BAB II LANDASAN TEORI
A. Intensi Turnover 1. Definisi Intensi Intensi ini layaknya sebuah rencana yang disusun sebelum kita melakukan sesuatu. Sebagaimana penjelasan Ajzen (2006) yang mengatakan bahwa intensi merupakan suatu indikasi dari kesiapan seseorang untuk menunjukkan perilaku, dan hal ini merupakan anteseden dari perilaku. Hal ini diperjelas oleh Warshaw dan Davis (dalam Landry, 2003) yang menyatakan bahwa intensi adalah tingkatan dimana seseorang memformulasikan rencana untuk menunjukkan suatu tujuan masa depan yang spesifik atau tidak, secara sadar. Kemudian Warshaw dan Davis (dalan Landry, 2003) juga menambahkan bahwa intensi melibatkan pembuatan komitmen perilaku untuk menunjukkan suatu tindakan atau tidak, dimana ada harapan yang diperkirakan seseorang dalam menunjukkan suatu tindakan bahkan ketika komitmen belum dibuat. Berdasarkan teori tindakan beralasan oleh Ajzen & Fishbein (dalam Azwar,1997) menyatakan bahwa intensi merupakan fungsi dari determinan dasar yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek person) dan bersangkutan dengan yang disebut norma subjektif. Sikap mengacu pada evaluasi sejumlah konsep stimulus. Fishbein mengasumsikan intensi perilaku sebagai fungsi sikap yang akan ditampilkan dalam bentuk perilaku, disertai dengan adanya pertimbangan norma dan sebagai ukuran predictor munculnya perilaku. Kekhususan dari intensi itu sendiri dapat diukur. Norma di 8
Universitas Sumatera Utara
9 definisikan sebagai probabilitas dimana didalamnya terdapat hubungan antara satu subjek dengan subjek lainnya. Secara sederhana, teori ini menyatakan intensi dipandang sebagai determinan terdekat dari perilaku tampak. Sedangkan dalam teori perilaku terencana oleh Ajzen (dalam Azwar,1997) menambahkan lagi determinan intensi yaitu aspek kontrol perilaku dihayati (perceived behavior control). Dalam
teori ini keyakinan-keyakinan
berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma-norma subjektif dan pada kontrol perilaku yang dihayati. Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak. Berdasarkan beberapa pengertian intensi dan proses pembentukannya, dapat disimpulkan bahwa intensi merupakan hasil keyakinan dalam diri individu terhadap sesuatu, yang kemudian membentuk sikap tertentu dan akhirnya menghasilkan intensi atau keinginan untuk memanifestasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Engel, dkk (1995) yang mencatat bahwa sikap, sejalan dengan intensi, merupakan prediktor perilaku di masa akan datang yang baik. Dari penjelasan – penjelasan diatas telah jelas bagi kita dimana posisi intensi sebagai tolak ukur untuk memprediksi perilaku.
2. Definisi Turnover Menurut Mobley (1986) Turnover adalah penghentian keanggotaan dalam organisasi oleh individu yang meneriama upah
moneter dari organisasi.
Sedangkan Mathis dan Jackson (2003) mengemukakan definisi turnover
Universitas Sumatera Utara
10 sebagai suatu proses dimana karyawan meninggalkan organisasi dan posisi pekerjaan tersebut harus digantikan oleh orang lain. Sementara itu menurut Jewell dan Siegall (1998) menyatakan turnover sebagai fungsi dari ketertarikan individu yang kuat terhadap berbagai alternative pekerjaan lain di luar organisasi atau sebagai “penarikan diri” dari pekerjaan yang sekarang yang tidak memuaskan dan penuh stress. Menurut Bluedorn (dalam Jewell & Siegall, 1998) istilah turnover dalam kepustakaan industri dan organisasi dibedakan secara umum dan khusus. Dalam pengertian umum turnover mengacu pada perubahan dalam keanggotaan dari organisasi dimana posisi yang ditinggalkan oleh pemegang jabatan yang keluar dari organisasi digantikan oleh pendatang baru. Sedangkan dalam pengertian khusus, turnover mengacu pada anggota organisasi yang keluar. Mobley (1986) mengemukakan beberapa hal yang perlu dipahami untuk menemukan definisi umum turnover, anatara lain: a.Turnover berfokus pada penghentian atau pemisahan diri karyawan dari organisasi. b.Turnover berfokus pada karyawan, dalam arti mereka yang menerima upah dari organisasi suatu kondisi yang menunjukkan keanggotaan dari organisasi sebagai suatu kondisi yang menunjukkan keanggotaan karyawan dalam organisasi. c.Definisi umum turnover dapat dipakai untuk berbagai tipe organisasi dan pada berbagi macam tipe hubungan karyawan-organisasi Jadi dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa turnover sebagai berhentinya karyawan sebagai anggota dari suatu organisasi baik itu
