BAB II LANDASAN TEORI
A. Kecemasan Menghadapi Assessment Centre 1. Pengertian Kecemasan Beberapa
pengertian
mengenai
kecemasan
ini
telah
banyak
dikemukakan oleh para ahli. Antara lain dikemukakan oleh Atwater (1983) mendefinisikan kecemasan merupakan perasaan tidak nyaman dan ancaman bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Sedangkan Taylor (1995) mengemukakan bahwa, kecemasan adalah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan yang merupakan reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa tidak aman. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan sebelumnya, kecemasan menurut Hilgard (1996) adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa takut yang terkadang dialami oleh individu dalam tingkat yang berbeda-beda. Selanjutnya, Nevid (2005) menjelaskan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif (gelisah atau cemas) bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Jika seseorang mengalami perasaan gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang tersebut mengalami kecemasan, yaitu ketakutan yang
31
Universitas Sumatera Utara
32
tidak menyenangkan, atau suatu pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi (Haber & Runyon 1984). Pada dasarnya, kecemasan merupakan hal wajar yang pernah dialami oleh setiap manusia. Kecemasan sudah dianggap sebagai bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Seperti yang diungkapkan oleh Wiramihardja (2005) bahwa kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya. Kecemasan juga merupakan respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup (Kaplan, Sadock, & Grebb 1997; Fauziah & Widuri, 2007). Kecemasan dianggap abnormal jika kecemasan itu terjadi dalam situasi yang dapat diatasi dengan sedikit kesulitan oleh kebanyakan orang. Artinya, jika kebanyakan orang lain dapat mengatasi suatu kesulitan yang sama dengan lebih mudah, sedangkan seseorang merasakan kesulitan itu sebagai masalah yang sangat besar yang dirasa membuat dirinya tidak mampu untuk mengatasinya (Zulkarnain & Novliadi, 2009). Individu mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang. Kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan yang akan terjadi. Rochman (2010) menjelaskan kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu
Universitas Sumatera Utara
33
masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis. Berdasarkan beberapa pendapat yang disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu perasaan ketakutan atau kehawatiran yang bersifat subyektif dari seseorang akibat situasi yang dirasakan mengancam, karena ketidakpastian dimasa mendatang serta akan terjadi sesuatu yang buruk yang dapat menimpa dirinya. Kecemasan sendiri merupakan hal yang normal, akibat dari perubahan, perkembangan, pengalaman baru serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. Kecemasan dianggap abnormal jika kecemasan itu terjadi dalam situasi yang dapat diatasi dengan sedikit kesulitan oleh kebanyakan orang.
2. Konsepsi Kecemasan Bentuk kecemasan sebagai suatu respon dapat dibagi menjadi 2 bentuk yaitu kecemasan sebagai state anxiety dan trait anxiety (Spielberger, 1983; Zulkarnain & Novliady, 2009). State anxiety adalah reaksi emosi sementara yang timbul pada situasi dan waktu tertentu, yang dirasakan sebagai suatu ancaman. Keadaan ini ditentukan oleh perasaan ketegangan yang subjektif. State anxiety ini berubah-ubah intensitasnya dan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Menurut Haris dan Haris (1984) kecemasan sesaat dalam situasi dan waktu tertentu terbagi lagi ke dalam dua dimensi yaitu somatic anxiety dan cognitive anxiety.
Universitas Sumatera Utara
34
Selanjutnya, Jarvis (2006) ; Videman (2007) mengungkapkan, ketika seseorang merasa cemas, maka akan mengalami perubahan fisiologis berhubungan dengan stimulasi yang tinggi, termasuk peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, sakit perut, bernafas dengan cepat dan muka memerah. Perubahan fisiologis tersebut berhubungan dengan somatic anxiety. Ketika seseorang mengalami somatic anxiety, maka ia juga dapat mengalami cognitive anxiety. Cognitive anxiety berhubungan dengan pikiran-pikiran yang menemanisomaticanxiety. Pemikiran tersebut meliputi kekuatiran, meragukan diri sendiri dan gambaran akan kekalahan dan dipermalukan (Videman, 2007). Sedangkan trait anxiety adalah ciri atau karakteristik seseorang yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang untuk menginterpretasikan suatu keadaan sebagai ancaman. Semakin kuat trait anxiety, semakin mungkin seseorang akan mengalami kenaikan yang lebih tinggi pada state anxiety dalam situasi yang mengancam (Videman, 2007). Dalam hal ini, seseorang yang cemas karena faktor state anxiety dapat dikatakan berhubungan dengan kepribadiannya yang cemas. Begitu juga dengan seseorang yang cemas karena faktor trait anxiety akan memiliki kecemasan yang berhubungan dengan kepribadiannya. Setiadarma (2000) mengatakan bahwa kecemasan bawaan adalah faktor kepribadian yang mempengaruhi seseorang untuk mempersepsi sesuatu keadaan sebagai situasi yang mengandung ancaman atau situasi yang mengancam. Kecemasan pada taraf tertentu dapat mendorong meningkatnya performa, yang disebut sebagai facilitating anxiety, yaitu seseorang yang
Universitas Sumatera Utara
35
cemas mendapat hasil ujian yang buruk membuat ia belajar dan mempersiapkan diri menghadapi ujian. Dalam hal ini kecemasan yang dimiliki memberikan efek positif yaitu menjadi pendorong untuk belajar dengan rajin. Sedangkan bila kecemasan sangat besar, justru akan mengganggu, dalam hal ini disebut debilitating anxiety (Fauziah & Widury, 2006). Pada debilitating anxiety ini terjadi dalam bentuk tidak dapat tidur, gelisah, sering pergi ke toilet pada saat menjelang dilaksanakan ujian atau ketika sedang mengerjakan ujian.
3. Dimensi Kecemasan Haber dan Runyon (1984) mengungkapkan jika individu mengalami perasaan gelisah, gugup, atau tegang dalam menghadapi suatu situasi yang tidak pasti, berarti orang tersebut tengah mengalami kecemasan, yaitu perasaan yang tidak menyenangkan dan merupakan pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Haber dan Runyon (1984) menjelaskan terdapat 4 dimensi kecemasan yaitu: 1. Dimensi Kognitif (dalam pikiran seseorang) Dimensi kognitif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam pikiran seseorang sehingga ia mengalami perasaan risau dan khawatir. Kekhawatiran ini dapat terjadi mulai dari tingkat khawatir yang ringan lalu panik, cemas, dan merasa akan terjadi malapetaka, kiamat, serta kematian. Saat individu mengalami kondisi ini ia tidak dapat berkonsentrasi, tidak dapat mengambil keputusan, dan mengalami kesulitan untuk tidur.
