal dari penyesuaian Kuasa Pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat menjadi IUP, lihat Pasal 112 angka 4 PP Nomor 1 Tahun 2014. 114 Indonesia (c), Loc.Cit., Pasal 112C angka 5.
47
Guna melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan Pasal 112C angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Penambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, Pemerintah Pada tanggal 1 Januari 2014 mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri. Komoditas tambang mineral yang wajib ditingkatkan nilai tambahnya adalah Mineral Logam, Mineral Bukan Logam, dan Batuan. 115 Terdapat perbedaan kegiatan peningkatan nilai tambah terhadap masing-masing komoditas tambang mineral. Peningkatan nilai tambah terhadap mineral logam dilakukan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian, sedangkan bagi komoditas tambang mineral bukan logam dan batuan dilakukan melalui pengolahan. 116 Pengolahan merupakan upaya untuk meningkatkan mutu mineral atau batuan yang menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang tidak berubah dari mineral atau batuan asal, antara lain berupa konsentrat mineral logam dan batuan yang dipoles. 117 Sedangkan pemurnian merupakan upaya untuk meningkatkan mutu mineral logam melalui proses ekstraksi serta proses peningkatan kemurnian lebih lanjut untuk menghasilkan produk dengan sifat fisik dan kimia yang berbeda dari mineral asal, antara lain berupa logam dan logam paduan. 118 Terhadap komoditas tambang mineral (termasuk produk samping / sisa hasil pemurnian dan/atau pengolahan / mineral ikutan) yang akan dijual keluar
115
Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 2 angka 1. Ibid., Pasal 2 angka 2. 117 Ibid., Pasal 2 angka 3. 118 Ibid., Pasal 2 angka 4. 116
48
negeri oleh pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian serta IUP Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, terlebih dahulu harus dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian sampai batas minimum pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014. 119 Ketentuan tentang batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian komoditas tambang mineral diatas berkaitan dengan larangan ekspor mineral mentah, dimana terhadap komoditas tambang mineral (termasuk produk samping / sisa hasil pemurnian dan/atau pengolahan / mineral ikutan) hanya dapat dijual ke luar negeri (ekspor) jika komoditas tambang tersebut telah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014. Sebelumnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 secara implisit hanya mengatur tentang pelarangan ekspor mineral mentah khususnya komoditas mineral logam yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri. Sedangkan untuk komoditas tambang mineral bukan logam dan batuan diatur dalam Pasal 11 Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014. Pada Pasal 112C angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 pemegang kontrak karya hanya diperbolehkan untuk menjual ke luar negeri mineral logam hasil kegiatan pemurnian dalam jumlah tertentu setelah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian, hak ini kemudian diperluas pada
119
Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 7
49
Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 dimana pemegang kontrak karya juga diperbolehkan untuk menjual keluar negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan mineral logam. 120 Berlaku juga terhadap Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112C angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, dimana pemegang IUP Operasi Produksi tidak hanya diperbolehkan menjual ke luar negeri dalam jumlah tertentu hasil pengolahan tetapi juga hasil pemurnian setelah terpenuhinya batas minimum pengolahan dan pemurnian. Jumlah tertentu yang dimaksud sama dengan pembatasan volume. Pembatasan volume tersebut hanya berlaku bagi produk konsentrat dan pembatasan tersebut bertujuan untuk mengatur sumber daya alam. 121 Besaran jumlah tertentu tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan terhadap kinerja pengelolaan lingkungan, cadangan (ketersediaan mineral logam untuk pengolahan dan pemurnian di dalam negeri), kapasitas fasilitas pemurnian, dan kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian. 122 Berdasarkan ketentuan ini pemerintah membuka pintu ekspor bagi pemegang kontrak karya dan IUP Operasi Produksi untuk dapat melakukan penjualan ke luar negeri (ekspor) mineral logam yang telah melewati batas minimum pengolahan dan pemurnian walau jumlahnya dibatasi. Walau demikian penjualan ke luar negeri mineral logam tanpa pengolahan dan/atau pemurnian tetap dilarang. Tetapi terdapat komoditas tambang mineral logam yang dilarang untuk dijual ke luar negeri walaupun telah dilakukan kegiatan pengolahan. Komoditas 120
Ibid., Pasal 12 angka 1. IndaMarlina, “Ekspor Produk Pemurnian Bijih Mineral Tidak Dibatasi,” http://industri.bisnis.com/read/20140213/44/203123/ekspor-produk-pemurnian-bijih-mineraltidak-dibatasi ( 9 Maret 2015) 122 Indonesia (e), Loc.Cit., Pasal 12 angka 10. 121
50
tambang mineral logam itu terdiri dari nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan kromium. 123 Untuk dapat melakukan ekspor terhadap komoditas tambang tersebut harus terlebih dahulu melakukan kegiatan pemurnian sampai dengan batas minimum pemurnian yang tercantum dalam lampiran Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014. Namun ekspor terhadap mineral logam hasil pengolahan hanya berlaku 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014. Terhitung 12 Januari 2017 baik pemegang Kontrak Karya maupun pemegang IUP Operasi Produksi hanya dapat melakukan penjualan ke luar negeri mineral logam hasil pemurnian yang telah mencapai batas minimum pemurnian.
