BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Rasio Keuangan
2.1.1 Pengertian Rasio dan Analisis Rasio Keuangan
Rasio adalah satu angka yang dinyatakan dalam hubugannya dengan yang lain (Harvarindo 2010:12). Dimana angka tersebut digambarkan dalam suatu pola yang dibandingkan terhadap pola yang lainnya dan dinyatakan dalam persentase (Jonathan Golin, 2001) Toto Prihadi (2008) mengatakan bahwa Rasio lebih tepat digunakan sebagai indikator atau awal analisis dimana dengan Rasio kita mencoba menganalisis lebih jauh atau mencari penyebab terjadinya hal tersebut. Melakukan analisis terhadap rasio keuangan menurut Weygandt & Kieso (2008) berarti menggambarkan hubungan matematika antara penjumlahan yang satu dengan yang lain yang digambarkan dalam bentuk prosentase, rates atau proporsi yang sederhana. Lain halnya dengan Mamduh M. Hanafi (2009:5) mengatakan analisis terhadap laporan keuangan suatu perusahaan pada dasarnya karena ingin mengetahui tingkat profitabilitas (keuntungan) dan tingkat risiko atau tingkat kesehatan suatu perusahaan dimana hal ini dapat dilakukan dengan menghitung rasio-rasio keuangan suatu perusahaan. 7
Dimana ketiga penulis berpendapat yang sama yaitu bahwa melakukan analisis keuangan bergantung pada informasi yang diberikan oleh laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari: (1) Neraca, (2) Laporan Rugi Laba dan (3) Laporan Aliran Kas.
2.1.2 Kegunaan dan Tujuan Rasio Keuangan Untuk dapat melakukan analisis laporan keuangan dengan tepat, maka analis terlebih dahulu harus mengetahui apa saja kegunaan serta tujuan dari melakukan analisis terhadap laporan keuangan melalui rasio-rasio keuangan. Menurut Mamduh M. Hanafi (2009: 6)
ada 9 (Sembilan) tujuan
melakukan analisis keuangan yaitu : (1) Analisis keuangan dilakukan apabila seseorang/perusahaan ingin melakukan investasi pada saham , (2) Analisis keuangan dilakukan apabila ingin memberikan kredit kepada sebuah perusahaan, (3) Analisis keuangan dilakukan untuk menentukan kesehatan pemasok (supplier), (4) Analisis keuangan dilakukan untuk menentukan kesehatan pelanggan (customer), (5) Analisis keuangan dilakukan untuk menentukan kesehatan perusahaan ditinjau dari sisi karyawan, (6) Analisis keuangan dilakukan untuk menentukan besarnya pajak yang akan dibayarkan kepada pemerintah atau menentukan tingkat keuntungan yang wajar bagi suatu industri, (7) Analisis keuangan dilakukan untuk menentukan sejauh mana perkembangan perusahaan untuk basis melakukan evaluasi terhadap kinerja manajemen, (8) Analisis keuangan dilakukan untuk menentukan sejauh mana kekuatan keuangan pesaing
8
dan (9) Analisis keuangan dilakukan untuk menentukan besarnya kerusakan yang dihadapi oleh perusahaan. Dimana analis menganalisa laporan keuangan tersebut melalui rasio-rasio keuangan. Menurut Arthur J. Keown (2004) rasio keuangan bisa digunakan untuk menjawab 4 (empat) pertanyaan, yaitu: (1) seberapa likuid suatu perusahaan? (2) Apakah manajemen perusahaan cukup efektif menghasilkan laba usaha atas aktiva perusahaan? (3) Bagaimana perusahaan didanai? dan (4) Apakah tingkat pengembalian yang didapatkan oleh pemegang saham biasa sesuai dengan investasi yang mereka tanamkan? Lain halnya dengan Toto Prihadi (2008) yang mengatakan bahwa pada dasarnya rasio digunakan secara khusus oleh investor dan kreditor dalam keputusan investasi dan penyaluran dana dengan cara membandingkan antara rasio perusahan dengan industri. Keputusan penyaluran kredit modal kerja dan keputusan penyaluran kredit investasi akan memerlukan data dan rasio pendukung yang berbeda dan jenis rasio yang digunakan akan tergantung dari jenis keputusan yang akan digunakan.
