BAB II LANDASAN TEORI
A.
Kecemasan Komunikasi
1.
Pengertian Kecemasan Kecemasan merupakan keadaan emosi yang ditandai secara subjektif, secara
sadar merasakan ketegangan, ketakutan, gugup, yang berkaitan dengan sistem saraf otonom (Xun, 2008). Pendapat lain disampaikan oleh Spielberger (dalam Kuper & Kuper, 2000) mengenai kecemasan, ia menyatakan bahwa kecemasan adalah perasaan ketakutan yang ditandai dengan beberapa simtom seperti pusing, mual, gangguan otot seperti tremor, perasaan gelisah dan lemas. Hal ini sejalan dengan pendapat Kuper & Kuper (2000) bahwa kecemasan merupakan perasaan takut, gugup, khawatir, panik yang disertai dengan detak jantung meningkat, berkeringat, ketegangan otot, peningkatan pernapasan dan mulut kering. Menurut (Gunarsa, 1989), kecemasan merupakan rasa takut ditimbulkan oleh adanya ancaman sehingga seseorang akan menghindar. Pendapat yang hampir sama di sampaikan oleh Ayres & Bristow (2008) bahwa kecemasan adalah rasa atau perasaan tidak nyaman dan khawatir tentang ancaman yang berupa ancaman fisik atau psikologis yang muncul secara alami. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu ketakutan, perasaan gugup, panik, tegang, tidak nyaman dan kekhawatiran tentang ancaman yang ancaman yang berupa ancaman fisik atau psikologis yang muncul secara alami.
2.
Pengertian Komunikasi Menurut Richert dan Strohner (2008), komunikasi adalah interaksi sosial
yang berbentuk tindakan kolektif dan bekerjasama. Komunikasi merupakan proses pembentukan dan bertukar informasi dalam percakapan informal, interaksi grup atau berbicara di depan publik ( Verbender, Verbender & Sellnow, 2009). Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia. Merujuk pada pengertian Ruben dan Steward (2006) mengenai komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Menurut Effendy (2003) istilah komunikasi merujuk pada kalimat mendiskusikan makna, mengirim pesan dan memberikan informasi, pesan, atau gagasan pada orang lain dengan maksud agar orang lain tersebut memiliki kesamaan informasi, pesan atau gagasan dengan pengirim pesan. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses interaksi sosial dan pertukaran informasi yang melibatkan individuindividu dalam suatu hubungan, kelompok dan masyarakat dalam mendiskusikan makna ataupun gagasan pada orang lain dengan mengirimkan pesan.
3.
Pengertian Kecemasan Komunikasi Kecemasan dapat terjadi dalam berbagai situasi, salah satunya adalah
kecemasan yang dialami dalam lingkup komunikasi. Kecemasan dalam melakukan komunikasi diungkapkan oleh West & Turner (2009) sebagai kecemasan komunikasi yaitu ketakutan berupa perasan negatif yang dirasakan individu dalam melakukan komunikasi, biasanya berupa perasaan tegang, gugup atau pun panik ketika melakukan komunikasi. Hal ini sama seperti yang di kemukakan oleh Sellnow (2005) bahwa kecemasan dalam komunikasi dapat diartikan sebagai ketakutan atau kekhawatiran individu yang berkaitan dengan komunikasi nyata dengan orang lain. Pengertian tersebut sejalan dengan penjelasan Weiten, Lloyd, Dunn, & Hammer (2009) yang menyatakan bahwa kecemasan komunikasi merupakan ketegangan yang dialami individu ketika akan berbicara dengan orang lain seperti perasaan gugup. Philip (dalam Soonthornsawad, 2009) berpendapat bahwa kecemasan komunikasi adalah perasaan takut untuk ikut berpartisipasi dalam komunikasi lisan pada situasi tertentu. Individu yang merasakan kekhawatiran ketika melakukan hubungan komunikasi dengan orang lain maupun orang banyak berarti merasakan
kecemasan
dalam
berkomunikasi
(McCroskey,
dalam
Soonthornsawad, 2009). Powell & Powell (2010) menjelaskan kecemasan komunikasi sebagai tingkat ketakutan individu yang diasosiasikan dengan situasi komunikasi, baik komunikasi yang nyata ataupun komunikasi yang akan dilakukan individu dengan orang lain maupun dengan orang banyak.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan komunikasi yaitu ketakutan, kekhawatiran, berupa perasaan negatif yang dirasakan individu dalam melakukan komunikasi, biasanya berupa perasaan tegang, gugup, atau pun panik yang dialami individu dalam melakukan komunikasi ketika berada didalam situasi tertentu, baik dalam situasi komunikasi yang nyata ataupun komunikasi yang akan dilakukan individu dengan orang lain maupun dengan orang banyak.
4.