Universitas Sumatera Utara
11 atas kemauan sendiri ataupun keputusan dari organisasi tempat karyawan tersebut bekerja. 3. Definisi Intensi Turnover Mobley (1986) menyatakan keinginan (intensi) untuk keluar dari organisasi merupakan prediktor dominan yang bersifat positif terhadap terjadinya turnover. Menurut Hartono (2002) intensi turnover adalah kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan. Intensi turnover di definisikan sebagai intensi seseorang untuk melakukan pemisahan aktual (turnover) dari satu organisasi (Good et al, dalam Sunjoyo & Harsono,2003). Indriantoro (dalam Indrianto & Suwandi, 2001) menyatakan intensi turnover mengacu pada hasil evaluasi individu mengenai kelanjutan hubungannya dengan organisasi dan belum diwujudkan dalam tindakan pasti meninggalkan organisasi. Gambar 2.1. Model intensi Turnover Mobley,Horner & Hollingsworth (1978) Job Satisfaction Thinking of Thinking of Quitting Quitting
Age/Tenure
Intention to search Intention to Quit/Stay
Probability of Finding an Acceptable Alternative
Quit/Stay Quit/Stay
Universitas Sumatera Utara
12 Konsekuensi utama dari kepuasan kerja adalah rangsangan berfikir untuk berhenti dari pekerjaan, kemudian menuntun ke intensi untuk mencari apa yang diinginkan (dipengaruhi oleh evaluasi terhadap pekerjaan alternatif, sebelumnya dipertimbangkan umur dan masa jabatan), kemudian intensi untuk berhenti, yang akhirnya keputusan dan perilaku turnover (Mobley,1977) Berdasarkan beberapa uraian definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa intensi turnover adalah keinginan karyawan untuk berhenti dari keanggotaan suatu organisasi atau memutuskan hubungan dengan organisasi dimana ia menerima penghasilan.
4. Klasifikasi Turnover Price (1986) menyatakan bahwa turnover karyawan dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu: 1. Voluntary Turnover Voluntary turnover merupakan turnover yang diajukan oleh perorangan adalah turnover sukarela. Mobley (1986) menamakan tipe ini sebagai voluntary separation yang berarti berhentinya seseorang dari organisasi yang diajukan oleh individu karyawan itu sendiri. 2. Involuntary Turnover Involuntary turnover merupakan pergerakan keluar-masuknya seorang individu dari suatu organisasi, yang dilakukan bukan atas kehendak individu. Nama lain tipe ini adalah involuntary separation, yang berarti berhentinya seseorang dari organisasi atas keinginan organisasi, termasuk kematian, dan diperintahkan mengundurkan diri. Involuntary turnover diajukan oleh pihak
Universitas Sumatera Utara
13 organisasi dimana karyawan bekerja. Salah satu contoh situasi dimana seseorang diperintahkan untuk mengundurkan diri atau bukan atas keinginan antara lain PHK (pemutusan hubungan kerja) karena perusahaan tempat bekerja bangkrut, atau karena kinerja karyawan rendah. 5. Aspek-aspek Intensi Turnover Dalam model turnover Price (dalam Mobley, 1982) ada 5 kategori aspek pokok yang mendukung timbulnya intensi turnover a. Pay (upah) Armknecht & Early (dalam
Mobley,1982) menemukan bahwa faktor
terpenting dalam menentukan variasi antar industri dalam voluntary separation adalah tingkat upah yang relatif. Namun sejumlah hubungan antara tingkat upah dan tingkat turnover menyatakan bahwa bukan hanya upah yang menyebabkan seseorang meninggalkan suatu perusahaan dan pindah ke perusahaan lain, oleh karena itu faktor upah harus didukung oleh faktor lainnya dalam mendorong terjadinya turnover. b. Integration Tingkat keikutsertaan atau keterlibatan karyawan dalam hubungan pokok dalam organisasi. Individu diangap memiliki peranan penting dalam proses jalannya organisasi. Hal ini dapat dilihat dari penting atau tidaknya keterlibatan karyawan dalam berjalannya program perusahaan. c. Instrumental communication Instrumental
