BAB II LANDASAN TEORI
A. HARAPAN 1.
Definisi Harapan Snyder (2000) menyatakan harapan adalah keseluruhan dari kemampuan
yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalurjalur tersebut. Harapan didasarkan pada harapan positif dalam pencapaian tujuan. Snyder, Irving, & Anderson (dalam Snyder, 2000) menyatakan harapan adalah keadaan termotivasi yang positif didasarkan pada hubungan interaktif antara agency (energi yang mengarah pada tujuan) dan pathway (rencana untuk mencapai tujuan). Snyder, Harris, dkk (dalam Snyder, 2000) menjelaskan harapan sebagai sekumpulan kognitif yang didasarkan pada hubungan timbal-balik antara agency (penentu perilaku yang berorientasi tujuan) dan pathway (rencana untuk mencapai tujuan). Snyder (dalam Carr, 2004) mengkonsepkan harapan ke dalam dua komponen, yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan agency atau motivasi untuk menggunakan jalur tersebut. Harapan merupakan keseluruhan dari kedua komponen tersebut. Berdasarkan konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai,
Universitas Sumatera Utara
bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Pemikiran hopeful mencakup tiga komponen, yaitu goal, pathway thinking, dan agency thinking. Namun jika individu memiliki keyakinan untuk mencapai tujuannya, maka individu tidak memerlukan harapan. Sebaliknya, jika individu yakin bahwa ia tidak akan bisa maka ia akan menjadi hopeless. Berdasarkan konseptualisasi ini, emosi positif dan negatif merupakan hasil dari pemikiran hopeful atau hopeless yang memiliki tujuan. Pada situasi adanya usaha untuk mencapai tujuan, perilaku hopeful akan ditentukan oleh interaksi dari hal berikut: a. Seberapa bernilainya tujuan atau hasil yang ingin dicapai. b. Pemikiran mengenai jalur untuk mencapai tujuan dan harapan yang berkaitan dengan seberapa efektif jalur/cara ini untuk mencapai tujuan yang diinginkan. c. Pemikiran mengenai pribadi dan seberapa efektif individu dalam mengikuti jalur untuk mencapai tujuan tersebut. Teori harapan juga menekankan peran dari hambatan, stressor, dan emosi. Ketika menjumpai hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan, individu menilai kondisi tersebut sebagai sumber stres. Berdasarkan postulat teori harapan, emosi positif dihasilkan dari persepsi mengenai keberhasilan pencapaian tujuan. Sebaliknya emosi negatif mencerminkan kegagalan pencapaian tujuan, baik yang mengalami hambatan ataupun tidak mengalami hambatan. Oleh karena itu, persepsi mengenai keberhasilan pencapaian tujuan akan mendorong munculnya
Universitas Sumatera Utara
emosi positif dan negatif (Snyder & Sympson, dalam Snyder, 2000). Kemudian emosi ini bertindak sebagai reinforcing feedback.
2.
Komponen Harapan Menurut Snyder (2000), komponen-komponen yang terkandung dalam
teori harapan yaitu: a. Goal Perilaku manusia adalah berorientasi dan memiliki arah tujuan. Goal atau tujuan adalah sasaran dari tahapan tindakan mental yang menghasilkan komponen kognitif. Tujuan menyediakan titik akhir dari tahapan perilaku mental individu. Tujuan harus cukup bernilai agar dapat mencapai pemikiran sadar. Tujuan dapat berupa tujuan jangka pendek ataupun jangka panjang, namun tujuan harus cukup bernilai untuk mengaktifkan pemikiran yang disadari. Dengan kata lain, tujuan harus memiliki kemungkinan untuk dicapai tetapi juga mengandung beberapa ketidakpastian. Pada suatu akhir dari kontinum kepastian, kepastian yang absolut adalah tujuan dengan tingkat kemungkinan pencapaian 100%, tujuan seperti ini tidak memerlukan harapan. Harapan berkembang dengan baik pada kondisi tujuan yang memiliki tingkat kemungkinan pencapaian sedang (Averill dkk., dalam Snyder, 2000). Lopez, Snyder & Pedrotti (2003) menyatakan bahwa tujuan dapat berupa approach-oriented in nature (misalnya sesuatu yang positif yang diharapkan untuk terjadi) atau preventative in nature (misalnya sesuatu yang negatif yang ingin dihentikan agar tidak terjadi lagi). Tujuan juga sangat beragam dilihat dari
Universitas Sumatera Utara
tingkat kemungkinan untuk mencapainya. Bahkan suatu tujuan yang tampaknya tidak mungkin untuk dicapai pada waktunya akan dapat dicapai dengan perencanaan dan usaha yang lebih keras.
