BAB II LANDASAN TEORI
A. ROMANTIC RELATIONSHIP 1. Definisi Romantic Reationship Sternberg (dalam Florsheim, 2003), mengatakan bahwa love dan romantic relationship
biasanya
dideskripsikan
dalam
istilah-istilah
connectedness,
relatedness, bondedness, atau hasrat untuk menjalin hubungan yang intim. Menurut Brehm (dalam Karney, 2007), romantic atau intimate relationship adalah bagaimana seseorang mempersepsikan perubahan hubungan yang resiproksitas, emosional, dan erotis yang sedang terjadi dengan pasangannya. Furman et al (1999) menjelaskan tiga definisi romantic relationship berdasarkan karakteristik-karakteristik dari hubungan tersebut, yaitu: 1. Keromantisan melibatkan suatu hubungan, pola yang berlangsung terus menerus dari asosiasi dan interaksi antara dua individu yang mengakui suatu hubungan dengan yang lainnya. 2. Pada romantic relationship terdapat unsur kesukarelaan dari kedua pasangan untuk mempertahankan suatu hubungan. Sebagian romantic relationship mungkin berakhir dalam ketidakcocokan dengan pasangan mereka. Untuk itu dibutuhkan pengorbanan dari setiap pasangan untuk keberhasilan hubungan romantis mereka. 3. Merupakan beberapa bentuk dari ketertarikan (attraction). Ketertarikan ini khususnya melibatkan komponen seksual. Ketertarikan seksual sering
dinyatakan dalam beberapa bentuk perilaku seksual, tapi tidak selalu. Perilaku tersebut juga dipengaruhi oleh pribadi, religiusitas, dan nilai-nilai budaya. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa romantic relationship merupakan suatu hubungan yang melibatkan hubungan yang emosional, dimana didalamnya terdapat unsur kesukarelaan dan pengorbanan dari kedua pasangan untuk saling menjaga suatu hubungan. Pada romantic relationship juga terdapat beberapa bentuk ketertarikan seksual terhadap pasangannya. Spanier (dalam De Munck, 1998) mendefinisikan romantic relationship sebagai sebuah disposisi umum individu terhadap cinta, perkawinan, keluarga, dan suatu hubungan yang melibatkan interaksi antara laki-laki dan perempuan. Menurut Baron (2006) dalam romantic relationship individu ingin menyukai dan disukai oleh pasangan, maka perlu adanya kesesuaian untuk saling melengkapi, pujian dan kasih sayang yang ditunjukkan terus menerus. Definisi lain dari romantic relationship juga dikemukakan oleh Albino & Cooper (dalam Florsheim, 2003) sebagai suatu hubungan serius yang akan dialami oleh setiap individu, dimana mereka memiliki perasaan romantis yang kuat terhadap seseorang. Dari definisi beberapa tokoh-tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa romantic relationship merupakan suatu hubungan yang resiprok (disukai dan menyukai) diantara dua individu, dimana dalam suatu hubungan terdapat perasaan romantis yang dimiliki dari kedua individu.
2. Elemen-elemen Romantic relationship Terdapat empat elemen penting pada romantic atau intimate relationship yang dikemukakan oleh Prager (1989), yaitu: 1. Afeksi Seseorang merasakan
bahwa dirinya diperhatikan, disayang dan
dibutuhkan oleh pasangannya. Bila masing-masing individu dapat menjalankan hal tersebut, maka akan meningkatkan keintiman pada pasangan tersebut. 2. Kepercayaan Dengan menaruh kepercayaan kepada pasangan, maka keutuhan hubungan akan mudah terjaga sehingga meningkatkan jalinan intimasi dalam hubungan. 3. Rasa Kebersamaan Dengan rasa kebersamaan, tingkat keintiman hubungan akan meningkat dari hari kehari. 4. Berbagi waktu dan aktivitas Dengan intensnya waktu dan aktivitas bersama maka lama-kelamaan pasangan akan merasa lebih intim dalam menjalin hubungan. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat elemen penting dalam romantic atau
intimate relationship yang dikemukakan oleh
Prager, yaitu elemen afeksi, kepercayaan, rasa kebersamaan, berbagi waktu dan aktivitas.