Universitas Sumatera Utara
36
Termasuk dimensi kognitif antara lain menjadi sulit tidur di malam hari, mudah bingung, dan lupa. 2. Dimensi Motorik (dalam tindakan seseorang) Dimensi motorik yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam bentuk tingkah laku seperti meremas jari, jari-jari & tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat, menggeliat, menggigit bibir, menjentikkan kuku, gugup, dan mengambangkan Tics. Biasanya orang yang cemas menunjukkan pergerakan secara acak. 3. Dimensi Somatis (dalam reaksi fisik/biologis) Dimensi somatis yaitu perasaan yang tidak menyenangkan yang muncul dalam reaksi fisik biologis seperti mulut terasa kering, kesulitan bernafas, jantung berdebar, tangan dan kaki dingin, diare, pusing seperti hendak pingsan, banyak berkeringat, tekanan darah naik, otot tegang terutama kepala, leher, bahu, dan dada, serta sulit mencerna makanan. 4. Dimensi Afektif (dalam emosi seseorang) Dimensi afektif yaitu perasaan tidak menyenangkan yang muncul dalam bentuk emosi, perasaan tegang karena luapan emosi yang berlebihan seperti dihadapkan pada suatu teror. Luapan emosi ini biasanya berupa kegelisahan atau kekhawatiran bahwa ia dekat dengan bahaya padahal sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Termasuk dimensi afektif antara lain yaitu merasa tidak pasti, menjadi tidak enak, gelisah, dan menjadi gugup (nervous). 4. Proses Terjadinya Kecemasan
Universitas Sumatera Utara
37
Ada limaproses terjadinya kecemasan pada individu (Spielberger, 1972) yaitu: a). Evaluated Situation, yaitu adanya situasi yang mengancam secara kognitif sehingga ancaman tersebut dapat menimbulkan kecemasan. b). Perception of Situation, yaitu situasi yang mengancam diberi penilaian oleh individu, dan biasanya penilaian ini dipengaruhi oleh sikap, kemampuan dan pengalaman individu. c). Anxiety State of Reaction, yaitu individu menganggap ada situasi yang berbahaya, maka reaksi kecemasannya akan timbul. Kompleksitas respon dikenal sebagai reaksi emosional sesaat yang melibatkan respon fisiologis seperti denyut jantung dan tekanan darah. d). Cognitive Reappraisal Follows, yaitu individu kemudian menilai kembali situasi yang mengancam tersebut, untuk itu individu menggunakan pertahanan diri (defence mechanism) atau dengan cara meningkatkan aktifitas kognisi atau motoriknya. e). Coping, yaitu individu menggunakan jalan keluar dengan dengan menggunakan defence mechanism (pertahanan diri) seperti proyeksi atau rasionalisasi.
5. Respons Terhadap Kecemasan Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon terhadap kecemasan ada 4 aspek yaitu: a. Respon Fisiologis
Universitas Sumatera Utara
38
1) Kardiovaskuler, meliputi: palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah meningkat, rasa mau pingsan, pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun. 2) Pernafasan, meliputi: nafas sangat pendek, nafas sangat cepat, tekanan
pada
dada,
napas
dangkal,
pembengkakan
pada
tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-engah. 3) Neuromuskuler, meliputi: refleks meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip,
insomnia,
tremor
frigiditas,
wajah
tegang,
kelemahan umum kaki goyah, gerakan yang janggal. 4) Gastrointestinal, meliputi: kehilangan nafsu makan, menolak makanan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, rasa terbakar pada jantung, diare. 5) Traktus urinarius, meliputi: tidak dapat menahan kencing, sering berkemih. 6) Kulit, meliputi: wajah kemerahan sampai telapak tangan, gatal, rasa panas, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh. b. Respon Perilaku Respon perilaku yang sering terjadi yaitu: gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, kurang kordinasi, cenderung mendapat cidera, menarik dari masalah, menghindar, hiperventilasi.
c. Respon Kognitif
Universitas Sumatera Utara
39
Perhatian
terganggu,
konsentrasi
buruk,
pelupa,
salah
dalam
memberikan penilaian, preokupsi, hambatan berfikir bidang persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran diri meningkat, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambar visual, takut pada cedera dan kematian. d. Respon Afektif Mudah tersinggung, tidak sabar, gelisah, tegang, nervous, ketakutan, alarm, teror, gugup, gelisah.
6. Tingkatan Kecemasan Selanjutnya Suliswati (2005) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan yaitu : a. Kecemasan Ringan Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada. Individu terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. 1) Respon Fisiologis Sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar.
2) Respon Kognitif
Universitas Sumatera Utara
40
Lapang persegi meluas, mampu menerima rangsangan kompleks, konsentrasi pada masalah dan menyelesaikan masalah secara efektif. 3) Respon perilaku Tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan dan suara kadang-kadang meninggi. b. Kecemasan Sedang Pada tingkat ini persepsi terhadap lingkungan menurun, individu lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan mengesampingkan hal lain. 1) Respon Fisiologis Sering nafas pendek, nadi ekstra sistolik dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare atau konstipasi, gelisah. 2) Respon Kognitif Lapang persepsi menyempit, rangsang luar tidak mampu diterima, dan berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya. 3) Respon Perilaku Gerakan tersentak-sentak (meremas tangan), berbicara banyak dan lebih cepat, dan perasaan tidak nyaman. c. Kecemasan Berat Pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan banyak pengarahan/tuntunan.
Universitas Sumatera Utara
41
1) Respon Fisiologis Sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, penglihatan kabur. 2) Respon Kognitif Lapang
persepsi
sangat
menyempit
dan
tidak
mampu
menyelesaikan masalah. 3) Respon Prilaku Perasaan ancaman meningkat, verbalisasi cepat dan blocking. d. Panik Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan. 1) Respon Fisiologis Nafas pendek, rasa tercekik, sakit dada, pucat, hipotensi, pucat sakit dada dan rendahnya koordanasi motorik 2) Respon Kognitif Lapang persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi, tidak dapat berfikir logis, dan ketidakmampuan mengalami distorsi. 3) Respon Perilaku Agitasi,
mengamuk
dan
blocking,
presepsi
kacau,
marah,
ketakutan,
kecemasan
yang
berteriak-teriak, timbul
dapat
diidentifikasi melalui respon yang dapat berupa respon fisik, emosional dan kognitif atau intelektual.
Universitas Sumatera Utara
42
7. Pengertian Assessment Centre Saat ini metode assessment centre marak dilakukan dalam organisasi untuk menjawab kebutuhan organisasi melaksanakan proses evaluasi guna keperluan rekrutmen, seleksi, pengembangan, promosi dan mempersiapkan karyawan dalam mengembangkan karirnya di perusahaan. Heneman (2000) mengartikan assessment centre sebagai sekumpulan prediksi yang digunakan untuk meramalkan keberhasilan karyawan terutama yang ditunjuk untuk mereka yang akan duduk dalam jabatan-jabatan tinggi/strategis. Shermon (2004) menjelaskan bahwa assessment centre adalah metode untuk mengukur kompetensi dalam menerapkan rencana pekerjaannya. Proses seleksi telah berevolusi dengan mengkombinasikan banyak perangkat seleksi lain seperti wawancara, prosedur pengujian yang bervariasi dan latihan-latihan yang dikembangkan untuk situasi tertentu yang mensimulasikan aspek-aspek tertentu dari pekerjaan (Middlemist, Hitt & Greer, 1983; Siregar, 2004). Proses penilaian yang dikombinasikan ini disebut sebagai “assessment centre” dikatakan sebagai centre/pusat karena prosedur penilaian ini telah sering dilakukan dengan periode satu hari hingga satu minggu pada lokasi-lokasi yang jauh dari tempat kerja atau assessment centre merupakan suatu proses dimana pesertanya berpatisipasi dalam latihan keahlian dan mempergunakan keahlian mereka untuk melaksanakan aktivitas tertentu yang dinilai.