2.1.3 Jenis-Jenis Rasio Keuangan
Untuk dapat melakukan analisis laporan keuangan terlebih dahulu analis harus mengetahui apa saja rasio-rasio keuangan yang ada yang dapat membantunya melakukan analisis laporan keuangan. 9
Menurut Toto Prihadi (2008) rasio keuangan dapat di klasifikasikan menjadi 7 (tujuh) kategori yaitu : (1) Rasio Likuiditas, (2) Rasio Aktivitas, (3) Rasio Profitabilitas, (4) Rasio Return on Investment, (5) Rasio Solvency, (6) Rasio Arus Kas dan (7) Rasio Market Measure, dimana tiap-tiap rasio akan membantu
memahami
laporan
keuangan
lebih
baik
walaupun
dengan
keterbatasannya, sehingga yang terpenting adalah bagaimana analis tahu cara menghitung, manfaat dari rasio tersebut dan juga keterbatasannya. Lain
halnya
dengan
Mamduh
M.
Hanafi
(2009:
76)
yang
mengklasifikasikan rasio menjadi 5 (Lima) kategori yaitu: (1) Rasio Likuiditas, (2) Rasio Aktivitas, (3) Rasio Solvabilitas, (4) Rasio Profitabilitas dan (5) Rasio Pasar. Dimana pada penulisan kali ini, penulis hanya memilih 4 (empat) buah rasio keuangan dari 5 (Lima) buah rasio keuangan seperti yang diklasifikasikan oleh Mamduh M. Hanafi yang dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Rasio Likuiditas Yaitu rasio yang mengukur kemampuan Likuiditas jangka pendek perusahaan dengan melihat aktiva lancar perusahaan relatif terhadap utang lancarnya. Ada 2 (Tiga) macam rasio Likuiditas yaitu: 1) Rasio Quick Dari ketiga komponen aktiva lancar (Kas, Piutang dan persediaan), persedian biasanya dianggap merupakan aset yang paling tidak likuid.
10
Dengan alasan ini maka persediaan dikeluarkan untuk perhitungan Rasio Quick Rasio Quick =
Aktiva Lancar - Persediaan Hutang Lancar
2) Rasio Lancar Rasio Lancar mengukur kemampuan perusahaan memenuhi hutang jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancarnya Rasio Lancar = Aktiva Lancar Hutang Lancar
b. Rasio Profitabilitas Rasio profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan pada tingkat penjualan, aset dan modal saham yang tertentu. Ada 2 (dua) jenis rasio profitabilitas yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) Profit Margin Profit margin menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu. Rasio profit margin dapat dihitung sebagai berikut: Profit Margin =
Laba Bersih Penjualan
11
2) Return on Aset (ROA) Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat aset yang tertentu. ROA biasa juga disebut sebagai Return on Investment (ROI). Rasio ini bisa dihitung sebagai berikut: Return on Asset =
Laba Bersih Total Aset
c. Rasio Aktivitas Rasio ini melihat pada beberapa aset kemudian menentukan berapa tingkat aktivitas aktiva-aktiva tersebut pada tingkat kegiatan tertentu. Ada 4 (empat) jenis rasio aktivitas akan tetapi pada penulisan kali ini penulis hanya memilih 2 (dua) diantaranya yaitu: 1) Rata-Rata umur Piutang Rata-rata umur piutang melihat berapa lama yang diperlukan untuk melunasi piutang (merubah piutang menjadi kas). Rasio ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Perputaran Piutang = Penjualan Piutang Usaha
Rata-rata umur piutang = 365/ Perputaran Piutang
2) Perputaran Total Aktiva Rasio ini adalah untuk menghitung efektivitas penggunaan total aktiva. Rasio ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut ini: 12
Perputaran total Aktiva =
Penjualan Rata-Rata Total Aktiva
Dimana nilai rata-rata total aktiva diperoleh dari penjumlahan total aktiva tahun sebelumnya ditambah total aktiva tahun berjalan dibagi dua. d. Rasio Solvabilitas Rasio
Solvabilitas
mengukur
kemampuan
perusahaan
memenuhi
kewajiban-kewajiban jangka panjang. Rasio ini mengukur likuiditas jangka panjang perusahan dan dengan demikian memfokuskan pada sisi kanan neraca. Ada beberapa jenis rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan diantaranya adalah: 1) Rasio Total Hutang terhadap Total Aset Rasio Total Hutang terhadap Total Aset digunakan untuk menghitung seberapa jauh dana disediakan oleh para kreditur. Rasio ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Rasio total hutang terhadap = Total Hutang Total aset Total Aset
2) Times Interest Earned Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan membayar hutang dengan laba sebelum bunga pajak. 13
Dimana rasio ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: TIE =
Laba Sebelum Bunga dan Pajak (EBIT) Bunga
Dimana Bunga yang dimaksudkan didalam perhitungan ini adalah biaya bunga dan tanpa menambahkan pendapatan bunga.