communication
berhubungan
langsung
dengan
peran
performance. Dimana Seybolt, Pavett, & Walker (dalam Mobley,1982)
Universitas Sumatera Utara
14 menemukan bahwa
performance yang bagus sedikit yang melakukan
turnover. d. Formal Communication Formal Communication berkaitan dengan penyebaran informasi di antara anggota dari suatu
sistem
sosial organisasi. Price (dalam Mobley,1982)
mengemukakan bahwa komunikasi formal organisasi merupakan faktor penentu turnover, yang dapat dilakukan dalam bentuk feedback terhadap tugas-tugas karyawan yang sering dan langsung, serta adanya saluran komunikasi formal yang terpercaya. Manajemen yang mencoba untuk meningkatkan arus komunikasi diantara para karyawan
menimbulkan
konsekuensi positif pada organisasi dengan menurunnya turunover. e. Centralization Centralization merupakan tingkat dimana kekuasaan dipusatkan pada suatu sistem sosial. Price (1986) menyimpulkan bahwa pengalaman organisasi yang sangat terfokus pada pemimpin akan beresiko besar untuk terjadinya turnover. Hubungan ini didasarkan pada hal-hal seperti faktor karyawan yang memiliki sedikit outonomy, tanggapan organisasi terhadap unit dan kebutuhan individu yang lambat, ataupun karyawan yang merasa bahwa dirinya tidak mempunyai kendali apapun didalam organisasi. Berdasarkan kelima aspek yang menentukan terjadinya turnover, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keempat aspek pertama berhubungan secara negatif
dengan
turnover,
sedangkan
aspek
kelima
centralization,
berhubungan secara positif dengan turnover.
Universitas Sumatera Utara
15 6. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Intensi Turnover. Wanous (1980) menyatakan ada 2 faktor yang mempengaruhi timbulnya intensi turnover, yaitu : 1. Individual Differences a. Gender Dari segi gender ditemukan bahwa wanita lebih cenderung untuk melakukan turnover dibandingkan dengan pria b. Race Parsons (dalam Mobley,1982) menyatakan bahwa karyawan perusahaan yang berkulit hitam lebih banyak mengalami turnover dibandingkan dengan karyawan berkulit putih c. Age Karyawan yang muda memiliki kemungkinan yang tinggi untuk meninggalkan perusahaan. Hal ini dikarenakan karyawan yang lebih muda mungkin mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan pekerjaan yang baru yang memilki tanggung jawab kekeluargaan yang lebih kecil , sehingga dengan demikian lebih mempermudah mobilitas pekerjaan. d. Education Menurut
hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Parsons
(dalam
Mobley,1986) individu yang berpendidikan tinggi cenderung untuk melakukan turnover dibandingkan individu yang berpendidikan rendah.
2. Organization Characteristics a. Pay level
Universitas Sumatera Utara
16 Turnover berada pada tingkat tertinggi didalam industri-industri yang yang menggaji karyawannya lebih rendah. Armknecht dan Early (dalam Mobley, 1986) menyatakan faktor penting dalam menentukan berbagai variasi antar industri dalam hal turnover adalah tingkat pendapatan yang ada dalam industri tersebut. b. Existence of training program Dengan adanya program training maka diharapkan kemampuan yang dimiliki oleh karyawan akan semakin meningkat dengan demikian karyawan akan diberikan kesempatan unutk mengembangkan karirnya dalam organisasi. Kesempatan untuk mengembangkan karir ini akan menurunkan keinginan karyawan untuk keluar dari organisasi tersebut. c. Length of training program Salah satu strategi untuk mensosialisasikan budaya perusahaan kepada karyawan adalah melalui training. Melalui lamanya jangka waktu pengadaan training diharapkan karyawan akan semakin memahami dan menerima budaya dari perusahaan. Dengan kata lain karyawan akan merasa puas terhadap keberadaan perusahaan, dan keinginan untuk meninggalkan perusahaan pun akan semakin kecil. March dan Simon (dalam Mobley,1986) juga menemukan bahwa ada banyak aspek integratif munculnya intensi turnover, antara lain : 1.
Kepuasan kerja, termasuk image (gambaran) pekerjaan, perkiraan
hubungan antar pekerjaan dan kecocokan antara pekerjaan dan aturan-aturan lainnya. 2.