Universitas Sumatera Utara
43
Sejalan dengan itu, menurut Prihadi (2004) istilah assesment centre, digunakan untuk menyebut sebuah proses, prosedur atau metode pendekatan untuk menilai dan mengukur kompetensi orang. Secara praktis, assesment centre dapat dipahami sebagai proses penilaian (evaluation) atau rating yang canggih dan didesain secara khusus untuk meminimalkan kemungkinan timbulnya bias, sehingga peserta dalam proses ini mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengungkapkan potensi dan kompetensinya. Thornton dan Rupp (2006) mengartikan assessment centre merupakan suatu prosedur yang digunakan oleh manajemen sumber daya manusia untuk mengevaluasi atribut perilaku atau kemampuan yang relevan terkait dengan efektivitas organisasi. Selanjutnya Thornton dan Rupp (2006) mengungkapkan bahwa assessment centre memiliki tingkat akurasi keberhasilan yang tinggi dalam meramalkan karyawan di masa depan. Dalam prosesassessment centre yang diukur adalah respon-respon behavioral dari para peserta, sehingga peserta diminta untuk menampilkanperilakuyang kompleksdalam beberapa skenario situasi penting yang menyerupai situasi organisasi (Thorton & Rupp, 2006).Untuk dinyatakan berhasil, peserta harusmenampilkan beberapaperilaku yang dimunculkan secara konsisten sesuai dengan perilaku pada pekerjaan dari berbagai simulasi yang diberikan. Selanjutnya dalam proses assessment centre terdapat integration of observation, yaitu bagaimana para assessor mengintegrasikan potongan-potongan informasi penilaian yang dimiliki dari setiap assessor. Para assessor mengintegrasikan pengamatan mereka dan kemudian mengintegrasikan evaluasi dimensi untuk menentukan rating
Universitas Sumatera Utara
44
keseluruhan, kemudian mereka mengamil keputusan. Metode assessment centre menggunakan proses integrasi dalam menentukan keputusan, merupakan proses menjadi bagian dalam assessment centre dan telah dibuktikan keunggulannya dalam beberapa penelitian. Fokus dari assessment centre adalah bukti perilaku aktual yang ditunjukkan peserta asesmen yang dapat diamati dan dievaluasi oleh asesor terlatih, berdasarkan multi-kriteria dalam beberapa simulasi langsung terkait situasi kerja sesungguhnya (Thornton & Rupp, 2006). Berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan di atas, maka disimpulkan bahwa assessment centre merupakan metode yang digunakan oleh manajemen sumber daya manusia untuk melakukan evaluasi terhadap kompetensi individu berdasarkan berbagai kriteria yang telah ditentukan sesuai dengan tujuan organisasi, dengan menggunakan beragam simulasi guna menampilkan perilaku yang dapat diamati oleh assessor/penilai dan bertujuan untuk
meramalkan
keberhasilan
pegawai
dalam
jabatan-jabatan
tinggi/strategis. Metode assessment centre sendiri memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam meramalkan keberhasilan kinerja karyawan dimasa yang akan datang.
8. Promosi Jabatan
Universitas Sumatera Utara
45
Menurut Manullang (2001) promosi berarti penaikan jabatan yakni menerima kekuasaan dan tanggungjawab lebih besar dari kekuasaan dan tanggung jawab sebelumnya. Pemberian promosi pada seorang karyawan berarti bahwa karyawan tersebut naik ke posisi yang lebih tinggi dalam struktur organisasi suatu perusahaan. Promosi memberikan peranan penting bagi setiap karyawan, bahkan menjadi idaman yang selalu dinanti-nantikan oleh karyawan. Manullang (2001) juga menambahkan bahwa dengan promosi berarti adanya kepercayaan dan pengakuan mengenai kemampuan serta kecakapan bersangkutan untuk menjabat suatu jabatan yang lebih tinggi. Dengan demikian promosi akan memberikan status sosial, wewenang, dan tanggungjawab serta penghasilan yang semakin besar bagi karyawan tersebut. Promosi tidak selalu diikuti oleh kenaikan gaji, gaji bisa tetap, tetapi pada umumnya bertambah besarnya kekuasaan dan tanggungjawab seseorang bertambah juga balas jasa dalam bentuk uang yang diterimanya (Arun Manoppa & Mirzas Saiyadim, 1979).
9. Kecemasan MenghadapiAssessment Centre Kecemasan erat kaitannya dengan emosi manusia yang ditandai adanya beberapa gejala seperti kekhawatiran, kegelisahan, ataupun ketidak tenteraman karena adanya ketidakpastian. (Libert dan Morris 1967) mengungkapkan, seseorang yang akan mengikuti ujian/test dapat mengalami suatu kecemasan, atau biasa disebut dengan kecemasan terhadap test (Liebert & Morris 1967). Kecemasan bukan saja bergantung pada “variabel manusianya” tetapi juga
Universitas Sumatera Utara
46
rangsang yang membangkitkan kecemasan (Endler & Hunt, 1969; Zulkarnain & Novliadi, 2009). Dalam hal ini salah satu rangsang yang membangkitkan kecemasan adalah situasi saat ujian, karena menurut Djiwandono (2002), timbulnya kecemasan yang paling besar adalah pada saat seseorang menghadapi test atau ujian. Dalam organisasi, salah satu metode evaluasi kinerja karyawan adalah melalui assessment centre. Prihadi (2004) mengemukakan bahwa assessment centre digunakan untuk menilai dan mengukur kompetensi seseorang melalui beberapa proses yang termasuk di dalamnya berupa test. Sejalan dengan hal tersebut, Ormrod (2006) mengemukakan bahwa kecemasan terhadap test adalah perasaan cemas yang berlebihan mengenai sebuah test atau penilaian secara menyeluruh. Perasaan cemas yang mengganggu seseorang ketika ia menghadapi ujian tersebut, karena adanya kekhawatiran, ketidakpastian terhadap performa yang ditampilkannya apabila tidak diterima dengan baik hasilnya. Sena, Lowe, dan Lee (2007) menjelaskan bahwa kecemasan test didefinisikan sebagai respon fisiologis, kognitif, dan tingkah laku individu yang mendorong perasaan negatif dalam situasi yang dinilai. Berdasarkan
beberapa
pendapat
yang
dikemukakan
tersebut,
disimpulkan bahwa kecemasan menghadapi assessment centre merupakan suatu perasaan kekhawatiran, kegelisahan dan ketidaktenteraman yang dirasakan individu dalam menghadapi ujian/test atau penilaian menyeluruh
Universitas Sumatera Utara
47
berupa proses assessment centre dalam menilai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan individu yang dianggap penting bagi keberhasilan kinerja.
10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Menurut Nevid, Rathus dan Greene (2005), kecemasan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: a. Faktor Sosial Lingkungan Meliputi pemaparan terhadap peristiwa yang mengancam atau traumatis, mengamati respon takut pada orang lain, dan kurangnya dukungan sosial. b. Faktor Biologis Meliputi predisposisi genetis, ireguaritas dalam fungsi neurotransmiter, dan abnormalitas dalam jalur otak yang memberi sinyal bahaya atau yang menghambat tingkah laku repetitif. c. Faktor Behavioral Meliputi pemasangan stimuli aversif dan stimuli yang sebelumnya netral, kelegaan dari kecemasan karena melakukan ritual kompulsif atau menghindari
stimuli
fobik,
dan
kurangnya
kesempatan
untuk
pemunahan karena penghindaran terhadap objek atau situasi yang ditakuti. d. Faktor Kognitif dan Emosional Meliputi konflik psikologis yang tidak terselesaikan (Freudian atau teori psikodinamika), faktor-faktor kognitif seperti prediksi berlebihan
Universitas Sumatera Utara
48
tentang ketakutan, keyakinan-keyakinan yang self defeating atau irasional, sensivitas berlebih terhadap ancaman, sensivitas kecemasan, salah atribusi dari sinyal-sinyal tubuh, dan self efficacy yang rendah. Menurut Suliswati, (2005) ada 2 faktor yang mempengaruhi kecemasan yaitu : a. Faktor predisposisi yang meliputi : 1) Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau situasional. 2) Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu. 3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan. 4) Frustasi akanmenimbulkan ketidakberdayaan untuk mengambil keputusan yang berdampak terhadap ego. 5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan ancaman integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri individu. 6) Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani kecemasan akan mempengaruhi individu dalam berespons terhadap
Universitas Sumatera Utara
49
konflik yang dialami karena mekanisme koping individu banyak dipelajari dalam keluarga. 7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi respon individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi kecemasannya. 8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan yang mengandung benzodiazepin, karena benzodiapine dapat menekan neurotransmitter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan. b. Faktor presipitasi meliputi: 1) Ancaman terhadap integritas fisik, ketegangan yang mengancam integritas fisik meliputi : a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologi system imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal. b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal. 2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal. a) Sumber internal, meliputi kesulitan dalam berhubungan interpersonal di rumah dan di tempat kerja, penyesuaian
Universitas Sumatera Utara
50
terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam harga diri. b) Sumber eksternal, meliputi kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, sosial budaya. Dalam penelitian ini, variabel kecemasan yang digunakan berdasarkan teori dari Haber dan Runyon (1984), dimana menjelaskan terdapat 4 dimensi kecemasan yaitu dimensi kognitif, motorik somatif dan afektif. Selanjutnya respon-respon kecemasan yang muncul pada individu disusun berdasarkan teori Stuart dan Sundeen (1998). Terdapat 4 aspek respon kecemasan yang dijabarkan oleh Stuart dan Sundeen (1998) yaitu respon fisiologis, respon perilaku, respon kognitif dan respon afektif.