Karakteristik Kecemasan Komunikasi Individu yang mengalami kecemasan dalam melakukan komunikasi akan
memiliki beberapa karaktersitik. Powell & Powell (2010) menjelaskan 4 karakteristik individu yang mengalami kecemasan komunikasi, yaitu : a.
Penghindaran Individu akan menghindari situasi atau keadaan yang memerlukan
komunikasi, individu yang mengalami kecemasan komunikasi akan memilih untuk tidak terlibat dan tidak ikut berada dalam situasi yang membutuhkan komunikasi. Contoh perilaku penghindaran yaitu misalnya tidak mau bergabung ketika terdapat diskusi kelompok. b.
Penarikan diri Individu akan menarik diri ketika berada dalam situasi yang membutuhkan
komunikasi, memilih tidak berpartisipasi ketika diminta untuk berkomunikasi, memilih untuk tidak berbicara atau diam ketika diminta untuk berkomunikasi dalam situasi komunikasi. Contohnya yaitu ketika dalam diskusi kelompok,
individu diminta untuk menyampaikan pendapatnya, namun individu tersebut memilih untuk tidak menyampaikan pendapatnya. c.
Ketidaknyamanan internal Individu mengalami perasaan tidak nyaman dalam diri ketika menghadapi
peristiwa yang membutuhkan komunikasi, mendapat rangsangan negatif untuk melakukan
komunikasi
dalam
situasi
komunikasi,
rangsangan
tersebut
berhubungan dengan ketakutan. Contoh ketidaknyamanan internal yaitu mengalami rangsangan negatif berupa perasaan gelisah, tidak tenang, dan tegang. d.
Overcommunication Individu memberikan respon yang relatif mendominasi situasi komunikasi
dengan melakukan komunikasi yang berlebihan. Dalam hal ini individu dapat lebih peduli dengan kuantitas daripada kualitas dari komunikasi yang disampaikan. Misalnya dalam melakukan presentasi, individu menyampaikan presentasi dengan berbicara tanpa henti namun pokok utama dari pembicaraan sedikit atau mengulang-ngulang kalimat.
5.
Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Komunikasi Kecemasan komunikasi yang dialami individu dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Menurut Powell & Powell (2010), faktor yang mempengaruhi munculnya kecemasan komunikasi yaitu : a.
Genetika : Kecemasan komunikasi dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dari individu tersebut, dimana bersifat genetik bahwa kecemasan komunikasi adalah ketakutan terkait dengan faktor-faktor seperti sosialisasi,
penampilan fisik, bentuk tubuh. Hal ini juga ditingkatkan atau dibatasi oleh faktor lingkungan. Richmond (dalam Sellnow, 2005) menjelaskan bahwa individu yang berada yang dalam keluarga yang cenderung merasa cemas ketika melakukan komunikasi akan dapat memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan dalam melakukan komunikasi. b.
Skill acquisition : Individu akan merasa cemas dipengaruhi oleh keberhasilan individu mengembangkan ketrampilan dalam komunikasi. Keterampilan seperti penggunaan bahasa, kepekaan terhadap komunikasi nonverbal, keterampilan manajemen interaksi dengan orang lain sehingga individu cenderung mengalami kecemasan dalam berkomunikasi.
c.
Modelling : Kecemasan komunikasi berkembang dari proses imitasi terhadap orang lain yang diamati oleh seseorang di dalam interaksi sosialnya. Ketika individu mengamati orang lain yang mengalami kecemasan, maka kecemasan komunikasi cenderung muncul dalam diri invidu tersebut. Bandura (dalam Sellnow, 2005) juga menjelaskan bahwa proses melihat orang lain dalam berperilaku dan memberikan respon terhadap komunikasi akan membuat indididu cenderung berperilaku atau memberikan respon yang sama.
d.
Reinforcement : Kecemasan komunikasi dipengaruhi oleh seberapa sering individu mendapat penguatan untuk melakukan komunikasi dari lingkungan sekitarnya. Individu yang menerima reinforcement positif dalam komunikasi akan dapat mengurangi kecemasan komunikasi, sedangkan individu yang jarang diberikan kesempatan untuk melakukan komunikasi dan tidak
didorong untuk berkomunikasi akan mengembangkan sikap negatif mengenai komunikasi sehingga muncul kecemasan komunikasi. Hal ini juga disampaikan oleh Sellnow (2005) bahwa reinforcement adalah proses belajar, individu yang belajar mengembangkan komunikasi akan dapat mengurangi kecemasan komunikasi dibandingkan individu yang tidak belajar untuk mengembangkan komunikasi yang akan dilakukan.
6.
Tipe-Tipe dari Kecemasan Komunikasi Kecemasan komunikasi dapat dibagi berdasarkan tipe-tipe dari kecemasan
komunikasi, ada 4 tipe dari kecemasan komunikasi menurut Powell & Powell (2010) yaitu : a.