Kemungkinann transfer dalam organisasi
Universitas Sumatera Utara
17 3.
Tersedianya alternatif pekerjaan lain atau diluar organisasi. Hal ini juga di
pengaruhi oleh keberadaan organisasi, tingkat aktivitas bisnis, dan karakteristik personal. Mobley (1986) menyatakan keinginan (intensi) untuk keluar dari organisasi merupakan prediktor dominan yang bersifat positif terhadap terjadinya turnover. Oleh karena itu, jika karyawan menerima dan merasa puas dengan hasil evaluasi terhadap pekerjaannya maka keinginan untuk keluar dari organisasi akan semakin kecil. Demikian sebaliknya, jika karyawan tidak dapat menerima dan menyukai pekerjaannya maka keinginan untuk melakukan turnover akan semakin besar. Faktor – faktor organizational characteristic dapat di asumsikan sebagai faktor eksternal yang berhubungan dengan kualitas kehidupan bekerja di dalam organisasi. Faktor – faktor yang berhubungan dengan kualitas kehidupan bekerja yaitu pay level, dan training program (existence of training program dan length of training program). Dengan diberikan upah yang mencukupi dan adil serta training yang diberikan oleh perusahaan, diharapkan dapat mengurangi intensi turnover karyawan serta meningkatkan kualitas kehidupan bekerja didalam organisasi.
B. Kualitas Kehidupan Bekerja 1. Definisi Kualitas Kehidupan Bekerja Menurut Walton (dalam Kossen, 1987) mengatakan bahwa kualitas kehidupan bekerja adalah persepsi pekerja terhadap suasana dan pengalaman pekerja di tempat kerja mereka. Menurut Robins (1990), mendefinisikan
Universitas Sumatera Utara
18 kualitas kehidupan bekerja sebagai suatu proses dimana organisasi memberikan respon kepada kebutuhan karyawan dengan mengembangkan mekanisme yang mengijinkan karyawan untuk berbagi dalam membuat keputusan yang membentuk kehidupan kerjanya. Elemen – elemen penting dari kualitas kehidupan bekerja adalah keamanan kerja, kepuasan kerja, sistem penghargaan yang baik, keuntungan karyawan, ketelibatan karyawan dan performansi organisasi (Havlovic, 1991; Scobel, 1975). Menurut Vein Heskett, Sasser & Schlesinger (1997) mendefinisikan kualitas kehidupan bekerja sebagai perasaan karyawan terhadap pekerjaannya, kerabatnya dan organisasi yang mengarah pada pertumbuhan dan keuntungan organisasi. Perasaan yang baik terhadap pekerjaannya berarti karyawan merasa senang melakukan pekerjaan yang akan mengarah pada lingkungan pekerjaan yang produktif. Menurut Lau, Wong, Chan & Law (2001) menyatakan bahwa kualitas kehidupan bekerja sebagai lingkungan kerja yang mendukung dan mempromosikan kepuasaan dengan memberikan penghargaan, keamanan kerja dan kesempatan pengembangan karir kepada karyawan. Kualitas menyenangkan
kehidupan dan
bekerja
keadaan
didefenisikan
yang
sebagai
menguntungkan
kondisi
bagi
yang
karyawan,
kesejahteraan karyawan dan pengelolaan sikap terhadap pekerja operasional yang sama baiknya dengan karyawan secara umum (Sununta, 2009). Kualitas kehidupan bekerja adalah dinamika multidimensional yang meliputi beberapa konsep seperti jaminan kerja, sistem penghargaan, pelatihan dan karier peluang kemajuan, dan keikutsertaan di dalam pengambilan-keputusan (Lau & Bruce dalam Considine & Callus, 2001).
Universitas Sumatera Utara
19 Kualitas kehidupan bekerja mengungkapkan pentingnya penghargaan terhadap manusia dalam lingkungan kerjanya (Luthan,1998). David dan Edward (dalam Arifin 1999) mendefinisikan bahwa kualitas kehidupan bekerja sebagai cara berfikir mengenai orang, kerja, dan organisasi. Menurut Lau dan May (1998) kualitas kehidupan bekerja didefinisikan sebagai strategi tempat kerja yang mendukung dan memelihara kepuasan karyawan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan dan organisasi serta keuntungan untuk pemberi kerja. Jewell dan Siegall (1998) mengemukakan bahwa berbagai macam komponen dari kesejahteraan karyawan secara umum yang lebih penting adalah lingkungan kerja yang aman dan sehat, hubungan yang baik dengan supervisor, dukungan dan persahabatan rekan sekerja, kerja yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan individu, derajat kepuasan dengan situasi kerja, dan kesempatan untuk bertumbuh dan pengembangan pribadi. Istilah yang digunakan untuk menjelaskan hasil interaksi individu, pekerjaan, organisasi global dan multidimensi ini adalah kualitas kehidupan bekerja.
