BAB II LANDASAN TEORI Pada bab 2 (dua) ini dipaparkan penjelasan mengenai definisi psychological well-being beserta dimensi-dimensi yang ada didalamnya, faktor yang mempengaruhi psychological well-being, definisi caregiver, jenis, karakteristik, tugas caregiver, serta kaitan antara psychological well-being dan caregiver. Berikut adalah pemaparan masing-masing sub-topik. A. Psychological well-being 1. Definisi Psychological well-being Penelitian mengenai Psychological well-being didasari pada 3 konsep yaitu: positive psychological function, happiness dan life satisfaction. Penelitian tentang psychological well-being merupakan salah satu penelitian yang telah banyak berkembang dalam beberapa tahun ini (Semotkin, Keyes, & Ryff, 2002). Penelitian-penelitian well-being yang dilakukan selama ini hampir selalu didasarkan pada dua perspektif (Ryan & Deci, 2001). Perspektif pertama disebut hedonic approach (pendekatan hedonik) sering juga disebut dengan subjective well-being yaitu tindakan evaluatif seseorang terhadap hidupnya, baik secara kognitif maupun afektif. Aspek afektif mengacu pada aspek kebahagiaan dan aspek kognitif mengacu pada aspek kepuasan hidup (Diener & Such, 2000; Keyes, dkk, 2002; Wells, 2010 dalam Ednadita, 2013). Terdapat beberapa penelitian yang dihubungkan dengan Psychological well-being, namun dikritik karena penelitian tersebut tidak sesuai dengan teori psychological well-being dan lebih mengacu pada
16
Universitas Sumatera Utara
17
subjective well-being. Salah satunya, penelitian yang dilakukan oleh Bradburn (1968) mengenai pengaruh perubahan sosial pada tingkat makro terhadap psychological well-being (Ryff, 1989; 1995). Bradburn, menggunakan konsep eudaimonia (kebahagiaan) dari aristoteles. Beliau menggunakan konsep dari yunani tersebut sebagai keseimbangan antara afek positif dan negatif. Namun, penelitian Bradburn ini mendapat beberapa kritik, yaitu : penelitiannya tidak ditujukan untuk mendefinisikan psychological well-being karena menitikberatkan pada faktor perubahan sosial. Selain itu pengertian kebahagiaan dari Bradburn, tidak mengacu pada eudomonia yang berarti perasaan yang dialami individu ketika ia mampu merealisasikan potensinya. Selain penelitian Bradburn, penelitian dari Keyes, C.M, Shmotkin, D, & Ryff, C.D pada tahun 2002 mengenai pengoptimalan well-being yang ditinjau dari dua tradisi juga mendapat kritikan, karena pengukuran kepuasan hidup tidak mendefinisikan psychological well-being. Selain itu, penelitian yang dilakukan Keyes tidak memperhatikan teori-teori yang memformulasikan kepuasan hidup (Ryff, 1989). Perspektif yang kedua yaitu eudaimonic approach (pendekatan eudaimonia). Eudaimonia yang berarti kebahagiaan, pertama kali dikenal melalui tulisan filsuf Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan tidak hanya diperoleh sebagai jalan untuk mengejar kenikmatan, terpenuhinya segala kebutuhan individu, dan menghindari rasa sakit. Melainkan, kebahagiaan adalah ketika individu mampu mengoptimalkan potensi-potensi yang ada pada dirinya dalam tindakan nyata. Eudaimonia dirangkum dalam dua hal penting; pertama, untuk mengetahui potensi diri (“to know yourself”) dan yang kedua untuk mengaktualisasikan potensimu (“to
Universitas Sumatera Utara
18
become what you are”). Hal inilah yang menjadi tugas dan tanggungjawab manusia sehingga merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang bahagia, merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil atau gagal. Perspektif eudaimonia ini selanjutnya dikenal dengan istilah psychological well-being. Psychological well-being adalah bagian dari positive mental health yang merupakan perasaan yang sehat tentang diri sendiri (Ryff & Singer, 1998 dalam Papalia, Olds Feldman, 2004). Selain itu, psychological well-being juga mengacu pada keterlibatan individu terhadap tantangan-tantangan selama hidup (Diener & Suh, 2000; Keyes, dkk, 2002; Wells, 2010). Terdapat tiga literatur untuk memahami konsep psychological well-being, yaitu ; psikologi perkembangan, khususnya “lifespan developmental psychology” yang memberikan gambaran