2.2 Analisis Cross Section & Analisis Time Series Selain melakukan analisis dengan rasio keuangan, penulis ingin mengetahui kinerja perusahaan PT Mobile 8 Telecom Tbk dengan pendekatan Cross Section dan juga Time Series. Pendekatan Cross Section adalah suatu cara mengevaluasi dengan jalan membandingkan ratio-ratio antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya yang sejenis pada saat yang bersamaan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa baik atau buruk suatu perusahaan dibandingkan dengan perusahaan sejenis lainnya sedangkan pendekatan analisis Time Series dilakukan dengan jalan membandingkan ratio-ratio finansial perusahaan dari satu periode ke periode lainnya dengan tujuan untuk memperlihatkan apakah perusahaan mengalami kemajuan atau kemunduran. Sedangkan menurut Mamduh M. Hanafi (2009: 113) pendekatan Cross Section bermanfaat untuk melihat prestasi perusahaan relative terhadap industri dan kasus khusus seperti untuk menentukan bonus bagi manajemen perusahaan.
14
Dimana pada penelitian kali ini penulis akan menggunakan pendekatan analisis Cross Section dengan membandingkan ratio finansial PT Mobile 8 Telecom Tbk dengan ratio rata-rata industri dan pendekatan analisis Time Series periode tahun 2007-2009. Ada beberapa pilihan yang dapat digunakan untuk menghitung rata-rata industri diantaranya: 1. Menghitung nilai tunggal sebagai perbandingan 2. Menghitung nilai tunggal dengan dispersinya (standard deviasi) 3. Menghitung nilai untuk percentile tertentu Dimana untuk perhitungan diatas ada beberapa pilihan yang bisa dipakai yaitu: 1. Menghitung rata-rata aritmatika 2. Menghitung rata-rata tertimbang 3. Menggunakan Median 4. Menggunakan Modus Untuk perhitungan kinerja keuangan rata-rata industri ini, penulis akan menggunakan pilihan nomor 1 (satu) yaitu menghitung nilai tunggal sebagai perbandingan.Dimana perhitungan yang akan digunakan adalah perhitungan nomor 3 (tiga) yaitu perhitungan dengan menggunakan Median. 2.3 Analisis Du Pont Selain melakukan analisis dengan rasio keuangan dan analisis Cross Section dengan perbandingan rata-rata industri, penulis juga akan menambahkan analisis lainnya yaitu Analisis Du Pont.
15
Analisis Du Pont adalah analisis dengan menggunakan hubungan antara beberapa rasio yang berbeda. Dalam hal ini penulis akan menghubungkan 4 (empat) macam rasio sekaligus yaitu: 1. Rasio Return on Asset (ROA) 2. Rasio Profit Margin 3. Rasio Perputaran Aktiva 4. Rasio Total Hutang terhadap total asset Dan apabila digambarkan maka berikut adalah skema analisis Du Pont: ROE
ROA
Rasio Modal Saham Ke Total Aset
Profit Margin
1
Perputaran Total Aktiva
Rasio Total Hutang terhadap Total Aset
Gambar 2.1 – Analisis Du Pont Atau apabila di rumuskan maka, analisis Du Pont tersebut dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: ROE =
Return on Total Asset (1 – Total Hutang/ Total Aset)
16
2.4 Kebangkrutan Perusahaan 2.4.1 Pengertian Kebangkrutan Kebangkrutan
(bankruptcy)
biasanya
diartikan
sebagai
kegagalan
perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba (Supardi, 2003:79). Sedangkan menurut Toto Prihadi (2008; Appendix 2) Kebangkrutan merupakan kondisi dimana perusahaan tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya dimana kondisi tersebut tidak muncul begitu saja di perusahaan akan tetapi ada indikasi awal yang dapat dikenali lebih dini. Menurut Toto Prihadi (2008; Appendix 2) seorang analis dapat mengetahui seberapa sehat sebuah perusahaan dengan beberapa indikasi yaitu: 1) Laba yang tinggi, apapun ukuran labanya 2) Likuiditas yang memadai 3) Utang yang tidak membebani 4) Arus kas yang sehat Sedangkan menurut Martin dalam Supardi (2003:79), Kebangkrutan sebagai suatu kegagalan yang terjadi pada sebuah perusahaan didefinisikan dalam beberapa pengertian yaitu: 1) Kegagalan Ekonomi (Economic Distressed) Kegagalan dalam ekonomi berarti bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak mampu menutupi biayanya sendiri, ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jauh di bawah arus kas yang diharapkan. Bahkan 17