2. Kriteria Kualitas Kehidupan Bekerja Walton (dalam Kossen, 1986) mengatakan bahwa kualitas kehidupan bekerja adalah persepsi pekerja terhadap suasana dan pengalaman pekerja di tempat kerja mereka. Suasana pekerjaan yang dimaksudkan adalah berdasarkan kepada delapan kriteria, yaitu: a. Kompensasi yang mencukupi dan adil Gaji yang diterima oleh individu dari kerjanya dapat memenuhi standar gaji yang diterima umum, cukup untuk membiayai suatu tingkat hidup yang layak
Universitas Sumatera Utara
20 dan mempunyai perbandingan yang sama dengan gaji yang diterima orangorang lain dalam posisi yang sama. b. Kondisi-kondisi kerja yang aman dan sehat Individu tidak ditempatkan kepada keadaan yang dapat membahayakan fisik dan kesehatan mereka, waktu kerja mereka juga sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Begitu juga umur adalah sesuai dengan tugas yang di pertanggungjawabkan kepada mereka. c. Kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas manusia Pekerja diberi autonomi, kerja yang mereka lakukan memerlukan berbagai kemahiran, mereka juga diberi tujuan dan perspektif yang diperlukan tentang tugas yang akan mereka lakukan. Pekerja juga diberikan kebebasan bertindak dalam menjalankan tugas yang diberikan, dan pekerja juga terlibat dalam membuat perencanaan. d. Peluang untuk pertumbuhan dan mendapatkan jaminan Suatu pekerjaan dapat memberi sumbangan dalam menetapkan dan mengembangkan kapasitas individu. Kemahiran dan kapasitas individu itu dapat dikembangkan dan dipergunakan dengan sepenuhnya, selanjutnya peningkatan peluang kenaikan pangkat dan promosi dapat diperhatikan serta mendapatkan jaminan terhadap pendapatan. e. Rasa memiliki terhadap organisasi Individu tidak dilayani dengan sikap curiga, mengutamakan konsep egalitarianism, adanya mobilitas untuk bergerak ke atas, merasa bagian dari suatu tim, mendapat dukungan dari kelompok-kelompok primer dan terdapat rasa hubungan kemasyarakatan serta hubungan antara perseorangan.
Universitas Sumatera Utara
21 f. Hak-hak karyawan. Hak peribadi seorang individu harus dihormati, memberi dukungan kebebasan bersuara dan terwujudnya pelayanan yang adil. g. Pekerja dan ruang hidup secara keseluruhan Kerja juga memberikan dampak positif dan negatif terhadap ruang kehidupan seseorang. Selain berperan di lingkungan kerja, individu juga mempunyai peranan di luar tempat kerja seperti sebagai seorang suami atau bapak dan ibu atau isteri yang perlu mempunyai waktu untuk bersama keluarga. h.
Tanggung jawab sosial organisasi Organisasi mempunyai tanggung jawab sosial. Organisasi haruslah
mementingkan pengguna dan masyarakat secara keseluruhan semasa menjalankan aktivitasnya. Organisasi yang mengabaikan peranan dan tanggung jawab sosialnya akan menyebabkan pekerja tidak menghargai pekerjaan mereka.