kesejahteraan selama manusia hidup. Literatur ini meliputi teori perkembangan Erikson, teori perkembangan Buhler, dan gambaran perubahan kepribadian pada dewasa dan lansia oleh Neugaten. Kedua, psikologi klinis yang mengacu pada multiformula dari well-being, seperti teori aktualisasi diri dari Maslow, konsep fully function person dari Rogers, formulasi individu dari Jung dan konsep maturity dari Allport. Dan literatur terakhir dari mental health, meliputi teori kesehatan mental positif dari Jahoda dan konsep positive functioning dari Birren. (Ryff, 1995; Well, 2010). Teori-teori tersebut mengidentifikasikan bahwa terdapat beberapa cara pandang dalam menilai kualitas hidup manusia yaitu melalui sisi kesejahteraan, arti dan tujuan hidup, serta realisasi potensi. Akan tetapi, teori-teori ini hanya sedikit memiliki manfaat empiris karena kurang menghasilkan definisi dan pengukuran
Universitas Sumatera Utara
19
yang kredibel. Selain itu, teori-teori ini juga terlalu bervariasi dalam mengkarakteristikkan well-being. Ryff (1995) menilai teori-teori ini dapat diintegrasikan untuk mengungkapkan positive psychological function seseorang, karena banyak teoritikus yang sebenarnya membicarakan elemen yang sama dari psychological well-being. Beberapa elemen teori yang sama ini kemudian menjadi dasar formula dimensidimensi psychological well-being, antara lain penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan diri (Ryff, 1989; 1995). Berdasarkan keenam dimensi yang membentuknya, psychological well-being dapat didefinisikan sebagai kondisi atau keadaan individu ketika ia dapat menerima kekuatan serta kelemahan yang ada pada dirinya, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, dapat membuat keputusan sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup, dan terus mengeksplorasi dan bertumbuh secara personal. 2. Dimensi-dimensi Psychological well-being Menurut Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) pondasi untuk diperolehnya psychological well-being adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psychological functioning). Berikut penjelasan terkait masing-masing dimensi :
Universitas Sumatera Utara
20
a. Penerimaan Diri (Self-acceptance) Penerimaan diri dijelaskan sebagai individu yang mempertahankan sikap positif yang ada pada dirinya, termasuk menerima potensi-potensi dirinya, baik yang buruk maupun tidak buruk. Penerimaan diri disini tidak merujuk pada cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan, melainkan sadar akan keterbatasan dan kegagalan dirinya. Ryff (dalam Chang, 2006) mengatakan bahwa penerimaan diri melibatkan evaluasi positif mengenai diri sendiri dan kehidupan masa lalu, serta menerima dan mengetahui aspek diri yang baik maupun buruk. Penerimaan diri juga merupakan komponen yang utama dalam kesehatan mental, karakteristik aktualisasi diri, fungsi yang optimal, dan kedewasaan (Ryff & Singer, 2006) b. Hubungan positif dengan orang lain (Positive relations with others) Kemampuan untuk mencintai merupakan salah satu komponen utama dalam kesehatan mental dan aktualisasi diri. Dimensi ini berkaitan dengan kualitas hubungan yang dimiliki dengan sesama, menjalin hubungan yang hangat, dan menghargai orang lain (Ryff & Singer, 2006). Individu yang memiliki empati yang tinggi dan kasih sayang untuk orang lain, dapat menunjukkan cinta yang lebih besar dan memahami pentingnya memberi dan menerima dalam hubungan. Selain itu, kehangatan dalam hubungan dengan orang lain juga merupakan kriteria dari kedewasaan. c. Otonomi (Autonomy) Individu memiliki internal locus of evaluation, yang berarti tidak bergantung dengan orang lain untuk membuat persetujuan, tetapi mengevaluasi diri
Universitas Sumatera Utara
21