kegagalan dapat juga berarti bahwa tingkat pendapatan atas biaya historis dari investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan yang dikeluarkan untuk sebuah investasi tersebut. 2) Kegagalan Keuangan (Financial Distressed) Pengertian financial distressed menurut Supardi (2003:79) mempunyai makna kesulitan dana baik dalam arti dana dalam pengertian kas atau dalam pengertian modal kerja. Sebagian aset liability management sangat berperan dalam pengaturan untuk menjaga agar tidak terkena financial distressed. Kebangkrutan akan cepat terjadi pada perusahaan yang berada di negara yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin cepatnya kebangkrutan perusahaan yang mungkin tadinya sudah sakit kemudian semakin sakit dan bangkrut. Perusahaan yang belum sakitpun akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan dana untuk kegiatan operasional perusahaan akibat adanya krisis ekonomi tersebut. Namun demikian, proses kebangkrutan sebuah perusahaan tentu saja tidak semata-mata disebabkan oleh faktor ekonomi saja tetapi bisa disebabkan oleh faktor lain yang sifatnya nonekonomi. Kegagalan keuangan bisa juga diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk, yaitu: 1) Insolvensi teknis Perusahaan bisa dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Walaupun total aktiva melebihi total utang atau 18
terjadi bila suatu perusahaan gagal memenuhi salah satu atau lebih kondisi dalam ketentuan hutangnya seperti rasio aktiva lancar terhadap utang lancar yang telah ditetapkan atau rasio kekayaan bersih terhadap total aktiva yang disyaratkan. Insolvensi teknis juga terjadi bila arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga atau pembayaran kembali pokok pada tanggal tertentu. 2) Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan Dalam pengertian ini kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban. 2.4.2 Faktor-faktor Penyebab Kebangkrutan Menurut Jauch dan Glueck dalam Adnan (2000:139) faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan adalah: a. Faktor Umum 1) Sektor ekonomi Faktor-faktor penyebab kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan keuangan, suku bunga dan devaluasi atau revaluasi uang dalam hubungannya dengan uang asing serta neraca pembayaran, surplus atau defisit dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri. 2) Sektor sosial Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap kebangkrutan cenderung pada perubahan gaya hidup masyarakat yang mempengaruhi permintaan terhadap produk dan jasa ataupun cara perusahaan berhubungan dengan 19
karyawan. Faktor sosial yang lain yaitu kerusuhan atau kekacauan yang terjadi di masyarakat. 3) Teknologi Penggunaan teknologi informasi juga menyebabkan biaya yang ditanggung perusahaan membengkak terutama untuk pemeliharaan dan implementasi. Pembengkakan terjadi, jika penggunaan teknologi informasi tersebut kurang terencana oleh pihak manajemen, sistemnya tidak terpadu dan para manajer pengguna kurang profesional. 4) Sektor pemerintah Pengaruh dari sektor pemerintah berasal dari kebijakan pemerintah terhadap pencabutan subsidi pada perusahaan dan industri, pengenaan tariff ekspor dan impor barang berubah, kebijakan undang-undang baru bagi perbankan atau tenaga kerja dan lain-lain.
b. Faktor Eksternal Perusahaan 1) Faktor pelanggan atau nasabah Perusahaan harus bisa mengidentifikasi sifat konsumen, karena berguna untuk menghindari kehilangan konsumen, juga untuk menciptakan peluang untuk menemukan konsumen baru dan menghindari menurunnya hasil penjualan dan mencegah konsumen berpaling ke pesaing. 2) Faktor pemasok/kreditur Kekuatannya terletak pada pemberian pinjaman dan mendapatkan 20
Jangka waktu pengembalian hutang. 3) Faktor pesaing Faktor ini merupakan hal yang harus diperhatikan karena menyangkut perbedaan pemberian pelayanan kepada pelanggan, perusahaan juga jangan melupakan pesaingnya karena jika produk pesaingnya lebih diterima oleh masyarakat perusahaan tersebut akan kehilangan pelanggan dan mengurangi pendapatan yang diterima. c.Faktor Internal Perusahaan Faktor-faktor yang menyebabkan kebangkrutan secara internal menurut Harnanto dalam Adnan (2000:140) sebagai berikut : 1) Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada pelanggan sehingga akan menyebabkan adanya penunggakan dalam pembayaran sampai akhirnya tidak dapat membayar. 2) Manajemen tidak efisien yang disebabkan karena kurang adanya kemampuan, pengalaman, ketrampilan, sikap inisiatif dari manajemen. 3) Penyalahgunaan wewenang dan kecurangan dimana sering dilakukan oleh karyawan, bahkan manajer puncak sekalipun sangat merugikan apalagi yang berhubungan dengan keuangan perusahaan.