C. Hubungan Antara Kualitas Kehidupan Bekerja dengan Intensi Turnover. Keberhasilan didalam suatu organisasi tidak lepas dari keberhasilan karyawannya. Oleh karena itu organisasi perlu meningkatkan kualitas kehidupan bekerja karyawannya. Kualitas kehidupan bekerja dapat meningkat dengan cara memberikan gaji yang memenuhi standar atau upah yang mencukupi untuk membiayai suatu tingkat kehidupan yang layak sehingga hak karyawan yang berupa upah terpenuhi. Hal ini akan mengurangi intensi turnover karyawan. Pendapat ini
Universitas Sumatera Utara
22 didukung oleh Armknecht & Early (dalam Mobley,1986) yang mengatakan bahwa faktor terpenting dalam menentukan variasi voluntary turnover dalam suatu industri adalah tingkat upah yang relatif. Selain upah yang didapat oleh karyawan, organisasi juga dapat melibatkan karyawannya. Sehingga komuniksi yang tercipta didalam organisasi jadi semakin baik. Manajemen yang mencoba untuk meningkatkan arus komunikasi diantara para karyawan menimbulkan konsekuensi positif pada organisasi dan akan menurunkan turnover dan meningkatkan kualitas kehidupan bekerja. Sesuai dengan definisi kualitas kehidupan bekerja yang dikatakan oleh Robins (1990) bahwa kualitas kehidupan bekerja merupakan suatu proses dimana organisasi
memberikan
respon
kepada
kebutuhan
karyawan
dengan
mengembangkan mekanisme yang mengijinkan karyawan unutk berbagi dalam membuat keputusan yang membentuk kehidupan kerjanya. Adanya hubungan baik antara atasan dan bawahan, dan hubungan baik antara rekan sekerja. Terciptanya integrasi sosial yang baik dalam organisasi pekerjaan akan membuat kondisi kerja menjadi baik dan karyawan merasa senang melakukan pekerjaannya dengan begitu intensi karyawan untuk turnover juga semakin rendah. Integrasi sosial berhubungan dengan kualitas kehidupan bekerja. Menurut Randall & Vandra (1991) pada dasarnya kualitas kehidupan bekerja merupakan salah satu tujuan penting dalam memenuhi kebutuhan – kebutuhan pekerja. Banyak pekerja yang saat ini menginginkan keterlibatan yang tinggi dalam pekerjaan – pekerjaan mereka. Mereka mengharapkan mendapat kesempatan untuk memberikan sumbangan yang
Universitas Sumatera Utara
23 lebih besar terhadap organisasi. Keinginan untuk dapat berperan lebih besar ini seharusnya dipandang sebagai peluang bagi perusahaan untuk memperluas kesempatan pengembangan karir secara proporsional, bersamaan dengan pengaturan sistem imbalan dan lingkungan kerja yang aman dan nyaman. Suatu pekerjaan dapat memberi sumbangan dalam menetapkan dan mengembangkan kapasitas individu. Kemahiran dan kapasitas individu itu dapat dikembangkan dan dipergunakan dengan sepenuhnya, selanjutnya peningkatan peluang kenaikan pangkat dan promosi dapat diperhatikan serta mendapatkan jaminan terhadap pendapatan, dengan begitu maka para pekerja dapat meningkatkan performance dan mengurangi keinginan untuk keluar dari pekerjaannya (turnover). Hal ini di dukung oleh Seybolt, Pavett & Walker (dalam Mobley, 1982) yang menemukan bahwa performance yang bagus sedikit melakukan turnover. Kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas manusia merupakan kriteria kualitas kehidupan bekerja dimana para pekerja diberi autonomy, kerja yang mereka lakukan memerlukan berbagai kemahiran, mereka juga diberi tujuan dari perspektif yang diperlukan tentang tugas yang akan mereka lakukan. pekerja juga diberikan kebebasan bertindak dalam menjalankan tugas yang diberikan, dan pekerja juga terlibat dalam membuat perencanaan. Sebaliknya karyawan yang memiliki sedikit outonomy, tanggapan organisasi terhadap unit dan kebutuhan individu yang lambat, ataupun karyawan yang merasa bahwa dirinya tidak mempunyai kendali apapun didalam organisasi akan menimbulkan terjadinya turnover. Hal ini di dukung
Universitas Sumatera Utara
24 oleh Price (1986) yang menyimpulkan bahwa pengalaman organisasi yang sangat terfokus pada pemimpin akan beresiko besar untuk terjadinya turnover. Dengan demikian meningkatkan kualitas kehidupan bekerja dengan begitu perusahaan dapat mengurangi keinginan karyawannya untuk keluar dari perusahaan (intensi turnover). Hasil kualitas kehidupan bekerja yang positif akan memperoleh beberapa hal seperti berkurangnya tingkat ketidakhadiran, rendahnya turnover dan meningkatnya tingkat kepuasan kerja (Lau & May, 1998).
D. Hipotesis Hipotesis
yang
diajukan
dalam
penelitian
ini
adalah
terdapat
hubungan antara kualitas kehidupan bekerja dengan intensi turnover dalam organisasi.
Universitas Sumatera Utara