B. Kepribadian 1. Pengertian Kepribadian Dalam studi kepustakaan yang dilakukan oleh Allport (Hall & Lindzey, 2005) menemukan bahwa hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapatnya bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri.
Universitas Sumatera Utara
51
Selanjutnya, penyesuaian diri diartikan sebagai proses yang mencakup respons mental dan tingkah laku, dimana individu berusaha untuk dapat berhasil
mengatasi
kebutuhan-kebutuhan
dalam
dirinya,
ketegangan-
ketegangan, konflik-konflik, dan frustrasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana individu tinggal (Scheneider, 1964; Desmita, 2009). Sejalan dengan itu Pervin, Cervone dan John (2005) mengemukakan bahwa kepribadian seseorang sangat menentukan bagaimana seseorang itu bertingkah laku dalam kehidupan sehari-harinya. Kepribadian memang merupakan hal yang unik dan merupakan suatu pola yang relatif stabil dari perilaku, pikiran dan emosi yang diperlihatkan oleh seseorang (Baron, 2000). Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah karakteristik didalam diri individu, relatif menetap, bertahan, dengan caranya yang unik yang menentukan perbedaan tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu dalam menyesuaikan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya.
2.
Konsepsi Kepribadian Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan yang dikemukakan oleh
para ahli untuk memahami kepribadian. Pemilahan klasik kemungkinan penyebabnya memisahkan antara nature (bawaan) dan nurture (yang didapat dari asuhan/belajar). Pada satu sisi, bisa jadi seperti saat ini karena bawaan
Universitas Sumatera Utara
52
biologis, artinya: karena fitur biologis yang diwarisi. Pada sisi lain, kepribadian bisa jadi merefleksikan pengasuhan; yaitu pengalaman ketika dibesarkan sebagai anak (Pervin, Cervone, & Jhon, 2005) Selanjutnya, Pervin, Cervone, & Jhon (2005) menjelaskan konsepsi mengenai kepribadian, yaitu: a. Determinan Genetik Faktor genetik memainkan peran utama dalam menentukan kepribadian dan perbedaan individual. Salah satu caranya adalah mengidentifikasikan kualitas kepribadian tertentu yang diperkirakan memiliki basis biologis. Kualitas seperti ini seringkali dianggap sebagai aspek dari temperamen, istilah yang menunjuk pada kecenderungan emosional dari perilaku berbasis biologis yang tampak jelas pada masa kanak-kanak awal. Karakteristik temperamen yang dipelajari dalam cara ini perilaku yang menunjukkan ketakutan dan perasaan terganggu sebagai reaksi terhadap situasi baru, seperti ketika bertemu dengan orang asing. b. Determinan Lingkungan. Faktor lingkungan berperan penting dalam perkembangan kepribadian. Faktor lingkungan yang terbukti penting dalam studi perkembangan kepribadian diantaranya; kultur, kelas sosial, keluarga dan teman sebaya. 1). Kultur Setiap kultur memiliki pola pranata perilaku, ritual dan keyakinan sendiri-sendiri.
Berbagai
praktikkultur
ini
yang
merefleksikan
keyakinan religius dan filosofis, memberikan jawaban tentang pertanyaan penting berkaitan dengan karakteristik alamiah diri, peran
Universitas Sumatera Utara
53
seseorang dalam komunitasnya, dan nilai serta prinsip terpenting dalam hidup. Sejalan dengan itu, Mastuti (2005) mengungkapkan diantara faktor lingkungan mempunyai pengaruh signifikan terhadap kepribadian adalah pengalaman individu sebagai hasil dari budaya tertentu. Masing-masing budaya mempunyai aturan dan pola sangsi sendiri dari perilaku yang dipelajari, ritual, dan kepercayaan. Hal ini berarti masing-masing anggota dari suatu budaya akan mempunyai karakteristik kepribadian tertentu yang umum (Mastuti, 2005). 2). Faktor kelas sosial Faktor kelas sosial membantu menentukan status individu, peran yang mereka mainkan, tugas yang diembannya, dan hak istimewa yang dimiliki. Faktor ini mempengaruhi bagaimana individu melihat dirinya dan bagaimana mereka mempersepsi anggota dari kelas sosial lain. 3). Faktor Keluarga Faktor lingkungan yang paling penting adalah pengaruh keluarga. Tiappola perilaku orang tua mempengaruhiperkembangan kepribadian anak. Orang tua mempengaruhi perilaku anak melalui 3 cara utama : a). Melalui perilaku mereka sendiri; mereka menghadirkan situasi yang menghasilkan perilaku tertentu pada diri anak (misalnya, frustrasi yang mengarah pada agresi). b). Mereka berperan sebagai model peran untuk identifikasi. c). Mereka memilih perilaku yang disetujui. 4). Faktor teman sebaya
Universitas Sumatera Utara
54
Teman
sebaya
perkembangan
juga
menjadi
kepribadian.
hal
yang
Dalam seting
berpengaruh sosial
luar
dalam rumah,
pengalaman dengan teman sebaya mungkin berpengaruh lebih besar pada
gaya
kepribadian.
Kelompok
teman
sebaya
berfungsi
mensosialisasikan aturan dan perilaku yang diterima dan memberikan pengalaman
yang
akan
berpengaruh
jangka
panjang
pada
perkembangan kepribadian individu. Pertemanan memiliki efek tertentu pada perkembangan kepribadian.
3.
Pendekatan Trait dalam Kepribadian Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk
memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori trait. Teori trait merupakan sebuah model untuk mengidentifikasi trait-trait dasar yang diperlukan untuk menggambarkan suatu kepribadian. Trait didefinisikan
sebagai
suatu
dimensi
yang
menetapdari
karakteristik
kepribadian, hal tersebut yang membedakan individu dengan individu yang lain (Mastuti, 2005). Pervin, Cervone dan John (2005) mengungkapkan bahwa salah satu unit analisis yang kerap digunakan untuk mendeskripsikan struktur kepribadian adalah sifat atau ciri kepribadian (trait personality). Selanjutnya Pervin, Cervone dan John (2005) menambahkan bahwa susunan trait merujuk pada konsistensi respons individual kepada berbagai situasi. Costa dan McCrae (1998) mengembangkan teori kepribadian big five. Teori ini didasarkan pada model lima faktor kepribadian sebagai representasi
Universitas Sumatera Utara
55
struktur trait yang merupakan dimensi utama dari kepribadian. Trait kepribadian
merupakan
dimensi
dari
kepribadian
yang
merupakan
kecenderungan emosional, kognitif, dantingkah laku, yang bersifat menetap dan ditampilkan individu sebagai respons terhadap berbagai situasi lingkungan (Westen, 1999). Taksonomi kepribadian lima besar merupakan asesmen yang komprehensif dari kepribadian dimana individu mempersepsikan bagaimana dirinya sendiri serta bagaimana hubungan dirinya dengan orang lain. Penilaian dalam kepribadian limabesar tidak menghasilkan satu trait tunggal yang dominan, tetapi menunjukkan seberapa kuat setiap trait dalam diri seseorang. Kelima trait kepribadian tersebut adalah: neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, serta conscientiousness (Pervin, Cervone, John, 2005). Selanjutnya Pervin, Cerveron dan John (2005) mengilustrasikan arti dari faktor-faktor tersebut. Dalam tabel berikut dipaparkan mengenai daftar sifat seseorang yang merupakan skor tinggi secara individual dan rendah pada faktor lain. Kepekaan emosi yang merupakan neuroticism dengan sisi lain dari perasaan negatif termasuk kecemasan, sedih, mudah tersinggung, dan gugup. Faktor Keterbukaan atas pengalaman digambarkan dengan luasnya, kedalaman dan kompleksitas dari mental individu dalam pengalaman hidup. Khusus faktor extraversion dan faktor agreeableness kedua sifat tersebut lebih bersifat interpersonal, yang berarti perbuatan seseorang dalam kaitannya dengan orang lain. Faktor conscientiousness diterangkan awal mula adalah berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
56
tugas dan perilaku sebagai tujuan akhir dan pengendalian diri sebagai faktor sosial. Tabel 2.1. Faktor Kepribadian Big Five dan Skala Ilustratif Karakteristis Skor Tinggi
Skala Sifat
Karakteristik Skor Rendah
Neuroticism Cemas, takut, emosional, Mengukur emosi yang tidak tidak aman, tidak stabil. Identifikasi rata-rata sebanding, murung individu penyebab stress psikologis, ide-ide yang tidak realistik, dorongan hati dan mengatasi respon-respon penyeusian yang buruk. Extraversion Sosial, aktif, banyak bicara, Mengukur kuantitas dan orientasi personal, optimis, insentitas dari interaksi senang bercinta, interpersonal, level aktifitas, pengasihan kebutuhan untuk stimulasi dan kapasitas kesenangan Openness to Experience Ingin tahu, tertarik sesuatu Mengukur secara proaktif, hal di luar, kreatif, apresiatif terhadap pengalaman keaslian, penuh imajinatif, untuk pencarian, toleransi untuk tidak tradisional eksplorasi terhadap sesuatu yang belum dikenal.
