BAB II LANDASAN TEORI
A. Kepuasan kerja 1. Pengertian Kepuasan Kerja Menurut Jewell dan Siegall (1998) menyatakan kepuasan kerja adalah sikap yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja, secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karyawan yang puas lebih menyenangi situasi kerjanya daripada yang tidak menyenangi. Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2001) mengatakan kepuasan kerja adalah suatu efektifitas atau respon emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Berbeda dengan pendapat Anogara (2001) yang menegaskan bahwa kepuasan kerja adalah kepuasan yang berhubungan dengan sikap karyawan terhadap pekerjaan itu sendiri, situasi kerja, hubungan antara atasan dengan bawahan dan hubungan sesama karyawan. Menurut Robbins (2003), Kepuasan kerja merupakan suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang,
yang menunjukkan perbedaan antara banyaknya
jumlah
penghargaan yang diterima dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Sedangkan Luthans (2005) memberikan definisi yang lebih komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, evaluatif dan menyatakan kepuasan kerja merupakan keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari
penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Sejalan dengan pernyataannya ini, Wexley dan Yukl (2009) mengemukakan pendapat bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan-perasaan karyawan mengenai pekerjaannya, secara umum sikap para karyawan yang didasarkan pada evaluasi terhadap aspek-aspek yang berbeda pada pekerjaannya. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan senang atau tidak senang yang dirasakan karyawan terhadap pekerjaannya, sesuai dengan terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam diri individu. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan individu, semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan demikian pula sebaliknya. 2.
Teori Kepuasan Kerja Teori kepuasan kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah two factor theory ( teori dua faktor) yang dikemukakan oleh seorang psikolog yang bernama Frederick Herzberg seusai ia melakukan penelitan terhadap 200 orang insinyur dan akuntan di Pittsburg pada tahun 1959. Dari hasil penelitian tersebut Herzberg menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menimbulkan kepuasan kerja berbeda dengan faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Herzberg membagi dua faktor yang dapat menyebabkan timbulnya rasa puas atau tidak puas, yaitu dissatisfiers (hygiene factors) dan satisfiers (motivator factors). Terpenuhinya motivator factors akan menimbulkan kepuasan, dan jika tidak terpenuhi tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Saat hygiene factors tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidakpuasan, dan jika tidak terpenuhi karyawan tidak akan kecewa walaupun belum terpuaskan.
Teori dua fator Herzberg, dikutip oleh Luthans (2005) yang termasuk dalam hygiene factor adalah sebagai berikut : a. Kebijakan perusahaan dan administrasi (company polocies). Adapun yang termasuk dalam kebijakan perusahaan dan administrasi adalah semua yang berkaitan dengan prosedur yang dilakukan perusahaan dalam mengatur jalannya pekerjaan diperusahaan. b. Pengawasan (supervision technical). Bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan atasan kepada pegawai diantaranya bimbingan, dorongan, semangat, bantuan teknis, komunikasi informasi. c. Gaji (salary). Imbalan yang sesuai dengan hasil kerja pegawai, pegawai menginginkan sistem upah yang dipersepsikan dengan adil, penghasilan yang tidak meragukan, segaris dengan pengharapan pegawai. Upah dipandang adil apabila didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, standar pengupahan komunitas kemungkinan besar akan menghasilkan kepuasan. d. Hubungan interpersonal dengan atasan (Supervision relation). Perilaku atasan juga merupakan unsur utama dari kepuasan kerja pada umumnya. Kepuasan kerja pegawai akan meningkat apabila pemimpin bersifat ramah, dapat memahami, memberikan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat pegawai, menunjukkan suatu pribadi pada pegawai memberikan kebebasan pegawai untuk berpendapat, mengkritik atau memberi saran, kerjasama, dan cara komunikasi. e. Kondisi kerja (working conditions). Lingkungan organisasi yang baik dan nyaman akan memudahkan pegawai untuk mengerjakan tugas dengan baik. Lingkungan organisasi yang nyaman dapat dinilai dari fasilitas yang bersih dan modern, peralatan atau perlengkapan kantor yang memadai, lingkungan kerja yang tenang dan aman. Sedangkan untuk faktor motivator, Herzberg menjelaskannya sebagai berikut:
a. Keberhasilan (achievement). Keberhasilan menyelesaikan tugas, besar kecilnya pegawai mencapai prestasi kerja yang tinggi, melakukan pekerjaan yang terbaik, berprestasi, penilaian prestasi kerja dilakukan secara konsisten, adil, objektif, komitmen terhadap prestasi yang dicapai selama bekerja. b. Pengakuan (recognition). Besar kecilnya penghargaan atau penghormatan, pujian, pengakuan dari atasan yang diberikan kepada pegawai atas kinerjanya. c. Pekerjaan itu sendiri (work it self). Besar kecilnya tantangan bagi tenaga kerja dari pekerjaannya. Pegawai cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberikan kesempatan untuk menggunakan keterampilan, menawarkan beragam tugas, kebebasan, umpan balik mengenai seberapa baik pegawai bekerja. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan pegawai akan mengalami kesenangan dan kepuasan. d. Tanggung jawab (responsibility). Tanggung jawab yang diemban atau dimiliki seseorang terhadap tugas yang harus diselesaikan, diberi kekuasaan, kewenangan untuk melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaannya sebagai tanggung jawab, sanksi yang tegas atas sikap dari pelaksanaan tugas. e. Pengembangan (advancement). Kesempatan untuk maju yang dicapai selama bekerja. Adapun yang termasuk dalam kenaikan pangkat ialah kebijakan promosi yang adil. Pegawai berusaha mendapatkan kebijakan praktek promosi yang adil. Promosi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak, status sosial yang meningkat dan kesempatan untuk maju. 3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan kerja Menurut Luthans (2005), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yaitu : 1. The work itself (pekerjaan itu sendiri).
Unsur ini menjelaskan pandangan karyawan mengenai pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik, melalui pekerjaan tersebut karyawan mempunyai kesempatan untuk belajar, dan memperoleh peluang untuk menerima tanggung jawab. Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberikan mereka kesempatan menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baiknya mereka bekerja. Ada kesesuaian pekerjaan dengan keterampilan dan kemampuan karyawan diharapkan mampu mendorong karyawan untuk menghasilkan kinerja yang baik. 2. Pay (Gaji) Karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat adil berdasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Semakin tinggi tingkat pendidikan karyawan, maka semakin tinggi pula tingkat kemungkinan karyawan tersebut melakukan perbandingan sosial dengan karyawan bandingan yang sama di luar perusahaan. Jika gaji yang diberikan perusahaan lebih rendah dibandingkan dengan gaji yang berlaku di perusahaan yang sejenis dan memiliki tipe yang sama, maka akan timbul ketidakpuasan kerja karyawan terhadap gaji. Oleh karena itu gaji harus ditentukan sedemikian rupa agar kedua belah pihak (karyawan dan perusahaan) merasa sama-sama diuntungkan. Karena karyawan yang merasa puas dengan gaji yang diterimanya, maka dapat menciptakan kepuasan kerja yang diharapkan berpengaruh pada kinerja karyawan. Ketidakpuasan sebagai besar karyawan terhadap besarnya kompensasi sering diakibatkan adanya perasaan tidak diperlakukan dengan adil dan layak dalam
pembayaran mereka. Dengan gaji yang diberikan, karyawan akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik dan status sosial sehingga memperoleh kepuasan kerja dari besarnya gaji yang diterima. 3. Promotion Opportunities (Kesempatan promosi) Kesempatan promosi mengakibatkan pengaruh yang berbeda terhadap kepuasan kerja karena adanya perbedaan balas jasa yang diberikan. Proses pemindahan karyawan dari jabatan ke jabatan lain yag lebih tinggi (promosi) selalu diikuti oleh tugas, tanggung jawab, dan wewenang lebih tinggi daripada jabatan yang diduduki sebelumnya. Dengan promosi akan memberian kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak, dan status sosial yang meningkat. Apabila promosi dibuat dengan cara yang adil diharapkan mampu memberikan kepuasan kepada karyawan. 4. Supervision (Pengawasan) Tugas pengawasan tidak dapat dipisahkan dengan fungsi kepemimpinan, yaitu usaha mempengaruhi kegiatan bawahan melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan organisasi. Gaya kepemimpinan yang ditetapkan oleh seorang manajer dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan mendorong gairah kerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal. Oleh sebab itu aktivitas karyawan di perusahaan sangat tergantung dari gaya kepemimpinan yang diterapkan serta situasi lingkungan di dalam perusahaan tempat mereka bekerja. Perlunya pengarahan, perhatian serta motivasi dari pemimpin diharapkan mampu memacu karyawan untuk mengerjakan pekerjaannya secara baik. Gaya kepemimpinan pada hakikatnya bertujuan untuk mendorong gairah kerja, kepuasan kerja, dan produktivitas kerja karyawan yang tinggi, agar dapat mencapai tujuan organisasi yang maksimal.
