Bab 2 Landasan Teori
2.1
Comic Strip Comic strip dalam Perencanaan dan Perancangan Desain Komik Dalam Gaya
Desain Postmodern yang Mengangkat Nilai Moral Dengan Tema Persahabatan Sejati ( 2002 ) mengatakan bahwa comic strip adalah jenis komik strip yang terbit secara harian atau mingguan yang terdiri dari beberapa panel yang tersusun secara horizontal atau vertikal. Di Indonesia, komik strip tercatat sebagai komik yang pertama kali terbit, tepatnya tahun 1930 yaitu komik humor karya Kho Wang Gie di surat kabar Sin Po. Komik strip adalah salah satu jenis komik yang paling konstan eksistensinya. Misalnya Kompas yang rutin menampilkan Panji Koming karya Dwi Koendoro. Bahkan di akhir 1980-an, majalah humor yang saat ini sudah berhenti beredar, menampilkan banyak sekali komik srtrip dalam rubriknya. Comic strip bisa juga disebut sebagai newspaper strip. Di Amerika comic strip muncul pada akhir abad ke-19. Comic strip dalam Factmonster ( 2001 ) menjelaskan bahwa pengertian comic strip adalah kombinasi antara gambar kartun dan cerita. Susunannya terdiri atas cerita bergambar dengan menggunakan beberapa panel berjajar yang isi ceritanya memiliki beberapa karakter. Tokoh yang berfikir dan berbicara akan di tandai dengan menggunakan ‘balon – balon’ yang di dalamnya terdapat tulisan dari percakapan. Pengertian tersebut juga sesuai seperti yang terdapat pada comic strip menurut Ohio State University Cartoon Research Library ( 2000 ) adalah sebagai gambar atau deretan gambar yang bercerita. Ditulis dan digambar oleh seniman kartun yang diterbitkan di Koran dan di internet. Ceritanya menggunakan gambar dan sering 11
dikombinasikan dengan kata. Comic strip sudah ada sejak zaman Mesir kuno yaitu pada abad ke - 19. Di Amerika, comic strip berkembang pada abad ke-20, yaitu dengan mengenalkan alat untuk cara berbicara dengan menggunakn balon kata. Comic strip menceritakan tentang suatu peristiwa, petualangan atau cerita misteri, dan lain-lain. Di Amerika comic strip dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1.
Newspaper comic strip
Newspaper comic strip adalah komik strip yang pertama kali diterbitkan di Koran. Newspaper comic strip ini muncul di Amerika pada awal tahun pada abad ke-20. Newspaper comic strip dibagi menjadi daily strips and Sunday strips. Kebanyakan newspaper comic strip terdiri dari beberapa sindikat. Sindikat pertama yaitu menyewa orang untuk menulis dan menggambar comic strip, kemudian menyebarkan comic strip tersebut ke beberapa Koran untuk memperoleh upah atau uang. 2.
Daily strips
A daily strip adalah newspaper comic strip yang terbit di Koran setiap senin sampai sabtu. Daily strips biasanya terbit dalam bentuk warna hitam dan putih. Tetapi pada permulaan abad ke-20 daily strip diterbitkan dalam bentuk berwarna. Format utama komik adalah strip yaitu menggunakan panel-panel dalam bentuk bersegi atau berbentuk lingkaran. Di dalam strip tersebut antara panel yang satu dengan yang lai biasanya tetapi tidak selalu dalam bentuk yang sama yaitu dengan ukuran panel yang kecil. 3.
Sunday strips
Sunday strips muncul dalam Koran mingguan, biasanya terbit dengan warna yang spesial. Sepanjang Perang Dunia ke-2, karena kekurangan kertas, ukuran sunday strips mulai menyusut. Setelah perang, kelanjutan dari komik strip lama kelamaan 12
semakin mengecil, karena untuk menyimpan biaya percetakan yang menggunakan banyak warna. Sekarang, sunday strips ukurannya lebih kecil daripada daily strips. 4.