Lembut, alamiah, kepercayaan, senang membantu, pemaaf, mudah dibohongi, tulus hati.
Mengorganisasi, dapat dipercaya, pekerja keras, disiplin diri, teliti, seksama, tertib, ambisius, tekun dalam berusaha
4.
Agreeableness Mengukur kualitas interpersonal yang berorientasi secara berkelanjutan dari belas kasihan hingga antagonis dalam pikiranpikiran, perasaan-perasaan dan langkah-langkah.
Conscientiousness Mengukur pendidikan seseorang dalam organisasi, keras hati, motivasi diri dalam mencapai tujuan, ketergantungan yang berbeda, memilih orang-orang dengan sentimental
Kalems, relaks, tidak emosional, keras, pasti, kepuasan diri
Segan, sederhana, tidak mewah, diam, menarik diri
Konvensional, kembali ke masa lalu, tidak memiliki ketertarikan, tidak artistik, tidak bersifat analitik. Sinis, kasar, curiga, tidak kooperatif, menaruh dendam, tidak kenal belas kasihan, mudah tersinggung, manipulatif
Tidak bertujuan, tidak percaya, malas, teledor, kemauan rendah
Dimensi-Dimensi Kepribadian Big Five
Universitas Sumatera Utara
57
a. Extraversion (E) Faktor pertama adalah extraversion, faktor ini menilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk berbahagia (Costa & McCrae, 1992; Pervin Cervone & John, 2005). Faktor extraversion ini merupakan dimensi yang penting dalam kepribadian, karena extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial. Extraversion dicirikan dengan afek positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, workaholic juga ramah terhadap orang lain. Extraversion memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan dalam lingkungannya. Seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang tinggi dapat lebih cepat berteman daripada seseorang yang memiliki tingkat extraversion yang rendah. Extraversion mudah termotivasi oleh perubahan, variasi dalam hidup, tantangan dan mudah bosan. Sedangkan orang-orang dengan tingkat extraversion rendah cenderung bersikap tenang dan menarik diri dari lingkungannya. b. Agreeableness (A) Trait agreeableness menilai kualitas orientasi individu dengan kontinum nilai dari sampai antagonis didalam berpikir, perasaan dan perilaku (Costa & McCrae, 1992; Pervin Cervone & John, 2005).
Universitas Sumatera Utara
58
Agreeableness memiliki adaptasi yang mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Berdasarkan
value
survey,
seseorang
yang
memiliki
skor
agreeableness tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kecenderungan: suka membantu, pemaaf, dan penyayang. Individu yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi cenderung menghindar dari usaha langsung untuk memutuskan konflik dengan
orang
lain.
Sedangkan
orang-orang
dengan
tingkat
agreeableness yang rendah cenderung untuk lebih agresif dan kurang kooperatif. Orang yang menilai rendah kemampuan untuk bersepakat memusatkan perhatian lebih pada kebutuhan mereka sendiri ketimbang kebutuhan orang lain (Robbins 2001; Mastuti, 2005). c. Neuroticism (N) Trait ini menilai kestabilan dan ketidakstabilan emosi. Mengidentifikasi kecenderungan individu apakah mudah mengalami stress, mempunyai ide-ide yang tidak realistis, mempunyai coping response yang maladaptive (Costa & McCrae, 1992; Pervin, Cervone & John, 2005). Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional mereka labil. Selain memiliki kesulitan dalam menjalin hubungan dan berkomitmen, mereka juga memiliki tingkat self esteem yang rendah.
Universitas Sumatera Utara
59
Seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang rendah cenderung akan lebih gembira dan puas terhadap hidup dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi. Individu yang memiliki tingkat neuroticism tinggi adalah kepribadian yang mudah mengalami kecemasan, rasa marah, depresi, dan memiliki kecenderungan untuk emosional (Robbins, 2001). d. Openness (O) TraitOpenness
menilai
usahanya
secara
proaktif
dan
penghargaannya terhadap pengalaman demi kepentingannya sendiri. Menilai bagaimana ia menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa (Costa & McCrae, 1992; Pervin, Cervone & John, 2005). Openness mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan penyesuaian pada suatu ide atau situasi yang baru. Openness mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas untuk menyerap informasi, menjadi sangat fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, pemikiran dan impulsivitas. Seseorang dengan tingkat openness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki nilai imajinasi dan memiliki pemikiran yang luas. Sedangkan seseorang yang memiliki tingkat openness yang rendah memiliki nilai kebersihan, kepatuhan, dan keamanan bersama. Individu yang memiliki tingkat openness yang rendah digambarkan sebagi pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan.
Universitas Sumatera Utara
60
e. Conscientiousness (C) Dimensi conscientiousness menilai kemampuan individu di dalam organisasi, baik mengenai ketekunan dan motivasi dalam mencapai tujuan sebagai perilaku langsungnya. Sebagai lawannya menilai apakah individu tersebut tergantung, malas dan tidak rapi (Costa & McCrae, 1992; Pervin, Cervone & John, 2001). Conscientiousness memiliki rasa ketergantungan, kontrol diri dan mau mendengarkan saran dari orang lain, yang menggambarkan perbedaan keteraturan dan disiplin diri seseorang. Seseorang yang conscientiousness memiliki nilai kebersihan dan ambisi. Orang-orang tersebut biasanya digambarkan oleh teman-teman mereka sebagai seseorang yang well-organize, tepat waktu, dan ambisius. Conscientiousness
mendeskripsikan
kontrol
terhadap
lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti
peraturan
dan
norma,
terencana,
terorganisir,
dan
memprioritaskan tugas. Di sisi negatifnya trait kepribadian ini menjadi sangat perfeksionis, kompulsif, workaholic, membosankan. Tingkat conscientiousness yang rendah menunjukan sikap ceroboh, tidak terarah serta mudah teralih perhatiannya.