b. Pathway Thinking Untuk dapat mencapai tujuan maka individu harus memandang dirinya sebagai individu yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan. Proses ini yang dinamakan pathway thinking, yang menandakan kemampuan seseorang untuk mengembangkan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pathway thinking ditandai dengan pernyataan pesan internal seperti “Saya akan menemukan cara untuk menyelesaikannya!” (Snyder, Lapointe, Crowson, & Early dalam Lopez, Snyder & Pedrotti, 2003). Pathway thinking mencakup pemikiran mengenai kemampuan untuk menghasilkan satu atau lebih cara yang berguna untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Beberapa jalur yang dihasilkan akan berguna ketika individu menghadapi hambatan, dan orang yang memiliki harapan yang tinggi merasa dirinya mampu menemukan beberapa jalur alternatif dan umumnya mereka sangat efektif dalam menghasilkan jalur alternatif (Irving, Snyder, & Crowson; Snyder, Harris, dkk., dalam Snyder, Rand & Sigmon, 2002).
c. Agency Thinking Komponen motivasional pada teori harapan adalah agency, yaitu kapasitas untuk menggunakan suatu jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agency
Universitas Sumatera Utara
mencerminkan persepsi individu bahwa dia mampu mencapai tujuannya melalui jalur-jalur yang dipikirkannya, agency juga dapat mencerminkan penilaian individu mengenai kemampuannya bertahan ketika menghadapi hambatan dalam mencapai tujuannya. Orang yang memiliki harapan tinggi menggunakan self-talk seperti “Saya dapat melakukan ini” dan “Saya tidak akan berhenti sampai disini”. Agentic thinking penting dalam semua pemikiran yang berorientasi pada tujuan, namun akan lebih berguna pada saat individu menghadapi hambatan. Ketika individu menghadapi hambatan, agency membantu individu menerapkan motivasi pada jalur alternatif terbaik (Irving, Snyder, & Crowson dalam Snyder, Rand & Sigmon, 2002). Komponen agency dan pathway saling memperkuat satu sama lain sehingga satu sama lain saling mempengaruhi dan dipengaruhi secara berkelanjutan dalam proses pencapaian tujuan.
d. Kombinasi Pathway Thinking dan Agency Thinking Menurut teori harapan, komponen pathway thinking dan agency thinking merupakan dua komponen yang diperlukan. Namun, jika salah satunya tidak tercapai, maka kemampuan untuk mempertahankan pencapaian tujuan tidak akan mencukupi. Komponen pathway thinking dan agency thinking merupakan komponen yang saling melengkapi, bersifat timbal balik, dan berkorelasi positif, tetapi bukan merupakan komponen yang sama. Oleh sebab itu, teori harapan tersebut spesifik pada kemampuan untuk menghasilkan rencana untuk mencapai tujuan dan kepercayaan pada kemampuan
Universitas Sumatera Utara
untuk mengimplementasikan tujuan tersebut. Individu yang memiliki kemampuan dalam agency thinking seharusnya disertakan juga dengan pathway thinking. Namun, beberapa individu tidak mengalami hal tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa tidak semua individu yang memiliki agency thinking akan memiliki pathway thinking. Jika individu memiliki keduanya, dapat dikatakan bahwa kedua individu tersebut memiliki harapan tinggi. Hal tersebut disebabkan karena salah satunya tidak cukup untuk membentuk harapan yang tinggi (Snyder, 1994). Snyder (1994) membuat empat kategori mengenai kombinasi pathway thinking dan agency thinking. Kombinasi tersebut adalah pathway thinking dan agency thinking rendah, pathway thinking rendah dan agency thinking tinggi, pathway thinking tinggi dan agency thinking rendah, dan pathway thinking dan agency thinking tinggi. Individu yang memiliki pathway thinking dan agency thinking rendah hanya memiliki sedikit keyakinan bahwa mereka akan meraih kesuksesan dalam mewujudkan tujuannya. Individu dengan karakteristik seperti ini terkadang juga memiliki masalah, yaitu tidak memiliki tujuan sama sekali. Harapan yang rendah memiliki dampak bagi keseluruhan kehidupan individu. Tanpa keinginan untuk bertindak dan perencanaan, individu dapat mengalami depresi. Perasaan depresi tersebut muncul karena individu berpikir bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan tujuan mereka. Selain itu, emosi negatif dapat semakin
meningkat
jika
individu
tidak
memiliki
kemampuan
untuk
mendefinisikan tujuan secara jelas.