Sedangkan Sternberg (1988) mengemukakan elemen-elemen intimasi sebagai berikut: 1. Keinginan atau hasrat untuk meningkatkan kesejahteraan orang yang dicintai. 2. Mengalami kebahagiaan dengan orang yang dicintai dan menikmati saatsaat bersama pasangannya. 3. Menghargai orang yang dicintai dengan kesadaran bahwa tidak ada manusia yang sempurna. 4. Dapat diandalkan saat orang yang dicintai membutuhkan, dan saling berbagi dalam suka dan duka. 5. Saling pengertian satu sama lain. 6. Saling berbagi kepunyaan/ miliknya dengan orang yang dicintai. 7. Menerima dukungan emosional dari orang yang dicintai 8. Berkomunikasi secara intim dengan orang yang dicintai. Kedelapan elemen yang dikemukakan oleh Strenberg merupakan elemenelemen yang mempengaruhi keintiman pada pasangan. Jika kedelapan elemen tersebut terpenuhi oleh setiap pasangan yang terlibat dalam romantic relationship, maka pasangan tersebut akan mencapai kepuasan dalam hubungan yang mereka jalani.
3. Romantic Relationship Satisfaction Kepuasan hubungan (romantic satisfaction) adalah sejauh mana individu puas dengan hubungan romantisnya, yang merupakan indikator kuat dari
hubungan jangka panjang dan keberhasilan dalam hubungan yang intim. Selain itu romantic relationship satisfaction juga didefinisikan sebagai suatu konsep psikologis abstrak yang merupakan tingkat kepuasan seseorang yang terlibat dalam hubungan romantis (dalam Anderson & Emmers-Sommer, 2006). Menurut Rusbult (dalam De Munck, 1998) pada model investasi (the investment model), kepuasan didefinisikan sebagai ketidaksesuaian antara outcome value dengan comparison level. Dimana outcome value didefinisikan sebagai perbedaan antara reward (atribut-atribut yang bernilai positif seperti ketertarikan fisik, saling melengkapi kebutuhan-kebutuhan) dan cost (atributatribut
yang
bernilai
negatif
seperti
tingkah
laku
yang
memalukan,
ketidaksetiaan). Sedangkan comparison level didefinisikan sebagai harapanharapan individu dari hubungannya. Menurut teori investment model, fungsi dasar dari comparison level adalah beberapa penilaian subyektif yang diberikan individu dalam mengevaluasi tingkat kepuasan yang dicapainya dalam suatu hubungan.
4. Dimensi-dimensi Romantic Relationship Satisfaction Lawrence, Barry, & Brock (dalam Cuyler & Ackhart, 2009) mengukur tingkat kepuasan hubungan dengan menggunakan dimensi-dimensi dari kualitas hubungan, yaitu: 1. Communication and conflict management (pengelolaan komunikasi dan konflik). Terdiri dari frekuensi dan lamanya percekcokan dan perbedaan pendapat, agresi secara verbal, psikologis dan fisik, menarik diri pada
waktu percekcokan terjadi, emosi-emosi dan tingkah laku pada saat sebelum, selama dan sesudah percekcokan, serta strategi pemecahan (resolusi) konflik. 2. Inter- partner support (dukungan antar - pasangan). Terdiri dari empat tipe dukungan ketika salah satu pasangan mengalami hari yang buruk, feeling down, atau memiliki masalah. Tipe-tipe dukungan yang digunakan yaitu, dukungan emosional seperti saling berbicara dan mendengarkan satu sama lain, memegang tangan, memeluk. Dukungan nyata baik secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk dari dukungan langsung adalah ketika salah satu pasangan membutuhkan bantuan untuk memecahkan masalah atau membuat situasi menjadi lebih baik, sedangkan bentuk dari dukungan tidak langsung adalah dengan memberikan semangat dan menyediakan waktu bagi pasangan agar ia dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Dukungan informasional seperti memberikan nasehat, memberikan informasi-informasi kepada pasangan, membantu pasangan memikirkan jalan keluar masalah yang dihadapinya. Serta dukungan penghargaan, yaitu dengan menunjukkan kepercayaan pada kemampuan pasangan untuk menangani sesuatu. 3. Emotional closeness and intimacy (kedekatan emosional dan keintiman). Terdiri dari perasaan bersama pada kedekatan, kehangatan, afeksi, dan saling ketergantungan pada pasangan. 4. Sensuality and sexuality (sensualitas dan seksualitas), sexuality yaitu mengekspresikan perasaan-perasaan dan merasa senang jika ada kontak
fisik dengan pasangannya. Sedangkan sensuality terdiri dari frekuensi sentuhan, berciuman dan memeluk pasangan. 5. Respect and control (saling menghormati dan kontrol). Penerimaan dan melihat secara positif suatu kejadian ketika salah satu tidak setuju dengan pasangannya, kesesuaian dalam pembuatan keputusan dalam berbagai macam area, dan kepuasan pasangan dalam pembagian tanggung jawab. Kelima dimensi yang dikemukakan oleh Lawrence, Barry, & Brock diatas merupakan dimensi dari kualitas hubungan yang akan digunakan dalam pengukuran tingkat kepuasan hubungan romantis pada pasangan. Kelima dimensi tersebut yaitu, Communication and conflict management, Inter-partner support, Emotional closeness and intimacy, Sensuality and sexuality, Respect and control.