Underground comic strips
Pada waktu tahun 1960an muncul dengan yang namanya koran underground. Underground koran ini biasanya mencakup subjek yang dianggap tabu. Misanya menceritakan tentang seks dan obat-obat terlarang.
2.2
Humor Humor merupakan aktivitas yang sangat digemari, dan sudah menjadi bagian
dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan humor? Kata humor mengandung pengertian yang sangat rumit. Menurut Darminto ( 2004, xi ) di Indonesia humor diartikan sebagai lucu-lucuan, badut-badutan, guyon, sindiran, bahkan sinisme dan apologisme. Dalam Friedman ( 2006, 8 ) humor merupakan sarana mengagumkan yang bisa membuat kita membangkitkan gelak tawa, sedangkan gelak tawa merupakan bahasa dari emosi manusia. Setiap orang tertawa dalam bahasa yang sama, gelak tawa bisa menciptakan jembatan lintas usia, lintas gender, lintas budaya. Tidak ada hal yang tidak biasa atau jarang tentang fenomena ini. Seseorang mendengar dan melihat sesuatu dan tertawa. Dalam banyak kasus, ini berarti orangorang menemukan bahwa pendengaran dan penglihatanya dirangsang dengan sesuatu yang lucu. Situasi yang lucu, cerita yang lucu, bahkan pikiran yang lucu, sebenarnya terjadi setiap hari pada semua orang. Tertawa dapat sering didengar pada sebagian besar masyarakat walaupun pasti maknanya mungkin berbeda – beda dari suatu kesempatan ke kesempatan dan dari budaya ke budaya. Dalam beberapa kasus, banyak orang lebih sering melakukan tertawa dari pada ekspresi yang tidak menunujukan rasa lucu sama 13
sekali. Masing – masing dari segi usia, jenis kelamin, status sosial atau ekonomi, budaya, atau zaman, orang-orang mampu menentukan suatu hal yang lucu, dan tertawa. Orang yang berbeda tidak harus menetukan hal yang sama untuk disebut lucu – banyak hal yang menurut satu kelompok lucu mungkin membosankan bagi kelompok yang lain., beberapa lelucon bisa bersifat pribadi atau individual, contohnya terbatas kelucuanya hanya untuk satu atau sedikit individu. Bagaimanapun, kemampuan untuk menerima dan menikmati humor bersifat universal dan humor bisa dibagi kesesama, walaupun jenis humornya berbeda-beda. Keuniversalitasan humor ini diperkuat dengan fakta bahwa secara mengejutkan banyak lelucon atau situasi akan terasa menarik bagi banyak orang, walaupun sebagian orang menganggapnya tidak selucu itu ( Raskin, 1985:1-2 ). Dalam Raskin ( 1985 : 7 ), humor didefinisikan oleh Mindess ( 1971 : 21 ) adalah sebagai berikut “sebuah bingkai pikiran ( a frame of mind ), sebuah cara untuk merasai dan mengalami hidup. Itu adalah suatu jenis cara pandang, sebuah sudut pandang yang khas, dan sesuatu yang memilki kekuatan besar dalam penyembuhan.” Humor bisa juga didefinisikan sebagai berikut “Humor adalah permainan,” menurut Fry ( 1963 : 138 ). “Sebuah lelucon mungkin didefinisikan sebagai pecahan dari humor yang dikurangi kepoint atau partikel tunggal,” ditulis oleh Leacock ( 1937 : 214 ). “Hal itu mewakili perpecahan dari hal yang lucu kedalam elementnya sehingga seseorang dapat menguji dan menerima sedikit dari lelucon itu tanpa konteks yang tidak ada hubungannya. Seseorang mungkin akan berkata bahwa lelucon adalah humor yang mengandung pikiran pribadi.”