C. Dukungan Organisasi 1. Pengertian Persepsi Dukungan Organisasi
Universitas Sumatera Utara
61
Persepsi dukungan organisasi didefinisikan sebagai persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi memberi dukungan pada karyawan dan sejauh mana kesiapan organisasi dalam memberikan bantuan pada saat dibutuhkan (Rhoades & Eisenberger, 2002). Selanjutnya, persepsi dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka. Dengan demikian, karyawan memiliki harapan akan adanya dukungan organisasi terhadap kebutuhan mereka (Eisenberger, et. al., 1986; Rhoades & Eisenberger, 2002; Shannock 2006). Rhoades dan Eisenberger (2002) juga menyatakan bahwa persepsi terhadap dukungan organisasi juga dianggap sebagai sebuah keyakinan global yang dibentuk oleh tiap karyawan mengenai penilaian mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi. Keyakinan ini dibentuk berdasarkan pada pengalaman mereka terhadap kebijakan dan prosedur organisasi, penerimaan sumber daya, interaksi dengan agen organisasinya (misalnya supervisor), dan persepsi mereka mengenai kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan mereka. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh agen organisasi dipandang sebagai tindakan dari organisasi (Levinson; Justin, 2003). Perilaku manajemen dan kebijakan-kebijakan organisasi merupakan dasar bagi pegawai untuk menginterpretasikan mengenai dukungan organisasi. Persepsi dukungan organisasi akan
Universitas Sumatera Utara
62
meningkat jika organisasi terlihat menerapkan reward yang baik, peluang peningkatan karir, dan kebijakan-kebijakan positif di tempat kerja. Selanjutnya Eisenberger & Rhoades (2002) menambahkan bahwa bagi karyawan, organisasi merupakan sumber penting bagi kebutuhan sosioemosional
mereka
seperti
respect
(penghargaan),
caring
(kepedulian), dan tangible benefit seperti gaji dan tunjangan kesehatan. Perasaan dihargai oleh organisasi membantu mempertemukan kebutuhan karyawan terhadap approval (persetujuan), esteem (penghargaan) dan affiliation (keanggotaan). Berdasarkan beberapa uraian, disimpulkan bahwa persepsi dukungan organisasi adalah persepsi karyawan mengenai sejauhmana kesiapan organisasi dalam memberikan dukungan terhadap karyawan melalui kebijakan dan prosedur yang diterapkan, penerimaan sumber daya, interaksi
dengan
agen
organisasi,
guna
memenuhi
kebutuhan
sosioemosinal karyawan seperti respect, caring, tangible benefit, tunjangan kesehatan.
3. Aspek - Aspek Persepsi Dukungan Organisasi Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002), ada tiga aspek persepsi dukungan organisasi, yaitu : a) Penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan (organizational reward and working condition): penghargaan dan kondisi pekerjaan yang menyenangkan memiliki hubungan yang positif dengan persepsi
Universitas Sumatera Utara
63
dukungan
organisasi,
seperti
mengizinkan
karyawan
untuk
mengembangkan kemampuannya, otonomi mengenai bagaimana pekerjaan dilakukan, dan pengakuan dari atasan. Bentuk penghargaan organisasi yang diterima oleh karyawan dari organisasi dapat berupa gaji, tunjangan, bonus, promosi, pelatihan/pengembangan diri. Salah satu bentuk dukungan organisasi terhadap karyawannya adalah kondisi kerja yang nyaman dan aman bagi karyawan. b) Dukungan yang diterima dari atasan (support received from supervisor): merupakan keyakinan karyawan bahwa atasan peduli terhadap
karyawannya
dan
menghargai
kontribusi
mereka.
Atasansebagai wakil organisasi bertanggung jawab dan secara berkelanjutan
mengevaluasi
kinerja
karyawan
serta
mengkomunikasikan tujuan dari organisasi kepada karyawan, sehingga menyebabkan karyawan melihat perlakuan dari atasanmereka sebagai bentuk dukungan organisasi. c) Keadilan prosedural (procedural justice): melibatkan kebijakan organisasi formal yang adil dan prosedur dalam mendistribusikan sumber daya yang ada dalam organisasi. Terjadinya keadilan dalam membuat keputusan mengenai distribusi sumber daya akan memiliki pengaruh yang kuat terhadap persepsi dukungan organisasi yang dirasakan karyawan yang diperlihatkan dengan adanya perhatian pada kesejahteraan karyawan. Terdapat dua aspek keadilan prosedural, yaitu Keadilan struktural dan prosedural yang menyangkutcara yang
Universitas Sumatera Utara
64
digunakan untuk menentukan pendistribusian sumber daya manusia diantara karyawan, keadilan yang berkaitan dengan aturan-aturan formal dan kebijakan bagi karyawan, serta keadilan dalam penerimaan informasi yang akurat. Kemudian, keadilan sosial yang dapat disebut juga keadilan interaksional, karena hal ini berkaitan dengan cara organisasi memperlakukan karyawan dengan hormat dan bermartabat.
D. Kecemasan MenghadapiAssessment Centre dan Kepribadian Big Five Penelitian mengenai assessment centre telah banyak dilakukan untuk mengetahui persepsi karyawan terhadap menggunaan assessment centre dalam pengembangan karir maupun promosi jabatan di perusahaan tempat mereka bekerja. Penelitian yang telah dilakukan oleh Widianingrum dan Kurniawan, (2007) mengukur pengaruh yang dirasakan karyawan tentang menggunaan metode assessemnt centre terhadap pelaksanaan pengembangan karir karyawan pada PT. Telkom, Tbk. Jakarta Selatan. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang positif penggunaan metode assessment centre terhadap pelaksanaan pengembangan karir karyawan. Penelitian persepsi karyawan terhadap penerapan assessment centre dan implikasinya terhadap pengembangan karir juga dilakukan oleh Rijal (2012). Penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan PT. Coca-Cola Amatil Indonesia merasa puas terhadap manfaat dan tujuan dari penerapan assessmente centre di perusahaannya, asalkan proses assessment dilakukan sesuai dengan prosedur dan tatacara yang berlaku. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
65
karyawan memiliki persepsi positif signifikan terhadap penerapan assessment centre yang bertujuan untuk pengembangan karir karyawan. Penelitian mengenai persepsi karyawan dalam penerapan metode assessment centre terhadap promosi jabatan telah dilakukan oleh Marlisa (2006) di Departemen Kehutanan. Metode assessment centre di Departemen Kehutanan diterapkan sebagai salah satu syarat dalam seleksi dan promosi calon pejabat eselon II. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan menggambarkan proses penyelenggaraan personal assessment centre sebagai salah satu syarat dalam seleksi dan promosi serta untuk mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam proses penyelenggaraan personal assessment centre dalam kegiatan seleksi dan poromosi calon pejabat eselon II di Departemen Kehutanan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa belum sepenuhnya dukungan pegawai Departemen Kehutanan memiliki persepsi yang sama terhadap pengembangan karir melalui pelaksanaan assessment centre. Digunakannya assessment centre sebagai proses seleksi dan evaluasi pada karyawan, dapat dirasakan sebagai suatu ancaman bagi karyawan, karena dianggap dapat menghambat peluang karir seseorang. Proses assessment centre dirasakan karyawan sebagai metode dalam melakukan seleksi dan evaluasi terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki karyawan. Salah satu rangsang yang membangkitkan kecemasan adalah situasi saat ujian (Djiwandono, 2002). Kecemasan pada saat seseorang menghadapi ujian, karena adanya perasaan kekhawatiran, ketidakpastian terhadap performa yang ditampilkannya apabila tidak diterima dengan baik hasilnya.