berdasarkan standar personal. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rogers yang berpendapat bahwa individu yang otonom memiliki pusat pengendalian internal dalam bertindak. Dengan kata lain, individu independen dan mampu menentukan, mengatur dirinya sendiri, mampu mengejar cita-citanya meskipun berbeda dengan tradisi yang ada. Individu juga mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu. Sedangkan individu yang kurang otonom akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan evaluasi dari orang lain, berpegang pada penilaian orang lain, serta bersifat konformis terhadap tekanan sosial (Ryff, 1995). d. Penguasaan lingkungan (Environmental mastery) Individu membuat, memilih, dan mempertahankan lingkungan yang menguntungkan dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka (Ryff, 1989). Individu diharapkan mampu secara aktif berkembang dan secara kreatif mengubah lingkungan melalui aktivitas mental dan fisik. Individu juga memiliki rasa kompeten dan berkuasa dalam mengatur lingkungannya. Partisipasi aktif, waspada terhadap kesempatan dan penguasaan lingkungan merupakan salah satu karakteristik penting dalam kesehatan mental, keberfungsian psikologi yang positif dan kedewasaan. e. Tujuan Hidup (Purpose in Life) Tujuan hidup merupakan komponen yang penting dalam perasaan individu secara keseluruhan terkait well-being. Individu memiliki keyakinan atau kepercayaan bahwa kehidupannya di masa lalu dan masa kini memiliki makna.
Universitas Sumatera Utara
22
Individu yang memiliki dimensi hidup yang baik menurut Ryff (1995) adalah individu yang memiliki tujuan hidup yang terarah dan jelas, merasakan makna hidup di masa lalu dan masa sekarang, serta memegang keyakinan yang menjadi tujuan dalam hidup. Sebaliknya, individu yang memiliki tujuan hidup yang rendah adalah individu yang cenderung memiliki tujuan hidup yang tidak jelas, tidak terarah, dan tidak bermakna f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth) Syarat untuk memperoleh fungsi psikologis yang optimal tidak hanya pencapaian potensi tertentu tetapi perlu juga mengembangkan potensi diri untuk terus berkembang sebagai seorang manusia. Selain itu, individu juga perlu terbuka terhadap pengalaman baru dan mengalami perubahan yang menunjukkan peningkatan diri. Dengan begitu, ia melihat dirinya sebagai individu yang terus berkembang, merealisasikan potensi-potensinya, dan memperoleh peningkatan dalam diri dan perilaku. Dengan demikian, individu yang memiliki psychological well-being adalah individu yang telah memenuhi karakteristik masing-masing dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, serta pertumbuhan pribadi (Ryff, 1995). 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being a. Usia Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ryff (1989; 1995) serta Singer dan Ryff (1996), usia dikelompokkan berdasarkan tahap perkembangan Erikson, hasil
Universitas Sumatera Utara
23
penelitian pada tiga kelompok usia yaitu: dewasa muda, dewasa madya, dan dewasa akhir menunjukkan bahwa penguasaan lingkungan dan otonomi terlihat meningkat seiring dengan bertambahnya usia khususnya dewasa muda dan dewasa madya. Perbedaan tingkat psychological well-being antara kelompok usia ini disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi terhadap pengalaman yang dialami oleh individu selama hidupnya yang kemudian mengubah aspirasi ideal dan cara individu menilai kesejahteraan (Wells, 2010; dalam Ednadita 2013) b. Jenis Kelamin Berdasarkan hasil penelitian Clark dkk (1995, dalam Shields & Price, 2005) dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi cenderung lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki, sedangkan untuk empat dimensi lainnya tidak menunjukkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. c. Tingkat Pendidikan Psychological well-being dan tingkat pendidikan memiliki hubungan yang kuat dan positif, terutama pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup (Ryff dan Singer, 2008). Selanjutnya psychological well-being juga memiliki hubungan yang positif dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan yang lebih tinggi (Bravo dkk, 2010). Hasil penelitian Ryff (1989) dan Keyes, dkk (2000) menunjukkan adanya perbedaan akses individu terhadap sumber daya, seperti air bersih, pemicu stres, dan kesempatan yang mempengaruhi kesehatan dan well-being tersebut tidak ditemukan antara tingkat pendidikan SMA, perguruan tinggi, dan pasca sarjana (Ryff, 1989).