124
Disamping itu baik
pemegang Kontrak Karya maupun IUP Operasi Produksi hanya dapat melakukan penjualan ke luar negeri apabila telah mendapatkan rekomendasi Direktur Jenderal atas nama Menteri. Surat rekomendasi tersebut nantinya akan digunakan untuk mendapatkan Surat Persetujuan Ekspor dari Menteri Perdagangan. 125Bentuk larangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal XI angka 1 GATT maka tergolong kepada kuota ekspor (export quota), izin ekspor (export licences), kebijakan/peraturan lainnya (other measure). 5. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04 / M-DAG / PER / 1 / 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian Tanggal 1 Januari 2014 guna mendukung kebijakan peningkatan nilai tambah produk pertambangan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan terkait dengan kebijakan tersebut, 123
Ibid., Pasal 12 angka 4. Ibid., Pasal 12 angka 15. 125 Ibid.,Pasal 12 angka 6 dan 7. 124
51
salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04 / M-DAG / PER / 1 / Tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian (Permendag Nomor 4 Tahun 2014).Peraturan ini dikeluarkan dengan tujuan untuk mendukung upaya tertib usaha di bidang pertambangan, hasil pengolahan dan pemurnian di dalam negeri serta menciptakan kepastian usaha dan kepastian hukum sehubungan dengan kebijakan hilirisasi
yang
dilaksanakan
melalui
peningkatan
nilai
tambah
produk
pertambangan dengan melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. 126 Berbeda dengan peraturan-peraturan terkait pelarangan ekspor mineral mentah yang telah dibahas di atas. Peraturan-peraturan tersebut melarang ekspor mineral mentah dengan memberikan pengertian secara implisit dari pasal-pasal bersangkutan.Permendag Nomor 4 Tahun 2014 secara tegas menyatakan Produk Pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dalam bentuk ore dan belum mencapai batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian dilarang untuk diekspor. 127 Produk pertambangan yang dilarang ekspornya tersebut terdiri dari 17 (tujuh belas) produk pertambangan dalam bentuk Ore (bijih)/ Raw Material, 10 (sepuluh) produk pertambangan dalam bentuk konsentrat yang belum memenuhi batasan minimum pengolahan, 165 (seratus enam puluh lima) produk pertambangan dalam bentuk mineral logam dan bukan logam serta 9 (sembilan) produk pertambangan dalam bentuk batuan yang belum memenuhi batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian. 128
126
Indonesia (d), Loc.Cit.,Konsideran Ibid., Pasal 2 angka 3. 128 Ibid., Lampiran III. 127
52
Permendag Nomor 4 Tahun 2014 tidak hanya mengatur mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tetapi juga pembatasan ekspor terhadap produk pertambangan yang berasal dari mineral logam yang sudah mencapai batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian, mineral bukan logam, dan batuan yang sudah mencapai batasan minimum pengolahan. Produk pertambangan yang dimaksud tercantum dalam lampiran I dan lampiran II peraturan ini. 129 Barang dibatasi ekspornya adalah barang yang dibatasi eksportir, jenis dan/atau jumlah yang diekspor. 130 Artinya pembatasan terhadap barang ekspor dapat dilakukan dengan tiga indikator yakni: 131 a. Eksportirnya dibatasi; Artinya hanya eksportir tertentu yang dapat melakukan ekspor terhadap produk pertambangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 angka 2 Permendag Nomor 4 Tahun 2014, dalam hal ini yang dapat melakukan hal tersebut adalah perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan sebagai ET-Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian dari Menteri. 132 b. Jenis barangnya dibatasi; dan/atau Artinya bahwa untuk jenis-jenis barang tertentu maka ekspornya dibatasi. Barang-barang tersebut adalah produk pertambangan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 2 angka 2 Permendag Nomor 4 Tahun 2014 dimana barang tersebut hanya bisa diekspor apabila telah memenuhi batasan minimum pengolahan dan pemurnian.