21
2.5
Model Altman Z-Score
2.5.1 Perkembangan Model Altman Z-Score Menurut Toto Prihadi (2008), Z-Score merupakan suatu persamaan multi variable yang digunakan oleh Altman dalam rangka memprediksi tingkat kebangkrutan. Z-Score pertama kali dirumuskan oleh Altman dengan kondisi latar belakang antara lain: 1) Sampel diambil dari perusahaan manufaktur public 2) Perusahaan yang berlokasi di Amerika 3) Dirumuskan tahun 1968 4) Jumlah sampel 66 perusahaan, terdiri dari 33 perusahaan bangkrut dan 33 perusahaan tidak bangkrut Dimana jumlah rasio yang dipilih untuk dilakukan test adalah 22 buah dan dari 22 buah dipilih 5 buah rasio yang paling kuat secara bersama berkorelasi dengan kebangkrutan yang digambarkan sebagai berikut: Z-Score = 1.2 X1 + 1.4 X2 + 3.3X3 + 0.6X4 + 0.99X5
Keterangan:
X1 = Working capital/ total sales
X2 = retained earnings/ total assets
X3 = EBIT/ Total Assets
X4 = Market value of equity/ book value of debt
X5 = Sales/ total sales
22
Percobaan Altman atas model Z-Score menyimpulkan bahwa overall indeks-nya dapat digolongkan menjadi tiga bagian yang menunjukkan peramalan kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Penggolongan tersebut adalah sebagai berikut:
Z > 2,99 perusahaan tergolong sehat
1.8 < Z < 2.99, Perusahaan tergolong pada tingkat kritis atau mid point yang didalamnya berbagai faktor-faktor non keuangan ikut mempengaruhi untuk memprediksi bangkrut tidaknya suatu perusahaan
Z < 1.81, Mengindikasikan adanya kemungkinan besar perusahaan berada di ambang kebangkrutan.
Dimana pada metode Altman yang pertama ini ada beberapa hal yang perlu diketahui sebagai berikut: 1) Rumus tersebut hanya dapat digunakan untuk perusahaan publik, Karena memerlukan market value dari ekuitas 2) Perusahaan non manufaktur tidak dapat diprediksi dengan rumus tersebut 3) Pengertian working capital dalam rumus tersebut adalah selisih antara Asset/ Aktiva Lancar dengan Hutang lancar 4) Pengertian Retained earnings dalam rumus tersebut adalah penjumlahan dari laba tahun lalu dengan laba tahun berjalan Sehingga karena keterbatasan tersebut Altman merumuskan kembali rasio yang digunakan dengan cara menghilangkan market value of equity dan menggantinya dengan book value of equity sehingga dapat memprediksi kebangkrutan
23
perusahaan lain diluar perusahaan public, dimana termasuk didalamnya adalah perusahaan manufaktur. Perumusan yang berubah dan sampel yang berbeda membuat hasil akhir Z’-Score menjadi berbeda dengan Z-Score orisinal yaitu digambarkan sebagai berikut: Z’-Score = 0,717X1 + 0,847X2 + 3.107X3 + 0.420X4 + 0.998X5 Keterangan:
X1 = Working capital/ total sales
X2 = retained earnings/ total assets
X3 = EBIT/ Total Assets
X4 = Book value of equity/ book value of debt
X5 = Sales/ total sales Hasil percobaan Altman atas model Z’-Score tersebut menyimpulkan
bahwa overall indeks-nya dapat digolongkan menjadi tiga bagian yang menunjukkan peramalan kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Penggolongan tersebut adalah sebagai berikut:
Z > 2,90 perusahaan tergolong sehat
1.23 < Z < 2.90, Perusahaan tergolong pada tingkat kritis atau mid point yang didalamnya berbagai faktor-faktor non keuangan ikut mempengaruhi untuk memprediksi bangkrut tidaknya suatu perusahaan
Z < 1.23, Mengindikasikan adanya kemungkinan besar perusahaan berada di ambang kebangkrutan.