5. Romantic relationship pada Remaja Salah satu tugas perkembangan pada masa remaja adalah membentuk hubungan yang baru dan lebih matang dengan lawan jenis (Hurlock, 2004). Ketika mereka sudah matang secara seksual, baik remaja laki-laki maupun remaja perempuan mulai mengembangkan sikap yang baru pada lawan jenisnya. Sebagian besar remaja mulai terlibat dalam romantic relationship dengan pasangannya, seperti berpacaran, menjalin hubungan percintaan, dan membentuk komitmen yang mendalam (Levesque, dalam Newman, 2006). Sejak masa pubertas, remaja menjadi semakin tertarik dalam romantic relationship, dan mereka menjadi lebih atraktif dengan pasangan romantisnya (Miller & Benson, dalam Florsheim, 2003).
Pengalaman dalam menjalin
romantic relationship dengan pasangan romantis berbeda dengan pengalaman menjalin romantic relationship dengan keluarga. Kedekatan hubungan seseorang dengan keluarga dan teman dibatasi oleh rasa hormat, hubungan pekerjaan, sekolah, berbagi aktivitas dan berbagi cerita atau nasehat, sedangkan hubungan yang dijalin seseorang dalam romantic relationship lebih didasari oleh komitmen, kepercayaan, kasih sayang dan keintiman yang lebih mendalam (Papalia, Olds & Feldman, 2001). Menurut Sullivan (dalam Florsheim, 2003) romantic relationship merupakan bagian yang penting dalam tugas perkembangan remaja dan memainkan peranan yang penting dalam proses perkembangan selama masa remaja. Romantic relationship berperan penting dalam serangkaian tugas perkembangan pada masa remaja, yang meliputi: 1. Pengembangan identitas. 2. Transformasi hubungan keluarga. 3. Menjali hubungan dengan teman sebaya. 4. Perkembangan seksualitas. 5. Pencapaian prestasi dan perencanaan karir Duvall dan Miller (1985) menyebutkan romantic relationship sebagai “dating”, hubungan ini bagi remaja memiliki beberapa fungsi, diantaranya untuk: 1. Sebagai hiburan Melalui dating seseorang akan merasa terhibur jika mereka merasa tertekan. Dengan pengalaman dating seseorang dapat merasakan perasaan
senang dan bergairah, karena dirinya dapat berbagi aktivitas, cerita dan perasaan dengan pasangannya. 2. Sebagai kebutuhan untuk menghindari tekanan sosial atau kritik sosial Melalui dating seseorang ingin mengklasifikasikan kepada masyarakat bahwa dirinya “normal’ seperti individu lainnya yang juga berpacaran. 3. Sebagai sarana untuk mencari pasangan Melalui dating seseorang dapat menjalani proses mencari dan berkenalan dengan seseorang yang mereka sukai untuk kemudian dapat dijadikan pasangan hidupnya. 4. Sebagai kebutuhan untuk memperkenalkan dan membiasakan diri pada pasangan. Melalui dating seseorang belajar menyukai, disukai dan belajar diterima oleh pasangannya. 5. Sebagai sarana kesempatan untuk memenuhi kebutuhan seksual Beberapa individu menjalankan dating sebagai sarana untuk menyalurkan kebutuhan seksualnya seperti keinginan berciuman atau berpelukan. 6. Sebagai sarana bersosialisasi Melalui dating individu dapat menyalurkan kebutuhannya bersosialisasi, karena individu akan mulai berkenalan dengan teman-teman atau lingkungan pasangannya sehingga intensitasnya dalam bersosialisasi meningkat. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dating memiliki beberapa fungsi, yaitu untuk sebagai hiburan, kebutuhan untuk menghindari tekanan sosial atau kritik sosial, sarana untuk mencari pasangan,
kebutuhan untuk memperkenalkan dan membiasakan diri pada pasangan, sarana kesempatan
untuk
memenuhi
kebutuhan
seksual,
dan
sebagai
sarana
bersosialisasi. Terdapat
tipe-tipe
hubungan
dalam
romantic
relationship
yang
dikemukakan oleh Duvall dan Milller (1985), yaitu: 1. Casual dating : pada tipe ini seseorang berkencan dengan beberapa individu pada saat yang sama. 2. Regular dating: pada tipe ini seseorang sudah memilih orang yang benarbenar disukai dan hanya berkencan dengan orang tersebut. 3. Steady dating : tipe ini merupakan periode yang serius karena pada umumnya pasangan lebih rutin dalam berpacaran dan rutin memenuhi kebutuhan pasangannya. Meskipun begitu, masih banyak juga yang akhirnya berpisah. 4. Engagement