129
Ibid.,Pasal 2 angka 1 dan 2. Indonesia (j), Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13 / M-DAG / PER / 3 / 2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor, Pasal 1 angka 6. 131 Junaiding, “Objek Ekspor,” http://www.eximlaws.com/2015/02/obek-ekspor.html (diakses 9 Maret 2015) 132 Indonesia (d), Pasal 4 angka 1. 130
53
c. Jumlah barangnya yang dibatasi. Artinya untuk jenis barang tertentu hanya boleh diekspor dalam jumlah tertentu saja. Jumlah tertentu ini sebagaimana yang dimaksud Pasal 12 Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 yaitu produk konsentrat. Bentuk pelarangan ekspor yang diatur dalam peraturan ini jika dikaitkan dengan Pasal XI angka 1 GATT maka tergolong kepada izin ekspor (export licences). 6. Pelarangan Ekspor Mineral Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar. Guna menunjang kebijakan
pelarangan
ekspor
mineral
mentah
sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan-peraturan yang telah dijelaskan diatas maka pemerintah melalui kementerian keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar (selanjutnya disebut dengan Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014). Tarif bea keluar ekspor mineral hasil olahan dan/atau pemurnian ini diterapkan dalam rangka kebijakan pengendalian penjualan bijih (Raw Material atau Ore) Mineral ke luar negeri serta dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri.Peraturan ini mengatur
54
tentang besaran bea keluar yang harus dibayarkan oleh eksportir jika melakukan ekspor mineral hasil olahan dan/atau pemurnian. Jenis bea keluar yang diatur peraturan ini terbagi atas dua jenis yaitu: a. Bea keluar yang dikenakan kepada eksportir yang tidak membangun fasilitas smelter atau tidak melakukan kerjasama pembangunan fasilitas smelter. b. Bea keluar yang dikenakan kepada eksportir yang membangun fasilitas smelter atau melakukan kerjasama pembangunan fasilitas smelter. Untuk yang jenis pertama bea keluar diterapkan secara progresif dimulai dari 20% s/d 60%. Kenaikan bea keluar tersebut dilakukan secara bertahap per enam bulan sekali dimulai dari sejak diberlakukannya peraturan ini sampai dengan tanggal 12 Januari 2017. 133 Untuk yang jenis kedua bea keluar diterapkan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter. Tingkat kemajuan pembangunan tersebut dibagi menjadi tiga 3 tahap yaitu : 134 a. Tahap I
: untuk tingkat kemajuan pembangunan sampai dengan 7,5% termasuk di dalamnya penempatan jaminan kesungguhan 135;
b. Tahap II
: untuk tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 7,5% sampai dengan 30%;
c. Tahap III : untuk tingkat kemajuan pembangunan lebih dari 30% Untuk tahap I dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5 %, tahap II sebesar 5%, dan tahap III sebesar 0% atau dapat dikatakan tidak dikenai bea keluar. 133
Lihat Lampiran I Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014. Indonesia (l), Pasal 4A angka 3 135 Penempatan jaminan kesungguhan adalah uang jaminan yang disetorkan kepada pemerintah sebagai tanda keseriusan dalam pembangunan smelter yaitu sebesar 5% dari nilai investasi baru atau dari sisa hasil investasi yang belum terealisasi bagi pembangunan fasilitas pemurnian yang sudah berjalan., Lihat Pasal 8 angka 2 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian. 134
55
Berbeda dengan tarif bea keluar jenis pertama yang besaran tarif bea keluarnya dikenakan secara progresif sejalan dengan berlalunya waktu, untuk tarif jenis kedua ini dikenakan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter dan tidak dipengaruhi berlalunya waktu. Sebagai contoh, apabila suatu eksportir tergolong pada Tahap I yang dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5% maka dari sejak berlakunya peraturan ini sampai dengan tanggal 12 Januari 2017 eksportir tersebut tetap dikenakan tarif bea keluar sebesar 7,5% apabila dia ingin mengurangi tarif bea keluarnya sampai dengan 5% maka dia harus meningkatkan tingkat kemajuan pembangunan smelternya di rentang 7,5% s/d 30%, dan apabila dia tidak ingin dikenai tarif bea keluar maka dia harus meningkatkan tingkat kemajuan pembangunan smelternya sampai dengan lebih dari 30%. 136Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal XI angka 1 GATT maka bentuk pelarangan ekspor yang terdapat dalam peraturan ini tergolong dalam pajak ekspor (export taxes) yang berbentuk ad valorem tax. Ad valorem tax adalah pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang yang diekspor. 137 Sebagai contoh jika seorang eksportir mengekspor konsentrat tembaga dengan kadar≥ 15% Cu maka dia akan dikenakan tarif bea keluar sebesar 25%. B. Latar Belakang Lahirnya Kebijakan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah di Indonesia. 1. Pengertian Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Baik dalam UU Minerba maupun peraturan-peraturan pelaksananya tidak terdapat definisi mengenai pelarangan ekspor mineral mentah. Pelarangan terdiri 136
Lihat Lampiran II Permenkeu Nomor 153 Tahun 2014. Jane Korinek, Jeonghoi Kim, “Export Restrictions on Strategic Raw Materials and Their Impact On Trade And Global Supply”, 2010, hlm.11. 137