Traitlike adalah derajat kecemasan yang relatif stabil dan relatif panjang waktunya ketika seseorang dihadapkan pada berbagai konteks komunikasi, seperti misalnya dalam public speaking, pertemuan-pertemuan (meetings), komunikasi antar pribadi, dan komunikasi kelompok, sementara itu Traitlike Communucation Apprehension juga bisa dilihat sebagai refleksi orientasi kepribadian
dari
seseorang
yang
mengalami
tingkat
kecemasan
berkomunikasi. b.
Audience-Based merupakan kecemasan komunikasi yang dialami seseorang ketika ia berkomunikasi dengan tipe-tipe orang tertentu tanpa memandang waktu atau konteks dan akan memicu munculnya reaksi kecemasan.
c.
Situational adalah kecemasan komunikasi yang berhubungan dengan situasi ketika seseorang mendapatkan perhatian yang tidak biasa (unusual) dari orang lain.
d.
Context-Based merupakan kecemasan komunikasi hanya pada setting tertentu. Kecemasan komunikasi timbul karena berada dalam tempat-tempat tertentu.
B.
Pendekatan Pembelajaran Pendekatan pembelajaran adalah serangkaian kegiatan pembelajaran yang
akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan (Gora & Sunarto, 2003). Pengertian di atas juga serupa dengan pernyataan Colburn (2003) bahwa pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Roqib (2009) juga mendefinisikan pendekatan pembelajaran sebagai suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan atau cara yang tepat dan cepat untuk meraih tujuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pendapat lain mengenai pendekatan pembelajaran disampaikan oleh Gladene Robertson (dalam Gora & Sunarto, 2003) bahwa pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu kerangka umum dalam praktek profesional pendidik, yaitu serangkaian dokumen yang dikembangkan untuk mendukung pencapaian kurikulum. Pendekatan pembelajaran adalah kerangka besar tentang tugas profesional pendidik yang didalamnya meliputi model-model
pembelajaran, strategi-strategi pembelajaran, metode-metode pembelajaran (Saskatchewan dalam Gora & Sunarto, 2003). Pendekatan pembelajaran yang saat ini digunakan terdiri dari dua jenis pendekatan yaitu: pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered learning) dan pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada dosen (teacher centered learning) (Killen dalam Sanjaya, 2009). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran
yaitu
serangkaian
kegiatan
pembelajaran,
perencanaan
pembelajaran atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, serta suatu kerangka umum, kerangka besar tentang tugas profesional pendidik yang didalamnya meliputi model-model pembelajaran, strategi-strategi pembelajaran, metode-metode pembelajaran. Pendekatan pembelajaran yang saat ini digunakan terdiri dari dua jenis pendekatan yaitu: pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered learning) dan pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada dosen (teacher centered learning) (Killen, dalam Sanjaya, 2009).
1.
Student Centered Learning
a.
Pengertian Student Centered Learning Menurut Colburn (2003) student centered learning yaitu pembelajaran yang
berpusat pada mahasiswa, pemikiran bahwa mahasiswa sebagai peserta penting dalam proses pembelajaran. student centered learning merupakan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa yang menekankan peran sentral pada pengalaman dalam proses belajar (Kolb, Boyatzis, & Mainemelis, 1999). Smith (dalam Kolb, Boyatzis, & Mainemelis, 1999) menjelaskan bahwa student centered learning sebagai pengalaman belajar yang melibatkan pembelajaran langsung mengenai fenomena yang sedang di pelajari bukan hanya memikirkan fenomena yang sedang di pelajari, pengalaman berperan penting dalam meningkatkan proses belajar. Pendekatan student centered learning merupakan proses pembelajaran yang berpusat
pada
mahasiswa/peserta
didik,
maka
mahasiswa
memperoleh
kesempatan dan fasilitas untuk dapat membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu kualitas mahasiswa. Melalui penerapan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, maka mahasiswa diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif, selalu ditantang untuk memiliki daya kritis, mampu menganalisa dan dapat memecahkan masalahnya sendiri (Weimer, 2002). Pendekatan pembelajaran student centered learning adalah suatu model pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai pusat dari proses belajar. Dalam menerapkan konsep student centered leaning, peserta didik diharapkan
sebagai peserta aktif dan mandiri dalam proses belajarnya, yang bertanggung jawab dan berinitiatif untuk mengenali kebutuhan belajarnya, menemukan sumber-sumber informasi untuk dapat menjawab kebutuhannya, membangun serta mempresentasikan pengetahuannya berdasarkan kebutuhan serta sumber-sumber yang ditemukannya (Pongtuluran, 2008). Lingkungan pembelajaran dengan pendekatan student centered learning di desain untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa berperan secara aktif dalam proses belajarnya. Pada pendekatan student centered learning mahasiswa diberi kesempatan untuk mengatur, menganalisa isi pembelajaran dari dosen kepada mahasiswa (Means dalam Bush dan Saye, 2000) Hirumi (2005) menjelaskan bahwa pendekatan student centered learning merupakan metode yang berpusat pada mahasiswa dimana para mahasiswa diajarkan agar memiliki keterampilan berfikir problem solving dan kemampuan memproses informasi yang tinggi. Pendekatan ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa bekerja bersama dosen dan mahasiswa lainnya untuk memilih tujuan belajar berdasarkan permasalahan yang dihadapi dan ketertarikan mahasiswa sehingga mahasiswa sering menjalin komunikasi antara dosen maupun mahasiswa lainnya. Pendekatan student centered learning memiliki strategi belajar yang ditentukan bersama antara mahasiswa dan dosen, dimana mahasiswa juga diberikan kesempatan untuk mengakses langsung keberbagai sumber informasi.