Universitas Sumatera Utara
Individu dengan agency thinking tinggi dan pathway thinking rendah memiliki keyakinan untuk meraih tujuan yang diinginkan. Namun, individu dengan karakteristik seperti ini memiliki masalah dalam berpikir mengenai cara yang paling berhasil untuk mencapai tujuannya. Jika individu berada terlalu lama dalam keadaan ini, maka individu tersebut dapat mengalami kemarahan atau frustasi. Selanjutnya individu tersebut akan kehilangan agency thinking-nya. Individu dengan agency thinking rendah dan pathway thinking tinggi merupakan individu yang tidak memiliki energi mental yang cukup untuk mewujudkan rencana yang dimiliki. Individu yang berada dalam keadaan ini akan mengalami burnout. Banyak individu yang memiliki agency thinking rendah terlihat seperti mengerjakan sesuatu yang dapat membuat orang lain terkesan. Namun, individu tersebut sebenarnya tetap berada dalam tahap yang sama. Individu yang memiliki agency thinking dan pathway thinking tinggi adalah individu yang menyimpan tujuan yang jelas dan memikirkan cara untuk meraih tujuan tersebut di dalam pikiran mereka. Mereka mudah berinteraksi dengan orang lain dan memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan hal-hal yang mereka inginkan. Mereka merupakan individu yang fokus terhadap tujuan serta bebas bergerak dari ide yang satu menuju yang lain untuk mewujudkan tujuan mereka. Individu yang memiliki harapan tinggi memiliki pikiran yang sangat aktif dan memiliki keyakinan bahwa terdapat berbagai pilihan yang tersedia untuk mencapai tujuan mereka. Individu yang memiliki keduanya merupakan contoh individu yang memiliki harapan tinggi. Harapan yang tinggi menyebabkan individu memperoleh
Universitas Sumatera Utara
berbagai keuntungan ketika menghadapi hal yang sulit. Dalam beberapa situasi kehidupan, langkah individu seringkali dirintangi oleh seseorang atau sesuatu. Namun, individu yang memiliki harapan tinggi dapat memikirkan jalan alternatif menuju tujuan dan langsung diterapkan pada jalan yang terlihat lebih efektif. Kesimpulannya, harapan merupakan kombinasi antara mental agency thinking dan pathway thinking yang berfungsi untuk mencapai tujuan. Kedua komponen tersebut disebut mental karena harapan merupakan proses yang terjadi secara konstan dimana proses tersebut termasuk apa yang individu pikirkan tentang diri mereka sendiri yang memiliki kaitan dengan tujuan. Apa yang dipikirkan oleh individu tersebut dapat mempengaruhi perilaku yang nyata.
3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Harapan Weil (2000) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi harapan, yaitu dukungan sosial, kepercayaan religius, dan kontrol. a. Dukungan Sosial Harapan
memiliki
kaitan
erat
dengan
dukungan
sosial.