Universitas Sumatera Utara
24
d. Status Sosial dan Ekonomi Status sosial ekonomi memiliki hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan pribadi (Ryff & Singer, 2006). Individu dengan tingkat penghasilan yang tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial yang tinggi memiliki psychological well-being yang lebih tinggi. Lingkungan sekitar, lingkungan pekerjaan, dan kesehatan memiliki kaitan dengan psychological well-being. Banyak efek negatif akibat status ekonomi yang lebih rendah, dimana individu yang miskin merasa tidak mampu untuk mendapatkan sumber daya yang bisa menyesuaikan kesenjangan yang dirasakan. Sedangkan hubungan positifnya dikarenakan ketersediaaan pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan yang menjadi faktor pendukung seseorang menghadapi tekanan, dan keberagaman dalam hidup ( Ryff & Singer, 2006) e. Pengalaman Hidup Pertumbuhan dan perkembangan psychological well-being memiliki pengaruh dengan pengalaman hidup sehari-hari dan interpretasi dari pengalaman tersebut (Ryff & Singer, 1996). Pengalaman seperti membesarkan anak, merawat orang tua, masalah kesehatan, dan lain-lain dikemudian hari mempengaruhi psychological well-being. Setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda-beda berdasarkan sifat tantangan, tugas yang ditimbulkan , maupun cara setiap individu merespon pengalaman.
Universitas Sumatera Utara
25
f. Dukungan Sosial Individu yang mendapat dukungan sosial dari orang lain memiliki nilai Psychological well-being (Wells, 2010). Hal ini dikarenakan orang yang mendapat dukungan sosial merasa dirinya dicintai, dipedulikan, dihargai, merasa bagian dari kehidupan sosial seperti keluarga atau organisasi tertentu (Feist & Feist, 2009). Selain itu , memiliki dukungan sosial dapat meningkatkan kualitas hidup individu (Wells, 2010) B. Panti Jompo 1. Definisi Panti Jompo Berdasarkan keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 4/PRS3/KPT/2007 tentang pedoman pelayanan sosial lanjut usia dalam panti departemen sosial R.I bahwa Panti Sosial Tresna Werdha atau Panti Jompo adalah panti sosial yang mempunyai tugas memberikan bimbingan dan pelayanan bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai program pelayanan lanjut usia seperti: pelayanan subsidi silang, pelayanan harian lanjut usia (day-care service), dan pelayanan perawatan rumah (home care service) dapat dilakukan tanpa meninggalkan pelayanan utamanya kepada lanjut usia terlantar. Panti sosial tresna werdha dikenal juga sebagai panti jompo maupun sasana tresna werdha. Panti dalam bahasa Jawa berarti rumah atau tempat (kediaman) dan Werdha (Jompo) juga dalam bahasa Jawa memiliki arti sudah tua sekali. Panti
Universitas Sumatera Utara
26
jompo atau panti sosial tresna werdha dapat diartikan sebagai sebuah rumah atau tempat tinggal bagi orang yang sudah tua (Najjah, 2009) 2. Jenis-Jenis Panti Jompo Berdasarkan Status Kelembagaan Menurut Murti (2013), jenis-jenis Panti Jompo berdasarkan status kelembagaan yaitu: a. Panti Jompo milik Pemerintah Panti jompo ini berada dalam naungan Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia Departemen Sosial Republik Indonesia. Biasanya Panti jompo ini menyediakan fasilitas, sandang, pangan, dan papan sesuai dengan kebutuhan kaum manula. Kebanyakan penghuni manula ini adalah yang terlantar, tidak memiliki cukup nafkah dan mandiri (Panti Sosial Tresna Werdha) b. Panti Jompo milik Swasta atau Yayasan Panti jompo ini tidak berada di dalam lingkungan Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Bersifat berdiri sendiri dan dimiliki oleh yayasan sosial yang mengorganisir panti secara langsung. Panti sosial ini memiliki standar iuran yang bersifat wajib namun sesuai dengan kemampuan keuangan manula, namun terdapat pula fasilitas yang gratis bagi manula yang terlantar. Panti jompo memiliki donator tetap dan juga donator spontanitas. Panti ini menyediakan fasilitas, sandang, pangan, dan papan sesuai dengan kebutuhan kaum manula. Kebanyakan penghuni manula disini biasanya yang memiliki keluarga namun tidak cakap untuk mengurus manula.