5. Co-worker (Rekan Kerja) Rekan kerja yang bersahabat, kerjasama antar rekan sekerja atau kelompok kerja adalah sumber kepuasan kerja bagi pekerja secara individual. Sementara kelompok kerja dapat memberikan dukungan, nasehat atau saran serta bantuan kepada sesama rekan kerja. Kelompok kerja yang baik membuat pekerjaan lebih menyenangkan. Baiknya hubungan antara rekan kerja sangat besar artinya bila rangkaian pekerjaan tersebut memerlukan kerja sama tim yang tinggi. Tingkat keeratan hubungan mempunyai pengaruh terhadap mutu dan intensitas interaksi yang terjadi dalam suatu kelompok. Kelompok yang mempunyai tingkat keeratan yang tinggi cenderung menyebabkan para pekerja lebih puas berada dalam kelompok. Kepuasan timbul terutama berkat kurangnya ketegangan, kurangnya kecemasan dalam kelompok dan karena lebih mampu menyesuaikan diri dengan tekanan pekerjaan. 6. Working condition (Kondisi kerja) Kondisi kerja meliputi iklim organisasi dan lingkungan organisasi, apabila kondisi kerja bagus (lingkungan yang bersih dan menarik), akan membuat pekerjaan dengan mudah dapat ditangani. Sebaliknya, jika kondisi kerja tidak menyenangkan akan berdampak sebaliknya pula. Apabila kondisi bagus maka tidak akan ada masalah dengan kepuasan kerja, sebaliknya jika kondisi yang ada buruk maka akan buruk juga dampaknya terhadap kepuasan kerja.
Namun dalam penelitian ini akan lebih berfokus pada faktor kondisi kerja (iklim organisasi) dan pengawasan (gaya kepemimpinan).
B. Iklim Organisasi 1.
Pengertian Iklim Organisasi
Iklim atau Climate berasal dari bahasa Yunani yaitu incline, kata ini tidak hanya memberikan arti yang terbatas pada hal-hal fisik saja seperti temperatur atau tekanan, tetapi juga memiliki arti psikologis bahwa orang-orang yang berada di dalam organisasi menggambarkan tentang lingkungan internal organisasi tersebut (Furnham & Ginter, 1993). Istilah iklim organisasi (organizational climate) pertama kali dipakau oleh Kurt Lewin pada tahun 1930-an, yang menggunakan istilah iklim psikologi (pcychological climate). Stringer (2002) mengatakan definisi dari iklim organisasi adalah sebagai “..collection and pattern of envirotnmental determinan of aoused motivation”, bila diartikan iklim organisasi adalah sebagai suatu koleksi dan pola lingkungan yang menentukan adanya motivasi. Sedangkan Wirawan, (2007) mengutip pernyataan dari Taguiri dan Litwin yang menegaskan bahwa iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung dialami oleh anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengetian satu set karakteristik atau sifat organisasi. Wirawan (2007) juga mendefinisikan iklim secara lebih luas, ia menjelaskan bahwa iklim organisasi adalah persepsi anggota organisasi mengenai apa yang ada atau terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin, yang mempengaruhi sikap dan perilaku serta kinerja anggota organisasi yang kemudian menentukan kepuasan kerja dari setiap anggota organisasi. Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan iklim organisasi merupakan karakteristik organisasi yang dipersepsikan berdasarkan kondisi internal suatu organisasi, yang kemudian dirasakan oleh anggota organisasi dan dapat membedakan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.