Universitas Sumatera Utara
66
Kecemasan merupakan bagian dari tiap pribadi manusia terutama jika individu dihadapkan pada situasi yang tidak jelas dan tidak menentu, sehingga kecemasan juga dapat meningkatkan kesiapan diri seseorang dalam menghadapi suatu tantangan. Sebagian besar dari individu merasa cemas dan tegang jika menghadapi situasi yang mengancam atau stressor (Zulkarnain & Novliady, 2009). Karakter kepribadian sangat menentukan bagaimana seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sehari-harinya, dan merupakan suatu pola yang relatif stabil dari perilaku, pikiran dan emosi yang diperlihatkan oleh seseorang. Salah satu bentuk karakteristik kepribadian (personality trait) adalah kepribadian big five. Dalam dimensi kepribadian big five dijelaskan bahwa kepribadian individu terdiri dari lima sifat (trait) dasar. Kelima dimensi dasar tersebut digunakan untuk menggambarkan perbedaan dalam perilaku kognitif, afektif, dan sosialnya. Kelima dimensi dasar ini sering diartikan sebagai model kepribadian big five dan cenderung stabil sepanjang rentang kehidupan (Pervin, Cervone & John, 2005). Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Goldberg, 1993 ; Pervin, Cervone dan John 2005 bahwa lima faktor kepribadian yang sering disebut sebagai big five, merupakan tampilan karakteristik kepribadian (personality trait) yang terbagi atas extraversion, agreeableness, concientiousness, neuroticism, dan openess to experience. The big five juga sering digambarkan sebagai framework yang universal untuk mengukur kepribadian individu secara komprehensif (Lounsbury, Tatum, Chambers, Owens & Gibson, 1999; Pervin Cervone & John, 2005).
Universitas Sumatera Utara
67
Menurut Costa & McCrae (1998) kelima sifat dasar tersebut mencakup: extraversion yang dicirikan dengan sikap positif seperti memiliki antusiasme yang tinggi, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, ramah terhadap orang lain, memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama dan juga dominan dalam lingkungannya, serta dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial; agreeableness dicirikan dengan
karakteristik
yang
mampu
beradaptasi
sosial
yang
baik
dan
mengindikasikan individu yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain; neuroticism dicirikan dengan kepemilikan emosi yang negatif seperti rasa khawatir, cemas, rasa tidak aman, dan labil; openness to experience yang mengacu pada bagaimana individu bersedia melakukan penyesuaian pada suatu ide atau situasi yang baru, mudah bertoleransi, memiliki kapasitas untuk menyerap informasi, fokus dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan, dan pemikir; dan conscientiousness yang dicirikan dengan memiliki sifat ketergantungan, kontrol diri, dan mau menerima masukan ataupun saran dari orang lain. Individu yang memiliki kecenderungan traitextraversion dicirikan dengan sikap seperti memiliki antusiasme yang tinggi, senang bergaul, memiliki emosi yang positif, energik, tertarik dengan banyak hal, ambisius, ramah terhadap orang lain, memiliki tingkat motivasi yang tinggi dalam bergaul, menjalin hubungan dengan sesama, dominan dalam lingkungannya, serta dapat memprediksi perkembangan dari hubungan sosial (Costa & McCrae, 1992; Pervin & John,
Universitas Sumatera Utara
68
2005). Sejalan dengan itu, Judge, Heller dan Mount (2002) mengungkapkan extraversion menunjukkan tendensi menghabiskan lebih banyak waktu dalam situasi sosial dan mengekspresikan emosi positif. Dalam menghadapisituasi yang menekan individu dengan trait extraversion diharapkan tetap bersikap positif terhadap situasi yang ada. Menurut Lazarus, Folkman (1986) salah satu cara dalam mengatasi permasalahan yang menekan adalah melalui self control yaitu suatu usaha untuk mengatur dan menjaga perasaan agar tetap tenang pada situasi menekan. Sikapnya yang energik dan ambisius membuat ia berusaha untuk dapat menyelesaikan situasi yang menekan. Accepting responsibility yaitu menyadari adanya permasalahan yang dihadapi dan bertekad untuk menyelesaikannya juga dapat dikembangkan oleh trait extraversion ini. Berdasarkan ciri-ciri kepribadian yang dimiliki trait extraversion patut diduga memiliki hubungan negatif terhadap kecemasan assessmentcentre yang merupakan kebijakan organisasi dalam pengembangan karir karyawan. Selanjutnya, menurut Costa & McCrae (1998) menyatakan kepribadian neuroticism memiliki karakteristik khusus, yaitu sifat mudah marah, harga diri rendah, kecemasan sosial, perasaan takut, sangat mudah khawatir, cemas dan tidak konsisten (inconsistent). Pada beberapa literatur mengenai big five, trait neuroticism dinyatakan sebagai lawan dari emotional stability. Barrick dan Mount (1991) juga menjelaskan bahwa pribadi neuroticism cenderung emosional dan merasa tak aman. Selanjutmya (Watson & Clark, 1984; Erdheim, Wang & Zicker, 2006;Hutape, 2012), mengungkapkan bahwa individu tersebut memiliki kecenderungan mengalami perasaan negatif lebih besar sehingga kuatir tentang
Universitas Sumatera Utara
69
beban dan besar pengorbanannya jika menghadapi situasi baru dalam lingkungan pekerjaan yang baru. Assessment centre sebagai proses seleksi dan evaluasi karyawan dianggap sebagai ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan bagi karyawan. Ketidaknyamanan yang dirasakan oleh individu dapat memunculkan perasaan negatif pada individu dengan trait neuroticism sehingga mempengaruhi stabilitas emosinya. Dari hal tersebut patut diduga bahwa neuroticism memiliki hubungan positif dengan kecemasan karyawan dalam menghadapi assessment centre. Dimana individu dengan kepribadian neuroticism mudah merasa cemas dalam menghadapi assessment centre. Sementara itu, dimensi openness to experience mengacu pada bagaimana individu bersedia melakukan penyesuaian diri dengan suatu ide atau situasi yang baru. Trait Openness to experience mempunyai ciri mudah bertoleransi, kapasitas tinggi untuk menyerap informasi, menjadi orang yang sangat fokus, dan mampu untuk waspada pada berbagai perasaan dan pemikirannya (Costa & McCrae 1992; Pervin & John, 2005). Mereka yang memiliki nilai tinggi dalam keterbukaan terhadap pengalaman (openness to experience), lebih siap berhadapan dengan stressor yang dihubungkan dengan perubahan karena mereka lebih mungkin memandang perubahan sebagai suatu tantangan dan bukan ancaman (Ivancevich, John, Konopaske, & Matteson, 2006). Assessment centre sebagai salah satu metode dalam evaluasi kinerja guna promosi jabatan dapat dipandang sebagai tantangan yang membawa perubahan di bidang karir pada individu dengan trait openness to experinece. Individu dengan traitopenness to experience bersikap terbuka pada pengalaman baru serta lebih siap menghadapi tekanan, membuatnya
Universitas Sumatera Utara
70
tidak mudah cemas menghadapi evaluasi yang dilakukan di tempat kerja. Dapat disimpulkan bahwa individu dengan trait openness to experience berhubungan negatif terhadap kecemasan menghadapi assessment centre. Pada dimensi agreeableness mengindikasikan bahwa individu memiliki keterampilan adaptasi yang baik dan mengarah pada sifat ramah, kecenderungan untuk selalu mengalah, menghindari konflik, dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain atau konformitas (Costa & McCrae, 1992; Pervin, Cervone & John, 2005).