Universitas Sumatera Utara
27
3. Fungsi dan Tujuan Panti Jompo a. Fungsi Fungsi panti jompo adalah sebagai tempat untuk menampung manusia lanjut usia yang menyediakan fasilitas dan aktifitas khusus untuk manula yang dijaga dan dirawat oleh suster, pekerja sosial atau caregiver (Murti, 2013) b. Tujuan Tujuan utama panti jompo adalah menampung manusia lanjut usia dalam kondisi sehat yang tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga atau yang tidak memiliki keluarga namun dititipkan karena ketidakmampuan keluarga untuk merawat manula (Murti, 2013) C. Caregiver 1. Definisi Caregiver Caregiver adalah seorang individu yang memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami disabilitas/ ketidakmampuan dan memerlukan bantuan dikarenakan penyakit dan keterbatasannya (Widiastutui, 2009). adapun yang menjadi fungsi caregiver yaitu menyediakan makanan, merawat dan memberikan dukungan emosional, kasih saying, dan perhatian, serta membawa ke dokter. Menurut Bates, (2007) “A caregiver is defined as a person who cares for other adults, a spouse, parent, or child, who is diagnosed with cancer, dementia, mental illness, or chronic conditions such as chronic obstructive pulmonary disease or multiple sclerosis. Caregivers are the spouses, adult children, daughtersin-law, friends, and other relatives such as grandchildren, siblings, nieces or nephews who provide assistance to older adults living in the community”
Universitas Sumatera Utara
28
Menurut Thomas Day dalam National Care Planning Council (2006) “Caregivers provide assistance to other people who because of physical disability, to an aging parent, chronic illness or cognitive impairment are unable to perform certain activities on their own. So-called informal care can be offered by family members or friends, often in a home setting. Or paid or volunteer professional care, so-called formal care, can be obtained at home, in the community or from institutions such as nursing facilities or government institutions” Selain itu melalui (frank for hospitals dalam Lubis, 2004) adalah: “Someone who provides assistance, generally in the home environment, to an aging parent, spouse, other relative, or unrelated person, or to an ill or disabled person of any age. A caregiver can be a family member, friend, volunteer, or paid professional”.
Sehingga, berdasarkan definsi di atas dapat disimpulkan bahwa caregiver merupakan individu (meliputi: keluarga, teman, voluntir atau tenaga professional yang dibayar) yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perawatan pada seseorang yang sakit secara mental, ketidakmampuan secara fisik atau kesehatannya terganggu karena sakit atau usia tua yang diderita. 2. Karakteristik Caregiver Menurut McQuerrey (2012) karakteristik caregiver yang baik adalah : a. Empathy. Salah satu karakteristik caregiver yang baik adalah memiliki kemampuan empati kepada klien yang memerlukan pendampingan. Ketika melakukan pendampingan baik kepada anak kecil atau membantu orangtua, kemampuan “personal understanding” dan koneksi dengan klien adalah hal yang sangat penting. Caregiver yang baik mengerti bagaimana membuat klien menjadi nyaman dan merasa diperhatikan.