2. Dimensi Iklim Organisasi Menurut Litwin dan Stringer (2002), terdapat enam dimensi iklim organisasi, yaitu : a. Struktur (Structure) Struktur merupakan pandangan anggotanya terhadap aturan, prosedur kebijaksanaan yang diberlakukan dalam organisasi yang merupakan batasan-batasan yang diberikan oleh atasan atau organisasi terhadap anggota organisasi. b. Standar- standar (Standard) Standar-standar dalam
suatu organisasi mengukur perasaan tekanan untuk
memperbaiki dan meningkatkan kinerja serta derajat kebanggan yang dimiliki oleh anggota organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan kinerjanya. Standar-standar rendah apabila anggota organisasi merefleksikan harapan yang lebih rendah untuk kinerja. Standar-standar meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan. c. Tanggung jawab (Responsibility) Mengukur besarnya tanggung jawab yang dipercayakan kepada anggota organisasi yang timbul karena tersedianya tantangan kerja, tuntutan untuk bekerja, serta kesempatan untuk menikmati prestasi. Faktor tantangan akan muncul dengan kuat dan berhubungan secara positif dengan pengembangan prestasi pegawai. d. Penghargaan (Reward) Menekankan pada pemberian penghargaan dalam situasi kerja. Imbalan menunjukkan penerimaan terhadap perilaku, sedangkan hukuman menunjukkan penolakan terhadap perilaku. Lingkungan kerja yang berorientasi pada pemberian imbalan daripada hukuman akan cenderung meningkatkan minat individu untuk bekerjasama dan berprestasi. e. Dukungan (Warm and Support)
Menekankan adanya hubungan baik dalam situasi kerja. Adanya dukungan yang bersifat positif dan pertolongan kepada anggota daripada pemberian penghargaan dan hukuman dalam situasi kerja, sehingga menumbuhkan rasa
tentram dalam
bekerja. Adanya kehangatan dan dukungan akan mengurangi kecemasan dalam bekerja. f. Komitmen (Commitment) Komitmen merefleksikan perasaan bangga anggota organisasi terhadap organisasinya dan derajat keloyalan atau komitmen terhadap pencapaian tujuan organisai. Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas personal. Level rendah komitmen ketika karyawan merasa apatis terhadp organisasi dan tujuannya. Komitmen meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.
C. Gaya Kepemimpinan Situasional 1. Pengertian Gaya Kepemimpinan Situasional Menurut
Robbins
(2007)
kepemimpinan
merupakan
kemampuan
untuk
mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang ditetapkan. Rivai
(2003)
mengemukakan
teori-teori
kepemimpinan
situasional
yang
menekankan pada pengikut-pengikut dan tingkat kematangan mereka, dimana para pemimpin harus menilai secara benar atau secara intuitif mengetahui kematangan pengikut-pengikutnya dan kemudian menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tingkatan tersebut, dan kesiapan didefinisikan sebagai kemampuan dan kemauan dari pengikut untuk mengambil tanggung jawab bagi perilaku mereka sendiri. Secara singkat Aamodth (2008) menyatakan gaya kepemimpinan situasional merupakan suatu pendekatan terhadap kepemimpinan yang menyatakan bahwa pemimpin memahami
perilakunya, sifat-sifat bawahannya, dan situasi sebelum menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Menurut Hersey dan Blanchard (2002) kepemimpinan situasional merupakan kepemimpinan yang didasarkan atas hubungan saling mempengaruhi antara jumlah petunjuk
dan
pengarahan
yang diberikan
oleh
pemimpin,
jumlah
dukungan
sosioemosional yang diberikan pemimpin, dan tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukkan dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi, atau tujuan tertentu. Thoha (2010) mengutip dari konsep Hersey dan Blancard tentang perilaku dan gaya kepemimpinan bersifat situasional. Pemimpin harus menyesuaikan responnya menurut kondisi atau tingkat perkembangan kematangan, kemampuan dan minat pegawai dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Dalam hal ini respon seorang pemimpin dalam perilaku kepemimpinannya memberikan pengarahan dan dukungan yang bersifat sosioemosional. Sementara itu pemimpin harus menyesuaikan tingkat kematangan pegawai. Tingkat kematangan pegawai (marturity), diartikan sebagai tingkat kemampuan pegawai untuk bertanggung jawab mengarahkan perilaku dalam bentuk kemauan. Konsep
ini
dikembangkan
untuk
membantu
orang
dalam
menjalankan
kepemimpinannya tanpa memperhatikan perannya, untuk lebih efektif dalam berinteraksi dengan orang lain. Konsep ini memberikan pemimpin beberapa pemahaman tentang hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kesiapan (kematangan) pengikut mereka. Berdasarkan konsep kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard (2002) ada empat jenis pegawai, yaitu pegawai yang tidak mampu dan tidak mau, pegawai yang tidak mampu tetapi mau, pegawai yang mampu tetapi tidak mau, dan pegawai yang mampu dan mau.