56
dari kata dasar “larang” yang ditambahkan imbuhan pe-an. Imbuhan pe-an dapat diartikan sebagai “perihal”. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelarangan diartikan sebagai “perihal melarang”, “ perbuatan melarang,” sedangkan ekspor adalah “pengiriman barang dagangan ke luar negeri” dan mentah didefinisikan sebagai “belum diolah”. Pasal 1 angka 2 UU Minerba mendefinisikan mineral sebagai senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Dengan demikian secara harfiah pelarangan ekspor mineral mentah dapat diartikan sebagai perintah atau aturan yang melarang suatu perbuatan yakni pengiriman mineral yang belum diolah ke luar negeri. Dalam konteks kebijakan peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang diatur dalam Pasal 102 dan 103 UU Minerba serta peraturan-peraturan pelaksananya. Dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan terhadap ekspor mineral yang belum diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu di dalam negeri sampai dengan batasan minimum pengolahan dan pemurnian. Guna memenuhi amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat
57
secara berkelanjutan. 138 Pemerintah mengeluarkan UU Minerba. Salah satu kebijakan yang terdapat dalam UU Minerba adalah peningkatan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 102 dan 103.Kebijakan peningkatan nilai tambah tersebut bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan lapangan pekerjaan, mendorong kebijakan hilirisasi pertambangan, menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri serta menjaga kelestarian sumber daya alam. Untuk mendukung kebijakan peningkatan nilai tambah, pemerintah dalam regulasinya baik secara implisit maupun eksplisit seperti yang telah dijelaskan diatas melarang ekspor mineral mentah. Larangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kebijakan peningkatan nilai tambah terhadap produk pertambangan, sebab apabila ekspor terhadap mineral mentah tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri menjadi tidak artinya. 139 Jika pemerintah tidak melarang ekspor mineral mentah maka akan terjadi eksploitasi terhadap sumber daya alam, yang nantinya akan mengancam kelestarian lingkungan hidup dan ketersediaan mineral mentah untuk pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri.Jika mineral mentah di dalam negeri tidak tersedia lagi, maka kebijakan peningkatan nilai tambah tidak dapat dilaksanakan. Untuk mencegah hal tersebut pemerintah dalam peraturan-peraturan pelaksananya baik secara implisit maupun eksplisit seperti yang telah dijelaskan diatas melarang ekspor mineral mentah. 138 139
Indonesia (a), Loc.Cit., Penjelasan Umum. YusrilIhzaMahendra, Loc.Cit., hlm.7.
58
Mengenai pelarangan ekspor mineral mentah tersebut ditegaskan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut: “peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.” 140 2. Konsep Kedaulatan Negara Atas Bahan Tambang Dalam kepustakaan ilmu negara asal-usul kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan (sovereignty atau souvereniteit), sebab dikaitkan dengan soal siapa yang berdaulat atau memegang kekuasaan dalam suatu negara. 141 Karena kajian ini tidak akan mempersoalkan siapa yang memegang kekuasaan dalam negara, sehingga kurang tepat menggunakan teoriteori kedaulatan negara sebagai sumber kekuasaan negara atas sumber daya alam. Dasar teoritis sumber kekuasaan negara yang demikian, menurut van vollenhoven sebagaimana ditulis oleh Notonagoro ialah negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk membuat peraturan hukum 142
140
Putusan Mahkamah Konstitusi, Loc.Cit., hlm.175. Abrar Saleng, Op.Cit.,hlm.7. 142 Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia (Bina Aksara, Jakarta, 1984), hlm.99. 141
59
Dalam kepustakaan lain, J.J Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat yang bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (Contract Social) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu. Dalam perjanjian masyarakat itu, pada hakikatnya yang dilepas oleh setiap individu dan diserahkan kepada kesatuannya hanya sebagian kekuasaan bukan kedaulatannya. Namun kekuasaan negara itu, bukanlah kekuasaan tanpa batas (postetaslegibus omnibus soluta), sebab ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan (legesnaturaeetdevinae) serta hukum yang umum pada semua bangsa yang dinamakan legesimperii. Pengertian legesimperii menurut Yudha B. Ardiwisastra ialah undang-undang dasar negara yang memuat ketentuan-ketentuan kepada siapa kekuasaan itu diserahkan dan batas-batas pelaksanaannya. 143 Sejalan dengan kedua teori atau konsep diatas, secara teoritik kekuasaan negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal sebagai hak bangsa. Negara di sini, dipandang sebagai territorialepubliekerechtsgeenschap van overhead en onderdanen, yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga masyarakat hukum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya dalam wilayahnya secara intern. 144 Sejalan dengan teori tersebut melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 143 144
Abrar Saleng, Op.Cit.,hlm.8. Ibid.