Para dosen dalam pendekatan student centered learning menilai para mahasiswa berdasarkan pada kinerja dan kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan pengetahuannya dimana hal tersebut diukur secara integral. Dosen juga berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar yang membantu para mahasiswa untuk mendapatkan dan memproses informasi. Para mahasiswa dalam metode pembelajaran ini berperan aktif dalam mengkonstruksikan pengetahuan serta bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri. Lingkungan belajar pada metode student centered learning lebih banyak bekerja dalam kelompok kecil dan secara mandiri (Hirumi, 2005). Pertanyaan terbuka, jurnal, dan penelitian berbasis kegiatan laboratorium merupakan contoh pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Pada pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, pekerjaan pendidik adalah untuk mengatur situasi agar peserta didik dapat berhasil dibimbing dalam proses belajar. Peserta didik bekerja secara aktif untuk memahami apa yang terjadi di sekitar mereka, mahasiswa secara aktif membangun pengetahuan yang baru dipelajari (Colburn, 2003). Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa metode student centered learning merupakan pendekatan yang berfokus pada mahasiswa dan proses belajar mengajar, dimana para mahasiswa diberi kesempatan untuk melakukan komunikasi dengan dosen maupun dengan mahasiswa lainnya dan mahasiswa dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran serta para dosen berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
b.
Strategi belajar dalam Student Centered Learning Pendekatan student centered learning menerapkan beberapa strategi belajar
yang akan diikuti oleh mahasiswa, di bawah ini beberapa strategi yang digunakan dalam pendekatan pembelajaran Student Centered Learning (Santrock, 2007) : 1.
Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Metode ini menekankan pada pemecahan masalah kehidupan nyata. Kurikulum berbasis problem akan memberi problem riil kepada mahasiswa, yakni problem yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Fokus dalam pembelajaran ini adalah pada suatu problem yang harus dipecahkan melalui kerja kelompok kecil, mahasiswa mengidentifikasi masalah atau isu yang ingin mereka kaji, kemudian mencari materi dan sumber bahan lain yang mereka butuhkan untuk menangani isu atau masalah tersebut, dosen bertindak sebagai pembimbing, membantu murid memonitor upaya pemecahana mereka. Sarana untuk mengembangkan pembelajaran problem based learning disebut dengan tutorial.
2.
Pertanyaan esensial. Pertanyaan yang merefleksikan inti dari kurikulum. Pertanyaan esensial akan membuat mahasiswa bingung yang merangsang mereka untuk berpikir, dan memotivasi rasa ingin tahu mereka.
3.
Pembelajaran penemuan (Discovery Learning). Pembelajaran dimana mahasiswa menyusun pemahaman sendiri. Pembelajaran ini mendorong murid untuk berpikir sendiri dan menemukan cara menyusun dan mendapatkan pengetahuan. Dosen memfasilitasi pembelajaran dengan memberikan aktivitas yang merangsang murid untuk mencari tahu.
c.
Prinsip dalam Pendekatan Student Centered Learning Prinsip student centered learning yang dikembangkan oleh gugus tugas
American Psychology Association (dalam Santrock, 2007) dapat diklasifikasikan berdasarkan empat faktor : 1.
Faktor Kognitif dan Metakognitif
-
Sifat proses pembelajaran. Pelajar yang sukses adalah pelajar yang aktif, punya
tujuan,
dan
mampu
mengatur
diri
sendiri.
Mereka
mau
bertanggungjawab terhadap pembelajaran mereka sendiri. -
Tujuan proses pembelajaran. Mahasiswa perlu menciptakan dan mengejar tujuan yang relevan secara personal yang bisa menyukseskan pelajar tersebut. Seiring dengan waktu, mahasiswa diharapkan paham dengan pengetahuan yang ada, memecahkan masalah, memperdalam pemahaman terhadap suatu pelajaran sehingga mereka dapat mancapai tujuan jangka panjang. Penting bagi pengajar untuk membantu murid menentukan cara belajar.