: pada tipe ini seseorang sudah mantap untuk menjadikan
pasangannya sebagai calon pendamping hidupnya. Pada remaja biasanya tipe hubungan yang sering dijumpai adalah casual dating, regular dating dan steady dating. Ada juga remaja yang telah sampai pada tipe hubungan engagement, namun biasanya tipe hubungan ini lebih sering dijumpai pada usia dewasa.
B. BODY IMAGE 1. Definisi Body image Ada beberepa definisi body image yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, diantaranya adalah menurut Dacey dan Kenny (2001) menyatakan bahwa body image yaitu keyakinan seseorang akan penampilan mereka dihadapan orang lain. Wright (dalam Santrock, 2006) body image individu membangun citranya sendiri mengenai bagaimana kelihatannya bentuk tubuh mereka. Definisi lain dari body image yang dikemukakan oleh oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2008) yaitu sebagai suatu gambaran dan evaluasi mengenai penampilan seseorang. Menurut Grogan (1999) body image adalah persepsi, pikiran dan perasaan seseorang tentang tubuhnya. Selain itu Shilder (dalam Grogan, 1999) mengartikan body image sebagai gambaran mengenai tubuh seseorang yang terbentuk dalam pikiran individu itu sendiri, atau dengan kata lain gambaran tubuh individu menurut individu itu sendiri. Menurut Cash & Pruzinsky (2002) body image merupakan sikap yang dimiliki seseorang terhadap tubuhnya yang dapat berupa penilaian positif dan negatif. Lebih lanjut Thompson, dkk (2001) menyatakan bahwa body image adalah evaluasi seseorang terhadap ukuran tubuhnya, berat ataupun aspek tubuh lainnya yang mengarah kepada penampilan fisik. Dimana evaluasi ini dibagi menjadi tiga area yaitu komponen persepsi, yang secara umum mengarah kepada keakuratan dalam mempersepsi ukuran (perkiraan terhadap ukuran tubuh), komponen subyektif yang mengarah kepada kepuasan, perhatian, evaluasi kognitif dan
kecemasan,
serta
komponen
perilaku
yang
memfokuskan
kepada
penghindaran individu terhadap situasi yang mengakibatkan ketidaknyamanan terhadap penampilan fisiknya sendiri. Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa body image adalah gambaran mental, persepsi, pikiran dan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap ukuran tubuh, bentuk tubuh dan berat tubuh yang mengarah kepada penampilan fisik. Evaluasi berbicara tentang apa yang dirasakan individu, seperti kepuasannya terhadap tubuhnya, perhatian dan kecemasan terhadap tubuh, dan sikap berupa penilaian positif atau negatif terhadap tubuh. Cash (2002) mendeskripsikan body image sebagai kumpulan kumulatif dari gambaran, fantasi dan pemahaman tentang tubuh dan bagian-bagian serta fungsi-fungsinya yang merupakan komponen utuh pada gambaran diri dan dasar dari representasi diri. Menurut Fisher (dalam Grogan, 1999) body image adalah persepsi, pikiran dan perasaan seseorang mengenai tubuhnya. Definisi body image lainnya juga dikemukakan oleh Schilder’s (dalam Cash & Pruzinsky, 2002) mendefinisikan body image sebagai gambaran dari tubuh individu yang terbentuk dari pemikirannya sendiri yang terdiri dari tiga elemen, yaitu elemen persepsi yang diidentifikasikan dengan estimasi ukuran tubuh, elemen pikiran yang diidentifikasikan dengan evaluasi daya tarik tubuh, dan elemen perasaan yang diidentifikasikan dengan emosi yang terkait dengan bentuk dan ukuran tubuh. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa body image merupakan representasi seseorang mengenai bagaimana penampilan yang terlihat oleh orang lain. Bagaimana seseorang mempersepsikan tubuhnya sendiri, dan bagaimana individu menggambarkan tubuhnya berdasarkan pikirannya sendiri.