Universitas Sumatera Utara
29
b. Patience. Individu yang menerima pendampingan/pelayanan biasanya tergantung pada oranglain dan self sufficient, hal tersebut dapat membuat mereka frustasi dan memberontak. Ketika seorang anak yang tidak bisa mengekspresikan rasa laparnya, atau yang tidak bisa mengungkapkan rasa sakit secara verbal atau seorang lansia yang mengalami dementia. Kesabaran menjadi hal yang vital untuk caregiver. Anda harus mampu memisahkan diri dari kemarahan dan tidak terbawa situasi. c. Realistic Outlook. Pelayanan/pendampingan sering dilakukan dalam jangka waktu yang panjang untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari dari klien. Memahami keterbatasan dari klien membantu caregiver untuk menurunkan tekanan yang ada di lingkungan. Caregiver yang baik menyadari kapabilitas dan tetap terdorong untuk semangat dalam melayani dan memperhatikan klien. d. Strong Constitution. Tugas yang dilakukan oleh caregiver berhubungan dengan aktivitas instrumental seperti memandikan baik itu bayi atau lansia, membersihkan luka. Seorang caregiver yang baik tidak akan merasa malu dengan tugas yang dilakukan. e. Soothing Nature. Caregiver tahu bagaimana cara untuk menenangkan klien. Menjadi voice of encouragement adalah hal yang membuat kualitas dari caregiver jadi baik. f. Reliability. Merupakan trait yang penting bagi caregiver. Individu yang menerima pendampingan/pelayanan bergantung dan tidak bisa berpisah dari caregiver dan sering merasa dekat dengan caregivernya. Caregiver harus konsisten dalam memberikan pelayanan baik itu makanan dan pemberian obat.
Universitas Sumatera Utara
30
3. Jenis Caregiver Caregiver dibagi menjadi caregiver informal dam caregiver formal. Caregiver informal adalah seseorang individu (anggota keluarga, teman, atau tetangga) yang memberikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan caregiver formal adalah relawan atau individu yang dibayar untuk menyediakan pelayanan. Keduanya termaksud orang-orang yang menyediakan bantuan yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari dan tenaga professional yang menyediakan pelayanan terutama dalam hal kesehatan mental maupun jasmani (Kahana dkk, 1994 dan Day, 2014 dalam Akupunne, 2015) Barrow (1996 dalam Widiastuti, 2009) menyebutkan terdapat dua jenis caregiver, yaitu formal dan tidak formal. Caregiver formal adalah individu yang memberikan perawatan dengan melakukan pembayaran yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun tenaga professional lainnya. Sementara caregiver informal adalah individu yang memberikan perawatan dengan tidak melakukan pembayaran dan tidak secara tenaga professional. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah dan biasa diberikan oleh pasangan penderita, anak dari penderita atau anggota keluarga lainnya Penelitian ini berfokus pada caregiver formal, sehingga dapat disimpulkan bahwa caregiver formal adalah individu yang menerima pembayaran (baik itu tenaga professional, asisten perawat, honorer, terapis, dll) untuk memberikan
Universitas Sumatera Utara
31