-
Konstruksi pengetahuan. Pelajar yang sukses bisa menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dengan cara yang mengandung makna tertentu.
-
Pemikiran strategis. Pelajar yang sukses akan dapat menciptakan dan menggunakan berbagai strategi pemikiran dan penalaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.
-
Memikirkan tentang pemikiran (metakognisi). Pelajar yang sukses adalah pelajar yang menggunakan metakognisi. Mereka merenung cara belajar
mereka dan berpikir, menentukan tujuan pembelajaran yang dapat dipahami, memiliki strategi yang tepat, dan memantau tujuan mereka menuju tujuan pembelajaran. Mereka bisa membuat tujuan alternatif untuk mencapai tujuan atau menilai kembali ketepatan tujuan tersebut. -
Konteks pembelajaran. Pembelajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti kultur, teknologi, dan praktek pembelajaran. Dosen memainkan pembelajaran penting dalam pembelajaran individu. Kultur bisa mempengaruhi banyak aspek pembelajaran dan pendidikan, seperti motivasi, proses belajar, dan cara belajar, serta cara berpikir. Teknologi dan praktek pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat pengetahuan, kemampuan, dan strategi pembelajaran murid.
2.
Faktor Motivasi dan Emosional
-
Pengaruh motivasi dan emosi terhadap pembelajaran. Keyakinan dan ekspektasi pelajar dapat memperkuat atau melemahkan kualitas pemikiran dan pemrosesan informasi pelajar. Emosi positif, seperti rasa ingin tahu, biasanya akan membantu memperlancar proses belajar.
-
Motivasi intrinsik untuk belajar. Motivasi intrinsik adalah motivasi dari diri sendiri (self-determined). Rasa ingin tahu, pemikiran mendalam, dan kreativitas adalah indikator yang baik dari motivasi intrinsik individu untuk belajar.
-
Efek motivasi terhadap usaha. Usaha adalah aspek penting dari motivasi untuk belajar. Pembelajaran yang efektif membutuhkan banyak waktu,
energi, dan ketekunan. Pembelajaran mahasiswa akan membaik jika dosen mendorong usaha anak dan ketekunan individu pada tugas. 3.
Faktor Sosial dan Developmental
-
Pengaruh perkembangan pada pembelajaran. Individu akan belajar dengan baik apabila pembelajarannya sesuai dengan tingkat perkembangan individu, karena perkembangan fisik, kognitif dan domain sosioemosional individu itu bervariasi, maka prestasi dalam domain ini juga bervariasi.
-
Pengaruh sosial terhadap pembelajaran. Pembelajaran dipengaruhi oleh interaksi sosial dan komunikasi dengan orang lain.
4.
Faktor Perbedaan Individual
-
Perbedaan individual dalam pembelajaran. Seseorang mempunyai strategi yang berbeda, pendekatan berbeda, dan kemampuan berbeda untuk belajar
-
Pembelajaran dan diversitas. Pembelajaran akan lebih efektif jika perbedaan bahasa, kultural, dan latar belakang sosial mahasiswa ikut dipertimbangkan. Prinsip dasar yang sama dari pembelajaran, motivasi, dan instruksi berlaku untuk semua individu. Akan tetapi, bahasa, etnis, dan status sosioekonomi dapat mempengaruhi pembelajaran individu.
-
Standard dan penilaian. Menentukan standar yang tinggi dan menentang, dan menilai kemajuan pembelajaran dan siswa, adalah bagian integral dari proses pembelajaran. Pembelajaran yang efektif terjadi ketika murid ditantang untuk bekerja meraih tujuan yang tinggi dan tepat.
2.
Teacher Centered Learning
a.
Pengertian Teacher Centered Learning Menurut
Santrock
(2007)
teacher
centered
learning
merupakan
pembelajaran yang berfokus pada perencanaan dan instruksi dosen, dimana dosen mengarahkan pembelajaran mahasiswa. Teacher centered learning merupakan proses belajar yang mengacu pada pembelajaran yang berpusat pada instruksi dosen, instruksi langsung dari dosen kepada mahasiswanya (Colburn, 2003). Harden dan Crosby (dalam Colburn, 2003) menyebutkan bahwa teacher-centered learning adalah sebuah paradigma berupa metode pembelajaran dalam dunia pendidikan di mana dosen selaku pakar (expert) di bidangnya memfokuskan diri untuk menyampaikan (transfer) ilmu pengetahuan yang ia miliki kepada mahasiswa-mahasiswanya selaku orang awam (novice). Pengertian lain disampaikan Kurdi (2009) mengenai teacher centered learning, ia berpendapat bahwa teacher centered learning yaitu sistem pembelajaran yang bersifat satu arah, dimana pemberian materi oleh dosen yang menjadi pusat peran dalam pencapaian hasil pembelajaran dan menjadi satusatunya sumber ilmu sehingga mahasiswa tidak berperan aktif dalam proses pembelajaran. Teacher centered learning adalah proses pembelajaran dimana dosen berdiri didepan kelas dan memberikan ceramah atau mendikte informasi mengenai topik yang dibahas pada mahasiswa (Johnson, Haenn, Buckwalter, 2009).