60
UUD 1945 memberikan hak kepada negara untuk menguasai bumi dan dari dan kekayaan alam yang terkandung di dalam untuk kemakmuran rakyat. Hak tersebut selanjutnya disebut sebagai hak penguasaan negara.Apabila konsep negara kesejahteraan 145 dan fungsi negara menurut W.Friedmann 146 dikaitkan dengan konsepsi Hak Penguasaan Negara untuk kondisi Indonesia dan keperluan kajian ini, dapat diterima dengan beberapa kajian kritis sebagai berikut; 147 Pertama, Hak Penguasaan Negara dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus. Karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang tetap dapat dikendalikan oleh negara. Kedua, Hak Penguasaan Negara dalam Pasal 33 UUD 1945, membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilitisdan public services atas dasar pertimbangan; filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoly yang merugikan perekonomian negara), ekonomi (efisiensi dan efektifitas) dan demi
145
Menurut BagirManan negara kesejahteraan adalah negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lihat :Ibid., hlm.9. 146 Fungsi Negara menuturW.Friendmann terdiri dari empat fungsi yaitu; (1) fungsi negara sebagai provider (penjamin) kesejahteraan rakyat; (2) fungsi negara sebagai regulator (pengatur); (3) fungsi negara sebagai entrepreneur (pengusaha) atau menjalankan sektor-sektor tertentu melalui state owned corporations (BUMN) dan; (4) fungsi negara sebagai umpire (pengawas, wasit) untuk merumuskan standar-standar yang adil mengenai kinerja sektor ekonomi termasuk perusahaan negara (state corporation). Lihat: Ibid.,hlm.16. 147 Ibid., hlm.18.
61
kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Sumber daya alam yang dimaksud dalam konteks ini adalah sumber daya alam dalam lingkup pertambangan terkhusus mineral dan batubara. 3. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Penguasaan Negara Kata-kata dikuasai oleh negara yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak ditafsirkan secara khusus dalam penjelasannya, sehingga memungkinkan untuk dilakukan penafsiran akan makna dan cakupan pengertiannya. Untuk memahami pengertian dikuasai oleh negara, maka terlebih dahulu dilakukan penafsiran etimologis. Dikuasai oleh negara (kalimat pasif) mempunyai padanan arti Negara menguasai atau Penguasaan Negara (kalimat aktif). Pengertian kata “menguasai” ialah berkuasa atas (sesuatu), memegang kekuasaan atas (sesuatu)”, sedangkan pengertian kata “penguasaan” berarti; proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan”. Dengan demikian pengertian kata penguasaan lebih luas dari kata menguasai. 148 Dalam kerangka penguasaan negara atas pertambangan mengandung pengertian; negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Pengertian yang demikian, sejalan dengan maksud kata-kata dikuasai oleh negara yang tertuju kepada objekobjek penguasaan yang tersebut dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, sedangkan pengertian hak menurut Apeldoorn, yaitu suatu kekuasaan (macht) yang teratur oleh hukum yang berdasarkan kesusilaan (zadelijkheid, moral). Tetapi kekuasaan semata-mata bukanlah hak. Hanya kekuasaan yang dibenarkan
148
Ibid.,hlm.21.