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan gaya kepemimpinan situasional adalah gaya kepemimpinan dimana pemimpin memahami perilaku, kematangan, sifat-sifat bawahannya, dan situasi lingkungan kerjanya sebelum memberikan pengarahan dan dukungan kepada bawahannya. 2. Dimensi Gaya Kepemimpinan Situasional Gaya kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard (2002) memiliki dua dimensi yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan. a. Perilaku tugas (task behavior) Perilaku tugas didefinisikan sebagai sejauh mana pemimpin terlibat dalam menjabarkan tugas dan tanggung jawab dari seorang individu atau kelompok. Perilaku ini termasuk mengarahkan orang-orang apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya, kapan harus melakukannya, di mana untuk melakukannya, dan siapa yang melakukannya. b. Perilaku hubungan (relationship behaviour) Perilaku hubungan didefinisikan sebagai sejauh mana pemimpin terlibat dalam dua cara atau banyak cara komunikasi, perilaku termasuk mendengarkan, memfasilitasi, dan perilaku mendukung. Di dalam kepemimpinan situasional bawahan mempunyai arti sangat penting, yang mana seorang pemimpin harus memperhatikan kesiapan bawahannya/ pengikut (follower) memiliki kemampuan (ability) dan kemampuan (willingness) untuk menyelesaikan tugas tertentu.
Kesiapan mempunyai dua komponen utama yaitu ability atau willingness : a. Kemampuan (ability) adalah pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang seorang individu atau kelompok membawa tugas atau kegiatan tertentu.
b. Kemauan (willingness) adalah sejauh mana individu atau kelompok memiliki kepercayaan diri, komitmen, dan motivasi untuk menyelesaikan tugas tertentu. 3. Tingkat Kesiapan/Kematangan Bawahan Tingkat kesiapan/kematangan bawahan dibagi menjadi empat yaitu : R1 : Readiness 1 Kesiapaan tingkat 1 menunjukkan bahwa pengikut tidak mampu dan tidak yakin mengambil tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas. Pada tingkat ini, pengikut tidak memiliki kompetensi dan tidak percaya diri. R2 : Readiness 2 Kesiapan tingkat 2 menunjukkan pengikut tidak mampu melakukan tugas, tetapi ia sudah memiliki keyakinan, motivasi yang kuat tidak didukung oleh pengetahuan dan keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas. R3 : Readiness 3 Kesiapan tingkat 3 menunjukkan situasi di mana pengikut memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas. Tetapi pengikut tidak yakin melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh pemimpinnya. R4: Readiness 4 Kesiapan tingkat 4 menunjukkan bahwa pengikut telah memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas, disertai dengan keyakinan yang kuat untuk melaksanakannya. Hersey dan Blanchard (2002) menggambarkan tingkat kesiapan (readiness) pengikut (follower) sebagai berikut : High
Moderate
Low
R4
R3
R2
R1
Very
Capable
Unab
Unab
capable and
but unwilling
le but willing
confident
le and insecure.