14
Sedangkan pengertian lelucon dalam Sigmund ( 1960 : 9 ) adalah sebagai berikut : A joke is ‘something comic which is entirely subjective – that is, something comic ‘which we produce, which is attached to action of ours as such, to which we invariably stand in the relation of subject and never of object, not even of voluntary object’ ( ibid., 80 ). This is explained further by a remark to the effect that in general we call a joke ‘any conscious and successful evocation of what is comic, whether the comic of observation or of situation’ ( ibid., 78 ).
Pengertian ini menjelaskan bahwa lelucon adalah sesuatu yang lucu yang benarbenar subjektif ( isinya ) yaitu sesuatu yang lucu dari yang kita hasilkan misalnya yang ditambahkan ke dalam aksi kita, yang mana selalu berhubungan dengan subjek dan tidak pernah dengan objek, bahkan objek yang disengaja ( ibid., 80 ). Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh sebuah komentar kedalam pengaruh secara umum yang kita sebut dengan lelucon “semua kesadaran dan kesuksesan dari sesuatu yang lucu, apakah pada komedi pengamatan atau komedi situasi ( ibid., 78 ).
2.2.1
Jenis-jenis Humor Untuk membuat orang tertawa, setipa pelawak atau pehumor mempunyai cara
yang berbeda-beda dengan menggunakan jenis humor yang sesuai dengan karakter si pehumor itu sendiri. Karena itulah humor memiliki beragam jenis, adapun jenis – jenis humor menurut Darminto ( 2004 : xii – xv ) ialah : 1. Guyon perikena Isi leluconnya bersifat nakal, agak menyindir tetapi tidak terlalu tajam. Bahkan cenderung sopan. Dilakukan oleh bawahan kepada atasan atau orang lebih tua atau yang lebih dihormati. Atau kepada pihak lain yang belum
15
akrab benar. Ada juga yang menjuluki lalucon model ini sebagai lelucon persuasif atau berbau feodalisme. 2. Satire Sama-sama menyindiri atau mengkritik tapi muatan ejekannya lebih dominan. Bila tidak pandai-pandai memainkannya, jurus ini bisa membebani dan sangat tidak menyenangakan. Beberapa karikatur ( political cartoon ) di media barat punya kecenderungan yang kuat ke arah ini. 3. Sinisme Kecenderungannya memandang rendah pihak lain. Umpama kata, tidak ada yang benar atau kebaikan apapun dari pihak lain, dan selalu meragukan sifat – sifat baik yang ada pada manusia. Lelucon ini lebih banyak digunakan pada situasi konfrontatif. 4. Plesetan Orang barat menyebutnya imitation and parody. Di Indonesia, seringkali juga disebut parody. Isinya memelesetkan segala sesuatu yang telah mapan atau popular. 5. Slapstick Lelucon kasar. Orang terjengkan, kepala dipukuli, pantat diselomoti seterikaan panas. Pendek kata, banal. Lelucon ini sangat efektif untuk memancing tawa masyarakat dari latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi tertentu. Beberapa film kartun unuk konsumsi anak-anak, juga banyak menampilkan lelucon model ini.
16
6. Unggul-Pecundang Seringkali disebut teori superioritas – inferioritas. Lelucon yang muncul dari perasaan diri unggul karena melihat cacat, kesalahan, kebodohan, kemalangan pihak lain. Apresiasi dari kelompok lelucon ini tega tertawa terpingkal-pingkal melihat orang pincang, tangan buntung, orang buta, orang terbelakang, dan lain-lain. 7. Kelam Sering juga disebut black humor atau sick joke. Isinya soal malapetaka, kengerian. Lelucon tentang orang yang dipenggal, bunuh diri, pemerkosaan, dan sebagainya.