62
oleh hukum (het recht in zijn-veroorlovendegedaante) saja yang dijadikan dasar bagi adanya hak untuk mengatur oleh negara. 149 Hak Penguasaan Negara ialah Negara melalui Pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur (regelen), mengurus, mengelola (besturen, beheren) dan mengawasi (toezchthouden) pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. 150Secara konstitusional Hak Penguasaan Negara berdasar pada Pasal 33 UUD 1945. Menurut JimlyAssidhiqqie, dalam pemahaman konstitusi banyak kalangan selama ini terdapat kekeliruan terkait dengan konstitusi yang hanya diartikan sebagai Undang-Undang Dasar. Kesalahan ini salah satu akibat dari faham kodifikasi yang meyakini dan menghendaki bahwa seluruh peraturan hukum dibuat dalam bentuk tertulis (written document) yang bertujuan untuk menciptakan kesatuan hukum (unifikasi hukum), kesederhanaan hukum, dan kepastian hukum (rechzekerheid). 151 Konstitusi Indonesia, UUD 1945, tergolong ke dalam jenis konstitusi sosial. Oleh karena itu, dalam memahami maksud aturan-normatif yang terkandung di dalam pasal-pasalnya, diperlukan telaah yang lebih mendalam terhadap isi Pembukaan UUD 1945. Sebab di dalam Pembukaan itulah dimuat rumusan-rumusan filosofis mengenai dasar dan tujuan negara serta rumusan asasasas mengenai negara yang hendak dibangun oleh bangsa Indonesia. 152 Pasal 33 UUD 1945 mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian atau tata susunan perekonomian dan kegiatan-kegiatan perekonomian yang 149
Ibid., hlm.21-22. Ibid., hlm.18. 151 JimlyAsshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.95. 152 Abrar Saleng, Loc.Cit., hlm.24. 150
63
dikehendaki dalam negara Republik Indonesia. Dasar-dasar perekonomian yang dikehendaki dalam negara Republik Indonesia. Dasar-dasar perekonomian dan kegiatan perekonomian sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial, maka pembuat/penyusun UUD 1945 menempatkan Pasal 33 sebagai salah satu Pasal di dalam Bab XIV di bawah judul Kesejahteraan Sosial. 153 Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 33 didasari oleh pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945, sehingga Pasal 33 merupakan normatifisasi nilai-nilai yang terkandung dalam alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 antara lain berbunyi: 154 “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” Kalimat terakhir alinea ke IV yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, selanjutnya dikenal sebagai sila ke lima dari Pancasila yang merupakan landasan legitimasi keberadaan negara. 155 Kemudian untuk memahami makna dan substansi Hak Penguasaan Negara yang terkandung dalam Pasal 33, akan dimulai dari sejarah perumusan Pasal 33 itu sendiri. Pada akhir rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 telah membentuk tiga Panitia yaitu; Panitia Perancang
UUD 1945 (diketuai Soekarno), Panitia
Keuangan dan Perekonomian (diketuai Mohammad Hatta) dan Panitia Pembelaan
153
Ibid., hlm.25. Ibid. 155 Ibid., hlm.26. 154
64
Tanah Air (diketuai AbikusnoTjokrosujoso). 156Dari hasil rumusan Rapat Panitia Perancang UUD 1945 tanggal 11 dan 13 Juli 1945, materi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945, termuat dalam Pasal 32 rancangan UUD 1945. Bunyi Pasal 32 rancangan UUD 1945 tersebut secara keseluruhan sama dengan bunyi Pasal 33 UUD 1945 dengan sedikit perbedaan pada ayat (2) rancangan UUD 1945 yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting dalam menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh pemerintah, sedangkan pada ayat (2) Pasal 33 UUD 1945 berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 157 Meskipun terdapat perbedaan secara yuridis antara negara dan pemerintah, namun pembicaraan dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 mengenai perubahan redaksi ayat (2) rancangan UUD 1945 dari dikuasai oleh pemerintah menjadi dikuasai oleh negara tidak dipersoalkan oleh satu pun anggota PPKI. Ini membuktikan bahwa panitia perancangan UUD 1945 itu menyadari kelemahan apabila menggunakan kata pemerintah. Sebab pemerintah bisa berganti, tetapi negara adalah tetap negara. 158Selanjutnya dasar-dasar pemikiran yang juga melandasi Pasal 33 adalah pokok-pokok pikiran tentang ideologi perekonomian Indonesia merdeka dirumuskan oleh Panitia Keuangan dan Perekonomian yang diketuai Mohammad Hatta Menghasilkan rumusan sebagai berikut; “Orang Indonesia hidup tolong menolong! Indonesia merdeka akan berdasar kepada cita-cita tolong menolong dan usaha bersama, yang diselenggarakan berangsur-angsur dengan mengembangkan kooperasi. Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar yang menguasai hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang 156