perhatian, menyediakan kebutuhan fisik, sosial, psikologis, serta pengawasan kepada individu lain yang membutuhkan. 4. Tugas-tugas Caregiver Milligan (2004, dalam Widiastuti, 2009) dalam penelitiannya menarik perhatian terhadap fakta tugas caregiver. Tugas yang dilakukan caregiver tidak hanya terbatas kepada pekerjaan rumah tangga, akan tetapi dibagi ke dalam 4 kategori, sebagai berikut: a. Physical Care/ Perawatan fisik, yaitu : memberi makan, menggantikan pakaian, memotong kuku, membersihkan kamar, dan lain-lain b. Social Care/ Kepedulian sosial, antara lain: mengunjungi tempat hiburan, menjadi supir, bertindak sebagai sumber informasi dari seluruh dunia di luar perawatan di rumah. c. Emotional Care, yaitu menunjukkan kepedulian, cinta dan kasih sayang kepada pasien yang tidak selalu ditunjukkan ataupun dikatakan ditunjukkan melalui tugas-tugas lain yang dikerjakan d. Quality Care, yaitu : memantau tingkat perawatan, standar pengobatan, dan indikasi kesehatan Penelitian yang dilakukan oleh Arksey, dkk (2005) tentang tugas-tugas yang dilakukan caregiver di United Kingdom, antara lain termasuk : Bantuan dalam perawatan diri yang terdiri dari dressing, bathing, toileting. Bantuan dalam mobilitas seperti : berjalan, naik atau turun dari tempat tidur, melakukan tugas keperawatan seperti : memberikan obat dan mengganti balutan luka, memberikan
Universitas Sumatera Utara
32
dukungan emosional, menjadi pendamping, melakukan tugas-tugas rumah tangga seperti : memasak, belanja, pekerjaan kebersihan rumah, bantuan dalam masalah keuangan dan pekerjaan kantor. Menurut Nastasia (2013) tugas sebagai caregiver lansia adalah membantu para lansia dalam kehidupan sehari-hari seperti memberi makan, berpakaian, membantu mandi, perawatan pribadi atau mengatur obatobatan. Tugas lainnya yaitu membantu lansia yang cukup mandiri dalam hal pemberian pengawasan (transportasi atau keuangan) mereka. Secara umum tugas dari semua caregiver adalah memberi bantuan dalam bentuk dukungan emosi. A.
Psychological well-being caregiver dan Status Kelembagaan Panti Jompo Caregiver memiliki 2 (dua) lembaga pengelolaan di Indonesia, yaitu caregiver
yang dikelola oleh badan swasta dan caregiver yang dikelola oleh pemerintah (Murti, 2007). Status dan kondisi kerja yang ada di kedua lembaga tersebut memiliki perbedaan yang meliputi : durasi waktu kerja, jumlah lansia yang ditangani, pendapatan, status sosial ekonomi, dan fasilitas yang ada di masingmasing lembaga. Adanya perbedaan situasi dan kondisi tersebut, berdampak pada caregiver khususnya pada kesehatannya (Convinsky, Newcorner & Fox, 2003; Chen & Greenberg, 2004; Andren & Elmstahl, 2006). Memberikan perawat kepada klien lansia, dirasakan memiliki beban berat bagi para caregiver (Yikilkan & Aypank, 2014). Beban aktivitas tersebut membuat caregiver mengalami kelelahan yang mengakibatkan stres (Okoye & Asa, 2011). Padatnya aktivitas mengakibatkan caregiver mengabaikan kesehatan fisik mereka dan memiliki kesehatan yang buruk, seperti tekanan darah tinggi, migran, dan jantung koroner (Pingquart & Sorensen,
Universitas Sumatera Utara
33
2007). Kondisi tersebut dapat membawa dampak negatif bagi caregiver, salah satunya berdampak pada psychological well-being caregiver . Psychological well-being adalah hasil penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya (Ryff dalam Halim & Atmoko, 2005). Evaluasi terhadap pengalaman akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-beingnya menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidupnya yang membuat psychological well-beingnya menjadi tinggi (Ryff dan Singer dalam Halim & Atmoko, 2005). Selain itu, psychological wellbeing juga mengacu pada keterlibatan individu terhadapat tantangan-tantangan yang terjadi selama hidup ( Ryff, dalam Wells, 2010). Psychological well-being yang tinggi sangat penting untuk dimiliki caregiver, karena hal ini dapat mempengaruhi hubungan antara caregiver dan lansia, khususnya dalam pemberian pelayanan/pendampingan. Psychological well-being yang tinggi