Teacher centered learning adalah pendekatan proses belajar-mengajar dimana dosen merancang pelajaran-pelajaran yang dimaksudkan untuk memenuhi standar dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, menggunakan prosedurprosedur yang mendukung perolehan pengetahuan dan ketrampilan yang ditetapkan. Dalam pendekatan ini mahasiswa sering berperan pasif dan tidak diberikan kesempatan untuk aktif berkomunikasi di dalam kelas, mahasiswa mendengarkan keterangan dosen, atau membaca, mempraktikan ketrampilan yang ditetapkan oleh dosen, dimana tugas perencanaan belajar sangat didominasi dosen, terkait erat dengan standar dan tujuan kurikulum yang ditetapkan sebelumnya (Arends, 2008). Pendekatan teacher centered learning dicirikan oleh adanya arahan dan kontrol dari dosen, ekspektasi dosen yang tinggi atas kemajuan mahasiswa, memaksimalkan waktu yang dihabiskan mahasiswa untuk tugas-tugas akademik, dan usaha oleh dosen untuk meminimalkan pengaruh negatif terhadap mahasiswa. Pendekatan ini berfokus pada aktivitas akademik, sedangkan materi yang tidak bersifat akademik (seperti permainan, teka-teki) cenderung tidak dipakai. Interaksi mahasiswa dan dosen juga tidak begitu ditekankan (Santrock, 2007). Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa metode teacher centered learning merupakan model pendekatan yang berfokus pada perencanaan dan instruksi dosen, dimana dosen mengarahkan pembelajaran mahasiswa yang bersifat satu arah, dosen menjadi satu-satunya sumber ilmu sehingga mahasiswa tidak berperan aktif, mendengarkan keterangan dosen, atau
membaca,
mempraktikan ketrampilan yang ditetapkan oleh dosen, dimana tugas perencanaan belajar sangat didominasi dosen.
b.
Strategi Instruksional Teacher Centered Learning Strategi yang digunakan dalam pendekatan pembelajaran teacher centered
learning terdiri dari 6 strategi, dibawah ini 6 strategi yang digunakan dalam pendekatan teacher centered learning (Santrock, 2007), yaitu : 1.
Mengorientasikan : Sebelum menyajikan dan menjelaskan materi baru, haruslah menyusun kerangka pelajaran dan orientasi ke materi baru tersebut : (1) review aktivitas sehari sebelumnya; (2) diskusikan sasaran pelajaran; (3) memberikan instruksi yang jelas dan eksplisit tentang tugas yang harus dilakukan; dan (4) memberi ulasan atas pelajaran pada hari tersebut.
2.
Pengajaran,
penjelasan
dan
demonstrasi
:
Pengajaran
dengan
paparan/ceramah (lecturing), penjelasan dan demostrasi, dosen lebih banyak menghabiskan waktu untuk menerangkan dan mendemonstrasikan materi baru. 3.
Pertanyaan dan Diskusi : Diskusi dan pertanyaan perlu diintegrasikan ke dalam pendekatan teacher centered. Dalam menggunakan strategi ini penting untuk merespons setiap kebutuhan pembelajaran mahasiswa sembari menjaga
minat
dan
perhatian
kelompok.
Juga,
penting
untuk
mendistribusikan partisipasi luas sembari mempertahankan semangat belajar.
4.
Mastery Learning : Pembelajaran satu konsep atau topik secara menyeluruh sebelum pindah ke topik yang lebih sulit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa mastery learning efektif dalam meningkatkan waktu yang dihabiskan mahasiswa untuk mempelajari suatu tugas. Program mastery learning yang rapi untuk remedial reading akan membuat mahasiswa dapat melangkah maju berdasarkan keahlian mereka, motivasi mereka, dan waktu mereka.
5.
Seatwork : Semua mahasiswa untuk belajar sendiri-sendiri dibangku mereka. Beberapa dosen menggunakan strategi ini setiap hari, namun ada juga yang jarang menggunakan strategi ini.
6.
Homework : Memberikan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan mahasiswa. Penelitian menemukan bahwa pekerjaan rumah memberi efek lebih positif jika didistribusikan selama periode waktu tertentu, ketimbang diberikan sekaligus dalam satu waktu.
C.