2. Komponen Body image Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai komponen body image. Salah satunya adalah Cash (2000) yang mengemukakan adanya lima komponen body image, yaitu: a. Appearance Evaluation (Evaluasi Penampilan), yaitu penilaian individu mengenai keseluruhan tubuh dan penampilan dirinya, apakah menarik atau tidak menarik, memuaskan atau tidak memuaskan terhadap penampilan secara keseluruhan. b. Appearance Orientation (Orientasi Penampilan), perhatian individu terhadap
penampilan
dirinya
dan
usaha
yang
dilakukan
untuk
memperbaiki dan meningkatkan penampilan dirinya. c. Body Areas Satisfaction (Kepuasan terhadap Bagian Tubuh), yaitu kepuasan individu terhadap bagian tubuh secara spesifik, seperti wajah, rambut, payudara, tubuh bagian bawah (pinggul, bokong, kaki), tubuh bagian tengah (pinggang, perut), dan keseluruhan tubuh. d. Overweight
Preocupation
menggambarkan
kecemasan
(Kecemasan individu
Menjadi terhadap
Gemuk),
yaitu
kegemukan
dan
kewaspadaan terhadap berat badan yang ditampilkan melalui perilaku nyata dalam aktivitas sehari-hari seperti kecenderungan melakukan diet untuk menurunkan berat badan dan membatasi pola makan.
e. Self-Clasified Weight (Pengkategorisasian Terhadap Ukuran Tubuh), yaitu persepsi dan penilaian individu terhadap berat badannya, seperti kekurangan berat badan atau kelebihan berat badan
Dapat disimpulkan bahwa terdapat lima komponen body image yang dikemukakan oleh Cash, diantaranya adalah Appearance Evaluation (evaluasi penampilan), Appearance Orientation (orientasi penampilan), Body Areas Satisfaction (kepuasan terhadap bagian tubuh), Overweight Preocupation (kecemasan menjadi gemuk), Self-Clasified Weight (persepsi terhadap ukuran tubuh). Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan komponen body image yang dikemukakan oleh Cash untuk mengukur tingkat kepuasan body image pada remaja wanita.
3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Body Image Menurut Thompson (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi body image antara lain: a. Persepsi: berhubungan dengan ketepatan individu dalam mempersepi atau memperkirakan ukuran tubuhnya. Perasaan puas atau tidaknya seorang individu dalam menilai bagian tubuh tertentu berhubungan dengan komponen ini. b. Perkembangan:
komponen
ini
menjelaskan
tentang
pentingnya
pengalaman dimasa kecil dan remaja terhadap hal-hal yang berkaitan dengan body image nya. Saat pertama kali menstruasi serta perkembangan
seksual sekunder diasosiasikan sebagai kejadian penting terhadap body image. c. Sosiokultural: masyarakat akan menilai apa yang baik dan apa yang tidak, tidak terkecuali dalam kecantikan. Teori feminis menjelaskan bahwa kebanyakan wanita terlalu mengidentifikasikan dirinya dengan tubuhnya, dan hal tersebut menyebabkan mereka mengikuti sosok ideal yang ada dimasyarakat bahwa mereka akan dianggap menarik jika memiliki tubuh yang ideal (Bergner, dkk dalam Thompson, 2001). Menurut Lakoff dan Scherr (dalam Thompson, 2001), media massa juga memberikan pengaruh yang besar dalam menentukan standar tubuh yang menarik.