dapat dilihat melalui status sosial dan ekonomi. Menurut Ryff dan Singer (2006), status sosial ekonomi memiliki hubungan signifikan dengan pertumbuhan pribadi. Hal ini dikarenakan ketersediaan pendidikan, status, dan pendapatan yang baik menjadi salah satu faktor yang dapat membantu seseorang dalam menghadapi tekanan, tantangan, dan keberagaman dalam hidup (Ryff dan Singer, 2006). Selain itu faktor lain yang mempengaruhi psychological well-being adalah pengalaman. Pengalaman menangani lansia yang dimiliki oleh caregiver yang berada di panti jompo swasta salah satunya didapatkannya pada masa pendidikan. Adanya ilmu pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
34
yang didapat melalui pendidikan dapat membantu individu dalam menangani masalah (Fhadjrin, 2013). Pengetahuan seputar penanganan lansia yang didapat melalui pendidikan membantu caregiver panti jompo swasta dalam menangani lansia. Pada caregiver di panti jompo pemerintah, pengalaman menangani lansia dimiliki pada saat pertama kali masuk di lembaga tersebut. Hal ini dikarenakan, umumnya caregiver di panti pemerintah tidak memiliki pendidikan mengenai penanganan lansia, sehingga pengalamannya untuk menghadapi lansia belum terlalu banyak. Pendidikan juga memiliki hubungan yang kuat dan positif, terutama pada dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup (Ryff & Singer, 2008). Hasil penelitian Marcia & Schulz (2000) membuktikan bahwa pengalaman yang ditemui sehari-hari dan interpretasi terhadap pengalaman tersebut merupakan pengaruh utama dalam pertumbuhan dan perkembangan psychological well-being caregiver. Pengalaman hidup sehari-hari memiliki korelasi yang positif dengan psychological well-being, terutama pada dimensi tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, dan pertumbuhan diri (Ryff & Singer, 2008). Pengalaman sehari-hari (meliputi tantangan dan tugas ) bersama lansia membuat caregiver memahami apa yang dibutuhkan dan yang tidak disukai oleh para lansia, dikarenakan intensitas interaksi antara caregiver dan lansia yang cukup padat. Pendapat tersebut ditambahkan juga oleh National Alliance for Caregiving (2009), yang menyatakan bahwa pengalaman sehari-hari yang dialami caregiver memiliki hubungan yang positif dengan psychological well-being terutama pada dimensi tujuan hidup dan hubungan positif dengan orang lain
Universitas Sumatera Utara
35
Berdasarkan
hal
diatas,
memungkinkan
adanya
perbedaan
tingkat
psychological well-being antara caregiver yang berada di panti jompo swasta dan caregiver di panti jompo pemerintah. F.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesa penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: 1. Hipotesis Penelitian 1 :Terdapat perbedaan psychological well-being caregiver formal berdasarkan status kelembagaan 2. Hipotesis Penelitian 2 : Terdapat perbedaan dimensi penerimaan diri caregiver formal berdasarkan status kelembagaan 3. Hipotesis Penelitian 3 : Terdapat perbedaan dimensi hubungan positif pribadi caregiver formal berdasarkan status kelembagaan 4. Hipotesis Penelitian 4 : Terdapat perbedaan dimensi tujuan hidup caregiver formal berdasarkan status kelembagaan 5. Hipotesis Penelitian 5 : Terdapat perbedaan dimensi pertumbuhan diri caregiver formal berdasarkan status kelembagaan 6. Hipotesis Penelitian 6 : Terdapat perbedaan dimensi penguasaan lingkungan caregiver formal berdasarkan status kelembagaan 7. Hipotesis Penelitian 7 : Terdapat perbedaan dimensi otonomi caregiver formal berdasarkan status kelembagaan
Universitas Sumatera Utara