Tabel 2.1. Kesiapan (readiness) Pengikut (follower) Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui tingkat kesiapan individu dan kelompok yang berbeda menurut gaya kepemimpinan yang berbeda, gaya kepemimpinan yang sesuai mencakup kombinasi perilaku tugas (task behaviour) dan perilaku hubungan (relationship behaviour) yang mana perilaku tugas dan perilaku hubungan ini perlu dikombinasikan secara tepat agar dapat meraih kesuksesan atau mencapai tujuan. 4. Model Gaya Kepemimpinan Situasional Adapun model gaya dasar kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard yang dihasilkan atas dasar kombinasi perilaku tugas dan hubungan dibedakan menjadi empat (2002) :
a.
Mengarahkan (telling) Gaya ini tepat untuk kesiapan pengikut rendah (R1). Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan yang perlu dilakukan oleh pemimpin pada kondisi pegawai lemah dalam kemampuan, minat dan komitmennya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian tugas-tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hersey dan Blancard menyarankan agar pemimpin memainkan peran directive yang tinggi, memberi saran bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu tanpa mengurangi intensitas hubungan sosial dan komunikasi antara pemimpin dan bawahan. Adapun ciri-ciri mengarahkan (telling) adalah tinggi tugas dan rendah hubungan, pemimpin memberikan tugas khusus, pengawasan dilakukan secara ketat, dan pemimpin
menerangkan
kepada
bawahan
apa
yang
harus
dikerjakan, bagaimana cara mengerjakan, kapan
harus dilaksanakan pekerjaan itu, dan di mana pekerjaan itu harus di lakukan. b.
Menjual (selling) Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut moderat (R2). Pada saat kondisi pegawai menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas, takut untuk mencoba melakukannya, pemimpin juga memproporsikan struktur tugas dengan tanggung jawab pegawai. Selain itu, pemimpin harus menemukan hal-hal yang menyebabkan pegawai tidak termotivasi serta masalah-masalah yang dihadapi pegawai. Pada kondisi ini, pegawai sudah mulai mampu mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik, akan memicu perasaan timbulnya over confident. Kondisi ini, memungkinkan pegawai menghadapai permasalahan baru yang muncul. Oleh karena itu, setelah memberikan pengarahan, pemimpin harus memerankan gaya menjual dengan mengajukan beberapa alternatif pemecahan masalah. Ciri-ciri menjual (selling) adalah tinggi tugas dan tinggi hubungan, pemimpin menerangkan keputusan, pemimpin memberikan kesempatan untuk penjelasan, pemimpin masih banyak melakukan pengarahan, dan pemimpin mulai melakukan komunikasi dua arah.
c. Menggalang Partisipasi (participation) Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut tinggi dengan motivasi moderat (R3). Perilaku kepemimpinan partisipasi, adalah respon pemimpin yang harus diperankan ketika pegawai memiliki tingkat kemampuan akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab, karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tanggung jawab seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu
membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendengarkan mendukung usaha–usaha yang dilakukan para bawahan. Adapun ciri-ciri participation adalah tinggi hubungan dan rendah tugas, pemimpin dan bawahan saling memberikan gagasan, dan pemimpin dan bawahan bersama-sama membuat keputusan d. Mendelegasikan (delegating) Gaya ini paling tepat untuk pegawai dengan tingkat kemampuan dan kemauan yang tinggi (R4). Dengan gaya delegasi ini pemimpin sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskan tentang bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus diselesaikan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah. Adapun ciri-ciri mendelegasikan (delegating) adalah rendah hubungan dan rendah tugas, dan pemimpin
melimpahkan
pembuatan
keputusan
dan pelaksanaan
kepada bawahan. D. Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Kepuasan kerja karyawan dapat disebabkan dengan adanya suasana kerja yang menyenangkan, imbalan yang sesuai, hubungan yang baik dengan atasan dan rekan kerja, adanya kepercayaan yang diberikan pihak atasan, kejelasan tugas yang merupakan bagian dari iklim organisasinya. Pengaruh iklim organisasi dan kepuasan kerja telah banyak diteliti oleh para psikolog industri organisasi. Meski hasil yang ditampilkan para peneliti tersebut bervariasi dan terlepas dari pro dan kontra akan hasilnya, namun terdapat satu kesepakatan diantara mereka adalah makna iklim organisasi itu sendiri lebih menjurus pada persepsi pegawai tentang kondisi organisasinya. Penghayatan pegawai terhadap iklim organisai dirasakan dapat menghasilkan kesan yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap perusahaan. Kesan dan penghayatan pegawai terhadap perusahaannya akan mempengaruhi kepuasan kerja mereka (Idrus, 2006). Iklim organisasi memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kepuasan kerja pegawai. Struktur yang merupakan dimensi dari iklim organisasi yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Rosnaniar, Rewa, dan Noer (2013) menunjukkan semakin baik struktur organisasi maka akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Dengan struktur organisasi yang jelas pekerjaan dapat dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasikan secara formal. Perusahaan harus mempertahankan standar-standar perusahaan dan kondisi kerja yang efektif untuk dapat mempertahankan kepuasan kerja karyawannya (Capricornia, 2013). Hal ini juga sejalan dengan dimensi tanggung jawab.