Faktor-faktor lainnya yang juga mempengaruhi body image seseorang, diantaranya adalah: a. Media massa Tiggeman (dalam Cash & Pruzinsky, 2002) menyatakan bahwa media massa yang ada dimana-mana memberikan gambaran ideal mengenai fitur perempuan dan laki-laki yang dapat mempengaruhi body image seseorang. b. Keluarga Menurut teori sosial learning, orangtua merupakan model yang penting dalam proses sosialisasi sehingga mempengaruhi body image anakanaknya melalui modeling feedback, dan instruksi. Ikeda dan Narwoski (dalam Cash & Pruzinsky, 2002) menyatakan bahwa komentar yang dibuat orangtua dan anggota keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam
gambaran tubuh anak-anak. Orangtua yang secara konstan melakukan diet dan berbicara tentang berat mereka dari sisi negatif akan memberikan pesan kepada anak bahwa mengkhawatirkan berat badan adalah sesuatu yang normal. c. Hubungan interpersonal Hubungan interpersonal membuat seseorang cenderung membandingkan diri dengan oranglain dan feedback yang diterima ini mempengaruhi konsep diri termasuk mempengaruhi bagaimana perasaan terhadap penampilan fisik. Menurut Dunn & Gokke (dalam Cash & Pruzinsky, 2002) menerima feedback mengenai penampilan fisik berarti seseorang mengembangkan persepsi tentang bagaimana oranglain memandang dirinya.
Keadaan
tersebut
dapat
membuat
mereka
melakukan
perbandingan sosial yang merupakan salah satu proses pembentukan dalam penilaian diri mengenai daya tarik fisik. Dapat disimpulkan bahwa, terdapat tiga komponen body image yang dikemukakan oleh Thompson, yaitu komponen persepsi, perkembangan, dan sosiokultural. Selain itu juga terdapat faktor media massa, keluarga dan hubungan interpersonal yang juga mempengaruhi body image seseorang.
4. Body image pada Remaja Wanita Masa remaja merupakan masa yang sangat dipengaruhi oleh gambaran tubuh ideal yang secara tidak langsung dibentuk oleh lingkungan sekitarnya. Kebanyakan dari remaja, laki-laki maupun perempuan, mengiginkan bentuk dan
ukuran tubuh yang normal pada umumnya. Remaja selalu terokupasi dengan tubuh mereka dan membangun citra mengenai seperti apa tubuh mereka (Santrock, 2007). Remaja peduli dengan bagaimana orang lain melihat tubuhnya, ini merupakan hal penting pada remaja karena kecenderungan mereka terhadap kesadaran diri dan sensivitas pada bayangan mengenai bagaimana penilaian orang lain (Dacey & Kenny, 2001). Remaja sangat memperhatikan perubahan fisik yang dialaminya. Mereka mementingkan penampilan fisik dan pembentukan tubuh sehingga mereka mendapatkan tubuh yang ideal. Proses pembentukan body image yang baru pada masa remaja merupakan bagian penting dari tugas perkembangan body image seseorang. Body image merupakan aspek penting dari perkembangan psikososial dan interpersonal pada remaja (Cash & Pruzinsky, 2002). Remaja sangat memperhatikan penampilan dari tubuh mereka (Dacey & Kenny, 2001). Beberapa peneliti telah menemukan bahwa penilaian remaja pada penampilan fisik mereka merupakan faktor penting pada self-esteem mereka. Fase remaja merupakan periode penting pada perkembangan body image, terutama pada remaja wanita. Masa pubertas merupakan masa paling kritis dimana
para
remaja
merasakan
ketidakpuasan
akan
bentuk
tubuhnya.
Perkembangan remaja wanita selama tahap pubertas pada fase remaja berhubungan dengan meningkatnya berat tubuh, dan memiliki body image yang lebih negatif, dan memiliki dorongan yang kuat untuk menjadi kurus dan melakukan diet (Cash & Pruzinsky, 2002). Pada masa pubertas ini remaja wanita terlihat lebih tidak puas dan memiliki body image yang negatif dibandingkan
dengan remaja laki-laki. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan meningkatnya body fat pada remaja wanita, sedangkan remaja laki-laki lebih merasa puas akan bentuk tubuhnya karena dimasa inilah otot-oto mereka mulai terlihat.
C. REMAJA 1. Definisi Remaja Ada beberapa definisi remaja yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, diantaranya menurut Papalia (2007) masa remaja adalah transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang didalamnya terdapat peubahan fisik, kognitif,
dan
psikososial.