Dalam
penelitiannya mengenai pasien yang menderita penyakit kronis (Raleigh dalam Weil, 2000)
mengatakan
bahwa keluarga dan teman pada umumnya
diidentifikasikan sebagai sumber harapan untuk penderita penyakit kronis dalam beberapa aktivitas seperti mengunjungi suatu tempat, mendengarkan, berbicara dan
memberikan
bantuan
secara
fisik.
Herth
(dalam
Weil,
2000)
mengidentifikasikan pertahanan hubungan peran keluarga sebagai sesuatu yang
Universitas Sumatera Utara
penting bagi tingkat harapan dan coping. Sebaliknya, kurangnya ikatan sosial diatribusikan sebagai hasil kesehatan yang lebih buruk seperti peningkatan morbidity dan kematian awal. Individu mengekspresikan perasaan tidak berdaya ketika mereka tidak mampu berkomunikasi dengan orang lain.
b. Kepercayaan Religius Kepercayaan religius dan spiritual telah diidentifikasikan sebagai sumber utama harapan dalam beberapa penelitian. Kepercayaan religius dijelaskan sebagai kepercayaan dan keyakinan seseorang pada hal positif atau menyadarkan individu pada kenyataan bahwa terdapat sesuatu atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk situasi individu saat ini. Spiritual merupakan konsep yang lebih luas dan terfokus pada tujuan dan makna hidup serta keterkaitan dengan orang lain, alam, ataupun dengan Tuhan (Reed dalam Weil, 2000). Raleigh (dalam Weil, 2000) menyatakan bahwa kegiatan religius merupakan strategi kedua yang paling umum untuk mempertahankan harapan dan juga sebagai sumber dalam mendukung harapan pada pasien dengan penyakit kronis.
c. Kontrol Mempertahankan kontrol merupakan salah satu bagian dari konsep harapan. Mempertahankan kontrol dapat dilakukan dengan cara tetap mencari informasi, menentukan nasib sendiri, dan kemandirian yang menimbulkan perasaan kuat pada harapan individu. Kemampuan individu akan kontrol juga
Universitas Sumatera Utara
dipengaruhi self-efficacy (Venning, dkk dalam Weil, 2000) yang dapat meningkatkan persepsi individu terhadap kemampuannya akan kontrol. Harapan dapat dikorelasikan dengan keinginan dalam kontrol, kemampuan untuk menentukan, menyiapkan diri untuk melakukan antisipasi terhadap stres, kepemimpinan, dan menghindari ketergantungan. Penelitian menunjukkan bahwa harapan memiliki hubungan yang positif dengan persepsi seseorang mengenai kontrol. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa individu yang memiliki sumber internal dalam kontrol memiliki harapan bahwa mereka dapat mengontrol nasib mereka sendiri. Sebaliknya, individu yang memiliki sumber kontrol eksternal berharap untuk dikontrol oleh kekuatan atau paksaan yang berasal dari luar dirinya.
B. PERCERAIAN 1.
Definisi Perceraian DeGenova (2008: 415) menyatakan perceraian adalah metode yang sah
secara hukum untuk mengakhiri suatu pernikahan. Secara hukum, setelah perceraian, kedua individu dapat menikah lagi dengan orang lain, benda-benda milik mereka dan harta akan dibagi rata dan jika anak dilibatkan dalam hal ini maka akan diputuskan hak asuh atau perwalian anak. Hal ini dapat menjadi sangat sulit dirundingkan walaupun jika kedua pihak menginginkan perceraian. Amato & Emery (dalam Sigelman & Rider, 2003) menyatakan bahwa perceraian bukan hanya merupakan sebuah peristiwa dalam hidup, melainkan runtutan pengalaman yang menyebabkan stres bagi seluruh anggota keluarga,
Universitas Sumatera Utara
yang dimulai dengan adanya konflik pernikahan sebelum perceraian dan melibatkan perubahan hidup yang kompleks ketika pernikahan tesebut berakhir dan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus mengatur kembali hidup mereka.