Ibid.,hlm.27. Ibid. 158 Ibid., hlm.28. 157
65
menggantungkan hidupnya, mestilah dibawah kekuasaan Pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabila buruk-baiknya perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang yang berkerja di dalamnya diputuskan oleh beberapa orang partikulir saja, yang berpedoman dengan keuntungan semata-mata. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur , dengan berpedoman kepada keselamatan rakyat. Bangunan kooperasi dengan diawasi dan juga disertai dengan kapital oleh Pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi perusahaan besarbesar. Semakin besar perusahaan dan semakin banyak jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya ke sana, semakin besar mestinya pesertaan Pemerintah. Dengan sendirinya perusahaan besar-besar itu menyerupai bangunan korporasi publik. Dengan sendirinya perusahaan besar-besar itu menyerupai bangunan korporasi publik. Itu tidak berarti bahwa pimpinannya harus bersifat birokrasi. Perusahaan dan birokrasi adalah dua hal yang sangat bertentangan. Tanah, sebagai faktor produksi yang terutama dalam masyarakat Indonesia, haruslah di bawah kekuasaan Negara. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-orang untuk menindas dan memeras hidup orang lain Perusahaan tambang yang besar dan serupa dengan itu dijalankan sebagai usaha negara, sebab ia dikerjakan oleh orang banyak dan cara mengusahakannya mempunyai akibat terhadap kemakmuran dan kesehatan rakyat. Tanahnya serta isinya Negara yang punya. Tetapi cara menjalankan eksploitasi itu bisa diserahkan kepada badan yang bertanggung jawab kepada Pemerintah, menurut peraturan yang ditetapkan. Ini tentang ideologi perekonomian yang dapat diselenggarakan berangsur-angsur dengan didikan pengetahuan, organisasi, idealisme dan rohani kepada orang banyak.” 159 Bertolak dari rumusan tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya antara lain; 160 a. Perekonomian Indonesia berdasarkan pada cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama, dilaksanakan dalam bentuk koperasi. b. Perusahaan besar mesti dibawah kekuasaan Pemerintah, yang dimaksud dengan perusahaan besar-besar ialah yang menguasai hidup orang banyak dan dimana banyak orang menggantungkan hidupnya.
159 160
Ibid., hlm.28-29. Ibid.,hlm.29-30.
66
c. Perusahaan besar berbentuk korporasi diawasi dan penyertaan modal Pemerintah, Perusahaan yang dimaksud menyerupai korporasi publik. d. Tanah di bawah kekuasaan negara, dikuasai artinya di punyai, oleh negara, termasuk isi yang terkandung di dalamnya. e. Perusahaan tambang dalam bentuk usaha negara dapat diserahkan kepada badan yang bertanggung jawab kepada pemerintah. Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, memberikan petunjuk mengenai pengertian, makna dan substansi kata-kata (istilah) dikuasai oleh negara atau Hak Penguasaan Negara yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3). Isi Pasal tersebut, berimplikasi kepada; Pertama, Negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kedua, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (bahan galian) dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 161 Objek Hak Penguasaan Negara sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 UUD 1945 menyangkut dua hal yaitu; (a) terhadap cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (ayat 2); (b) terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (ayat 3). Cabang produksi yang erat kaitannya dengan kedua hal tersebut di atas antara lain sektor pertambangan dan energi. 162 C. Permasalahan yang timbul akibat diterapkannya kebijakan larangan ekspor mineral mentah Kebijakan larangan ekspor mineral mentah pada hakikatnya bertujuan untuk memastikan tersedianya cadangan mineral mentah untuk pengolahan dan
161 162
Ibid., hlm.31. Ibid., hlm.35.