Sedangkan
Jersild
(dalam
Cahyadi,
2006)
mengungkapkan bahwa masa remaja yaitu suatu periode transisi selama pertumbuhan seseorang dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Berdasarkan definisi yang dikemukakan tokoh-tokoh tesebut dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa yang melibatkan aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Menurut monks ( 2000 ) batasan usia remaja adalah antara 12 sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia remaja terbagi dalam tiga fase yaitu: a.
remaja awal
: antara usia 12 tahun sampai 15 tahun
b. remaja tengah
: antara usia 15 tahun sampai 18 tahun
c. remaja akhir
: antara usia 18 tahun sampai 21 tahun
2. Ciri - Ciri Umum Remaja Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanakkanak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis (Agustiani, 2006). Menurut Hurlock (2004), ciri-ciri remaja yaitu masa remaja sebagai periode yang penting, masa remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai usia bermasalah dan masa remaja sebagai masa mencari identitas. Masa remaja sebagai periode peralihan, peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang terjadi sebelumnya, tetapi peralihan yang dimaksud adalah dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Anak beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan (Hurlock, 2004). Masa remaja sebagai usia bermasalah, dimana masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu, yang pertama karena selama masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orangtua dan guru, sehingga kebanyakan remaja kurang berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak bantuan orangtua dan guru (Hurlock, 2004).
Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Pada tahun-tahun awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki maupun perempuan. Lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman sekelompoknya dalam segala hal, seperti sebelumnya (Hurlock, 2004). Menurut Monks (2000), terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan yang disertai dengan karakteristiknya, yaitu: a. Remaja awal (12-15 tahun) Pada tahap ini, remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongandorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap emosi dan menyebabkan remaja sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa. b. Remaja madya (15-18 tahun) Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecendrungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya.
c. Remaja akhir (18-21 tahun) Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian : 1) Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek. 2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. 3) Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi. Bentuk tubuh yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya jauh lebih mengganggu remaja daripada anak kecil. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, remaja lebih dinilai melalui penampilan diri yang sesuai dengan kelompok jenis kelaminnya dibandingkan dengan anak-anak, dan bentuk tubuh yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya akan menimbulkan penilaian sosial yang kurang baik (suatu penilaian yang memberi pengaruh buruk dalam dukungan sosial). Kedua, remaja menyadari kenyataan bahwa bila pertumbuhan hampir berakhir pada masa remaja akhir, maka bentuk tubuh akan menetap untuk sepanjang hidupnya. 4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 5) Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat umum. Berdasarkan ciri-ciri remaja diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan periode yang penting, masa peralihan, masa yang bermasalah dan juga masa pencarian identitas diri dimana pada usia ini menimbulkan ketakutan pada
diri remja. Selain itu, usia remaja terbagi atas tiga tahap yaitu, remaja awal, remaja madya dan remaja akhir.
3. Perkembangan pada Remaja Menurut John Hill (dalam Agustiani, 2006), perubahan fundamental remaja meliputi perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Ketiga perubahan ini bersifat universal. a. Perubahan biologis menyangkut tampilan fisik (ciri-ciri secara primer dan sekunder) Perubahan ini mengakibatkan remaja harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitarnya. Perubahan fisik ini juga berpengaruh terhadap self image remaja dan juga menyebabkan perasaan tentang diri pun berubah. Hubungan dengan keluarga ditampilkan remaja dengan menunjukkan kebutuhan akan privacy yang cukup tinggi. b. Perubahan kognitif Perubahan dalam kemampuan berpikir, remaja telah memiliki kemampuan yang lebih baik daripada anak-anak dalam berpikir mengenai situasi secara hipotesis, memikirkan sesuatu yang belum terjadi tetapi akan terjadi. Remaja telah mampu berpikir tentang konsep-konsep yang abstrak seperti pertemanan, demokrasi, dan moral. c. Perubahan sosial
Perubahan dalam status sosial membuat remaja mendapatkan peranperan baru dan terikat pada kegiatan-kegiatan baru. Semua masyarakat membedakan antara individu sebagai anak-anak dan individu yang siap memasuki masa dewasa. Remaja dalam masyarakat dituntut untuk membuat satu pilihan, suatu keputusan tentang apa yang akan dia lakukan bila dewasa.