2.3
Teori Ross Ross (1997 : 1) menggambarkan humor adalah sesuatu yang bisa membuat orang
tertawa atau tersenyum. Tetapi ada pengecualian dalam definisi humor tersebut. Hal ini bisa ditemukan ketika kemungkinan untuk mengatakan bahwa sesuatu bisa dikatakan lucu, walaupun tidak ada satu orang yang tertawa ketika itu, namun pada saat yang sama sering juga bisa membuat orang tertawa. Tetapi seseorang bisa mengatakan “itu tidak lucu” terhadap suatu humor. Oleh karena itu humor tidak selalu bisa mengandung unsur lucu bagi setiap orang. Ross ( 1997 ) membagi teori humor kedalam dua bagian yaitu sebagi barikut: 1. The Incongruity Theory The context for humour is crucial for determining whether an individual finds something amusing or not. Even so, it is possible to examine the features of language that have the potential to make people laugh. The incongruity theory focuses on the element of surprise. It states that humour is created out of a conflict between what is expected and what actually occurs in the joke. This
17
accounts for the most obvious feature of much humour: an ambiguity, or double meaning, which deliberately misleads the audience, followed by a punchline. A dictionary definition of incongruity is: ‘inconsistent; not fitting well together; disjointed; unsuitable’, which all sound like negative terms.
Definisi di atas menjelaskan bahwa kalimat humor sangat rumit untuk menentukan apakah seseorang bisa menemukan sesuatu yang lucu atau tidak. Meskipun demikian, ada kemungkinan untuk menguji dari segi bahasa yang mempunyai potensi untuk membuat orang-orang tertawa. The Incongruity Theory ini memfokuskan pada unsur-unsur yang mengandung kejutan. Dikatakan bahwa humor jenis ini diciptakan bertentangan yaitu antara sesuatu yang diharapkan dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam humor tersebut. Bentuk-bentuk yang paling nyata dalam kebanyakan humor adalah ambiguitas atau memiliki beberapa makna yang mana dapat menyesatkan pendengar diikuti dengan punchline. Dalam kamus definisi incongruous atau “ketidakpantasan adalah plinplan, ketidakcocokan antara satu dengan yang lain, terpisah, tidak serasi”, semua istilah yang terdengar negatif. Contoh : “Do you believe in clubs for young people?” “Only when kindness fails.” Hal ini dapat dimengerti dari permainan kata “clubs” yang mengandung arti “ sekelompok orang untuk bersenga-senang”, tetapi jawaban yang diberikan tidak berhubungan.
18
2. The Superiority Theory The philosopher Thomas Hobbes ( author of Leviathan, 1651 ) characterised laughter as a ‘sudden glory’ at a triumph of our own or at an indignity suffered by someone else. This could explain why people laugh at the many variations of the slipping – on – a – banana – skin scenario; there’s an urge to laugh at the ( literal ) downfall of another. Hobbes claimed that those who laugh are momentarily released from awareness of their own lack of ability. This accords with a commonsense perception of much humour being a form of monckery – a way of attacking others, so maintaining power and status by gaining support from others who join in the laughter. People most likely to laugh, according to Hobbes, are those ‘that are conscious of the fewest abilities in themselves. Ambrose Bierce offers this definition in The Devil’s Dictionary ( 1957 ): ‘CONSULTATION, n. The knowledge that a better man is more unfortunate than yourself.’
Definisi diatas menerangkan bahwa menurut seorang filsuf yang bernama Thomas Hobbes, kita bisa mengenali suatu tertawa sebagai “kebanggaan secara tiba-tiba” atas kemenangan pada diri kita sendiri akan rasa malu yang diderita oleh orang lain. Hal ini bisa menjelaskan kenapa orang-orang tertawa pada beberapa variasi suatu skenario yang lucu. Secara harafiah hal tersebut merupakan suatu dorongan untuk tertawa karena kegagalan seseorang. Hobbes menegaskan bahwa orang yang tertawa tersebut ketika itu tidak sadar akan kekurangan diri mereka sendiri akan kemampuan. Hal ini sesuai dengan pemahaman umum dari kebanyakan humor yaitu humor menjadi suatu bentuk penghinaan atau ejekan. Suatu cara untuk menyerang orang lain, sehingga membangun kekuatan dengan memperoleh dukungan dari yang lain untuk ikut serta menertawai. Kebanyakan orang suka tertawa, dimana mereka sadar akan ketidakmampuan dalam diri mereka. Ambrose bierce menawarkan definisi dalam Devil’s dictionary (1957): ‘Consolation’ yaitu pengetahuan akan seseorang yang lebih bisa lebih tidak beruntung dari kita.