Besar atau kecilnya
tanggung jawab yang diemban oleh karyawan mempengaruhi tingkat kepuasan kerjanya, saat karyawan dapat mempertanggung jawabkan penyelesaian pekerjaan dengan tepat waktu dan hasil yang memuaskan (Siswanto & Yuniawan, 2012) Dimensi penghargaan berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan. Dengan penghargaan atau imbalan yang sesuai, karyawan akan merasa puas dengan gaji yang diterimanya yang akan berdampak pada kinerjanya. Hal ini juga didukung dengan hubungan yang baik serta dukungan rekan kerja saat mengalami kesulitan bekerja serta besarnya komitmen dalam perusahaan menjadikan karyawan menjadi bangga dan memahami tujuan perusahaan sehingga memiliki pengaruh yang positif terhadap kepuasan kerja karyawan (Susanti, 2012). Wirawan (2007) mengatakan bahwa buktibukti yang ada menunjukkan terdapat pengaruh yang positif antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja, ketika iklim organisasi tampak memusatkan perhatiannya pada
pegawai, lebih terbuka dan lebih konsultatif, pada umumya berpengaruh dengan sikap kerja yang lebih positif.
E. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Situasional Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Munandar (2001) menyatakan gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Kepemimpinan situasional berusaha meramalkan efektifitas kepemimpinan dalam segala situasi. Menurut model ini pemimpin yang efektif memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai, dan juga peningkatan motivasi kerja pegawai yang positif. Demikian sebaliknya apabila terjadi indikasi ketidakpuasan kerja pegawai, turunnya motivasi dan kegairahan kerja disertai dengan tingginya tingkat absensi dan menurunnya produktifitas kerja, hal ini terjadi akibat dari kepemimpinan yang tidak disenangi (Rivai, 2003). Berdasarkan kajian teori yang telah disampaikan
menunjukkan bahwa gaya
kepemimpinan situasional mempunyai hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja para pegawai. Semakin efektif gaya kepemimpinan situasional yang digunakan pimpinan, maka semakin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan (Saritia & Agustia, 2010). Pemimpin yang bijak dalam menentukan hubungan dengan bawahan, memberikan dukungan emosional kepada bawahannya, pimpinan yang memiliki komunikasi yang baik, pimpinan yang dapat menguraikan rinci pekerjaan bawahan, pimpinan yang mempercayai bawahannya berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan (Plangiten, 2013). Gaya kepemimpinan situasional memiliki pengaruh yang positif terhadap tinggi rendahnya kepuasan kerja karyawan artinya semakin efektif gaya kepemimpinan situasional, maka tingkat kepuasan kerja karyawan akan semakin meningkat (Wirda, 2012).
Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja ketika pemimpin yang tidak mau mendengar keluhan dan pandangan pekerja dan tidak mau membantu apabila diperlukan (Ekawati & Wardono, 2014). Demikian juga dengan karyawan yang menerima penghargan dari pemimpinnya sendiri akan lebih puas, namun jika pemimpinnya terlalu ketat pada karyawan akan menyebabkan ketidakpuasan (Maria, 2012). Peran atasan terhadap kepuasan kerja karyawan terutama dalam hal pengawasan dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan (Noe, 2000).