Havighurst (dalam Monks, 2000) mengemukakan bahwa perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas yang harus dapat dipenuhi. Tugas ini dalam batas tertentu dapat bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang. Havighurst menyebutnya sebagai tugas perkembangan (developmental task) yaitu tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan norma masyarakat dan norma kebudayaan. Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2004) adalah: a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita b. Mencapai peran sosial pria dan wanita c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya f. Mempersiapkan karir ekonomi
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku, dan mengembangkan ideologi.
D. Pengaruh Body image terhadap Romantic Relationship Satisfaction pada Remaja Wanita Pada masa remaja terjadi keprihatinan akan perubahan fisik yang dialaminya. Hanya sedikit remaja yang merasa puas dengan tubuhnya, kebanyakan remaja prihatin akan daya tarik fisik mereka. Keprihatinan ini timbul karena adanya kesadaran bahwa daya tarik fisik berperan penting dalam hubungan sosial. Salah satu tugas perkembangan remaja dalam hubungan sosial adalah menjalin hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Ketika remaja telah matang secara seksual, baik remaja laki-laki maupun perempuan mulai mengembangkan minat terhadap lawan jenisnya. Minat yang baru ini mulai berkembang bila kematangan seksual telah tercapai, bersifat romantis dan disertai keinginan yang kuat untuk memperoleh dukungan dari lawan jenis (Hurlock, 2004). Cross dan Cross (dalam Hurlock, 2004) menjelaskan bahwa kecantikan dan daya tarik fisik sangat penting bagi individu. Dukungan sosial, popularitas serta pemilihan teman hidup dan karir dipengaruhi oleh daya tarik seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa body image dan romantic relationship merupakan hal yang penting pada masa remaja dan keduanya termasuk ke dalam tugas perkembangan pada masa remaja. Bagi sebagian remaja, bisa memiliki pacar
merupakan prestasi tersendiri karena remaja merasa bisa diterima dan disukai orang lain. Individu yang memiliki body image positif akan menerima lebih banyak ajakan berkencan dibanding yang memiliki body image negatif, karena mereka yang merasa bahwa diri mereka cantik dan keliatan menarik dimata orang lain akan lebih memungkinkan untuk terlibat dalam hubungan yang romantis (de Villiers, 2006). Pernyataan tersebut juga didukung dengan hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh Rieves & Cash (2002) pada 93 pasangan heteroseksual yaitu, adanya hubungan antara body image dan persepsi mereka mengenai penampilan mereka dengan hubungan romantis mereka dengan pasangan. Penampilan dan body image pada remaja wanita berperan penting dalam menemukan pasangan dan menjalin hubungan romantis dengan pasangan. Menurut Hoyt dan Kogan (dalam de Villiers, 2006), banyak orang yang memiliki body image yang buruk merasa kurang nyaman dengan situasi yang intim. Bagi remaja yang sudah berpacaran pun, body image juga memiliki peranan dalam hubungan romantis mereka, seperti yang diungkap oleh Mark dan Crowther (dalam Thompson, 2001) melalui penelitiannya tentang berpacaran pada remaja. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara body image dalam berpacaran pada remaja wanita. Remaja wanita cenderung berpikir bahwa pasangannya lebih menyukai wanita yang mempunyai tubuh yang langsing, dan memiliki payudara (dada) yang indah (Cash & Pruzinsky, 2002). Penelitian lain yang dilakukan oleh Davison dan McCabe (dalam de Villiers, 2006) pada remaja, menemukan bahwa remaja yang memiliki body image negatif akan mempunyai hubungan romantis yang buruk dengan lawan
jenisnya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Hoyt dan Kogan (dalam de Villiers, 2006), bahwa wanita yang melihat diri mereka adalah seorang yang menarik kemungkinan besar akan lebih menikmati hubungan romantis mereka dengan pasangannya. Dapat dilihat bahwa penampilan dan body image bagi wanita berperan penting dalam menemukan pasangan dan menjalin hubungan dengan pasangan. Dapat disimpulkan bahwa, remaja yang memiliki body image yang positif, cenderung lebih mudah untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain dan terutama sekali dengan lawan jenisnya dibandingkan dengan mereka yang memiliki body image yang negatif.
E. HIPOTESA Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh body image terhadap tingkat kepuasan romantic relationship. Hal ini berarti semakin positif body image remaja wanita, maka semakin tinggi tingkat romantic relationship satisfaction dengan pasangan romantis mereka. Demikian sebaliknya semakin negatif body image remaja wanita, maka akan semakin rendah tingkat romantic relationship satisfaction dengan pasangan romantisnya.