2.
Penyebab Perceraian DeGenova (2008) menyatakan adanya faktor sosial dan demografi yang
mempengaruhi peningkatan dan penurunan kemungkinan perceraian. Faktorfaktor tersebut dapat berupa usia pada saat menikah, agama, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, suku bangsa, area geografis, dan perceraian orangtua. Lowenstein (dalam DeGenova, 2008: 405) menyatakan penyebab perceraian dapat berupa kemandirian wanita, menikah di usia awal, faktor ekonomi, rendahnya intelektual, pendidikan, dan kemampuan sosial, hukum perceraian yang bebas, faktor seksual, konflik peran, penggunaan alkohol dan zatzat terlarang, perilaku beresiko, perbedaan pendapat yang menyebabkan hubungan menjadi hambar, faktor agama, sikap terhadap perceraian, dan alasan lainnya. Newman & Newman (2006) menyatakan empat variabel berkaitan dengan terjadinya perceraian, yaitu: a.
Usia pada saat menikah Bramlett & Mosher (dalam Newman & Newman, 2006) menyatakan
bahwa wanita yang menikah pada usia di bawah 18 tahun, 48% mengalami masalah pernikahan dalam kurun waktu 10 tahun pernikahan. Sebaliknya, wanita yang menikah pada usia 25 tahun atau lebih, hanya 24% yang mengalami masalah pernikahan dalam kurun waktu 10 tahun pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk pasangan yang menikah muda ataupun menikah pada usia tua, ketidakpuasan terhadap performansi peran berpengaruh pada ketidakstabilan pernikahan. Untuk pasangan muda, ketidakpuasan bersumber pada ketidaksetiaan seksual dan kecemburuan. Untuk pasangan yang lebih tua, ketidakpuasan bersumber pada konflik interpersonal, gaya dominasi, dan kurangnya ikatan (dalam Newman & Newman, 2006).
b. Tingkat sosioekonomi Tingkat sosioekonomi mencakup pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Masing-masing dari komponen ini berkaitan dengan angka perceraian (White & Rogers dalam Newman & Newman, 2006). Individu yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi umumnya memiliki angka perceraian yang lebih rendah. Glick (dalam Newman & Newman, 2006) menunjukkan suatu efek Glick yaitu pria dan wanita yang dikeluarkan dari sekolah atau perguruan tinggi memiliki angka perceraian yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menyelesaikan sekolah mereka. Glick menjelaskan pola ini sebagai bukti dari kurangnya kekonsistenan. Mereka yang tidak berkomitmen untuk menyelesaikan pendidikan mungkin juga kurang berkomitmen dalam mencari penyelesaian masalah yang muncul dalam pernikahan. Selain itu, jumlah pendapatan keluarga juga berkaitan dengan kestabilan pernikahan dalam beberapa hal. Pendapatan yang tidak tetap lebih berkaitan dengan retaknya pernikahan dibandingkan pendapatan yang rendah dan menetap. Bagi pria, pendapatan yang tinggi dikaitkan dengan rendahnya angka perceraian.
Universitas Sumatera Utara
Bagi wanita, ketika istri berkontribusi sebesar 50% sampai 60% dari jumlah pendapatan keluarga dan ketika mereka menunjukkan rendahnya kebahagiaan pernikahan maka perceraian lebih mungkin terjadi. Penjelasan ini menunjukkan bahwa ketika kedua pasangan memiliki sumber keuangan yang sama atau seimbang maka kurang ada kewajiban untuk bertahan dalam hubungan yang tidak membahagiakan (Rogers dalam Newman & Newman, 2006).
c.