Sejalan dengan hal tersebut, seseorang dengan kepribadian
agreeableness mendorongnya membalas kebaikan organisasi yang menyediakan baginya dukungan dan lingkungan yang kondusif (Erdheim, Wang & Zicker 2006; Hutapea, 2012). Assessment centre yang merupakan salah satu metode yang digunakan oleh manajemen sumber daya manusia untuk melakukan evaluasi terhadap kompetensi individu diperuntukkan sesuai dengan tujuan organisasi, dipandang sebagai cara efektif untuk tujuan organisasi oleh individu dengan trait agreeableness. Ciri dari traitagreeableness yaitu menghindari konflik, dan bersikap
konformis,
dapat
diprediksi
bahwa
individu
yang
memilikitraitagreeableness cenderung dapat menerima atas kebijakan yang diterapkan organisasi tempat kerjanya untuk mengikuti assessment centre dalam pengembangan karir karyawannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dimensi agreeableness berkorelasi negatif dengan kecemasan karyawan dalam menghadapi assessment centre. Dimensi
yang
terakhir
dalam
kepribadian
big
five
yaitu
conscientiousness,dicirikan sebagai individu yang memiliki kontrol diri terhadap
Universitas Sumatera Utara
71
lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan teliti (Costa & McCrae, 1992; Pervin, Cervone & John, 2005). Sejalan
dengan
hal
tersebut,
menurut
Feist
dan
Feist
(2008)
conscientiousness menggambarkan pribadi yang teratur atau tertib, penuh pengendalian diri, terorganisasi, ambisius, fokus, pada tujuan dan disiplin diri. Dalam situasi kerja, individu dengan traitconscientiousness memiliki tingkatan yang tinggi pada kinerja yang dikaitkan dengan kelompok jabatan dan seluruh pengukuran kinerja karyawan (Salgado, 1997). Dapat dikatakan individu dengan conscientoiusness tinggi akan fokus pada tugas, dan memperhatikan hasil kerjanya. Dengan ciri kepribadian yang ambisius, memiliki ketelitian yang tinggi, terorganisir, bahkan cenderung kompulsif (Pervin, Cervone & John, 2005) akan muncul
kemungkinan
bahwa
individu
dengan
trait
conscientiousness
membutuhkan keberagaman informasi dan kepastian informasi yang kuat guna menyusun pekerjaan dan hasil kerjanya. Disisilain Spielberger (1972) menyampaikan kecemasan timbul karena adanya ketidak pastian dan ketidak berdayaan dalam diri seseorang. Salah satu tujuan assessment centre adalah melakukan evaluasi dan seleksi karyawan yang akan dipilih untuk dipromosikan. Kegiatan assessment centre yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan ketidakpastian keberhasilan pada karyawan. Dengan demikian, dapat disimpulkan dimensi conscientiousness memiliki hubungan positif dengan kecemasan karyawan dalam menghadapi assessment centre.
Universitas Sumatera Utara
72
E. Kecemasan MenghadapiAssessment Centre dengan Persepsi Dukungan Organisasi. Dukunganorganisasi
yang
dipersepsikan
oleh
karyawan
dibangun
berdasarkan perlakuan-perlakuan organisasi yang diterima oleh karyawan, misalnya dalam pembayaran honorarium, kenaikan jabatan, pemerkayaan pekerjaan, dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan organisasi. Penilaian karyawan terhadap organisasi juga dilakukan dengan memperhatikan frekuensi, kesungguhan
dan
ketulusan
organisasi
dalam
memberikan
pernyataan
penghargaan dan pengakuan terhadap hasil usaha mereka (Eisenberger,1986). Beberapa penelitian menggambarkan, persepsi dukungan organisasi yang dijadikan sebagai indikator penilaian dalam organisasi adalah keadilan (fairness), dukungan dari atasan (support), imbalan dari organisasi (organizational rewards) dan kondisi pekerjaan (job condition) (Eisenberger, 1986). Dukungan organisasi dapat juga dipandang sebagai komitmen organisasi pada karyawan. Apabila pihak organisasi secara umum menghargai dedikasi dan loyalitas karyawan sebagai bentuk komitmen karyawan terhadap organisasi, maka para karyawan secara umum juga memperhatikan bagaimana komitmen yang dimiliki organisasi terhadap mereka. Penghargaan yang diberikan oleh organisasi dapat dianggap memberikan keuntungan bagi karyawan, seperti adanya perasaan diterima dan diakui, memperoleh gaji dan promosi, mendapatkan akses-akses informasi, serta bentuk-bentuk bantuan lain yang dibutuhkan karyawan untuk dapat menjalankan pekerjaannya secara efektif. Menurut Hutchinson (1997), dukungan organisasi kepada karyawan dapat bersifat ekstrinsik maupun intrinsik. Dukungan organisasi bersifat ekstrinsik (material)berupa memberikan rewards,
Universitas Sumatera Utara
73
kompensasi yang setara, gaji, bonus dan lain sebagainya. Sedangkan yang bersifat intrinsik (non material) berupa perhatian, pemberian pujian, mendengar keluhan, pengembangan diri karyawan, dan kepercayaan karyawan bahwa merekaakan memperlakukan secara fair. Salah satu metode penilaian kinerja yang dapat meminimalisir timbulnya penyimpangan dalam memberikan penilaian adalah melalui assessment centre. Seperti yang dikemukakan oleh Prihadi (2004) bahwa assessment centre merupakan suatu proses penilaian (evaluation) atau rating yang canggih dan didesain
secara
khusus
untuk
meminimalkan
kemungkinan
timbulnya
penyimpangan (bias) sehingga para peserta dalam proses ini memperoleh kesempatan setara yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan potensi maupun kompetensinya dalam seperangkat metode assessment centre atau evaluasi yang terstandardisasi. Metode assessment centre juga memberikan kontribusi dalam membantu para manajer lini dan manajer sumber daya manusia membuat keputusan mengenai seleksi dan penempatan, perencanaan suksesi, dan training dan development. Tujuan dari metode assessment centre menurut Rivai (2009) adalah untukmengidentifikasi orang yang cocok bagi suatu jenis dan tingkat pekerjaan, menentukan kebutuhan pelatihan dan pengembangan, dan untuk mengidentifikasi orang yang akan dipromosikan pada jabatan tertentu. Dalam prosesnya, assessment dilakukan berkenaan dengan adanya permintaanakan adanya promosi jabatan atau penempatan / mutasi seorang individu untuk sesuatu yang lebih baik lagi. Selanjutnya Rivai (2009) menambahkan bahwa biasanya dalam prosesnya
Universitas Sumatera Utara
74
seseorang akan mengikuti beragam materi tes, baik psikotes, interview dan juga di lakukan observasi oleh para asesor. Adanya proses seleksi dan penilaian terhadap karyawan dalam penerapan metode assessment centre, dapat menimbulkan kekhawatiran, kecemasan bagi karyawan yang dianggap sebuah ancaman terhadap pengembangan karir yang diidamkannya. Sebagian besar dari individu merasa cemas dan tegang jika menghadapi situasi yang mengancam atau stressor. Alasan logis sebagai penjelasan terhadap keterkaitan persepsi dukungan organisasi dengan kecemasan antaralain bahwa dukungan organisasi yang dipersepsikan oleh karyawan, mendorong respon positif karyawan terhadap organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Armeli et al. (1998) menemukan bahwa dukungan organisasi yang dipersepsikan karyawan, memenuhi beragam kebutuhansosioemosional para karyawan sehingga mampu menjalankan tugas dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Eder dan Eisenberger (2008) juga menemukan bahwa persepsi dukungan organisai secara signifikan berpengaruh terhadap berkurangnya penarikan diri (withdrawl) individu maupun kelompok. Oleh karenanya menjadi sangat pentingnya persepsi karyawan terhadap dukungan organisasi, karena karyawan menganggap kerja adalah suatu bentuk pertukaran dengan kebutuhan-kebutuhannya sehingga mereka selalu melakukan penilaian apakah organisasi mempunyai perhatian terhadap segala jerih payah yang telah disumbangkan dan mampu memberikan yang memadai, (Eisenberger, Huntington, Hutchison & Sowa, 1986). Dukungan organisasi ini menyangkut kesiapan organisasi untuk memberi bantuan pada peningkatan usaha-usaha yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
75
individu dan seberapa besar menilai kontribusi dan memperhatikan kesejahteraan karyawan (Eisenberger et al., 2002).
F. Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ha 1: Trait extraversion berhubungan negatif dengan kecemasan karyawan menghadapi assessment centre. Ha 2: Trait agreeableness berhubungan negatif dengan kecemasan karyawan menghadapi assessment centre. Ha 3: Trait neuroticism berhubungan positif dengan kecemasan karyawan menghadapi assessment centre. Ha 4: Trait openness to experience berhubungan negatif dengan kecemasan karyawan menghadapi assessment centre. Ha 5: Trait conscientiousness berhubungan positif dengan kecemasan karyawan menghadapi assessment centre. Ha 6: Persepsi dukungan organisasi berhubungan negatif dengan kecemasan karyawan menghadapi assessment centre.
Universitas Sumatera Utara