67
pemurnian mineral di dalam negeri. Sehingga kebijakan peningkatan nilai tambah produk pertambangan melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dapat terlaksana dengan baik yang nantinya diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap peningkatan perekonomian Indonesia serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.Namun pada kenyataannya kebijakan larangan ekspor mineral mentah tidak hanya memberikan dampak positif seperti yang diharapkan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang dapat mengancam kestabilan perekonomian dan industri pertambangan di Indonesia. Berikut penjabaran mengenai dampak negatif tersebut; Pertama, PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V. (NTPBV), suatu badan usaha yang berbadan hukum Belanda, mengumumkan pengajuan gugatan arbitrase internasional terhadap Pemerintah terkait dengan larangan ekspor yang telah mengakibatkan dihentikannya kegiatan produksi di tambang Batu Hijau dan menimbulkan kesulitan dan kerugian ekonomi terhadap para karyawan PTNNT, kontraktor, dan para pemangku kepentingan lainnya. 163 Pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai Januari 2017, yang diterapkan kepada PTNNT oleh Pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) dan perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Belanda. Dalam gugatan arbitrase yang diajukan kepada the International Center for the Settlement of Investment Disputes, PTNNT dan NTPBV menyatakan maksudnya untuk memperoleh putusan sela yang mengizinkan PTNNT untuk dapat melakukan 163
Arbitrase Diajukan Terkait Larangan Ekspor di Indonesia, http://www.ptnnt.co.id/id/arbitrase-diajukan-terkait-larangan-ekspor-di-indonesia.aspx (diakses 10 Maret 2014)
68
ekspor konsentrat tembaga agar kegiatan tambang Batu Hijau dapat dioperasikan kembali. 164PTNNT merupakan perusahaan tambang tembaga dan emas yang beroperasi berdasarkan Kontrak Karya Generasi IV yang ditandatangani pada 2 Desember 1986. 165Gugatan PTNNT ini terkait dengan ketidak sesuaian antara hukum positif yang berlaku di Indonesia dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kontrak Karya PTNNT yakni berkaitan dengan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai Januari 2017. Kontrak Karya PTNNT ditandatangani jauh sebelum UU Minerba dibentuk, sehingga pada saat UU Minerba beserta peraturan-peraturan pendukungnya dibentuk, terdapat ketidak sesuaian, namun terkait dengan hal tersebut Pasal 169 UU Minerba telah memerintahkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal Kontrak Karya yang telah ada sebelum UU Minerba diundangkan harus disesuaikan dengan UU Minerba selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU Minerba diundangkan. Kedua, Terjadinya Perlambatan ekonomi. Badan Pusat Statistik merilis pertumbuhan ekonomi kuartal I 2014 sebesar 5,21%. Padahal, pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2013 mencapai 5,72%. Angka ini menunjukkan perlambatan yang bersumber dari sektor pertambangan akibat pemberlakuan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (minerba). 166Kepala BPS Suryamin mengungkapkan larangan untuk ekspor bijih mineral mentah atau ore merupakan penyebab pertumbuhan di sektor pertambangan mengalami perlambatan dan berdampak 164
Ibid. Ibid. 166 Suci SedyaUtami , “Perlambatan Ekonomi akibat Larangan Ekspor Mineral Mentah,” http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/05/05/238469/perlambatan-ekonomi-akibatlarangan-ekspor-mineral-mentah (diakses pada tanggal 10 Maret 2015) 165
69
pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pada kuartal I 2014, pertumbuhan sektor pertambangan turun sebesar 0,38% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2013. 167 Perlambatan ekonomi juga berdampak pada daerah-daerah khususnya kawasan timur Indonesia, dikarenakan kawasan timur Indonesia merupakan mayoritas daerah penghasil mineral. Sejumlah daerah itu antara lain adalah papua, sulawesi, kalimantan, maluku. Dari data Bank Indonesia (BI), Papua tercatat memiliki pertumbuhan ekonomi pada 2013 di KTI ini mulai dari 6% hingga tertinggi mencapai 23%. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2014 di KTI akan berada di level 4,5% -5,0%. Hal ini jauh dari angka pertumbuhan ekonomi yang berada di level 5,8% -6,2% secara nasional pada 2014. 168 Ketiga, Terjadinya pemutusan hubungan kerja massal. Presiden Direktur PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) Kiki Hamidjaja menyatakan, sejak larangan ekspor mineral mentah diberlakukan, operasi produksi tambang nikel milik DKFT di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara dan di Morowali, Sulawesi Tengah dihentikan. Akibatnya, sekitar 2.000 pekerja pekerja DKFT maupun pekerja dari kontraktor jasa pertambangan DKFT dipecat.
169
Selain DKFT, Direktur PT Harita Prima Abadi Mineral ErrySofyan juga telah merumahkan 4.500 karyawan. Langkah ini diambil karena penghentian operasi tambang bauksit milik Harita pasca keluarnya PP No. 1 tahun 2014 yang melarang ekspor mineral mentah. Sementara, pengoperasian smelter Harita baru 167
Ibid. Ilyas IstianurPraditya, “Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Timur Kena Imbas UU Minerba,“ http://m.liputan6.com/bisnis/read/830723/pertumbuhan-ekonomi-indonesia-timur-kenaimbas-uu-minerba (diakses pada tanggal 10 Maret 2015) 169 Agustinus Beo Da Costa, “Pengusaha Tambang: Puluhan Ribu Karyawan Sudah Dipecat”,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/02/19/1105299/Pengusaha.Tambang.Puluh an.Ribu.Karyawan.Sudah.Dipecat (diakses pada tanggal 10 Maret 2015) 168
70
berjalan 2015 nanti. 170 Selain Harita Prima Abadi Mineral, menurut Erry yang juga Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), ada sekitar 40.000 karyawan dari 51 perusahaan tambang bauksit yang menyebar di Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah juga telah memecat karyawannya.
170 171
Ibid. Ibid.
171