Perkembangan sosioemosional dari pasangan Perkembangan sosioemosional dicerminkan melalui dimensi penerimaan
diri (self-acceptance), otonomi, dan pengekspresian diri. Masalah komunikasi seringkali dikemukakan pria dan wanita sebagai penyebab perceraian. Pasangan yang memiliki karakteristik bermasalah dalam hubungan mereka selama periode sebelum pernikahan, yang sering tidak sependapat dan memiliki persepsi yang berbeda
mengenai
bagaimana
menyelesaikan
selisih
pendapat
lebih
berkemungkinan untuk bercerai tiga tahun setelah pernikahan (Fowers, Montel, & Olson dalam Newman & Newman, 2006). Kestabilan pernikahan bergantung pada kedua pasangan dalam mencapai identitas mereka masing-masing. Pencapaian ini membantu membangun keseimbangan kekuatan dan saling menghargai yang sangat penting dalam kedekatan emosional dan intelektual.
Universitas Sumatera Utara
d. Sejarah perceraian dalam keluarga Amato & Deboer (dalam Newman & Newman, 2006) menyatakan bahwa individu dari orangtua yang bercerai lebih mungkin akan bercerai dibandingkan individu dari keluarga yang harmonis. Ada banyak penjelasan untuk hal ini. Salah satu interpretasinya adalah bahwa dengan melihat orangtua mereka mengakhiri pernikahan mereka, maka anak akan memandang pernikahan bukan sebagai komitmen sepanjang hidup dan memiliki sikap yang positif terhadap perceraian sebagai strategi untuk menyelesaikan konflik pernikahan (Greenberg & Nay dalam Newman & Newman, 2006). Penjelasan lainnya adalah anak yang memiliki orangtua tunggal (single parent) dan dari keluarga yang menikah lagi (remarried family) lebih berkemungkinan untuk menikah pada usia muda dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga utuh, sehingga meningkatkan kemungkinan perceraian. Penjelasan lainnya bahwa anak dari orangtua yang memiliki konflik pernikahan, akan mengalami afek negatif dan kemarahan orangtua. Hal ini akan menciptakan hubungan attachment yang tidak aman dan akan menghasilkan kemampuan hubungan yang rendah yang pada akhirnya akan sulit untuk membentuk dan mempertahankan hubungan intim dengan orang lain (Amato & Booth dalam Newman & Newman, 2006).
3.
Dampak Perceraian Ketika pernikahan berakhir, individu yang bercerai harus memulai kembali
hidupnya dari awal. Namun perceraian seringkali menimbulkan dampak yang
Universitas Sumatera Utara
besar dalam kehidupan individu, mengubah dunia mereka selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (Craig, 2001). Pada dua tahun pertama setelah perceraian,
individu seringkali
menunjukkan beragam tanda dari dampak emosional seperti kecemasan, depresi, dan kemarahan, serta rasa penolakan dan tidak kompeten (Hetherington & Camara dalam Craig, 2001). Perceraian dihubungkan dengan rasa kehilangan seperti kehilangan sumber keuangan, dukungan emosional, peran pasangan dalam pernikahan dan sebagai orangtua, serta dukungan sosial (Demo, Fine, & Ganong dalam Newman & Newman, 2006). Kehilangan sumber pendapatan dapat berdampak pada kehilangan materi lainnya. Misalnya wanita yang bercerai dan anaknya mungkin harus pindah ke rumah yang lebih murah, menjual banyak harta milik mereka,dan meninggalkan komunitas dimana mereka sudah membangun jaringan teman dan dukungan sosial. Kehidupan sosial dari pria dan wanita yang bercerai juga mengalami perubahan. Namun, dalam banyak kasus, teman-teman tetap memberi dukungan selama dua bulan setelah perceraian, namun persahabatan ini seringkali memudar seiring berjalannya waktu. Pada umumnya wanita lebih banyak kehilangan hubungan persahabatan dibandingkan dengan pria, yang selalu terlibat dalam kegiatan sosial teman-temannya yang telah menikah. Khususnya ibu yang tidak bekerja akan merasa terasing. Kehilangan kontak sosial dengan suami membuat wanita merasa terperangkap dalam dunia yang didominasi oleh anak-anak dan kehidupan merawat anak. Kesehatan fisik dan mental mereka juga mengalami
Universitas Sumatera Utara
penurunan setelah bercerai. Individu yang bercerai lebih berkemungkinan meninggal pada usia muda, dikirim ke rumah sakit jiwa, berusaha melakukan bunuh diri, dan mengalami kecelakaan motor (Goetting dalam Craig, 2001).