19
3. Psychic Release Theory This looks at the areas which are taboos ( set apart as sacred or prohibited ) but which may be mentioned – it is interesting. Like other ways of formulating taboos, joking helps to establish the bounds of what it is right to think and say, by breaking some rules, but keeping some limits. What are the taboos in this society, and are they same for all people? Have they changed in modern times?
Terjemahan teori di atas adalah teori ini mengarah kepada hal-hal yang dianggap tabu ( sesuatu yang sakral atau terlarang ), tapi mungkin boleh untuk dikatakan. Hal ini kemudian menjadi suatu hal yang menarik. Seperti cara lain merumuskan hal tabu, humor dapat membantu untuk menetapkan jangkauan mana yang benar untuk dipikirkan dan mana yang benar untuk dikatakan seperti dengan melanggar beberapa aturan, tetapi tetap menjaga batasan-batasan. Seperti apakah hal tabu dalam masyarakat, dan apakah hal tabu tersebut berlaku untuk semua orang? Apakah hal tabu berubah pada zaman moderen sekarang ini.
2.4
Teori Implikatur Percakapan Grice Teori ini sesuai dengan Grice dalam Astuti ( 1995 : 16-19 ) yaitu Prinsip kerja
sama ( Cooperative Principle ) merupakan prinsip yang menjadi bagian dari percakapan mengenai Implikatur Percakapan ( Conversation Implicature ) yang dicetuskan oleh filsuf Paul Grice pada tahun 1975. Grice merumuskan teori ini dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation. Di dalam artikel tersebut, Grice mengatakan bahwa pihak – pihak yang terlibat dalam suatu percakapan selayaknya mematuhi suatu prinsip utama yang disebutnya Prinsip Kerja Sama. Prinsip ini terdiri atas empat maksim yang masing – masing di sebut Kuantitas ( Quantity ), Kualitas ( Quality ), Hubungan ( Relation ), Cara ( Manner ). Tiap – tiap maksim terdiri atas maksim – maksim utama yang beberapa di antaranya 20
terbagi menjadi maksim – maksim bawahan. Untuk memperjelas, saya akan menjabarkan masing – masing, sebagaimana yang terdapat dalam artikel Grice dalam Astuti: Quantity 1. Make your contribution as informative as is required ( for the current purposes of the exchange ). 2. Do not make your contribution more informative than is required. Quality “Try to make your contribution one that is true.” 1. Do not say what you believe to be false. 2. Do not say that for which you lack adequate evidence. Relation “Be relevant.” Manner “Be perspicuous.” 1. Avoid obscurity of expression. 2. Avoid ambiguity. 3. Be brief. 4. Be orderly. ( dikutip dalam Martinich, 1990 : 151 – 52 ) Terjemahan Prinsip Kerja Sama ini adalah: Kuantitas 1. Berikan kontribusi seinformatif mungkin sesuai yang diminta ( untuk tujuan percakapan ). 21
2. Jangan beri kontribusi yang lebih informatif daripada yang diminta. Kualitas: “Coba berikan kontribusi yang benar.” 1. Jangan mengatakan sesuatu yang kita yakini salah. 2. Jangan mengatakan sesuatu yang buktinya tidak cukup. Hubungan “Relevan” Cara “Jelas” 1. Hindari ketidakjelasan ungkapan. 2. Hindari ketaksaan. 3. Singkat ( hindari uraian panjang lebar yang tidak perlu ). 4. Teratur. Pada pembicaraan atau percakapan sehari – hari, sering kita temukan prinsip ini tidak selamanya dipatuhi. Pihak – pihak yang terlibat dalam suatu percakapan tidak selalu berbicara singat, benar, relevan, atau jelas. Grice sendiri mengatakan bahwa orang dapat mematuhi atau tidak mematuhi prinsip tersebut. Menurut Grice ada empat jenis tindakan yang dilakukan oleh orang yang tidak mematuhi Prinsip Kerja Sama, yaitu: 1. Melanggar ( violate ), yaitu seseorang dengan sengaja melanggar suatu maksim. 2. Memilih tidak mematuhi ( out put ), yaitu seseorang tidak dapat terus mematuhi suatu maksim karena terikat perjanjian atau sumpah ( ia mematuhi sejenak, tetapi kemudian tidak diteruskan ).