Sejalan dengan yang telah diutarakan, gaya kepemimpinan yang lebih memperhatikan
kemampuan
karyawannya
akan
meningkatkan
kepuasan
kerja
karyawannya. Sedangkan ketidakpuasan karyawan dipengaruhi oleh ketidakmampuan pimpinan dalam memonitor dan mengelola sifat atau sikap karyawannya. Oleh karena itu sebelum memberikan pengarahan dan dukungan para pimpinan harus mampu mengetahui baik atau buruknya kondisi perusahaan serta dapat menyesuaikannya dengan kemampuan dan kemauan karyawan saat melakukan tugasnya (Thoha, 2010). F. Pengaruh Iklim Organisasi dan Gaya Kepemimpinan Situasional Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan. Iklim Organisasi dapat mempengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan kerja para karyawan. Iklim organisasi dalam perusahaan bergerak dari yang menyenangkan (positif) ke netral, sampai dengan tidak menyenangkan (negatif). Pada dasarnya karyawan menginginkan iklim organisasi yang menyenangkan, hal ini berhubungan dengan keuntungan yang didapatkan seperti prestasi yang baik, kepuasan kerja yang tinggi dan meningkatnya kinerja para karyawan (Falahy, 2005). Pemeliharaan iklim organisasi sangat penting diperhatikan dalam pencapaian kepuasan kerja karyawan (Rismayani & Hartuti, 2008).
Gaya kepemimpinan juga memiliki peran yang besar dalam pencapaian kepuasan kerja karyawan. Dengan gaya kepemimpinan yang diterapkan secara tepat akan memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan saat bekerja (Kusmaningtyas, 2013). Kepemimpinan yang dikaji berdasarkan teori situasional beranggapan bahwa jenis tindakan atau kebijakan yang perlu dilakukan atau diambil dalam rangka pencapaian tujuan organisasi dengan tetap mempertimbangkan keadaan dari bawahannya (Thoha, 2010). Gaya kepemimpinan situasional yang efektif dianggap penting dalam pencapaian kepuasan kerja karyawan. Seorang pemimpin yang dapat memberikan pengaruh langsung terhadap pemberian motivasi, bimbingan, pengarahan kepada bawahan dan memberikan bantuan kepada karyawan yang mengalami kesulitan saat bekerja cenderung akan berdampak langsung kepada para karyawan. Karyawan lebih cenderung berusaha mengerahkan usaha lebih dalam pengerjaan dan penyelesaian pekerjaan mereka demi pencapaian tujuan perusahaan (Voon, et al, 2011). Kepuasan kerja merupakan perasaan senang atau tidak senang yang dirasakan leh karyawan terhadap pekerjaannya seperti suasana kerja yang meliputi iklim organisasi, hubungan antara atasan dan bawahn, hubungan dengan sesama karyawan, gaya kepemimpinan yang ada dalam perusahaan (Luthans, 2005). Iklim organisasi dan gaya kepemimpinan memiliki arti yang penting untuk pencapaian kepuasan kerja karyawan. Dengan menciptakan iklim organosasi yang positif dapat membawa para karyawan merasakan kepuasan kerja yang tinggi begitu juga dengan gaya kepemimpinan situasional yang efektif dengan tetap mempertimbangkan keadaaan para karyawan juga berdampak langsung pada kepuasan kerja karyawan. Dengan adanya kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan akan memberikan pengaruh positif terhadap perusahaan
sehingga mendukung keberhasilan tercapainya tujuan secara efektif dan efisien (Kusmaningtyas, 2013). G. Hipotesis
Berdasarkan konsep dan kerangka teori tersebut yang ada diatas maka hipotesis penelitian ini adalah : 1. Ada pengaruh yang positif antara Iklim organisasi terhadap kepuasan kerja karyawan. 2. Ada pengaruh yang positif antara gaya kepemimpinan situasional terhadap kepuasan kerja karyawan. 3. Ada pengaruh yang positif antara iklim organisasi dan gaya kepemimpinan situasional terhadap kepuasan kerja karyawan.