24
Pada tahun 1984 Altman melakukan penelitian kembali di sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Swiss, Brasil, Australia, Inggris, Kanada, Belanda dan Perancis dimana perusahaan yang menjadi sampel adalah perusahaan yang berada pada industri perbankan. Hasilnya berupa formula Z”Score versi 4 (empat) variabel yang dapat digambarkan sebagai berikut: Z”-Score = 6.56X1 + 3.26X2 + 6.72X3 + 1.05X4 Keterangan:
X1 = Working capital/ total sales
X2 = retained earnings/ total assets
X3 = EBIT/ Total Assets
X4 = Book value of equity/ book value of debt
Sehingga dengan percobaan Altman atas model Z”-Score yang baru tersebut, daerah ambang batas berubah menjadi 2.60 dan 1.10 dan apabila digambarkan akan menjadi sebagai berikut:
Z > 2.60 perusahaan tergolong sehat
2.60 < Z < 1.10, Perusahaan tergolong pada tingkat kritis atau mid point yang didalamnya berbagai faktor-faktor non keuangan ikut mempengaruhi untuk memprediksi bangkrut tidaknya suatu perusahaan
Z < 1.10, Mengindikasikan adanya kemungkinan besar perusahaan berada di ambang kebangkrutan. Dikarenakan perusahaan yang diteliti adalah perusahaan yang bergerak di
bidang jasa dan juga merupakan perusahaan Go Public dan termasuk kedalam 25
perusahaan non manufaktur untuk itu pada penulisan kali ini penulis akan mempergunakan: Z’-Score = 0,717X1 + 0,847X2 + 3.107X3 + 0.420X4 + 0.998X5
2.5.2 Peneliti-Peneliti menggunakan Model Altman Z-Score Beberapa peneliti pernah melakukan penelitian rasio keuangan dengan menggunakan
model
Altman
Z-Score
guna
memprediksi
kebangkrutan
perusahaan: 1. Muhammad Akhyar Adnan dan Eha Kurniasih (2000) melakukan penelitian yang berhubungan dengan prediksi kebangkrutan. Jurnal Akutansi dan Auditing Indonesia bulan Desember 2000 memuat penelitian itu yang berjudul: “Analisa Tingkat Kesehatan Perusahaan untuk memprediksi potensi kebangkrutan dengan pendekatan Altman”. Peneliti mengelompokkan sampel ke dalam dua kelompok yaitu kelompok perusahaan perbankan dan non perbankan. Penelitian ini mencoba membuktikan secara empiris model Altman Z-Score (1968). Teori Altman mengatakan
bahwa
suatu
perusahaan
bisa
memprediksi
potensi
kebangkrutan dan tingkat kesehatan keuangannya sebelum perusahaan tersebut dinyatakan bangkrut.Salah satu alat ukur yang handal untuk memprediksi kebangkrutan pada sebuah perusahaan adalah penggunaan model Altman Z-Score. Penelitian ini semakin memperkuat teori Altman. Selain itu, penelitian ini berguna untuk mengantisipasi kebangkrutan 26
tersebut dengan melakukan analisis terhadap rasio-rasio keuangan perusahaan (Adnan & Eha, 2000) ; dan 2. Santoso (2006) melakukan penelitian melakukan penelitian yang berhubungan dengan prediksi kebangkrutan yang berjudul “ Analisis kinerja Manajemen Keuangan dan Perhitungan Model Altman Z-Score di PT. “X” pada periode antara tahun 1998-2004”. Dimana penulis menggunakan metode deskriptif untuk menjelaskan pengaruh variablevariabel penelitian yang digunakan sesuai dengan teori yang mendasarinya dan metode kuantitatif untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pos-pos dalam laporan keuangan untuk menentukan nilai variable-variabel yang digunakan dalam model Altman Z-Score. Penulis akan membandingkan Perusahaan “PT. X” dengan rata-rata industri pada tahun yang sama yang berasal dari 6 (enam) perusahaan BUMN di bidang kontraktor untuk mengetahui besarnya nilai korelasi yang menunjukkan hubungan masingmasing pos dengan Z-Score yaitu pos working capital, total asets, retained earnings, EBIT, equity, debt, dan sales. Penelitian ini semakin memperkuat teori Altman. Selain itu, penelitian ini berguna untuk mengantisipasi kebangkrutan tersebut dengan melakukan analisis terhadap rasio-rasio keuangan perusahaan.
27