Mahasiswa Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan
tinggi tertentu (Basir dalam Anwar 2010). Masa mahasiswa meliputi rentang umur dari 18/19 tahun sampai 24/25 tahun (Winkel, 1997). Rentang umur mahasiswa ini dibagi atas periode 18/19 tahun sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester I sampai dengan semester IV; dan periode waktu 21/22 tahun sampai 24/25 tahun, yaitu mahasiswa dari semester V sampai semester VIII (Winkel, 1997). Mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu.
Menurut Sarwono (dalam Anwar, 2010) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun. Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa (Takwin, 2008). Winkel (1997) mengatakan tugas perkembangan yang dihadapi mahasiswa pada dasarnya adalah mahasiswa di semester awal harus menyesuaikan diri dengan pola kehidupan di kampus dan di luar kampus, baik yang menyangkut hal-hal akademik maupun non-akademik, mahasiswa di semester tinggi harus memantapkan diri dalam mengejar cita-cita dibidang studi akademik, dipekerjaan dan dibidang kehidupan.
D.
Profil Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Fakultas Kedokteran Gigi USU merupakan Fakultas Kedokteran Gigi
pertama yang berada di luar pulau Jawa, didirikan pada tanggal 19 Oktober 1961 berdasarkan SK Menteri PTIP No. 0048/Sek/PU dan diresmikan pada tanggal 3 Nopember 1961. Visi dan Misi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Visi : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara sebagai Fakultas Kedokteran Gigi unggulan dalam menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing global untuk mendukung pencapaian visi Universitas Sumatera Utara, yaitu “The University for Industry”.
Misi : Untuk mencapai visi, Fakultas Kedokteran Gigi USU melaksanakan misi sebagai berikut : 1. Menyelenggarakan pendidikan bidang kedokteran gigi yang bertumpu pada aktifitas belajar mahasiswa yang berorientasi pada perkembangan IPTEK dan kebutuhan masyarakat dalam bidang kesehatan gigi dan mulut untuk menghasilkan Sarjana Kedokteran Gigi dan Dokter Gigi yang berpengetahuan dan berketerampilan, bersikap demokratis, penuh tanggung jawab, dan berbudi pekerti yang luhur sesuai dengan etika profesi kedokteran gigi. 2. Melaksanakan penelitian yang berorientasi pada pengembangan IPTEK untuk dapat menyelesaikan masalah kesehatan gigi dan mulut secara ilmiah yang merupakan landasan utama untuk menumbuhkan dan membina kemampuan menguasai metode penyelesaian masalah, melalui kemampuan berpikir kritis, penalaran ilmiah, berpikir alternatif dan kemampuan pengambilan keputusan secara benar. 3. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada masyarakat melalui Pengalaman Belajar Klinik (PBK) dan Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK secara tepat guna untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut masyarakat (Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2011).
Fakultas Kedokteran Gigi merupakan salah satu Fakultas yang telah menggunakan pendekatan student centered learning. Fakultas ini mulai menerapkan pendekatan tersebut sejak tahun 2009. Pendekatan sebelumnya yang digunakan oleh Fakultas Kedokteran Gigi adalah pendekatan pembelajaran teacher centered learning. Fakultas ini kemudian mengganti pendekatan pembelajaran yang mereka gunakan menjadi pendekatan pembelajaran student centered learning seiring dengan bergantinya kurikulum dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, kurikulum tersebut menggunakan pendekatan pembelajaran student centered learning (fauzi, 2010).
E.