C. PERNIKAHAN LAGI (REMARRIAGE) Pada umumnya, ketika rasa sakit akibat perceraian mulai berkurang, kebanyakan individu menunjukkan resiliensi dan keinginan mereka untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan sekali lagi. Menurut statistika, pada kenyataannya tidak peduli seberapa sulit pengalaman perceraian yang dialami, individu memiliki keinginan untuk mencoba pernikahan sekali lagi. Glick (dalam Craig, 2001) melaporkan bahwa 80% orang yang bercerai akan menikah lagi pada akhirnya. Rata-rata orang menikah lagi dalam kurun waktu empat tahun setelah bercerai, pria lebih cepat daripada wanita. Papalia (2007) menyatakan bahwa angka perceraian yang tinggi bukanlah tanda bahwa individu tidak ingin menikah lagi. Namun, hal ini justru mencerminkan suatu keinginan untuk menikah lagi dengan bahagia dan keyakinan bahwa perceraian seperti suatu proses pembedahan yang menyakitkan dan traumatis namun diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Menurut Bray, Coleman, Ganong & Fine (dalam Craig, 2001), individu menikah lagi dengan alasan cinta, masalah finansial, untuk mendapatkan bantuan dalam mengasuh anak, menghilangkan rasa kesepian, dan penerimaan sosial. Ketika individu yang bercerai dan memiliki anak menikah lagi, mereka akan membentuk reconstituted families, yang dikenal juga sebagai stepfamilies
Universitas Sumatera Utara
dan blended families. Keluarga semacam ini menghadirkan lebih banyak masalah penyesuaian peran untuk stepparents dan stepchildren dibandingkan dengan keluarga umum biasanya. Dengan sedikit persiapan untuk mengatasi peran mereka dan dengan adanya sedikit dukungan dari masyarakat di sekitar mereka, stepparents seringkali merasa bahwa untuk mencapai hubungan keluarga yang memuaskan lebih sulit daripada yang dibayangkan (Craig, 2001).
1.
Keberhasilan dan Kepuasan Pernikahan Kembali Dari satu sudut pandang, pernikahan kembali seharusnya lebih berhasil
dibandingkan dengan pernikahan pertama. Orang yang menikah lagi lebih tua, lebih dewasa dan lebih berpengalaman, serta lebih termotivasi untuk mempertahankan pernikahan (DeGenova, 2008). Berdasarkan self-report dari pasangan yang menikah lagi, perbedaan kepuasan pernikahan atau kualitas dari hubungan pernikahan jarang ditemukan, dan walaupun ada, itu cenderung sedikit sekali (Ganong dan Coleman dalam DeGenova, 2008). Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa pernikahan lagi sama bahagianya dengan pernikahan pertama, dengan sedikit perbedaan dalam kesejahteraan pasangan (Demo dan Acock; Ihinger-Tallman dan Pasley; Pasley dan Moorefield dalam DeGenova, 2008). Selain itu, pasangan yang menikah lagi juga memandang pernikahan kedua lebih seimbang dalam hal mengurus rumahtangga dan mengasuh anak, lebih terbuka dan pragmatis, kurang romantis, dan lebih berkemungkinan menghadapi konflik (Hetherington dalam DeGenova, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Furstenberg (dalam Craig, 2001) menyatakan bahwa pernikahan kedua seringkali juga ditandai dengan adanya komunikasi yang lebih terbuka, penerimaan yang lebih besar terhadap konflik dan lebih percaya bahwa setiap masalah perbedaan pendapat dapat diselesaikan. Walaupun resiko perceraian lebih besar pada pasangan yang menikah lagi, namun banyak yang justru membangun hubungan pernikahan yang kuat, positif, dan menciptakan suasana sebagai orangtua yang adaptif dan berfungsi dengan baik (Hetherington dan Stanley-Hagan dalam DeGenova, 2008).
2.