22
3. Mempertentangkan ( clash ), yaitu seseorang harus melanggar suatu maksim untuk mematuhi maksim yang lain. 4. Mengabaikan/mengeksploitasi ( flout/exploit ), yaitu tindakan melanggar yang dilakukan secara terang – terangan sehingga semua orang tahu bahwa orang tersebut telah melanggar. Menurut Gunarwan ( 1994 : 56 ) tindakan ini merupakan “pelecehan” suatu maksim, yaitu tidak mematuhi suatu maksim, tetapi tidak dapat dituduh melanggarnya karena pelanggarannya begitu mencolok. Pelanggaran – pelanggaran tadi mengharuskan lawan bicara menarik implikatur agar dapat memahami maksud pelanggaran tersebut ( dan sekaligus menangkap makna pembicaraan ). Untuk menarik implikatur percakapan, seseorang harus memperhatikan makna konvensional kata – kata yang digunakan, Prinsip Kerja Sama berikut maksimnya, konteks ujaran, pengetahuan umum ( background knowlage ), dan fakta bahwa empat faktor di atas ada dan diketahui oleh pembicara dan pendengar. Mendefinisikan implikatur sendiri tidak terlalu mudah karena Grice sendiri tidak menyatakannya secara eksplisit. Demi kejelasan uraian saya tentang teori Grice ini, saya akan memberi definisi implikatur yang di berikan oleh Kempson ( 1997 ). Kempson menyebut implikatur sebagai: …assumptions over and above the meaning of the sentence used which the speaker knows and intends the hearer will make, in the face of an apparently open violation of the Cooperative Principle, in order to interpret the speaker’s sentence in accordance with the Cooperative Principle. ( Kempson, ibid, hal.70 ) Definisi ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan implikatur adalah asumsi makna semantis dan makna lain di balik makna semantis, yang diketahui oleh pembicara
23
dan pendengar. Asumsi ini dibutuhkan saat kedua pihak menghadapi pelanggaran nyata dari Prinsip Kerja Sama, agar dapat mengiterpretasikan kalimat tersebut sesuai dengan Prinsip Kerja Sama. Definisi tersebut sesuai dengan Implikatur ( implicature ) atau “penyiratan” menurut Kridalaksana ( 1992 : 215 ) adalah konsep yang mengacu pada sesuatu yang diimplikasikan ( implicated ) oleh sebuah tuturan yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh tuturan itu. Prinsip Kerja Sama Grice yang diterapkan pada humor dikembangkan sesuai kebutuhan humor itu sendiri oleh Attardo ( 1994 : 271 – 92 ). Ide ini sebenarnya bukan ide yang baru. Seperti disebutkan Attardo sendiri, ia mengembangakan penelitian teori Grice dalam humor yang pernah dilakukan oleh Raskin. Attardo menganggap jenis tindakan melanggar maksim yang paling banyak dilakukan dalam teks – teks humor adalah pelanggaran ( violation ). Dengan adanya pelanggaran tersebut kita menganggap teks – teks itu “non – cooperative” atau telah kehilangan makna, akan tetapi teks – teks tersebut tetap dapat dimengerti dan tidak dianggap dusta atau sebagai teks yang cacat atau misterius ( Attardo, ibid, 1994 : 286 ).
24