Perbedaan
Kecemasan
Komunikasi
antara
Mahasiswa
yang
Menerapkan Pendekatan Pembelajaran Student Centered Learning dengan Teacher Centered Learning. Dalam lingkup kehidupan akademis, kecemasan berkomunikasi dapat dialami oleh mahasiswa. Mahasiswa akan merasa cemas ketika ia harus menyampaikan sesuatu di hadapan orang lain maupun orang banyak (Lukmantoro, 2000). Bahkan seseorang yang telah berpengalaman dalam melakukan komunikasi, baik berbicara antar pribadi, berbicara dalam forum diskusi, berbicara untuk presentasi juga tidak terlepas dari perasaan kecemasan (Ulandari, 2010). Mahasiswa yang mengalami kecemasan komunikasi akan mengalami kesulitan dalam memulai berbicara, individu tersebut akan merasa canggung dan tidak terlibat pembicaraan dalam situasi tertentu, selain itu dalam
pembicaraan formal tidak berani mengutarakan pendapat maupun kritik (Fitrianingrum, 2009). Pada beberapa individu peristiwa komunikasi mampu menimbulkan perasaan yang menyenangkan namun tidak jarang juga beberapa individu cenderung merasa bahwa peristiwa komunikasi tidak menarik, dan bahkan cenderung untuk menghindari komunikasi (Wulandari, 2004). Kecemasan komunikasi pada mahasiswa dapat muncul pada saat diskusi kelompok, bertanya pada dosen maupun ketika berbicara di depan kelas untuk melakukan presentasi (Wrench, Richmond & Gorham, 2009). Kecemasan komunikasi yang dialami individu dapat muncul dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya kecemasan komunikasi yaitu adanya reinforcement yang diterima individu. Reinforcement dapat berasal dari lingkungan belajar individu tersebut, lingkungan belajar yang mendorong individu untuk sering melakukan komunikasi akan berdampak baik bagi komunikasi individu sehingga kecemasan komunikasi dapat berkurang karena individu terbiasa melakukan komunikasi (Powell & Powell, 2010). Johnson (2001) berpendapat bahwa kecemasan komunikasi memiliki hubungan dengan proses belajar yang diikuti mahasiswa. Penelitian dari Tanian (2002) juga memiliki pendapat yang hampir sama mengenai kecemasan komunikasi, bahwa pendekatan belajar yang diikuti dapat membuat mahasiswa mengalami atau tidak mengalami kecemasan dalam berkomunikasi. Pendekatan pembelajaran yang lebih berfokus pada mahasiswa untuk aktif dalam belajar dapat mengurangi kecemasan komunikasi dalam diri mahasiswa dan pendekatan
pembelajaran yang tidak menuntut mahasiswanya untuk aktif dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan kecemasan komunikasi pada mahasiswa itu sendiri. Menurut Rohman (2011) terdapat dua macam pendekatan pembelajaran yang didasarkan pada keaktifan dan ketidakaktifan mahasiswa. Pendekatan pembelajaran yang berfokus pada keaktifan mahasiswa adalah pendekatan student centered
learning
dan
pendekatan
pembelajaran
yang
tidak
menuntut
mahasiswanya untuk berperan aktif adalah pendekatan teacher centered learning. Pendekatan student centered learning menekankan mahasiswa untuk aktif mengerjakan tugas dan banyak berdiskusi dengan dosen sebagai fasilitator (Hadi, 2007). Keaktifan mahasiswa telah dilibatkan sejak awal dalam bentuk desain belajar yang memperhitungkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman belajar yang telah didapatkan sebelumnya (Harsono, 2007). Peneliti melakukan komunikasi personal dengan beberapa mahasiswa yang mengikuti pendekatan ini untuk melihat kecemasan komunikasi yang dialami oleh mahasiswa. Hasil komunikasi personal menunjukkan bahwa beberapa mahasiswa yang mengikuti pendekatan ini masih mengalami kecemasan dalam melakukan komunikasi yang mereka lakukan. Masih mengalami perasaan takut yang menunjukkan adanya kecemasan yang mereka alami. Pendekatan kedua yaitu pendekatan teacher centered learning. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang tidak menuntut mahasiswanya untuk aktif dalam proses pembelajaran (Colburn, 2003). Hadi (2007) menyatakan bahwa pendekatan belajar ini adalah pendekatan dimana dosen lebih banyak melakukan kegiatan
belajar mengajar sehingga mahasiswa cenderung tidak aktif atau bersikap pasif dalam proses pembelajaran. Peneliti juga melakukan komunikasi personal dengan beberapa mahasiswa yang mengikuti pendekatan ini. Hasil komunikasi personal menunjukkan bahwa beberapa mahasiswa mengalami kecemasan komunikasi dan beberapa mahasiswa lainnya tidak mengalami kecemasan dalam melakukan komunikasi. Beberapa mahasiswa mengalami perasaan takut, khawatir ketika melakukan komunikasi dalam proses pembelajaran, namun beberapa mahasiswa yang lain mengalami perasaan tenang ketika berkomunikasi dan berani untuk melakukan komunikasi. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kecemasan dalam melakukan komunikasi masih muncul pada beberapa mahasiswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran student centered learning. Pada mahasiswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran teacher centered learning, kecemasan komunikasi masih muncul pada mahasiswa, namun beberapa mahasiswa juga tidak muncul kecemasan dalam melakukan komunikasi. Hasil wawancara yang diperoleh menunjukkan hal yang berbeda dengan penelitian Tanian (2002) yang menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran yang lebih berfokus pada mahasiswa untuk aktif dalam belajar dapat mengurangi kecemasan komunikasi dalam diri mahasiswa dan pendekatan pembelajaran yang tidak menuntut mahasiswanya untuk aktif dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan kecemasan komunikasi pada mahasiswa itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti ingin melihat perbedaan kecemasan komunikasi antara mahasiswa yang mengikuti pendekatan pembelajaran student centered learning dengan teacher centered learning. F.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan
kecemasan
komunikasi
antara
mahasiswa
yang
mengikuti
pendekatan
pembelajaran student centered learning dengan teacher centered learning”.