Dampak Pernikahan Lagi Perceraian dan pernikahan lagi seperti gaya hidup orang dewasa lainnya,
mengarah pada hasil yang beragam. Umumnya memerlukan waktu tiga sampai lima tahun untuk mengembangkan keterikatan dan kenyamanan hubungan dalam keluarga seperti pada keluarga utuh (Ihinger-Tallman & Pasley dalam Craig, 2001). Untuk beberapa pasangan, pernikahan lagi memberikan tantangan yang tidak dijumpai pada pernikahan pertama. Tantangan terbesar dapat berupa anak. Pasangan yang menikah lagi yang membawa anak dari pernikahan pertama lebih berkemungkinan untuk bercerai daripada pasangan yang tidak memiliki anak (Tzeng dan Mare dalam DeGenova, 2008). Untuk orang dewasa, pernikahan lagi dapat mengurangi stres terutama untuk orangtua yang memiliki anak (Furstenberg dalam Craig, 2001). Pasangan yang mau berbagi tanggung jawab keuangan, tugas rumahtangga, keputusan
Universitas Sumatera Utara
mengasuh anak, dan lain-lain dapat mengurangi beban individu yang bercerai. Pria yang menikah lagi mungkin harus menghadapi tekanan lainnya jika mereka diharapkan untuk memberikan dukungan finansial untuk dua rumahtangga. Dalam banyak hal, pernikahan kedua berbeda dengan pernikahan pertama. Pernikahan kedua melibatkan kumpulan keluarga yang lebih kompleks, misalnya anak angkat, mantan suami/isteri, mertua sebelumnya, yang mana dapat menimbulkan konflik (Craig, 2001).
D.
GAMBARAN
HARAPAN
MENIKAH
LAGI
PADA
WANITA
BERCERAI Pernikahan dipandang sebagai suatu transisi normal dari sharing antara diri individu dengan orangtua yang kemudian beralih ke pasangan. Ketika hubungan dengan pasangan tidak dapat lagi dipertahankan maka perceraian merupakan jalan terbaik (Woodward, Zabel, & Decosta dalam Snyder, 2000). Setelah bercerai, individu perlu menyesuaikan diri dengan status yang baru dan dengan proses hidup yang berubah. Untuk wanita, pernikahan dipandang sebagai ‘karir’ yang sangat penting. Walaupun pria juga mengalami dampak dari perceraian, namun wanita lebih banyak mengalami dampak dari perceraian. Berkaitan dengan harapan, pernikahan dipandang sebagai tujuan yang penting bagi wanita. Oleh karena itu, ketika tujuan yang penting ini terhalang dan berakhir dengan perceraian, maka wanita akan merasa kehilangan arah dan gagal (Rodriguez & Snyder dalam Snyder, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, wanita bercerai perlu mengembangkan harapannya untuk suatu tujuan yang dinilai cukup penting untuk dicapai setelah bercerai. Harapan penting dibentuk karena harapan dapat mempengaruhi well-being seseorang. Snyder (1994) menyatakan bahwa harapan adalah sesuatu yang dapat dibentuk dan dapat digunakan sebagai langkah untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Untuk wanita bercerai, salah satu harapan yang dapat dikembangkannya adalah berupa harapan menikah lagi, dimana menikah lagi dapat mengarahkan individu pada penyesuaian diri yang lebih baik dan mendapatkan makna hidup yang lebih positif (DeGenova, 2008). Dengan adanya harapan menikah lagi pada wanita bercerai, maka wanita bercerai memiliki tujuan bernilai dalam hidupnya untuk dicapai. Harapan yang terbentuk akan memunculkan pemikiran-pemikiran dan motivasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang pada akhirnya dapat memberikan afek positif pada individu tersebut.
Universitas Sumatera Utara
E. KERANGKA BERPIKIR
Perceraian
Konsekuensi-konsekuensi
Individu menyesuaikan diri
Muncul harapan baru
Harapan Menikah Lagi
goal
pathway thinking
agency thinking
Universitas Sumatera Utara